Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Jilid 01

JILID 01

LANGIT begitu cerah, awan putih bergantungan di bumi Kotaraja Singasari yang besar dan ramai. Sepanjang jalan Kotaraja dihiasi rumah-rumah besar bertiang tinggi kayu jati berukir indah. Kuda-kuda pengangkut barang milik saudagar tidak pernah sepi berlalu-lalang. Kadang satu dua kereta kencana milik para bangsawan terlihat menyusuri jalan. Terlihat seorang putri dari jendela kereta kencana begitu elok rupawan. Orang yang berjalan kaki pun begitu penuh kegembiraan, datang dan berlalu dari arah pasar Kotaraja yang ramai.

Ada berita penting yang menjadi pembicaraan hangat pada saat itu, bahwa besok di Istana Singasari akan ada pelantikan dan pengukuhan dari beberapa Pangeran Istana, para rakyan dan beberapa orang biasa yang dianggap telah banyak berjasa bagi kelangsungan dan kejayaan kerajaan Singasari.

Pada hari itu, Mahesa Murti dan Mahesa Pukat ada di rumah Mahendra. Sebagai seorang ayah, bukan main bangganya memandang kedua anaknya. Tidak ada kebanggaan dari seorang ayah melihat seorang anak yang tumbuh dewasa, berpijak dan mengenal paugeran hidup dari yang Maha Pemberi Sumber Kehidupan. Sementara pangkat dan jabatan hanya sebuah amanat yang harus dijaga dan disyukuri.

Besok, Mahesa Pukat akan dikukuhkan dirinya sebagai Rakyan Rangga berkedudukan di benteng Cangu, sebuah daerah sebelah utara Kotaraja. Sementara itu, Mahesa Murti mendapat anugerah mendapatkan Tanah Sima untuk seluruh tanah Padepokan Bajra Seta dan sekitarnya.

“Kekayaan, kehormatan dan kedudukan, adalah amanat dari yang Maha Pemberi Anugerah, Sumber dari segala sumber kehidupan ini”, berkata Mahendra memandang kedua putranya yang besok akan dilantik dan dikukuhkan di Paseban Raya.

“Nasehat Ayah akan kami pusakai”, berkata Mahesa Murti mewakili.

Mahendra tua nampak termenung, matanya memandang jauh kedepan, jauh melampau pucuk-pucuk kembang soka yang tumbuh di sudut halaman. Jauh mengenang masa mudanya dalam petualangan panjang, dari beberapa generasi ke generasi kepemimpinan Singasari.

Dan hari pun sudah menjadi senja ketika Mahesa Pukat pamit mohon diri kembali ke rumahnya.

AKHIRNYA, Hari yang ditunggu pun tiba. Pagi itu Istana berhias indah. Di depan pintu gerbang telah terangkai untaian janur kuning selamat datang sebagai tanda bahwa hari itu akan ada sebuah upacara besar. Sepanjang dinding Istana telah berhias umbul-umbul warna-warni mengiringi umbul-umbul kebesaran kerajaan–kerajaan dibawah daulat Singasari Raya.  Istana Singasari yang megah nampak menjadi lebih indah melebihi pemandangan hari-hari sebelumnya.

Masuk kedalam, di Paseban Raya telah berkumpul para undangan, para Rakryan tinggi kerajaan, para utusan kerajaan seluruh daulat Singasari Raya, para Bhirawa suci dan tentunya mereka yang akan mendapatkan anugerah Sri Maharaja, yang akan dinobatkan dan dikukuhkan dalam upacara besar itu.

Sementara itu, di Penataran samping Paseban Raya, para kawula, warga Kotaraja ikut berdesakan penuh semangat ingin menyaksikan langsung upacara penobatan dan pengukuhan. Dan tentunya dapat melihat langsung kemegahan Istana Singasari dari dekat, meski hanya di Penataran, sebuah lapangan besar berdampingan dengan Paseban Raya.

Di Panggung Paseban Raya, Sri Maharaja telah berdiri bersama permaisuri dinaungi Payung kebesaran kerajaan Kiai Penanggungan. Sebuah payung pusaka kerajaan yang dikeramatkan. Konon, seorang abdi dalem istana yang bertugas membawa payung ini harus berpantang, ditabukan makan buah labu parang merah. Pernah ada seorang abdi dalem yang lupa melanggar pantangan ini. Akibatnya memang diluar akal dan pikiran, Payung Kiai Penanggungan tidak dapat diangkat, seperti diberati oleh beban ribuan kati. Konon juga menurut beberapa orang tua di jaman itu, payung Kiai Penanggungan dapat mengusir hujan. Cuaca menjadi begitu cerah bila mana payung keramat ini telah berdiri hadir melengkapi setiap upacara kerajaan. Dalam kisah yang lain, Payung Kiai Penanggungan menurut para Bhirawa suci adalah hadiah Dewa Siwa kepada Raden Erlangga ketika berada di puncak  gunung Penanggungan dalam pengungsiannya bersembunyi dari kejaran musuh-musuhnya.

“Sejahteralah Sri Seminingrat yang bergelar  Maharaja Sri Jayawisnuwardhana Sang Mapanji Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana Kamaleksana sang penguasa utama kerajaan Singasari Raya, penuh kemuliaan Sang Permaisuri Waning Hyun dengan abhiseka Sri Jaya Wardhani”, terdengar suara Mahapatih yang menjadi juru bicara Sri Maharaja mengawali upacara suci itu dengan mengucapkan puja dan puji kepada Sri Maharaja dan permaisuri.

Setelah mengatur nafas perlahan, Sang Maha Patih membacakan satu persatu para putra raja yang dinobatkan sebagai adipati di penjuru tanah daulat Singasari Raya. Beberapa Rakryan tinggi kerajaan yang dititahkan menduduki jabatan baru, juga para Bhirawa suci dan kawula biasa yang karena jasanya telah diberikan anugerah Tanah Sima.

Semua mendengar dengan penuh hikmad, satu persatu ucapan yang disampaikan Sang Mahapatih wakil juru bicara Sri Maharaja. Suasana menjadi begitu hening penuh kehormatan, sepertinya ucapan Sang Mahapatih adalah titah langsung Sri Maharaja.

Setelah Sang Mahapatih membacakan satu persatu para penerima penobatan, pengukuhan dan anugerah Sri Maharaja, maka satu persatu para penerima penobatan, pengukuhan dan anugerah berjejer berbaris berhadap panggung Paseban Raya untuk menerima langsung tanda prasasti dari Sri Maharaja berupa sebuah kotak sebesar setengah telapak tangan kayu hitam persegi panjang berukir tanda kebesaran yang masing-masing berbeda sesuai penobatan, pengukuhan dan anugerah yang diberikan.

Dan akhirnya, tahap demi tahap pelaksanaan upacara suci penobatan, pengukuhan itu pun berakhir. Ditandai dengan turunnya Sri Maharaja dan Permaisuri meninggalkan panggung Paseban Raya.

“Selamat bertugas Rakryan Rangga Mahesa Pukat”, berkata Rakryan Tumenggung Honggopati kepada Mahesa Pukat dalam sebuah perjamuan besar yang diadakan sebagai rasa suka cita setelah upacara di paseban Raya telah usai.

“Terima kasih, mohon doa restunya”, berkata Mahesa Pukat kepada Rakryan Tumenggung Honggopati  sahabat lamanya itu.

Sementara itu, di tempat yang sama, Mahesa Murti tengah berbincang bersama seorang Bhirawa yang juga sama-sama diberi anugerah Tanah Sima.

“Semoga Sri Maharaja selalu diberkati oleh para Dewa”, berkata Sang Bhirawa kepada Mahesa Murti. “Sri Maharaja tangannya bermata, bersaksi atas segala jasa”, lanjutnya.

“Anugerah ini adalah titipan dari Yang Maha Pemberi Anugerah, lewat tangan Sri Maharaja anugerah ini dititipkan”, berkata Mahesa Murti.

“Pandangan Anakmas begitu luhur, berbahagialah Penasehat Agung Mahendra, telah berputra seperti anakmas”, berkata Sang Bhirawa kepada Mahesa Murti yang juga mengenal Mahendra.

Dan perjamuan masih terus berlangsung, suka cita meliputi suasana kegembiraan menyambut keputusan Sri Maharaja menempatkan beberapa keluarga dekat di daerah-daerah yang penting. Sebuah keputusan yang tepat untuk mengikat kedaulatan Singasari Raya. Disamping juga dengan cerdas telah memberikan anugerah kepada para pendeta dan kawula biasa yang telah banyak berjasa yaitu berupa Tanah Sima. Dukungan akan menjadi semakin meluas untuk kedamaian bumi Singasari Raya. Ditengah perjamuan yang hangat itu, datang menghampiri Mahesa Murti seorang yang berperawakan tubuh tegap, penuh wibawa, namun wajahnya selalu menunjukkan senyum keramahan. Dengan penuh hormat Mahesa Murti menyambut orang yang menghampirinya itu yang sudah dikenalnya, yang tidak lain adalah Ratu Anggabhaya Mahesa Cempaka. Bersamanya seorang anak laki-laki remaja seusia Mahesa Amping.

“Beri hormat kepada Pamanmu”, berkata Ratu Anggabhaya memperkenalkan anak laki-laki yang mempunyai wajah begitu tampan yang tidak lain adalah putranya sendiri Raden Wijaya.

“Menghaturkan hormat untuk Paman Mahesa Murti”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Murti penuh kesopanan yang dibalas dengan salam hormat kembali dari Mahesa Murti yang dalam pandangan pertamanya sangat menyukai anak laki-laki yang begitu tampan didepannya penuh kesopanan dan mengenal tatakrama, tidak seperti putra bangsawan yang sering dijumpainya, begitu angkuh, merasa lebih tinggi martabatnya dan selalu ingin dihormati.

“Apakah aku sudah setua seorang Paman?”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya yang menoleh kepada Ratu Anggabaya meminta pertimbangannya bahwa memang dalam pandangannya melihat Mahesa Murti memang masih begitu muda.

“Aku memanggil ayahmu sebagai Paman Mahendra, sudah sewajarnya putraku memanggilmu dengan sebutan Paman”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Mahesa Murti sekaligus meluruskan kebimbangan Raden Wijaya.

“Bagaimana bila aku memanggil Paman muda Mahesa Murti”, berkata Raden Wijaya yang disambut tawa dari Mahesa Murti maupun Ratu Anggabhaya sendiri.

“Tidak ada Paman Muda, juga Paman tua, Paman

….ya paman…”, berkata Ratu Anggabhaya yang disambut tawa oleh Mahesa Murti dan juga Raden Wijaya.

“Betul – betul – betul”, berkata Raden Wijaya dengan jenaka yang disambut tawa mereka bertiga. Beberapa pasang mata menjadi iri melihat keakraban mereka bertiga. Mahesa Murti sendiri melihat kejenakaan Raden Wijaya yang masih remaja ini jadi semakin menyukainya. Sepertinya mereka sudah saling mengenal begitu lama.

“Sebenarnya kami berharap anakmas Mahesa Murti dapat menggantikan kedudukan adikmu Mahesa Pukat sebagai guru keluarga Istana”, berkata Ratu Anggabhaya.

“Hamba akan menjunjung tinggi titah tuanku”, berkata Mahesa Murti penuh hormat namun ada kegelisahan didalam hatinya.

“Tapi kami lebih menghargai kedudukanmu sebagai pemimpin Padepokan Bajra Seta” berkata Ratu Anggabhaya dengan senyum dikulum sepertinya dapat membaca kegelisahan hati Mahesa Murti. “Akhirnya kami berpikir lain….”, berkata kembali Ratu  Anggabhaya masih dengan senyumnya bermaksud agar Mahesa Murti tidak lagi gelisah. Tapi ternyata Mahesa Murti menjadi lebih gelisah menunggu akhir kata Ratu Anggabaya selanjutnya.

“Kami bermaksud ingin menitipkan putraku ini di Padepokan Bajra Seta”, berkata Ratu Anggabaya  kepada Mahesa Murti yang sepertinya telah keluar dari himpitan beban berat. Nampak Mahesa Murti sepertinya menarik napas panjang setelah menahan nafas sekejab menerka-nerka kemana arah pembicaraan Ratu Anggabhaya.

“Kami di Padepokan Bajra Seta menerima putra Raden Wijaya sebagai sebuah kehormatan”, berkata Mahesa Murti sambil memandang Raden Wijaya yang juga tengah memandangnya dengan wajah penuh kegembiraan.

“Ini bukan keputusan kami, tapi putraku sendiri yang menghendaki”, berkata Ratu Anggabhaya sambil menepuk-nepuk pundak Raden Wijaya.

“Maafkan aku Paman, mudah-mudahan kehadiranku tidak menyusahkan”, berkata Raden Wijaya yang sudah banyak mendengar cerita dari beberapa orang yang dikenalnya mengenai Padepokan Bajra Seta, juga mengenai Mahesa Murti sendiri sebagai seorang pemuda yang ilmunya sudah begitu mumpuni.

“Kapan anakmas Mahesa Murti kembali ke Padepokan Bajra Seta?”, bertanya Ratu Anggabhaya kepada Mahesa Murti.

“Secepatnya bersamaan keberangkatan Mahesa Pukat ke tempat tugas barunya”, berkata Mahesa Murti kepada Ratu Anggabhaya.

“Kalau begitu, putraku akan mempersiapkan diri”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Mahesa Murti.

“Bintang Fajar akan bersinar di Padepokan Bajra Seta”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya ketika berpamitan meninggalkannya. Raden Wijaya menoleh sebentar melambaikan tangannya serta melepaskan senyumnya. Entah kenapa Mahesa Murti begitu simpatik kepada anak remaja itu.

Dan senjapun telah turun, Mahesa Murti bermalam di rumah Mahendra. Banyak hal mereka bicarakan bersama, mulai dari kedamaian di bumi Singasari yang mulai dapat dirasakan semenjak terbunuhnya Pangeran Gaco Bahari. Mereka juga membicarakan dampak pemberian anugerah Tanah Sima kepada para pimpinan pendeta agama akan berbuah dukungan yang semakin meluas bagi pemerintahan di bumi Singasari Raya.

“Mudah-mudahan Raden Wijaya punya bakat yang besar sebagaimana ayahnya”, berkata Mahendra kepada Mahesa Murti ketika pembicaraan beralih kepada rencana Ratu Anggabhaya yang akan menitipkan Raden Wijaya di Padepokan Bajra Seta. Sekilas Mahendra terkenang kembali kemasa silam, masa ketika membimbing dan membina Ratu Anggabhaya dan Sri Maharaja di Padepokan terpencil milik Witantra.

“Aku menyukai anak itu”, berkata Mahesa Murti kepada Mahendra.

“Raden Wijaya sudah mempunyai dasar-dasar yang baik dalam olah kanuragan lewat Ayahnya sendiri tentunya”, berkata Mahendra.

“Juga lewat Mahesa Pukat sebagai guru keluarga Istana”, berkata Mahesa Murti

“Benar”, berkata Mahendra

“Artinya tugasku melanjutkan dan mengembangkan apa yang telah dimiliki Raden Wijaya”, berkata Mahesa Murti.

“Raden Wijaya akan dapat melaluinya, karena ada di jalur yang sama”, berkata Mahendra.

“Mudah-mudahan apa yang kita harapkan dapat terwujud”, berkata Mahesa Murti berharap tidak ada hambatan dalam membina Raden Wijaya.

“Raden Wijaya adalah harapan masa depan bagi bumi Singasari ini”, berkata Mahendra memandang jauh ke depan.

“Sebagai cakra membawa Singasari raya terus melaju berkembang”, berkata Mahesa Murti penuh semangat.

“Cakra?”, bertanya Mahendra yang tiba-tiba saja teringat kepada orang kepercayaan Pangeran Gaco Bahari. “Dimana kira-kira orang itu berada”, berkata Mahendra sepertinya kepada dirinya sendiri.

“Orang yang mempunyai tanda cakra dilengannya, maksud ayah?”, bertanya Mahesa Murti kepada Mahendra yang dibalas dengan anggukan kepala mengiyakan.

“Apa yang ayah ketahui mengenai orang itu?”, bertanya Mahesa Murti.

“Dalam pertempuran denganmu, aku melihat tatagerak yang sama, sebagaimana Mahesa Agni dan dirimu”, berkata Mahendra

“Aku belum menangkap apa yang ayah maksudkan”, berkata Mahesa Murti yang belum menangkap arah pembicaraan Mahendra.

“Di dalam dirimu sudah melebur perguruan ayah dan Mahesa Agni”, berkata Mahendra mulai menjelaskan. “aku melihat tatagerak yang sama pada orang itu, lebih mendekati tatagerak Mahesa Agni”, berkata Mahendra melanjutkan.

“Kesimpulan apa yang ayah dapatkan dari orang itu”, berkata Mahesa Murti. “Keyakinan bahwa benar orang itu berasal dari perguruan Windu Sejati”, berkata Mahendra kepada Mahesa Murti.

“Apa hubungannya dengan Paman Mahesa Agni?”, bertanya Mahesa Murti

“Empu Brantas pendiri perguruan Windu Sejati  adalah saudara kandung Empu Purwa, guru Mahesa Agni “, berkata Mahendra.

“Aku baru menyadarinya sekarang”, berkata Mahesa Murti mengenang kembali pertempurannya dengan orang kepercayaan Pangeran Gaco Bahari.

“Sayangnya kita berdiri berseberangan jalan dengan orang itu”, berkata Mahendra.”Itulah perjalanan hidup, kami pun dulu pernah berseberangan jalan dengan Mahesa Agni ketika ia membela kubu Ken Arok menantang pamanmu Witantra dalam perang tanding”, berkata Mahendra mengenang masa-masa silam.

“Artinya, siapa pun bisa salah langkah”, berkata Mahesa Murti mencoba menyimpulkan perkataan Mahendra.

“Semua adalah garis dan ketetapan dari Yang Maha Agung”, berkata Mahendra.

“Dengan cara apa kita mengenal kebenaran itu ayah?”, bertanya Mahesa Murti

“Menilai, dengan cara apa kita menegakkan kebenaran itu sendiri”, berkata Mahendra. “Menilai dengan suara hati”, lanjutnya perlahan.

Dan tidak terasa sang malam pun sudah menutupi hari, keindahan bunga soka di pojok depan halaman rumah Mahendra sudah tidak terlihat lagi, tertutup keremangan malam bersama angin dingin yang sepertinya mencubit genit, mengusir dan mengajak Mahesa Murti dan Mahendra beranjak dari duduknya. Mengantar mereka tidur dan bermimpi tentang fajar dan beningnya pagi.

Pagi masih begitu suram, suara kicau burung telah membangunkan Mahesa Murti. Segera Mahesa Murti menuju ke pakiwan untuk bersih-bersih diri. Setelah berganti pakaian, Mahesa Murti pun keluar menuju pendapa.

Ternyata Mahendra telah ada di pendapa, entah sejak kapan Mahendra duduk di pendapa itu, Mahesa Murti diam-diam memuji kebiasaan Mehendra bangun di awal pagi. Wajah tuanya masih begitu segar, meski beberapa bagian sudah terlihat berkerut.

“Aku ingin menitipkan sesuatu”, berkata Mahendra ketika Mahesa Murti selesai meneguk minuman hangat.

“Mahesa Agni telah menitipkam kitab ini kepadaku, kuharap kamu dapat menyimpannya”, berkata Mahendra sambil memberikan sebuah kitab rontal yang tidak begitu tebal terbuat dari bahan kulit binatang.

Berdebar Mahesa Murti memegang kitab itu, wajahnya menatap penuh kekhawatiran memandang Mahendra di depannya.

“Jangan memandangku seperti itu, sepertinya aku akan mati besok”, berkata Mahendra tersenyum memandang Mahesa Murti, sepertinya dapat membaca apa yang ada dalam pikiran Mahesa Murti.

“Apakah ayah pernah mempelajari isi kitab ini?”, berkata Mahesa Murti setelah menguasai dirinya.

“Kitab ini berisi ujar-ujar bagaimana berperilaku terhadap alam, sesama makhluk hidup, juga terhadap Sang Pencipta”, berkata Mahendra menjelaskan isi dari kitab yang diberikan kepada Mahesa Murti. “Hanya pada bagian terakhir dari kitab ini yang tidak pernah bisa kumengerti”, berkata Mahendra melanjutkan.

Dengan tidak sengaja, Mahesa Murti membuka halaman terakhir dari kitab yang dipegangnya, bukan main terperanjat hatinya membaca kalimat yang ada dilembar terakhir dari kitab itu.

“Carilah aku dimana tidak ada aku”, perlahan Mahesa Murti membaca kalimat yang tertulis.

“Ya, kalimat itulah yang belum aku mengerti”, berkata Mahendra.

“Orang bertanda cakra itu pun, ketika hendak pergi, mengucapkan kalimat ini”, berkata Mahesa Murti.

“Mungkin sebagai isyarat, bahwa kamu sealiran dengannya, ketika bertempur denganmu dan melihat ada beberapa tatagerak yang sama, mungkin juga ia menyangka, bahwa kamu telah memiliki kitab ini”, berkata Mahendra mencoba menduga-duga isyarat perkataan orang bertanda cakra itu.

Dan suasana pun sepertinya membisu, Mahesa Murti dan Mahendra sepertinya telah jauh di alam pikirannya masing-masing.

Sementara itu, matahari sudah merayap menerangi halaman pendapa rumah Mahendra. Seseorang datang mendekati tangga pendapa, ternyata Mahesa Pukat.

Setelah menyapa dan menyampaikan keselamatan masing-masing, Mahesa Pukat pun memberi kabar bahwa dirinya akan berangkat ke benteng Cangu hari itu juga.

“Secepat ini?”, berkata Mahendra kepada Mahesa Pukat.

“Bukankah sebagai prajurit harus siap menerima perintah?”, berkata Mahesa Pukat sambil melirik kepada Mahesa Murti.

“Untungnya aku bukan prajurit”, berkata Mahesa Murti sambil tersenyum.

“Kukira, kamu akan berangkat dua atau tiga hari ini, biarlah aku bermalam sehari ini lagi”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Pukat sambil sebentar memandang wajah ayahnya Mahendra yang nampak begitu sedih. Mahesa Murti dapat merasakan bagaimana seorang ayah yang akan berpisah jauh dari anakanaknya, dalam usia senjanya. Dan perkataan Mahesa Murti adalah sebagai upaya sedikit menghibur kelaraan Mahendra.

Tidak lama Mahesa Pukat duduk bersama di pendapa. Setelah menikmati beberapa potong makanan dan minuman hangat, Mahesa Pukat berpamit diri.

“Hati-hatilah kamu menjaga diri”, berkata Mahendra melepas Mahesa Pukat melangkah menuruni anak tangga pendapa.

Mahendra dan Mahesa Murti mengiringi kepergian Mahesa Pukat dengan pandangan dan hati yang trenyuh, hingga akhirnya Mahesa Pukat tidak terlihat lagi menghilang ditikungan jalan.

Tidak banyak yang dilakukan Mahesa Murti di rumah Mahendra hari itu, selain menggenapi kerinduan mereka. Dan tidak terasa hari berlalu begitu cepat menembus senja, menggulung malam dan menarik sang matahari pagi berdiri di ujung timur cakrawala.

Pagi itu, Mahesa Murti dan Raden Wijaya di punggung kudanya keluar dari gerbang Kotaraja, diiringi tatapan mata Mahendra tua sampai jauh menghilang terhalang jalan bukit yang menurun.

Dengan menghela napas panjang, Mahendra perlahan menghentak kudanya berbalik badan. Dan membiarkan langkah kudanya berjalan perlahan. Matanya jauh memandang ke depan, memandang harihari dalam kesendiriannya.

Ternyata Mahendra sengaja memperlambat langkah kudanya, sepertinya ada yang ditunggunya. Dan benar saja, tidak lama kemudian ada suara langkah kuda mendekat.

“Sudah hamba duga, ternyata Pangeran Lembu Tal yang bersembunyi di semak-semak dekat gerbang Kotaraja”, berkata Mahendra ketika orang berkuda sudah ada berjalan di sampingnya.

“Mata Ki Mahendra begitu awas”, berkata Pangeran Lembu Tal tersenyum malu.

“Kenapa Pangeran bersembunyi?, bertanya Mahendra kepada Pangeran Lembu Tal.

“Semula aku pura-pura tidak memperlihatkan kesedihanku di depan Raden Wijaya, tapi hati ini tak kuat, akhirnya diam-diam aku mengikutinya sampai gerbang Kotaraja”, berkata Pangeran Lembu Tal berterus terang kenapa dia bersembunyi.

“Pangeran tidak setuju Raden Wijaya berguru di Padepokan Bajra Seta?”, bertanya Mahendra.

“Semula aku memang keberatan, bukan aku tidak percaya kepada Mahesa Murti, tapi usia Raden Wijaya menurutku masih begitu dini dan belum waktunya merantau jauh”, berkata Pangeran Lembu Tal. “Tapi keinginan anak itu begitu keras, langsung menyampaikan keinginannya kepada kakeknya sendiri Ratu Anggabhaya. Dan ternyata Ayahku Ratu Anggabhaya merestuinya”, berkata Pangeran Lembu Tal mengakhiri penjelasannya dengan mengangkat kedua pundaknya yang diartikan bahwa dia sendiri tidak bisa mencegah keputusan ayahnya Ratu Anggabhaya.

“Ratu Anggabhaya sepertinya sangat menyayangi Raden Wijaya”, berkata Mahendra

“Bukan cuma menyayangi, tapi benar-benar memanjakannya”, berkata Pangeran Lembu Tal

“Begitu sayangnya, hingga kepada siapapun membahasakan Raden Wijaya sebagai putranya”, berkata Mahendra tersenyum datar.

“Betul, aku putranya sendiri sepertinya sudah tersisihkan”, berkata Pangeran Lembu Tal.

Mahendra hanya tersenyum tidak menyambut lagi perkataan Pangeran Lembu Tal, pikirannya melambung jauh, membayangkan dikerumuni beberapa cucunya yang nakal dari anak-anaknya. ”Mungkinkah aku mengalaminya?”, berkata Mahendra dalam hati.

“Tidak terasa kita sudah sampai”, berkata Pangeran Lembu Tal menghentikan lamunan Mahendra ketika mereka sudah berada di pintu gerbang Istana.

Mahendra dan Pangeran Lembu Tal pun saling berpamit diri kembali ke rumahnya masing-masing didalam istana Singasari.

Sementara itu, masih di Istana, di bangsal keluarga istana, seorang pemuda nampak begitu gelisah di kamarnya. Sudah seharian ia tidak keluar kamar.

Di luar pintu, seorang wanita tua, seorang dayang pengasuh menunggu gelisah. Tadi pagi ia mencoba mengingatkan bahwa makanan pagi sudah disiapkan, bukan main kagetnya, pemuda itu malah membentaknya. Sebagai seorang dayang pengasuh yang sudah lama melayani pemuda itu, baru kali ini ia menerima perlakuan majikannya yang tidak seperti biasanya.

“Pangeran…..hari sudah siang, apakah pangeran tidak lapar?”, berkata wanita tua itu dari depan pintu yang tertutup, memberanikan diri bercampur perasaan cemas.

“Menjauhlah dari kamarku, aku lagi tidak mau makan”, terdengar suara keras dari dalam.

Nampak wanita tua itu menarik napas panjang, dengan wajah sedih penuh kecemasan akhirnya meninggalkan kamar pemuda itu.

Siapakah pemuda di dalam kamar yang dipanggil pangeran oleh wanita tua itu, pemuda itu adalah Pangeran Kertanegara sang putra mahkota. Sudah seharian ia tidak keluar kamarnya. Hatinya sedang begitu gundah gulana.

Pada dasarnya, Pangeran Kertanegara adalah seorang yang berperilaku lemah lembut. Itulah sebabnya wanita tua itu begitu kaget mendapatkan perilaku yang berbeda dari biasanya. Beribu pertanyaan berputar di kepalanya. Ada apa dengan junjungannya ini, yang sangat dikenalnya dari sejak kecil sampai menjelang dewasa seperti ini.

Kegundahan Pangeran Kertanegara berawal dari penempatan Kebo Bangkalan yang dialih tugaskan sebagai wakil Adipati di pulau Madura, seorang perwira tinggi yang banyak berjasa dan sangat dipercaya oleh Sri Maharaja. Kebo Bangkalan mempunyai seorang putri bernama Menik Kaswari, seorang gadis belia yang cantik jelita. Kecantikan inilah yang merebut hati Pangeran Kertanegara. Dan ternyata Menik Kaswari tidak “menolak cinta” dari Pangeran Kertanegara. Sebuah kebodohan besar bila ada gadis yang tidak “menginginkan” seorang Pangeran putra mahkota. Hampir setiap senja, Pangeran Kertanegara main ke rumah Menik Kaswari.

Pangeran Kertanegara masih berbaring di tempat tidurnya dengan menyandarkan dua lengannya di belakang kepalanya. Masih teringat jelas apa yang dikatakan Menik Kaswari dua hari yang lalu ketika dirinya datang berkunjung.

“Sri Maharaja tidak merestui hubungan kita”, berkata Menik Kaswari kepada Pangeran Kertanegara di suatu senja.

“Pengangkatan Paman Kebo Bangkalan tidak ada kaitannya dengan hubungan kita”, berkata Pangeran Kertanegara menjelaskan.

“Ayahandamu jahat”, berkata Menik Kaswari sambil berlari masuk ke dalam rumahnya.

Perkataan terakhir Menik Kaswari inilah yang sepertinya terus menggema mengisi setiap sudut kamarnya, menggema berputar-putar memenuhi seluruh hati dan pikirannya.

“Mungkinkah Ayahanda diam-diam tidak menghendaki hubunganku dengan Menik Kaswari?”, berkata Pangeran Kertanegara dalam hati sendiri.

“Atau diam-diam Ayahanda telah menentukan calon seorang putri untukku?”, kembali Pangeran Kertanegara berkata dalam hatinya sendiri.

“Kenapa aku harus terlahir sebagai Putra Mahkota?”, kembali Pangeran Kertanegara bertanya kepada dirinya sendiri, sepertinya menyesali keberadaannya sebagai Putra Mahkota.

“Ayahandamu jahat !!!”, kembali suara itu sepertinya begitu dekat berputar-putar ditelinganya. Pangeran Kertanegara nampak menutup dua telinganya, tapi suara itu sepertinya masih tetap terdengar.

Terbayang pula wajah cantik Menik Kaswari yang saat ini telah jauh darinya tengah digoda oleh beberapa pemuda.

Tiba-tiba saja Pangeran Kertanegara bangkit dan duduk dari pembaringannya. Matanya membesar berputar-putar.

“Menik Kaswari harus jadi istriku!!”, pikiran itulah yang ada dalam tekad Pangeran Kertanegara saat itu.

Cinta memang buta, apalagi untuk seorang pemuda yang baru mengenal adanya perasaan cinta sebagaimana yang dirasakan saat itu oleh Pangeran Kertanegara. Rasa takut kehilangan orang yang dicintai, rasa cemburu mengaduk-aduk perasaan pangeran Kertanegara. Sepertinya hanya satu wanita yang pantas mendampingi hidupnya saat itu. Manik Keswari seorang

!!.

Tapi, Pangeran Kertanegara bukan pemuda yang lemah, sebagai putra mahkota sudah digembleng lahir dan bathin. Nampak Pangeran Kertanegara mengatur pernapasannya. Memusatkan akal dan budinya kepada Sanghyang pencipta seluruh alam. Dalam sekejab pernapasannya seperti teratur, warna wajahnya berubah menjadi sejuk penuh ketenangan.

“Cinta memang harus diperjuangkan, tapi tidak dengan mengurung di kamar ini”, berkata Pangeran Kertanegara kepada dirinya sendiri.

“Maafkan aku Bibi, tadi pikiranku lagi kusut”, berkata Pangeran Kertanegara ketika membuka pintu kamarnya melihat bibi pengasuhnya sedang duduk gelisah.

Seperti diguyur air dingin, perempuan tua itu begitu bahagianya menerima senyuman dari junjungannya.

“Hamba siapkan makanan untuk Pangeran”, berkata perempuan tua itu kepada Pangeran Kertanegara.

Dan senja pun dalam wajah sendu berlalu, digantikan oleh wajah malam yang gelap. Angin dingin malam tidak menyurutkan perasaan para prajurit pengawal istana bergiliran keluar dari gardu rondanya, berkeliling loronglorong bangsal istana, memastikan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sementara itu di cakrawala sang putri malam masih tetap terjaga menyulam jubah pangeran terkasih, begitu setianya menemani sang Raja malam.

Di ujung malam, di saat cahaya bintang timur terlihat begitu cemerlang, berkelebat sesosok bayangan mengendap di antara rimbunnya gerumbul tanaman bunga. Bayangan itu terlihat mendekati dinding batu Istana yang tinggi. Melesat, melenting mencapai puncak dinding batu, dan akhirnya menghilang dibalik pagar dinding batu istana.

Pagi telah datang, cahaya matahari telah menerangi setiap jengkal tanah dan lorong Istana Singasari. Bukan main kagetnya dua orang prajurit pengawal yang bertugas sebagai pengawal sang putra mahkota melihat bibi dayang pengasuh berlari gugup menghampiri mereka.

“Pangeran tidak ada di kamarnya”, berkata perempuan tua itu kepada dua orang prajurit pengawal. “Bibi sudah mencari di tempat lain?”, berkata seorang prajurit pengawal bertubuh pendek kepada Dayang pengasuh.

“Belum”, berkata Dayang pengasuh.

“Kalau begitu, kami akan mencarinya”, berkata teman prajurit pengawal yang satunya lagi.

Dua orang prajurit pengawal mencari Pangeran Kertanegara hampir di setiap tempat di seluruh istana.

“Apakah kamu melihat Pangeran Kertanegara?”, bertanya seorang prajurit pengawal bertubuh pendek kepada seorang pekatik yang tengah mengumpulkan rumput yang masih hijau dan segar untuk makanan kuda.

“Pangeran Kertanegara tidak pernah berkunjung kemari, pernah…..tapi dalam mimpiku”, berkata Pekatik tua merasa pertanyaan prajurit pengawal itu bukan suatu yang penting, bahkan melanjutkan, “paginya aku mendapat rejeki besar, kambingku di rumah beranak empat ekor”.

Bukan main geramnya para prajurit pengawal itu mendapat jawaban pekatik tua itu, kalau bukan saat itu tengah menghadapi suasana yang mendebarkan, hilangnya seorang putra mahkota, mungkin pekatik tua  itu sudah ditempeleng bolak-balik sampai tersungkur makan rumput.

“Kita cari di tempat lain”, berkata teman prajurit yang satu lagi yang kelihatannya lebih sabar menggamit tangan temannya.

Matahari di cakrawala sudah merayap naik meninggalkan pagi, cahayanya sudah menghangatkan kulit. Lebih-lebih kulit dua orang prajurit pengawal yang masih juga tidak mendapatkan Pangeran Kertanegara, hampir di setiap tempat di lingkungan Istana.

“Kita laporkan kepada Ki Lurah”, berkata Prajurit pengawal bertubuh pendek merasa putus asa.

“Ya, kita harus segera melapor”, berkata Prajurit pengawal yang satunya lagi.

“Panggil beberapa prajurit untuk mencari Pangeran di sekitar Kotaraja”, berkata Ki Lurah setelah menerima laporan Prajurit pengawal.

Para prajurit berpencar mencari Pangeran Kertanegara di setiap sudut Kotaraja. Pangeran Kertanegara seperti menghilang ditelan bumi. Hampir setiap orang menggeleng tidak tahu dan tidak melihat Pangeran Kertanegara.

Berita hilangnya Pangeran Kertanegara akhirnya sudah sampai ke telinga Sri Maharaja.

“Pesankan kepada para petugas sandi, tugasnya hanya menemukan dimana Pangeran Kertanegara berada, tidak ada kewajiban membawanya kembali ke Istana”, berkata Sri Maharaja ke pada Arya Kuda Cemani yang telah sengaja dipanggil menghadap. Tidak ada sedikitpun kesan kecemasan pada wajah Sri Maharaja.

“Hamba mohon diri”, berkata Arya Kuda Cemani berpamit mohon diri kepada Sri Maharaja.

Ternyata Pangeran Kertanegara tidak menghilang ditelan bumi, hanya sudah begitu jauh meninggalkan Kotaraja. Seperti anak panah terlepas dari busurnya, seperti anak elang yang sudah bersayap penuh. Pangeran Kertanegara dengan gembira menyusuri padang alang-alang yang luas, mendaki hijaunya pegunungan, menyusuri hijaunya lereng pegunungan.

Begitu indahnya cinta. Panasnya matahari, dinginnya malam di alam terbuka tidak menyurutkan hati Pangeran Kertanegara. Keinginan Pangeran Kertanegara cuma satu, menemui impian cintanya Menik Kaswari, mengatakan dan membuktikan begitu kuatnya rasa cintanya tak terhalangi tingginya gunung, luasnya belantara hutan. Dan Pangeran Kertanegara sepertinya tengah berjalan sebagai prajurit cinta, akan menerjang apapun rintangan perlawanan cintanya !!!.

Sementara kita tinggalkan dulu Pangeran Kertanegara, mari kita mengikuti perjalanan Mahesa Murti dan Raden Wijaya menuju Padepokan Bajra Seta.

Raden Wijaya begitu gembiranya duduk di punggung kuda diiringi Mahesa Murti menyusuri bulakan panjang, menembus padang ilalang, mendaki bukit hijau mengejar bayangan Matahari di ujung cakrawala senja.

Mahesa Murti kali ini sengaja tidak berjalan ke arah seperti biasanya menuju Padepokan Bajra Seta, tapi sedikit melambung sekedar melihat keadaan lingkungan disekitarnya. Diam-diam mengagumi Raden Wjaya yang tidak sedikitpun surut merasa letih kelelahan. Wajahnya selalu segar ceria memandang setiap jengkal pemandangan, pohon besar ditengah padang ilalang, anak kijang yang berlari atau kemana arah raja elang menukik menyambar tikus naas yang tidak sempat sembunyi.

“Kasihan tikus itu”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Murti.

“Kasihan juga kepada anak-anak elang yang menanti di puncak gunung tinggi dalam keadaan penuh kelaparan”, berkata Mahesa Murti memberi pengertian tentang hubungan keseimbangan alam.

“Aku baru mengerti, seandainya tidak ada Raja Elang, mungkin bumi ini dikeliling ribuan tikus karena tidak ada yang memangsanya”, berkata Raden Wijaya menangkap sebatas penalarannya yang dibalas anggukan kepala dari Mahesa Murti.

“Seorang ksatria, terlahir untuk menjaga kedamaian bumi ini”, berkata Mahesa Murti

“Seperti Raja Elang menjaga bumi ini”,  berkata Raden Wijaya melanjutkan.

“Di ujung bukit itu, kita akan menemui beberapa padukuhan”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya.

Matahari hampir tenggelam di balik bukit, Mahesa Murti dan Raden Wijaya mempercepat langkah kuda, mengejar matahari senja agar dapat tiba di Padukuhan di balik bukit disaat hari belum menjadi gelap.

Hari memang belum menjadi gelap, manakala mereka tiba di Banjar desa sebuah Padukuhan. Sebagaimana para pengembara, mereka pun meminta ijin penunggu Banjar untuk bermalam.

“Nampaknya para warga desa di sini begitu ramah”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Murti ketika seorang penunggu Banjar berlalu meninggalkan setumpuk singkong rebus dan minuman hangat untuk mereka.

Mahesa Murti hanya tersenyum, menyilahkan Raden Wijaya menikmati hidangan yang disediakan.

Sang malam pun semakin menyelimuti bumi, mempersilahkan segala yang hidup untuk tidur, kecuali para makhluk malam yang mencari penghidupannya di saat malam menjelang.

“Tidur lah lebih dulu, aku akan segera menyusul”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya.

Ketika Raden Wijaya nampak sudah tertidur pulas, Mahesa Murti tidak segera tidur. Mahesa Murti hanya bersandar di dinding, matanya nampak terpejam, tapi hati dan pikirannya selalu terjaga. Begitulah naluri para pengembara dimanapun mereka berada. Selalu waspada.

Dan pagipun tiba, disaat semburat warna merah muncul dari timur matahari, Mahesa Murti dan Raden Wijaya telah keluar dari regol banjar desa. Rancak langkah kuda berjalan menyusuri pesawahan. Beberapa petani sudah tengah bekerja mengolah tanah disawahnya, saat itu memang awal musim penghujan, saat yang baik untuk memulai menanam bibit.

“Mereka terlahir sebagai petani”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Murti sambil memperlambat laju kudanya. Pikirannya begitu takjub dengan  semangat para petani yang begitu gembira bekerja menyambut datangnya musim tandur, musim untuk memulai menanam padi.

“Raden sendiri terlahir sebagai ksatria”, berkata Mahesa Murti sambil menyamakan laju kudanya disamping kuda Raden Wijaya.

“Apa yang membedakan aku dengan mereka?”, bertanya Raden Wijaya.

“Mereka memegang cangkul, sementara Raden menggenggam pedang di tangan”, berkata Mahesa Murti. “Mereka menanam padi, sementara Raden menanam kedamaian”, lanjut Mahesa Murti.

“Gusti Kang Akarya Jagad telah menentukan dimana mereka dilahirkan” Berkata Raden Wijaya menirukan pendeta istana yang mengajarkan ilmu kejiwan kepadanya.

“Betul Raden, ada yang terlahir sebagai brahmana, ada yang terlahir sebagai Ksatria, ada yang terlahir sebagai Saudagar dan terlahir sebagai petani”, berkata Mahesa Murti.

“Betul, pendeta istana pernah berkata seperti itu”, berkata Raden Wijaya.

“Masih ada yang belum aku sebutkan, ada juga yang terlahir sebagai perusuh”, berkata Mahesa Murti.

“Perusuh?”, bertanya Raden Wijaya

“Ya, mereka yang terlahir sebagai perusuh juga telah ditentukan dan diciptakan oleh Gusti Kang Akarya Jagad”, berkata Mahesa Murti.

“Apakah kita dapat merubahnya?”, bertanya Raden Wijaya

“Kita tidak dapat berbuat apapun, kecuali atas kehendak Gusti Kang Maha Agung”, berkata Mahesa Murti.

“Aku masih belum paham”, berkata Raden Wijaya. “Untuk dapat mengenal kehendak Gusti Kang Akarya

jagad,  harus mengenal dan memahami alam wadag dan

alam bathin”, berkata Mahesa Murti yang banyak mengenal ilmu kajiwan lewat Kiai Wijang mencoba menjelaskan kepada Raden Wijaya.

“Aku semakin tidak mengerti”, berkata Raden Wijaya”

“Mudah-mudahan, dengan kehendak Nya, Raden akan memahami”, berkata Mahesa Murti yang menyadari belum waktunya bicara masalah ilmu kajiwan lebih dalam kepada Raden Wijaya. “Sebentar lagi kita akan menjumpaian persimpangan jalan, sudah waktunya kita mengambil arah kekanan”, berkata Mahesa Murti sambil menunjuk arah jauh di depan mereka.

“Pengembara melangkah”, berkata Raden Wijaya menirukan sebuah syair.

“Menggandeng Matahari sebagai teman, Menyembah bintang sebagai guru, Memberi cinta, senyum bintang kejora”

Mahesa Murti dan Raden Wijaya mengucapkan sebuah syair bersama, merekapun tertawa bersama, kerena ingat pada syair yang sama pada waktu yang sama. “Pasti kakekmu Ratu Anggabhaya yang mengajarkan syair itu kepadamu”, berkata Mahesa Murti.

“Betul”, berkata Raden Wijaya.

“Artinya kita punya guru yang sama”, berkata Mahesa Murti

“Buyut Mahesa Agni yang paman maksudkan?, berkata Raden Wijaya

“Betul-betul-betul”, berkata Mahesa Murti yang di sambut tawa oleh Raden Wijaya, dalam pikirannya, ternyata Mahesa Murti dapat juga berlaku jenaka.

Dan di persimpangan jalan, sebagai mana yang Mahesa Murti katakan, mereka pun telah mengambil arah ke kanan. Dan sang matahari dengan setia mengiringi langkah mereka sepanjang hari perjalanan yang masih panjang.

Panas matahari memancar kuat dari puncak cakrawala langit, panasnya seperti membakar kulit Mahesa Murti dan Raden Wijaya. Untungnya hembusan angin sedikit melunakkan panasnya matahari di siang jentrik itu.

“Hutan Kondang sudah terlihat”, berkata Mahesa Murti menunjuk gerumbul warna hitam samar di depan mereka, masih jauh, tapi sebuah hiburan terutama untuk Raden Wijaya yang terlihat wajahnya memerah terbakar panasnya matahari.

Seperti dihentak perasaan yang sama, mereka pun memacu kudanya lebih cepat lagi menunju gerumbul hitam yang sudah semakin dapat terlihat jelas.

Akhirnya, merekapun telah sampai di tepi hutan Kondang. Sebuah hutan yang lebat, sekumpulan pohon yang besar, rapat berdiri di depan mereka, seperti raksasa siap menelan mereka.

Mahesa Murti dan Raden Wijaya telah masuk ke dalam hutan Kondang, merasakan segarnya angin dan bau tanah basah. Panasnya sinar matahari yang seperti menggigit kulit sudah tidak dirasakan lagi.

Mahesa Murti dan Raden Wijaya mengikuti jalan setapak, sebagai tanda bahwa hutan ini sering dilalui orang.

“Kita beristirahat di sini”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya sambil melompat dari kudanya. Dan Raden Wijaya pun mengikutinya berhenti turun dari kudanya, berjalan mendekati Mahesa Murti yang sudah duduk bersandar di bawah sebuah pohon kayu besar, beralaskan akar kayu yang menonjol keluar dari tanah hitam basah.

“Aku pernah lewat hutan ini, ada sebuah pohon kelapa liar di pojok belukar seberang sana”, berkata Mahesa Murti sambil menunjuk kesebuah arah. Sebagai orang yang baru pertama kalinya melakukan perjalanan yang jauh, Raden Wijaya hanya meraba-raba apa yang akan di lakukan oleh Mahesa Murti dengan sebuah pohon kelapa. Matanya hanya mengikuti kemana Mahesa Murti berjalan, menembus belukar dan menghilang ditelan kerimbunannya.

Tidak lama kemudian, Mahesa Murti telah muncul keluar dari semak belukar dimana tadi ia sempat menghilang. Ditangannya membawa tiga buah butir kelapa muda.

“Rejeki kita masih baik, tidak keduluan bajing hutan”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya memberikan sebuah kelapa kepadanya.

Dan merekapun melepaskan dahaga dengan meminum air kelapa segar, dan memakan daging buah kelapa sekedar mengisi perut mereka yang sudah waktunya minta dijatahi.

“Buatkan perapian”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya yang langsung mengerti apa yang harus dilakukannya.

Ketika Raden Wijaya membuat perapian, Mahesa Murti membuka bekalnya, mengambil beras ketan dari dalamnya secukupnya.

“Pinjam belati kecilmu”, berkata Mahesa Murti yang mengetahui Raden Wijaya juga membawa sebilah belati.

Dengan belati itu, Mahesa Murti melubangi buah kelapa muda, memindahkan airnya ketempat kelapa lainya yang sudah tidak berisi. Kemudian dengan sekali ayun, buah kelapa muda itu sudah terbelah dua.

Diam-diam Raden Wijaya kagum melihat begitu ringan dan cekatannya tangan Mahesa Murti, kemudian juga Raden Wijaya melihat Mahesa Murti memasukkan beras itu di batok kelapa yang sudah terbelah, mengaduknya bersama daging muda dan air kelapa. Setelah itu mengikat kembali batok kelapa yang sudah terbelah dua menjadi satu. Dan memasukkannya kedalam perapian yang di buat oleh Raden Wijaya yang sudah menyala bergulung-gulung apinya.

“Masakan sudah siap”, berkata Mahesa Murti membongkar perapian, mengeluarkan batok kelapa yang sudah hitam gosong terbakar.

“Selamat menikmati pengembara muda”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya sambil menyerahkan batok kelapa yang sudah terbelah berisi beras ketan yang sudah masak.

“Masakan yang paling nikmat yang pernah aku rasakan sepanjang hidupku”,berkata Raden Wijaya setelah mampir tiga suap nasi di mulutnya.

“Masakan ala pengembara”, berkata Mahesa Murti sambil menghabiskan makanannya.

Lidah sinar matahari menembus lewat sela-sela daun menerangi tanah basah hutan yang rindang.

Segerombolan monyet jawa melintas berayun dari dahan ke dahan, disambut suara burung-burung yang terkejut terbang menjauh.

“Kita lanjutkan perjalanan ”, berkata Mahesa Murti bangkit dari duduknya, dan Raden Wijaya pun mengikutinya.

Mahesa Murti dan Raden semakin masuk ke dalam hutan. Tidak ada lagi jejak jalan setapak. Terpaksa mereka menuntun kuda-kuda bereka karena jalan semakin bersemak, julur akar dan batang-batang rotan liar sering menghadang perjalanan mereka, namun mereka tidak merasakan sebuah kesulitan besar,  setapak demi setapak mereka terus memasuki hutan Kondang semakin kedalam.

Rimbunnya hutan kondang tidak menjadikan Mahesa Murti kehilangan arah. Lumut yang menghijau kekuningan adalah petunjuk arah kemana mereka harus melangkah, Mahesa Murti sepertinya menuju arah utara, di belakang mengiringi Raden Wijaya yang tidak pernah mengeluh, Raden Wijaya sepertinya menikmati perjalanannya.

Tiba-tiba saja langkah mereka terhenti. Mahesa Murti dan Raden Wijaya sama-sama melihat seorang wanita terikat badannya di sebuah batang pohon, tidak jauh sekitar sepuluh depa dari tempat mereka berhenti.

Raden Wijaya turun dari kudanya, segera menghampiri dimana wanita itu terikat. Jarak mereka sudah tinggal empat depa lagi.

“Raden……!!”, berteriak Mahesa Murti yang merasa ada sebuah kejanggalan sambil mendekati Raden Wijaya.

Sayang, peringatan Mahesa Murti sudah terlambat, Raden Wijaya sudah terjerumus dalam sebuah lubang besar. Dengan kecepatan penuh, ditambah perasaan tanggung jawab untuk menjaga keselamatan Raden Wijaya, Mahesa Murti seperti terbang menyambar tubuh Raden Wijaya.

Mahesa Murti berhasil menangkap tubuh Raden Wijaya, tapi akibatnya mereka berdua terjun bersama kedalam lubang besar. Mahesa Murti dengan merangkul Raden Wijaya mencoba mengurangi daya luncur dengan menjejakkan kakinya di antara tebing lobang yang keras berbatu cadas, Mereka masih tetap terjun kebawah, tapi tidak dengan cara terhempas. Dengan ringan kaki Mahesa Murti telah menjejakkan kakinya didasar lubang. Melepaskan Raden Wijaya yang masih belum terlepas dari rasa tercekam yang begitu sangat.

Berdesir dada Mahesa Murti membayangkan tubuh Raden Wijaya yang hancur dihempas dasar lubang yang bercadas.

Sementara itu di atas lubang beberapa orang berlari menghampiri wanita yang terikat. Dua tiga orang menjenguk kepalanya kedalam lubang. Sementara seorang lainnya membuka ikatan yang mengikat seluruh tubuh wanita itu.

“Perangkap kita berhasil, enam kali purnama lagi, kita terbebas dari kewajiban mencari tumbal”, berkata seorang yang paling tua diantara mereka, sepertinya pimpinan mereka.

Sementara itu didalam lubang, Raden Wijaya telah menguasai perasaannya yang tercekam.

“Gusti yang Maha Agung masih meyelamatkan kita”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya mencoba membantu menenangkannya.

Raden Wijaya berusaha membiasakan penglihatannya di dalam lubang yang gelap, perlahan penglihatannya dapat melihat meski masih begitu samar. Sementara itu Mahesa Murti yang mempunyai penglihatan yang tajam telah lebih dahulu melihat keadaan sekitar. Ketika wajahnya mendongak keatas, dilihatnya lubang diatas kepalanya begitu tinggi sekitar lima belas kali tinggi tubuhnya. Anehnya lubang itu berbentuk bulat bagus seperti ada yang sengaja membuatnya. Ketika dirabanya dinding lubang, ternyata berupa dinding cadas yang keras dan begitu licin ditumbuhi lumut hijau.

“Mungkinkah kita dapat keluar dari lubang ini?”, bertanya Raden Wijaya kepada Mahesa Murti

“Semoga ada jalan keluar”, berkata Mahesa Murti mencoba menenangkan Raden Wijaya meski didalam hati masih merasa sangsi apakah dapat keluar dari lubang yang dalam dan bercadas itu. Tapi Mahesa Murti segera dapat menenangkan dirinya sendiri. Sudah banyak peristiwa yang menggoncangkan perasaannya, bahkan nyaris mengancam nyawanya.

“Kita beristirahat sejenak, sambil mencoba mencari jalan keluar dari tempat ini”, berkata Mahesa Murti sambil duduk bersandar dinding cadas.Raden Wijaya pun duduk mengikutinya sambil matanya masih memperhatikan tiap jengkal lubang yang sudah mulai terlihat jelas.

“Lubang !!”, berteriak Raden Wijaya melihat sebuah lubang sebesar kepala.

Belum habis teriakan Raden Wijaya, dari lubang itu keluar kepala ular dengan mata seperti bernyala langsung merayap mendekati Raden Wijaya.

Mahesa Murti yang melihat keadaan itu, dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh mata wadag, tangan Mahesa Murti menangkap leher ular itu. Cengkraman tangan Mahesa Murti begitu kuat meremukkan tulang leher ular ganas itu. Dan dengan sekali ayunan, ular itu dibenturkan kedinding cadas yang keras.

Prak…!!! Suara tubuh ular yang remuk tidak bergerak lagi, mati.

Sementara itu Mahesa Murti masih menggenggam leher ular mati itu. Memperhatikan bentuk kepala ular itu dengan seksama, ada jengger aneh menghias kepalanya, kulit tubuh ular itu sendiri berwarna putih, ada dua jalur garis hitam membujur sampai kebuntutnya.

“Ular petir !!”, berkata Mahesa Murti. “seokor harimau yang paling kuat akan langsung mati bila kena patuk ular ini”, berkata Mahesa Murti melanjutkan.

“Apakah paman pernah menemuai ular ini sebelumnya”, bertanya Raden Wijaya.

“Belum, hanya mendengar cerita dari para orang tua”, berkata Mahesa Murti. “menurut cerita para orang tua, ular ini menetas disaat terdengar petir. Waktu mendengar cerita itu, aku menganggapnya sebuah dongeng. Ternyata dongeng itu ada”, berkata mahesa Murti yang masih memperhatikan kepala ular aneh yang baru saja dibantingnya hingga langsung remuk dan mati.

“Apa lagi yang diceritakan para orang tua mengenai ular ini?”, bertanya Raden Wijaya begitu tertarik mendengar cerita tentang ular berjengger yang aneh itu.

Mahesa Murti memandang wajah Raden Wijaya, kagum melihat ketabahan anak ini yang sepertinya telah melupakan kegelisahannya berada di dalam lubang yang dalam. Tidak dapat menduga apa yang akan terjadi di depan mereka.

“Dagingnya berkhasiat sebagai obat”, berkata Mahesa Murti

“Obat untuk penyakit apa?, bertanya Raden Wijaya tidak sabar.

“Obat sakit lapar”, berkata Mahesa Murti tersenyum memandang wajah Raden Wijaya yang ikut tertawa mengetahui kalau ucapan Mahesa Murti ternyata hanya sebuah gurauan. “Masakan Ular berjengger bakar ala pengembara”, berkata Raden Wijaya yang dibalas tertawa oleh Mahesa Murti. Dan merekapun tertawa bersama, sepertinya tidak ada pikiran dan melupakan nasib kehidupan mereka berada di dalam lubang yang dalam.

“Sepertinya cuaca di atas mendung”,berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya.

“Hujan sudah turun”, berkata Raden Wijaya merasakan rintik air.

Dan hujan memang sudah turun begitu deras, sedikit demi sedikit air mulai naik didalam lobang. Raden Wijaya membayangkan air akan terus naik, dan mereka bisa mati tenggelam.

“Kita bisa mati tenggelam”, berkata Raden Wijaya dengan begitu gugupnya.

“Belum Raden, kita belum mati”, berkata Mahesa Murti tenang.

“Tapi air hujan akan memenuhi lubang ini”, berkata Raden Wijaya dengan perasaan penuh kekhawatiran melihat air semakin naik sudah sebatas mata kaki.

“Air sudah tidak naik lagi”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya yang masih belum percaya bahwa air di dalam lubang memang tidak naik lagi, meski air hujan tetap turun mengisi lubang.

“Perhatikan arah air, berjalan tidak kelubang tempat ular petir itu keluar”, berkata Mahesa Murti sambil mencari kemana arah air keluar sehingga tinggi air didalam lubang sepertinya tidak lagi bertambah.

Mahesa Murti dan Raden Wijaya terus mencari kemana arah air keluar. Akhirnya mereka pun mendapatkan sebuah lubang yang sudah tertutup lumut tebal.

“Lubangnya cukup lebar”, berkata Mahesa Murti setelah berhasil membersihkan lumut-lumut yang menyumbat yang sukar sekali terlihat bila saja tidak ada air hujan yang turun.

Ternyata memang lubang itu tidak terlalu besar, hanya sebatas tubuh orang dewasa.

“Kita tunggu sampai hujan reda, mudah-mudahan di balik lubang ini ada jalan keluar untuk kita”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya.

Hujan di atas lubang dimana Mahesa Murti dan Raden Wijaya terperangkap di dalamnya memang cukup deras.

Pada waktu itu memang sedang musim penghujan.Ditambah lagi lubang itu sendiri begitu landai sehingga bukan cuma air yang langsung dari langit yang turun mengisi lubang, tapi air dari tanah sekitar juga ikut mengalir langsung kedalam lubang seperti tumpah. 

Tidak ada celah untuk berlindung. Air menimpa kepala Mahesa Murti dan Raden Wijaya seperti batu, datang bertubi-tubi.

Akhirnya, yang diharapkan pun tiba, curah hujan sudah tidak begitu deras lagi.

“Hujan sudah reda”, berkata mahesa Murti yang merasakan tidak ada air lagi yang jatuh menimpa kepalanya.”Mari kita periksa lubang itu”, berkata Mahesa Murti sambil mendekati lubang yang sudah tidak tertutup lumut lagi.

Mahesa Murti dan Raden Wijaya memperhatikan lubang di hadapan mereka. “Tidak ada salahnya kita mencoba”, berkata Mahesa Murti sambil menepuk pundak Raden Wijaya mencoba membesarkan perasaan hatinya.

Lubang itu memang sebesar badan orang dewasa. Mahesa Murti dan Raden Wijaya sudah masuk merayap ke dalamnya. Seperti ular yang merayap, mereka pun terus merayap. Mahesa Murti yang merayap di depan dengan ketajaman indera penciumannya, merasakan bahwa semakin masuk ke dalam, udara dirasakan semakin menyegarkan. Entah sudah berapa puluh meter meraka merayap. Tiba-tiba, setelah badan mereka sudah begitu pedih, serta tenaga sepertinya sudah banyak terkuras, Mahesa Murti sampai lebih dulu di ujung lubang. Bukan main gembiranya melihat ada ruangan yang luas di depan matanya.

Ruangan itu mirip sebuah kamar yang luas, di pojok ruangan ada sebuah altar batu yang menonjol lebih tinggi. Langit diatasnya cukup tinggi, ada begitu banyak lubang. Ternyata dari situlah sumber udara segar yang dirasakan Mahesa Murti ketika merayap dalam lubang sempit. Sementara ruangan itu sendiri hampir seluruhnya berdinding batu cadas.

Mahesa Murti dan Raden Wijaya mendekati altar batu. Dengan terbelalak mereka mendapatkan sebuah tengkorak manusia utuh terbungkus kain yang sudah rapuh dalam keadaan posisi bersila sempurna.

Ada sebuah tulisan yang terpahat bukan dengan benda tajam, sepertinya dipahat oleh sebuah jari tangan. Menyaksikan hal seperti ini menjadikan Mahesa Murti dan Raden Wijaya mengagumi siapapun orang yang melakukannya, kemungkinan adalah orang yang mereka temui yang tinggal tulang belulang di hadapan mereka. 

itu, Pelan-pelan Mahesa Murti membaca pahatan tulisan

“Siapapun yang menemukan jasadku telah berjodoh denganku.

Sempurnakan jasadku di Bengawan Brantas. Sampaikan maafku kepada para warga Panawejen. Carilah aku dimana tidak ada aku

Aku yang penuh dosa, bernama Purwaka Lodra”

“Empu Purwa !!”, berbarengan Mahesa Murti dan Raden Wijaya menyebut sebuah nama.

“Seandainya Paman Mahesa Agni ada disini, betapa gembiranya hatinya”, berkata Mahesa Murti kepada dirinya sendiri yang mengetahui betapa rindunya Mahesa Agni kepada gurunya Empu Purwa. Sudah begitu banyak tempat disinggahi dimana Empu Purma ada kemungkinan dapat dijumpai. Tapi Empu Purwa seperti hilang ditelan bumi.

“Ternyata, Empu Purwa menanti sisa usianya di sini”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya.

Ketika Mahesa Murti membaca kembali tulisan di  atas altar batu, Mahesa Murti meraba sesuatu dibalik kainnya, teringat sebuah rontal milik Mahesa Agni yang dititipkan oleh ayahnya sendiri ketika akan berangkat ke Padepokan Bajra Seta.

Mahesa Murti mengambil rontal dari balik kainnya.

Mahesa Murti tercenung dalam hati. “Empu Purwa sepertinya sudah melihat masa depan, tahu aku pembawa rontal titipan Mahesa Agni akan singgah di tempat ini”, bekata Mahesa Murti sambil memberi hormat kepada sisa tulang tengkorak di depannya yang ia yakini jasad Empu Purwa. Raden Wijaya yang tidak mengetahui apa yang dipikirkan oleh Mahesa Murti mengikuti memberi hormat kepada tulang tengkorak di depannya yang masih tegak dalam posisi bersila sempurna.

“Mari kita beristirahat sejenak”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya merasa kasihan, tentunya pasti perlu beristirahat setelah sekian lama merayap di lubang yang sempit.

Raden Wijaya dan Mahesa Murti pun mencari tempat untuk sekedar bersandar. Ketika Raden Wijaya tengah beristirahat, Mahesa Murti penasaran kembali membaca rontal yang dibawanya. Sebagai orang yang pernah diberikan pencerahan bathin lewat Kiai Wijang, dengan cepat Mahesa Murti telah dapat mengurai pokok-pokok penting tuntunan yang ada dalam rontal peninggalan empu Purwa. Mahesa Murti juga telah dapat mengurai perbedaan yang begitu tipis antara tuntunan yang pernah diberikan Kiai Wijang dengan tuntunan empu Purwa lewat rontal yang sedang dibacanya.

Mahesa Murti semakin hanyut dalam bacaannya.

Mahesa murti sudah dapat mencerna tuntunan empu purwa, bahkan pada kalimat terakhir :

– Carilah aku dimana tidak ada aku – -

“Luar biasa !!”, berkata Mahesa Murti seperti pada dirinya sendiri.

“Apa yang luar biasa Paman?”, bertanya Raden Wijaya kepada Mahesa Murti. Tapi Mahesa Murti sepertinya tidak mendengar dan juga tidak menjawab pertanyaan Raden Wijaya.

Dengan penuh keheranan Raden Wijaya melihat Mahesa Murti melakukan sila sempurna persis sebagaimana posisi tulang tengkorak Empu Purwa di altar.

Raden Wijaya memang tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh Mahesa Murti, ternyata Mahesa Murti telah menemukan sebuah laku yang didapatkan dari rontal peninggalan Mahesa Agni yang juga berarti warisan dari Empu Purwa.

Tapi Mahesa Murti tidak langsung mencoba “laku” itu. Mahesa Murti mencoba “laku” sebagaimana pernah dituntun langsung oleh Kiai Wijang untuk sekedar melihat perbedaan dan kesamaan yang mungkin dapat dirasakannya. Sebagaimana yang diajarkan oleh Kiai Wijang, Mahesa memulai memusatkan semua nalar dan budinya, melihat diri lewat pencitraan sifat perusuh atau macra, setingkat demi setingkat Mahesa Murti mulai masuk lebih ke dalam dengan pencitraan sudra, waisya, kesatria dan berada dalam puncak pencitraan Brahmana.

Raden Wijaya melihat Mahesa Murti seperti tidak bergerak, seperti patung hidup, karena Raden Wijaya sama sekali tidak mendengar napas keluar masuk hidung Mahesa Murti.

Raden Wijaya benar-benar tidak paham apa yang tengah dilakukan oleh Mahesa Murti.

Raden Wijaya memang tidak paham apa yang tengah dilakukan oleh Mahesa Murti. Ternyata Mahesa Murti seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru, Mahesa Murti tengah “asyik” didalamnya mencoba sebuah “laku-baru”

Setelah mencoba “laku” yang diajarkan oleh Kiai Wijang, Mahesa Murti mulai mencoba sebuah “lakubaru”, sesuai yang dibaca dalam rontal warisan empu purwa. Mahesa Murti langsung melihat kedalam diri, merasakan keakuannya, mencitrakan sosok dan wajahnya sendiri dan tiba-tiba saja mahesa Murti seperti hilang, tidak mendengar apapun, tidak melihat apapun, waktu sepertinya berhenti dalam ketiadaan masa, dan puncaknya merasakan “ketiadaan”, masuk kedalam “kehampaan”.

Bersamaan dengan apa yang tengah dirasakan oleh Mahesa Murti, maka bukan main terperanjatnya Raden Wijaya melihat tubuh Mahesa Murti terangkat sejengkal dan diam ditempatnya sekian lama. Akhirnya Raden Wijaya melihat tubuh Mahesa Murti kembali turun di tempatnya seperti semula. Terlihat Mahesa Murti sepertinya menarik napas panjang.

“Raden”, berkata Mahesa Murti kepada  Raden Wijaya yang masih menatapnya dalam ketidak mengertian. “Ternyata Empu Purwa telah memberikan sebuah rahasia besar, Sepertinya ruh Empu Purwa masih ada disini memberi petunjuk langsung”, berkata Mahesa Murti sambil menatap tulang tengkorak di altar yang diyakini sebagai jasad Empu Purwa.

“Aku tidak mengerti dan memahami apa yang Paman maksudkan”, berkata Raden Wijaya

“Pada saatnya Raden akan memahaminya”, berkata Mahesa Murti sambil menatap Raden Wijaya, berjanji dalam diri pribadi akan mengajarkan Raden Wijaya apa saja yang baru didapatkanya itu.

“Mari kita mencoba keluar dari tempat ini”, berkata Mahesa Murti kepada raden Wijaya sambil bangkit berdiri.

“Kita berada puluhan meter dibawah tanah, hanya manusia bersayap saja yang bisa keluar dari tempat ini”, berkata Raden Wijaya. Mahesa Murti tersenyum memandang Raden Wijaya dan berkata: “Marilah kita mencari sayap itu”

“Mencari sayap?”, bertanya Raden Wijaya tidak mengerti.”Dimana kita mencari sayap?, kembali Raden Wijaya bertanya.

“Kita akan mencari sayap itu, dimulai dari mana Empu Purwa dapat hidup sekian lama jauh dari kehidupan ramai”, berkata Mahesa Murti begitu lembut dan penuh senyum sepertinya tidak tengah  berada dalam keadaan apapun.

Dan Raden Wijaya pada dasarnya adalah seorang anak yang cerdas, juga tabah. Melihat ketenangan Mahesa Murti, timbul kembali semangatnya.

“Segera kita mulai”, berkata Raden Wijaya penuh semangat.

Dan Mahesa Murti bersama Raden Wijaya pun sibuk meneliti dan memperhatikan setiap sudut rongga di bawah tanah itu yang mirip sebuah kamar besar dengan penuh perhatian.

“Tanaman buah”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya sambil menunjuk sebuah tumbuhan merayap di pojok kanan altar. Tanaman itu menempel pada dinding batu cadas. Daunnya kecil seperti daun beringin.

Dan yang sangat menggembirakan hati Mahesa Murti dan Raden Wijaya bahwa tanaman merayap itu berbuah

!!

Tanaman merayap itu ternyata mempunyai buah yang banyak. Anehnya baik yang masih kecil maupun yang sudah besar mempunyai warna yang sama, yaitu berwarna hijau. Buah yang paling besar dan kemungkinan sudah masak besarnya sebesar setengah kepalan tangan orang dewasa.

Mahesa Murti memetik sebuah yang nampak paling besar, tanpa berpikir panjang langsung mencobanya. Ternyata buah itu cukup manis.

“Manis asam enak”, berkata Mahesa Murti setelah menghabiskan buah itu tanpa sisa. ”Cobalah”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya yang langsung memetik sebuah yang menurutnya memang sudah masak.

“Lumayan untuk sekedar mengganjal”, berkata  Raden Wijaya setelah mencoba buah yang tumbuh di dinding cadas itu.

“Setidaknya memperpanjang umur kita di bawah tanah ini”, berkata Mahesa Murti.

Sementara itu cahaya yang masuk dari langit-langit yang tinggi mulai menghilang, sebagai tanda bahwa matahari telah bergeser. Ruangan di bawah tanah  itu pun menjadi semakin redup, semakin gelap.

Didalam kegelapan itulah Mahesa Murti secara bertahap memberi penjelasan awal kepada Raden Wijaya sebelum melaksanakan laku rahasia yang didapat dari sebuah rontal peninggalan Empu Purwa. Raden Wijaya penuh perhatian mencoba mencerna apa yang disampaikan Mahesa Murti.

“Raden pernah melihat seekor ular. Untuk melihat seekor ular secara bathiniah, adalah merasakan sifatsifat ular itu sendiri, bagaimana seekor ular yang tertidur selama tiga bulan setelah memangsa seekor lembu, itulah ular sebagai lambang kemalasan”, berkata Mahesa Murti mencoba secara bertahap memberikan pengertianpengertian membuka rahasia bathin.

“Raden pernah melihat seekor kera, perhatikan bagaimana caranya makan, mulutnya masih menyimpan makanan, sementara tangannya masih juga memasukkan makanan kedalam mulutnya, itulah sifat ketamakan yang ada di dalam dirimu”, berkata kembali Mahesa Murti masih memberikan pengertian tentang lambang-lambang.

Raden Wijaya mulai dapat mencerna, bagaimana melihat kedalam diri, berkelana di dalam diri yang selama ini belum pernah dilakukannya.

“Ternyata alam bathin itu begitu luas, seluas alam wadag itu sendiri”, berkata Raden Wijaya yang telah menangkap tahap awal pemahamannya mengenai rahasia bathin.

“Beristirahatlah, besok kita lanjutkan”, berkata Mahesa Murti yang merasa gembira, tahap pertama telah dilalui Raden Wijaya dengan begitu sempurna. Diamdiam memuji kecerdasan bathin Raden Wijaya. Karena tidak semua orang dapat mencerna pemahaman bathiniah.

Demikianlah,dari hari ke hari dan setahap demi setahap Raden Wijaya mulai menerima beberapa pengertian dasar. Di hari ketiga Raden Wijaya sudah masuk lebih dalam lagi mengenai rahasia-rahasia mengungkap diri, mengenal nafsu yang ada di dalam diri dan pengendaliannya.

“Ketika awal pertama belajar kanuragan, seorang guru mengajarkan bagaimana kita mengelak kekiri dan kekanan setiap mendapatkan serangan sebuah senjata kayu, setelah cukup lama berlatih, kita menjadi terbiasa mengelak, seperti itulah kita belajar “titis” mengelak setiap kali datang pikiran nafsu menyerang”, berkata Mahesa Murti yang dengan sabar memberi pemahaman kepada Raden Wijaya.

Pada hari keempat, Mahesa Murti merasakan bahwa Raden Wijaya telah mempunyai dasar yang cukup sebagai landasan yang kuat menerima “laku-rahasia”.

“Aku ingin melihat, sejauh mana daya lompatanmu”, berkata Mahesa Murti meminta Raden Wijaya melakukan sebuah lompatan keatas.

Raden Wijaya mempersiapkan dirinya, melakukan sebuah lompatan.

Hup..!!, Raden Wijaya melompat tinggi sekuat tenaganya. Hasilnya hanya sebatas dan setinggi lututnya.

“Bagus”, berkata Mahesa Murti. “Mulai hari ini aku aku akan mengajarkan sebuah laku rahasia.

Mulailah Mahesa Murti memberi penjelasan apa yang harus dilakukan Raden Wijaya untuk memulai sebuah laku rahasia.

Lubang-lubang diatas langit-langit dalam ruang bawah tanah telah menghilang, sebagi tanda matahari sudah jauh bergeser bersembunyi dibalik kegelapan malam.

Sementara itu, Mahesa Murti dan Raden Wijaya telah memulai laku rahasia, duduk bersila sempurna.

Didalam kegelapan malam, yang juga kegelapan diruang bawah tanah, Raden Wijaya seperti patung budha diam tak bergerak, napasnya semakin lama semakin tidak terdengar lagi. Sementara itu Raden Wijaya tidak melihat dan menyadari, bahwa Mahesa Murti di sebelahnya sudah tidak menyentuh lantai lagi, seperti terangkat mengambang satu jengkal dari permukaan lantai.

Baru setelah cahaya masuk lewat lubang langitlangit, Mahesa Murti memberi isyarat kepada Raden Wijaya mengahiri “lakunya”

“Kita mulai lagi”, berkata Mahesa Murti kepada  Raden Wijaya setelah beberapa lama mereka beristirahat sambil memakan buah hijau yang tumbuh di pojok kanan altar.

Kembali Mahesa Murti dan Raden Wijaya bersila sempurna ditempatnya masing-masing.

Raden Wijaya terlihat begitu tatag, nafasnya begitu teratur dan sama sekali tidak terdengar. Sementara itu terlihat seperti hari sebelumnya, tubuh Mahesa Murti terangkat mengapung di udara setinggi dua jengkal.

Raden Wijaya masih tetap duduk sempurna, melaksanakan laku rahasia sebagaimana diajarkan oleh Mahesa Murti. Dan keajaiban pun terjadi, merasakan tubuhnya begitu ringan terangkat sedikit demi sedikit, mengapung di udara setinggi tiga jari.

Seandainya ada orang yang hadir dan melihat apa yang terjadi, pasti menyangka bahwa Mahesa Murti dan Raden Wijaya adalah bukan manusia, tapi makhluk halus penghuni ruang bawah tanah. Bagaimana tidak heran dan terkejut melihat Mahesa Murti dan Raden Wijaya mengapung tidak menyentuh dinding lantai.

Seharian dan semalaman Mahesa Murti dan Raden Wijaya berlatih laku rahasia itu. Baru ketika cahaya dari lubang langit-langit muncul kembali, Mahesa Murti memberi isyarat kepada Raden Wijaya untuk menghentikannya. “Coba lakukan sebuah lompatan”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya ketika mereka sudah beristirahat sekian lamanya.

Hup..!!, Raden Wijaya mengerahkan segenab tenaganya. Bukan main gembiranya raden Wijaya merasakan kekuatan yang ada didalam dirinya. Tubuhnya sendiri seperti begitu ringan. Raden Wijaya dapat melompat setengah dari tingginya langit-langit.

“Kita sudah mulai punya sayap”, berkata Mahesa Murti sambil menepuk bahu Raden Wijaya. “Sekarang lakukan sebagaimana aku lakukan”, berkata kembali mahesa Murti sambil berjalan ke sudut ruangan.

Di sudut dinding itu, Mahesa murti diam sejenak, mencoba menilai sejauh mana kira-kira tenaga yang dapat dilontarkan oleh Raden Wijaya.

Terkesima Raden Wijaya melihat Mahesa Murti lompat dari sudut ke sudut dinding secara siksak tiga kali terus ke atas sampai tangannya menyentuh langit-langit yang tinggi, lima belas kali tinggi tubuhnya. Ternyata Mahesa Murti hanya mengeluarkan sepertiga dari kekuatannya.

“Raden pasti bisa juga melakukannya”, berkata Mahesa Murti kepada raden Wijaya memberikan semangat dan keyakinan.

Sambil berkata, tubuh Mahesa Murti turun tidak meluncur deras, tapi turun seperti tertahan perlahan sampai akhirnya kedua kakinya menyentuh dinding lantai.

Sebuah atraksi meringankan tubuh yang luar biasa. “Lakukanlah  secara  bertahap,  kendalikan  kekuatan

dan   bobot  tubuh  kita  sesuai   kehendak  kita”,  berkata Mahesa Murti Kepada Raden Wijaya.

Dengan penuh semangat dan keyakinan, Raden Wijaya berlatih setahap demi setahap.

Diawali dengan satu loncatan, Raden Wijaya mulai dapat mengatur kekuatan dan mengendalikan bobot beban tubuhnya. Begitu besar semangat berlatih Raden Wijaya. Tidak terasa, seharian penuh Raden Wijaya terus meningkatkan latihannya dengan menambah jumlah lompatan. Dan kembali Raden Wijaya berhasil siksak dua kali lompatan dan turun perlahan nyaris seperti elang hinggap diatas puncak tebing.

Bukan main gembiranya hati Raden Wijaya, meski belum mampu menyentuh dinding langit-langit sebagaimana dilakukan oleh Mahesa Murti.

“Besok kita lanjutkan latihan kita, sekarang kita beristirahat dulu”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya, kagum melihat semangat berlatihnya Raden Wijaya.

Sebelum menjelang tidur, Mahesa Murti dan Raden Wijaya melaksanakan “laku rahasia” beberapa saat tidak begitu lama.

“Bila setiap menjelang tidur kita melakukannya, akan menambah ketajaman pengendalian kita terhadap kekuatan yang ada di dalam diri kita. Kekuatan kita semakin bertambah sesuai pengenalan kita terhadap sumber kekuatan itu sendiri, yaitu Gusti Yang Maha Agung”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya.

”Inilah sebuah laku rahasia membangun hawa murni warisan Empu Purwa yang berjodoh kepada kita”, kembali berkata Mahesa Murti sambil memandang tulang tengkorak di altar yang masih tegak duduk dalam posisi bersila sempurna.

Demikianlah, Raden Wijaya hari demi hari terus berlatih sampai akhirnya dapat melakukan lompatan dengan begitu sempurna, tangannya berhasil menyentuh dinding langit-langit yang tinggi, dan ketika turun, sebagaimana dilakukan Mahesa Murti, Raden Wijaya pun dapat melakukannya turun dengan pengendalian bobot beban tubuh yang sempurna.

Sebuah atraksi meringankan tubuh yang luar biasa telah di perlihatkan oleh Raden Wijaya dengan begitu sempurna.

“Kita sudah punya sayap”, berkata Mahesa Murti gembira melihat Raden Wijaya berhasil menyempurnakan latihannya.

“Hari ini adalah hari terakhir kita di perut bumi ini, istirahatlah, besok pagi kita harus bersiap keluar dari lubang ini”, berkata Mahesa Murti yang memperkirakan hari sudah masuk malam.

Seperti biasa, menjelang tidur mereka melaksanakan laku rahasia terlebih dahulu. Setelah itu pun mereka berbaring tidur melepaskan kepenatan dan kelelahan setelah seharian berlatih.

Malam di dalam perut bumi memang sepertinya begitu panjang, begitu gelap dan pekat. Suara malam tidak menembus kedalaman bumi. Menjadikan ruangan itu seperti kuburan besar yang sunyi. Hanya nafas mereka saja yang terdengar perlahan didalam kegelapan dan kepekatan.

Dan pagi pun akhirnya datang juga. Matahari menembus celah-celah atap batu cadas seperti pedangpedang panjang menerangi seisi ruangan. “Jasad ini harus disempurnakan, sebagaimana permintaan beliau”, berkata Mahesa Murti sambil mengumpulkan dan mengikat tulang dan tengkorak dengan tali dari batang tanaman yang ada di ruangan itu.

“Mari kita masuk”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya mengajak masuk kedalam lubang yang sempit, yang hanya dapat dilalui dengan cara merayap.

Mahesa Murti dan Raden Wijaya tengah merayap di lubang yang sempit. Seperti ular merayap, mereka menyusuri lubang sempit itu yang tidak selalu lurus, kadang berbelok kekiri, kadang juga berbelok ke kanan, dan bahkan kadang ada juga yang menanjak ke atas. Tapi dengan kekuatan yang sudah berlipat ganda karena sudah berlatih laku rahasia, mereka terus merayap dan tidak merasakan kelelahan. Mereka merayap lebih cepat dibandingkan ketika masuk beberapa hari yang lalu.

Dan akhirnya mereka telah keluar dari lubang yang sempit itu. Raden Wijaya nampak menarik napas panjang, begitu lega perasaannya keluar dari lubang yang sempit itu. Nampak wajahnya menatap keatas memandang mulut sumur yang begitu tinggi.

“Tunggu isyarat dariku”, berkata Mahesa Murti sambil mempersiapkan dirinya, berharap Raden Wijaya tidak segera meloncat sebelum ada isyarat darinya untuk berjaga-jaga terhadap hal-hal yang mungkin dapat terjadi di atas sana yang dapat mengancam keselamatan mereka.

Hup..!!, Mahesa Murti sudah melenting ke atas, terlihat kemudian kakinya menghentak pinggir dinding sumur yang dalam itu sebagai landasan melemparkan tubuhnya yang ringan melenting lebih tinggi lagi. Dan dengan tiga kali hentakan, Mahesa Murti sudah sampai di mulut sumur yang dalam. Mahesa Murti seperti terlahir kembali, melihat suasana kerindangan tumbuhan hutan dan sinar matahari pagi yang begitu menyilaukan matanya, belum terbiasa melihat cahaya setelah sekian lama terkurung di kedalaman perut bumi.

Sementara itu Raden Wijaya masih berada di lubang sumur, melihat Mahesa Murti memberi isyarat untuk segera naik keatas.

Hup..!!, tubuh Raden Wijaya telah melenting keatas, sebagaimana Mahesa Murti melenting begitu cepat seperti seekor belalang melenting beberapa kali dari pingir dinding ke dinding lainnya hingga akhirnya berdiri tegap di atas bibir sumur.

“Gusti Kang Maha Agung masih melindungi diri kita Raden”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya yang masih tegak di bibir sumur yang dalam. Bersyukur bahwa cucu Ratu Anggabaya yang telah dipercayakan kepadanya masih selamat bersamanya.

“Mari kita mencari tempat yang baik, guna memperabukan jasad Empu Purwa”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya.

Dan mereka pun sibuk membuat sebuah bade sederhana tetapi tetap dengan tujuh panggungan sebagai penghormatan tertinggi.

Bade pun dibakar, api menggulung-gulung membakar batang-batang kayu dan tulang belulang dari Empu purwa.

Ditengah kobaran dan kretak suara kayu terbakar, pendengaran Mahesa Murti yang tajam mendengar ada beberapa langkah kaki menginjak ranting tidak jauh dari mereka. “Ada beberapa orang bersembunyi di sekitar kita”, berbisik Mahesa Murti kepada Raden Wijaya agar berlaku waspada.

Mahesa Murti dan Raden Wijaya tidak menunjukkan sikap apapun, sepertinya belum mengetahui bahwa ada beberapa pasang mata tengah mengintai mereka.

“Mereka mendekat”, kembali Mahesa Murti berbisik kepada Raden Wijaya.

Ternyata apa yang Mahesa Murti katakan benar adanya. Lima belas orang tengah mendekati mereka dari arah belakang. Dengan cepat Mahesa Murti dan Raden Wijaya membalikkan badannya.

Mahesa Murti dan Raden Wijaya terpaku terheranheran. Orang-orang yang mendekati mereka telah bersujud dihadapan mereka. Memanggil dan menyebut Mahesa Murti dan Raden Wijaya sebagai dewa.

“Ampunkan kami dewa agung”, berkata mereka sambil bersujud dihadapan Mahesa Murti dan Raden Wijaya.

Iba hati Mahesa Murti melihat orang-orang itu. Yang ternyata adalah sekelompok suku asli penghuni hutan yang masih begitu terasing yang tidak pernah keluar dari kehidupan hutan sebagai tanah penghidupan mereka

Dan teringat Mahesa Murti bahwa merekalah yang menjebaknya sehingga masuk kedalam lubang sumur yang dalam. Sementara itu Mahesa Murti tidak menyalahkan mereka atas “penumbalan” yang telah terjadi.Karena merupakan hal yang biasa pada jaman itu, penumbalan manusia atas manusia. Pengorbanan manusia atas manusia.

“Bangkitlah”, berkata Mahesa Murti dengan suara yang menggelegar.

“Ampun dewa, jangan celakai kami”, berkata salah seorang yang nampaknya pimpinan orang-orang itu yang telah mulai mengangkat wajahnya menatap Mahesa Murti dan Raden Wijaya penuh rasa takut.

“Mulai hari ini tidak ada lagi penumbalan”, berkata Mahesa Murti dengan wajah dan suara yang agak ditekan berkesan angker.

“Perintah Dewa akan kami patuhi”, berkata pemimpin mereka yang juga terlihat usianya paling tua di antara orang-orang itu.

“Bawa kembali kuda-kuda kami”, berkata mahesa Murti memberi perintah.

Maka pemimpin mereka mengerti apa yang diinginkan dari Mahesa Murti, terlihat salah seorang dari mereka berlari dan menghilang dibalik semak-semak.

Tidak lama kemudian, orang itu telah datang kembali membawa dua ekor kuda. Mahesa Murti dan Raden Wijaya mengenali bahwa kuda-kuda itu adalah miliknya.

“Sekarang menjauhlah, jangan sesekali mendekati tempat ini”, berkata Mahesa Murti memberi isyarat agar mereka pergi menjauh.

Dan mereka pun perlahan menjauh meninggalkan Mahesa Murti dan Raden Wijaya hilang di balik kerimbunan pedalaman hutan Kondang.

Matahari sudah melonjak semakin tinggi diatas cakrawala, dua ekor kuda perlahan berjalan menyusuri kerimbunan hutan kondang. Mahesa Murti dan Raden Wijaya melanjutkan perjalanannya yang tertunda beberapa hari, terkurung terperangkap dalam perut bumi. “Ternyata paman dapat juga berlaku seperti dewa”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Murti.

Mahesa Murti mengerti apa yang Raden Wijaya maksudkan, maka ia pun berkata, “Kepercayaan mereka sudah begitu tua, butuh banyak waktu untuk merubahnya. Jalan terbaik untuk saat ini adalah menjadi dewa”.

“Dewa hutan Kondang”, berkata Mahesa Murti yang dibalas gelak tawa dari Raden Wijaya.

Matahari telah turun semakin merendah di langit cakrawala senja ketika Mahesa Murti dan Raden Wijaya keluar hutan kondang.

“Di balik bukit batu itu kita akan mendapatkan sebuah padukuhan”, berkata Mahesa Murti kepada Raden  Wijaya yang menyambutnya dengan meyepak perut kuda agar berlari.

Dua ekor kuda berpacu di tengah padang, berpacu mengejar bukit batu dalam bayangan senja.

Kita tinggalkan dulu perjalanan Mahesa Murti dan Raden Wijaya, yang selalu menikmati perjalanannya, seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, seperti elang laut yang perkasa yang tidak pernah gentar memandang angin prahara, terus maju mengepakkan sayapnya kembali ke puncak bukit batu pulau karang. Diketinggian itulah mereka akan kembali pulang. Padepokan Bajra Seta.

Sementara itu di sebuah jalan yang panjang, seorang pemuda dengan pakaian yang kasar yang biasa dipakai para petani, tengah berjalan dengan langkah begitu mantap. Dari gerakan langkahnya dapat di duga, bahwa pemuda itu seorang yang sudah cukup terlatih. Terlihat dari irama setiap langkahnya yang jatuh teratur.Tapi keberadaan pemuda yang berpakaian sederhana itu  tidak banyak memberikan perhatian. Beberapa orang yang berpapasan dengannya tidak begitu memperhatikannya.

Sebuah pedati yang ditarik dengan seekor kuda melewatinya. Dua orang nampak di atasnya. Jalan di depan nampaknya menanjak. Jalan pedati menjadi begitu lambat. Dan di luar keinginan, tiba-tiba saja roda kanan pedati terlepas dari jalurnya. Luar biasa beban yang harus ditahan oleh kuda pedati itu. Sudah dapat di duga, bila kuda pedati itu tidak dapat menahan beban, maka ada kemungkinan pedati itu akan terjungkal ke belakang.

Pemuda sederhana, yang melihat semua kejadian itu dengan cepat memungut sebuah batu besar dijalan, berlari mengganjal sebuah roda sebelah kiri pedati. Pedati pun tidak turun terjungkal ke belakang.

“Terima kasih anak muda”, berkata seorang yang dengan tergesa turun dari pedati.

“Hanya kebetulan aku melihat langsung dari belakang pedati. Mari kita periksa, kenapa roda itu dapat keluar dari jalurnya”, berkata pemuda sederhana itu.”Tolong katakan kepada kawanmu untuk melepas pelana kuda”, berkata pemuda itu sepertinya begitu tanggap apa yang harus dilakukan segera.

Seorang yang telah mengucapkan terima kasih kepada pemuda itu pun memerintah kawannya untuk melepas pelana kuda dari pedati. Dari gaya ucapannya dapat diketahui bahwa orang itu nampaknya seorang saudagar, sedangkan kawannya itu adalah pembantunya. Pelana kuda sudah dilepaskan dari pedati. Pemuda dan saudagar itu pun memeriksa roda kanan yang terlepas. Sementara pembantunya tengah mengikat kuda di sebuah pohon di pinggir jalan.

“Pasaknya pecah”, berkata pemuda itu setelah memeriksa jalur roda.

Bersama saudagar dan pembantunya, pemuda sederhana itu pun nampak sibuk ikut menurunkan beberapa barang yang ada di atas pedati. Serta dengan sigap membantu memperbaiki membuat pasak baru dari ranting pohon hitam yang banyak tumbuh di sepanjang jalan.

Dan akhirnya roda pun telah terpasang di tempatnya seperti semula.

“Terima kasih untuk pertolongannya”, berkata saudagar itu merasa gembira melihat roda sudah terpasang. “Perkenalkan namaku Magonda”, lanjut Saudagar itu memperkenalkan dirinya.

“Namaku Kerta”, berkata pemuda sederhana itu.

Magonda memperhatikan pemuda sederhana di hadapannya, baru kali ini setelah beberapa waktu tidak sempat memperhatikannya. Dari pakaian yang di kenakan Kerta, maka Magonda berpikir bahwa Kerta hanyalah seorang pengembara yang sering di jumpainya. Seorang pengembara yang tidak mempunyai arah tujuan. Dan tanpa berpikir panjang menawarkan pekerjaan kepada Kerta. Yang sebenarnya adalah Pangeran Kertanegara, Sang Putra Mahkota.

“Seorang pembantuku terkena sakit malaria, terpaksa aku titipkan di rumah sepupuku di Kotaraja. Kalau kamu tidak keberatan, mungkin kamu bersedia bekerja bersama kami”, berkata Magonda.

“Kemana tujuan tuan?”, bertanya Kertanegara kepada Magonda

Sekejab Magonda menjadi bingung, pemuda didepannya ini bertanya lebih dulu kemana tujuannya sebelum menyampaikan kesediaan atas tawaran kerjanya. Tapi Magonda berpikir cepat. Mungkin anak muda ini ingin mengetahui sejauh mana arah perjalannya. Sehingga tidak bersimpangan dengan tujuan perjalanan pemuda ini.

“Saat ini kami hendak ke Bandar Cangu, setelah sampai di sana kami akan berlayar ke Carubhaya”, berkata Magonda menjelaskan tujuan perjalanannya.

“Aku bersedia bekerja dengan tuan”, berkata Kertanegara setelah berpikir bahwa perjalanannya akan lebih baik lagi bila bergabung bersama Magonda, seorang Saudagar.

Bukan main senangnya Magonda mendengar kesediaan Kertanegara yang sejak semula sudah timbul perasaan suka.

Kertanegara, Magonda dan pembantunya naik di atas pedati kuda. Ternyata Magonda suka bercerita. Banyak sekali yang di ceritakannya, bukan cuma pengalaman perjalanannya sebagai seorang Saudagar, juga bercerita tentang beberapa istrinya yang tersebar di berbagai tempat.

“Seorang istriku di Madura mempunyai senjata tongkat”, berkata Magonda bercerita tentang salah satu istrinya. “Aku sering dikalahkannya dengan tongkat itu”, lanjut Magonda.

“Istri tuan seorang pendekar wanita?”, bertanya Kertanegara dengan lugunya.

Seorang pembantunya yang sedang memegang kendali kuda, pernah juga diceritakan Magonda dengan cerita yang sama langsung tertawa terpingkal-pingkal. Kertanegara menjadi bingung, adakah yang lucu dengan pertanyaaanya ?

“Sukar sekali bicara dengan orang muda sepertimu”, berkata Magonda kepada Kertanegara.

Jarak perjalanan ke Bandar Cangu memang tidak begitu lama lagi. Matahari masih belum tenggelam manakala pedati yang ditumpangi Kertanegara telah sampai di Bandar Cangu. Tiang-tiang layar kapal kayu yang bersandar sudah terlihat dari jauh. Bergeser sedikit dari dermaga akan terlihat bangunan benteng Cangu yang masih dalam pembangunannya.

Begitu ramai suasana di Bandar Cangu. Lalu lalang para buruh mengangkat barang. Kadang juga terlihat beberapa Prajurit Singasari. Yang sangat menarik lagi adalah kehadiran beberapa wanita dengan pakaian yang menggiurkan berjalan sepertinya mengundang setiap mata lelaki. Sudah menjadi kelajiman di setiap Bandar dimanapun akan diramaikan dengan beberapa rumah pelacuran. Bahkan bukan sesuatu yang aneh bila pihak kerajaan menunjuk seseorang sebagai Pejabat rumah bordil istilah untuk tempat pelacuran.

“Kita menginap di sini”, berkata Magonda ketika pedati mereka berhenti di sebuah penginapan.

“Aku akan menemui kawanku, menanyakan apakah ada kapal yang akan berangkat besok”, berkata Magonda kepada Kertanegara yang tengah sibuk menyimpan beberapa barang yang harus dikeluarkan dari pedati. Malam telah menyelimuti Bandar Cangu, di atas langit bergantung sang rembulan menaburkan cahaya kekuningan di atas tiang-tiang layar kapal kayu yang bersandar, menerangi bangunan benteng Cangu yang masih belum sempurna.

Dari sebuah gundukan tanah tinggi, Kertanegara memandang semua itu bersama jutaan bintang di langit malam.

“Ayahanda telah memulai membuat gerbang yang sempurna di Bandar Cangu ini. Dari tanah inilah Singasari menguasai dunia”, berkata Kertanegara kepada dirinya sendiri memuji siasat Ayahandanya membangun benteng dan Bandar Cangu.

Ketika Kertanegara memandang rembulan yang dikelilingi taburan bintang. Hayalannya bergayut pada wajah Menik Kaswari.

“Aku akan membuktikan, bahwa cintaku padamu  tidak akan pernah hilang sebagaimana janji bintang kejora diawal pagi”, berkata Kertanegara kepada dirinya sambil memandang wajah bulan yang sepertinya tersenyum memandangnya.

Angin malam berhembus begitu dingin, menyadarkan Kertanegara bahwa malam sudah jauh mendekati pagi. Didalam kekelaman malam Kertanegara kembali ke penginapannya.

Bumi pagi di Bandar Cangu sudah menggeliat, wajah-wajah ceria para buruh bekerja mengangkat barang ke kapal kayu mewarnai dermaga.

Seorang awak kapal telah menarik jangkar keatas, sementara seorang didermaga melepas tali ikatan kapal kayu. Sepuluh budak mengayuh kapal kayu ketengah sungai. Dan kapal kayu pun telah bergerak terbawa arus sungai Brantas.

Tiga orang laki-laki tengah melambaikan tangannya kepada sebuah keluarga yang ada di atas kapal kayu. Sepasang suami istri bersama seorang anak perempuannya yang sudah remaja. Beberapa orang lagi duduk berkerumun menikmati makan pagi, sepertinya para saudagar dan pembantunya yang sudah terbiasa menggunakan kapal kayu ini sebagai jalur perdagangannya.

Kertanegara memandang dermaga Bandar Cangu yang semakin menjauh dari belakang kapal kayu. “Perjalananku sudah semakin menjauh dari Kotaraja. Di dermaga inilah aku akan bersandar membawa kembali Menik Kaswari”, berkata Kertanegara memandang dermaga yang semakin menjauh.

“Apakah ini perjalanan pertamamu dengan kapal kayu?”, bertanya Magonda yang sudah ada disampingnya. Dan Kertanegara tidak menjawab, hanya menganggukkan kepalanya.

Kapal kayu telah meluncur semakin menjauh, membelah hutan rimba disepanjang sungai Brantas.

“Harus ada pos gardu tambahan di sepanjang perairan ini membantu keberadaan benteng Cangu”, berkata Kertanegara kepada dirinya sendiri melihat begitu sunyinya keadaan di sepanjang perairan.

“Kita akan melewati simpang tiga Hutan Bahar”, berkata Magonda menghentikan lamunan Kertanegara.

“Ada apa dengan simpang tiga Hutan Bahar ?”, bertanya Kertanegara tertarik dengan ucapan Magonda.

“Kawanku pemilik kapal kayu ini mengatakan, setelah Datuk Malakar tewas, daerah ini menjadi perairan yang tidak bertuan, para bajak laut semakin merajalela. Dan simpang tiga hutan bahar inilah yang menjadi daerah operasi mereka. Mereka datang dan pergi dari sungai yang ada di mulut Hutan Bahar”, berkata Magonda memberi keterangan kepada Kertanegara.

Bukan main geramnya hati Kertanegara. Sebagai seorang Pangeran, hati kecilnya merasakan kegeraman kepada bajak laut yang tidak lagi memandang kekuasaan Singasari. Tapi kegeraman itu tidak ditunjukkan dihadapan Magonda.

“Para bajak laut sepertinya punya banyak mata, sepertinya sudah membaca kapan kapal kayu yang memuat barang yang berharga lewat di daerahnya”, berkata Magonda kepada Kertanegara dengan wajah penuh khawatir, karena sebentar lagi simpang tiga hutan bahar akan dilaluinya.

“Apakah sudah ada yang melaporkan keadaan ini kepada pejabat di Bandar Cangu”, bertanya Kertanegara kepada Magonda

“Sudah, tapi tidak ada upaya apapun, mungkin mereka masih sibuk membangun benteng di Bandar Cangu”, berkata Magonda kepada Kertanegara.

Apa yang dikhawatirkan Magonda sepertinya memang akan menjadi kenyataan. Sebuah Kapal kayu besar tiba-tiba muncul dari mulut hutan Bahar.

Kapal kayu di depan yang muncul dari mulut Hutan Bahar telah menghadang di depan.

“Perompak”, berkata seorang awak kapal.

Teriakan awak kapal itu sudah terlambat. Kapal perompak itu sudah merapat di lambung kiri kapal kayu yang ditumpangi Kertanegara. Dua puluh orang bersenjata golok panjang telah melompat menyeberang di atas dek kapal.

“Yang tidak ingin melawan berkumpul di sebelah kanan, aku tidak akan melukai kalian”, berkata seorang yang bertubuh tinggi besar dan bercambang yang sepertinya pimpinan dari para perompak. Senjatanya begitu aneh, sebuah pedang yang terbuat dari tulang ikan pari.

Beberapa penumpang dengan wajah penuh ketakutan telah berkumpul di sebelah kanan dek kapal. Sementara itu sepuluh awak kapal dengan pedang telanjang di tangan telah berkumpul siap menghadapi apapun yang terjadi.

“Menyerahlah, kami lebih banyak dari kalian”, berkata pemimpin perompak itu menggertak para awak kapal.

“Kami lebih baik mati daripada menyerahkan apapun kepada kalian”, berkata seorang awak kapal yang ternyata pimpinan dari para awak kapal itu.

Kertanegara sudah bersiap diri akan terjun bertempur membela para awak kapal. Tapi ada seseorang memanggil namanya.

“Kerta, kemarilah…!!”, terdengar  Magonda memanggil Kertanegara dari sebelah dek kanan di antara beberapa penumpang yang telah berkumpul.

Tapi Kertanegara sepertinya sudah tidak peduli dengan panggilan Magonda yang duduk cemas melihat Kertanegara yang tidak ingin bergabung bersamanya. Bahkan dengan gagahnya Kertanegara telah bergabung bersama para awak kapal.

“Dengar sekali lagi orang-orang dungu, menyerahlah. Kami hanya memerlukan barang yang kalian bawa, setelah itu kalian dapat pergi dengan selamat”, berkata pimpinan perompak itu memberikan peringatan kepada para awak kapal agar menyerah.

“Dengar sekali lagi orang sombong, kami tidak akan pernah menyerah”, perkata pimpinan para awak kapal tidak kalah gertaknya.

Bukan main marahnya pemimpin perompak itu. Yang nama panggilannya adalah Daeng Bahar, yang sangat ditakuti oleh kawan maupun lawan. Yang merupakan satu-satunya lawan tanding dan saingan terbesar Datuk Malakar, merasa tidak dipandang mata oleh para awak kapal, darahnya seperti terbakar.

“Habisi mereka !!”, berkata Daeng Bahar kepada  anak buahnya yang langsung mengepung para awak kapal dan Kertanegara yang telah ikut bergabung.

Pertempuran pun tidak bisa lagi dihindari. Para perompak langsung menerjang para awak kapal.

Sebuah sabetan golok panjang menyambar kepala Kertanegara. Dengan gesit Kertanegara mengelak merendahkan tubuhnya. Golok panjang yang diayunkan dengan kekuatan penuh lewat di kepala Kertanegara.

Melihat sasarannya terlepas, seorang perompak yang bertubuh bundar semakin penasaran. Ayunan golok panjangnya berubah arah, kali ini langsung membelah kepala Kertanegara. Kembali Kertanegara dengan gesit mengelak dengan mundur ke belakang. Golok panjang menancap setengah jengkal di kayu geladak kapal.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Kertanegara. Tendangan kerasnya langsung menghantam  wajah orang bertubuh bundar itu. Dan langsung terjengkang tidak sadarkan diri.

Kertanegara mengambil golok panjang yang menancap di kayu geladak kapal. Melihat pertempuran yang berat sebelah. Hampir setiap awak kapal dikerubuti oleh dua orang perompak. Sementara itu pemimpin awak kapal itu pun tengah berjuang menghadapi Daeng Bahar yang bertempur demikian garangnya.

“Aku harus mengurangi kekuatan mereka”, berkata dalam hati Kertanegara sambil mengayunkan golok panjang di tangannya kepada seorang perompak di dekatnya. Perompak itu tidak sempat mengelak, maka yang dapat dilakukannya adalah menangkis sambaran golok panjang yang tertuju pada pinggangnya dengan senjatanya. Maka benturan dua senjata pun terjadi. Senjata perompak itu pun langsung terlepas dari tangannya. Dan tendangan Kertanegara kembali menemui sasaran terbuka, bersarang pada dada perompak yang masih tercengang merasakan tangannya yang masih seperti terbakar akibat benturan goloknya sendiri. Perompak itu pun langsung terjungkal melayang membentur kayu penyangga geladak.

Daeng Bahar ternyata bermata awas, seorang pemimpin yang tahu melindungi anak buahnya. Melihat dengan cepat dua orang anak buahnya terkapar tidak bergerak, matanya memandang tajam ke arah Kertanegara.

Dengan sebuah lentingan panjang melayang ke arah Kertanegara meninggalkan pimpinan awak kapal seorang diri.

Sementara itu pemimpin awak kapal yang ditinggal sendiri oleh lawannya langsung menerjang perompak di dekatnya yang tengah menyerang mengerubuti seorang anak buahnya.

“Akulah lawanmu”, berkata Daeng Bahar kepada Kertanegara dengan mata tajam menakutkan.

Kertanegara tidak menjadi gentar dengan tatapan tajam itu. Tapi juga tidak meremehkan lawannya itu, terutama dengan pedang tulang ikan pari itu yang menurut perhitungan Kertanegara mengandung bisa racun yang tajam.

“Aku sudah siap”, berkata Kertanegara dengan tenang.

“Rasakan pedangku”, berkata Daeng Bahar sambil mengayunkan pedangnya menyambar dada Kertanegara. Serangan itu datangnya begitu cepat, sepertinya angin sambarannya telah menerjang dada Kertanegara. Maka dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya, Kertanegara mundur kebelakang. Pedang tulang pari lewat sejengkal dari dada Kertanegara. Ternyata ayunan keras itu membawa tubuh Daeng Bahar. Melihat pinggang yang terbuka, Kertanegara pun langsung membabat goloknya ke samping searah ayunan pedang tulang pari Daeng Bahar. Tubuh Daeng Bahar pada saat itu seperti mati langkah. Maka jalan satu-satunya adalah menjatuhkan dirinya menghindari serangan golok Kertanegara, bergelinding dua kali di lantai geladak dan dengan cepat bangkit berdiri dengan mata melotot tidak percaya, bahwa anak muda lawannya mempunyai serangan yang begitu hebat, begitu mematikan.

“Gila !!”, berkata Daeng Bahar penuh kemarahan bercampur malu merasa anak buahnya yang begitu segan dan takut kepadanya melihat apa yang terjadi dengannya, mengelinding dilantai geladak kapal. Daeng Bahar kembali menyerang Kertanegara. Kali ini serangannya penuh dengan perhitungan. Tidak meremehkan anak muda yang menjadi lawannya itu. Dan Kertanegara pun semakin berhati-hati. Pertempuran pun menjadi begitu sengit, masing-masing telah meningkatkan tataran ilmunya. Saling serang, kadang berlompat menghindar dari setiap serangan. Kertanegara bagai burung sikatan menukik cepat menyerang, tapi Daeng Bahar juga dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya menghindar dan langsung balik menyerang.

Magonda yang gemetar berkumpul bersama para penumpang kapal kayu, benar-benar tidak percaya dengan penglihatannya sendiri, anak muda yang selama ini bersamanya ternyata dapat bertempur begitu hebat, bahkan dapat menandingi serangan pemimpin perompak yang ganas dan begitu cepat. Kadang pandangan matanya seperti kabur tidak bisa lagi mengikuti gerakan dari keduanya.

Sementara itu para awak kapal betul-betul berjuang keras menghadapi para perompak dengan jumlah lebih banyak. Beberapa orang sudah ada yang terkapar tidak bergerak. Satu orang perompak dan dua orang lainnya adalak awak kapal itu sendiri. Dengan gigih para awak kapal mempertahankan dirinya dari serangan para perompak yang brutal dan kasar. Beberapa orang awak kapal sudah terluka. Perlawanan mereka sudah semakin melemah, bersamaan tiga orang awak kapal jatuh kembali terkapar. Hanya tinggal lima orang lagi yang masih bertahan menghadapi tujuh belas perompak.

Sebuah suitan nyaring terdengar dari pimpinannya, seperti tahu apa yang harus dilakukan, para awak kapal telah bersatu beradu punggung. Untuk sementara mereka dapat bertahan dengan saling membantu. Tapi para perompak ternyata punya pengalaman bertempur yang banyak, mereka pun sepertinya bersepakat mencari seorang awak yang paling lemah. Maka serangan pun ditujukan pada awak kapal yang dianggapnya paling lemah, seorang awak kapal yang sudah terluka paha kaki kirinya tergores golok panjang para perompak. Dan siasat para perompak berhasil. Para awak kapal di sisi kanan dan kirinya tidak dapat melindungi kawannya. Sebuah tusukan golok panjang menembus awak kapal yang sudah terluka itu. Jatuh lemah terkulai di lantai geladak. Dalam keadaan tidak bernyawa lagi.

Pemimpin awak kapal menyadari, lambat atau cepat mereka pasti habis terbantai. Maka sebelum hal itu terjadi, Pemimpin itupun telah mengambil keputusan yang berat.

“Kami menyerah”, berkata Pemimpin awak kapal itu mengangkat pedangnya diikuti oleh keempat anak buahnya.

“Letakkan senjata kalian”, berkata seorang perompak yang berwajah hitam menyuruh para awak kapal yang sudah menyerah meletakkan senjatanya.

Lima orang awak kapal yang menyerah itu pun telah diikat kuat di pagar geladak.

Sementara itu pemimpin perompak dan Kertanegara masih bertempur dengan keras dan sengitnya. Saling berlompat menghindar dan menyerang. Sukar sekali mengukur siapa yang lebih tinggi ilmunya. Terlihat Daeng bahar mempunyai pengalaman bertempur yang cukup. Serangannya begitu banyak unsur tipuan yang berbahaya. Untungnya Kertanegara seorang yang banyak mengutamakan kecerdikan dan ketenangan, sehingga tidak mudah tertipu. Yang sangat di takuti oleh Kertanegara adalah senjata Daeng Bahar itu sendiri yang terbuat dari tulang ikan pari, yang mempunyai bisa yang kuat. Itulah sebabnya Kertanegara tidak pernah lengah sedikit pun.

Magonda bersama para penumpang yang melihat pertempuran itu menjadi gelisah, berharap Kertanegara mengalahkan pemimpin perompak itu. Tapi Pemimpin perompak itu dalam pandangan Magonda begitu lihai  dan ganas. Beberapa kali napasnya seperti berhenti melihat serangan pemimpin perompak itu yang nyaris mengenai tubuh Kertanegara.

Sementara para perompak yang sudah berhasil menyelesaikan pertempurannya memandang geram, tidak sabar untuk ikut membantu pemimpim mereka. Tapi mereka tidak berani melakukannya, sebab mereka tahu bahwa pemimpin mereka adalah orang yang sangat tinggi hati. Takut bantuan mereka malah akan membuat marah, bahkan merendahkan pemimpin mereka sendiri. Maka berpikir seperti itu, mereka menanti pertempuran itu dengan wajah yang tidak sabaran.

Tapi seorang perompak yang berwajah hitam mempunyai pemikiran lain. Dengan cepat berjalan mendekati para penumpang yang sudah dalam keadaan penuh ketakutan. Tiba-tiba saja tangannya menyambar seorang gadis remaja yang tengah gemetar ketakutan.

“Jangan sakiti anak kami”, berkata seorang lelaki ayah dari gadis itu.

Tapi perompak berwajah hitam itu tidak memperdulikan permohonan ayah dari gadis itu. Dengan kasar membawa gadis itu mendekati pertempuran.

“Ampun !!”, berteriak gadis itu memohon untuk dilepaskan. Ternyata siasat perompak itu berhasil, Kertanegara mendengar teriakan gadis itu. Yang ada dalam bayangannya adalah suara kekasihnya Menik Kaswari, seketika perhatian Kertanegara terpecah. Daeng Bahar pun tahu menggunakan kesempatan itu. Sedetik kelengahan Kertanegara memang sangat fatal akibatnya. Sebuah sabetan pedang ikan pari itu telah berhasil singgah menggores bahunya.

Bukan main kagetnya Kertanegara menyadari dirinya telah terluka. Meski hanya sebuah goresan.

Daeng Bahar bertolak pinggang di hadapan Kertanegara.

“Tidak ada yang dapat selamat dari racun pedang pariku”, berkata Daeng Bahar sambil tertawa panjang.

Apa yang dikatakan Daeng Bahar memang bukan sebuah gertakan. Terlihat Kertanegara merasakan hawa dingin di sekujur tubuhnya. Tubuhnya mulai terlihat limbung.

Sebuah bayangan muncul seperti terbang dari lambung kanan kapal kayu. Bayangan itu pun begitu cepatnya telah merangkul pinggang Kertanegara yang hampir limbung terjatuh. Dan entah bagaimana caranya sebuah cambuk meluncur dari tangannya menjerat pedang pari di tangan Daeng Bahar yang masih menganga tidak tahu apa yang terjadi. Pedang Pari lepas dari tangannya terlempar tinggi. Dan dengan sekali sentakan sendal pancing, pedang pari itu hancur menjadi debu yang bertaburan jatuh.

“Nelayan bercaping !!”, tidak sadar Daeng Bahar menyebut sebuah nama. Matanya menatap seseorang yang berdiri di hadapannya seperti melihat malaekat pencabut nyawa, penuh rasa takut yang sangat. Orang yang berdiri di hadapan Daeng Bahar memang berpakaian nelayan. Setengah wajahnya tertutup caping bambu.

“Untuk kedua kalinya kuampuni jiwamu, pergilah”, berkata orang bercaping itu kepada Daeng Bahar.

Seperti tikus yang terjebak lama di dalam air, Daeng Bahar dengan penuh ketakutan mundur perlahan diikuti semua anak buahnya meloncat ke kapal kayu miliknya.

Perlahan orang bercaping itu merebahkan tubuh Kertanegara yang sudah tidak sadarkan diri lagi. Terlihat orang bercaping itu memijat beberapa urat di beberapa tubuh Kertanegara. Kemudian dari balik bajunya mengeluarkan sebuah kayu berwarna hitam sebesar telunjuk jari. Sebuah kayu aji besi keling yang sangat langka. Beberapa penumpang dan awak kapal yang pernah mendengar cerita mengenai kayu aji besi keling itupun seperti melihat hantu, tidak percaya bahwa pusaka itu memang ada. Dan orang bercaping itu terlihat menempelkan kayu aji besi keling itu tepat di bahu Kertanegara yang terluka. Para penumpang dan beberapa awak kapal yang masih tersisa matanya seperti terbelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, kayu aji besi keling itu seperti lintah menempel di bahu Kertanegara tanpa disentuh lagi oleh orang bercaping itu. Dan tidak lama kemudian kayu aji besi keling itupun jatuh dengan sendirinya. Terlihat orang bercaping itu sepertinya menarik napas panjang.

Tanpa berkata-kata, orang bercaping itu mengangkat tubuh Kertanegara di bahunya. Sebagaimana kemunculannya, orang bercaping itupun berkelebat melompat ke sisi lambung kanan kapal. Para penumpang dan lima orang awak kapal masih melihat sebuah jukung meluncur dari sisi kanan kapal kayu semakin menjauh. Orang bercaping itu terlihat duduk di atas jukung itu. Jukung itu pun tidak terlihat lagi masuk ke sebuah sungai kecil terhalang akar-akar kayu dan rindangnya pepohonan.

Jauh di pedalaman hutan Porong, di tepian sungai yang bening dan berbatu, sebuah gubuk sederhana berdiri di atas batu cadas. Atapnya tertutup daun dan ranting kering yang terhubung dan terikat di empat pohon besar sebagai tiang sekaligus pengikat dinding daun pandan yang dianyam kasar seadanya. Sungai yang membelah hutan itu telah diterangi matahari pagi. Sinarnya yang lembut juga menghangatkan atap gubuk yang terbuat dari daun dan ranting kering. Juga menghangatkan siapapun yang ada didalamnya.

Kehangatan itulah yang membangunkan Kertanegara yang terbaring di gubuk sederhana itu.

“Dimana aku”, berkata Kertanegara ketika membuka matanya kepada seorang yang ada didekatnya. Kerut di wajah dan warna putih rambutnya menandakan bahwa orang itu sudah berumur. Namun tubuhnya masih begitu tegap kokoh dan berotot. Sangat berlawanan sekali dibandingkan dengan wajah dan rambutnya yang sudah putih seluruhnya. Namun sinar matanya begitu lembut dan bening sebagaimana bayi yang baru terlahir.

“Sudah tiga hari anakmas tidak sadarkan diri”, berkata orang tua itu kepada Kertanegara.

Dan Kertanegara pun mulai mengingat segalanya. Pertempurannya dengan pemimpin perompak, juga teriakan yang begitu memilukan dari seorang gadis yang sepertinya masih terngiang di telinganya.

Ketika Kertanegara ingin mengangkat badannya, sepertinya tidak ada kekuatan yang dapat digerakkan. “Tetaplah berbaring, anakmas belum pulih sama sekali”, berkata orang tua itu meminta Kertanegara untuk tidak banyak bergerak.

“Racun pedang ikan pari”, berkata Kertanegara teringat sebuah goresan pedang pemimpin perompak yang telah melukai bahunya.

“Racun itu sudah punah, maafkan aku anakmas,terpaksa aku menutup jalan darah di kepala anakmas untuk menghindari hal yang tidak diinginkan dari bisa racun ikan pari yang sangat keras itu”, berkata orang tua itu berhenti sebentar kemudian berkata lagi, “pilihan yang sangat berat, bila aku tidak melakukannya anakmas tidak tertolong, tapi bila aku melakukannya anakmas akan menjadi lumpuh”.

“Aku lumpuh?”, berkata Kertanegara sambil menggerakkan seluruh tubuhnya. Dan apa yang di katakana orang tua itu benar apa adanya. Kertanegara tidak dapat menggerakkan seluruh anggota badannya. Kedua kakinya, kedua tangannya, juga leher kepalanya.

“Aku lumpuh?”, kembali Kertanegara berkata kepada orang tua itu.

“Kuatkan hati anakmas, aku akan berusaha mengobati. Mudah-mudahan Gusti Kang Maha Cipta memberi jalan terang bagi usaha kita”, berkata orang tua itu dengan begitu sarehnya. Sementara Kertanegara yang telah dicekam oleh perasaan keputus asaan seperti tersiram air dingin yang menyejukkan mendengar ucapan orang tua itu. Kembali ada api semangat untuk dapat sembuh kembali. Meyakinkan diri bahwa tidak ada sakit yang tidak ada obatnya.

“Keyakinan dan kepasrahan yang tinggi hanya tercurah hati ini kepada Gusti Kang Maha Agung, adalah sumber obat yang paling mujarab”, kembali kata-kata orang tua itu menyejukkan hati Kertanegara, sepertinya dapat membaca apa yang dipikirkan oleh Kertanegara di dalam hatinya.

Kertanegara dan orang tua itu menjadi begitu akrab, bahkan menjadi begitu dekat seperti seorang ayah dan anak. Orang tua itu pun banyak bercerita tentang dirinya. Dikatakan bahwa dulu ia tinggal dan dibesarkan di daerah tanah Brantas. Hingga pada suatu hari ada musibah besar air laut setinggi pohon kelapa bingung arah menerjang daratan. Semua keluarganya menghilang. Hanya ia, saudara kembarnya dan kakeknya yang selamat. Karena pada saat kejadian ia bersama kakek dan saudara kembarnya tengah berkunjung ke rumah salah seorang kerabat dekat kakeknya di Panawijen bernama Empu Purwa.

“Namaku Dangka”, berkata orang tua itu “Namaku Kerta”, berkata Kertanegara

“Dari mana asalmu Kerta ?”, bertanya orang tua itu yang bernama Dangka

“Tumapel”, berkata Kertanegara masih merahasiakan dirinya adalah seorang Pangeran Putra Mahkota.

Dari hari ke hari, orang tua itu merawat Kertanegara.

Ternyata orang tua yang ditakuti oleh pemimpin perompak yang menyebut namanya dengan sebutan nelayan bercaping itu juga seorang tabib yang hebat.

“Jamur kayu hitam ini akan menguatkan jantungmu, dan daun nangka putih ini berguna untuk mengembalikan kerja syarafmu”, berkata orang tua itu kepada Kertanegara memberi keterangan kegunaan air seduhan racikannya. Bukan cuma itu, orang tua itu pun banyak bercerita tentang berbagai tumbuhan serta khasiatnya, seperti daun dewa, daun sambung nyawa, atau bunga wijaya kusuma yang hanya berbunga setahun sekali di malam hari. Anehnya Kertanegara merekam semua ucapan orang tua itu yang begitu terinci seperti membedakan bentuk daun waru dan daun jati merah.

Kertanegara tidak pernah jemu meminum obat dari orang tua itu yang sesungguhnya biasa dipanggil oleh kerabatnya sebagai Empu Dangka. Hatinya menjadi begitu tersentuh melihat kesungguhan Empu Dangka merawat dirinya.

Genap satu bulan Kertanegara berada di gubuk sederhana itu. Akhirnya pengobatan Empu Dangka telah mulai terlihat. Kertanegara telah dapat menggerakkan jari-jari kaki dan tangannya. Bukan main senangnya Empu Dangka melihat perkembangan itu.

Pada hari ketujuh selanjutnya, kertanegara sudah dapat menggerakkan seluruh tubuhnya. Dan tiga hari kemudian Kertanegara sudah dapat bangun dari duduk  di pembaringannya.

“Jangan terlalu memaksakan diri, biarkan tubuhmu menguatkan dirinya sendiri”, berkata Empu Dangka kepada Kertanegara yang tengah berusaha berdiri.

Demikianlah, dari hari kehari Kertanegara merasakan perubahan kekuatan dirinya. Bukan main senang hatinya ketika di suatu pagi dapat bangun dan berdiri di atas kedua kakinya. Empu Dangka membuatkan dua buah tongkat penyangga. Melatih Kertanegara berjalan. Bukan main senangnya hati Kertanegara dapat berdiri di pinggir sungai yang airnya begitu jernih. Yang selama ini hanya didengar suara arus dan riaknya air membentur batu besar. Beberapa hari kemudian, Kertanegara telah dapat berjalan perlahan tanpa bantuan tongkat penyangga.

“Turun dan madilah di sungai sepuasmu”, berkata Empu Dangka kepada Kertanegara

Seperti anak kecil, Kertanegara berdiri di sungai yang tidak dalam itu. Berjalan kesana kemari dengan senangnya. Sepertinya tidak pernah menjadi jemu.

Hangatnya sinar matahari pagi menambah kegembiraan hati Kertanegara.

Begitulah Kertanegara berlatih diri setiap hari berjalan di dalam air sungai, keutuhan dan kekuatan tubuhnya telah kembali seperti sedia kala. Namun masih terus berlatih hingga bahkan dapat berlari melawan arus sungai yang deras.

“Kerta, anakku”, begitulah Empu Kanda memanggil Kertanegara.

“Usiaku sudah semakin rapuh, aku ingin memberikan sedikit ilmu yang ada ini kepadamu”, berkata Empu Kanda kepada Kertanegara.” Semoga berguna dan bermanfaat untukmu”, sambung Empu Kanda melanjutkan.

Kertanegara hatinya menjadi bimbang, sebulan lebih perjalanannya tertunda, terbayang wajah Menik Kaswari yang kecewa, akan menyangka dirinya sebagai seorang lelaki yang tidak berani memperjuangkan arti sebuah cinta.

“Tataran ilmuku masih begitu rendah”, berkata Kertanegara dalam hati mengingat kembali pertempurannya dengan Daeng Bahar.

Kertanegara mencoba menjenguk hatinya yang paling dalam, sepertinya hati ini begitu berat untuk memilih menyetujui keinginan orang tua di depannya yang menginginkan dirinya mewarisi ilmunya. “Apa artinya seorang Raja bila masih takluk dan gentar melawan sekelas perompak jalanan”, pikiran Kertanegara kembali memberi beberapa pertimbangan.

“Mudah-mudahan diriku ini tidak mengecewakan”, berkata Kertanegara kepada Empu Dangka sebagai jawaban menerima tawarannya.

“Aku ingin melihat sejauh mana tataran ilmu yang sudah kau miliki”, berkata Empu Dangka kepada Kertanegara meminta untuk memperlihatkan sejauh mana tataran yang dimiliki.

Kertanegara dan Empu Dangka mencari tempat yang agak terbuka. Mereka mendapatkan sebuah tempat yang mereka inginkan.

Matahari pada saat itu masih belum naik kepuncak langit. Hembusan angin seperti hangat menyentuh tubuh. Seekor burung Kepodang kuning hinggap di batu sungai. Meneguk sedikit air sungai yang mengalir bening. Burung Kepodang kuning itu pun terbang kembali, mungkin menemui kekasihnya yang begitu lama menunggu.

Kertanegara telah mempersiapkan dirinya, semula gerakannya mengalir lambat tanpa kekuatan. Namun semakin lama menjadi semakin cepat dan keras karena dilakukan dengan segenap tenaga yang ada. Peluh bercucuran di seluruh tubuhnya. Dan akhirnya kecepatan gerakannya pun perlahan berkurang, semakin lambat dan akhirnya berhenti.

“Kerta, apa hubunganmu dengan Empu Purwa?”, bertanya Empu Dangka.

“Beliau dapat dikatakan sebagai buyut guruku”, berkata Kertanegara

“Sudah kuduga, ternyata kita berasal dari perguruan yang sama”, berkata Empu Dangka manggut-manggut. ”Ditangan Empu Purwa dan keturunannya, ilmu itu telah berubah dari watak aslinya”, berkata Empu Dangka melanjutkan.

“Aku belum mengerti apa yang Empu maksudkan”, berkata Kertanegara tidak mengerti maksud perkataannya. Karena sebagai seorang yang selama ini menekuni jurus ilmu yang diwarisi langsung dari ayahnya, secara pribadi membanggakan aliran ilmunya. Apalagi sering Ayahnya sendiri banyak bercerita, begitu tingginya ilmu yang dimiliki oleh Mahesa Agni tidak terlawan oleh siapapun pada jamannya.

“Apakah permainan jurusku ini buruk ?”, berkata Kertanegara.

Empu Dangka tertawa terpingkal pingkal. “Apakah kamu mendengar aku berkata seperti itu?”, balik  bertanya Empu Dangka kepada Kertanegara.

“Aku hanya bertanya”, berkata Kertanegara yang dibalas senyuman oleh Empu Dangka.

“Pada dasarnya sebuah ilmu akan terus menuju ke arah kesempurnaan, jurus yang kamu mainkan sudah begitu menjadi sempurna. Terus terang aku mengagumi bahwa ilmu itu telah disempurnakan. Namun perubahan ilmu itu telah menyesuaikan dirinya sebagaimana watak pemiliknya. Yang kulihat perubahannya menjadi begitu keras, sementara watak asli dari ilmu perguruan kita adalah sebuah kelembutan. Melawan kekerasan dengan kelembutan. Melawan kekuatan tanpa kekuatan”, berkata Empu Dangka. “Aku mohon petunjuk dari Empu”, berkata Kertanegara paham apa yang dikatakan oleh Empu Dangka.

“Aku seperti melihat watak asli dari Empu Purwa, lewat jurus yang kamu mainkan”, berkata Empu Dangka. “Kakekku Empu Brantas banyak bercerita tentang siapa sesungguhnya Empu Purwa. Seorang yang berwatak keras, kadang tidak mampu mengendalikan dirinya. Apalagi bila harga dirinya yang direndahkan, ia tidak akan mudah menerima dan mengalah. Apakah ayahmu tidak pernah bercerita tentang hancurnya bendungan Panawijen?”, bertanya Empu Dangka kepada Kertanegara.

“Pernah, ayahku sendiri pernah bercerita mengenai hal itu”, berkata Kertanegara sambil menganggukkan kepalanya.

“Aku akan menunjukkan watak asli dari perguruan kita yang sebenarnya, tapi tidak hari ini”, berkata Empu Dangka. “Mari kita kembali ke Gubuk, ada beberapa hal utama yang harus aku sampaikan”, berkata Empu Dangka melanjutkan.

Sementara Matahari sudah berdiri di puncaknya, para binatang hutan pasti tengah bersembunyi mengintip kapan terik panas matahari berlalu. Bersembunyi dibalik daun dan ranting, dibalik semak belukar yang kerap, atau seperti badak bercula, tertidur bersama baju lumpurnya.

Empu Dangka tengah memberi penjelasan tentang dasar-dasar utama perguruannya. Melukis sebuah lingkaran yang dikelilingi oleh lingkaran luar mirip sebuah gambar cakra.

“Lingkaran di dalam adalah pancer, dialah Sang Hyang Maha Tunggal pusat dari segala yang hidup dan menghidupi kehidupan ini, sumber dari kekuatan. Datangilah Dia dari semua pintu, Karena Dia lah yang memegang kunci delapan pintu arah mata  angin”, berkata Empu Dangka memberi pengertian dasar untuk memulai sebuah laku.

“Apakah aku harus merajah gambar ini sebagaimana yang ada di tangan Empu”, berkata Kertanegra kepada Empu Dangka sambil melirik lukisan cakra di tangan Empu Dangka.

“Anakku, kamu tidak perlu melukisnya di tanganmu, patri-lah di dalam hatimu”, berkata Empu Dangka kepada Kertanegara dengan tersenyum lembut.

Demikianlah Empu Dangka memperkenalkan sifat dan watak dari perguruannya agar menyempurnakan ilmu yang sudah dimiliki oleh Kertanegara lewat jalur Empu Purwa dan Mahesa Agni kembali ke jalurnya yang murni.

“Cambuk adalah senjata utama perguruan kita, sebuah senjata yang mengutamakan sebuah kelembutan dan kelenturan”, berkata Empu Dangka sambil melepas sebuah cambuknya yang selalu terikat di pinggangnya.

Hari pertama itu, Kertanegara mendapatkan beberapa pemahaman dan pengertian dasar dari sebuah laku yang harus dilaksanakan.

Pada hari kedua, Kertanegara melaksanakan sebuah laku, duduk bersila sempurna diatas sebuah batu. Berlatih olah pernapasan rahasia perguruan Empu Dangka. Kekerasan dan semangat Kertanegara memang luar biasa, sehari dan semalaman kertanegara melaksanakan laku yang diajarkan Empu Dangka tanpa merasakan keletihan sedikit pun. Diam-diam Empu Dangka memuji ketahanan tubuh Kertanegara. “Makan dan beristirahatlah”, berkata Empu Dangka meminta Kertanegara menghentikan laku-nya.

Setelah beberapa hari berlatih melaksanakan sebuah laku. Akhirnya Kertanegara mulai merasakan sesuatu di dalam lakunya. Kertanegara merasakan dirinya seperti ambles ke dalam bumi, terbakar panasnya magma bumi, terlempar terbawa dalam arus sungai yang  jernih, dengan sekuat tenaga berenang melawan arus sungai hingga sampai ke hulu, meneguk dan merasakan harumnya setetes air dari sumber mata air yang jernih, merasakan hembusan angin, tubuhnya pun seperti melayang keudara, tertidur di punggung matahari, menatap lembut senyum sang rembulan dan terbang kelangit malam menjadi sebuah bintang.

Sebuah sentuhan dingin menyentuh bahunya, Kertanegara membuka matanya tersadar.

“Akhirnya kamu berhasil, lukislah gambar cakra itu di dalam jiwamu”, berkata Empu Dangka yang melihat dengan penglihatan bathinnya bahwa Kertanegara telah sampai di puncak laku-nya.

Kita tinggalkan dulu Kertanegara yang tengah digembleng oleh Empu Dangka menerima warisan ilmunya. Mari kita melihat sampai dimana perjalanan Mahesa Murti dan Raden Wijaya.

Saat itu matahari telah mulai turun dari puncaknya, senja masih jauh. Sekelompok burung pipit terbang ke utara, seperti lukisan alam yang indah dalam warna kapas awan putih tanpa suara angin.

“Kedatangan kita bersama datangnya panen raya”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya yang sudah rindu dengan kehidupan Padepokan Bajra Seta. “Dari mana Paman mengetahui bahwa panen raya telah datang?”, bertanya Raden Wijaya.

“Burung-burung pipit itu datang dan pergi dalam waktu dan tempat yang sama sepanjang tahun. Mereka hanya datang ke tempat dimana padi sedang bunting”, berkata Mahesa Murti.

“Artinya perjalanan kita sudah menjadi dekat”,  berkata Raden Wijaya.

“Searah burung pipit itu terbang, melewati  hutan kecil, sebelum senja kita sudah sampai”, berkata Mahesa Murti sambil menghentak perut kudanya agar berlari lebih kencang lagi.

Dua ekor kuda berpacu membelah padang semak alang-alang luas, dan masuk menghilang ditelan kerindangan hutan yang pekat.

Sinar matahari senja mewarnai langit di atas Padepokan Bajra Seta. Dua ekor kuda terlihat mendekati pintu gerbang Padepokan yang masih terbuka.

“Ketua datang !!”, berkata seorang cantrik dari panggungan.

Dalam waktu singkat, Mahesa Murti dan Raden Wijaya telah dikerumuni para cantrik. Sementara itu di Pendapa seorang wanita cantik berdiri dengan wajah penuh ceria. Siapa lagi wanita tercantik di Padepokan Bajra Seta selain Padmita adanya. Istri tercinta Mahesa Murti dari Padepokan Renapati yang juga anak putri seorang sakti bernama Kiai Wijang.

Diiringi para cantrik, Mahesa Murti dan Raden Wijaya menuju ke pendapa Padepokan Bajra Seta.

“Raden, perkenalkan ini Bibi Padmita”, berkata Mahesa Murti kepada Raden wijaya. “Sudah pantaskah aku di panggil Bibi ?”, berkata Padmita dengan senyumnya yang begitu mempesona.

Dan malam itu suasana di padepokan Bajra Seta begitu meriah. Kembali ayam-ayam jago dan gurame besar yang lagi bunting di kolam belakang menjadi korban keceriaan orang-orang yang ada di Padepokan Bajra Seta.

Semuanya sepertinya bergembira, menyambut kedatangan Mahesa Murti kembali di Padepokan Bajra Seta.

Pagi-pagi sekali Raden Wijaya dan Mahesa Amping sudah bangun. Ketika mereka bersama naik ke Pendapa, Mahesa Murti sudah ada. Mereka pun menikmati makanan dan minuman hangat.

“Hari ini aku ingin mengajak Raden Wijaya ke sawah, melihat panen raya”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Murti.

“Aku akan segera menyusul, aku juga sudah rindu melihat sawah kita saat panen”, berkata Mahesa Murti memberi ijin Mahesa Murti dan Raden Wijaya pergi ke sawah.

Dengan gembira Mahesa Amping dan Raden Wijaya turun dari pendapa. Sementara di halaman nampak Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga sudah menanti. Hari itu hampir sebagian para cantrik turun ke sawah untuk melaksanakan panen raya.

Mahesa Murti melihat dari jauh Mahesa Amping dan Raden Wijaya jalan beriring.

“Baru satu malam mereka sudah begitu akrab”, berkata Mahesa Murti sendiri dalam hati.

“Mereka sudah berangkat?”, berkata Padmita yang baru muncul dari pintu membawa jajanan jenang alot.

“Bukankah ada aku di sini ?”, berkata Mahesa Murti kepada Padmita yang langsung duduk meletakkan jajanan jenang alot.

“Apa perlu kutambahkan lagi wedang sarenya Kangmas”, berkata Padmita kepada Mahesa Murti yang melihat minuman di depan Mahesa Murti sudah hampir habis.

“Tidak perlu, kehadiranmu sudah cukup melengkapi segalanya”, berkata Mahesa Murti memandang Padmita yang tersenyum malu.

Matahari pun merayap naik perlahan. Sepasang burung murai batu tengah bercumbu di ranting bambu. Sang jantan mulai merayu menebar pesona, sayang seekor kadal bunting datang mengganggu. Sepasang burung murai terbang menjauh mencari dahan dan ranting di kerindangan pohon melanjutkan sisa asmara mereka yang tertunda.

“Kangmas akan turun ke sawah?”, bertanya Padmita kepada Mahesa Murti yang dijawab dengan anggukan kepala pelahan.

“Cepatlah Kangmas ke sawah, aku akan menyusul untuk membawakan makanan ke sana”, berkata Padmita kepada Mahesa Murti.

Matahari sudah mulai merayap naik, Mahesa Murti keluar Padepokan Bajra Seta menuju ke sawah.

Dipesawahan yang telah menguning, para cantrik tengah sibuk memotong padi. Sehelai demi sehelai batang padi terpotong ani-ani tajam dari tangan yang cekatan. Di beberapa petak sawah nampak beberapa cantrik tengah membakar sekam. Gunungan padi pun telah banyak terkumpul. Sebuah kegembiraan dan kebahagiaan yang tidak bisa dibeli oleh apapun. Mahesa Murti memandang semua itu dalam bathin penuh rasa syukur.

“Begitu damainya seandainya di bumi manapun tidak ada prahara, tidak ada peperangan dan pertumpahan darah”, berkata Mahesa Murti dalam hati ketika perlahan sudah mendekati pesawahan.

“Hasil panen kita kali ini luar biasa”, berkata Wantilan kepada Mahesa Murti.

“Panen pertama di tanah Sima”, berkata Mahesa Murti kepada Wantilan yang nampak wajahnya kemerahan terbakar sinar matahari.

“Panen pertama tanpa ikatan thanibala”, berkata wantilan menyambung ucapan Mahesa Murti.

“Mbokayu Padmita belum muncul?”, bertanya Mahesa Amping yang baru datang bersama Raden Wijaya bergabung bersama Mahesa Murti dan Wantilan.

“Kamu menanyakan Mbokayumu atau makanannya?”, bertanya Wantilan menggoda Mahesa Amping.

“Kedua-duanyalah”, berkata Mahesa Amping yang merasa malu bahwa keinginannya sudah dapat di baca oleh Pamannya, Wantilan.

“Sebentar lagi Mbokayumu datang dengan gorengan gurame kering”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping menggoda. Dan tidak terasa perut Mahesa Amping seperti berkerukut mendengar gurame goreng.

Matahari telah bergeser sedikit dari puncaknya. Di pinggir sawah di bawah pohon pisang yang tumbuh di tegalan, mereka menikmati makan siang yang istimewa. Lauk yang paling enak di dunia ini adalah rasa lapar. Raden Wijaya dan Mahesa Amping terlihat begitu penuh semangat dan menikmati rasa lapar mereka bersama seekor goreng gurame kering yang masih hangat.

“Aku akan mengajak Raden Wijaya ke tepian sungai”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Murti yang tengah bersiap untuk kembali ke Padepokan Bajra Seta.

“Berhati-hatilah”, berkata Mahesa Murti mengijinkannya.

“Paman Sembaga ikut bersama kami”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Murti.

Mahesa Murti memandang sebentar kepada Sembaga. Mengerti apa arti pandangan mata dari Mahesa Murti, Sembaga mengangguk perlahan. “Aku akan menjaga dua bocah nakal ini”, berkata Sembaga.

Sembaga, Mahesa Amping dan Raden Wijaya berjalan ke arah sungai. Di tepian sungai yang agak luas mereka berhenti. Suasana di tepian begitu teduh, sinar matahari terhalang rindangnya batang pohon waru yang banyak tumbuh di tepian sungai yang bening dan berbatu.

“Aku dan Paman Sembaga sering ke tempat ini berlatih”, berkata Mahesa Amping sambil membuka bajunya yang kotor dan meletakkannya di atas sebuah batu.

“Sanggar alam”, berkata Raden Wijaya sambil memandang alam di sekitarnya.

“Mari kita berlatih Raden”, berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya sambil bersiap dalam kuda-kuda yang mantab.

“Aku sudah siap menerima serangan”, berkata pula Raden Wijaya kepada Mahesa Amping.

Sementara itu Sembaga duduk di sebuah batu besar menyaksikan dua orang anak muda berlatih.

“Lihat seranganku”, berkata Mahesa Amping meluncur dengan tendangannya ke arah dada Raden Wijaya. Dengan mudahnya Raden Wijaya mengelak kesamping sambil balas menyerang kaki Mahesa amping yang terbuka. Melihat serangan pertamanya lolos, bahkan dirinya balik diserang, Mahesa Amping menggunakan daya ayunan kaki kirinya yang terlanjur melayang dengan melemparkan kakinya melingkar kekanan, dengan gaya memutar langsung kaki kanannya menjulur mengancam dada Raden Wijaya. Dengan kecepatan yang luar biasa, Raden Wijaya menunduk begitu rendah sambil satu kaki kanannya menyapu melingkar. Kaget luar biasa Mahesa Amping mendapat serangan yang tiba-tiba, langsung dirinya melompat menghindari sapuan kaki Raden Wijaya.

Demikianlah dua orang muda, Raden Wijaya dan Mahesa Amping saling berbalas menyerang. Tidak dapat langsung ditentukan siapa diantara mereka yang lebih unggul. Mahesa Amping begitu liat dan sempurna dalam segi gerakan, sementara Raden Wijaya dapat mengatur nafas dan mempunyai kecepatan gerak lebih cepat dari Mahesa Amping.

Sembaga yang menyaksikan latihan dari kedua anak muda itu manggut-manggut langsung dapat menilai keistimewaan masing-masing anak muda itu. “Raden Wijaya sudah dapat menggunakan tenaga cadangannya, sementara Mahesa Amping masih melulu pada tenaga wadaknya”, berkata Sembaga dalam hati menilai latihan bertempur dari kedua anak muda di depannya. Sudah lama memang ada keinginan Sembaga sendiri untuk memberikan ilmunya dalam hal mengungkapkan tenaga cadangan yang ada di dalam diri, tapi hatinya menjadi sungkan, melihat diri sendiri yang bukan apa-apa, bukan guru dan bukan kerabat dari Mahesa Amping. “Mahesa Murti pasti punya perhitungan, kapan saatnya”, berkata Sembaga dalam hati menghibur diri.

Sementara itu, Mahesa Amping dan Raden Wijaya masih terus berlatih, masing-masing telah mengeluarkan apa yang mereka miliki, masing-masing mempunyai keinginan yang sama, sejauh mana tingkat tataran ilmu sahabat baru mereka.

“Nafasku habis !!”, berkata Mahesa Amping yang meloncat beberapa langkah ke belakang. Peluh telah bercucuran di seluruh tubuhnya. Sementara Raden Wijaya terlihat masih segar bugar.

“Gantian aku yang menjadi lawanmu”, berkata Sembaga sambil maju menghadapi Raden Wijaya.

“Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan Paman”, berkata Raden Wijaya sopan menjura.

Dalam waktu singkat sudah terlihat mereka saling balas menyerang, melompat dan menghindari serangan. Sembaga yang berilmu tinggi dapat menyesuaikan dirinya mengimbangi setiap serangan Raden Wijaya. Bila ketika berlatih bersama Mahesa Amping, dengan cepat Raden Wijaya dapat membaca setiap serangan dari Mahesa Amping, karena mereka ada dalam satu garis perguruan yang sama. Namun menghadapi Sembaga, Raden Wijaya betul-betul harus berjuang keras menghadapi jurus yang sebelumnya belum pernah dihadapi. Satu dua kali pertahanan Raden Wijaya dapat ditembus oleh Sembaga. Namun pada serangan selanjutnya, Raden Wijaya sudah dapat melihat kesalahannya, memperbaiki lubang-lubang kelemahannya. Bukan main senangnya Raden Wijaya mendapatkan lawan tanding seorang Sembaga. Pengalaman dan pengenalan atas jurus-jurusnya semakin bertambah.

“Cukup”, berkata Sembaga sambil melompat beberapa langkah kebelakang. ”Hari sudah hampir gelap”, lanjut Sembaga sambil menunjuk kelangit.

Hari memang sudah senja, matahari sudah turun mengintip di ujung garis cakrawala. Setelah mandi di sungai mereka pun kembali ke Padepokan Bajra Seta.

Demikianlah, Raden Wijaya berlatih setiap hari di Padepokan Bajra Seta, di sanggar tertutup atau di  tempat terbuka seperti ditepian sungai bersama Mahesa Amping. Kadang Mahesa Murti sendiri langsung membimbingnya, meningkatkan tataran ilmunya selapis demi selapis.

Sebagaimana Sembaga, Mahesa Murti juga melihat keunggulan Raden Wijaya dari Mahesa Amping yaitu dalam mengungkapkan tenaga cadangannya. Sebagai seorang guru yang bijaksana, sebelum Mahesa Amping mengetahui kekurangannya, ada keinginannya untuk memberikan hal yang sama sebagaimana Raden Wijaya yaitu sebuah laku rahasia.

Hari itu, matahari masih mengintip di batas fajar. Seperti biasa Raden Wijaya dan Mahesa Amping sudah bangun langsung naik ke Pendapa menemui Mahesa Murti. Seperti biasa mereka menikmati bersama hidangan dan minuman hangat yang di sediakan langsung oleh Padmita.

“Mahesa Amping”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping. “Hari ini aku akan mengajakmu ke goa Ranggan”. Mahesa Amping sedikitnya sudah mengetahui dimana letak Goa Ranggan. Dari beberapa cantrik dan penduduk disekitar Mahesa Amping banyak diceritakan beberapa hal mengenai Goa Ranggan. Sebuah goa yang berada tidak jauh dari Padepokan Bajra Seta, tepatnya di gunung karang. Konon menurut cerita yang di dapat, disana puluhan tahun yang lampau adalah tempat bertapanya seorang pertapa sakti.

“Raden wijaya boleh diajak turut?”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Murti, sepertinya sebuah permintaan.

Mahesa Murti memandang Mahesa Amping dan Raden Wijaya silih berganti. Merasa haru melihat keakraban mereka yang sudah begitu dekat.

“Kita berangkat bersama”, berkata Mahesa Murti  yang disambut gembira oleh Mahesa Amping. Dan tentunya Raden Wijaya sendiri juga ikut bergembira, tidak lagi kehilangan beberapa hari dengan Mahesa Amping, sahabatnya satu-satunya yang seusia dengannya di Padepokan Bajra Seta.

“Katakan kepada Paman Wantilan untuk mengatur segalanya selama aku tidak ada di sini”, berkata Mahesa Murti memberikan beberapa pesan kepada istrinya Padmita.

“Apa yang akan aku katakan bila Paman Wantilan dan siapapun bertanya tentang kepergian Kangmas bertiga?”, bertanya Padmita kepada Mahesa Murti.

“Katakan bahwa kami pergi berburu”, berkata Mahesa Murti kepada Padmita yang sebelumnya sudah diceritakan oleh Mahesa Murti tentang keinginannya meningkatkan ilmu Mahesa Amping. Matahari masih belum merayap naik, sinar  cahayanya masih begitu redup manakala Mahesa Murti, Mahesa Amping dan Raden Wijaya keluar dari regol gerbang Padepokan. Beberapa cantrik sudah biasa melihat mereka bertiga keluar dari Padepokan Bajra Seta, mungkin ke padukuhan terdekat, ke tepian sungai atau memang pergi berburu.

Jarak antara Pedepokan Bajra Seta dengan Goa Ranggan tidak begitu jauh, hanya setengah hari perjalanan.

Matahari sudah bergeser setengahnya ke arah barat ketika mereka bertiga telah sampai di kaki bukit karang. Perjalanan selanjutnya adalah sebuah pendakian yang melelahkan bagi Mahesa Amping, sementara itu Mahesa Murti dan Raden Wijaya hanya menggunakan sedikit tenaganya. Keringat sekujur tubuh Mahesa Amping sudah begitu basah. Dalam hati memang ada sedikit penasaran melihat Mahesa Murti dan Raden Wijaya sepertinya berjalan di tanah datar, tidak merasakan kelelahan sedikitpun.

Akhirnya merekapun telah sampai di mulut goa Ranggan.

“Ruang mulut goa ini cuma sebatas tubuh kita, tapi di dalamnya kita akan menemui ruangan yang cukup besar seluas bilik kamar kita”, berkata Mahesa Murti yang sebelumnya pernah datang menyelidiki goa Ranggan ini.

Mereka tidak langsung masuk ke goa, tapi beristirahat sebentar membuka bekal yang sengaja mereka bawa.

Matahari sudah hampir senja manakala mereka mulai memasuki mulut goa, sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Murti, ruang goa itu memang cuma sebatas tubuh orang dewasa. Maka seperti seekor ular mereka merayap perlahan memasuki lebih dalam lagi, hingga akhirnya mereka sampai juga di mulut goa lainnya mendapatkan sebuah sebuah lorong goa yang cukup luas, seluas bilik kamar sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Murti.

Sebenarnya, ada beberapa lubang di atas langitlangit ruang goa itu yang dapat ditembusi cahaya matahari. Sementara mereka baru sampai di ruang goa itu disaat hari memang sudah diujung senja, maka ruangan itu terlihat begitu gelap. Mereka tidak dapat melihat apapun selain kegelapan itu sendiri.

“Mahesa Amping”, berkata Mahesa Murti. “Sengaja aku membawamu kemari, untuk melaksanakan sebuah laku rahasia”, berkata lagi Mahesa Murti kepada Mahesa Amping yang selanjutnya juga mengatakan bahwa hal yang sama telah dilakukan oleh Raden Wijaya. Mahesa Murti pun bercerita tentang kejadian yang mereka alami dalam perjalanan mereka kembali ke Padepokan Bajra Seta, terjebak dalam sebuah sumur yang dalam. Sebuah cerita rahasia yang tidak pernah dikatakan oleh siapapun. Dan Mahesa Murti pun telah meminta raden Wijaya untuk tidak bercerita, mengubur cerita ini hanya untuk dirinya sendiri. Karena didalamnya tersangkut sebuah rahasia besar, sebuah laku rahasia.

“Dengan laku rahasia ini, kamu dapat mengenal dirimu sendiri lebih dalam lagi. Dan dapat mengungkap tenaga murni yang tersembunyi di dalam dirimu sendiri”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping.

“Di ruang goa yang pekat ini, para pendeta telah menemukan dirinya dan penciptanya. Merasakan kematian sebelum datangnya kematian itu sendiri”, berkata Mahesa Murti memberikan pemahaman bagaimana caranya masuk mengenal diri, mengenal alam besar dan alam alit dan tentunya untuk mengenal lebih dekat lagi kepada Tuhan yang Maha pencipta, Tuhan Yang Maha Agung dan tuhan Yang Maha Tunggal.

Mahesa Amping mendengarkan semua penjelasan dari Mahesa Murti dengan penuh perhatian. Meresapi setiap kata demi kata.

“Sekarang kita istirahat dulu, besok pagi kita baru memulai laku itu”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping dan Raden Wijaya.

Sang fajar telah bersinar terang, cahayanya masuk diantara lubang langit-langit goa seperti pedang panjang menembus bumi.

“Ada air yang menetes di ujung sebelah kanan goa ini, air itu dapat mengenyangkan perut kita”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping dan Raden Wijaya.

Cahaya di dalam goa menjadi lebih terang, sebagai tanda diluar sana matahari sudah berada dipuncaknya.

Hari itu Mahesa Murti tengah memberikan pemahaman kepada Mahesa Amping tentang alam semesta diluar dirinya, segala wujud dan sifatnya.

“Kenalilah melalui wujud dan sifatnya, kamu dapat merasakan bahwa wujud dan sifatnya ada juga didalam dirimu”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping.”Hari ini tugasmu adalah menembus dan mengenali alam sebagai wujud bersama sifatnya”, berkata kembali Mahesa Murti.

“Lakukanlah”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping setelah memberi penjelasan apa yang harus dilakukannya.

Terlihat Mahesa Amping tengah melaksanakan sebuah laku. Sementara itu Mahesa Murti dan Raden Wijaya ikut juga mendampingi Mahesa Amping memberikan dukungan bathin, berharap Mahesa Amping berhasil dalam tahap pertamanya untuk mengenali alam dalam wujud dan sifatnya, didalam dirinya.

Matahari telah bergeser di ujung senja, cahaya di dalam goa telah menghilang. Kegelapan menyelimuti isi goa. Tiga orang di dalam goa itu seperti arca budha dalam sila sempurna.

Malam terus berlalu, kegelapan begitu pekat di dalam goa, jangankan melihat sekitarnya, melihat wujud diri sendiri pun tidak mampu. Mahesa Amping hanya merasakan dirinya, dalam wujud kesendirian. Mulailah dirinya berkelana mengenal alam di sekitarnya, didalam wujud dan sifatnya.

Tanpa terasa, waktu terus berlalu. Sedikit cahaya kemerahan mengisi lubang di atas langit-langit adalah tanda bahwa sang fajar telah kembali datang.

“Katakan apa yang telah kamu rasakan”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping yang sudah terbangun dari lakunya.

Mahesa Amping pun menceritakan segala yang dirasakannya tanpa sedikitpun yang terlupakan.

“Puji Syukur kepada Gusti Yang Maha Pencipta, perjalanan pertamamu telah sampai didalam bimbinganNYA.”, berkata Mahesa Murti setelah mendengar apa saja yang dirasakan oleh Mahesa Amping.

“Beristirahatlah”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping dan Raden Wijaya. Setelah melihat Mahesa Amping telah cukup beristrihat, Mahesa Murti kembali memberikan beberapa penjelasan apa yang harus dilakukan oleh Mahesa Amping. Sementara itu Raden Wijaya yang ikut mendengarkan seperti teringat kembali bagaimana dirinya memasuki tahap kedua ini.

“Semua yang berwujud di alam adalah semu, semua akan kembali kepada-NYA. Janganlah takut melihat ketidak beradaanmu, karena yang tiada itu sebenarnya ada, dan yang ada itu sesungguhnya tiada”, berkata Mahesa Murti memberikan tuntunan kepada Mahesa Amping sebagaimana pernah dialami Mahesa Murti sendiri ketika membuka sebuah laku rahasia.

“Mari kita memulainya lagi”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping.

Seperti sebelumnya, Mahesa Murti dan Raden  Wijaya ikut membantu memberi dukungan bathin kepada Mahesa Amping dengan ikut melasanakan sebuah laku.

Pelan-pelan cahaya matahari sudah tidak nampak kembali, malam pun datang merayap, mengisi goa dalam kepekatan. Tiada suara, begitu hening, tiada terdengar suara nafas sedikit pun. Sepertinya di dalam goa tidak ada yang menghuni, begitu sepi.

Waktu memang sebuah ukuran dunia, dia tidak pernah cepat maupun menjadi lambat. Tapi hitungan waktu di dalam goa seperti sudah terlupakan. Keberadaannya terwakili oleh warna gelap dan warna terang. Ketika warna di dalam goa menjadi terang, mereka beristirahat sejenak, lalu kembali dalam sikap sebuah laku. Tidak terasa mereka sudah memasuki hari keempat. Mahesa Amping sudah akan memasuki tahap akhir dalam lakunya. Mengenal dan mengerti bagaimana menghimpun hawa murni di dalam tubuh. Mengendalikannya menjadi kekuatan di luar wadagnya. Meniadakan bobot tubuh seperti kapas di terbangkan angin, atau menjadikan bobot tubuh berat menjadi puluhan kati.

Hari itu warna goa sudah begitu terang, manakala Mahesa Murti dan Raden Wijaya membuka matanya, bukan main terperanjatnya mereka. Mahesa Amping  tidak ada didekat mereka.Ternyata Mahesa Amping tengah melayang dalam posisi sila sempurna dua jengkal di atas kepala mereka, masih dalam keadaan mata terpejam.Mahesa Murti pun segera berdiri menyentuh sedikit pundak Mahesa Amping dengan jari telunjuknya. Perlahan tubuh Mahesa Amping turun kembali di tempatnya.

Mahesa Amping pun telah membuka matanya. “Lakumu   telah   selesai,   ternyata   kamu  dilahirkan

dengan bakat istimewa melampaui orang biasa”,  berkata

Mahesa Murti penuh rasa gembira.

“Terima kasih, semua atas dukungan Kangmas dan Raden tentunya”, berkata Mahesa Amping penuh rasa syukur telah melewati tahap demi tahap sebuah laku rahasia.

“Hijab yang menutupi alam alit telah terbuka, jangan kamu tinggalkan laku ini dimanapun kamu berada”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping.

“Berlatihlah untuk mengenal lebih dalam lagi kekuatan yang tak terhingga yang dapat kalian ungkapkan dalam bentuk apapun”, berkata kembali Mahesa Murti tidak hanya kepada Mahesa Amping, juga kepada Raden Wijaya yang meresapi setiap  kata Mahesa Murti sebagai pusaka guru yang bermakna dalam, saat itu dan mungkin juga di saat mendatang.

Matahari telah turun dari puncaknya, angin di bukit karang bertiup begitu kencang. Tiga sosok tubuh menuruni lereng bukit karang begitu ringannya. Kadang mereka melompat jauh dari satu tempat ketempat lain seperti kambing gunung yang tidak pernah takut jatuh berlompatan menjejakkan kakinya dari satu sisi ke sisi lainnya. Dalam waktu singkat mereka sudah sampai di kaki bukit karang.

Mahesa Murti, Mahesa Amping dan Raden Wijaya nampak tengah berjalan kembali ke Padepokan Bajra Seta. Wajah mereka begitu ceria, sepertinya tidak ada yang luput dari pandangan mereka selain keindahan, melihat anak kijang yang baru terlahir berjalan terpincang-pincang, mendengar perkutut liar merayu dan memanggil sang betina dengan suaranya yang panjang. Bahkan perkelahian dua ekor burung jantan di angkasa menjadi suatu yang mengasyikkan untuk dipertontonkan.

Ketika senja melukis cakrawala dalam warna keteduhan, Mahesa murti, Mahesa Amping dan Raden Wijaya telah sampai kembali di Padepokan Bajra Seta.

Hari itu, seperti hari sebelumnya, di saat matahari sudah mulai bosan menatap bumi dari puncaknya. Burung-burung liar berlindung di pepohonan yang  rindang setelah sepanjang siang mencari makanan. Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Sembaga berada di tepian sungai yang teduh untuk berlatih.

“Akhirnya, Mahesa Amping sudah dapat mengungkapkan tenaga cadangannya”, berkata Sembaga kepada dirinya sendiri ketika melihat seranganserangan Mahesa Amping bagai angin yang menderu berlatih bersama Raden Wijaya. Raden Wijaya memang agak menjadi sibuk mengelak dari serangan Mahesa Amping yang beruntun, begitu cepat dan penuh dengan kekayaan gerak yang kadang membingungkan Raden Wijaya. Tapi ketenangan Raden Wijaya ternyata menjadi modal tersendiri, dengan ketenangannya ia dapat berpikir jernih, meloloskan diri dari setiap sergapan Mahesa Amping dan langsung menyerang balik.

Kekuatan dan kecepatan gerak mereka seimbang. Kelebihan tipis dari Mahesa Amping terletak pada kesempurnaan gerak dan pengalaman bertempurnya.

Seperti dua ekor banteng yang sedang bertempur, tidak terlihat sedikit pun kelelahan di wajah mereka. Ketika warna senja telah turun menyelimuti hamparan tepian sungai, latihan mereka baru berhenti.

“Hari ini aku tidak kebagian berlatih”, berkata Sembaga dengan bersungut-sungut. “Besok aku akan menantang kalian berdua sekaligus”, berkata kembali Sembaga.

“Hadiah apa yang akan Paman Sembaga berikan kepadaku, bila sebuah pukulanku menembus tubuh paman”, berkata Mahesa Amping kepada Sembaga.

“Aku akan menghadiahkan sebuah bogem mentah langsung”, berkata Sembaga yang disambut tawa oleh Mahesa Amping dan Raden Wijaya.

Demikianlah, dari hari ke hari, Mahesa Amping dan Raden Wijaya terus berlatih. Di tepian sungai, di sanggar tertutup atau di beberapa tempat di alam terbuka lainnya dibawah pengawasan Sembaga dan Mahesa Murti. Kehadiran Sembaga dalam latihan-latihan mereka, telah banyak menambah kekayaan dan pengalaman mereka dalam pertempuran yang sebenarnya. Sementara itu, Mahesa Murti dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit membangunkan kesadaran mereka untuk dapat mengungkapkan kekuatan yang tak terhingga yang ada di dalam diri.

Dan kekuatan itu pun akhirnya terbangun.

Raden Wijaya sudah dapat mengungkapkan kekuatan hawa panas dari dalam dirinya. Dari hentakan tangannya akan meluncur angin panas yang bergulung gulung menghanguskan apapun yang menghadang.

Sementara itu, sebagaimana pernah dikatakan oleh Mahesa Murti, bahwa Mahesa Amping mempunyai bakat yang istimewa, mempunyai bakat di luar orang biasa. Diam-diam telah menemukan rahasia membangunkan hampir semua kekuatan yang dapat diungkapkan sesuai dengan keinginannya. Membangunkan hawa dingin yang dapat membekukan, membangunkan hawa panas yang dapat membakar apapun yang ada disekelilingnya. Dan yang lebih mengerikan lagi adalah dari sorot matanya yang dapat meremukkan kerasnya batu.

“Penuhilah hati kalian dengan hawa kasih, dan jalanilah kehidupan kalian dengan budi. Jauhilah hati kalian dari nafsu angkara, karena disitulah sumber petaka dan bencana”, berkata Mahesa Murti kepada Raden Wijaya dan Mahesa Amping pada suatu malam di sebuah tempat alam terbuka yang jauh dari kehidupan dan padepokan Bajra Seta. Sebuah tempat yang sering mereka singgahi untuk berlatih meningkatkan tataran ilmu Raden Wijaya dan Mahesa Amping selapis demi selapis menuju kearah kesempurnaanya.

Di suatu hari, Matahari saat itu sudah rebah di ujung senja. Warna cakrawala dikuas bening redup tanpa desiran angin sedikit pun. Gambar pohon randu yang bercabang banyak di sudut depan dinding Padepokan Bajra Seta seperti patung arca. Tidak ada satu pun helai daun yang bergerak.

Panggraita Mahesa Amping yang sudah semakin tajam menangkap sebuah bayangan yang begitu jelas. Wajah yang pernah dikenalnya. Tapi Mahesa Amping tidak mengatakan apapun apa yang dilihatnya kepada Mahesa Murti dan Raden Wijaya yang ketika itu mereka tengah duduk di Pendapa utama.

Seorang berkuda masuk melewati gerbang Padepokan Bajra Seta yang memang selalu terbuka.

“Paman Arya Kuda Cemani”, berkata Mahesa Murti yang dengan ketajaman matanya mampu mengenali orang berkuda yang telah masuk melewati pintu gerbang Padepokan.

Arya Kuda Cemani diterima langsung di Pendapa Bajra Seta. Setelah bercerita tentang keselamatan masing-masing, Arya Kuda Cemani langsung menyampaikan tujuannya datang ke Padepokan Bajra Seta. Yaitu bercerita tentang hilangnya Putra Mahkota yang sampai saat ini pihak kerajaan telah kehilangan jejaknya. Sang Putra Mahkota seperti hilang ditelan bumi.

“Sesuai perintah Sri Maharaja, kami petugas sandi diminta hanya sekedar membayangi. Sampai di Bandar Pelabuhan Cangu, kami masih dapat membayanginya. Tapi setelah itu, kami telah kehilangan jejak. Pengeran Kertanegara seperti hilang di telan bumi”, berkata Arya Kuda Cemani bercerita tentang keadaan tentang Putra Mahkota yang hilang.

“Bukankah Putra Mahkota sudah dapat menjaga dirinya sendiri?”, berkata Raden Wijaya yang sangat mengenal Pangeran Kertanegara sebagai seorang yang sudah memiliki bekal ilmu yang cukup.

“Pada awalnya memang kami berpikir seperti itu, Sri Maharaja juga berpikir demikian”, berkata Arya Kuda Cemani berhenti sebentar, lalu lanjutnya, “para petugas sandi menangkap berita, ada sekelompok orang tengah membayangi Sang Putra Mahkota, bermaksud melenyapkannya”.

“Usaha melenyapkan Sang Putra Mahkota adalah sebuah usaha menghancurkan keberadaan Singasari”, berkata Mahesa Murti menyimpulkan keterangan yang disampaikan Arya Kuda Cemani.” Apakah petugas sandi sudah dapat menembus, kira-kira mereka dari pihak mana?”, bertanya Mahesa Murti kepada Arya Kuda Cemani.

“Itulah yang belum dapat kami ungkap, untuk inilah Sri Maharaja memerintahkan aku secara khusus datang ke Padepokan Bajra Seta ini”, berkata Arya Kuda Cemani.

“Sri Maharaja memerintahkan kami untuk mencari tahu ada dipihak siapa mereka itu?”, bertanya Mahesa Murti kepada Arya Kuda Cemani.

“Bukan cuma itu”, berkata Arya Kuda Cemani.”Tapi juga membawa kembali Sang Putra Mahkota dengan selamat tiba di istana”, berkata kembali Arya Kuda Cemani.

Suasana di Pendapa Bajra Seta sepertinya menjadi begitu hening. Semua kepala sepertinya tengah berpikir dengan pikirannya masing-masing. Akhirnya semua mata tertuju kepada Mahesa Murti, menunggu apa yang akan dikatakannya.

Nampak Mahesa Murti menarik nafas panjang. Kepercayaan Sri Maharaja terhadap Padepokan Bajra Seta adalah sebuah kebanggaan, sekaligus sebuah kemuliaan, demikian Mahesa Murti berpikir di dalam hatinya.

“Panggil Paman Sembaga, Paman Wantilan dan Mahesa Semu kemari”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping.

Maka Mahesa Amping langsung turun dari Pendapa. Tidak lama kemudian ia telah datang kembali bersama Sembaga, Wantilan dan Mahesa Semu.

Dengan singkat, Mahesa Murti bercerita tentang perintah khusus dari Sri Maharaja Singasari kepada Sembaga, Wantilan dan Mahesa Semu.

“Aku memutuskan, mempercayakan tugas mulia ini kepada kalian berlima”, berkata Mahesa Murti memberikan sebuah keputusan.

Mahesa Amping dan Raden Wijaya saling memandang. Bukan main senangnya mereka berdua diikutkan dalam tugas khusus itu.

“Besok pagi kalian sudah dapat berangkat, mungkin di perjalanan Paman Arya Kuda Cemani dapat memberikan beberapa petunjuk apa saja yang dapat kalian lakukan”, berkata Mahesa Murti kepada kelima orang kepercayaannya.

Dan pagi pun telah datang, tanah dan daun masih penuh dengan embun, pagi masih begitu gelab manakala enam ekor kuda keluar dari pintu gerbang regol Padepokan Bajra Seta.

“Aku titipkan padamu Raden Wijaya dan Mahesa Amping”, berbisik Mahesa Murti kepada Sembaga yang berjalan paling belakang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Murti, di perjalanan Arya Kuda Cemani memberikan beberapa petunjuk yang dapat mereka lakukan.

Di sebuah persimpangan jalan, mereka berpisah. Arya Kuda Cemani melanjutkan perjalanannya ke Singasari untuk melapor kepada Sri Maharaja. Sementara lima orang pahlawan dari Padepokan Bajra Seta sesuai petunjuk dari Arya Kuda Cemani langsung menuju Bandar Cangu. Tempat terakhir Pangeran Kertanegara dapat dibayangi oleh para petugas sandi.

Tidak banyak hambatan yang berarti dalam perjalanan mereka ke Bandar Cangu.

Temaram langit senja begitu indah menghiasi suasana Bandar Cangu. Ujung-ujung tiang layar perahu berjajar. Beberapa buruh hilir mudik mengangkat barang. Beberapa pedati bersandar di beberapa kedai yang tumbuh subur disekitar keramaian Bandar Cangu.

Sementara itu bila mata kita bergeser ke kiri, terlihat sebuah bangunan benteng prajurit yang luas dan kokoh. Berdiri di pinggir sungai Brantas seperti raksasa penjaga sungai.

“Kita singgah ke Benteng Cangu”, berkata Wantilan kepada kawan-kawannya yang sudah mengetahui bahwa Mahesa Pukat bertugas di Benteng cangu itu.

Ketika mereka tiba di pintu gerbang, seorang prajurit keluar dari gardu penjaga.

“Adakah kepentingan kalian datang ke Benteng ini?”, berkata Prajurit penjaga itu dengan wajah penuh curiga.

“Kami bermaksud ingin menemui saudara kami”, berkata Wantilan mewakili kawan-kawannya.

“Siapa nama Saudara kalian?”, bertanya prajurit itu masih dengan wajah penuh prasangka.

“Mahesa Pukat”, berkata Wantilan kepada Prajurit itu.

Bukan main kagetnya prajurit itu mendengar nama yang disebut oleh Wantilan. Dengan wajah masih penuh curiga dan tidak percaya prajurit itu memandang Wantilan dari ujung kaki sampai kepala, tidak ada sedikitpun kemiripan Wantilan dengan Senopati mereka.

“Apakah kalian sudah punya janji?”, berkata Prajurit itu masih dengan keraguan.

“Belum”, berkata Wantilan yang sudah mulai jengkel kepada prajurit itu.

“Silahkan kalian menunggu, aku akan melapor kepada ketua regu kami, apakah kalian dapat diterima”, berkata prajurit itu meminta Wantilan dan kawankawannya menunggu.

Terlihat prajurit itu masuk dalam salah satu barak yang terlihat berjejer. Sementara ditengah benteng itu berdiri sebuah bangunan utama. Dan nampak di pojok belakang benteng itu berdiri sebuah panggungan yang tinggi, tempat untuk mengawasi keadaan diluar benteng.

Tidak lama kemudian, terlihat prajurit penjaga itu telah datang bersama seorang prajurit lainnya, mungkin ketua regu yang telah dikatakannya.

“Mohon pertimbangan Ki Bekel. Apakah mereka dapat diterima?”, berkata Parajurit itu ke pada seorang prajurit lagi yang dipanggilnya sebagai Ki Bekel.

Tiba-tiba saja prajurit itu bertolak belakang dengan gagahnya.

“Kenapa kamu tidak ikat mereka semuanya?”, berkata prajurit yang di panggil Ki Bekel itu dengan wajah penuh wibawa kepada prajurit penjaga.

“Aku tidak mengerti, mengapa harus mengikat mereka?”, bertanya prajurit itu dengan wajah kebingungan.

Ki Bekel itu pun tertawa terpingkal-pingkal, sementara itu, Mahesa Semu dan Wantilan yang telah mengenali wajah Ki Bekel itu pun ikut tertawa.

Melihat semua itu, wajah prajurit itu semakin kusut kebingungan. Ki Bekel yang tidak lain adalah Dadulengit itu pun menepuk pundak prajurit yang masih kebingungan.

“Mereka adalah sahabatku, mereka juga saudara Ki Senopati”, berkata Dadulengit kepada Parjurit itu yang langsung menemui sahabat lamanya orang-orang dari Padepokan Bajra Seta yang dianggapnya sebagai pahlawan yang telah ikut membantu membebaskan dirinya dan kawan-kawannya dari perbudakan.

“Selamat berjumpa wahai sahabat lama”, berkata Dadulengit sambil memeluk mereka satu persatu dengan gembiranya.

“Pasti kamu Mahesa Amping, cantrik padepokan Bajra Seta paling muda”, berkata Dadulengit masih mengenali Mahesa Amping.

“Kamu sudah tumbuh sebagai seorang pemuda”, berkata Dadulengit memeluk erat-erat Mahesa Amping dengan gembira.

“Perkenalkan ini Raden Wijaya”, berkata Mahesa Amping memperkenalkan Raden Wijaya kepada Dadulengit.

“Perkenalkan, nama lengkapku Ki Bekel Dadulengit”, berkata Dadulengit yang disambut senyum hangat dari semua yang ada disitu, kecuali prajurit penjaga yang masih berdiri disitu.

“Apakah setelah jadi prajurit kamu masih berjudi?”, bertanya Mahesa Semu yang ingat kegemaran Dadulengit yang bergelar dewa judi.

“Dibandar Cangu, aku seperti menemukan sorga yang hilang. Hampir setiap malam aku menyelinap pergi berjudi”, berkata Dadulengit berterus terang.

“Moga-moga saja kamu tidak menjual tameng prajuritmu”, berkata Wantilan yang disambut tawa oleh Dadulengit dan keempat kawannya.

Mari kita tinggalkan dulu lima ksatria dari Padepokan Bajra Seta. Kita sudah terlalu lama meninggalkan Kertanegara yang tengah digodok di “kawah candradimuka” hutan Porong oleh Empu Dangka.

Di ujung senja, redup cahaya matahari tanpa desiran angin sedikit pun. Dua sosok bayangan tengah saling menyerang. Di tangan mereka sebuah cambuk panjang meluncur kadang melecut begitu gemulai, kadang bagai sebuah pedang kaku menerjang.

Kertanegara dan Empu Dangka terlihat tengah berlatih. Kadang kecepatan serangan sepertinya begitu mengerikan. Mereka sepertinya sepasang anak kecil yang bermain, tidak mengenal kengerian yang sebenarnya. Saling mengelak dan menyerang seperti sepasang ular kembar tengah bercinta-kasih, tiada yang menyakitkan. Yang ada hanyalah sebuah kegembiraan.

“Cukup!!”, berkata Empu Dangka sambil melompat mundur beberapa langkah. “Kemajuanmu benar-benar luar biasa. Begitu sempurna!!”, berkata Empu Dangka mengungkapkan kegembiraaannya. “Terima kasih Empu”, berkata Kertanegara sambil mengusap peluh di wajahnya.

Empu Dangka terlihat masuk ke gubuknya.

Sementara Kertanegara sibuk menyiapkan perapian.

Akhirnya, tidak lama kemudian. Terlihat mereka tengah menikmati makanan dan minuman hangat di gubuk mereka yang begitu sederhana.

“Seandainya besok aku mati, mungkin aku tidak akan menyesal. Karena semua ilmuku telah luluh di dalam tubuhmu”, berkata Empu Dangka sambil mengangkat minuman hangatnya, meneguknya sedikit.

“Semoga diriku tidak mengecewakan Empu”, berkata Kertanegara kepada Empu Dangka penuh rasa terima kasih.

“Anakku”, berkata Empu Dangka. “Aku mempunyai saudara kembar, entah sampai saat ini aku tidak tahu dimana rimbanya”, berkata Empu Dangka dengan mata jauh menerawang menembus batu hitam di seberang sungai.

“Adakah yang dapat dibedakan di antara kalian?”, bertanya Kertanegara kepada Empu Dangka.

“Sukar sekali membedakan diri kami, yang jelas aku berjuang seluas lapang dadaku, sementara saudaraku berjuang sejauh bumi dipijak, itulah yang membedakan di antara kami”, berkata Empu Dangka dengan mata masih memandang jauh melampai batu hitam di seberang sungai.

“Kebenaran memang harus diperjuangkan, di dalam jiwa bersama Paramashiwa, di bumi sebagai Budha. Sementara Gusti Yang Maha Agung yang mempunyai kehendak”, berkata Kertanegara sepertinya kepada dirinya sendiri.

Empu Dangka seperti tersentak mendengar ucapan Kertanegara. Matanya menatap Kertanegara begitu tajam.

“Anakku, kata-katamu adalah kesempurnaan Tattwa. Hari ini aku berguru padamu. Telah terpiciklah aku selama ini, memperjuangkan kebenaran hanya untuk pribadi di dalam diri. Melupakan bumi tempat tubuh ini berpijak. Siwa dan Budha bersatu dalam satu tubuh, tanpa batas antara lahir dan bathin. Seandainya saudaraku ada disini dan mengetahui akan hal ini, kami pasti tidak akan terpisah dalam perseturuan”, berkata Empu Dangka seperti anak kecil mendapatkan mainan baru. Sebuah gambaran seorang yang mempunyai kelapangan jiwa, mau menerima kebenaran, tidak memperdulikan siapa yang berkata.

“Untuk kelapangan hati, aku masih harus berguru dengan Empu”, berkata Kertanegara memandang Empu Dangka dengan penuh kebanggaan.

“Tattwa ibarat sebuah tinta Samudera, ilmu yang kita miliki adalah cuma sebaris kata yang jatuh diujung pena. Semakin kita meneguk air Tattwa, semakin haus dahaga kita rasakan”, berkata Empu dangka kepada Kertanegara.

Malam telah turun membelenggu hutan Porong dengan kegelapannya. Cahaya oncor dari minyak biji jarak menerangi gubuk di tepian sungai berbatu itu.

“Besok kamu akan melanjutkan perjalananmu?”, berkata Empu Dangka kepada Kertanegara yang memang bermaksud melanjutkan perjalanannya.

“Meski lewat pencerahan tattwa yang telah Empu tuntun selama ini, aku telah menemukan arah perjuanganku sendiri, sementara perjuanganku mendapatkan Menik Kaswari lebih bersifat janji seorang lelaki”, berkata Kertanegara kepada Empu Dangka menjelaskan tujuan awal meninggalkan tanah kelahirannya untuk membawa kembali gadis pujaannya.

“Mencintai dan dicintai, itu adalah anugerah dari Gusti Yang Maha Kasih. Ikutilah air yang mengalir. Sementara harta, tahta dan wanita ibarat batu-batu hitam di tengah arus sungai. Janganlah menghalangi dirimu mencapai muara cinta kasih yang hakiki, yang abadi”, berkata Empu Dangka.

“Nasehat Empu adalah pusaka yang akan selalu aku jaga”, berkata Kertanegara dengan perasaan gamang, besok ia akan berpisah dengan orang tua di depannya. Sendiri menghadapi sisa kehidupannya.

Suasana menjadi begitu hening, Empu Dangka dan Kertanegara sepertinya tengah ada di dalam pikirannya masing-masing. Kegelapan malam tanpa suara angin sepertinya menambah kesunyian itu. Hanya suara air sungai yang terus menderu ditingkahi suara binatang malam. Sekali-kali terdengar suara burung yang terus semakin menjauh.

“Kamu tidak perlu kembali kesungai Brantas, telusuri sungai ini sampai ke muara sungai porong. Aku ingin kamu menemui seorang sahabatku di sana”, berkata Empu Dangka kepada Kertanegara memecah kesunyian diantara mereka.

“Siapa nama sahabat Empu itu?”, bertanya Kertanegara

“Aku tidak tahu nama aslinya, yang kutahu bahwa ia memperkenalkan dirinya dengan nama Kebo Arema”, berkata Empu Dangka kepada Kertanegara.

Empu Dangka pun sekilas menceritakan beberapa hal mengenai sahabatnya itu yang bernama  Kebo Arema. Seorang pendekar muda yang sangat disegani oleh para perompak, di sungai dan di lautan. Hingga pada suatu hari terkena sebuah muslihat, dirinya diracuni oleh musuhnya dengan racun yang keras. Syukurlah, garis hidupnya tidak harus mati oleh sebuah racun. Dengan kesabaran akhirnya Empu Dangka dapat menyembuhkannya. Itulah awal perkenalan dan persahabatan antara Kebo Arema dan Empu Dangka.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar