Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Jilid 03

JILID 03

“Beristirahatlah, jangan banyak bergerak”, berkata Kebo Arema sambil membantu Paherangi bersandar di sebuah batang pohon.

Malampun akhirnya datang berangsur menutupi hutan porong dengan kegelapan.

“Biarlah aku dan Bhaya berganti jaga, tenaga kalian sangat diperlukan esok hari”, berkata Kertanegara meminta semuanya untuk beristirahat.

“Bangunkan aku”, berkata Kertanegara  kepada Bhaya yang mendapat tugas jaga pertama.

Sepanjang malam tidak ada yang mengganggu mereka hingga sampainya datang pagi menjelang.

Berdasarkan pengalaman hari pertama,  maka mereka mulai mengatur siapa bekerja dan siapa yang harus berjaga.

Sementara itu Paherangi yang terkena asap beracun sudah merasa sehat dan dapat bekerja kembali.

“Terima kasih Pangeran”, berkata Paherangi yang sudah mengetahui siapa yang menyembuhkannya. ”Tanpa Pangeran mungkin aku tidak dapat lagi memandang cahaya pagi hari ini”

“Tidak perlu mengucapkan terima kasih, bukankah kita bersaudara?”, berkata Kertanegara yang ikut merasa gembira melihat Paherangi sehat sebagaimana sediakala.

Nampak terlihat mereka telah kembali bekerja, membuka hutan agar batang kayu jati merah dapat mereka keluarkan dari hutan. Sementara itu Bhaya yang mahir memanjat tengah membuang cabang pohon jati merah. Sebatang demi sebatang cabang ohon kayu jati jatuh terpangkas hingga akhirnya tinggal pokok batangnya saja yang masih berdiri menjulang tinggi.

Setelah pembukaan jalan sudah dirasa mencukupi, merekapun secara bergantian mulai memotong pokok batang kayu jati merah. Tali tambang besar pun telah terikat di batang pohon jati merah siap untuk ditarik. Sementara itu di sepanjang jalan telah ditebarkan balok kayu bulat yang berfungsi sebagai roda siap menggelinding manakala pokok batang kayu jati sudah rebah di atasnya.

Kraak… bum !!!!

Terdengar suara batang pohon jati merah jatuh ke bumi dengan suara yang luar biasa kerasnya. Tanah pun terasa bergetar ketika batang pohon kayu jati merah yang besar itu rebah jatuh kebumi. Dan Akhirnya batang pokok kayu jati itupun sedikit demi sedikit bergeser sampai ditepian sungai.

“Besok kita datang kembali mengambil beberapa cabang batang yang sudah terpangkas, pantang dipisahkan tulang pokok dan tulang rusuk jung harus berasal dari pohon yang sama”, berkata Kebo Arema kepada Kertanegara yang langsung menangkap dan mengerti batang pokok dan batang cabang yang akan ditatak nantinya sebagai tulang pokok dan tulang rusuk Jung.

Dua buah jukung terlihat meluncur menarik batang pohon yang panjang. Arah arus sungai porong yang mengalir ke arah sungai brantas sangat banyak membantu mempermudah kerja mereka. Namun ketika jukung mereka masuk ke aliran sungai Brantas, mereka harus melawan arus. Tapi para suku air adalah pedayung ulung. Sepertinya mereka tidak merasakan kesukaran. Perlahan tapi pasti jukung mereka terus bergerak menuju Bandar Cangu tempat mereka telah mendirikan sebuah galangan besar ditepian sungai Brantas.

Tapi semangat mereka seperti terbang.

Terlihat galangan yang mereka kerjakan siang dan malam selama sepekan hari telah berubah menjadi tumpukan abu.

“Kemarin malam ada yang membakar galangan kita”, berkata salah seorang dari suku air. ”Api sudah membesar tidak mungkin lagi diselamatkan”.

“Dimana kalian ketika kebakaran ini terjadi?”, bertanya Kebo Arema menatap semua saudaranya dari suku air yang tidak ikut bersamanya ke hutan Porong mencari pohon Jati Merah.

Semua saudaranya dari suku air Nampak tertunduk. “Sirep    mereka    begitu    kuat,    semua saudaramu

tertidur. Kami sendiri datang terlambat, galangan sudah setengahnya terbakar api”, berkata Senapati Mahesa Pukat yang juga hadir di tempat itu menjelaskan dan meminta     pengertian     Kebo     Arema     untuk     tidak menyalahkan sepenuhnya kepada saudaranya.

“Siapapun mereka, tujuannya hanya satu untuk mematahkan semangat kita. Tunjukkan kepada mereka bahwa kita bukan orang yang gampang menyerah”, berkata Kertanegara memberi semangat.

Ternyata kata-kata Kertanegara seperti siraman minyak mengobarkan api semangat di dada para suku air. Keesokan harinya mereka sudah bekerja kembali membuat galangan dengan penuh semangat, seakan ingin menunjukkan bahwa mereka bukan orang yang gampang dipatahkan.

Kejadian terbakarnya galangan di dekat Bandar Cangu itu pun sebentar saja sudah menggema sampai kepelosok nagari. Semua orang membicarakannya. Beberapa orang bahkan mengaitkan kejadian itu dengan kosongnya singgasana di Kediri.

“Ada yang ingin menjatuhkan nama Pangeran Kertanegara”, berkata seorang saudagar di sebuah kedai.

Ternyata semua sudah diperhitungkan dengan  masak oleh Pangeran Kertanegara. Jauh sebelum pembuatan galangan, Pangeran Kertanegara sudah menduga akan ada usaha yang menginginkan kegagalannya. Itulah sebabnya galangan pembuatan jung sengaja berada tidak jauh dari Bandar Cangu. Disitulah pusat berita. Dan nama Pangeran Kertanegara telah menjadi pusat berita, usaha pembakaran galangan menyuburkan rasa simpatik dari banyak orang. Siapapun yang lewat di tepian Brantas itu pasti akan melambaikan tangannya, sepertinya ingin mengatakan agar terus bekerja dan jangan mundur. Dan orang-orang suku air sepertinya ikut merasa tersanjung, merasa bangga bekerja bersama pahlawannya, Sang Putra Mahkota.

“Gila!!”, berkata seorang yang beralis tebal di sebuah kedai di Bandar Cangu sambil menggebrak meja. Tiga orang kawannya Nampak terdiam penuh rasa gentar menghadapi seorang di depannya yang nampaknya seperti pimpinan mereka.

Sementara di kedai itu sedang sepi pengunjung, cuma ada mereka berempat saja. Pemilik kedai saat itu tidak terlihat, mungkin sedang sibuk di dapur belakang.

“Usaha kita berbalik arah, usaha kita bahkan telah menjual namanya melambung tinggi”, kembali orang itu berkata yang ditanggapi oleh ketiga kawannya dengan menundukkan kepalanya lebih dalam lagi.

Salah seorang dari mereka terlihat lebih berani dibandingkan kedua kawannya mengangkat kepalanya. “Harusnya kita tidak cuma membakar, tapi menghabisi mereka semua disaat sirep kita bekerja”.

“Bagus!”, berkata pemimpin mereka sepertinya mendapatkan rencana baru.

Seekor elang terus berputar di padang perburuannya. Sekali-kali mengepakkan sayapnya yang panjang. Matanya yang tajam terus mengawasi, menanti saat yang tepat dan cepat untuk menukik menyambar mangsanya yang lengah.

Suara pekik elang jantan kadang menggetarkan dada.

Gema terbakarnya sebuah galangan di tepian sungai Brantas juga telah terdengar jauh sampai ke Padepokan Bajra Seta.

“Mudah-mudahan kehadiran kalian dapat memberikan dukungan bagi Pangeran Kertanegara. Sampaikan salamku kepadanya”, berkata Mahesa Murti ketika melepas Raden Wijaya, Mahesa Amping dan  Lawe yang akan berangkat ke Bandar Cangu.

Dengan menghela napas panjang, Mahesa Murti memandang punggung tiga anak muda di atas kudanya yang menghilang berbelok terhalang dinding Padepokan. Terbayang masa mudanya bersama Mahesa Pukat melanglang dunia. Mengembara dari satu tempat ketempat lainnya, merasakan angin segar di tengah padang ilalang, mencium bau tanah merah di perbukitan hijau. “Masa muda yang indah”, berkata Mahesa Murti kepada dirinya sendiri masih memandang jauh kedepan melampaui pintu gerbang Padepokannya.

“Sudah lama kita tidak melakukan perjalanan jauh”, berkata Raden Wijaya. Nampak wajahnya begitu ceria. “Mari kita berpacu sampai diatas puncak bukit”, berkata Raden Wijaya sambil mengepak perut kudanya agar berlari lebih cepat lagi.

Mahesa Amping dan Lawe tidak ingin tertinggal, mereka pun menghentakkan kudanya berpacu mengejar Raden Wijaya yang sudah lebih dulu memacu kudanya.

Terlihat tiga ekor kuda berlari berpacu di atas tanah bulakan panjang, membelah padang ilalang dan terlihat semakin jauh mendekati bukit kecil.

Diatas puncak bukit mereka berhenti sebentar, menengok kebelakang memandang sawah dan ladang yang terhampar. Sepertinya mereka bertiga mempunyai perasaan yang sama, suara rindu para cantrik Padepokan Bajra Seta nun jauh di ujung seberang  sawah dan ladang yang terhampar indah seakan memanggil mereka, mengucapkan selamat jalan.

“Aku akan selalu merindukanmu”, berkata Lawe sambil melambaikan tangannya.

Mahesa Amping dan Raden Wijaya hanya tersenyum melihat laku Lawe, diam-diam mereka juga mempunyai perasaan yang sama, sebuah kekosongan hati meninggalkan tempat yang menyenangkan bersama dalam persaudaraan dan kegembiraan hari-hari di Padepokan Bajra Seta yang tenang dan sejuk, sesejuk senyum cerah para warganya. Dan mereka bertiga akan pergi jauh untuk waktu yang lama.

Ketika menuruni bukit kecil itu, mereka tidak lagi memacu kudanya. Dibiarkan kaki kuda melangkah berjalan sendiri menuruni bukit. Masing-masing terdiam hanyut dalam angan pikirannya sendiri hingga tidak terasa mereka telah ada di tepi hutan kecil.

Itulah awal perjalanan mereka. Sebuah awal pengembaraan mereka yang panjang menapaki liku jalan kehidupan yang tidak selalu datar. Lembaran perjalanan mereka diwarnai dengan canda dan tawa, tapi terkadang sangat begitu mencekam seperti menyusuri tepian jurang panjang ditengah malam dalam kepungan puluhan senjata tajam.

Senja itu mereka tengah menyusuri jalan di sebuah Padukuhan, tengah mencari sebuah Banjar Desa untuk bermalam. Tiba-tiba saja puluhan orang datang dari depan dan belakang membawa berbagai macam senjata.

“Berhenti!!”, berkata seorang yang bertubuh tegap berkumis tebal dengan senjata golok besar telanjang d itangannya.

Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe segera turun dari kudanya. “Beginikah sikap kalian menerima setiap orang asing yang datang di kampungmu?”, berkata Lawe yang merasa tidak menyukai sikap orangorang dusun yang mengepung dan mengancamnya.

“Jangan banyak bicara, menyerahlah”, berkata kembali orang itu dengan suara keras.

“Apa kesalahan kami?”, bertanya Lawe tidak kalah keras suaranya sepertinya tidak sabaran.

“Jangan berpura-pura, kalian pasti ingin kembali mencuri sapi kami”, berkata orang itu

“Darba, jaga sikapmu”, tiba-tiba muncul menyeruak dari kerumunan banyak orang, seorang lelaki sudah berumur namun tubuhnya masih begitu tegap dan berotot.

“Ki Jagabaya, mereka adalah pencuri”, berkata orang yang berkumis tebal yang dipanggil Darba oleh Ki Jagabaya yang baru saja datang menghampiri mereka.

“Sudah kubilang, jaga sikapmu!” berkata Ki  Jagabaya kepada Darba yang sepertinya tidak menerima sikap Ki Jagabaya.

“Maafkan kami anak muda, kemarin malam di padukuhan ini telah kecurian tiga ekor sapi. Wajarlah bila semua orang di sini menjadi curiga kepada orang asing”, berkata Ki Jagabaya menjelaskan kepada Lawe, Raden Wijaya dan Mahesa Amping dengan sikap yang santun.

“Kami hanya pengembara, rencananya kami ingin menumpang bermalam di Banjar Desa. Namun dengan kejadian ini, biarlah kami bermalam di tempat lain”, berkata Mahesa Amping.

“Jangan biarkan mereka lepas, mereka harus dihukum”, berkata Darba sambil mengangkat golok besarnya.

“Benar, mereka harus dihukum”, berkata dua orang yang berdekatan dengan Darba. Sementara beberapa orang padukuhan sepertinya merasa segan dengan Ki Jagabaya, mereka hanya berdiri menunggu dalam keraguan.

Tiba-tiba saja muncul tiga orang pemuda mendekati Ki Jagabaya. “Orang asing ini bukan pencurinya, sejak kemarin kami sudah tahu siapa pencurinya”, berkata salah seorang pemuda yang mendekati Ki Jagabaya.

“Kamu tahu siapa pencurinya?”, bertanya Ki Jagabaya kepada pemuda itu.

“Maafkan aku, waktu itu aku takut ayah akan berhadapan dengan orang itu”, berkata pemuda itu.

“Apakah saat ini kamu masih takut menyebut nama pencuri itu”, berkata Ki Jagabaya.

“Rasa takutku telah hilang, melebihi rasa takut bila ayah salah menghukum orang asing ini”, berkata Pemuda itu.

“Katakan siapa pencuri itu”, berkata Ki Jagabaya tidak sabaran.

“Darba dan dua temannya itu”, berkata pemuda itu sambil menunjuk Darba dan dua orang yang ada di dekatnya.

Semua mata memandang Darba dan dua orang temannya.

“Anak setan, jangan bicara sembarangan”, berkata Darba dengan marahnya. Wajahnya berubah semakin beringas.

“Kemarin malam kami mengikutimu sampai ke ujung hutan, disanalah kalian menyimpan sapi-sapi itu”, berkata pemuda itu. “Anak setan, kurobek mulutmu”, berkata Darba  sambil melangkah mengacungkan golok besarnya.

“Aku yakin anakku tidak berbohong, sudah lama aku mencurigai kalian bertiga”, berkata Ki Jagabaya sambil menghadang langkah Darba.

“Rupanya anakmu masih berotak, takut ayahnya  yang sudah tua tidak akan mampu menghadapi kami bertiga”, berkata Darba langsung menyerang Ki Jagabaya.

Ternyata Ki Jagabaya meski sudah berumur masih mampu bergerak lincah. Dengan bergeser kesamping menghindar tusukan golok besar Darba, Ki Jagabaya langsung menyerang balik dengan sebuah sabetan tombak pendek bermata dua yang merupakan senjata andalannya.

Maka terjadilah pertempuran yang seru antara Darba dan Ki Jagabaya. Semua mata memandang penuh rasa khawatir, apakah Ki Jagabaya yang sudah tua akan dapat menandingi Darba yang bertubuh tegap yang terlihat begitu ganas dan keras melakukan serangannya.

Mahesa Amping yang mengikuti pembicaraan pemuda yang ternyata putra Ki Jagabaya memberi tanda kepada Lawe untuk bersiap menjaga segala kemungkinan dua orang kawan Darba berbuat kecurangan. Ternyata dugaan Mahesa Amping terbukti, dua orang kawan Darba telah bersiap maju mendekati pertempuran. Mahesa Amping dan Lawe maju menghadang mereka.

“Kurang enak dipandang, orang tua di keroyok tiga orang sekaligus”, berkata Mahesa Amping kepada salah seorang yang berkulit hitam pekat. “Sedari tadi aku sudah tidak sabar untuk mencincangmu”, berkata orang yang berkulit hitam pekat itu sambil mengayunkan pedang besarnya ke arah kepala Mahesa Amping yang langsung mengelak dengan gerakan seenaknya. Bukan main marah dan penasarannya orang itu melihat ayunan pedangnya lolos tipis dari sasarannya. Ternyata Mahesa Amping tidak langsung menunjukkan tataran ilmunya, berpura-pura mengelak dengan gerakan seadanya. Semakin geram dan penasaran orang itu untuk menyelesaikan pertempurannya.

Sementara itu Lawe sudah berhadapan dengan seorang lagi teman Darba yang berwajah menyeramkan, ada bekas luka codet di sepanjang garis pipinya.

Tidak seperti Mahesa Amping, Lawe tidak sabaran menghadapi lawannya yang berwajah seram itu. Ketika sebuah bacokan mengarah dari atas kepalanya. Dengan kecepatan yang tidak dapat dipercaya oleh lawannya, Lawe bergeser memiringkan badannya. Dan senjata lawan lewat hanya beberapa inci dari tubuh Lawe.

Orang itu seperti terbelalak tidak percaya, sebuah tamparan yang keras menghantam tangannya yang masih menggenggam pangkal pedang. Tulang tangannya seperti patah dan pedih, tidak terasa pedangnya telah terlepas. Dan dalam waktu yang hampir bersamaan, entah dari mana datangnya serangan, yang dirasakannya tengkorak kepalanya seperti terhantam benda berat. Seketika itu juga orang yang berwajah menyeramkan itu roboh pingsan.

Orang-orang Padukuhan seperti tidak percaya dengan penglihatannya. Orang yang berwajah seram yang memang baru beberapa minggu ini tinggal di rumah Darba telah dapat dirobohkan dengan cepat oleh seorang pemuda asing yang sebelumnya dituduh sebagai seorang pencuri.

Raden Wijaya hanya tersenyum melihat Lawe yang dengan cepat merobohkan lawannya. Pandangannya masih tetap ke pertempuran Ki Jagabaya dan Darba. Menjaga hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin dapat saja terjadi. Namun sekali-kali masih menengok pertempuran Mahesa Amping yang terlihat seperti orang bodoh menghindari serangan lawannya.

Sebagaimana yang dilihat oleh Raden Wijaya, Ki Jagabaya ternyata masih mampu mengimbangi serangan Darba yang keras dan ganas. Mereka sepertinya berpacu meningkatkan tataran ilmunya. Pertempuran menjadi begitu sengit. Masing-masing ingin selekasnya menyelesaikan pertempuran.

Akhirnya sedikit kelengahan telah menguntungkan posisi Ki Jagabaya. Darba lengah tidak menyadari bahwa tombak pendek Ki Jagabaya bermata dua. Ketika sebuah serangan dari Ki Jagabaya meluncur mengarah perutnya, dengan angkuh Darba mencoba menghantam tombak pendek itu dengan golok besarnya sekuat tenaga dengan keyakinan tombak pendek itu pasti terlempar. Ternyata tombak pendek itu berubah arah. Mata tombak yang lain berubah berputar menukik pangkal paha Darba. Darah memuncrat dari pangkal paha yang tercabik mata tombak Ki Jagabaya yang langsung mencabutnya dan melompat beberapa jarak.

Rasa pedih dan perih dirasakan darba pada pangkal pahanya yang tertembus mata tombak Ki Jagabaya. Kaki kanannya seperti lumpuh.

“Mata tombakku mengandung racun yang tajam, menyerahlah, aku punya penawarnya”, berkata Ki Jagabaya menawarkan Darba untuk menyerah.

Darba yakin Ki Jagabaya tidak berbohong. Apalagi ketika dirasakan badannya ikut menggigil. “Aku menyerah”, berkata Darba sambil melemparkan golok besarnya.

Sementara itu, Mahesa Amping juga melihat akhir pertempuran Ki Jagabaya dan Darba. Maka ada pikiran untuk menyelesaikan pertempurannya yang lebih tepat disebut permainan. Karena Mahesa Amping selama itu hanya melompat dan berlari menghindari setiap serangan dengan gerakan seperti orang bodoh yang membuat lawannya bertambah penasaran.

Mahesa Amping memang sudah jemu bermain. Ketika sebuah bacokan meluncur dari arah atas kepala, Mahesa Amping tidak menghindar. Dengan memperhitungkan kekuatan dan kecepatan luncuran pedang, Mahesa Amping telah menghentikan laju  pedang itu dengan menjepitnya dengan dua buah jari tangannya. Dengan tersenyum Mahesa Amping memandang lawannya yang berusaha menarik sekuat tenaga pedangnya agar terlepas dari jepitan Mahesa Amping yang begitu kuat. Bahkan tidak malu lagi menariknya dengan kedua tangannya. Akibatnya pun jadi sungguh memalukan, orang itu jatuh duduk di tanah terlempar tenaganya sendiri karena dengan cepat Mahesa Amping telah melepaskan jepitan jarinya.

“Menyerahlah, dua orang temanmu sudah tidak berdaya”, berkata Mahesa Amping dengan sikap tidak seperti orang bodoh lagi. Wajahnya berubah seperti penuh wibawa dan angker.

Ternyata orang yang berwajah hitam pekat itu telah menyadari dengan siapa ia berhadapan. Bagaimana dengan dua buah jari lawannya dapat menahan dan menjepit pedangnya. Disamping itu ia telah melihat dua orang kawannya sudah tidak berdaya.

“Aku menyerah”, berkata orang itu sambil melempar pedangnya.

“Bawa mereka ke rumah Ki Buyut”, berkata Ki Jagabaya kepada beberapa orang yang langsung mengikat Darba dan dua orang kawannya.

“Terima kasih, apa jadinya diriku yang tua ini bila sampai dikeroyok tiga orang begundal itu”, berkata Ki Jagabaya kepada Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya.

“Tanpa kehadiran Ki Jagabaya, mungkin kami sudah dicincang habis warga Padukuhan”, berkata Mahesa Amping.

“Ternyata aku berhadapan dengan orang muda yang telah dapat menguasai diri. Sebelum dicincang kalian sudah lebih dulu membantai seluruh orang padukuhan. Terima kasih kalian tidak melakukannya”, berkata Ki Jagabaya.

Akhirnya Ki Jagabaya mengajak mereka  ikut bersama kerumah Ki Buyut untuk ikut menjadi saksi.

Hari sudah jauh menjadi malam, manakala mereka sampai dirumah Ki Buyut. Ki Jagabaya pun menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi. Darba dan dua orang kawannya tidak dapat mengelak lagi, mereka mengakui semua perbuatannya.

“Bermalamlah di rumahku, aku masih punya persediaan ketela yang baru tadi siang dicabut”, berkata Ki Jagabaya kepada Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe ketika urusan dengan Darba dan dua orang kawannya dianggap telah selesai. Masalah hukuman apa yang pantas bagi mereka telah diserahkan sepenuhnya kepada Ki Buyut.

Akhirnya Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe tidak menolak tawaran Ki Jagabaya. Sebagaimana yang dijanjikan, Ki Jagabaya telah menjamu mereka dengan ketela rebus yang baru dicabut lengkap dengan kelapa parut mudanya. Apalagi yang menjadi teman minumnya segelas hangat wedang sare lengkap dengan gula batu merahnya.

“Uwenake pwuoll”, berkata Lawe sambil menyerumput wedang sare hangatnya.

Ketika pagi menjelang, hari masih begitu gelap. Terlihat Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe telah meninggalkan padukuhan. Mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bandar Cangu yang sudah tidak begituh jauh lagi. Angin bertiup sepoi di pagi yang cerah. Dengan rancak tiga ekor kuda menapaki bulakan panjang, membelah padang ilalang, menapaki bukit dan lembah hijau pegunungan. Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe sepertinya menikmati perjalanan mereka. Seperti elang muda yang terbang bebas diudara mengarungi luasnya kehidupan alam raya.

Sementara itu di hari yang sama, Kertanagara bersama Kebo Arema dan para saudaraya masih tengah bergulat membangun jung besar di tepian Sungai Brantas. Mereka bekerja dengan penuh semangat sepertinya tidak mengenal lelah. Dan sebuah kerangka jung besar telah berdiri diatas galangan seperti patung kerangka ikan raksasa berdiri di tepian Sungai Brantas. Siapapun yang lewat di tepian Sungai Brantas sepertinya sudah tidak sabar menanti, lahirnya sebuah jung besar yang megah yang belum pernah tercipta sebelumnya. “Besok kita harus menyelenggarakan upacara rangka”, berkata Kebo Arema kepada Pangeran Kertanegara dan Mahesa Pukat di pendapa utama Benteng Cangu di malam hari.

“Apa yang kita lakukan dalam upacara rangka itu?”, bertanya Mahesa Pukat.

“Membakar sisa-sisa tatal kayu jati yang sudah tidak terpakai. Sebagian abunya di larung di air, sementara sebagian lagi di tanam di bumi”, berkata Kebo Arema menjelaskan sebuah ritual kecil yang dinamakannya upacara rangka.

“Adakah makna yang disampaikan dari upacara rangka ini?”, bertanya Mahesa Pukat.

“Setiap upacara mengandung makna, abu kayu jati yang di larung di air sungai sebagai pertanda menyatunya jung dengan lingkungannya agar mereka selalu bersahabat saling menjaga. Sementara abu yang ditanam dibumi, sebagai pertanda agar kemana pun kita berlayar jauh harus selalu mengingat dimana tempat kita berasal untuk datang kembali”.

Mahesa Pukat dan Kertanegara sepertinya dapat mengerti dan menangkap maksud dari upacara rangka yang akan mereka lakukan besok hari.

Langit malam diatas tepian Sungai Brantas dipenuhi kabut hitam. Hawa dingin menyergap tubuh seakan menyuruh setiap jiwa berlindung di bilknya untuk segera tertidur. Bhaya merasakan sesuatu yang tidak wajar tengah menghentak jiwanya. Dirasakannya rasa kantuk yang luar biasa yang tidak wajar. Dengan  mengendapkan segala kekuatan yang ada di dalam bathinnya, Bhaya berusaha melawan rasa kantuknya. Mengintip dari dalam biliknya siap sedia menjaga hal-hal yang mungkin saja dapat terjadi. Sementara itu semua saudaranya, baik

Ternyata sebuah sirep yang kuat tengah bekerja sebagaimana yang diduga oleh Bhaya. Seorang tidak jauh dari galangan tengah menerapkan aji sirepnya. Sebuah asap tipis terlihat mengepul dari dupa yang dibakar terbawa angin malam merasuki semua yang ada di galangan, membius mereka dalam kantuk yang luar biasa.

Dari biliknya Bhaya dapat mengawasi keadaan diluar, bukan main kagetnya ketika samar-samar sebuah bayangan tengah mendekati galangan. “Membakar galangan!!!”, hanya itulah yang ada dalam pikiran Bhaya melihat sesosok bayangan yang mengendap-endap mendekati Galangan.

Terlihat Bhaya perlahan keluar dari biliknya. Seperti harimau mendekati mangsanya, Bhaya sedikit demi sedikit mendekati bayangan itu yang masih belum menyadari bahaya tengah mengancamnya. Dua buah belati pendek, senjata andalannya telah tergenggam di dua tangannya. Sebuah terkaman kuat tidak dapat dielakkan lagi. Dan sebuah tikaman belati telah masuk langsung menembus jantung. Sosok bayangan itu tidak sempat lagi berteriak, napasnya sudah langsung menghilang dibekap tangan Bhaya yang kuat.

Tiba-tiba pendengaran Bhaya yang tajam mendengar sebuah langkah kaki. Ketika berbalik badan terlihat tiga sosok bayangan dimalam yang gelap telah menghampirinya.

“Kamu telah selamat dari sirepku, tapi tidak akan selamat dari pedangku”, berkata seseorang yang paling terdepan langsung menyerang Bhaya. Meski senjata Bhaya berupa belati pendek, tidak menjadikan dirinya lemah. Dengan gesit Bhaya merangsek tubuhnya dengan pertarungan jarak pendek. Orang itu sepertinya kewalahan menerima seranganserangan Bhaya yang datang seperti ombak bergulung.

Untunglah dua orang temannya datang membantu. Sekarang keadaan menjadi terbalik, Bhaya sepertinya kewalahan mengelak serangan ketiga lawannya yang datang silih berganti, tiada memberinya kesempatan melakukan serangan balik sedikitpun.

Peluh sudah membasahi seluruh tubuh Bhaya, tenaganya sedikit demi sedikit terus menyusut. Gerakan tubuhnya semakin lama menjadi tidak segesit ketika tenaganya yang berada dipuncaknya. Hingga pada sebuah serangan, Bhaya kurang cepat menghindar, sebuah sabetan pedang berhasil menggores pundaknya. Darah segar keluar dari garis lukanya, terasa begitu pedih ketika bercampur peluh.

“Kamu akan segera mati”, berkata seorang yang beralis tebal sambil mengayunkan pedangnya.

Kembali Bhaya mengelak, namun sebuah serangan telah datang menyusul dari tempat yang lain. Begitulah serangan terus meluncur seperti ombak yang tidak pernah habis menggulung Bhaya yang masih terus mengelak dan menghindar.

Hingga pada sebuah serangan ganda, dua buah pedang tengah mengancamnya dari dua arah yang berbeda. Satu pedang mengancam batang lehernya. Sementara satu pedang lainnya tengah meluncur mengayun menuju arah perutnya.

Keringat dingin mengucur dari tubuh Bhaya, tetapi matanya masih tetap tatag menghadapi seangan ganda yang berbahaya itu.

Trang!!!!

Sebuah senjata belati pendek mirip milik Bhaya menangkis serangan pedang yang tengah meluncur ke arah leher Bhaya.

Sekejab orang yang beralis tebal itu memegangi tangannya yang terasa panas dan pedih, untungnya masih mampu mempertahankan pedangnya.

Bukan main geramnya ketika hampir saja dapat menembus pertahanan Bhaya yang sudah semakin lemah, ada yang datang membantunya, menahan serangannya.

“Siapa kamu he!!”, berkata orang yang beralis tebal itu kepada orang yang membenturkan senjatanya.

Bersamaan dengan tertahannya pedang yang mengarah ke leher Bhaya. Pada saat yang sama juga dialami oleh orang yang akan menyerang ke arah perut Bhaya. Nasibnya terlalu “apes”, entah datang dari mana sebuah tamparan keras menghantam tengkorak kepalanya. Orang itu langsung limbung dengan mata berkunang-kunang. Dan sebuah tendangan yang keras telah melemparkannya terjungkal di tanah. Seorang pemuda telah berdiri bertolak pinggang di depan tubuh orang itu yang tidak lagi bergerak, pingsan. Bersamaan dengan dua kejadian di atas, seorang pemuda tengah menghadang orang ketiga penyerang Bhaya.

Siapakah yang datang membantu Bhaya disaat yang kritis itu?? Ternyata orang yang menahan serangan yang mengarah keleher Bhaya adalah Mahesa Amping.

Sementara, yang langsung membuat pingsan orang kedua yang tengah menyerang Bhaya ke arah perutnya adalah Lawe.

Dan kita sudah dapat menebak siapa lagi orang yang menghadang penyerang ketiga Bhaya kalau bukan Raden Wijaya.

Seperti yang telah diceritakan di muka. Perjalanan Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe tidak begitu jauh lagi dari Bandar Cangu. Hari sudah jauh malam, manakala mereka telah sampai di Bandar  Cangu. Mereka pun sepakat untuk tidak mampir ke Benteng Cangu melihat hari sudah jauh malam. Dengan tidak sengaja langkah kaki mereka menuju ke Galangan di tepian Brantas. Disitulah mereka melihat Bhaya tengah dikeroyok oleh tiga orang penyerangnya.

“Kubunuh kau lebih dulu”, berkata orang dihadapan Raden Wijaya langsung mengayunkan pedangnya ke arah leher raden Wijaya.

Dengan cepat Raden Wijaya menunduk. Sebuah angin terasa berlalu di atas kepalanya. Bukan main kagetnya orang itu, pedangnya menyambar tempat kosong. Belum habis rasa kagetnya, sebuah tendangan dirasakan telah menghantam dadanya. Orang itu langsung jatuh rebah di tanah, pingsan!!.

“Apakah kamu saudaranya?”, bertanya orang yang beralis tebal melihat senjata di tangan Mahesa Amping mirip dengan senjata Bhaya.

“Ya aku saudaranya yang akan mencabut nyawamu”, berkata Mahesa Amping bicara sekenanya.

“Kurobek mulutmu”, berkata orang itu sambil melayangkan pedangnya mengarah ke dada Mahesa Amping. Trang !!!

Mahesa Amping kembali menangkis serangan pedang itu, tapi dengan kekuatan yang melebihi sedikit dari benturan pertamanya. Bukan main kagetnya orang itu. Tangannya kembali terasa panas dan pedih. Lebih panas dan pedih dibandingkan pada benturan sebelumnya. Tahulah orang itu bahwa pemuda didepannya bukan orang sembarangan. Timbul sifat liciknya, diam-diam mengambil sebuah bungkusan dari balik kainnya.

Dengan cepat bungkusan itu meluncur ke arah Mahesa Amping dalam bentuk tepung putih.

“Tepung beracun!!”, berkata Mahesa Amping dalam hati yang telah mencium hawa beracun dari tepung putih yang datang meluncur ke arahnya.

Dengan cepat Mahesa Amping memukul ruang kosong di depannya dengan melambari kekuatan tenaga cadangannya mengalir terpusat di telapak tangannya.

Kejadiannya memang menjadi sangat mengerikan, sebuah angin keras memukul tepung beracun itu berbalik menyerang pemiliknya yang tidak sempat untuk menutup hidungnya sendiri. Tepung beracun itu telah terhirup. Tanpa hitungan detik lagi orang itu jatuh terduduk dengan badan sudah berwarna biru. Dan akhirnya rubuh terlentang dengan nyawa yang langsung melayang.

Mahesa Amping memandang orang di depannya dengan wajah penuh penyesalan. “ternyata aku masih belum dapat menguasai kecepatan jalan pikiranku sendiri”, berkata Mahesa Amping kepada dirinya sendiri.

“Terima kasih, kalian datang tepat di saat nyawaku di ujung tanduk”, berkata Bhaya kepada Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe.

Malam pun terus berlalu. Cahaya oncor yang mulai redup di pojok barak ditambahkan minyaknya dan ditambahkan jumlahnya. Suasana di Galangan itu menjadi terang benderang. Beberapa orang suku air sudah dibangunkan dari tidurnya. Salah seorang diantaranya diminta untuk melapor ke Benteng Cangu.

Mahesa Pukat, Kertanegara dan Kebo Arema telah datang ke Galangan. Bhaya langsung menjelaskan apa yang telah terjadi.

“Kalian datang disaat yang tepat”, berkata Mahesa Pukat kepada Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe.

“Awalnya kami sungkan mengetuk pintu benteng di saat hari sudah menjelang malam, akhirnya langkah kaki kami mengarah ke Galangan ini”, berkata Mahesa Amping.

“Benteng Cangu selalu terbuka untuk kalian, lain kali tidak perlu sungkan lagi”, berkata Mahesa Pukat mengajak Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe beristirahat di Benteng Cangu.

Sisa malam memang sudah tinggal sedikit lagi, beberapa orang di galangan sudah tidak merasa mengantuk lagi. Dua orang dari suku Air terlihat tengah menyingkirkan mayat orang yang terkena racunnya sendiri. Sementara beberapa orang lagi tengah mengikat dua orang tawanan.

Pagi itu begitu cerah, langit putih bersih disinari hangatnya matahari. Tiga ekor angsa terlihat berenang di tepian Sungai Brantas masuk ke kolong galangan. Sepasang kadal hijau saling berkejaran di atas rumput yang masih basah. Di seberang sungai puluhan burung emprit pengembara turun memenuhi tanah berair dangkal. Tidak jauh dari galangan terlihat beberapa orang  suku air telah selesai melaksanakan pemakaman dua jenasah. Mereka melaksanakan pemakaman dengan sebaik-baiknya sebagaimana layaknya, meski yang dikuburkan adalah orang yang hendak mencelakai diri mereka.

Setelah proses pemakaman sudah selesai, maka sesuai dengan rencana hari itu akan dilaksanakan sebuah upacara guyur rangka, sebuah upacara yang bertujuan sebagai rasa syukur bahwa rangka jung telah selesai didirikan. Dimulai dengan pembacaan mantra suci yang ditujukan untuk memohon keselamatan dari Gusti Sing Maha Karsa. Dilanjutkan dengan pembakaran tatag sisa kayu jati merah.

Abu dari kayu jati merah itu sebagian dilarung ke sungai, sementara sisanya ditanam di bumi. Upacara berakhir dengan saling menyiram diatas rangka jung. Orang-orang dari suku air semua saling menyiram.

Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya yang baru melihat sebuah upacara guyur rangka dilaksanakan menjadi terhibur, mereka sepertinya melihat sekumpulan anak-anak kecil tengah bermain air.

Selesai upacara guyur rangka, yang dinantikan pun tiba, apalagi kalau bukan sebuah perjamuan besar. Semua sepertinya menikmati perjamuan itu hingga tak terasa matahari telah turun bergeser di barat cakrawala.

Malam itu, seperti biasa di pendapa Benteng Cangu pembicaraan berkisar tentang beberapa hal penting mengenai pelaksanaan jung, disamping juga laporan dari Senapati Mahesa Pukat tentang kemajuan latihan para calon perwira pasukan khususnya.

Namun ketika pembicaraan bergeser sekitar pengakuan dari dua orang tawanan yang berkaitan dengan seorang Bangsawan di tanah Gelang-gelang, semua mata tertuju kepada Pangeran Kertanegara, karena sepertinya ujung permasalahan bersumber dari sebuah keinginan menjatuhkan nama Pangeran Kertanegara.

“Sudah saatnya kita memberi sedikit cubitan, sekedar peringatan bahwa kita bisa melakukan lebih besar lagi”, berkata Pangeran Kertanegara sepertinya mengerti bahwa semua mengharapkan sebuah tanggapan darinya.

“Ya, sekedar cubitan peringatan kepada seorang saudara”, berkata Senapati Mahesa Pukat membenarkan sikap Pangeran Kertanegara.

“Kalau untuk memberikan sekedar cubitan, tentunya tidak perlu sepasukan prajurit. Kami bertiga dapat melakukannya”, berkata Raden Wijaya sambil melirik kepada Mahesa Amping dan Lawe.

“Aku setuju, kita mengirim tiga bocah begundal tengik berbuat ulah di tanah Gelang-gelang”, berkata Kebo Arema sambil memberi gambaran apa yang harus dilakukan oleh Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe di tanah Gelang-gelang.

Demikianlah, keesokan harinya Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe belum berangkat ke Tanah Gelang-gelang. Pagi itu mereka masih melihat kesibukan para calon perwira pasukan khusus berlatih sebagai pasukan air yang mumpuni.

Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe hari itu juga melihat kesibukan para suku air menyiapkan beberapa papan kayu ulin untuk bahan pelapis rangka jung yang sudah berdiri. Kayu ulin adalah sebuah jenis kayu yang kuat dan tahan air. Semakin terendam lama di air akan menjadi semakin keras. Barulah kesesokan harinya Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe telah bersiap-siap meninggalkan Benteng Cangu.

Pagi itu matahari sudah menerangi Benteng Cangu dengan cahayanya yang hangat. Tiga ekor kuda terlihat keluar dari gerbang pintu Benteng Cangu. Mereka adalah Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe yang akan melaksanakan tugasnya ke Tanah Gelang-gelang.

Awan putih terlihat menghiasi langit biru. Tiga elang belia terbang melayang-layang mengitari padang ilalang dan pergi melesat tinggi jauh menghilang di balik bukit.

“Ternyata Kuta Raja sudah menjadi semakin ramai”, berkata Raden Wijaya ketika mereka sampai di Kuta Raja. Sejak berguru di Padepokan Bajra Seta, baru kali ini melihat kembali Kuta Raja yang sudah menjadi kian ramai. Iring-iringan gerobak berlalu lalang di jalan membawa berbagai macam barang.

“Ternyata anakku sudah menjadi pemuda yang gagah”, berkata Ratu Anggabhaya menerima mereka di istana dengan perasaan gembira melihat cucunya Raden Wijaya.

Raden Wijaya memperkenalkan Mahesa Amping dan Lawe kepada keluarganya.

“Ternyata kamu anak Ki Banyak Wedi, wajahmu mirip sekali dengannya”, berkata Lembu Tal ayah Raden Wijaya ketika diperkenalkan dengan Lawe.

“Aku yakin di sepanjang jalan para begundal tengik tidak ada yang berani mengganggu kalian”, berkata Ratu Anggabhaya.

“Justru kamilah yang sering mengganggu mereka”, berkata Mahesa Amping yang disambut tawa semua.

Demikianlah mereka bertiga bermalam di istana Kuta Raja. Kepada keluarganya Raden Wijaya tidak bercerita tentang rencana mereka ke Tanah Gelang-Gelang. Hanya dikatakan bahwa mereka tengah ditugaskan “Laku langlang” mengembara ke beberapa tempat.

“Dari sini kami akan ke Kediri dan terus ke Tanah Gelang-gelang”, berkata Raden Wijaya mengatakan arah perjalanan mereka.

“Bumi Singasari begitu luas, sudah seharusnya kalian mengenalnya satu persatu”, berkata Ratu Anggabhaya.

Bumi Singasari memang begitu luas, lebih luas dibandingkan ketika Ken Arok menundukkan Kediri. Keamanan, Kesejahteraan dan kemakmuran menyelimuti bumi Singasari. Para putra Raja yang berdaulat di berbagai daerah sepertinya saling berlomba membangun daerahnya masing-masing. Sepertinya ingin menunjukkan kelebihan dari saudaranya. Persaingan itu telah tumbuh dan berkembang semenjak adanya kekosongan penguasa di Kediri. Menguasai Kediri ibarat menguasai setengah tanah Singasari, itulah yang mereka inginkan. Dan di antara putra dan keluarga Sri Maharaja yang telah menunjukkan persaingannya itu adalah Raja Jayakatwang, putra keturunan terakhir Raja Kertajaya, putra Raja Kediri terakhir yang saat ini berkuasa di Tanah Gelang-gelang.

“Aku putra Kediri, akulah yang berhak menjadi penguasa di Kediri”, berkata Raja Jayakatwang kepada permaisurinya Turuk Bali.

“Ayahanda telah menganugrahi kepada kita Tanah Gelang-gelang”, berkata Ratu Turuk Bali sepertinya mengingatkan suaminya untuk menerimanya. “Tanah Gelang-gelang bukan Kediri”, berkata Raja Jayakatwang. “Dan apapun akan kulakukan untuk menguasai Kediri, meski dengan cara paksa”.

Ratu Turuk Bali tidak lagi membantah apapun yang diinginkan suaminya yang keras seperti batu. Sebagai istri yang setia harus tunduk patuh. Meski didalam hati kurang menyetujui apa yang dilakukan suaminya, seperti peningkatan kekuatan prajuritnya, seakan-akan Raja Jayakatwang tengah menyusun kekuatan yang besar untuk menghadapi sebuah perang besar. Siapa yang akan diperangi? itulah yang membuat hati Ratu Turuk Bali seperti tersayat, terapung-apung dalam kebimbangan.

“Ada tiga pemuda ingin menghadap tuanku Ratu”, berkata seorang bibi dayang kepada Ratu Turuk Bali yang saat itu berada di Taman.

“Apakah mereka menyebut sebuah keperluan”, bertanya Ratu Turuk Bali.

“Mereka hanya mengatakan ingin menghadap Tuanku Ratu, salah seorang menyebut dirinya putra Lembu Tal bernama Raden Wijaya dari Kutaraja”, berkata Bibi Dayang itu.

“Bawa mereka kemari”, berkata Ratu Turuk Bali yang sudah mengenal Raden Wijaya sebagai anak sepupunya Lembu Tal.

Bukan main gembiranya Ratu Turuk Bali menerima kedatangan Raden Wijaya, seorang keponakannya dari Kutaraja. Sejak kedatangannya di Tanah Gelang-gelang sudah lama tidak bertemu dengan saudara sedarah dari Kutaraja.

“Keponakanku sudah menjadi seorang pemuda gagah”, berkata Ratu Turuk Bali menyambut kedatangan Raden Wijaya.

“Perkenalkan ini kawan-kawanku”, berkata Raden Wijaya memperkenalkan Mahesa Amping dan Lawe kepada Ratu Turuk Bali.

Banyak sekali yang ditanyakan Ratu Turuk Bali tentunya sekitar Kutaraja yang sudah begitu lama tidak dikunjungi. Akhirnya dalam sebuah kesempatan, Raden Wijaya menunjukkan sebuah tusuk konde kepada Ratu Turuk Bali.

“Ini adalah milikku, kenapa bisa ada di tanganmu?”, bertanya Ratu Turuk Bali yang mengenal bahwa tusuk konde itu adalah benar miliknya.

Raden Wijaya pun bercerita dengan panjang lebar semua kejadian yang dialami Pangeran Kertanegara di Pulau Madhura. “Rahasia tusuk konde ini biarlah tetap menjadi rahasia, biarlah Raja Jayakatwang tidak mengetahui bahwa aku sudah mengetahui apa yang telah dilakukannya sejauh ini”, berkata Ratu Turuk Bali sambil matanya memandang jauh, menembus rimbunan soka merah yang berjejer rapi di pinggir dinding pagar istana.

“Untuk itu, biarlah kami tidak terlalu lama di Istana ini”, berkata Raden Wijaya mencari alasan agar tidak diminta menginap di Istana.

Ratu Turuk Bali dapat menerima alasan Raden Wijaya, terutama mengenai rahasia tusuk konde. Meski rasa rindunya harus dikorbankannya.

“Jagalah diri kalian”, berkata Ratu Turuk Bali melepas kepergian Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe.

Hari memang hampir senja, sebagaimana layaknya seorang pengembara, Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe terlihat di jalan kota yang sudah tidak begitu ramai lagi. Dilihatnya tidak jauh dari istana sebuah barak besar prajurit.

“Kita buat mereka tidak tidur malam ini”, berkata Raden Wijaya kepada Lawe dan Mahesa Amping ketika melihat dari gerbang yang masih terbuka beberapa kelompok prajurit Gelang-gelang tengah berkumpul di depan barak mereka.

Sambil berjalan Raden Wijaya menerangkan apa yang harus mereka lakukan. Raden Wijaya mengajak dua orang kawannya ini ke alun-alun utama. Sebagai seorang yang pernah tinggal di Kutaraja, Raden Wijaya sudah dapat menerka ada apa saja biasanya di alun-alun utama. Ternyata yang dicari Raden Wijaya adalah seekor Harimau jantan.

Demikianlan setiap seorang Raja di singasari biasanya memiliki beberapa binatang sebagai lambang kekuasaan, seperti gajah, kuda-kuda yang terpilih dan juga seekor harimau. Dan di alun-alun tanah Gelanggelang dipelihara sekor harimau yang besar. Harimau itu sepertinya dipelihara dengan baik. Kerangkengnya terbuat dari kayu yang kuat dengan ukuran yang cukup luas. Pada saat Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe berada di dekat kerangkeng, harimau itu sedang tidur.

“Kita bergerak di saat hari menjelang malam”, berkata Raden Wijaya

“Kita harus mendapatkan kayu untuk memikulnya”, berkata Lawe yang melihat ukuran harimau begitu besar.

Demikianlah sesuai rencana mereka bertiga telah menyiapkan segalanya, menunggu saat hari menjelang malam.

Malam itu bulan sabit menggatung di langit Gelanggelang. Alun-alun terlihat begitu sepi dan gelap. Tiga sosok bayangan mengendap-endap mendekati kerangkeng harimau yang sedang berbaring. Ternyata harimau mempunyai pendengaran yang begitu tajam. Meski tidak terlihat bangun, telinganya sudah mengetahui ada yang mendekatinya. Di kegelapan malam, terlihat matanya mengawasi tiga sosok tubuh yang mendekatinya.

Terlihat Raden Wijaya membuka selarak kayu yang mengunci pintu kerangkeng. Perlahan Raden Wijaya membuka pintu kerangkeng dan masuk kedalamnya.

Ternyata, harimau itu memang telah bersiap sejak awal. Begitu Raden Wijaya masuk kedalam, harimau itu langsung bangkit menatap Raden Wijaya dengan matanya yang tajam menyala di kegelapan malam. Bersamaan dengan suara auman besar, raja rimba itu melompat menerkam Raden Wijaya. Tapi semua itu sudah diperhitungkan oleh Raden Wijaya. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, melebihi kecepatan gerak lompat harimau itu, Raden Wijaya sudah melenting ke samping. Begitu kecewanya sang raja rimba mendapatkan tempat kosong. Baru saja harimau itu menjejakkan kakinya, Raden Wijaya sudah melenting hinggap di punggung harimau itu.

Dan sebuah pukulan yang kuat telah menghantam tengkuk urat simpul sang raja hutan. Tanpa bersuara lagi, sang raja hutan jatuh rebah pingsan.

Mahesa Amping dan Lawe menarik napas panjang, meskipun sudah mengetahui bahwa Raden Wijaya pasti dapat mengatasi harimau besar itu, tapi masih saja ada perasaan tegang melihat begitu garangnya harimau di dalam kerangkeng itu.

Bulan sabit masih menggantung di atas langit, hanya beberapa bintang menemani langit malam. Sesosok bayangan melompati dinding pagar barak langsung mengendap-endap menuju gardu ronda. Seorang peronda yang nampak terkantuk-kantuk menjadi terkejut ketika telah berdiri dihadapannya seorang pemuda yang tersenyum kepadanya.

Belum lagi prajurit itu berkata apapun, dirasakan ulu hatinya telah terbentur pukulan keras. Ternyata pemuda itu telah memukulnya dengan kecepatan yang luar biasa. Terlihat prajurit itu roboh pingsan. Dan pemuda dihadapannya yang tidak lain adalah Raden Wijaya nampak berlari ke arah pintu gerbang untuk membukanya.

Ketika pintu gerbang barak prajurit terbuka, dari luar masuk dua orang dengan memikul sebatang kayu panjang. Yang dipikul tidak lain adalah seekor harimau besar yang masih pingsan. Dengan cekatan ikatan kaki harimau itu pun dilepaskan. Dan mereka pun dengan cepat keluar dari pintu gerbang dengan menguncinya dari luar dengan sebuah pikulan yang mereka bawa.

Yang pertama kali sadar ternyata harimau itu, dengan sebuah raungan besar kucing hutan itu mengeluarkan kegusarannya. Suaranya terdengar begitu keras menggema memenuhi barak-barak prajurit yang baru saja naik dari pembaringannya.

Gemparlah suasana di barak prajurit itu, ratusan prajurit telah keluar dengan berbagai senjata. Ada yang keluar dengan membawa pedang, ada juga yang membawa tombak. Di hadapan mereka berdiri seekor harimau besar yang sedang gusar.

Sepuluh orang prajurit yang nampaknya sudah terbiasa menghadapi harimau garang terlihat maju kedepan dengan tombak ditangan. Tanpa isyarat  apapun, bersamaan mereka melemparkan tombak ke arah harimau. Sungguh naas nasib harimau itu, tiga buah batang tombak berhasil menembus punggungnya. Sebuah raungan kemarahannya terdengar menggema memenuhi suasana malam yang sepi sebagai suara terakhir yang menggetarkan. Sang raja rimba telah rebah tak bernyawa.

Malam itu juga gegerlah separuh kota Tanah Gelanggelang. Mereka bukan hanya terkejut menyaksikan seekor harimau peliharaan Raja Jayakatwang yang sangat dibanggakan itu telah mati. Tapi yang sangat mereka herankan lagi adalah sebuah kain yang melintang di punggung haraimau yang sudah mati itu bertuliskan sebuah kalimat pendek : “BINGKISAN KECIL DARI SANG PUTRA MAHKOTA”

Pagi itu, berita tentang kematian harimau peliharaan Raja Jayakatwang sudah sampai juga di taman keputrenan.

“Kertanegara tidak pernah berubah”, berkata Ratu Turuk Bali kepada dirinya sendiri. Sebagai seorang adik, Ratu Turuk Bali paham sekali tentang sikap dan watak kakaknya Kertanegara yang tidak ingin dikalahkan dalam hal apapun. Mungkin akibat dari sikap setiap orang di kelilingnya yang selalu mengagungkan dirinya sebagai seorang putra mahkota sejak kecil.

“Aku berharap Kertanegara tidak berbuat lebih besar lagi”, berkata Ratu Turuk Bali di taman seorang diri. Wajahnya begitu suram, sepertinya begitu penuh kekhawatiran memandang masa depan penuh pertentangan di antara dua orang yang sama-sama dicintai, saudaranya dan suaminya.

Sementara itu orang Raja Jayakatwang tengah menerima seorang kepercayaannya yang datang menghadap. “Kenapa baru hari ini kamu katakan ada tiga orang pemuda asing datang menghadap Ratu Turuk Bali?”, berkata Raja Jayakatwang dengan marahnya.

“Ampun tuanku, setelah ada kejadian matinya harimau peliharaan tuan, aku baru merasa curiga dengan kedatangan mereka”, berkata orang kepercayaannya.

“Cari dan bunuh mereka”, berkata Raja Jayakatwang dengan murkanya.

Di sebuah kedai dekat dengan sebuah pasar yang cukup ramai di Tanah Gelang-gelang tiga orang pemuda tengah merencanakan sebuah perampokan. Yang akan dirampok tidak lain adalah sebuah kiriman seribu senjata pedang yang di pesan langsung oleh Raja Jayakatwang.

“Kabarnya barang dagangan itu akan datang besok siang”, berkata Raden Wijaya.

“Berarti kita harus mencegat mereka di luar kota”, berkata Lawe.

“Aku belum mendengar usulan darimu”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping.

“Entahlah, aku justru melihat ada sebuah perangkap tengah dipasang untuk kita”, berkata Mahesa Amping sesuai dengan apa yang dirasakan lewat panggraitanya yang tajam

Ternyata apa yang dikhawatirkan Mahesa Amping memang tengah terjadi. Kehadiran mereka sudah diketahui. Mereka sudah ada dalam jaring mata-mata. Kehadiran dan pembicaraan mereka telah disadap.

Pagi itu di sebuah jalan yang sepi jauh gerbang kota Tanah Gelang-gelang, berjalan dua buah iring-iringan pedati yang dijaga oleh sepuluh orang pengawal barang. Tidak terlihat apa yang dibawa, karena pedati terlihat tertutup rapat. Sebagai pertanda bahwa barang yang dibawa pasti barang berharga.

“Saatnya kita beraksi”, berkata Raden Wijaya sambil memberi tanda.

Lawe, Raden Wijaya dan Mahesa Amping langsung meloncat ketengah jalan.

“Berhenti!!”, berkata Lawe dengan garangnya berlagak sebagai penyamun sungguhan.

“Apa yang kalian inginkan”, berkata orang yang paling terdekat dengan Lawe tidak kalah garangnya.

“Pergi dan tinggalkan barangmu”, berkata Lawe. “Jumlah kami lebih banyak dari kalian”, berkata

kembali Pengawal barang itu.

“Kalian cuma sepuluh orang pengawal barang, tidak ada artinya”, berkata Lawe masih dengan sikap yang garang seperti penyamun sungguhan.

“Jumlah kami bukan sepuluh”, berkata Pengawal Barang itu. Bersamaan dengan itu keluar dari dalam dua pedati sepuluh orang. Ternyata didalam pedati yang rapat tertutup bersembunyi sepuluh orang prajurit dari Tanah Gelang-gelang.

“Dan kami bukan pengawal barang, tapi para prajurit yang siap menangkap kalian”, berkata orang itu sambil tertawa yang diikuti tawa dari semua prajurit yang ada di situ merasa telah berhasil mengelabui tiga orang pemuda di depannya.

“Kita telah dijebak”, berkata Mahesa Amping kepada Lawe dan Raden Wijaya.

“Kepung dan habisi mereka”, berkata orang itu yang ternyata seorang perwira tinggi.

Maka para prajurit itu pun telah menyebar mengepung. Mereka merasa yakin bahwa sasaran mereka tidak akan dapat melarikan diri. Ternyata mereka salah terka, tiga pemuda yang mereka kepung tidak terlihat gentar sedikit pun.

“Olah raga pagi yang menyenangkan”, berkata Lawe kepada Mahesa Amping dan Raden Wijaya.

Maka ketika prajurit itu bergerak menyerang, merekapun ikut bergerak memencar. Maka terjadilah tiga kerumunan pertempuran yang seru. Gerakan Lawe memang begitu lincah baik saat mengelak dari setiap serangan bahkan ketika menyerang lawannya. Untungnya Lawe memang tidak menggunakan senjatanya. Beberapa prajurit habis babak belur terkena pukulan dan tendangannya. Tapi serangan dan kepungan kepada Lawe masih tidak juga kendor.

Sementara itu beberapa prajurit yang menyerang Raden Wijaya benar-benar dibuat bingung. Dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh pandangan mata biasa, Raden Wijaya seperti menghilang dari kepungan. Dan tiba-tiba saja sudah ada dibelakang salah satu prajurit yang naas langsung kena pukulan dari Raden Wijaya yang tidak menggunakan tenaga cadangannya. Tapi tetap saja prajurit itu langsung roboh merasakan tulang iganya seperti patah.

Tidak seperti Lawe atau Raden Wijaya. Mahesa Amping bertempur seperti orang yang tidak mengenal ilmu kanuragan. Mahesa Amping tanpa senjata bergerak sejadi-jadinya membuat para prajurit yang menyerangnya menjadi penasaran. Tidak satupun serangan senjata pedang mereka mengenai sasaran. Mahesa Amping mengelak sejadinya bahkan menyerang dengan seperti asal-asalan, tapi selalu serangannya itu menimbulkan korban. Seperti tendangan langkah kaki kuda menyepak kebelakang telah mematahkan pergelangan tangan seorang prajurit, pedang ditangannya langsung terlepas. Sementara ketika ia mengelak seperti tersungkur menabrak badan salah seorang prajurit yang langsung roboh sesak napas seperti tertabrak sebuah gunung batu.

Bukan main penasarannya ketujuh orang prajurit yang mengeroyok Lawe. Tidak ada satu pun serangan yang dapat menembus dan melukai Lawe yang bergerak begitu lincah dan cepat seperti burung sikatan meliuk di antara sabetan dan ayunan pedang panjang. Setelah sekian lama menyerang, tenaga ketujuh prajurit itu pun semakin menyusut. Sementara Lawe tidak juga terlihat kelelahan sedikit pun. Akhirnya Lawe tidak ingin bermain terus, karena tenaganya akan dapat ikut terkuras, berpikir demikian Lawe telah meningkatkan tataran ilmunya, maka yang terjadi adalah benar-benar menghebohkan,dalam sebuah gebrakan, tiga orang prajurit langsung roboh pingsan.

Melihat tiga orang temannya begitu cepat roboh hanya dalam satu gebrakan, keempat prajurit menjadi bimbang, apakah mereka masih mampu menghadapi Lawe hanya dengan berempat. Ketika mereka masih dalam keadaan bimbang, seorang sudah kembali dirobohkan oleh Lawe hanya dengan sebuah tendangan melingkar langsung menyambar dadanya. Sementara itu, sebagaimana Lawe. Raden Wijaya juga sudah merasa lama bermain-main. Dengan kecepatan yang sukar diterima oleh pandangan kasat mata. Tiga orang prajurit sudah terlempar merasakan pukulan dan tendangan yang entah dari mana datangnya. Tiga orang prajurit langsung roboh pingsan.

Tidak seperti Lawe dan Raden Wijaya. Mahesa Amping masih tetap melakukan permainannya. Melakukan gerakan semaunya dan seperti asal-asalan. Tapi akibatnya memang luar biasa. Lima Prajurit terlihat berbaring tidak mampu bangkit berdiri karena merasakan badannya remuk, tulangnya seperti patah dan ngilu.

“Apakah kamu masih punya tenaga untuk bermain?”, berkata Mahesa Amping dengan tersenyum kepada seorang prajurit, seorang perwira tinggi yang masih tetap menyerang meski hanya tinggal seorang diri.

“Sebagai prajurit, kematian bukan sebuah hal yang menakutkan”, berkata perwira itu sambil terus mengayunkan pedangnya.

Diam-diam Mahesa Amping mengagumi sikap perwira itu. Begitu setia kepada tugasnya dan tidak takut mati. Seorang prajurit yang berjiwa ksatria. Itulah sebabnya Mahesa Amping tidak begitu bernafsu untuk merobohkannya apalagi melukainya. Mahesa Amping tengah berpikir untuk menaklukkannya dengan cara yang lain.

Dalam sebuah kesempatan, Mahesa Amping melompat beberapa langkah menjauh. “Kisanak. Lihatlah batu besar itu”, berkata Mahesa Amping menunjuk kesebuah batu sebesar kerbau tidak jauh dari mereka berdua berdiri.

Ketika perwira itu melihat ke arah batu yang ditunjuk oleh Mahesa Amping. Maka dengan sebuah sorotan pandangan mata, tidak dengan kekuatan penuh, hanya seperlima dari kekuatannya, batu itu telah pecah berkeping-keping. Perwira itu menatap Mahesa Amping seperti tidak percaya.

“Aku dapat membunuh pasukan segelar papan hanya dengan sekali sapuan pandangan mata”

“Menyerahlah !!”, berkata Mahesa Amping dengan suara yang berwibawa serta sorat mata yang tajam menakutkan.

Bergetar rasa jantung Perwira itu menatap mata Mahesa Amping. Dalam hati berpikir bahwa ternyata Pemuda dihadapannya adalah seorang yang berilmu tinggi. Tapi tidak menggunakan ilmunya yang sebenarnya. Yakinlah bahwa pemuda dihadapannya orang yang berhati bersih dan telah berusaha lunak menghadapi para prajurit yang berusaha menangkapnya, bahkan membunuhnya sesuai perintah Raja Jayakatwang.

“Terima kasih atas kebaikanmu anak muda, aku menyerah”, berkata Perwira itu sambil menjatuhkan pedangnya.

“Suruh semua kawanmu menyerah”, berkata Mahesa Amping dengan suara yang masih penuh wibawa karena sedikit dilambari tenaga cadangan yang langsung menggetarkan dada perwira itu.

“Lemparkan senjata kalian, menyerahlah”, berkata perwira itu dengan suara lantang.

Mendengar suara pemimpinnya yang memerintahkan untuk menyerah, tanpa menunggu perintah kedua kalinya, tiga orang prajurit yang masih berhadapan dengan bimbang melawan Lawe langsung melemparkan senjatanya.

Sementara itu empat orang prajurit yang melawan Raden Wijaya yang sedang setengah putus asa menjadi bulan-bulanan pukulan Raden Wijaya seperti orang yang kepanasan mendapatkan datangnya hujan. Mereka langsung melempar senjatanya, gembira ikut menyerah

!!!!.

“Katakan pada Rajamu, ini cuma sekedar peringatan atas peristiwa di Pulau Madhura dan pembakaran galangan di Bandar Cangu. Kami dapat melakukan jauh lebih besar lagi !!”, berkata Raden Wijaya dengan lantang ketika dua pedati yang memuat beberapa prajurit yang terluka mulai bergerak diiringi beberapa prajurit yang lesu berjalan meninggalkan pedang mereka yang masih tergeletak.

Jalan di tengah hutan yang jauh dari gerbang kota itu kembali seperti sunyi. Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe telah jauh meninggalkan Tanah Gelanggelang.

Ternyata apa yang terjadi di jalan ditengah hutan itu tidak lepas dari perhatian tiga pasang mata yang terus mengintai.

“Pemuda itukah yang membunuh kakakku ?”, bertanya seorang yang sudah berumur kepada dua  orang pemuda yang menyertainya.

Jalur perdagangan antara Tanah Gelang-gelang ke Kediri memang sudah ramai. Beberapa padukuhan di jalur perdagangan itu sepertinya ikut tumbuh berkembang. Mahesa Amping, Raden Wijaya telah singgah di sebuah pasar kademangan Kedungjati. Tampaknya pasar itu tempat persinggahan beberapa saudagar.

“Berikan kami hidangan terbaik di kedai ini”, berkata Lawe kepada seorang pelayan pria di sebuah kedai yang cukup ramai.

“Pelayan!!”, berkata sambil menghampiri kepada pelayan itu seorang pria yang sudah cukup berumur namun masih nampak kekar.

“Berikan tuan muda ini makanan yang terbaik di kedai ini, besok pagi mereka sudah tidak lagi dapat menikmatinya”, berkata pria itu kepada seorang pelayan sambil melirik kepada Mahesa Amping.

“Kenapa Kisanak begitu mudah menentukan umur kami?”, berkata Mahesa Amping yang merasa bahwa pria asing ini sengaja akan membuat sebuah ulah.

“Karena kamu berutang nyawa guru kami”, berkata seorang pemuda yang datang bersama saudaranya yang terlihat mirip, ternyata dua pemuda yang berjuluk sepasang iblis dari Gelang-gelang.

“Pamanku akan membuat perhitungan denganmu”, Berkata Prastawa dengan mata penuh kebencian.

“Nanti malam, saat bulan purnama, kutunggu kamu di puncak bukit Jati”, berkata pria itu yang mengaku adik dari Empu Gelian yang pernah dikalahkan dan terbunuh oleh Mahesa Amping di Pulau Madhura.

Sepasang iblis dari Gelang-gelang dan pamannya telah meninggalkan kedai.

Kepada seorang pelayan, Mahesa Amping bertanya tentang arah menuju puncak bukit Jati. Maka ditunjukkannya oleh pelayan itu arah menuju puncak bukit Jati. “Di puncak bukit Jati ada lingga persembahan Dewa Syiwa, apakah tuan akan melakukan persembahan kesana?”, bertanya pelayan itu menanyakan maksud tujuan Mahesa Amping menanyakan tempat itu.

“Benar, kami akan melakukan persembahan ke tempat itu”, berkata Mahesa Amping agar tidak ada pertanyaan lain lagi.

Setelah menyelesaikan hidangan yang telah disediakan, Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya terlihat keluar dari kedai itu.

Puncak Bukit Jati memang tidak begitu jauh dari kedemangan Kedung jati yang terletak dibawah kaki bukit Jati. Sebuah Kademangan yang cukup subur dan menjadi sebuah tempat persinggahan yang ramai karena merupakan pertengahan jarak antara Kediri dn tanah Gelang-gelang.

Hari masih begitu terang dan senja masih lama untuk dinantikan. Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya tidak langsung ke Puncak Bukit Jati. Mereka masih melihat-lihat keadaan pasar yang masih ramai.

Di pojok pasar ada sebuah rumah pandai besi yang tengah sibuk mengerjakan beberapa pesanan senjata.

“Pasti pesanan dari Tanah Gelang-gelang”, berkata Lawe ketika melihat seorang pande besi tengah menempa lempengan besi.

“Tanah gelang-gelang tengah membangun sebuah pasukan yang kuat”, berkata Raden Wijaya.

Mahesa Amping nampak merenung, terbayang beberapa pertempuran yang telah terjadi sejak ia berada di Padepokan Bajra Seta. Terbayang mayat-mayat yang tergeletak, beberapa tubuh yang terluka. Tiba-tiba terlintas sebuah pertempuran besar dalam bayangan Mahesa Amping. Sebuah pertempuran besar yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Nampak begitu jelas seorang panglima perang yang gagah perkasa yang ia sangat kenal sekali yang tidak lain adalah Raden Wijaya. Sementara seorang panglima pengapitnya adalah seorang pemuda dengan wajah begitu pucat yang terlihat gemetar memegang pedangnya sendiri.

“Siapakah pemuda itu?”, bertanya Mahesa Amping pada dirinya sendiri.

Mahesa Amping tersentak kaget ketika bahunya ditepuk oleh sesorang. “Hari sudah hampir senja,  saatnya kita berangkat ke Puncak Bukit Jati”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping sambil menepuk bahunya.

Maka Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya terlihat tengah mendaki Bukit Jati. Ketika mereka tiba di puncak bukit Jati, matahari sudah tenggelam di barat. Cahaya senja telah menyelimuti puncak Bukit Jati yang datar penuh di tumbuhi ilalang panjang. Sebuah lingga terlihat ditengah tanah datar. Ada altar batu tempat persembahan didepan batu lingga. Angin berhembus keras di atas puncak bukit jati merebahkan batang ilalang, menerbangkan daun-daun kering.

“Kita beristirahat di sini”, berkata Lawe sambil bersandar di batang pohon ambon yang rindang. Satusatunya pohon yang tumbuh di tanah puncak bukit Jati.

“Semoga mereka tidak membawa banyak orang”, berkata Mahesa Amping

“Apa yang kamu takutkan ?”, bertanya Lawe. “Yang kutakutkan adalah akan banyak jatuh korban”, berkata Mahesa Amping.

Dan waktu terus berlalu.

Sambil beristirahat Mahesa Amping masih dipenuhi rasa kebimbangan.”Pria itu menuntut hutang nyawa padaku. Dan pertempuran ini bukan yang terakhir, di belakang menunggu tuntutan yang sama, dari mereka yang masih merasa punya kewajiban atas sebuah hutang nyawa”.

Dan waktu terus berlalu.

Suara angin mulai sedikit menyusut bersama datangnya keremangan malam.Bulan bulat muncul di ujung timur bersama cahaya redup bintang-bintang kecil. Purnama di puncak bukit jati begitu sepi dan mencekam dalam kesenyapan malam.

Terdengar suara anjing melolong panjang dari bawah lereng bukit sepertinya ikut menambah suasana semakin mencekam.

Dan waktu terus berlalu.

Bulan bulat penuh telah menggantung di puncak langit malam. Cahaya purnama dan kerlip laksaan bintang diatas puncak bukit jati seperti sebuah panggung pagelaran yang kosong dalam debar penungguan yang panjang.

Tiga sosok tubuh terlihat muncul dari lereng bukit sebagai tiga bayangan hitam dibawah cahaya purnama datang mendekati mereka.

Setelah mendekat, terlihat jelas siapakah mereka yang ternyata adalah dua orang iblis dari Gelang-gelang bersama pamannya. “Kukira kamu akan lari jauh menghindari pertempuran”, berkata pria yang dipanggil paman oleh dua pemuda yang menyertainya.

“Seperti yang kisanak lihat, disini aku menunggu pertempuran itu”, berkata Mahesa Amping penuh percaya diri.

Melihat ketenangan Mahesa Amping, pria yang dipanggil paman oleh sepasang iblis dari gelang-gelang itu menjadi semakin terbakar bara api dendamnya. Sampai saat itu orang itu masih belum yakin bahwa Empu Geilian kakaknya itu kalah karena ilmunya  dibawah anak muda ini. Orang itu masih berpikir bahwa Empu Gelian kalah karena kelengahan dan ketidak sengajaan atau boleh dibilang nasibnya lagi naas hingga dapat dikalahkan oleh pemuda belia ini.

“Jangan kau kira setelah dapat mengalahkan kakakku, kamu merasa telah mempunyai ilmu yang mumpuni, jangan-jangan kakakku kalah hanya karena kelicikanmu”, berkata pria itu.

“Aku memang telah membunuh empu Gelian, tapi yang kulakukan adalah sebatas membela diri. Dan bukan sebuah kelicikan”, berkata Mahesa Amping membela diri.

Di Tanah Gelang-gelang tidak ada seorang pun yang berani berurusan dengan pria ini yang biasa di panggil Ki Rante, mungkin karena senjata andalannya berupa sebuah cambuk rantai baja kecil. Meski lebih muda dari Empu Gelian, tapi dari sisi tataran ilmu, Ki Rante tidak dapat dikatakan dibawah Empu Gelian. Karena Ki Rante tidak hanya berguru di Padepokan Gelang-gelang, dalam pengembaraannya telah banyak mengambil ilmu dari beberapa guru.

“Di tanah Gelang-gelang orang memanggilku Ki Rante, tidak seorang pun yang berani berurusan denganku”, berkata Ki Rante berharap pemuda ini pernah mendengar namanya yang sangat disegani di Tanah Gelang-gelang.

“Maaf Ki Rante, baru kali ini aku mendengar nama itu”, berkata jujur Mahesa Amping yang memang baru mengenal nama Ki Rante.

Bukan main gusarnya Ki Rante mendengar ucapan Mahesa Amping yang tidak menjadi gentar mendengar namanya. Perutnya terasa diaduk-aduk saking begitu marah dan gusarnya.

“Hari ini aku akan membuatmu menyesal seumur hidupmu telah berani berurusan denganku”, berkata Ki Rante yang telah mengurai cambuk rantai dari pinggangnya. Sebuah cambuk yang terbuat dari rantai baja kecil yang diujungnya terikat sebuah gelang yang tipis dan tajam.

Melihat Ki rante telah mengeluarkan senjatanya, Mahesa Amping mengeluarkan senjata andalannya, sebuah belati pendek. Jarang sekali Mahesa Amping menggunakan senjatanya, hanya pada keadaan tertentu dan terpaksa.

Dan menghadapi lawannya kali ini Mahesa Amping tidak berani menganggap sepele. Getar jiwanya merasakan bahwa Ki Rante bukan lawan yang ringan.

Melihat Ki rante telah menjurai cambuknya, sepasang iblis dari Gelang-gelang mundur memberi jarak.

Sementara itu Raden Wijaya dan Lawe dengan dada yang berdebar ikut mundur menjauh, namun tetap waspada menjaga setiap kemungkinan yang dapat saja terjadi, terutama berjaga-jaga apabila sepasang iblis dari Gelang-gelang akan berbuat licik.

“Bersiaplah”, berkata Ki rante sambil memutar cambuk rantainya yang semakin lama terlihat menjadi semakin kencang berputar.

Wuss !!

Tiba-tiba saja cambuk Ki Rante melejit menyambar wajah Mahesa Amping. Dengan sigap Mahesa Amping bergeser kesamping. Karena mengenai tempat yang kosong, cambuk Ki Rante di tarik kebelakang sedikit dan seperti ular hidup cambuk itu mengejar mematuk ke arah Mahesa Amping yang baru saja bergerak bergeser kesamping.

Kali ini Mahesa Amping memang tidak sempat lagi menghindar, maka yang dilakukannya adalah menangkis cambuk rantai itu dengan belati pendeknya disertai sedikit tenaga cadangan.

Trang !!

Dua senjata telah berbentur membentuk percikan sinar api.

Kaget sekali Ki Rante merasakan getaran pada tangannya.

“Jangan merasa hebat dulu”, berkata Ki Rante sambil memutar cambuk rantai besinya. Kali ini terlihat lebih cepat dari sebelumnya.

Wuss !!

Kali ini cambuk Ki Rante bergerak menyambar berputar-putar ke arah Mahesa Amping dengan kecepatan tinggi.

Mahesa Amping langsung melenting. Tapi cambuk Ki Rante benar-benar nggenggirisi, cambuk itu seperti bermata terus mengejar kemana pun Mahesa Amping menghindar.

Akhirnya Mahesa Amping mengambil keputusan untuk tidak hanya mengelak menghindari serangan, karena akan merugikannya bila dilakukannya terus menerus, apalagi serangan Ki Rante bukan sembarang serangan, sebuah serangan yang cepat dan berubahubah arah seperti bermata menyerang pada titik kelemahan lawan.

Pada serangan berikutnya, Mahesa Amping melenting mengelak sebuah serangan dan langsung menyusup mendekati tubuh lawan menyabet pergelangan tangan Ki Rante dengan sabetan yang cepat.

Terkesiap Ki Rante mendapat serangan balik yang begitu cepat.

Dengan cepat menarik tangannya kesamping sambil meluncurkan sebuah tendangan ke arah perut Mahesa Amping, sementara itu cambuknya berbalik arah mengejar punggung Mahesa Amping.

Mendapatkan dua serangan dari arah yang berbeda sekaligus, Mahesa Amping melompat kesamping. Tendangan dan mata cambuk telah mengenai tempat kosong. Tapi Mahesa Amping tidak hanya melompat kesamping. Tangannya yang kuat telah memukul cambuk searah gerakannya.

Akibatnya memang mendebarkan, cambuk itu telah bergerak menjadi lebih cepat dari sebelumnya mengejar si empunya. Bukan main kagetnya Ki Rante melihat cambuknya sendiri meluncur mengejar dirinya. Tapi bukan Ki Rante yang tidak bisa menghindar dari senjatanya sendiri. Dengan menundukkan kepalanya, cambuk itu melesat diatas kepalanya. Dan dengan menggunakan kecepatan dan kekuatan cambuk yang tengah meluncur, Ki Rante sudah dapat menguasai senjatanya yang langsung berbalik arah mengayun mengejar Mahesa Amping. Demikianlah pertempuran setahap demi setahap terus meningkat menjadi semakin menegangkan dan menjadi semakin seru.

Berdebar jantung Raden Wijaya melihat pertempuran itu. Berharap Mahesa Amping tetap waspada. Sebagai seorang sahabat yang sering berlatih bersama, Raden Wijaya melihat Mahesa Amping masih terus menjajagi tataran ilmu lawan. Mahesa Amping masih dalam pertengahan tataran ilmunya.

Sebagaimana yang dilihat oleh Raden Wijaya, Mahesa Amping masih terus mengimbangi tataran ilmu lawannya, selapis demi selapis meningkatkan tataran ilmunya sejalan dengan kecepatan dan kekuatan Ki Rante yang terus meningkatkan tataran ilmunya dengan rasa penuh penasaran bahwa pemuda ini masih dapat menghindari serangannya, bahkan dapat dengan cepat melakukan serangan balik dengan tidak kalah dahsyatnya.

“Rasakan awan panasku”, berkata Ki Rante sambil mengayunkan cambuknya dengan melambari dengan ilmu simpanannya. Kali ini cambuk meluncur bersama angin panas yang datang mendahului.

Terkesiap Mahesa Amping merasakan angin panas membakar tubuhnya, untungnya Mahesa Amping sudah melambari dirinya dengan kekebalan, jadi hawa panas itu hanya sedikit membakar kulit luarnya, tetapi tetap saja Mahesa Amping merasakan sedikit rasa perih. Rasa  perih itulah yang memancing naluri bawah sadarnya bergerak dengan sendirinya menghalau kekuatan lawan berupa hawa dingin yang kuat, bukan hanya  menawarkan hawa panas yang ada di sekitarnya, tapi hawa dingin itu seperti menghentak membekukan jantung lawannya.

Terkesiap Ki Rante merasakan hawa dingin yang begitu kuat. Tidak ada jalan lain selain menghentakkan tataran ilmunya lebih tinggi.

Cambuk Ki Rante telah berubah seperti bara yang menyala berputar putar mengejar Mahesa Amping. Merasakan bahwa Ki Rante telah menghentakkan tataran ilmunya, sambil menghindar dari serangan lawannya, Mahesa Amping langsung melakukan serangan balik dengan menghentakkan tataran ilmunya selapis lebih tinggi. Berusaha meredam kekuatan lawan.

Kembali Ki rante merasakan tubuhnya diliputi hawa dingin yang mencekat, hampir saja jantungnya ikut berhenti berdetak kalau saja tidak melompat jauh keluar dari arena pertempuran.

Mahesa Amping tidak berusaha mengejar. Masih berdiri dengan sikap yang utuh penuh kepercayaan diri memandang Ki Rante dengan sorot mata yang tajam.

“Wajarlah bila kangmas Gelian dapat dikalahkannya. Kekuatan ilmunya mampu melampaui aji awan panasku”, berkata Ki Rante dengan mata tidak berkedip memandang Mahesa Amping yang masih berdiri di tengah arena menantinya.

“Bukan maksudku merendahkanmu Ki Rante, aku dapat melakukan jauh dari apa yang kau kira”, berkata Mahesa Amping dengan menghentakkan kekuatan yang tersembunyi lewat suaranya. Bukan main kagetnya Ki Rante, suara Mahesa Amping seperti menggoncang seisi dadanya. Meski ia berusaha meredamnya dengan sepenuh kekuatan yang ada, tapi suara itu tetap saja dapat menyusup. Tanpa sengaja Ki Rante merenggut dadanya dengan kedua tangannya menahan rasa sakit yang menghentak dadanya, cambuknya sudah dilepaskan dari tangannya.

Raden Wijaya dan Lawe yang ada di dekat arena itu pun ikut merasakan getaran suara itu, meski bukan menjadi sasaran arah kekuatan suara itu sendiri. Diamdiam memuji sahabatnya yang bukan hanya dapat melontarkan kekuatan lewat sorot matanya, kali ini telah memperlihatkan ilmunya yang lain lewat suara.

Apa yang dirasakan Raden Wijaya dan Lawe, ternyata dirasakan juga oleh Sepasang iblis dari Gelanggelang. Wajahnya menjadi pucat. Diam-diam menyadari, selama ini Mahesa Amping telah berusaha lunak menghadapi ulah mereka.

Untungnya Mahesa Amping telah banyak belajar dengan pengalaman bathinnya, telah dapat menguasai pikirannya sendiri sebagaimana pernah terjadi ketika berhadapan dengan Empu Gelian dimana pikirannya telah berbuat diluar kemauannya.

Mahesa Amping telah berjalan menghampiri Ki Rante

“Apakah Ki Rante masih ingin melanjutkan pertempuran ini?”, bertanya Mahesa Amping kepada Ki Rante. Kali ini Mahesa Amping tidak melontarkan kekuatan ilmunya lewat suaranya. Mahesa Amping bertanya dengan suara yang sewajarnya.

Ki Rante tidak langsung menjawab, terlihat bersila mengatur pernapasannya berusaha mengembalikan kekuatan dirinya. Ketika dirasakan dadanya sudah tidak menjadi sesak, Ki Rante membuka perlahan kelopak matanya. Menarik napas panjang merasakan udara dingin masuk mengisi rongga dadanya begitu lancar dan menyegarkan.

“Terima kasih telah berlaku lunak padaku, memberi kesempatan hidup kepadaku yang bodoh ini, yang tidak mengenal Gunung Agung di depan mata”, berkata Ki Rante tulus dari hatinya sendiri.

“Ki Rante, aku ingin berterus terang kepadamu. Seandainya datang kepadaku Maha Dewa menawarkan kepadaku sebuah pilihan yang dapat dikabulkan, maka yang kuminta adalah pengulangan dua detik saat Empu Gelian belum terbunuh oleh kekuatanku sendiri. Ki Rante telah kehilangan seorang saudara kandung, sementara seumur hidupku diliputi mimpi penyesalan”, berkata Mahesa Amping sepertinya mengungkapkan segala penderitaan bathin yang selama ini selalu menggayuti jiwanya.

“Maafkan aku anak muda, aku yang tua menjadi malu telah mengikuti rasa keangkuhan diri, mengikuti rasa malu apa kata orang bila aku yang terkenal ini tidak menuntut balas, seharusnya aku berkaca kepada hati yang bersih, agar dapat mengikuti apa kata hati tentang kebenaran yang hakiki. Kangmas Gelian telah dibeli untuk berbuat sebuah keonaran. Bila aku membelanya itu sama artinya membenarkan sebuah keonaran. Tapi aku yang tua ini tidak pernah mau berkaca dan mendengar apa kata hati”.

“Gusti yang Maha Karsa, Gusti yang Maha Hidup telah bersemayam dalam hati dan jiwa yang bersih sebagai Syiwa dan Budha”, berkata Mahesa Amping sambil menjura kepada Ki Rante. “Kata-katamu adalah kedamaian, berbahagialah siapa pun yang selalu bersamamu”, berkata Ki Rante penuh hormat dan kagum atas sikap Mahesa Amping.

Sementara hari sudah sedikit lagi menyisakan ujung malam yang terpotong, sebentar lagi pagi menjelang. Terlihat Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya telah menuruni Puncak Bukit Jati diiringi pandangan mata dari Ki Rante, Prastawa dan Praskata yang akhirnya menghilang tertelan jalan yang menurun.

Bintang fajar terlihat berseri di ufuk timur mengawali sang surya yang akan datang mengikuti kewajibannya sebagai pemberi kehangatan dan kehidupan di bumi. Memberikan apa yang harus diberikan.

Sangkala telah membangunkan pagi dalam suara kokok ayam jantan yang saling bersahutan terdengar dari bawah lereng Gunung Jati. Halimun pun pergi berlalu meninggalkan tetes-tetes embun di ujung daun, bunga dan rumput-rumput liar di lereng Gunung Jati seperti butiran-butiran mutiara dalam pantulan sinar matahari pagi.

“Hidup ini ternyata begitu indah”, berkata Mahesa Amping sambil memandang tetes embun pagi yang hampir terjatuh di ujung tangkai kelopak bunga anggrek hitam yang tengah berkembang.

Begitulah bila hati selalu terpaut kepada Yang Maha Hidup, Yang Maha mempunyai Keindahan.

Sementara itu di tempat yang berbeda, warna angkara dendam kesumat masih seperti segores luka basah yang tidak pernah kunjung sembuh. Terus menganga dan bernanah.

“Semua usaha kita meruntuhkan pamor putra mahkota seperti menabrak gunung batu”, berkata seorang kepercayaan Raja Jayakatwang.

“Dan kamu akan juga berkata sebagaimana para Brahmana, para dewa selalu melindungi sang Rajasa serta putra-putranya?”, berkata Raja Jayakatwang dalam kemurkaannya.

“Ampun tuanku, seperti itulah para Brahmana berseloka”, berkata orang kepercayaannya dengan menundukkan kepalanya.

“Buanglah keyakinan itu dikepalamu, akulah sejatinya putra dewata”, berkata Raja Jayakatwang sambil memberi perintah kepada orang kepercayaannya untuk meninggalkannya.

Inilah sebenarnya sumber awal sebuah kekeruhan yang bergema menjadi sebuah dendam kesumat yang tidak mudah dipadamkan dan terus berkobar dalam jiwa Raja Jayakatwang. Hilangnya sebuah singgasana bukan sebuah kehinaan bagi para putra Bangsawan Kediri. Yang mereka rasakan adalah kepahitan atas berpindahnya sabda para Brahmana atas siapa yang berhak disembah sebagai putra darah sejati para Dewata.

“Sabda para Brahmana hanya sebatas seloka, sejati putra Dewata ada didalam hati setiap manusia yang menghambakan diri kepada Gusti Yang Maha Hidup yang bertahta dalam singgasana jiwa dan bersemayam  di hati sebagai sang Syiwa Budha”, berkata Ratu Turuk Bali mencoba meluruskan pemahaman suaminya sebagai buah kasihnya untuk mengenal sejati  hakikat diri.

Tetapi hati Raja Jayakatwang sudah begitu hitam. Sejak lahir telah disusui oleh para pecundang yang kalah dalam sebuah peperangan. Sejak kecil selalu dibisikkan untuk mengembalikan wahyu suci sabda para Brahmana dalam wujud tahta singgasana tempat bersemayamnya para putra Dewata.

“Tempat bersemayamnya para putra dewata ada pada tahta singgasana di Tanah Kediri, itulah yang akan kubuktikan kepada para kawula di seluruh nagari bumi Singasari”, berkata Raja Jayakatwang yang menganggap kata-kata permaisurinya sebagai penghalangan dan persanggahan yang terselubung untuk meredamkan api cita-citanya.

Begitulah bila hati sudah begitu membatu, tidak ada sisi sedikitpun tempat menerima setetes cahaya sejati kebenaran. Sebagaimana tanah tandus, air hujan tidak pernah singgah, datang dan terus menghilang tanpa tersisa.

Dan Raja Jayakatwang sebagai Putra Mahkota angkaranya, terus mengintai area perburuannya, bersembunyi dibalik arah angin dan belukar. Menunggu………………………

“Terlalu”, berkata Mahesa Pukat yang disambut gelak tawa dari semua yang ada di Pendapa Benteng Cangu setelah mendengar cerita mereka ketika berada di Tanah Gelang-gelang.

“Itu kan sesuai arahan dari Paman Kebo Arema sang dalang”, berkata Lawe

“Kalian telah melaksanakan tugas dengan baik”, berkata Pangeran Kertanegara.

“Ada tugas baru menanti kalian”, berkata Mahesa Pukat.

Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe menanti kelanjutan kata-kata Mahesa Pukat.

“Membantu melatih prajurit baru dari pasukan khusus”, berkata Mahesa Pukat melanjutkan katakatanya.

“Kami bangga dapat berbuat sesuatu apapun bagi lahirnya sebuah kerajaan air”, berkata Raden Wijaya.

“Kangmas Mahesa Murti pasti senang mendengarnya, kalian dibutuhkan disini”, berkata Mahesa Pukat.

Setelah beberapa hari di Benteng Cangu, menyaksikan awal pembuatan Benteng baru, Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya mohon ijin untuk kembali ke Padepokan Bajra Seta dan berjanji akan segera datang kembali.

Demikianlah, di Bandar Cangu telah terjadi kesibukan baru. Disamping pembuatan Jung besar yang sudah terlihat mendekati proses akhir. Bersebelahan dengan galangan telah dibangun sebuah benteng baru sebagai pusat pembinaan lahirnya para pasukan khusus yang akan menjadi prajurit pengawal jung besar.

Hari demi hari, siapapun yang berlayar di jalur sungai Brantas yang melewati Bandar Cangu akan melihat sebuah kesibukan yang luar biasa. Melihat jung besar berdiri di atas galangan bersama para suku air yang tengah bekerja. Sementara disisi lain sebuah benteng baru yang besar telah mulai berdiri. Jung besar dan Benteng baru meski belum sempurna terbentuk, tapi sudah terlihat seperti dua raksasa yang berdiri di pinggir sungai Brantas.

“Sebentar lagi, impian Sri Maharaja tentang kerajaan air akan terwujud”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Pukat dan Kertanegara pada suatu malam di Pendapa Benteng Cangu.

“Aku pun sudah tidak sabar berdiri diatas jung besar itu mengarungi lautan”, berkata Kertanegara

“Semoga tidak ada lagi yang datang menggangu”, berkata Mahesa Pukat.

“Kupikir, setelah apa yang dilakukan oleh Raden Wijaya bersama Lawe dan Mahesa Amping, mereka tentu sudah menjadi agak jera”, berkata Kertanegara.

“Apa pendapat Pangeran mengenai singgasana yang kosong di Kediri?”, bertanya Mahesa Pukat ingin tahu pandangan Kertanegara mengenai Kediri.

“Jayakatwang melihat Kediri sebagai pintu gerbang, jadi bukan tujuan akhirnya”, berkata Kertanegara memberikan pandangannya.

“Artinya, bara yang akan berkobar di Tanah Gelanggelang akan menjadi padam dengan sendirinya bila Kediri ada dalam genggaman tangan kita”, berkata Kebo Arema ikut memberikan pandangannya.

“Mudah-mudahan Sri Maharaja sudah dapat membaca perkembangan terakhir di Tanah Gelanggelang”, berkata Mahesa Pukat.

“Secepatnya, Ayahanda harus sudah menyadarinya sebelum terlambat”, berkata Kertanegara

“Kalau begitu, besok kita ke Kutaraja, disamping melaporkan perkembangan pembangunan Jung, kita  juga akan menyampaikan beberapa hal mengenai Tanah Gelang-gelang”, berkata Kebo Arema kepada Kertanegara.

Demikianlah keesokan harinya Kebo Arema dan Kertanegara telah berangkat ke Kutaraja.

“Kutitipkan sementara pembangunan di Bandar Cangu ini, dua tiga hari”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Pukat ketika meninggalkan Benteng Cangu.

Siang itu telah menandai harinya dengan cuaca yang cerah. Jalan sepanjang jalur antara Bandar Cangu dan Kutaraja sudah ramai dilalui pedati para saudagar. Beberapa Padukuhan dan pasar kecil di sepanjang jalan tumbuh seperti jamur di musim hujan, muncul meramaikan suasana sepanjang perjalanan sebagai tempat persinggahan.

“Sebuah perjalanan yang menyenangkan”, berkata Kertanegara kepada Kebo Arema ketika baru saja keluar dari persinggahan di sebuah kedai di tengah perjalanannya.

“Semoga apa yang kita lihat dan kita rasakan, juga menyelimuti seluruh bumi Singasari”, berkata Kebo Arema.

“Sayangnya masih ada orang yang tidak menyukai bumi Singasari dalam kedamaian”, berkata Kertanegara.

“Masih ingat pesan Empu Dangka tentang Putra Mahkota Raja Angkara?”, bertanya Kebo Arema sambil memandang jauh ke depan, dibiarkannya kudanya berjalan sendiri.

“Kecil menjadi teman, besar menjadi musuh”, berkata Kertanegara mengingat kembali perkataan gurunya Empu Dangka mengenai hakikat nafsu yang ada didalam diri yang digambarkan sebagai Sang Putra Mahkota Raja Angkara.

“Alam alit adalah cermin untuk melihat alam besar dijagat raya, dan kita dilahirkan sebagai Ksatria dititipkan menjaganya dalam damai”, berkata Kebo Arema sambil memandang matahari yang sudah bergeser jatuh ke barat.

“Matahari telah semakin ke barat”, berkata Kebo Arema sambil sedikit menepuk kudanya agar berjalan sedikit lebih cepat lagi.

Dan sedikit lebih cepat mereka tiba di Kutaraja di saat senja menatap bumi dalam warna abu-abu bening. Sebening tatapan Padmita sang kekasih menyambut kedatangan Pangeran pujaan hatinya.

“Sri Maharaja meminta aku mengunjunginya”, berkata Kebo Arema kepada Pangeran Kertanegara mohon diri menemui Sri Maharaja.

“Jangan tidur di Gardu ronda”, berkata Pangeran Kertanegara mengingatkan kebiasaan Kebo Arema menyisakan malamnya bersama para pengawal istana di gardu ronda.

Terlihat Kebo Arema diantar seorang pengawal raja menyusuri lorong taman menuju bangsal istana.

“Kapan paman tiba?”, bertanya seorang prajurit pengawal istana yang berpapasan.

“Di saat senja, nanti aku mampir di gardumu”, berkata Kebo Arema yang mengenal prajurit pengawal istana itu.

Akhirnya Kebo Arema telah tiba di bangsal istana dimana Sri Maharaja telah menunggunya.

“Selamat datang sahabatku raja lautan”, berkata Sri Maharaja menyambut kedatangan sahabatnya Kebo Arema.

“Semoga kesejahteraan selalu meliputi sahabatku penguasa bumi”, berkata Kebo Arema penuh persahabatan.

Setelah menyampaikan berita tentang keselamatan masing-masing, banyak hal yang ditanyakan Sri Maharaja terutama mengenai pembangunan Jung besar di tepian sungai Brantas. Dan ternyata Sri Maharaja banyak mengetahui dari para petugas sandinya semua kejadian di Bandar Cangu, termasuk peristiwa pembakaran galangan.

“Aku memang telah banyak mendengar dan mengetahui, aku hanya ingin mendengar pandanganmu mengenai beberapa peristiwa itu”, berkata Sri Maharaja.

“Ada asap ada api, apakah tuanku tidak merasakannya?”, bertanya Kebo Arema.

“Aku ada diantara api itu. Bagaimana aku dapat melihatnya bila aku sendiri berada didalamnya”, berkata Sri Maharaja. “Kamulah yang kuharapkan mengurai pandanganmu”.

“Menurut hamba, selama tuanku masih hidup, bara itu tidak akan menjadi besar”, berkata Kebo Arema

“Apa yang dapat aku lakukan, agar bara itu tidak menghanguskan bumi Singasari setelah ketiadaanku ?”, bertanya Sri Maharaja

“Jangan berikan singgasana Kediri kepada siapapun, kecuali kepada orang sendiri yang dapat diyakini kesetiaannya”, berkata Kebo Arema.

“Sebut sebuah nama”, berkata Sri Maharaja sambil tersenyum sepertinya telah menangkap semua ucapan Kebo Arema.

“Hamba menyerah, ternyata tuanku telah menjebak hamba”, berkata Kebo Arema. “Ternyata pandanganku telah engkau katakan dengan sebenarnya, aku tidak bermaksud menjebakmu, hanya sekedar meyakinkan apakah pandanganku masih ada didalam ketidak keberpihakan”, berkata  Sri Maharaja.

“Jadi hamba tidak perlu menyebut sebuah nama?”, berkata Kebo Arema mencoba menengok isi hati Sri Maharaja lebih jauh lagi.

Sri Maharaja tersenyum.

“Biarlah untuk sampai saat ini kita tidak usah menyebut sebuah nama, simpanlah nama itu untuk sampai saatnya tiba”, berkata Sri Maharaja masih dengan wajah penuh senyum yang hanya diketahui oleh Kebo Arema seorang.

Malam pun telah merayapi cakrawala langit diatas istana Singasari ketika Kebo Arema pamit dan meninggalkan Bangsal Istana.

Ternyata, Kebo Arema tidak kembali ke biliknya yang telah disediakan, seperti apa yang di katakan oleh pangeran Kertanegara, di sebuah gardu jaga Kebo Arema singgah menemui beberapa prajurit pengawal yang sudah dikenalnya dengan akrab.

“Bolehkah aku si pengelana tua yang dahaga turut menikmati hangatnya wedang jahe di malam sedingin ini?”, berkata Kebo Arema kepada tiga orang prajurit pengawal di sebuah gardu jaga.

“Tentu saja bila dibayar dengan sebuah cerita tentang para dara cantik di Tanah melayu yang menari menyambut para tamu asing yang singgah di rumah tuak”, berkata seorang prajurit pengawal yang telah mengenal Kebo Arema yang biasanya tidak pernah habis bercerita tentang petualangannya di tanah seberang.

Dan seperti biasanya, ketika pagi sudah menjadi terang, Kebo Arema masih terlihat melingkar di gardu jaga. Tidak ada seorang pun yang berani membangunkannya kecuali bibi tua dayang pengasuh di Bangsal Pangeran yang terpaksa membangunkannya karena Pangeran Kertanegara telah menunggunya di meja makan untuk sarapan pagi bersamanya.

Seperti yang dijanjikan kepada Mahesa Pukat, dua tiga hari mereka akan kembali ke Bandar Cangu.Hanya tiga hari Kebo Arema dan Pengeran Kertanegara di Kutaraja. Pikiran dan hati mereka memang sepertinya sudah terpaut dengan Jung besar ditepian sungai Brantas.

Pagi itu dua ekor kuda terlihat keluar dari gerbang kota. Bumi Kutaraja yang berbukit dan sejuk sepertinya telah mengenal setiap langkah kaki mereka yang tidak lain adalah Kebo Arema dan Pangeran Kertanegara yang akan kembali ke Bandar Cangu.

Terlihat langkah kaki kuda mereka semakin menjauh meninggalkan debu di jalan dan menghilang diujung jalan yang menurun.

Pada saat yang sama, jauh dari Kutaraja, tiga ekor kuda nampak baru keluar dari sebuah hutan kecil. Mereka adalah Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya menunggang kudanya masing-masing dalam wajah penuh ceria.

Sebagaimana diceritakan dimuka, mereka ke Padepokan Bajra untuk mohon doa restu kepada ketua Padepokan yaitu Mahesa Murti untuk membantu terwujudnya sebuah pasukan baru yang akan menjadi prajurit pengawal Jung besar yang tengah dibangun di Bandar Cangu. Mahesa Murti tidak keberatan, bahkan menjadi bangga bahwa kehadiran murid Padepokan Bajra Seta dapat berguna dan dibutuhkan.

“Berjanjilah untuk menjaga nama baik Padepokan Bajra Seta”, demikian ucapan Mahesa Murti melepas keberangkatan Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya.

Matahari siang itu terhalang awan, padang ilalang seperti dipayungi keteduhan. Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya terus memacu kudanya. Menikmati angin segar berhembus di lereng hijau pegunungan, merasakan keramahan para warga padukuhan disepanjang perjalanan. Mereka seperti tiga ekor elang muda terbang dalam kebebasannya.

Sementara itu pembangunan barak prajurit di dekat galangan telah hampir selesai. Pembangunan yang dilakukan oleh banyak orang, terutama para prajurit di Benteng Cangu yang dikerahkan oleh Senapatinya sendiri yaitu Mahesa Pukat menjadikan barak besar itu menjadi lebih cepat dari yang diperkirakan.

“Terima kasih telah mewakili kami mengawasi pembangunan barak dan Jung”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Pukat ketika telah tiba di Bandar Cangu dan melihat langsung pembangunan barak dan jung setelah beberapa hari ditinggalkannya bersama Pangeran Kertanegara.

Hanya berselisih satu hari setelah Kabo Arema dan Pangeran Kertanegara tiba di Benteng Cangu. Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya menyusul telah tiba kembali di Benteng Cangu.

“Seluruh warga titip salam untuk Kangmas”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Pukat ketika baru saja tiba dari perjalanannya.

Cahaya beberapa oncor yang dipasang di antara sudut kanan dan kiri dinding pagar dalam Benteng  Cangu telah menerangi halaman di depan pendapa utamanya yang luas dan lengang. Beberapa prajurit yang bertugas jaga dimalam hari terlihat sudah berada di panggungan.

Terlihat di Pendapa utama beberapa orang masih tengah berbincang.

“Kalian tiba tepat waktu, dua hari lagi barak prajurit akan selesai”, berkata Mahesa Pukat kepada Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya.

“Sebentar lagi barak itu akan menjadi ramai dipenuhi tiga ratus prajurit muda”, berkata Kebo Arema.

“Dan tiga pelatih muda”, berkata pengeran Kertanegara sambil melirik Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya.

“Saat ini sudah ada dua puluh lima orang pemuda yang tiba lebih awal dari beberapa daerah, untuk sementara mereka ditampung di Benteng ini”, berkata Mahesa Pukat.

“Mudah-mudahan barak baru segera selesai, agar ransum prajurit di Benteng ini tidak banyak terganggu”, berkata Raden Wijaya.

“Untuk sebuah kesejahteraan dan keamanan di bumi Singasari, tidak akan membuat miskin Sri Maharaja”, berkata Kebo Arema.

“Di Kutaraja, Bendahara Kerajaan telah memberi bekal kepadaku, jadi kita tidak perlu khawatir kekurangan selama disini”, berkata Pangeran Kertanegara. “Ketika pamit dari Bangsal Istana, Sri Maharaja juga memberiku bekal sangu, aku bingung untuk kugunakan apa, sementara sangu yang lalu masih belum terpakai”, berkata Kebo Arema seperti orang bingung.

“Paman tidak perlu bingung, menjamu kami di kedai nasi bakar Pakde Widura di ujung Pasar Bandar Cangu setiap malam, pasti sangu Paman akan berkurang”, berkata Raden Wijaya.

“Betul-betul-betul”, berkata Lawe menyetujui

“Aku pesan bekakak ayam panggang, dua !!”, berkata Mahesa Amping sambil menunjukkan dua jarinya.

“Bila aku tahu Paman punya banyak sangu, aku tidak akan membayar apapun dikedai yang kita singgahi di sepanjang Kutaraja ke Bandar Cangu”, berkata  Pangeran Kertanegara sambil tersenyum.

“Memang sudah semestinya begitu, sangu dari Bendahara Kerajaan lah yang harus keluar”, berkata Kebo Arema.

“Mengapa harus seperti itu ?”bertanya Pangeran Kertanegara yang tahu Kebo Arema sedang bercanda.

“Bukankah di perjalanan itu aku tengah mengemban tugas Kerajaan?”, berkata Kebo Arema. “Mengawal seorang Putra Mahkota”, lanjut Kebo Arema yang pandai berkelit bukan hanya dalam olah kanuragan, tapi juga dalam olah kata-kata.

“Untuk selanjutnya, di siang hari kita minta dijamu oleh Pangeran, sementara di malam hari kita sandera sangu Paman Kebo Arema. Setujuuuu?”, berkata Lawe

“Setujuuuuuuuuu”, berkata Mahesa Amping dan Raden Wijaya berbarengan. Air sungai Brantas mengalir jernih mengantar para pedagang di atas kapal kayu berlayar jauh. Ketika mereka melewati Bandar Cangu, terlihat barak besar berdiri di tepian Brantas.

Keberadaan Barak itu memang cukup luas, berjejer dua baris barak saling berhadapan, sebaris lagi menghadap ke tepian. Barak itu juga telah dilengkapi dengan sanggar tertutup yang cukup luas serta begitu lengkap.

Hari itu adalah hari pertama tiga ratus pemuda dari berbagai daerah di bumi Singasari bergabung. Mereka dikelompokkan menjadi sepuluh kelompok dibawah pimpinan seorang perwira pilihan yang bertanggung jawab langsung kepada seorang pimpinan tunggal dibarak itu, yaitu Pangeran Kertanegara sang Putra Mahkota.

Hari pertama itu tidak ada kegiatan selain pembagian tugas yang harus mereka lakukan bersama dengan penuh rasa tanggung jawab dan mandiri. Baru pada hari kedua mereka secara bergiliran dilatih untuk menjadi prajurit sungguhan.

Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya yang ditunjuk sebagai pelatih telah mulai bertugas. Mereka berbagi tugas seperti Mahesa Amping melatih ketahanan fisik, Raden Wijaya melatih ketrampilan gerak dan Lawe sebagai pelatih jurus kanuragan. Sementara dalam hal penempaan keprajuritan itu sendiri ada dalam pengawasan Senapati Mahesa Pukat.

Demikianlah para pemuda itu setiap hari ditempa sebagaimana seorang prajurit. Pada pagi hari mereka diajak Mahesa Amping berjalan dan berlari menyusuri jalan panjang atau mendaki dan merayap tebing-tebing terjal tidak jauh dari Bandar Cangu. Setelah istirahat di siang hari mereka dilatih Raden Wijaya melakukan beberapa ketrampilan seperti melompat di antara patokpatok yang telah disediakan di sanggar terbuka atau berlatih keseimbangan diatas balok titian. Dan menjelang senja sampai jauh masuk keujung malam mereka berlatih jurus kanuragan dibawah bimbingan Lawe.

Para pemuda itu sendiri bukan orang-orang yang kosong sekali dalam kanuragan, di tempat asalnya mereka sudah punya bekal yang kuat dalam kanuragan. Penempaan di Bandar Cangu lebih mendekati kearah pembauran agar tata gerak mereka ada dalam satu watak yang seragam.

Tidak ada halangan yang berarti dalam pelaksanaan penempaan para prajurit muda itu. Meski dari usia Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya masih muda, mereka dapat melaksanakan tugas sesuai yang diembannya, sementara para prajurit muda itu menghargai mereka baik dalam sikap maupun dalam menjalankan pengarahan setiap latihan sehari-hari.

“Gila !!, orang itu sepertinya punya udel dua. Belum pernah kulihat napasnya tersengal-sengal”, berkata seorang pemuda yang berkulit hitam kepada temannya tentang Mahesa Amping dalam sebuah latihan.

“Dengan kesungguhan, kalian dapat melakukannya tanpa menguras habis tenaga kalian”, berkata Mahesa Amping sambil memberi pengarahan bagaimana cara mengendalikan pernapasan yang sebenarnya.

Sementara ketika berlatih ketrampilan dan keseimbangan badan, mereka mengakui kelebihan Raden Wijaya dari mereka.

“Siapa yang melebihi kecepatanku, silahkan menggantikan diriku sebagai pelatih”, berkata Raden Wijaya dengan senyumnya menantang para prajurit muda untuk berlari diatas sebuah titian panjang. Tidak satu pun yang dapat melebihi kecepatan Raden Wijaya.

Demikianlah mereka berlatih dengan penuh semangat. Hari demi hari tanpa mengenal lelah. Akhirnya kerja keras mereka sudah mulai terlihat. Mulai dari ketahanan fisik, ketrampilan maupun penguasaan mereka pada jalur kanuragan.

Mahesa Pukat sudah mulai terjun memberikan latihan pertempuran yang sebenarnya. Mereka  dilatih bagaimana bertempur secara berkelompok, bertempur di peperangan yang sebenarnya. Tidak terasa, empat bulan purnama berlalu di Bandar Cangu.

“Hari ini, aku masih memberikan kesempatan kepada kalian. Apakah ada diantara kalian yang ingin keluar dari kesatuan ini?”, bertanya Pangeran Kertanegara pada suatu pagi dalam sebuah upacara resmi penganugerahan kekancingan pasukan khususnya.

Pangeran Kertanegara mencoba menahan katakatanya. Setelah beberapa saat menahan kata-katanya, tidak ada satu pun yang mengangkat tangan atau menyampaikan pernyataan.

“Baiklah, kediaman kalian sebagai jawaban pertanyaanku. Mulai hari ini kalian resmi sebagai pasukan khusus. Prajurit sejati yang akan menjaga bumi Singasari”.

Kata-kata Pangeran Singasari disambut teriakan gembira yang menggempita. Hari itu mereka telah resmi menjadi seorang prajurit. Berhak mengenakan peneng keprajuritan sebagai bukti kekancingan resmi dari Kerajaan Singasari. “Ketika purnama naik diatas tepian Brantas, kalian harus sudah ada kembali di barak ini”, berkata Pangeran Kertanegara yang telah memberikan kesempatan prajuritnya untuk pulang kampung selama sebulan penuh bertemu dengan keluarganya.

Sementara itu di galangan, Jung besar telah berdiri dengan sempurnanya. Sebuah Jung besar yang sangat indah, sebuah Jung besar yang tidak pernah ada sebelumnya di jaman itu. Sebuah Jung besar yang begitu indah yang ada di relief batu candi beduhur telah berdiri nyata. Siapapun yang berlayar melewati Bandar Cangu akan singgah melihat jung besar dalam decak penuh takjub dan bangga telah melihat sebuah karya besar.

Tersiarlah di segenap penjuru tanah Jawa, telah tercipta sebuah jung besar yang maha indah dan megah di Bandar Cangu. Di pasar, dikedai dan di setiap perjumpaan, tidak bosan-bosannya Jung Besar menjadi sebuah pembicaraan yang tidak pernah habis dibicarakan.

Purnama telah terpaku dilangit tepian sungai Brantas menganugerahkan sebuah pemandangan yang indah rupawan di kota pelabuhan Bandar cangu.

Sudah sepekan ini orang-orang berduyun-duyun datang ke Bandar cangu untuk melihat langsung sebuah jung besar yang indah dan megah.

“Luar biasa, begitu mirip, begitu indah dan megah”, berkata Sri Maharaja yang datang langsung ke Bandar Cangu untuk melakukan sebuah upacara menginjak air, sebuah upacara yang harus dilakukan manakala sebuah jung untuk pertama kalinya turun di sungai maupun  di laut lepas.

Rombongan Sri Maharaja datang di Bandar Cangu bersama Ratu Anggabhaya yang ikut merasa penasaran untuk melihat dengan mata kepala sendiri pembicaraan orang tentang megahnya jung besar di Bandar Cangu. Sekaligus juga untuk bertemu dengan cucu tercintanya Raden Wijaya yang sepertinya sudah begitu lama meninggalkannya.

Hari itu, tepat tanggal dan bulan baik, sebuah upacara besar mengiringi turunnya jung besar dari galangan terapung di tempat yang sesungguhnya, diatas air kehidupannya.

Diawali dengan doa puja-dan puji kehadirat Gusti Sing Maha Karsa, Sri Maharaja telah memberi restu dengan cara memecahkan kendi diatas anjungan. Bertebaranlah air bunga tujuh rupa mengalir membasahi anjungan bersama suara riuh segenap para kawula yang hadir tumpah ruah memenuhi galangan di tepian Brantas.

Sri Maharaja segera turun dari galangan, memberikan kesempatan kepada para pekerja menurunkan Jung yang telah sempurna turun ke tepian Sungai Brantas.

Terdengar suara riuh semakin bergemuruh manakala kaki-kaki galangan telah dipatahkan, jung besar turun sedikit demi sedikit mencium air sungai Brantas. Pecahlah suara sorak yang riuh seperti gemuruh penuh kegembiraan manakala seluruh badan jung besar jatuh ke dalam sungai Brantas, terapung megah seperti bayi raksasa angsa terguncang-guncang.

Huuuuuuuuu !!!!!! terdengar suara gemuruh kegembiraan.

Bila ada yang pernah datang dalam penobatan seorang raja, maka perayaan lahirnya sebuah jung besar yang indah dan megah di Bandar Cangu bisa dikatakan melebihi dari kemeriahan perayaan penobatan seorang raja. Tiga hari tiga malam perayaan besar telah dilaksanakan dengan begitu meriah. Bandar Cangu yang ramai semakin menjadi padat melimpah ruah.

Dari segenap penjuru bumi Singasari orang berduyun-duyun berdatangan seperti tidak pernah habisnya. Ikut merasakan dan menikmati sebuah pesta agung sebagai rasa sukur telah terciptanya sebuah maha karya kebanggaan bersama seluruh penghuni bumi Singasari Raya.

“Para Dewa telah memindahkan batu suci di Candi Beduhur menjadi hidup” , berkata seorang Brahmana yang menyaksikan langsung sebuah jung yang begitu indah sebagaimana pernah dilihatnya dalam sebuah pahatan di sebuah batu candi di Bukit Beduhur.

Hingga akhirnya di ujung hari ketiga, di ujung senja yang bening………, beberapa keluarga dan kerabat para prajurit muda melambaikan tangannya tanpa kata-kata.

Ratu Anggabhaya dan putranya Lembu Tal menatap panjang tanpa suara.

Hanya Sri Maharaja yang berbinar penuh kegembiraan melihat jung impiannya telah terwujud, dan hari itu perlahan-lahan bergerak merenggang menjauhi tepian menuju pelayaran perdananya.

“Selamat jalan wahai Putra Sangkala”, berkata Sri Maharaja lirih sambil menatap dan memandang Jung impiannya telah bergerak semakin menjauh.

Dan angsa raksasa itu telah terapung jauh meninggalkan tanah kelahirannya.

Seperti warna bening pemisah batas senja, suasana hati orang-orang yang ditinggalkan memang jauh berbeda dengan mereka yang akan pergi berlayar jauh. Suasana sendu penuh rindu menggayuti orang-orang yang tertinggal.

Sementara mereka yang akan berlayar jauh, hati dan pikirannya dipenuhi suasana kegembiraan yang berdegap-degup menyongsong petualangan masa depan kehidupan yang panjang.

Apapun suasana hati yang menggayuti saat itu, sangkala di ujung senja itu telah memisahkan mereka.

Jung terapung diatas aliran Sungai Brantas di bawah cahaya purnama yang masih bulat.

“Besok pagi kita sudah sampai di Bandar  Carubhaya”, berkata Kebo Arema kepada Pangeran Kertanegara di atas anjungan.

Angin malam berhembus dingin menyapu wajah. Dibawah lampu bahtera yang tergantung bergoyang Kebo Arema memandang keremangan malam di atas sungai Brantas. Wajahnya yang keras sepertinya tengah menikmati suasana kehidupannya sebagai nakhoda jung besar impiannya.

“Ada dua kebahagiaan yang selalu ditemui para pelaut”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wujaya yang juga tengah menikmati malam diatas anjungan.“Pertama di saat matahari terbit dan terbenam, kedua di saat jung merapat di daratan”, lanjut Kebo Arema.

“Aku sering mendengar, seorang pelaut tua pulang kekampung halamannya membawa kemiskinannya”, berkata Lawe.

“Benar, diwaktu muda mereka begitu kaya, membeli segala kesenangan tanpa menyisakannya”, berkata Mahesa Amping menambahkan.

“Begitulah para pelaut, harta adalah hutang yang harus dilunasi setelah kejemuan dan keterasingan di tengah lautan terbayar lunas di Bandar-bandar tempatnya berlabuh. Yang tersisa adalah kekayaan hati dan jiwa yang tidak pernah berkurang. Itulah kekayaan para pelaut sejati dalam pemahaman diri akan hidup dan kehidupan. Mereka telah menaklukkan rasa takut, mengenal rasa takut sebagaimana rasa asin air laut yang tidak akan menawarkan dahaga. Kekuatan bathin mereka adalah cuma sebuah keyakinan bahwa badai pasti akan berlalu, itulah kepercayaan mereka, kekayaan bathin yang dimiliki seorang pelaut sejati”, berkata Kebo Arema penuh semangat.

Bulan Purnama telah bergeser rebah di ujung barat, langit kelam dan dinginnya malam adalah selimut abadi para juru mudi yang terus bertahan berteman dengan kemudi ganda menjaga jung berada pada jalurnya.

Ketika warna langit mulai memerah, suara ayam jantan terdengar jauh bersautan dari hutan seberang. Bibir tepian Sungai Brantas semakin terlihat jelas. Cahaya pagi mulai menyapu bumi menaburkan perak diatas mulut sungai yang berwarna kehijauan, sebagai tanda batas sungai telah mendekati laut lepas.

Matahari pagi terus merayapi langit cakrawala yang berawan diujung tiang-tiang layar di Bandar Curabhaya.

Perlahan jung besar merayap mendekati dermaga. “Jung Singasari!!!!”, berteriak orang-orang di dekat

dermaga yang berdecak kagum melihat jung yang begitu megah dan sangat besar menurut ukuran jaman itu.

“Jung Singasari!!!”, kembali orang-orang berteriak sambil mendekati jung besar itu. Selama ini mereka hanya sebatas mendengar, jauh di Bandar Cangu tengah dibuat sebuah jung raksasa. Dan kali ini mereka menyaksikannya.

“Sebuah jung raksasa yang indah”, berkata seorang yang telah mendekati dermaga.

Pangeran Kertanegara dan Kebo Arema telah  turun di dermaga, seorang yang sudah cukup berumur menjura penuh hormat.

“Selamat datang di Curabhaya, sebuah kebanggaan Pangeran singgah di Bandar kami”, berkata orang itu yang ternyata seorang rakyan pelabuhan bernama Sura yang masih mengenal Pangeran Kertanegara ketika masih menjadi Perwira menengah di Kutaraja.

“Apakah aku berhadapan dengan Syah Bandar Curabhaya?”, berkata Pangeran Kertanegara sambil tersenyum.”Perut Paman Sura sudah semakin membuncit”, lanjutnya.

“Yang pasti sudah tidak bisa di jadikan mainan kudakudaan oleh anak nakal itu”, berkata Sura mengingatkan dirinya ketika di Kutaraja sering bermain bersama Kertanegara kecil yang nakal.

Syah Bandar Sura dengan gembira mengajak Pangeran Kertanegara dan Kebo Arema ke rumahnya. Sebuah rumah yang cukup besar tidak jauh dari Bandar Curabhaya.

“Kulihat ada beberapa jung Malaka singgah di Bandar ini”, berkata Kebo Arema kepada Sura.

“Mereka menurunkan sutra dan keramik di Bandar ini dari Pamalayu”, berkata Sura.

“Kemana kalian akan membawa jung Singasari yang megah ini dipersinggahan terakhir?”, bertanya Sura.

“Dari Curabhaya ini kami akan menaikkan banyak rempah-rempah, singgah di Tanah Sunda menaikkan kapas dan cula badak, menaikkan emas dan perak di Tanah Salaka ujung nusa jawa. Di pamalayu kami akan menukar langsung barang kami kepada para pedagang Persi dan Cina”, berkata Kebo Arema

“Kalian akan menggunting keberadaan pedagang Pamalayu?”, bertanya Sura merasa khawatir hubungannya dengan beberapa saudagar dari Pamalayu akan terputus.

“Sudah saatnya Singasari menunjukkan dirinya, berhadapan dengan pembeli yang sebenarnya”, berkata Pangeran Kertanegara.

“Kalau memang itu yang Pangeran inginkan, hamba siap membantu”, berkata Syahbandar Sura

Lewat Sura yang disegani di Bandar Curabhaya, Pangeran Kertanegara diperkenalkan dengan beberapa saudagar.

Hari itu terlihat beberapa orang buruh kasar tengah menaikkan rempah-rempah keatas jung. Keesokan harinya, terlihat jung Singasari yang megah telah merenggang meninggalkan Bandar Curabhaya.

“Kita akan singgah di Pragota”, berkata Kebo Arema menjelaskan tempat yang akan disinggahi.

“Aku masih memikirkan apa yang dikatakan Sura tentang para pedagang dari Tanah Melayu”, berkata Pangeran Kertanegara.

“Apakah Pangeran menjadi gentar?” bertanya Kebo Arema menatap Pangeran Kertanegara sepertinya ingin mengetahui isi hati Pangeran Kertanegara di lubuk hatinya paling dalam.

“Aku tidak gentar, cuma yang kupikirkan persinggungan yang bakal terjadi”, berkata Kertanegara

“Layar sudah kita kembangkan, pantang kita bersurut”, berkata Kebo Arema memberi semangat.

“Aku baru mengenal kehidupan di lautan, bukan cuma angin badai yang kita hadapi, tapi pengaruh para saudagar di setiap Bandar kadang dapat menggulingkan kita”, berkata Pangeran Kertanegara.

“Didalam pelayaran kita akan menemui banyak kawan dan lawan, inilah kehidupan yang harus kita hadapi”, berkata Kebo Arema.

Matahari senja memancarkan cahayanya diatas Nusa Jawa mengawani Jung Singasari terus melaju dalam pelayaran perdananya menyinggahi Bandar-bandar besar sepanjang pantai utara Nusa Jawa.

Sebagaimana di Bandar Curabhaya, di setiap Bandar yang disinggahi semua orang berdecak kagum menatap jung besar dan megah begitu indah seperti jung yang hanya dimiliki para dewata dalam alam hayal mereka.

“Jung Singasari!!”, berkata seorang di dermaga memanggil kawan-kawannya melihat lebih dekat jung terbesar di jaman itu sedang merapat.

Bandar besar terdekat setelah Curabhaya yang disinggahi adalah Bandar Pragota, setelah itu jung Singasari ini melanjutkan pelayarannya ke Muara Jati, sebuah Bandar pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai bangsa. Syahbandar di Muara Jati menyambut mereka dengan begitu ramah dan memperkenalkan mereka dengan seorang Bangsawan Sunda yang langsung memesan perlengkapan pertanian dan berbagai senjata yang banyak dimana memang bahwa Kerajaan Singasari saat itu terkenal dengan keahliannya sebagai pembuat senjata dan alat pertanian yang baik.

“Kami perlu banyak senjata yang terbaik, tentunya buatan asli Singasari”, berkata Bangsawan Sunda itu.

Selanjutnya, Kebo Arema juga telah mengantar Jung Singasari ini masuk menyusuri Sungai Citarum sampai  ke Muara Gembong Karawang.

“Inilah tempat pertama nenek moyang kita berlabuh di Nusa Jawa”, berkata Kebo Arema ketika menyusuri Sungai Citarum.

Ternyata, tidak semua orang menyukai kehadiran Jung Singasari. Sebagaimana yang dikatakan Kebo Arema, dalam pelayaran pasti akan menemui banyak kawan, dan juga lawan.

Jauh di tanah Melayu, beberapa bangsawan Melayu yang merasa tersaingi dengan kehadiran jung dari Singasari itu tengah memutar sebuah siasat.

“Gila nian!!, baru kali ini kulihat jung sebesar itu”, berkata seorang bangsawan yang pernah melihat jung Singasari ketika berada di Bandar Curabhaya.“Mereka dapat membawa barang lebih banyak dari yang kita bawa”.

“Kita harus dapat menjegal mereka sebelum menyeberang ke Bumi Melayu”, berkata seorang yang lainnya.

Ketika persekongkolan para Bangsawan Melayu untuk menjegal saingan baru mereka, jung Singasari telah sampai di ujung Nusa Jawa sekitar daerah Rakata. Mereka singgah di sebuah Bandar kecil yang tidak begitu ramai. Ternyata Kebo Arema bukan cuma pandai membaca bintang, penciuman dagangnya juga dapat diandalkan.

“Disinilah tempat asal pembuatan perak yang terkenal, perak asli dari Salaka”, berkata Kebo Arema kepada Pangeran Kertanegara menjelaskan mengapa harus singgah di Bandar ujung nusa jawa ini.

Mereka pun singgah di Tanah Rakata. Ternyata bukan hanya perak yang mereka dapatkan dengan harga yang menguntungkan, tapi mereka juga mendapatkan lada dengan mutu terbaik.Bahkan yang tidak disangkasangka, disini juga banyak didapat cula badak dengan harga yang begitu murah.

“Mengapa jarang sekali para pedagang berlayar sampai di Bandar ini?”, bertanya Pangeran Kertanegara merasa penasaran dengan keadaan Bandar yang sepi.

“Inilah keuntungan kita, para pelaut enggan berlayar sampai kesini karena beranggapan disinilah tempat para jin dan dedemit mendirikan kerajaannya”, berkata Kebo Arema sambil tersenyum. Anggapan itu memang beralasan, badai di sekitar selat sunda ini memang datang seperti hantu, datang seketika tanpa mengenal musim dan tidak dapat dibaca”.

“Dengan cara apa kita menghadapi hantu itu?”, bertanya Pangeran Kertanegara

“Lewat jalan rahasia, sedikit pelaut yang mengetahui tentang jalan rahasia itu”, berkata Kebo Arema.

Matahari senja telah kembali datang. Jung raksasa bertiang layar tujuh itu pun telah mengangkat sauhnya bersiap meninggalkan dermaga.

Wajah bulan sabit bercahaya buram bersembunyi di balik awan diatas Selat Sunda diujung malam ketika Jung milik Dewata seperti yang terlukis di Candi Beduhur itu dibawa angin menyeberangi mendekati Bumi Melayu.

Mereka memang tidak menemui hantu yang mengganggu, dikeremangan malam itu mereka melihat dua buah jung terlihat semakin mendekat.

“Bersiaplah, mungkin yang kita hadapi adalah para perompak”, berkata Kebo Arema kepada para prajurit yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Kebo Arema telah membuat tanda dengan bahasa lentera, tapi tidak ada jawaban dari dua buah jung yang terus mendekati, bahkan terlihat mereka telah mematikan lenteranya, yakinlah Kebo Arema bahwa mereka akan berbuat suatu kejahatan.

“Matikan semua lentera”, berteriak Kebo  Arema ketika melihat dua buah jung didepannya telah mematikan lenteranya.

Para prajurit telah siaga di sepanjang pagar geladag. Mahesa Amping ada di kanan geladak, Raden Wijaya terlihat di kiri geladag. Sementara Lawe menjaga bagian buritan.

Di keremangan malam dua buah jung terlihat telah mengapit rapat jung dari Singasari.

“Jangan biarkan mereka masuk, pertahankan kedudukan kalian”, berkata Kebo Arema dari Anjungan. Jung musuh telah semakin merapat, mengunci jung dari Singasari dengan tali temali.

Berhamburan orang-orang asing itu melompat ke geladag. Dan terjadilah pertempuran yang mencekam di keremangan malam di Selat Sunda itu.

Untungnya para prajurit muda ini telah sering berlatih di atas geladag. Dipertempuran yang sesungguhnya ini mereka telah menunjukkan segala kemampuannya. Terlihat beberapa orang dari pihak musuh yang langsung terjungkal kedasar laut sebelum mampu menginjakkan kakinya di geladak. Namun beberapa orang yang terlihat berkemampuan tinggi berhasil melompat setelah melukai prajurit yang menjaganya.

Tapi semua tidak lepas dari perhatian Mahesa Amping yang bertanggung jawab di kanan geladak.

“Gantikan tempatku”, berkata Mahesa Amping kepada seorang prajurit di dekatnya dan langsung menghadang musuh yang terlihat berkemampuan tinggi.

“Akulah lawanmu”, berkata Mahesa Amping sambil menangkis sebuah sabetan yang hampir saja menebas leher seorang prajurit.

“Punya nyali juga kau”, berkata orang itu kaget merasakan tangannya bergetar.

Tanpa kata-kata peringatan, orang itu langsung membabat perut Mahesa Amping dengan pedangnya.

Mahesa Amping hanya kerkelit sedikit, membiarkan pedang lawan lewat di hadapannya. Dan diluar perhitungan lawannya, Mahesa Amping dengan kecepatan yang tak terlihat tiba-tiba saja telah menjepit pedang lawannya dengan hanya dua jari tangannya.

Dengan sebuah hentakan pedang lawan itu ditariknya ke depan. Bukan main !! tenaga tarikan itu tidak bisa ditahan oleh orang itu, daya tarikan itu seperti berasal dari tenaga sepuluh ekor banteng, terlihat orang itu seperti layangan ringan ditarik sorong kedepan. Dan tibatiba saja sebuah tendangan dirasakan menghantam pinggangnya seperti terhantam batu bongkahan besar, orang itu telah jatuh rebah tak bergerak lagi.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Raden Wijaya dan Lawe, mereka tidak bermain-main lagi, tapi berusaha secepatnya merobohkan lawan dan langsung membantu para prajurit membereskan setiap lawan yang berhasil masuk ke geladag.

Tapi para penyerang masih terus menerjang masuk membanjiri geladag. Melihat hal ini, Pangeran Kertanegara dan Kebo Arema telah menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Dua orang murid Empu  Dangka seperti terbang diatas pagar geladag langsung menyapu bersih siapapun musuh yang berusaha masuk menerobos.

“Mengambil madu membelah sarang”, berkata Pangeran Kertanegara kepada Kebo Arema sambil melompat ke jung lawan yang ada di sebelah  bahu kanan geladag.

Kebo Arema mengerti apa yang diinginkan Pangeran Kertanegara, ia pun telah melompat ke jung lawan yang ada di sebelah bahu geladag.

Tidak ayal lagi, puluhan orang terlempar terkena pukulan dan tendangan Pengeran Kertanegara. Kehadiran Pangeran Kertanegara juga telah menghentikan aliran gelombang musuh ke bahu kanan geladag.

Sebagaimana Pangeran Kertanegara, Kebo Arema seperti bola api ditengah lebah hitam. Siapapun yang mendekat akan terlempar jatuh tak mampu bergerak lagi.

“Terima kasih”, berkata Bhaya kepada Raden Wijaya yang telah menyelamatkan dirinya dari seorang musuh yang akan menyerangnya dari arah belakang. “Jangan keluar dari kelompok”, berkata Raden Wijaya mengingatkan Bhaya yang terlalu semangat keluar dari kelompoknya.

“Aku akan mengingatnya”, berkata Bhaya yang kembali membantu kekelompoknya.

Sedikit demi sedikit jumlah pihak penyerang sudah semakin menyusut. Pangeran Kertanegara dan Kebo Arema telah membuat musuh kocar-kacir di jungnya sendiri. Sementara musuh yang sudah terlanjur berada di atas geladag langsung terserap oleh kepungan para prajurit muda yang baru pertama kali bertempur dengan musuh sungguhan.

Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya memang sudah dapat dipercaya, menjaga dan mengingatkan para prajurit untuk tetap berada dalam kelompoknya, melakukan penyerangan secara berkelompok saling membantu.

Para penyerang yang ada di geladag benar-benar menghadapi serangan yang rapi dan tersusun rapat. Mereka tidak mampu memecahkan barisan para prajurit Singasari yang sudah sering dilatih menghadapi serangan di lautan. Para penyerang sepertinya digiring untuk terpencar perseorangan masuk terkunci dalam sergapan.

Lambat tapi pasti jumlah para penyerang sudah semakin menyusut.

Terlihat Lawe telah merobohkan seorang penyerang terakhir di buritan.

“Menyerahlah!!”, berkata Mahesa Amping di geladag kanan kepada pihak lawan yang tinggal sepuluh orang.

“Kami menyerah”, berkata seorang dari sepuluh orang yang sudah terkepung rapat.

Sementara di geladak kiri, tujuh orang musuh tanpa kata-kata telah melempar senjatanya.

“Tahan serangan!!”, berteriak Raden Wijaya mengingatkan para prajurit untuk tidak membantai tujuh orang yang sudah melemparkan senjatanya tanda menyerah.

Para penyerang di atas geladag sudah dapat dikuasai, mereka telah dikumpulkan dan diikat.

Sementara itu di jung lawan, Pangeran Kertanegara bermaksud untuk segera menghentikan pertempuran tanpa menimbulkan banyak korban, maka dengan kekuatan yang ada didalam dirinya, Pangeran Kertanegara telah mampu menghadirkan kabut putih. Dua puluh orang musuh yang tersisa telah terperangkap kabut putih yang tebal. Mereka bukan saja tidak dapat melihat, tapi tubuh mereka telah menggigil kedinginan. Kabut itu ternyata mengandung hawa dingin yang luar biasa. Mebihi dinginnya es menusuk kulit mereka.

“Menyerahlah, aku akan menghentikan penderitaan kalian”, berkata Pangeran Kertanegara.

Apa yang di lakukan oleh Kebo Arema diatas jung lawan?

Tidak seperti Pangeran Kertanegara yang menundukkan lawannya dengan kabut putihnya, Kebo Arema telah menundukkan lawannya dengan cara yang berbeda. Lima belas orang yang tersisa yang tengah mengepung Kebo Arema benar-benar dibuat bingung. Dengan kecepatan yang luar biasa, hanya dalam hitungan detik, entah setan apa yang memindahkan, pedang para pengepung telah berpindah tangan. “Aku dengan mudah memindahkan pedang kalian, dengan mudah pula membunuh kalian”, berkata Kebo Arema sambil mengangkat lima belas pedang tinggitinggi.

“Tuan telah berlaku murah hati, kami menyerah”, berkata seseorang yang membayangkan bahwa Kebo Arema dapat melakukan lebih dari itu untuk selembar nyawanya. Yang juga diikuti oleh teman-temannya, menyerah tanpa perlawanan lagi.

Hari masih menyisakan malam. Tiga buah jung terlihat diatas laut malam bergelombang laju dalam layar penuh terkembang ditiup angin kencang.

Disaat pagi menjelang, tiga jung itu telah sampai di pantai Pasir Seputih.

Jung tidak dapat mendarat sampai ke pantai. Pangeran Kertanegara dan beberapa orang telah terlihat diatas jukung kecil mendekati pantai. Sebuah kelompok besar menyongsong kedatangan mereka.

“Siapakah penguasa disini agar kami dapat datang menghadap”, berkata Pangeran Kertanegara kepada sekumpulan orang yang datang menyongsong mereka.

“Aku Minak Gajah, penguasa tanah ini. Kisanak dapat bicara denganku”, berkata seorang yang terlihat paling tua tapi masih terlihat gagah. Matanya bening dan tajam, tanda telah menguasai kekuatan tenaga dalam yang tinggi.

“Kami datang dari Bumi Singasari, di selat Sunda Jung kami diserang oleh orang-orang yang semula kami kira para perompak. Ternyata mereka para prajurit dari Kerajaan Tanah Melayu”, berkata Pangeran Kertanegara.”Kami telah menawan beberapa orang yang masih hidup, juga dua buah jung mereka”.

“Hanya orang-orang gagah saja yang dapat mengalahkan para prajurit Tanah Melayu”, berkata Minak Gajah kagum mendengar cerita Pangeran Kertanegara.

“Kami hanya membela diri”, berkata Pangeran Kertanegara merendahkan dirinya.

“Mereka juga sering datang membuat kekacauan di tempat ini”, berkata Minak Gajah bercerita bahwa ia dan keluarganya sebenarnya berasal dari Palembang sebagai keturunan bangsawan Sriwijaya yang mengungsi karena terus diburu oleh para prajurit dari Tanah Melayu. “Mereka takut Sriwijaya bangkit kembali, dan terus menumpas keluarga dan keturunan bangsawan Sriwijaya”, berkata Minak Gajah melanjutkan.

Akhirnya Minak Gajah mengajak rombongan Pangeran Kertanegara singgah di rumahnya yang tidak jauh dari pantai pasir seputih.

Matahari sudah terlihat merayapi cakrawala menghangati suasana pagi perkampungan pinggir pantai itu. Dan Minak Gajah telah menunjukkan keramahan seorang tuan rumah yang baik. Rombongan Pangeran Kertanegara telah dijamu dengan hidangan yang memuaskan. Banyak sekali yang ditanyakan oleh Minak Gajah, terutama Jung yang besar dan megah yang baru pertama kali dilihatnya.

Karena keramahan Minak Gajah, akhirnya Pangeran Kertanegara membuka jati dirinya sebagai Putra Mahkota Singasari yang tengah melakukan pelayaran percobaan.

“Sebenarnya kami akan mencoba berlayar sampai Tanah Melayu, tapi melihat gelagat yang kurang baik dari para penguasa di Tanah Melayu, mungkin pelayaran kami cuma sampai di Bandar Sebukit”, berkata Pangeran Kertanegra menjelaskan tujuan pelayaran mereka.

“Kami juga akan membuat sebuah perhitungan dengan apa yang telah mereka lakukan kepada kami”, berkata pangeran Kertanegara menyatakan sikapnya atas sikap para penguasa Tanah Melayu.

“Sebaiknya Pangeran tidak datang ke Bandar Sebukit, kekuasaan Tanah Melayu sudah sampai ke Sebukit”, berkata Minak Gajah memberi saran agar tidak melanjutkan pelayarannya ke Bandar Sebukit.

“Aku sependapat, bukan berarti kita gentar menghadapi mereka”, berkata Kebo Arema memberikan pendapatnya untuk tidak melanjutkan pelayaran sampai ke Sebukit. “sebagai gantinya, cukup menerjunkan petugas sandi yang akan melanjutkan pelayaran kita sampai ke Tanah Melayu”, berkata Kebo Arema melanjutkan.

“Siapa orang kita yang dapat melakukan tugas sandi itu?”, bertanya Pangeran Kertanegara

“Siapa lagi kalau bukan tiga orang begundal tengik yang pernah bertugas di Tanah Gelang-gelang”, berkata Kebo Arema sambil melirik kepada Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya.

“Kami dapat meminjamkan jung layar dan seorang pemandu”, berkata Minak Gajah.

Demikianlah antara Pangeran dan Minak Gajah telah mengikat persahabatan untuk saling membantu terutama dalam hal rencana besar membuat perhitungan dengan penguasa di Tanah Melayu.

Sementara itu, sesuai adat di jaman itu. Siapapun yang kalah perang akan menerima nasib yang paling hina sebagai budak belian. Itulah yang berlaku pada nasib para prajurit Tanah Melayu yang telah kalah menyerah dan menjadi tawanan. Tapi Pangeran Kertanegara tidak mengambil haknya.

“Hari ini kalian telah kulepaskan, tidak jadi budak belian dan juga bukan tawanan. Kembalilah ke tempat asal kalian”, berkata Pangeran Kertanegara membuat para tawanan menjadi bingung apa yang harus mereka katakan.

“Ampun tuanku, berpulang sebagai prajurit yang kalah perang, bagi kami adalah lebih hina dari seorang budak belian yang hina sekalipun. Ijinkanlah kami menetap di Pasir Seputih ini”, berkata salah seorang tawanan mewakili kawan-kawannya.

Pangeran Kertanegara memandang kepada Menak Gajah, meminta pertimbangannya.

“Begitulah adat kami orang Melayu, pantang pulang dengan wajah tercoreng. Kami tidak berkeberatan mereka memilih tinggal bersama di Tanah Pasir Seputih ini”, berkata Minak Gajah.

“Baiklah kalau begitu, mulai hari ini kuserahkan diri kalian kepada Minak Gajah. Junjunglah langit diatas bumi yang kau pijak”, berkata Pangeran Kertanegara kepada para prajurit Tanah Melayu yang telah dibebaskan itu.

“Budi Tuanku setinggi gunung, jiwa Tuanku seluas lautan”, berkata salah seorang prajurit Tanah Melayu menyampaikan rasa terima kasih tak terhingga kepada Pangeran Kertanegara.

Dilepas senja, Rombongan Pangeran Kertanegara telah meninggalkan Pantai Pasir Seputih kembali ke kampung halamannya di Bumi Singasari. Keesokan harinya di senja yang bening, terlihat Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe telah meninggalkan Pantai Pasir Seputih bersama sebuah jung layar dan seorang pemandu yang umurnya masih seusia dengan mereka dan memperkenalkan dirinya bernama Argalanang yang masih kemenakan dari Minak Gajah.

Layar jung telah dikembangkan, angin laut telah membawanya mengarungi tepian pantai daratan yang panjang. Dibawah sinar rembulan malam dan jutaan bintang di langit kelam jung terus laju menggunting laut Selat Malaka yang dalam.

“Kita menepi sejenak di kampung terapung”, berkata Argalanang ketika jung mereka telah menepi di dermaga sebuah muara yang besar yang mengingatkan pada muara Porong yang indah.

Suasana pagi di kampung terapung terlihat begitu indah dalam warna sinar matahari pagi yang bersinar bersembul dari balik sebuah bukit.

Kampung terapung yang di katakan oleh Argalanang adalah sebuah perkampungan rumah-rumah nelayan yang berdiri diatas papan-papan kayu hitam. Penduduknya pada umumnya adalah para nelayan yang berasal dari Tanah Bugis.

Empat pemuda terlihat menyusuri gang demi gang seperti dermaga panjang yang sengaja dibuat untuk para pejalan kaki. Argalanang berjalan di muka, sepertinya telah banyak mengenal daerah pemukiman nelayan ini.

“Pasar terapung”, berkata Argalanang menunjuk kesebuah kumpulan jung kecil yang banyak bersandar. Sebuah pemandangan yang unik dalam pikiran Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya sebagai orang asli dari Nusa Jawa. Mereka melihat baik pembeli maupun pedagang berada dalam jung kecil diatas sungai. Sebagaimana pasar biasa, di pasar terapung ini juga tersedia berbagai kebutuhan, mulai dari sayur mayur, buah segar dan juga gerabah.

Argalanang melambaikan tangannya kepada seorang diatas sebuah jung, yang ternyata adalah sebuah kedai terapung.

“Nasi kapau dan iwak kakap bumbu kuning asem belimbing, empat”, berkata Argalanang kepada seorang pedagang diatas jung kecilnya.

Nikmatnya menyantap hidangan diatas dermaga sambil memandang kesibukan para ibu muda berbelanja di pasar terapung di bawah matahari pagi yang baru terbangun di timur cakrawala mengintip malu.

“Jangan sekali-kali memberi senyum apalagi menyapa para gadis di Tanah melayu ini”, berkata Argalanang yang telah menyelesaikan makanan dan minumannya.

“Kenapa harus begitu ?”, bertanya Lawe merasa baru mendengar ada adat seperti itu.

“Sebuah senyum dan sapaan dianggap sebuah lamaran”, berkata Argalanang menjelaskan. Si gadis yang kau sapa akan pulang mengabarkan kepada orang tuanya bahwa dijalan ada seorang pemuda yang telah memberi sebuah tanda lamaran”, Argalanang melanjutkan penjelasannya.

“Sebuah senyum dan sapa diartikan sebuah tanda lamaran?”, ikut bertanya Mahesa Amping.

“Begitulah, ayah si gadis akan datang menemuimu meminta untuk melamar secara resmi”, berkata Argalanang. “Bila kita menolaknya ?”, bertanya Raden Wijaya

“Ayah si gadis akan memintamu membayar sebuah denda seharga seekor domba besar”, berkata Argalanang.

“Sebuah denda yang mahal, hanya karena memberi senyum kepada seorang gadis”, berkata Lawe sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ketika matahari sudah semakin merayap keatas cakrawala, mereka telah berada diatas jung kembali melanjutkan perjalanan mereka ke Bandar Sebukit.

Matahari dan langit pagi memencarkan air sungai Musi berwarna kuning perak. Sungai Musi memang sebuah sungai yang besar dan panjang. Jung berlayar menyusuri Sungai Musi yang luas. Kadang mereka berpapasan dengan jung besar milik para pedagang  yang akan menuju laut lepas.

“Bandar Sebukit sudah terlihat”, berkata Argalanang menenjuk sebuah daratan yang banyak jung besar tengah bersandar.

“Lebih ramai dari Bandar Cangu”, berkata Raden Wijaya melihat begitu banyak jung besar yang merapat.

“Jung bertiang layar lima itu adalah milik para pedagang dari Persia”, berkata Argalanang yang nampaknya banyak mengenal asal sebuah jung besar hanya dengan melihat bentuk dan banyaknya tiang layar.

“Yang bertiang tiga itu berasal dari Gujarat”, berkata kembali Argalanang sambil menunjuk sebuah jung bertiang tiga.

“Masih kalah besar dengan Jung Singasari”, berkata Raden Wijaya yang teringat pada Jung kebanggaannya yang juga disebut sebagai Jung Bukit Beduhur oleh orang-orang dari Bandar Pragota.

Jung mereka telah disandarkan di sebuah dermaga yang sepi. Matahari telah berdiri di puncaknya ketika mereka berjalan mendekati sebuah kedai yang nampaknya paling ramai dikunjungi.

Mereka memilih meja di sebelah sudut di dalam kedai. Memesan beberapa hidangan kepada seorang pelayan tua yang datang mendekati mereka.

“Tolong bawakan segera minumannya, kami sangat haus”, berkata Argalanang kepada Pelayan tua itu.

“Wedang jahe hangat, Paman”, berkata Lawe memesan minumannya.

“Disini tidak ada wedang jahe, bagaimana dengan Liang teh hangat?”, bertanya Pelayan tua.

“Liang teh hangat dengan gula aren terpisah”, berkata Argalanang buru-buru menyela agar tidak menarik perhatian pengunjung lain yang ada di dekatnya.

Setelah beristirahat sejenak di kedai, mereka pun melihat-lihat keadaan kota Sriwijaya untuk sebagai bahan laporan tugas mereka sebagai petugas delik sandi.

Menyusuri kota tua Sriwijaya yang ramai memang sangat menyenangkan. Hilir mudik pedati di jalan membawa aneka barang milik para saudagar. Di jalan juga sepertinya sudah terbiasa melihat para orang asing dari berbagai bangsa berlalu lalang. Rumah-rumah besar dengan pilar ukiran kayu jati berpagar dinding batu berderet sepanjang jalan yang tertata rapi.

Tanah Sriwijaya sudah lama tak bertuan, tapi para warganya sepertinya tidak memperdulikannya. Siapapun penguasanya, yang penting mereka dalam keadaan  tetap damai, dalam bertani, berdagang dan kehidupan lainnya.

Tanah Sriwijaya pada saat ada dalam pengendalian para penguasa dari Tanah Melayu. Tapi siapa yang peduli??

Begitulah suasana yang ditangkap oleh Raden Wijaya, Lawe, Mahesa Amping dan Argalanang ketika mereka menyusuri kota tua Sriwijaya.

Merekapun kembali ke Bandar Sebukit, melihat berbagai barang diangkut naik ke jung besar milik para saudagar dari berbagai bangsa. Merekapun melihat diantara berbagai barang yang keluar masuk lewat Bandar Sebukit yang ramai itu adalah lada hitam. Mereka mendapat keterangan bahwa lada hitam adalah lada yang paling diminati oleh para pedagang asing karena merupakan lada yang terbaik. Lada hitam ini dibawa oleh para pedagang setempat dari pedalaman  sungai Kampar. Sebuah tempat yang jauh.

“Jung bangsawan Sunda”, berkata Argalanang menunjuk sebuah jung yang elok dengan banyak umbulumbul berwarna kuning bergambar kepala harimau.

Ternyata Argalanang memang telah banyak mengenal berbagi jenis jung.

Jung elok itu memang milik bangsawan Sunda. Pemiliknya adalah seorang yang sangat dihormati di bumi Pasundan yang tidak lain adalah Raja Ragasuci penguasa Saunggalah putra Raja Darmasiksa yang telah mengasingkan dirinya bertapa di Gunung Galunggung sebagai seorang Resi Guru yang sakti.

Raja Ragasuci sendiri terbilang masih Paman Raden Wijaya dari garis ibunya yang berdarah sunda. Ibunda Raden Wijaya dan Raja Ragasuci sebagai saudara lain ibu. Raja Ragasuci mempunyai seorang ibu berdarah campuran bangsawan Sriwijaya dan Melayu.

Kehadiran Ragasuci di kota Sriwijaya adalah sebuah kunjungan ke tanah leluhur ibundanya. Masih ada pamannya di kota Sriwijaya, kakak kandung dari ibundanya bernama Bagus Kemuning, seorang bangsawan yang sangat disegani dan begitu berpengaruh.

“Ternyata kamu berminat menyunting seorang putri dari Tanah Melayu?”, bertanya Bagus Kemuning kepada kemenakannya Raja Ragasuci yang datang menemuinya di rumahnya.

“Begitulah Paman, mudah-mudahan aku dapat memenangkan sayembara itu”, berkata Raja Ragasuci.

Pada saat itu memang di Tanah Melayu akan diadakan sebuah sayembara besar memperebutkan seorang putri Raja Melayu yang cantik jelita bernama Dara Puspa.

Namun yang dapat mengikuti hanya dari kalangan yang berdarah bangsawan dari berbagai nagari. Salah satunya adalah Raja Ragasuci sendiri.

Berita sayembara itu akan dilaksanakan pada hari purnama pekan depan telah didengar pula oleh Raden Wijaya dan kawan-kawannya yang tengah melaksanakan tugas sandi.

“Besok kita berangkat ke Tanah Melayu”, berkata Argalanang.

Demikianlah, pada hari itu mereka mencari rumah penginapan disekitar Bandar Sebukit.

Malam telah menyelimuti Bandar Sebukit yang telah lelah setelah seharian ditingkahi kesibukan dan kepenatannya. Udara dingin di luar rumah menjadikan jalan-jalan menjadi begitu sepi dan lengang.

Mahesa Amping belum tidur di  kamar penginapannya. Pendengarannya yang tajam telah mendengar pembicaraan di kamar sebelah yang terpisah oleh dinding yang terbuat dari bilik kayu. Sebuah pembicaraan yang begitu menarik perhatiannya.

“Apa susahnya menghancurkan jung Singasari itu”, berkata sesorang terdengar dari bilik kamar Mahesa Amping yang telah mempertajam pendengarannya.

“Tetapi sampai hari ini mereka masih belum kembali”, berkata suara yang lain.

“Apa yang akan kita laporkan kepada Tuanku Bagus Kemuning?”, berkata suara orang yang pertama.

“Tunggu sampai besok, baru kita dapat menghadap”, berkata suara yang lain.

“Yang kutakutkan, mereka tidak singgah ke Sebukit tapi langsung pulang ke Tanah Melayu”, berkata orang yang pertama.

“Apa yang kamu takutkan ?”, bertanya suara orang kedua.

“Kamu ini benar-benar tukut!, berkata orang pertama. “Tuanku Bagus Kemuning telah berpesan bahwa tugas ini jangan sampai didengar Baginda Raja”, berkata orang pertama melanjutkan.

“Kamu benar, tapi aku bukan tukut”, berkata orang kedua terdengar oleh Mahesa Amping dengan kepekaan pendengarannya yang tajam terdengar membanting badannya ke pembaringan.

Setelah itu tidak terdengar pembicaraan lagi. Yang terdengar adalah lenguh dengkur napas mereka yang saling bersahutan. Dengan pendengarannya yang tajam Mahesa Amping sudah menduga bahwa mereka sudah jauh terlelap tidur.

Tiba-tiba saja pendengaran Mahesa Amping mendengar suara yang mencurigakan berasal dari atap rumah. Segera Mahesa Amping membangunkan Raden Wijaya yang sekamar dengannya. Ketika dilihatnya Raden Wijaya telah terbangun, Mahesa Amping segera keluar kamar langsung melenting ke atap rumah. Sesosok bayangan masih sempat dilihatnya telah berkelebat menghilang di kegelapan malam.

Mahesa Amping kembali masuk kekamarnya, mencoba menempelkan telinganya di dinding untuk mendengar apa yang telah terjadi di kamar sebelah. Suara dengkur sudah tidak terdengar lagi, bahkan lenguh desah halus napas sekalipun.

“Apa yang telah terjadi?”, bertanya Raden Wijaya yang belum dapat mengerti apa yang tengah terjadi.

Mahesa Amping menjelaskan kepada Raden Wijaya mulai dari apa yang dengan tidak sengaja mendengar pembicaraan orang di sebelah kamar dan terakhir suara mencurigakan diatas atap rumah.

“Aku merasa orang di sebelah sudah tidak bernyawa”, berkata Mahesa Amping yang percaya sekali dengan kepekaan pendengarannya.

“Kita lihat apa yang terjadi”, berkata Raden Wijaya. Mereka berdua telah keluar dari kamarnya dan langsung menuju kamar sebelah.

Pintu kamar itu ternyata tidak diselarak dari dalam. Ketika pintu terbuka, terkejut Mahesa Amping dan Raden Wijaya melihat apa yang ada didepan matanya.

“Mereka berdua sudah mati”, berkata Mahesa Amping melihat dua orang tergeletak di pembaringannya dalam keadaan tidak bergerak. Seluruh tubuhnya terlihat berwarna hijau.

“Racun ikan buntal!!”, berkata Raden Wijaya sambil menunjuk dua buah duri kecil menancap di leher kedua orang yang terbaring tak bernyawa itu.

“Dari mana Raden mengetahui bahwa mereka terkena racun ikan buntal?”, bertanya Mahesa Amping yang merasa heran Raden Wijaya telah memastikan bahwa kedua orang itu terkena racun ikan buntal yang pernah didengarnya memang mempunyai daya racun yang amat kuat.

Raden Wijaya mengeluarkan sebuah bubu bambu kecil dari balik pakaiannya. Dengan hati-hati mengeluarkan sebuah duri kecil dari dalam bubu bambu kecil itu.

“Sebuah duri yang sama yang telah menghabisi nyawa ibundaku”, berkata Raden Wijaya sambil mencabut sebuah duri yang ada dileher salah satu mayat.

Lamunan Raden Wijaya melayang jauh ke belakang, di suatu malam menjelang keberangkatannya bersama Mahesa Murti menuntut ilmu di Padepokan Bajra Seta

“Diujung duri ikan buntal ini nyawa ibundamu berakhir. Bawalah bersamamu, sampai saat ini ayahmu belum dapat mengungkap dibalik kematian ibundamu”, berkata Lembu Tal kepada Raden Wijaya.

Dimanapun Raden Wijaya berada, bubu bambu kecil itu selalu menyertainya. “Hari ini pintu rahasia lorong teka-teki keluargaku mulai terkuak, aku akan terus menyusurinya”, berkata Raden Wijaya sambil memasukkan kembali duri ikan buntalnya.

Mahesa Amping yang pernah diceritakan mengenai hal itu oleh Raden Wijaya memahami apa  yang dirasakan Raden Wijaya saat itu.

“Hanya mereka yang telah mempunyai kemampuan tinggi yang dapat melempar duri kecil itu tepat menembus sasaran”, berkata Mahesa Amping.

Akhirnya mereka segera menyelinap keluar dari kamar naas itu kembali kekamarnya.

Dan sang waktu perlahan terus menyusut perjalanan malam. Membungkus rahasia kegelapan sampai akhirnya datang sang pagi yang bening berwajah lugu menangkap kehangatan matahari yang bersinar diujung tepi cakrawala.

Diawali suara kokok ayam jantan yang saling bersahutan. Bandar Sebukit telah terbangun kembali dalam ke hiruk pikukan pagi di antara coloteh para buruh angkut barang yang mengais rejeki mengangkat barang diatas bahunya satu persatu.

Terlihat Mahesa Amping dan kawan-kawannya tengah memasuki sebuah kedai yang sudah buka di pagi itu menjual makanan dan minuman hangat untuk sarapan pagi.

Ketika mereka masuk, sudah ada beberapa orang pengunjung. Mereka pun mencari tempat yang kosong.

Dengan perlahan, agar tidak didengar orang lain, Raden Wijaya menceritakan kejadian semalam kepada Lawe dan Argalanang termasuk teka-teki rahasia keluarganya.

“Apakah ayahmu pernah bercerita tentang orang yang bernama Bagus Kemuning?”, bertanya Lawe kepada raden Wijaya.

“Belum”, berkata Raden Wijaya datar sambil menggelengkan kepalanya.

“Kita harus mencari tahu banyak hal tentang orang itu”, berkata Argalanang

Demikianlah, mereka akhirnya sepakat untuk menunda keberangkatan mereka di pagi itu. Mereka sepakat untuk menyelidiki siapa sebenarnya pemilik nama Bagus Kemuning itu.

Akhirnya, dengan hati-hati mereka bertanya dengan orang-orang di sekitar Bandar Sebukit dan kota Sriwijaya. Ternyata mereka mendapatkannya dengan mudah. Hampir semua orang di kota Sriwijaya itu mengenal Bagus Kemuning sebagai orang yang sangat disegani dan berpengaruh di Bumi Sriwijaya.

Matahari sudah naik ke puncaknya. Seorang tukang buah duku terlihat tengah berteduh dibawah sebuah pohon ambon yang rindang di depan pagar rumah Bagus Kemuning.

“Rancak nian rejekimu wahai tukang buah”, berkata seorang yang berpakaian sederhana keluar dari regol rumah Bagus Kemuning menghampiri tukang buah yang tengah berteduh. Nampaknya seorang pelayan di rumah itu.

“Seharian ini belum ada kutemui seorang pun pembeli, apanya yang rancak”, berkata tukang buah itu yang ternyata Argalanang yang tengah menyamar.

“Buahmu kubeli semuanya”, berkata orang itu. “Apakah aku tidak salah dengar?, biasanya orang membeli segantal dua gantal”, berkata Argalanang.

“Tuanku telah kedatangan banyak tamu, tolong antar sekalian kedalam”, berkata orang itu.

Argalanang berjalan mengikuti pelayan itu masuk kerumah Bagus Kemuning. Diatas pendapa dilihat banyak orang tengah berbincang-bincang. Dari pakaiannya, Argalanang dapat mencirikan setiap orang yang ada di atas pendapa itu. Seorang berpakaian adat Melayu pastilah tuan rumah yang bernama Bagus Kemuning. Sementara yang lainnya berpakaian sebagaimana para pembesar dari Tanah Sunda. “Ternyata orang-orang dari Tanah Pasundan yang bertamu”, berkata Argalanang dalam hati setelah sekilas menyapu dengan pandangannya orang-orang yang ada di atas pendapa.

“Tamu tuanmu orang-orang pasundan?”, Argalanang berkata sambil menuang dukunya ke bakul yang disediakan sebagai tempat buah dukunya.

“Bukan orang Pasundan sembarangan, tapi Raja dari Tanah Sunda”, berkata pelayan itu sepertinya membanggakan dirinya telah kedatangan tamu seorang raja meski sebenarnya bukan tamunya, tapi tamu tuannya.

“Seorang Raja dari Tanah Sunda?”, berkata Argalanang merasa gembira menemukan warta baru. Tapi di hadapan pelayan itu Argalanang pura-pura terkejut.

“Yang benar Raja Saunggalah yang terkenal bernama Raja Ragasuci”, berkata pelayan itu yang masih membanggakan dirinya. “Apakah tuanmu itu masih kerabat dengan Raja Ragasuci?”, bertanya kembali Argalanang

“Raja itu masih kemenakan tuanku”, berkata pelayan

itu

“Betapa membanggakannya dapat langsung

melayani seorang Raja”, berkata Argalanang mengompori pelayan itu yang ia tahu tengah merasa bangga.

“Hari ini harusnya kamu juga berbangga hati, buahmu dinikmati langsung oleh seorang raja”, berkata pelayan itu.

“Betul-betul-betul, di rumah aku akan bercerita kepada ninik mamakku, bahwa buah duku kebunku dinikmati oleh seorang raja”, berkata Argalanang.

“Laris manis tanjung kimpul. Dagangan habis rejeki kumpul”, berkata Argalanang ketika menerima pembayaran dari pelayan itu.

Terlihat Argalanang dengan langkah gembira layaknya seorang pedagang tulen yang tengah mujur besar berjalan keluar dari regol pintu rumah Bagus Kemuning.

Senja telah turun menaungi Bandar Sebukit. Cahaya matahari yang bening dan sejuk terbawa arus air sungai Musi yang beriak ditiup angin segar. Terlihat empat orang pemuda duduk diatas dermaga yang sepi.

“Racun ikan Buntal, Bagus Kemuning dan Ragasuci mempunyai benang ikatan yang tidak dapat dipisahkan dengan kematian ibunda Raden”, berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya.

“Tetapi benang itu masih jauh untuk diurai”, berkata Raden Wijaya “Sebaik-baik menyembunyikan bangkai, pasti tercium juga”, berkata Lawe membesarkan harapan Raden Wijaya.

“Seandainya aku dapat mengejar orang diatas atap rumah penginapan itu, rahasia ini tentunya sudah dapat terkuak”, berkata Mahesa Amping yang menyesali dirinya yang tidak langsung menangkap orang yang telah membunuh kedua orang di kamar penginapan.

“Siapapun pemilik racun ikan Buntal, adalah kunci teka-teki keluargaku”, berkata Raden Wijaya lirih sepertinya bicara kepada dirinya sendiri.

“Apakah Bagus Kemuning dapat bertanggung jawab atas kematian dua orang kepercayaannya?”, berkata Argalanang.

“Kita belum mendapatkan bukti yang kuat”, berkata Mahesa Amping

“Kita harus membayangi terus Bagus Kemuning”, berkata Lawe

“Besok mereka akan ke Tanah Melayu”, berkata Argalanang. “Kapan kita berangkat ke Tanah Melayu?”, bertanya Argalanang meminta pendapat.

“Kupikir sebaiknya kita juga berangkat besok”, berkata Raden Wijaya memastikan.

Akhirnya disepakati berangkat ke Tanah Melayu keesokan harinya.

Pagi itu kabut masih membujur seperti kapas-kapas di sepanjang sungai Musi. Sebuah jung terlihat bergerak menjauhi dermaga dalam keremangan kabut pagi.

“Pagi berkabut, sebuah tanda hari akan cerah”, berkata Argalanang diatas jung yang telah semakin menjauh dari Bandar Sebukit.

Dan seiring berjalannya waktu, mereka telah tiba di Muara Musi.

“Pasar terapung sudah sepi”, berkata Lawe ketika mereka melewati sebuah pasar terapung yang sudah tidak begitu ramai karena matahari pagi sudah semakin menaik keatas cakrawala.

“Tapi kedai terapungnya masih ada”, berkata Argalanang sambil mengayuh jungnya mendekati sebuah jukung yang menjual makanan dan minuman.

“Nasi kapaunya masih ada Pacik?”, berkata Argalanang kepada seorang pemilik kedai terapung ketika jung mereka sudah merapat.

“Hari ini pengunjung tidak begitu ramai, nasi kapauku masih tersisa banyak”, berkata pemilik kedai terapung itu.

“Kami pesan empat nasi kapau lengkap dengan kakap bumbu asem belimbing”, berkata Argalanang.

Dengan sigap pemilik kedai itu membungkus pesanan nasi kapau lengkap dan langsung menggantungkannya di ujung galar bambu.

“Terima pesanannya anak muda”, berkata pemilik kedai terapung itu sambil menyodorkan galar bambu tempat menggantung empat bungkus nasi kapau dari atas jukungnya.

Dengan lahap mereka menikmati hidangan diatas jung dibawah cahaya matahari pagi yang hangat. Setelah beristirahat sejenak mereka pun melanjutkan perjalannya menuju tanah Melayu. Jung mereka telah keluar dari Sungai Musi masuk dalam perairan laut selat Malaka dibawah sinar matahari yang hangat. Awan putih dilangit biru yang cerah mengiringi jung mereka terbawa angin yang kadang bergoyong terguncang dihempas ombak. Ketika matahari mulai merangkak dibawah cakrawala, jung mereka sudah mulai mendekati Tanah Melayu ditandai dengan warna air yang mulai menghijau sebagai tanda sebuah muara akan mereka temui.

“Kita memasuki perairan Batanghari”, berkata Argalanang seperti sudah begitu kenal setiap dataran pulau perak ini.

Bandar Melayu adalah pintu kedua selain Bandar Sebukit untuk barang perdagangan antar bangsa. Disinilah beberapa pedagang asing membawa berbagai hasil hutan dan rempah-rempah. Para pedagang asing tidak perlu lagi berlayar jauh sampai Nusa Jawa atau tanah Maluku karena sudah diambil alih oleh para pedagang Melayu. Hal ini sudah berlangsung lama sejak masa emas Kerajaan Sriwijaya.

Itulah sebabnya, kehadiran Jung Singasari merupakan sebuah saingan yang besar yang akan memutus rantai perdagangan mereka.

Tapi pemikiran para saudagar Melayu yang sebagian besar adalah para bangsawan Tanah Melayu ini tidak sejalan dengan Rajanya yang berprinsip kepada kebebasan dan kedamaian umat.

“Persaingan itu tumbuh sebagai tantangan agar kita dapat berbuat lebih arif lagi”, berkata Baginda Raja kepada beberapa bangsawan yang ingin mempengaruhinya untuk memerangi Singasari.

Itulah sebabnya, para bangsawan telah mengambil jalan sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh Bagus Kemuning yang diam-diam memerintahkan para prajurit Melayu menyergap Jung Singasari di Selat Sunda beberapa hari yang lalu.

Kehadiran Raja Ragasuci yang akan mengikuti sayembara memperebutkan salah seorang putri Raja, telah membangkitkan semangat Bagus Kemuning.

“Ragasuci harus memenangkan sayembara ini”, berkata Bagus Kemuning dalam hatinya berharap bahwa kelak lewat Ragasuci pandangan Baginda Raja dapat berubah.

Sementara itu di Bandar Melayu beberapa petugas sandi Singasari telah merapatkan jung nya di dermaga. Hari itu sebuah lembaran baru dari sejarah besarpun telah mulai dipagelarkan.

“Aku baru mengerti mengapa para pedagang Melayu tidak menyukai kehadiran Jung Singasari”, berkata Raden Wijaya ketika menginjakkan kaki pertamanya di Tanah Melayu. Melihat beberapa jung asing merapat di Bandar Melayu.

“Akupun baru menangkap pemikiran Sri Maharaja Singasari tentang sebuah kerajaan laut”, berkata Mahesa Amping.

“Sebuah pemikiran yang baru”, berkata Lawe.

“Raja di darat dan Raja di lautan, itulah raja sejati”, berkata Raden Wijaya

“Kita telah memulainya di hari ini”, berkata Mahesa Amping.

“Aku tidak paham perkataan kalian, yang kupahami bahwa perutku sudah berteriak kriuk-kriuk”, berkata Argalanang yang disambut tawa oleh semua kawannya.

“Ternyata yang ada di pikiran orang Pantai pasir seputih tidak jauh dari perut”, berkata Lawe yang disambut tawa lebih keras lagi.

“Justru dari perutlah keluar hal-hal besar”, berkata Argalanang tidak menerima dikatakan hanya paham sekitar perut.

“Kamu benar, dari perut sering keluar hal-hal besar terutama lewat jalan belakang”, berkata Lawe yang disambut kembali dengan tawa.

“Mari kita cari kedai yang terbaik di Bandar Melayu ini”, berkata Raden Wijaya yang berusaha menengahi terutama melihat wajah Argalanang yang nampak bersungut-sungut cemberut.

Sebagaimana Bandar besar lainnya, Bandar Melayu adalah sebuah persinggahan para pedagang dari berbagai suku bangsa yang sepertinya tidak pernah sepi sepanjang hari, di siang hari maupun di malam hari.

Kerlap-kerlip lampu terlihat di perkampungan yang tumbuh ramai di sepanjang Bandar serta cahaya oncor yang diletakkan di setiap persimpangan jalan menandai kehidupan malam di Bandar Melayu yang sepertinya tidak pernah tidur.

Beberapa buruh nampak masih sibuk mengangkut barang memuat sebuah Jung besar milik pedagang dari Gujarat, mungkin besok pagi akan berangkat berlayar.

Sebuah kedai yang juga menyediakan jasa penginapan masih terlihat ramai. Disitulah empat  pemuda petugas sandi dari Singasari beristirahat setelah menempuh perjalanannya.

“Siapapun yang akan mendukung majikanku, tidak usah membayar apapun di kedai ini”, berkata seorang yang berwajah hitam legam sambil berdiri. Di dekatnya terlihat seorang pemuda yang duduk tenang seperti tidak peduli dengan apa yang dilakukan orang kepercayaannya.

Seketika itu juga hampir semua yang ada di kedai itu mengangkat tangannya sebagai arti ikut mendukung, kecuali empat pemuda yang baru datang menunggu pesanannya.

Melihat hanya empat pemuda itu saja yang tidak mengangkat tangannya, orang berwajah hitam legam itu menghampiri keempat pemuda itu.

“Kenapa kalian tidak mengangkat tangan he?”, berkata orang itu sambil bertolak pinggang.Tercium aroma arak dari mulutnya. Ternyata orang ini telah banyak menenggak arak dan menjadi mabuk berat.

“Kami tidak mendukung siapapun”, berkata Lawe mewakili kawan-kawannya.

“Kalian harus mendukung!!”, orang itu berteriak keras.

“Kami belum mengenal majikanmu, bagaimana kami harus mendukung?”, berkata Lawe yang sudah terlihat tidak sabaran.

“Ternyata kalian orang baru disini. Pasang telinga kalian, majikannku adalah putra Datuk Belang yang dihormati dari Sungai Kampar”, berkata orang itu.

“Siapapun majikanmu, kami tidak mendukung siapapun”, berkata Lawe yang sudah semakin panas hatinya.

“Bila kalian tidak mendukung, artinya kalian telah meremehkan majikanku”, berkata orang itu sambil membelalakkan biji matanya begitu menyeramkan. “Bila kami tidak mendukung, kamu mau apa he?”, berkata Lawe sambil berdiri tidak gentar.

“Kamu memang perlu diberi pelajaran”, berkata orang itu sambil melayangkan sebuah tamparan ke arah wajah Lawe.

Ternyata orang itu belum mengenal Lawe. Dikiranya Lawe hanya seorang anak kemarin sore yang dapat digertak hanya dengan sebuah tamparan.

Lawe tidak segera bergerak, menunggu sampai tamparan itu meluncur mendekatinya. Maka ketika telapak tangan itu sudah hampir mengenai wajahnya, dengan titis Lawe memiringkan sedikit kepalanya. Akibatnya sangat fatal sekali, orang itu terhuyung ke samping menabrak tiang utama bangunan.

Brakk !!

Untungnya kayu itu terbuat dari bahan kayu besi  yang kokoh. Akibatnya justru kepala orang itu yang seperti pening terhantam tiang kayu itu.

Terkesima semua orang dikedai itu melihat hanya dalam satu gerakan ringan orang itu sudah terlempar terpelanting menabrak tiang kayu.

“Bangkitlah bila kamu masih mampu berdiri. Dan pasang telingamu lebar-lebar. Aku putra Raja Belang yang terkenal dan paling ditakuti dari Pulau Madhura.

Lawe rupanya hanya ingin mengambul dengan mengatakan dirinya putra Raja Belang dari Pulau Madhura. Lawe sendiri tidak mengerti bahwa “Belang” di Tanah Melayu diartikan sebagai Harimau.

“Maafkan anak buahku yang terlalu banyak minum arak”, berkata seorang pemuda yang tiba-tiba saja sudah berdiri didekat Lawe. Terkesiap sejenak Lawe memandang mata anak muda yang begitu tajam. Juga raut wajah dari pemuda itu memang terlihat asing tidak seperti wajah orang pada umumnya yang punya lekukan diantara hidung dan bibir atas. Sementara anak muda ini sepertinya tidak punya “anakan” dibawah hidungnya.

Anak muda itu ternyata dapat membaca apa yang ada dalam pikiran Lawe, maka dengan tersenyum ramah anak muda itu menjura memberi hormat.

“Terima kasih telah memberi sedikit pelajaran kepada anak buahku”, berkata anak muda itu yang terus melangkah mendekati anak buahnya yang masih duduk bersandar tiang kayu.

Anak muda itu terlihat memapah anak buahnya kembali ke tempat duduknya semula.

Suasana kedaipun kembali seperti sediakala. Mahesa Amping, Lawe, Raden Wijaya dan Argalanang terlihat menikmati hidangan yang disediakan.

Lepas malam baru mereka naik ke panggung tempat penginapan yang telah disediakan untuk beristirahat.

Tidak ada kejadian di malam itu, meski begitu mereka tetap berjaga-jaga secara bergantian untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan apalagi setelah kejadian di kedai yang sedikit menghebohkan,

Dan malam pun berlalu menyelimuti segenab kegelisahan dan keletihan di hari-hari yang melelahkan ketika kantuk membius segenab indra, segenap rasa, segenap jiwa dalam kegelapan mimpi.

Hingga akhirnya pagi pun datang menjelang membangunkan jiwa, rasa dan indra yang ditandai dengan keremangan warna pagi, sentuhan dingin semilir angin pagi dan terdengarnya sayup-sayu suara kokok ayam jantan saling bersahutan dari tempat yang amat jauh.

Bandar Melayu sudah terbangun, cahaya oncor di perempatan jalan sudah meredup. Terlihat perempuan penjual jajanan pagi tengah melayani beberapa buruh yang belum sempat mandi mengisi perutnya untuk dapat siap bekerja kembali.

Dan warna keremangan pagipun perlahan tersapu sinar matahari dalam semburat cahaya kuning sejuk menyinari panggung alam dalam kebenderangannya.

Mahesa Amping, Lawe, Raden Wijaya dan Argalanang terlihat telah bersiap-siap untuk berangkat ke Kotaraja Melayu, melaksanakan tugas mereka sebagai delik sandi di Tanah Melayu.

Jarak kotaraja dan Bandar Melayu memang tidak begitu jauh, hanya terhalang hutan kecil dan beberapa Padukuhan. Dan sudah ada jalan pedati yang biasa dilalui para pedagang untuk mencapainya.

“Tadi malam, di kedai kamu katakan dirimu sebagai putra Raja belang, apakah benar demikian?”, bertanya Argalanang ke pada Lawe ketika mereka sudah  beberapa langkah meninggalkan Bandar Melayu.

“Aku hanya sedikit membual”, berkata Lawe sambil tersenyum.

“Di sepanjang Tanah Perak ini orang mengartikan belang sebagai Harimau”, berkata Argalanang menjelaskan.

“Kalau kutahu dari dulu mungkin aku tidak mengatakan sebagai putra Raja Belang”, berkata Lawe.

“Selama ini kupikir cerita tentang manusia harimau itu cuma sebuah dongeng, ternyata aku melihatnya langsung tadi malam dikedai didalam diri anak muda itu”, berkata Argalanang.

“Darimana kamu yakin bahwa anak muda itu sebagai manusia Harimau?”, bertanya Lawe penasaran.

“Kulihat sendiri anak muda itu tidak punya anakan dibawah hidungnya”, berkata Argalanang.

“Akupun melihatnya”, berkata Lawe sambil mengingat kembali kejanggalan pada diri anak muda yang ditemuinya semalam.

“Itulah yang membedakan kita dengan mereka sebagaimana yang diceritakan oleh orang-orang tua di kampungku”, berkata Argalanang.

“Apa yang diceritakan oleh orang-orang tua di kampungmu mengenai manusia harimau?”, bertanya Lawe yang menjadi tertarik mengenai manusia Harimau.

“Manusia harimau adalah sebuah ilmu keturunan yang tidak dapat dilepaskan. Ketika lahir mereka berwujud sempurna sebagaimana kita. Tapi ketika ilmu keturunannya telah larut diwarisi, langsung pewaris ilmu itu akan berubah tidak lagi mempunyai anakan dibawah hidungnya”, berkata Argalanang diam sejenak. “Dan dapat berujud sebagai harimau sungguhan ketika  marah”, berkata Argalanang melanjutkan ceritanya.

“Sebuah ilmu warisan yang aneh”, berkata Raden Wijaya yang ikut tertarik dengan cerita Argalanang.

“Semoga saja harimau itu bukan orang-orang yang sedang menunggu kita”, berkata Mahesa Amping sambil menunjuk kedepan jalan.

Ternyata jauh di depan mereka terlihat dua orang telah menunggu. Semakin dekat semakin jelas, ternyata anak muda dan anak buahnya yang semalam telah membuat sedikit keributan di kedai.

“Aku sengaja menunggu kalian, terutama kepada Putra Raja Belang”, berkata anak muda itu setelah mereka bertemu.

“Maaf, semalam aku cuma sedikit membual”, berkata Lawe ingin menjelaskan.

“Aku menunggu sudah cukup lama, apakah putra Raja Belang tidak punya keberanian?,” berkata anak muda itu.

“Tapi… ”, berkata Lawe

“Tidak jauh dari sini ada sebuah bulakan, kutunggu kamu di situ”, berkata anak muda itu sepertinya tidak ingin mendengar penjelasan Lawe langsung berjalan.

“Kita ikuti apa maunya”, berkata Mahesa Amping kepada Lawe yang masih belum tahu apa yang harus dilakukannya.

Mereka mengikuti kemana anak muda itu berjalan.

Yang ternyata ke sebuah bulakan yang cukup luas.

“Karena kamu sudah mengaku sebagai putra Raja Belang, aku menantangmu”, berkata anak muda itu sambil bertolak pinggang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar