Senja Jatuh di Pajajaran Jilid 05

Jilid 05  

Ginggi menatap wajah muram itu dengan penuh pertanyaan di kalbunya. Si Santimi ini gadis dungu. Dia seperti punya kesedihan besar menghadapi kejadian ini, tapi mengapa peristiwa terus berlangsung? Tidakkah dia punya kekuatan untuk menolaknya?

Menolaknya? Dari mana Ginggi tahu bahwa Nyi Santimi tak suka dijodohkan dengan pemuda Seta? Dari mana pula awalnya Ginggi punya perkiraan bahwa Nyi Santimi menyenanginya, memberi harapan padanya atau menjanjikan sesuatu padanya?

Cih, tak tahu malu! Dan plak! Ginggi menempeleng pipinya sendiri sampai matang biru, sampai orang-orang sekelilingnya melihatnya dengan heran. Nyi Santimi juga melirik ke samping karena bunyi "plak" itu dan nampak wajahnya pucat-pasi setelah tahu siapa orang yang tiba-tiba menempeleng wajahnya sendiri itu. Mereka saling tatap. Ginggi menatap tajam dengan penuh tanda-tanya dan Nyi Santimi menatap redup dengan wajah seolah-olah minta dikasihani dan dimengerti duduk persoalannya. Tapi Ginggi tak mengerti apa yang sebenarmya tengah berlangsung. Hanya saja dia merasa kaget manakala diasaksikan, betapa akhirnya gadis yang kini pucat-pasi itu menguraikan air mata. Dia menangis sesenggukan, menjatuhkan badannya dan tersuruk di lantai kayu.

Sudah barang tentu semua orang jadi panik. Para wanita menjerit, kaum lelaki berseru heran, tidak pula Ginggi. Pemuda Seta mendelik geram ke arah Ginggi. Mungkin dia menduga, kejadian ini karena kehadiran pemuda dungu itu.

Sebelum suasana semakin tidak menentu, Ginggi sendiri sudah menjauhkan diri dari tempat itu. Dia pergi keluar, berjalan cepat. Bahkan langkahnya meloncat-loncat. Setengah berlari dia menghambur ke arah lawang kori. Pergi keluar kampung, pergi entah kemana. Yang penting menjauhi rumah Rama Dongdo!

Tiba di sebuah hutan kecil perbukitan di luar desa, pemuda itu menjatuhkan dirinya di bawah pohon rindang. Matanya pedih, tubuhnya lelah.

Oh, mengapa pula aku ini? Tidakkah bila diketahui Ki Darma aku akan didamprat habishabisan? Tempo hari orang tua itu bicara kepadanya agar berhati-hati menghadapi wanita.

"Wanita itu mahluk lemah. Namun bila kita serampangan menilainya, dia bisa menghancurkan!" kata Ki Darma waktu itu.

Ginggi tak mengerti, mengapa Ki Darma bisa bicara begitu. Yang ditakutkan Ginggi ketika itu hanyalah harimau congkok sebab loncatannya lincah gerakannya kuat dan cakarannya mematikan. Mengapa wanita yang lemah-lembut bisa mematikan?

Sekarang sesudah teralami saja, baru dia tahu, apa arti kehancuran yang diakibatkan wanita!

"Sialan! Ada apa dalam hatiku ini, sehingga menghadapi peristiwa begini, badanku seperti tercabik-cabik harimau ganas?" keluhnya sendirian. Dia berguling-guling di tanah. Dicabikcabiknya rambutnya sehingga ikat kepalanya lepas dan rambutnya awut-awutan.  Ginggi mengatupkan matanya rapat-rapat. Menahan nafas dalam-dalam. Dia mencoba melupakan gadis itu. Tapi semakin dia tolak, semakin meloncat ke arahnya. Ya, bayangan gadis itu. Lesung pipitnya, bibir tipisnya dan sudut matanya yang tajam hitam dengan bola mata berbinar. Ah, betapa terbayang mata itu mendadak sayu, wajah itu mendadak muram, manakala dia menatap dan mempertanyakan, mengapa berbuat kejam mengingkari janji.

"Tunggulah aku di sekitar panggung pertunjukan pantun, Kang!" itulah janji gadis itu yang tak ditepatinya. Ya, hanya itu. Tapi, Benarkah Nyi Santimi merasa berdosa karena janjinya ini? Benarkah hanya karena tak menepati urusan sepele itu, Nyi Santimi perlu menangis, bermata sayu, berwajah muram dan sampai tersuruk di atas lantai? Benarkah hanya sekadar itu?

Ginggi serentak bangun. Kalau hanya urusan janji sepele itu, mengapa gadis itu perlu merundunginya dengan kesedihan? Masa di mana gadis dipinang lelaki adalah masa yang seharusnya disambut rasa syukur dan tawa bahagia. Mengapa Nyi Santimi menyambutnya dengan muka yang pucat-pasi dan apalagi sesudah bertemu pandang dengannya?

"Nyi Santimi, tidakkah ini…." guman Ginggi sambil merenung dalam. Ah, tidak! Keluhnya sambilmenggelengkan kepala. Kalau pun benar ada perasaan yang sama dengan gadis itu, percuma meladeninya. Ya, untuk apa aku mengejar gadis yang sudah diikat janji oleh pemuda lain, pikirnya.

Ginggi merenung lagi. Dia mengingat-ingat pertemuan singkat antara dia dengan gadis itu. Apa yang menjadi ukuran bahwa antara dia dengan gadis itu ada semacam ikatan? Karena gadis itu mau mencucikan pakaian kotornya? Karena sikap ugal-ugalan dirinya, atau karena matanya yang jelalatan melihat kemolekan tubuh wanita seperti apa yang ditudingkan gadis itu kepadanya kemarin pagi?

Tak ada tanda-tanda pertemuan hati. Percuma aku mengingatnya, pikirnya lagi bolak-balik.

Dan karena kecapaian, kurang tidur serta banyak berpikir, akhirnya Ginggi meloso begitu saja di bawah pohon. Ditemani suara burung di dahan, hembusan angi bukit dan matahari dari
sela-sela dedaunan, pemuda itu tertidur pulas lama sekali. Entah berapa lama dia tertidur padahal ditemani mimpi-mimpi buruk. Yang jelas, ketika tersadar dari tidurnya, udara di sekitarnya terasa dingin, sambil mata masih terkatup dia meraba tanah tempat tubuhnya tergeletak. Tanah itu terasa lembab dan dingin, selembar daun yang jatuh di sana, ketika dirabanya terasa basah oleh embun.

Ginggi membuka matanya, namun gelap sekeliling. Kecuali sesudah matanya terbiasa dengan keadaan sekeliling. Ginggi menatap ke atas. Melalui sela-sela dedaunan, ada langit jernih dengan bintang-gemintang. Oh ya! Barangkali sebentar lagi akan ada bulan. Kalau tak salah menghitung, malam ini hari ke limabelas perjalanan bulan. Artinya, masih tersisa bulan benderang.

Setiap melihat bulan terang benderang, Ginggi jadi ingat kembali Ki Darma. Lelaki tua itu bukan saudara, apalagi orang tua. Tak nampak kasih sayangnya, kecuali selalu memerintahkannya untuk berlatih keras ilmu kedigjayaan. Tapi bila dibandingkan dengan
hari-hari terakhir ini, itulah hidup yang penuh bahagia. Kebahagiaan dirinya sebenarnya terasa ketika bersama Ki Darma. Bersama orang tua itu di puncak cakrabuana, sebenarnya tak pernah terjadi pertentangan hati atau kemelut batin. Tidak juga bertemu dengan segala macam percecokan. Kalaupun ada terjadi persilangan pendapat, itu semua hanya berupa persilangan pendapat kosong melompong semata. Sebab kendati sering memperkarakan masalah hidup, namun hidup yang sebenarnya terjadi adalah kehidupan mereka berdua dengan berbagai permasalahan berdua, Tak ada yang perlu dipercekcokan sebab hanya ditanggani berdua saja.

Sekarang, baru satu dua hari saja bertemu dengan manusia lain, kemelut dan percekcokan sudah terjadi. Pertemuan pertama dengan Ki Ogel dan Ki Banen diawali dengan kemelut kecil yang hampir-hampir menciptakan perkelahian. Melihat Ki Kuwu Suntara yang sombong dan jumawa, serta menyaksikan keangkuhan pemuda Seta dan Madi, membuat dirinya tak senang, padahal selama bersama Ki Darma , Ginggi tidak pernah menilai orang lain dengan ukuran senang dan tidak senang.

"Apakah tak sebaiknya aku kembali lagi ke puncak?" pikirnya. Tak mungkin, keluhnya lagi. Kalau aku kembali, hanya akan mengesalkan Ki Darma saja. Padahal hampir sepuluh tahun dia memerintahkan aku berlatih kedigjayaan, karena dia punya kehendak yang harus aku laksanakan sebaik mungkin.

"Ah, Ki Darma, mengapa kau paksa aku untuk melakukan perjalanan ini?" keluhnya sendirian.

Cinta di Cahaya Rembulan

Karena tanah dimana dia duduk terasa dingin dan lembab, pemuda itu segera berdiri. Entah apa yang akan diperbuatnya, tetapi perutnya dirasa perih sekali. Ginggi ingat, sejak pagi bahkan malam hari kemarin, dia belum makan apa pun. Huh, karena urusan ini aku sampai melupakan perutku, keluhnya dalam hati.

Ginggi mencoba menyeruak-nyeruak di hutan kecil di perbukitan kampung ini. Tapi hutan ini memang terlalu kecil. Sekali pun banyak rimbunan pohon dan semak, rupanya sudah tak ada binatang buruan di sana. Apalagi hutan kecil ini dekat kampung. Di mana pun, hutan yang sudah banyak disibak orang, jarang dihuni binatang buruan.

Tak mendapatkan apa yang dicarinya, Ginggi akhirnya kelayaban ke mana saja kaki membawa. Dan akhirnya tak sengaja kakinya membawa ke sebuah tempat di mana air pancuran terdengar keras menimpa batu.

Ginggi jadi terkenang lagi peristiwa dua hari lalu. Di sinilah pertemuan pertama hati dua insan ini, barangkali pikir Ginggi. Ya, barangkali di sini. Sebab di sinilah Ginggi benar-benar meneliti keelokan gadis semampai berkulit kuning dan berambut tergerai sebatas pinggul ini.

Kalau saja malam ini dia berada di sini, keluhnya.

Ya, tapi ini lebih berupa keluhan ketimbang harapan. Amat mustahil meminta keajaiban seperti ini. Yang terjadi sebenarnya, barangkali gadis itu tengah tidur dengan damai, atau melamunkan rencana-rencana perjalanan hidupnya bila kelak sudah mengarungi perkawinan dengan pemuda Seta.

Hatinya kembali gundah bila mengingat hal-hal seperti ini. Dan untuk menjauhkan jalan pikiran itu, dia segera meninggalkan tempat itu, melangkah entah kemana. Sampai pada suatu saat, langkahnya terhenti sebab dari arah berlawanan sayup-sayup terdengar suara berkeresekan. Suaraini sepertinya ranting dan daun kering terinjak kaki. Pasti ada orang berjalan di depannya.

Ginggi berhenti melangkah, bahkan bersembunyi di balik rimbunan pohon. Karena bulan sudah menampakkan diri dari balik bukit sebelah timur, pemuda itu bisa dengan jelas melihatnya yang datang. Benar saja, yang datang adalah manusia. Dia nampaknya seorang lelaki, datang dari arah kampung. Tapi, apa yang tengah dibawa? Lelaki itu nampak memondong sesuatu. Memondong wanita? Ya, terlihat kain kebayanya. Juga terlihat rambutnya yang tergerai. Mau apa malam-malam keluar kampung berduaan. Pasti pasangan yang tidak syah akan berbuat mesum di tempat sunyi. Kalau mereka suami-istri tak mungkin berbuat seperti itu.

Tapi, perempuan yang digendongnya seperti tak berdaya. Tampak kepalanya terkulai, kedua tangannya pun tergantung. Perempuan di atas pondongan lelaki itu sedang tidur? Atau sedang tak sadar, pingsan?

Ginggi menjadi curiga. Kalau mereka datang dari kampung, bagaimana bisa, bukankah pintulawang kori (gerbang kampung) tertutup di malam hari?

Karena rasa curiga ini, Ginggi mengendap dan mengikuti ke mana orang misterius ini membawa pondongannya.

Tak sulit untuk mengikutinya, sebab cahaya bulan di atas punggung bukit cukup memberi penerangan. Dan dengan menggunakan ilmu yang diberikan Ki Darma, dia bisa berjalan berindap tanpa menimbulkan suara, persis seperti harimau mengintip mangsa. Namun Ginggi pun bisa menduga, orang yang dicurigainya ini sedikitnya memiliki kepandaian. Ini terlihat dari caranya berjalan. Kendati pun sambil memondong tubuh, langkahnya nampak ringan dan mantap. Dia pun sanggup meloncat dari tonjolan batu yang satu ke tonjolan batu yang lain tanpa risih akan terjatuh.

Pemuda itu jadi teringat kembali ucapan Ki Darma, bahwa harus hati-hati memasuki Desa Cae sebab banyak orang pandai. Kata gurunya, wilayah Kerajaan Talaga sejak dulu banyak dihuni orang-orang digjaya. Sebelum jatuh ke wilayah Cirebon, Kerajaan ini sering melakukan peperangan. Banyak orang dari Talaga pandai berkelahi.

Mungkin orang ini dari Kampung Cae dan pandai berkelahi. Tapi siapa dia? Yang ditemuinya baru Ki Ogel, Ki Banen, dua pemuda Seta dan Madi saja lelaki beringas di tempat itu. Tapi semuanya hanya memiliki ilmu pasaran saja.

Untuk meyakinkan siapa dia dan apa keperluannya membawa wanita pingsan ke dalam hutan, Ginggi terus mengikutinya. Ternyata lelaki itu membawa pondongannya ke sebuah mulut gua di punggung bukit bercadas. Gua ini bukan tempat rahasia. Letaknya tidak tersembunyi dan ada bekas-bekas batu cadas yang digali orang. Tapi tentu saja bila malam hari, tempat ini bisa digunakan untuk melakukan hal-hal yang dikerjakan secara diam-diam.

Ginggi bisa menduga, orang ini pergi malam-malam kesini karena akan melakukan sesuatu yang tak ingin orang lain tahu. Sekarang orang misterius itu sudah memasuki gua. Ginggi bertidak hati-hati untuk mendekatinya.

Di dalam gua pasti gelap gulita tapi di luar cahaya bulan menerangi alam sekitarnya. Ginggi harus bisa bersembunyi di tempat yang tak mungkin terlihat dari dalam.

Kebetulan di mulut gua banyak tonjolan batu cadas. Pemuda itu bisa menyelinap dan berlindung di sana. Orang yang sedang melakukan sesuatu, biasanya pikirannya terpusat pada sesuatu yang dikerjakannya saja, apalagi bila pekerjaannya itu ingin cepat-cepat diselesaikannya.

Dan Ginggi memanfaatkan perkiraannya itu. Orang yang ingin meyelesaikan sesuatu dengan terburu-buru, diharap tidak memperhatikan sekelilingnya.

Dan benar perkiraannya. Orang misterius itu hanya memperhatikan apa yang dia pondong saja. Wanita pingsan itu dia telentangkan di atas tanah sudut gua. Pelan-pelan diamelakukan sesuatu. Dan ini amat mengejutkan, sekaligus membuat darah pemuda itu mendidih menahan marah. Betapa tidak sebab orang misterius itu rupanya hendak berbuat tak senonoh terhadap wanita pingsan itu. Dia mencoba menarik-narik dan membuka kain yang membelit tuguh wanita itu. Menggerayangi segala macam yang ada di tubuh wanita itu. Dia juga menciumi sekujur tubuh terbaring itu. Kian lama ciumannya kian ganas dan panas, sampai pada suatu saat terdengaar keluhan pendek dari wanita tersebut.

Mungkin baru sadar apa yang terjadi pada dirinya, wanita yang masih telentang itu mendadak menjerit tapi mendadak berhenti karena mulutnya dibekap orang jahat itu. Sekarang seperti terjadi pergumulan di sana. Yang satu tertahan di bawah yang satu menyerang di atas.

Kalau saja kejadian itu dilakukan suka sama suka, Ginggi tak akan peduli dengan semuanya. Tapi ini nyata-nyata pemaksaan dan penganiayaan dan Ginggi tak senang dengan itu. Bahkan menurut Ki Darma pun, dengan kemampuan yang ada dia harus membela orang tertekan.
Wanita lemah itu jelas-jelas mendapat tekanan dari nafsu angkara murka.

Ingat ini, Ginggi harus mengambil keputusan. Dia keluar dari persembunyiannya, membuat kuda-kuda dan segera kakinya menotol tanah. Tubuh Ginggi melesat bagai loncatan harimau kumbang. Bedanya, harima kumbang meloncat dengan tubuh lurus cakar ke depan, pemuda ini melayang sambil jumpalitan, kedua tangan bersilang di depan wajah.

Tapi lelaki jahat itu benar-benar mempunyai naluri yang kuat. Gerakan jumpalitan yang dilakukan Ginggi terkontrol oleh indranya. Terbukti, ketika tubuh Ginggi melayang tepat di atasnya, wajah orang itu menoleh cepat.

Melihat bahaya mengancam, dia pun segera beringsut dan mencoba untuk berdiri. Namun upayanya ini sudah terlambat sebab serangan Ginggi jauh lebih cepat. Telapak tangan Ginggi yang dibuka lebar secepat kilat mendorong ke depan. Plak! Jidatsi culas terkena dorongan kuat telapak tangan. Begitu kuatnya dorongan tangan itu, sehingga kepala orang itu seperti terlontar ke belakang dan tubuhnya ikut melonjak membentur dinding gua.

Ginggi sementara masih jumpalitan untuk mencoba menahan terjangannya. Sebab kalau tak melakukan salto, tubuhnya sendiri akan ikut menerjang dinding. Jumpalitan beberapa kali dan ujung kakinya menotol dinding. Badannya kembali arah sebab kaki menotol dinding. Begitu jatuh di atas tanah, dengan sepasang kaki terpentang lebar, pemuda itu sudah melihat si culas terkulai di sudut gua.

Si wanita yang merasa nasibnya lolos dari kehinaan, segera berdiri namun dengan gerakan kaku sebab semua pakaiannya hampir tanggal. Untung saja suasana di dalam gua amat remang-remang sebab cahaya bulan tak bisa masuk ke sana.

"Mari keluar dari sini!" ajak Ginggi menggandeng bahu wanita itu.

Tapi mendengar suara Ginggi, sejenak wanita itu diam. Dia menoleh ke arah pemuda itu dan mencoba meneliti wajahnya.

"Kang … " gumamnya ragu-ragu.

Ginggi heran sebentar. Namun pada akhirnya dia terkejut setengah mati. Tergopoh-gopoh dia menggandeng bahu wanita itu, dibawanya keluar gua, dimana cahaya bulan sanggup menerangi keadaan.

"Nyi Santimi …?" teriak Ginggi kaget. Nyi Santimi pun kaget dan terkejut melihat pemuda ini. Kemudian tubuhnya limbung. Dan kalau Ginggi tak segera menangkapnya, tubuh semampai itu pasti sudah jatuh terjerembab ke tumpukan batu cadas.

Pemuda ini segera memondong tubuh Nyi Santimi. Dibawanya menjauhi mulut gua. Melalui jalan setapak, masuk lagi ke hutan kecil perbukitan.

Dia hanya memondong pelan saja, tidak berlari seperti si laknat itu.

Karena bulan terang benderang, Ginggi sambil melangkah bisa menatap wajah gadis itu yang mendongak dan bergoyang seperti mengangguk-angguk karena goncangan langkahnya.
Wajah Nyi Santimi nampak kelelahan, pucat dan berkeringat. Mungkin karena peristiwa hebat yang baru saja menimpanya, atau mungkin juga lelah karena peristiwa demi peristiwa mendera hidupnya belakangan ini. Namun yang jelas, raut muka gadis ini apa pun yang terjadi, masih nampak elok dan cantik. Sudah tak nampak pupur penutup wajah yang dipakainya tadi siang manakala dipinang orang. Juga pemerah bibirnya, dan tahi lalat palsunya di sudut dagu, semua sudah hilang. Yang sisa kini, hanyalah kecantikan alamiahnya. Tapi itulah kecantikan asli yang terdapat pada raut Nyi Santimi. Gadis itu sudah memiliki kecantikan asli yang lebih mempesona ketimbang segala macam polesan.

Dalam kelelahan wajahnya, Nyi Santimi seperti terbuai dalam tidurnya. Ingin Ginggi mengusap-usap pipi yang putih dan halus itu dengan penuh kasih. Ingin dia mencawil dagu yang runcing itu, bibir tipis yang merekah itu.

Ah, kalau saja dia bukan milik orang lain, keluhnya.

Harapan dan khayalan pemuda itu rupanya terlalu keras keluar dari lubuk hatinya, menyebabkan naluri gadis di pangkuannya ikut tersentuh. Buktinya, mata sayu berbulu lentik itu sedikit-sedikit terbuka, bahkan akhirnya menatap lemah ke arah wajah pemuda yang memangkunya. Lama gadis itu menatapnya, sehingga sambil melangkah pelan, keduanya saling tatap. Barangkali tak akan berhenti kalau saja kaki pemuda itu tidak tersandung akar-akaran.

"Kang, turunkan aku…" kata gadis itu sedikit malu. Ginggi segera menurunkan tubuh semampai itu dengan perasaan enggan, sebab keinginannya, bisa memondong tubuh molek itu selama-lamanya, sejauh-jauhnya sampai berakhir ke ujung dunia.

Nyi Santimi memilih jalan sendiri saja. Tapi baru satu dua langkah saja dia telah limbung lagi dan segera dipeluk pemuda itu lagi.

"Kita istirahat saja dulu di bawah pohon itu," ajak Ginggi dan Nyi Santimi setuju.

Gadis itu digandengnya menuju sebuah pohon rindang. Mereka kemudian duduk di sana. Nyi Santimi bersandar di batang pohon dan Ginggi bersila di hadapannya.

"Ceritakanlah, mengapa sampai terjadi hal hebat seperti ini, Nyai…" kata Ginggi setelah beberapa lama beristirahat.

Nyai Santimi menunduk, menutup matanya dengan kedua belah tangannya. Diingatkan kembali akan peristiwa hebat itu, perasaanya mungkin tergoncang lagi.

"Entahlah, aku sendiri tidak tahu bagaimana awal mulanya…" gumamnya hampir seperti berbisik.

Gagap dan terbata-bata, gadis itu hanya mengatakan, bahwa ketika itu, kendati malam belum larut benar tapi seisi rumah seperti diserang kantuk yang hebat. Rama Dongdo yang biasanya selalu tidur larut malam karena sepanjang senja hingga malam selalu membaca doa-doa, malam itu sudah tertidur pulas.

"Kepala rasanya pusing, mata terkatup rapat, susah untuk dibuka. Kami semua tertidur pulas," kata Nyi Santimi. "Aku akhirnya tak sadar apa yang terjadi selanjutnya," katanya lagi.

"Tapi antara sadar dan tidak, aku merasakan bahwa tubuhku ada yang memondong, melayang, entah dibawa kemana. Ada angin dingin menerpa wajah. Ujung kebaya pun seperti bergerak-gerak kena tiupan angin. Aku mencoba membuka mata yang selalu terkatup rapat.
Samar-samar terlihat pucuk pepohonan seperti berlari cepat, badan pun terguncang-guncang," kata pula Nyi Santimi.

"Kau pasti sedang dipondong orang. Mungkin si laknat itu. Siapa dia, Nyai?" kata Ginggi.

"Aku tidak tahu, siapa dia. Tapi sayup-sayup ada terdengar kekeh tawanya. Serasa pernah mendengar tawa begitu di sini," kata Nyi Santimi setengah mengingat-ingat.

"Ya, pasti dia orang sini. Sudah hafal suasana di sini dan dia orang pandai," gumam Ginggi. Saling berdiam beberapa lama.
Bulan kian benderang. "Kang …" "Apa, Nyai …?"

"Cantikkah wajahku?" kata Nyi Santimi menatap pemuda itu.

Bulan benderang menyinari wajah putih bersih itu, menyinari mata berbinar itu, mulut tipis merah merekah itu dan menyinari pipi berlesung pipit itu. Masih tak sadarkah gadis ini bahwa tubuh molek ramping berisi dan rambut hitam legam sebatas pinggul itu adalah tanda kecantikan seorang makhluk bernama perempuan?

"Kalau bulan berkata punya wajah benderang, tak boleh sombong sebab bakal ada yang mengalahkannya. Kalau bintang gemintang mengaku punya sinar berbinar, tak boleh menepuk dada, sebab ada yang berbinar lebih dari itu. Benderangnya bulan pasti kalah dengan benderangnya wajah putih halusmu, binarnya bintang pun tak sanggup melampaui cemerlangnya bola matamu," kata Ginggi mendadak lancar membuat siloka,

"Kau dewi dari kahyangan. Kau cantik, Nyai…" lanjutnya menatap tajam dalam-dalam. Tapi Ginggi kecewa, pujian setinggi langit tak disambut keceriaan wajah gadis itu. Dia malah nampak murung dan susah.

"Orang cantik sebetulnya malang, Kakang. Dia banyak penderitaan…" gumam gadis itu menunduk lesu.

Ginggi terkekeh merasa lucu mendengarnya. Nyi Santimi hanya menunduk dan tak menoleh mendengar Ginggi terkekeh.

"Keindahan itu didambakan setiap orang. Tapi mengapa kau katakan sebuah derita?" tanya Ginggi, tetap menatap wajah sendu itu.

"Katanya aku tercantik di desa ini. Orang menyebutnya Kembang Desa Cae. Tapi itulah masalahnya. Aku banyak dikejar dan diperebutkan lelaki di sini, tapi juga banyak dibenci dan diiri sesama gadis. Dan itu masalah untukku, Kakang."

"Wajar mereka berlaku begitu," gumam Ginggi.

"Orang terkadang berkelahi karena aku," kata gadis itu lagi dan membuat Ginggi tersipu. Dia jadi ingat peristiwa tempo hari di tepi pancuran itu. Pemuda Seta dan Madi uring-uringan bukan sekadar menudingnya mengintip orang mandi tetapi karena rasa cemburu itulah.
Mereka takut aku ikut persaingan, pikir Ginggi.

"Tapi begitu banyaknya lelaki yang memperebutkanmu, sebetulnya bukan urusanmu, sebab kau punya pilihan sendiri, bukan?" kata Ginggi. Dan pemuda iti ingat Seta. Ingin dia tanyakan, apakah gadis itu memilih pemuda angkuh itu?

"Aku tak pernah berpikir untuk mencari pilihan…" kata gadis itu. "Tapi, Setamu itu…?"
Nyi Santimi menunduk. Kemudian satu-persatu ada butiran air mata meleleh di pipinya. "Kau pasti marah melihat peristiwa tadi pagi. Kau juga marah aku tak menepati janji, padahal kita akan bertemu di tempat pertunjukan pantun," kata Nyi Santimi.

Ginggi mencoba untuk pura-pura tak memperhatikan dengan khusus omongan ini. Padahal sejak kemarin malam pertanyaan ini bergayut terus di benaknya.

"Aku tersiksa malam itu, kubayangkan, kau menungguku, kau lelah dan kau kesal karena akhirnya aku tak datang. Aku tak bisa keluar malam itu," kata Nyi Santimi.

Ginggi masih memandang ke arah lain.

"Rama Dongdo mengabarkan padaku, bahwa secara mendadak Ki Aspahar akan datang besok pagi."

"Siapa itu Ki Aspahar?"

"Dia ayah Seta. Datang meminangku buat kepentingan Seta. Pinangannya datang secara mendadak, sebab Rama Dongdo yang meminta. Rama khawatir setelah melihat kedatangan Suji Angkara. Suji Angkara adalah pemuda putra Ki Kuwu Suntara. Pemuda itu sering mengembara. Hanya tiga atau empat bulan sekali dia pulang ke desa sambil membawa kekayaan melimpah. Katanya dia berniaga, saling tukar-menukar barang dengan saudagar bangsa asing," kata Nyi Santimi.

"Apa hubungannya dengan urusan pinangan?" tanya Ginggi heran.

"Entahlah. Tapi Rama sebenarnya tak senang kepada pemuda itu. Hampir sama, Rama pun tak senang kepada ayahnya. Ki Kuwu pernah berkata kepada Ki Banen, bahwa Rama mencurigai sesuatu kepada pemuda itu. Soal apa, beliau tak mengungkapkannya," kata Nyi Santimi.
"Menurutmu, pemuda bernama Suji Angkara itu seperti apa?" tanya Ginggi. "Entahlah aku kurang bisa meneliti sikap orang. Di hadapan orang banyak, dia
memperlihatkan sebagai orang yang menjaga kehormatan. Halus tutur katanya, sopan kepada semua orang. Tapi dua kali aku pernah bertemu secara khusus dengannya. Sorot matanya tajam menggerayangi. Bibirnya selalu terkatup dan terkadang digigit-gigitnya sendiri bila tengah menatapku. Dia tampan sebab suka mengenakan baju bagus. Tapi aku takut terhadapnya. Entah mengapa, padahal dia tak pernah ganggu aku," kata gadis itu.

Berdiam diri beberapa lama. Bulan nampak berjalan melewati taburan awan. "Keteranganmu belum tuntas, Nyai…" kata Ginggi.
"Soal apa?"

"Soal bagaimana pandanganmu terhadap Seta, calon suamimu," kata Ginggi. Nyi Santimi menunduk.
"Aku belum ingin menikah dan aku tak mencintai pemuda itu!" katanya. "Tapi dia pasti sangat mencintaimu."

"Ya, benar. Dia selalu tak putus asa mengejarku. Ayahnya petani ladang cukup berada. Punya banyakjuru tengah (pegawai di ladang) dan selalu membantu Rama dalam menutupi kebutuhan pangan sehari-hari. Kata Rama sore itu, Ki Aspahar sudah lama membicarakan perihal keinginan anaknya itu. Kemarin sudah memintanya lagi sesudah melihat kehadiran Suji Angkara di desa ini," kata Nyi Santimi.

Ginggi termenung mendengar penjelasan ini. Kalau benar rencana perkawinan ini kurang dikehendaki gadis ini, maka benar pendapat Nyi Santimi bahwa kecantikan baginya adalah derita.

"Tapi kecantikanmu tak berarti derita bila kau sanggup menemukan pemuda pilihan, Nyai," kata Ginggi tiba-tiba sehingga membuat gadis itu terpana mendengarnya.

"Adakah kau cintai seseorang, Nyai?" tanya Ginggi.

Nyi Santimi hanya menunduk, menatap, kemudian menunduk lagi. Tapi setelah terdengar sedu-sedan yang ditahan, gadis itu tiba-tiba menubruk tubuh Ginggi dan membenamkan wajahnya ke dada pemuda itu. Ginggi mendekapnya, membelai rambutnya dan dia tak bisa menahan hasratnya lagi untuk mengecup kening gadis itu. Kini sedu-sedan semakin keras dan tak bisa dibendung. Gadis itu menangis sejadi-jadinya.

"Nyai … Nyai ..!"

Ginggi mendorong tubuh Nyi Santimi agar kembali bisa menatap gadis itu. Melalui cahaya bulan kentara sekali air mata Nyi Santimi meleleh-leleh turun dari pipinya, bening dan berkilat-kilat. Ginggi menyekanya perlahan-lahan. Namun ketika tangannya akan ditarik, Nyi Santimi tak mengizinkannya. Dia malah meremas erat tangan itu, menciuminya, mendekapnya, dan kembali menciuminya.

"Nyai, Nyai … jangan begitu, Nyai …!" Ginggi gagap dan sekujur tubuhnya menggigil. Di malam yang sebetulnya sudah dingin ini, tubuh pemuda itu bahkan berkeringat. Ada dorongan hawa panas di dalamnya. Di keremangan cahaya bulan, rambut gadis itu nampak tak beraturan, juga pakaiannya. Kain kebaya di bagian dada terkoyak-koyak lubang kancingnya, memperlihatkan bagian dada yang sebetulnya tak boleh diperlihatkan sembarangan. Namun kali ini, Nyi Santimi sepertinya tak peduli terhadap segalanya. Termasuk ketika Ginggi menatapnya dengan penuh gejolak. Dialah bahkan yang seolah-olah menggoda dan mempengaruhi agar darah pemuda itu menggelegak.

Dan akhirnya, pertahanan Ginggi bobol. Dia terbenam ke dalam buih-buih panas yang seharusnya tak pantas dia terjuni.

Bulan mendadak bersembunyi di balik awan tebal, seolah enggan menyaksikan adegan yang terjadi di bawah pohon rimbun itu. Namun keengganan sang rembulan ini, bahkan dianggapnya sebagai pendorong semangat kedua insan itu. Berpalingnya tatapan sang purnama dari muka bumi, disangkanya menawarkan keleluasaan bagi mereka berdua untuk melakukan sesuatu sebebas mungkin. Ginggi semakin terbenam, keduanya semakin tenggelam. Sepertinya tak ada kehidupan lain selain keasyik-masyukan yang tengah mereka lakukan.

Tapi, mata-hati pemuda itu tertutup, kesadarannya tak berjalan normal, hanya ketika gejolak darahnya mendidih saja. Ketika api dalam dada telah padam, ketika gerak denyut nadinya telah menurun, kembali pulanglah kesadarannya.

Pemuda itu tersentak kaget, berjingkat dan duduk agak menjauh. Cepat-cepat dibenahinya pakaiannya yang tadi semrawut dan sebagian terlepas begitu saja itu. Nyi Santimi yang terlena kecapaian, segera ikut bangun dan duduk membelakangi. Dengan terburu-buru, dia pun segeramembenahi seluruh pakaiannya. Dia tertunduk lama sekali sambil tetap duduk membelakangi.

Sinar bulan kembali menerangi bumi manakala gumpalan awan berlalu. Setelah suasana mulai diterangi bulan, perasaan Ginggi serasa baru bangun dari mimpi.

Oh, hai, mimpi burukkah ini? Ginggi tak memungkirinya, bahwa baru saja dia berlayar di lautan kesenangan lahiriah. Sebuah kesenangan yang baru dirasakannya selama dia menjadi seorang lelaki. Tapi, benarkah ini sebuah kebahagiaan?

"Nyai … Maafkan aku. Kurasa kelakuanku barusan amat keterlaluan," gumam pemuda itu perlahan. Melihat gadis itu duduk membelakangi tak bersuara sepatah kata pun, Ginggi menduga, Nyi Santimi tersinggung perasaannya.

"Nyai …"

Ginggi mencoba mendekati tubuh gadis itu. Dipegangnya bahunya. Ditepuk-tepuknya perlahan sekali, kalau-kalau gadis itu tak mendengarnya.

Nyi Santimi menoleh perlahan. Tangannya meraih tangan pemuda itu dan disuruhnya memeluknya dari belakang.

"Kang, telapak tanganmu kasar sekali. Kalau bukan pehuma, kau pasti peladang," kata Nyi Santimi dengan suara manja.

Ah, Nyi Santimi tak marah padaku, kata Ginggi dalam hatinya tapi sambil menarik tangannya dari cekalan gadis itu. Ginggi mengusap-usap telapak tangannya sendiri. Benar, ini kekeliruan Ki Darma, mengapa dia selalu memaksanya untuk melatih tangan. Mula-mulanya disuruh bertepuk tangan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Selama empat puluh hari empat puluh malam Ginggi menahan rasa sakit karena kulit telapak tangannya pecah-pecah.
Kemudian selama empat puluh hari empat puluh malam, kedua telapak tangannya itu dilatihnya memukul batang kayu, permukaan batu, dan permukaan cadas yang keras dan kasar. Dari latihan keras ini, Ginggi bisa memukul hancur benda-benda keras dan meluluhlantakkan palang pintu terbuat dari kayu jati. Waktu itu Ginggi merasaamat beruntung, sebab bila bekerja mencari kayu bakar di hutan, cukup mengerjakan sepasang tangannya saja tanpa memerlukan alat-alat tajam seperti golok ataupun kapak. Tapi, baru kali ini dia merasakan, betapa ruginya hasil latihan itu. Kedua telapak tangannya menjadi keras dan kasar dan tak disenangi wanita. Buktinya, tadi Nyi Santimi meringis dan mengeluh karena remasan tangan pemuda itu menyakitkan. "Tanganku kasar, juga kelakuanku, Nyai. Tidakkah kau membenciku?" tanya Ginggi masih meraba-raba tangannya sendiri.

Nyi Santimi tersenyum tipis, manis sekali. Dan untuk yang kesekian kalinya gadis itu meraih kedua tangan Ginggi, didekapnya dengan mesra.

"Aku orang jelek, kasar dan buruk, Nyai …"

"Kalau cinta sudah tergelar, tak ada jelek ataupun buruk yang terlihat, Kakang. Oh, ya, aku ingin menyebut namamu, siapakah engkau sebenarnya. Ah, kau lelaki tak sopan! Dua hari kita berkenalan, tak sekali pun kau sebut namamu!" kata Nyi Santimi dengan nada masih tetap manja.

Terkejut hati pemuda itu. Ini amat menyadarkan dirinya. Gadis ini belum kenal namanya karena dia pun tak berusaha memperkenalkan namanya. Tapi kendati gadis itu tak mengenal namanya, dia sudah berani menyerahkan segalanya terhadapnya. Dalam dua hari! Mengapa begitu berlaku murah?

"Nyai … namaku Ginggi. Ini pertama kali aku mengenalkan nama kepada seseorang, tapi sanggupkah kau mengenalku sesudah tahu namaku?" tanya pemuda itu.

"Ginggi … Nama yang indah. Nama yang gagah," puji Nyi Santimi seperti tak mendengar kata-kata selanjutnya dari pemuda itu.

"Ginggi bukan nama yang baik. Itu nama jin jahat yang menganggap nafsu angkara murka sebagai dewa," kata pemuda itu. Tapi Nyi Santimi malah tersenyum dengan deretan giginya yang putih dan rapih.

"Tidak percayakah aku orang jahat, Nyai?" tanya Ginggi. "Kau, orang baik, Kang …"
"Kalau orang baik tak mungkin merusak kehormatan wanita, apalagi yang sudah punya tunangan!" kata Ginggi lagi.

Kini giliran Nyi Santimi yang terkejut. Deretan giginya yang putih dan rapih mendadak menghilang bersamaan dengan hilangnya senyum manisnya. Kalau saja cahaya bulan datang lebih terang, barangkali Ginggi bisa menyaksikan betapa pucatnya wajah gadis itu.

"Kang …"

"Ya, aku orang jahat, Nyai! Sama jahatnya dengan lelaki yang akan memperkosamu. Atau, ya, aku pun sebetulnya memperkosamu! Sebab, apalah bedanya antara lelaki di gua itu denganku? Kedua-duanya sama berupaya mengganggu keutuhanmu. Dan terbukti, siapa sebenarnya yang membuat dirimu tidak utuh? Bukan lelaki di gua sana, tapi aku Nyai! Aku, Si Ginggi jahat ini!" teriak pemuda ini seperti setengah histeris.

"Kakang!" Nyi Santimi balas berteriak. "Jangan katakan itu lagi! Jangan! Kalau kau bicara begitu, sama saja dengan mencercaku. Bukankah aku juga sama denganmu, melakukan halhal yang mungkin dianggap salah?" kata Nyi Santimi lagi. Ginggi terpekur. "Ya, kita berdua salah …"

"Betul, kita berdua salah. Engkau bisa berusaha memperbaikinya, Kang?" Ginggi memandang tajam, kemudian menggelengkan kepala.
"Kita harus menikah!" kata Nyi Santimi tegas. "Menikah?" tanya Ginggi seperti kaget.
"Ya, apalagi kalau tidak menikah? Itu salah satu cara menghapus kesalahan kita!" kata gadis itu pasti.

"Lalu, dosa terhadap Seta bagaimana? Dosa berkhianat kepada para orangtua, bagaimana? Betapa hancurnya Rama Dongdo, betapa sakitnya hati Ki Aspahar. Bisakah kita bersihkan kesalahan kita terhadap mereka, Nyai?"

Nyi Santimi membisu seribu-basa, dan Ginggi memandangnya dengan senyum pahit.

Lama mereka saling membisu seperti ada kunci besi yang menggembok mulut-mulut mereka.

"Sudah hampir dini hari, Nyai! Kalau seisi rumah dalam keadaan tidur pulas sewaktu kau diculik, sebaiknya kau cepat-cepat pulang dan mudah-mudahan semuanya masih dalam keadaan terlelap. Aku inginkan, semua peristiwa malam ini tak ada orang yang tahu," kata Ginggi berdiri. Nyi Santimi masih tak mau berdiri. Tapi pemuda itu menariknya agar gadis itu ikut berdiri.

"Mari …" ajak Ginggi. Nyi Santimi masih tertegun. Tapi Ginggi tak membiarkan gadis itu berlama-lama di situ. Secepat kilat dia memangkunya dan dibawanya berlari.

Sepanjang perjalanan, Nyi Santimi memuntahkan air mata. Terasa tetesannya hangat ketika jatuh di dada pemuda itu. Ginggi tak sanggup memperkirakannya, tetesan air mata itu karena apa.

Tiba di depanlawang kori , pintu besar itu tertutup rapat sebab dikunci dari dalam. Ginggi merasa lebih yakin lagi, penculik Nyi Santimi orang pandai. Dia membawa gadis dalam pondongan tidak lewat pintu tapi lewat jalan lain. Mungkin dia memiliki ilmu loncat seperti yang pernah dia pelajari dari Ki Darma

Suasana sunyi senyap sebab semua penduduk ada dalam tidur nyenyak. Ini melegakan Ginggi. Dia tetap tak menginginkan peristiwa penculikan diketahui orang. Kalau ada orang tahu gadis itu menghilang kemudian kembali bersamanya bisa menghebohkan dan dia akan mengalami kesulitan. Padahal pengembaraan dirinya yang dikehendaki Ki Darma adalah menjauhi keributan yang tak perlu dan tak ada hubungannya dengan rencana serta tujuan dia turun gunung.

Ginggi tengadah meneliti bagian-bagian benteng kayu itu. Sesudah menemukan bagian atas benteng yang tak begitu tajam, dia segera mengambil ancang-ancang dan mengerahkaninti tenaganya. Hup! Tubuh Ginggi meloncat ringan seperti gerakan harimau kumbang loncat di dahan. Benteng setinggi lebih dua depa bisa dia loncati. Sejenak dia berdiri di ujung kayu. Melirik kesana-kemari. Sesudah yakin tak adatugur (ronda), dia segera loncat ke bawah tanpa menimbulkan bunyi berarti.

Nyi Santimi ternganga kaget mengalami kejadian ini. Betulkah pemuda yang memondongnya pandai terbang? Dia tak menyaksikan dengan nyata, sebab ketika Ginggi bergerak, ada tiupan angin menerpa ubun-ubunnya dan dia memejamkan mata dengan rapat. Baru membukanya setelah dirinya berada di dalam benteng. Ginggi tak memberi kesempatan pada gadis itu untuk bertanya sebab dia segera berlari kembali sambil tetap memondong tubuh. Tiba di rumah gadis itu, dia berkeliling mencari jalan masuk. Pasti ada jalan masuk tanpa membangunkan orang seisi rumah. Dan jalan masuk itu ialah jalan yang digunakan penculik untuk membawa Nyi Santimi keluar. Benar saja ada sebuah jendela tanpa dikunci dari dalam. Daun jendela itu bekas dicongkel. Ginggi membawa masuk Nyi Santimi melalui lubang jendela itu.

"Ini kamar tidurku, Kang …" bisik gadis itu.

"Ya, kau cepatlah tidur. Dan simpanlah rahasia ini baik-baik," kata pemuda itu hendak kembali meloncat, tapi ditahan gadis itu.

"Ada apa?"

Ginggi tak melanjutkan kata-katanya sebab Nyi Santimi segera mendekap erat. Mereka berdua bergulingan di atas dipan dan peristiwa di hutan terulang kembali. Keduanya bergolak lagi, mendidih lagi. Sampai pada suatu saat kembali normal lagi sesudah segalanya terlampiaskan. Dan kembali Ginggi mengeluh lagi, menggumam dengan sumpah-serapah sebagai tanda kesal yang tiada akhir.

Akhirnya Ginggi meloncat secepat kucing yang menghindari gebukan. Dia pergi berlari dengan keluhan-keluhan yang hanya keluar dari lubang hidungnya.

Ginggi berlari, meloncati benteng kampung sepenuh tenaga. Berlari kemana saja. Dia kembali memasuki hutan bukit kecil. Menjatuhkan badannya di tanah lembab. Bergulingan dan menjambak-jambak rambutnya.

Gila aku, pikirnya. Dia merasakan, hanya berselang beberapa hari perpisahannya dengan Ki Darma, hidupnya jadi seperti tak terkendali. Kalau dia seekor kuda, mungkin inilah kuda binal, garang dan kasar. Kalau dia seekor tikus, mungkin inilah tikus licik tapi penakut.

"Penakut dan pengecut!" teriaknya sendirian. Dia pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab. Huh! Padahal berkali-kali Ki Darma mengatakan bahwa manusia itu hidup karena tanggung jawabnya.

"Kalau kau tak berani bertanggung jawab lebih baik mati!" kata Ki Darma. Mati? Kalau aku mati karena urusan wanita, bagaimana aku harus melakukan tanggung jawab untuk urusan yang lebih besar dan yang secuil pun belum aku laksanakan? Bukankah Ki Darma bilang aku harus bertanggung jawab membantu dan meringankan nasib rakyat bumi Pajajaran?

"Kau boleh mati dalam membela mereka!" kata Ki Darma. Tapi banggakah Ki Darma bila mendengar dia mati karena urusan wanita? Hati-hati dengan wanita! Hati-hati dengan wanita! Itu perkataan Ki Darma yang kerap kali diulang-ulangnya. Sekarang, ternyata dia tak berhati-hati terhadap makhluk lemah tapi membahayakan ini.

Ginggi berdiri.

"Tidak. Aku memang harus bertanggung jawab. Tapi aku minta jangan sekarang. Tunggulah setelah ada tanggung jawab besar yang sudah aku selesaikan, aku akan datang padamu," kata pemuda itu dalam hatinya.

Sekarang Ginggi melangkah lagi. Tujuannya mendatangi gua lagi. Dia akan mencari tahu siapa gerangan lelaki penculik Nyi Santimi itu. Si laknat itu yang jadi gara-garanya. Kalau saja dia tak menculik gadis itu, kalau saja dia tak berusaha memperkosa Nyi Santimi, tak mungkin dia bertemu lagi dengan gadis itu.

Ginggi meloncat-loncat menuju gua. Dalam sekejap sudah tiba di tempat itu. Pukulan telapak tangannya yang digunakan untuk menyerang lelaki misterius itu hanya dia keluarkan seperempat bagian saja. Orang itu tak akan mati. Kalau pun pingsan, itu karena badan orang itu membentur dinding gua dan bukan karena pukulannya.

Ginggi segera memasuki gua, celingukan kesana-kemari dengan harapan si laknat itu masih terbaring pingsan. Tetapi dia kecele sebab orang yang dimaksud sudah hilang entah kemana.

Orang itu pasti bertubuh kuat bila sudah berhasil pergi dengan cepat. Atau, apakah karena dia begitu lama terlena bersama Nyi Santimi di hutan sana? Plak! Ginggi menampar pipinya lagi. Masih kurang puas, dia segera menggetok ubun-ubunnya.

"Sialan! Brengsek!!!" kutuknya. Seba dari Wado
Bila Ginggi naik ke puncak pohon di bukit kecil itu, lawang kori Desa Cae akan terlihat samar-samar. Seperti pada suatu pagi di saat dia sedang mengumpulkan buah-buahan di hutan, pemuda itu pun bisa memandang ke arah kampung itu.

Sudah dua pagi dia memandang perkampungan wilayah Desa Cae dari puncak pohon itu. Dari atas pohon ini terlihat beberapa bangunan rumah. Ada rumah Ki Kuwu Suntara yang ukurannya paling besar, rumah panggung yang seluruhnya terbuat dari kayu jati kokoh.
Beberapa di antaranya terdapat lagi rumah-rumah besar tapi ukuran dan kondisinya ada di bawah kondisi rumah Ki Kuwu. Dan salah satu di antaranya terdapat rumah Rama Dongdo. Rumah itu terletak di sudut jalan kampung. Kalau ada orang keluar dari halaman rumah itu, samar-samar akan terlihat di atas puncak pohon dimana Ginggi naik.

Tapi sudah dua pagi dia tak pernah melihat ada orang yang keluar dari rumah itu. Tidak pula Rama Dongdo. Kemana mereka? Ke mana Nyi Santimi? Tinggal di dalam rumahkah selama dua hari itu? Ingin pemuda itu pergi menengoknya, mengapa mereka tidak keluar rumah. Tapi bila dia memaksa pergi, hanya akan kembali terjun ke peristiwa-peristiwa yang tak mengenakan saja, peristiwa yang melibatkan aib dirinya. Ah, biarlah untuk beberapa lama aku tak akan menemui gadis itu. Mudah-mudahan bila aku tak bertemu dengannya, gadis itu pun akan segera melupakannya. Dan, melupakan kejadian, berarti merahasiakan aib! Ginggi tersenyum kecut berpikir seperti ini. Kata Ki Darma, sejahat-jahatnya binatang, dia melakukan tindakan karena tak mempergunakan pikirannya, bahkan bukan hasil dari kecerdikannya berpikir.

"Ada orang pura-pura berlaku baik untuk menutupi kejahatannya, sehingga orang lain terkelabui. Sedangkan binatang bertindak jujur. Apa yang menjadi nalurinya, itulah yang menjadi sifat dan tindakannya," kata Ki Darma tempo hari.

Jadi kalau Ginggi boleh menilai, binatang punya kejujuran dan manusia tidak, pikirnya ketika itu.

"Tidak begitu," kata Ki Darma. "Binatang memiliki kejujuran karena dia tak punya pilihan. Dia hanya bisa memperlihatkan sikap seperti apa yang diperintahkan nalurinya. Sedangkan manusi diberi kebebasan memilih. Dia punya kemampuan untuk bertindak jujur dan baik tapi juga dia punya kemampuan untuk melakukan hal sebaliknya. Tinggal manusia itu sendiri yang menentukan, mau dipakai dimana otak dan pikirannya itu. Yang jelas, manusia itu makhluk yang bisa berbahaya, sebab dengan memiliki kemampuan berpikirnya, semua makhluk termasuk sesamanya sendiri bisa mengalami kesulitan, sifat apa yang sebenarnya ada dalam dirinya. Kita mengenal harimau ganas karena melihat taringnya yang runcing tapi manusia berhati mulia tidak bisa dilihat dari keelokan wajahnya."

Ginggi hendak melorot turun dari pohon. Kesal sekali dia dengan jalan pikirannya itu. Semakin mengingat-ingat berbagai perkataan yang yang pernah dilontarkan Ki Darma, semakin terasa bahwa hidupnya selalu tidak klop dengan apa yang diuraikan orang tua itu. Entahlah, Ki Darma tak pernah bilang itu sebuah petuah. Dia tak memaksakan kehendak agar pemuda itu bercermin pada apa-apa yang pernah dikatakan. Tapi bila Ginggi mencoba memperbandingkan pengalamannya selama turun gunung, pendapat dan ucapan orang tua itu banyak melahirkan contoh dalam kehidupan nyata ini.

Pemuda itu tak jadi melorot turun, ketika pandangannya tertuju pada lawang kori. Ternyata sepagi itu di pintu masuk desa banyak orang berkerumun. Sedikit-sedikit ada terlihat barisan orang dengan bawaan masing-masing. Ada sekelompok orang memikul carangka wahad terbuat dari anyaman bambu. Sekelompok lagi terlihat orang memikuldongdang atau pikulan barang. Sesudah semuanya keluar pintu pemuda itu coba menghitung, ada sekitar limapuluh orang lebih rombongan pembawa barang dan terdapat lima orang berjalan di muka tanpa membawa barang apapun. Sepertinya mereka berlima merupakan pimpinan rombongan itu.

Ginggi tidak sejak tadi memperhatikan ini, sebab matanya selalu mengawasi rumah Nyi Santimi. Kalau tak terlihat orang lalu-lalang di halaman rumah itu, mungkin karena semua orang tengah menyaksikan rombongan yang baru saja meninggalkan lawang kori.
Rombongan apakah itu? Ginggi menghitung waktu dan dia baru teringat bahwa hari ini rombonganseba dari Desa Cae akan berangkat mengirimkan pajak tahunan itu.

Kalau tak ada peristiwa menyangkut Nyi Santimi, sebetulnya Ginggi ingin ikut rombongan itu. Rama Dongdo tempo hari menawarinya untuk bekerja membantu rombongan seba.
Pemuda itu amat tertarik. Bukan karena mengharapkan upah kerja mengusung dongdang, melainkan karena ingin mempergunakan rombongan itu sebagai pemandu di perjalanan. Sekali pun rombongan seba dari Desa Cae ini tidak akan melakukan perjalanan panjang, tapi barang-barang kiriman selanjutnya akan di bawa ke Pakuan, Ibukota Pajajaran. Pakuan mungkin pusat keramaian dan akan banyak orang menuju ke sana. Kalau Ginggi sudah ada di Pakuan, diharapkan akan banyak mendapatkan informasi perihal orang-orang yang akan ditemuinya.

Ki Darma pernah mengatakan, untuk menjalankan misi yang dibebankan kepadanya, Ginggi harus menemui empat orang murid Ki Darma lainnya yaitu Ki Bagus Seta, Ki Banaspati, Ki Rangga Wisesa dan Ki Rangga Guna.

Sampai saat ini Ginggi belum mengetahui, di mana mereka berada dan apa pekerjaannya. Ikut bersama rombongan seba yang menuju Pakuan, tentu akan melewati beberapa daerah.
Sepanjang perjalanan Ginggi bisa mencari-cari alamat mereka.

"Jadi bila begitu, aku harus ikut rombongan seba ini," kata Ginggi bicara sendiri.

Ginggi melorot turun dari batang pohon, tapi tak perlu terburu-buru mengejar rombongan itu. Dia hanya ingin membuntutinya dari belakang. Dia tak ingin bertemu dengan orang-orang kampung itu. Terlebih lagi, dia tak ingin bertemu dengan pemuda Seta, calon suami Nyi Santimi. Sekarang ada perasaan malu bila harus berhadapan muka dengan pemuda itu. Ini adalah pengalaman pertama, mesti merasa malu kepada seseorang. Beginilah rasanya orang bersalah, keluhnya dalam hati.

Ginggi berjalan memutar arah sebab tak mau melewati batas kampung. Tapi kendati begitu, dia tak khawatir akan kehilangan jejak. Rombongan itu pasti akan menuju barat.

Rombongan seba melakukan perjalanan hampir sehari penuh. Ketika matahari hampir condong ke barat, mereka tiba di sebuah kampung yang lawang korinya hampir tertutup. Untuk menghindari pertemuan dengan orang yang dikenal atau mengenalnya, Ginggi tak ikut memasuki kampung. Malah memilih mencari "penginapan" di sebuah pohon di tepi hutan saja. Cara tidurnya aneh, kepala di bawah dan kaki terkait ke dahan. Sebetulnya ini bukan tidur biasa, tapi pemuda itu melakukan tapa sungsang.

Ki Darma kerapkali mengajarkan cara tidur ini, pertama untuk melatih pernapasan, kedua berguna untuk melancarkan peredaran darah ke otak. Tapa sungsang juga melatih Ginggi untuk bisa terjaga dalam tidur dan tidur dalam terjaga. Dia bisa mengistirahatkan segala aktivitas tubuhnya juga jalan pikirannya, tapi tak "menidurkan" nalurinya. Sehingga bila dalam keadaan tidur tapa sungsang ada marabahaya mengancam, secara otomatis nalurinya akan "membangunkan" tubuh dan jalan pikirannya.

Tapi sampai matahari kembali bersinar dari ufuk timur, tak ada gangguan berarti kepada pemuda itu, selain dari gigitan nyamuk yang tidak dirasanya.

Pemuda itu bangun oleh kicauan burung di dahan pohon lain.

Ginggi segera meloncat turun agar tak menimbulkan kecurigaan orang yang akan berladang. Dia mencuci muka di sebuah sungai kecil yang airnya dan merapihkan ikat kepalanya.

Berjalan menuruni jalan setapak untuk menuju jalan pedati. Di tepi jalan itu Ginggi bersua dengan peladang yang hendak mulai bekerja. Pemuda itu bertanya tentang kampung yang ada di depannya. "Ini kampung Wado, termasuk Karatuan Sumedanglarang," jawab lelaki tua bercaping yang sepagi itu sudah berbekal parang dan alat-alat lainnya.

"Sebentar dulu, Aki," cegat Ginggi ketika orang tua itu hendak cepat-cepat berlalu.

Orang tua bercaping ini seperti segan berlama-lama bicara dengan Ginggi, kendati pada akhirnya mau juga meladeni beberapa pertanyaan pemuda itu.

"Kemarin sore ada rombongan seba yang masuk kampung ini. Barangkali Aki tahu, kapan mereka akan melanjutkan perjalanan lagi?" tanya Ginggi.

Orang tua itu mengerutkan dahi mendengar pertanyaan ini. "Tak apa bila Aki tak mengetahuinya," kata Ginggi pendek.

"Memang aku tidak tahu kapan mereka berangkat sebab tadi malam kelihatannya ada sedikit perbedaan faham dengan Ki Kuwu," kata orang tua ini.

Kini giliran Ginggi yang mengerenyitkan dahi.

"Tahun-tahun silam, kampung ini memang suka mengumpulkan hasil bumi, dibawa ke Ciguling, yaitu Ibukota Sumedanglarang, dan kemudian Sumedanglarang mengirimkannya ke Pakuan sebagai seba tahunan. Namun setelah Nyai Ratu Inten Dewata sebagai Susuhunan di Sumedanglarang menikah dengan Kangjeng Pangeran Santri dari Cierbon, seba tahunan ke Pakuan dihentikan," kata orang tua itu.

"Aku hanya ingin tanya, kapan rombongan seba dari Desa Cae akan meninggalkan kampung ini, Aki!" kata Ginggi kesal, sebab uraian berpanjang-panjang dari peladang ini seperti tak ada kaitannya dengan kepentingan pemuda itu.

"Sebetulnya oleh Ki Kuwu sudah disuruh berangkat tadi malam juga, tapi Raden Suji Angkara tak mau meninggalkan kampung kami sebelum rombongan seba dari daerah ini ikut serta mengirimkannya," kata peladang ini seperti bosan berbincang terus dengan Ginggi.

"Jangan pergi dulu, Aki!"

"Ah, aku harus segera ke ladang. Kalau di sini terus, takut terlibat percekcokan. Tadi malam hampir-hampir terjadi perkelahiaan di antara mereka. Raden Suji memaksa kami mengirim seba, sedangkan Ki Kuwu tetap menolak," kata peladang itu, kemudian bergegas pergi kendati Ginggi masih penasaran menanyainya.

Tinggallah Ginggi termangu sendirian. Dia mencari tempat duduk di pinggiran jalan pedati, sambil menerka-nerka apa yang sebetulnya terjadi di dalam kampung itu.

Hatinya bertanya-tanya, mengapa orang-orang Desa Cae memaksakan kehendak. Bila menurut penuturan orang bercaping itu, penduduk kampung Wado jelas sudah tak akan mengirimkan seba ke Pakuan. Dan itu sudah menjadi keputusan rajanya sendiri, Nyai Ratu Inten Dewata. Orang-orang Cae yang sebetulnya termasuk wilayah Karatuan Talaga, tak seharusnya ikut campur urusan karatuan lain, pikir pemuda itu. Belum habis Ginggi bergelut dengan segala keheranannya, dari lawang kori yang nampak terlihat dari tempat di mana pemuda itu duduk, keluar satu rombongan besar.

Ginggi segera menepi dan bersembunyi di balik rimbunan pohon. Ketika rombongan melewati jalan itu, Ginggi meneliti, bahwa itu rombongan orang-orang Cae seluruhnya. Hanya bedanya, rombongan kini dilengkapi sebuah pedati yang sarat isi. Pedati ini pasti milik Kampung Wado, pikir pemuda itu. Dengan kata lain, orang-orang Wado akhirnya bersedia juga ikut mengirimkan seba, tidak atas nama karatuan, melainkan atas nama pribadi, seperti apa yang dilakukan Desa Cae. Hanya yang menjadi heran, mengapa dalam rombongan tidak seorang pun orang Wado yang ikut? Ya, selama dua hari tinggal di Desa Cae, Ginggi sudah hafal penduduknya. Barisan rombongan yang barusan dia teliti, semuanya memang orangorang Desa Cae. Empat orang melangkah di depan adalah Ki Banen, Ki Ogel, Seta dan Madi. Sedangkan paling depan sekali seseorang dengan pakaian hitam-hitam nampak mencongklang di atas kuda coklat. Siapa pemuda itu, Ginggi tak kenal. Wajahnya tampan keputih-putihan kulitnya. Mulutnya selalu senyum tersungging dan matanya tajam. Yang paling mencolok dari kesemuanya, pakaian hitamnya terbuat dari kain mahal. Mungkin beludru dengan hiasan ornamen di beberapa bagiannya. Kalau Ginggi sudah tahu, mungkin beginilahjenis pakaian kaum bangsawan. Celana hitamnya berupa jenis komprang, juga berhiaskan ornamen yang cahayanya kelap-kelip bila terkena sorotan sinar matahari. Di pinggang kirinya yang dibelit ikat pinggang kulit, terselip hulu gagang senjata, melengkung seperti kepala ular. Kaki pemuda itu dihiasi terumpah kulit.

Walau pun belum kenal siapa dia, tapi sedikitnya Ginggi sudah bisa menduga, mungkin inilah Raden Suji Angkara yang menurut Nyi Santimi merupakan putra Ki Kuwu Suntara.

Rombongan berlalu sudah dan menghilang di kelokan jalan. Yang tersisa adalah suara roda pedati yang ditarik kerbau itu terdengar menggilas jalan berbatu, ditambah suara gerakan orang memikul bawaan berat.

Ada satu pedati penuh barang seba yang dikirimkan orang Kampung Wado tanpa dikawal mereka sendiri. Mengapa mereka mempercayakannya kepada orang-orang Cae padahal menurut lelaki bercaping, malam tadi kedua belah fihak bertengkar dahulu? Ginggi harus menelitinya lebih jauh. Oleh sebab itu, sesudah rombongan orang-orang Desa Cae berlalu agak jauh, Ginggi segera bergerak menuju Kampung Wado.

Orang-orang nampak menatap dengan penuh curiga dan memperlihatkan sikap tak senang atas kehadirannya. Seorang pemuda dengan sikap beringas segera berkata lantang menantang.

"Mengapa kalian datang lagi kesini? Bukankah hasil bumi kami sudah kalian angkut habis?" katanya berteriak. Tapi baru saja dia berkata begitu, tangannya sudah ditarik oleh lelaki lain yang usianya jauh lebih dewasa.

"Sudahlah, kau jangan cari penyakit lagi. Kalau anak buah Raden Suji ini melaporkan kepada majikannya, kita pasti celaka," kata lelaki itu.

"Aku bukan anak buah orang itu. Tapi, ada kejadian apa sebenarnya dengan mereka?" tanya Ginggi semakin heran. "Engkau bukan anak buah Raden Suji? Habis, siapakah engkau dan dari mana asalmu? Kampung kami sedang tak aman hingga kami selalu mencurigai orang asing," kata lelaki yang lebih tua.

"Coba antarkan aku menghadap Ki Kuwu. Aku ingin mendapat penjelasan lebih rinci darinya," kata Ginggi.

"Jangan ganggu Ki Kuwu. Dia baru saja dipusingkan oleh ulah Raden Suji!" kata sang pemuda. Tapi Ginggi memaksa untuk menuju kediaman kepala desa kampung ini.

"Tangkap pengacau! Tangkap pengacau!" teriak pemuda itu sambil mengambil cangkul di sudut garduh tugur. Mendengar teriakan ini, beberapa pemuda datang membantu. Mereka langsung mengambil alat-alat tugur seperti tombak atau cagak.

Ginggi tak mau berurusan dengan orang-orang ini tapi juga tak ingin langkahnya diganggu. Maka begitu orang-orang menerjang, pemuda itu segera menggerak-gerakan kedua belah tangannya menangkis semua serangan. Terdengar jerit kesakitan di sana-sini dan beberapa senjata terlempar jauh manakala tangan pengeroyok bertumbukan dengan sepasang tangan Ginggi. Semuanya meringis memijit-mijit tulang tangannya, dan tak ada yang berani mendekat lagi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar