Pendekar Bunga Matahari Jilid 15 : Luhurnya Menunaikan Janji (Tamat)

Luhurnya Menunaikan Janji

UDARA pagi mengusap wajah Jaka Wulung, membangunkannya dari tidur hanya beberapa jenak, menggugahkannya dari mimpi indah. Matahari menyapa lagi, membuka lembar kehidupan yang baru.

Jaka Wulung bangun, duduk mencangkung sebentar, kemudian turun menuju kali kecil di depannya, dan mencuci muka. Matanya seperti membesar oleh rasa nyeri. Dia pastilah menangis semalaman.

Dia harus melupakan Ciang Hui Ling.

Setelah pertempuran terakhir itu, setelah Ki Somali dan Lembu Sura akhirnya tewas menyusul Maesa Sura, semua orang kelompok Munding Wesi pergi. Pastilah mereka merasa tak akan ada gunanya melawan karena kekuatan sudah sangat timpang dengan kedatangan Tan Bo Huang, Ciang Bun, dan terutama sang Maung Lodaya, harimau yang luar biasa dan entah bagaimana bisa muncul untuk bertarung di sisi Jaka Wulung.

Pastilah pula mereka masih menyimpan dendam yang membara. Tapi, itu urusan mereka.
Setelah mengelus penuh kasih sayang, Jaka Wulung berbisik lembut dan harimau itu pun pergi dengan langkah yang pelan, menembus hutan menuju arah matahari terbenam.

Di sebuah dangau yang masih tersisa di dekat pondok Tan Bo Huang, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling mendapat pengobatan secukupnya dari Tan Bo Huang dan Ciang Bun. Di sana pulalah, mereka saling bercerita.

“Kau memang pantas mendapat julukan Titisan Bujangga Manik,” ucap Tan Bo Huang.

“Terima kasih,” Jaka Wulung membungkuk hormat. “Paman berdua luar

biasa. Kalau Paman berdua tidak muncul, entah apa jadinya nasib kami. Tak percuma gelar Naga Kuning dari Ci Liwung dan Sepasang Pedang Sakti melekat pada Paman berdua.”

Tan Bo Huang dan Ciang Bun saling pandang. Keduanya kemudian menatap Ciang Hui Ling, lalu tertawa. Tentulah Ciang Hui Ling telah banyak bercerita, pikir mereka.

“Bahkan, Lingling pun pantas mendapat julukan,” ucap Jaka Wulung. “Apa julukan yang sesuai untuknya?” tanya Ciang Bun.
“Pendekar Bunga Matahari,” jawab Jaka Wulung.

Ciang Hui Ling tersipu mendengar kata-kata Jaka Wulung. Wajahnya memerah bunga mawar. Cantik sekali.

“Oh, ya,” kata Jaka Wulung, “Aku menduga, Paman Ciang Bun sebenarnya ikut satu perahu dengan kami dari Banten hingga Kalapa.”

Ciang Bun memandang Jaka Wulung, kemudian menatap Tan Bo Huang. Ciang Bun mengangguk-angguk. Bertiga, Ciang Bun, Tan Bo Huang, dan Jaka Wulung, tertawa. Hanya Ciang Hui Ling yang mengerutkan kening tak mengerti.

“Sayang, kami terlalu banyak menghabiskan waktu mengenang masa lalu sehingga datang terlambat dan pondok Koko Tan Bo Huang terbakar habis,” kata Ciang Bun di tengah tawanya.

Ciang Bun menarik napas dalam-dalam ketika tawa mereka reda. Ada sebongkah batu yang mengganjal dadanya, menghalanginya untuk mengungkapkan isi hatinya. Namun, setelah menatap Tan Bo Huang sekali lagi, akhirnya dengan berat hati dia bercerita bahwa dia datang hendak menjemput putrinya, Ciang Hui Ling, untuk kembali menjalani hidup di Tiongkok. Dia harus bertahun-tahun meninggalkan Ci Sanggarung dalam rangka mencari istrinya, dan ternyata kemudian, dia ditangkap utusan penguasa wilayah tempat Ciang Bun dan istrinya pernah tinggal. Ciang Bun harus mengalami masa hukuman atas kesalahan pernah membunuh seorang tentara kerajaan. Dia dihukum beberapa tahun, lebih ringan dari tuntutan hukuman pancung karena dalam penyelidikan terbukti bahwa tentara itulah yang mengawali persoalan, yaitu menganiaya seorang petani.

“Apa kabar Ibu, Ayah?” tanya Ciang Hui Ling.

Ciang Bun lagi-lagi menarik napas dalam sebelum menjawab, “Ibumu tidak bisa ikut karena menjaga adikmu yang baru enam tahun.” Lalu, suara Ciang Bun seperti berbisik, “Ibumu ingin kau ikut dengan Ayah Dia
sudah ... memilihkan jodoh ... untukmu ”

“Ayah !”

Jaka Wulung tertunduk. Hatinya remuk.

“Maafkan aku. Maafkan kami. Kalau saja aku tahu ... bahwa kalian memiliki rasa cinta, seperti yang kusaksikan sendiri di kapal sejak dari Banten hingga Kalapa, tentu aku tidak akan berjanji membawamu ke sana. Aku hanya memenuhi ajaran yang kupegang mengenai luhurnya menunaikan janji dan betapa tercelanya ingkar janji.”

Hening. Jelas sudah.
Hanya terdengar isak Ciang Hui Ling. Mula-mula pelan, makin lama makin keras, dan akhirnya, dia mengguguk tak tertahan.

*****

JAKA Wulung memandang matahari, lalu meloncati sungai selebar delapan depa di hadapannya. Dia kemudian berlari cepat, sangat cepat, seperti bayangan saja layaknya, menembus rapatnya pepohonan hutan. []

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

2 komentar

  1. Kisah cintanya Jaka Wulung sad amat dah 😢
  2. Seharusnya ada sambungan cerita, seperti tamatnya dipaksakan.