Pendekar Bunga Matahari Jilid 12 : Dahsyatnya Kekuatan Cinta

Dahsyatnya Kekuatan Cinta

DI titik tengah lingkaran lahan kosong itu kini tinggal empat orang, Ki Somali, Pendekar Teratai Biru, Jaka Wulung, dan Ciang Hui Ling. Ki Somali memandang Jaka Wulung dari ujung kepala hingga telapak kaki, seakan-akan hendak mengukur berapa selisih tinggi badan dengan dirinya.

Ki Somali memang bertubuh pendek karena punggungnya bungkuk, seolah-olah sedang memanggul sebuah benda di tengkuknya. Namun, wajahnya yang sudah keriput tampak mengerikan.

“Hkkk .... Inilah rupanya bocah yang disebut-sebut sebagai Titisan Bujangga Manik ... hkkk,” kata Ki Somali. Suaranya aneh, serak dan tersendat-sendat seperti sedang menderita cegukan, dan seakan-akan sebutir kerikil menyumbat tenggorokannya.

“Maaf, Ki Somali,” ucap Jaka Wulung. “Rasanya, kita tidak pernah punya urusan. Kita baru berjumpa sekali ini, di sini.”

Ki Somali tertawa, “Hek-hek-hek ... tentu saja aku punya urusan denganmu, Bocah. Urusan yang harus diselesaikan di sini. Kalau saja tidak mendapat pesan dari Tuan Munding Wesi, aku ingin urusan kita tuntas sama sekali.”

Jaka Wulung terkesiap mendengar kata-kata Ki Somali. Kata-kata “tuntas sama sekali” tidak lain tentu mengandung arti menyelesaikan urusan hingga salah satu di antara mereka terbunuh. Haruskah selalu terjadi pembunuhan?

“Aku tidak mengerti ”

“Jangan pura-pura bodoh,” potong Ki Somali. “Hkkk .... Tentu saja, aku masih penasaran dengan pertemuan kami dengan gurumu, Resi Darmakusumah, beberapa tahun lalu. Hkkk .... Kalau dia tidak melarikan diri, kami pasti mampu membunuhnya.”

Jaka Wulung mengerutkan keningnya. “Bukankah kalian waktu itu yang melarikan diri?”

“Hkkk ... jangan sok tahu, Bocah!” Urat-urat darah mulai bertonjolan di pelipis Ki Somali. “Dan sekarang ....” Ki Somali menjentikkan jari tengah dan ibu jari tangan kanannya. Terdengar suara keras dari pertemuan dua ujung jari itu, menggema dan menyelusup ke sela setiap pepohonan hutan.

Dari arah belakang Ki Somali, berloncatan dua orang berpakaian hitam- hitam. Wajah mereka hampir sama, serupa, sama-sama dipenuhi dengan bulu sehingga sekilas tampak seperti wajah-wajah manusia zaman batu. Bedanya, bulu di dagu salah satu orang itu seperti belum lama dipapas sebelah.

Jaka Wulung terkejut.

Ciang Hui Ling, yang sedang berhadapan dengan Pendekar Teratai Biru, juga terkejut melihat kemunculan dua orang itu. Dua orang yang siang tadi bertempur dengannya di perahu.

Subali dan Sugriwa.

“Hkkk ... bukankah bocah ini yang sudah mencelakai Kakangmu Indrajit?” tanya Ki Somali kepada Subali dan Sugriwa yang sudah berada di sebelahnya.

“Krrrhhh Betul sekali, Guru,” kata Subali dan Sugriwa berbarengan.

“Nah, Bocah,” kata Ki Somali, “aku tidak perlu berbasa-basi hkkk.
Bersiaplah untuk menerima pembalasanku. Hiaaaaaa hkkk!”

Sekali melompat, Ki Somali langsung mengarahkan ujung tengah trisulanya ke ulu hati Jaka Wulung. Meskipun tubuhnya pendek dan bungkuk, gerakannya sangat cepat dan ringan. Trisulanya sendiri terbuat dari bahan logam yang biasa dipakai untuk membuat keris, dengan permukaan yang kasar berwarna perak kecokelatan. Dan memang, bagian tengah trisulanya, sesungguhnya berbentuk keris luk tujuh dengan panjang sekitar dua jengkal, sedangkan dua ujung tajam di kedua sisinya memiliki panjang separuhnya.

Jaka Wulung sadar bahwa Ki Somali pastilah bukan tokoh sembarangan.

Tiga muridnya, Indrajit, Subali, dan Sugriwa, bukan orang-orang kebanyakan. Bersama Lembu Sura dan Pendekar Teratai Biru, dia pernah bertempur melawan Resi Darmakusumah. Dan sesungguhnyalah, Ki Somali merupakan salah seorang tokoh yang sangat disegani, terutama di kawasan Pegunungan Sewu di dekat pantai selatan Jawa Dwipa bagian tengah. Jauh-jauh dia datang memenuhi ajakan Munding Wesi tentu dengan berbekal ilmu yang sangat memadai.

Oleh karena itu, Jaka Wulung tidak mau langsung menangkis serangan itu dengan kudi hyang-nya. Jaka Wulung menggeser tubuhnya sejengkal dan ujung pinggir trisula Ki Somali meleset hanya sejari.

Tapi, Ki Somali sudah menduga bahwa Jaka Wulung akan menghindar. Karena itu, dengan cepat dia memutar trisulanya dan ujung tengahnya mematuk perut Jaka Wulung. Pendekar belia ini terkejut juga melihat kecepatan perubahan gerak lawannya. Namun, serangan kedua ini pun bisa dihindari Jaka Wulung dengan cara meloncat mundur.

Ki Somali enggan kehilangan kesempatan sekejap pun. Dia terus merangsek tidak memberikan jeda bagi Jaka Wulung untuk mengambil napas. Sungguh mengagumkan, bagaimana pendekar berusia hampir enam puluh tahun itu, dengan tubuh yang tidak sempurna karena bungkuk, mampu bergerak cepat dan lincah, seakan-akan memiliki napas yang tidak terputus-putus.

Jaka Wulung masih harus terus berloncatan menghindar. Entah mengapa, ada perasaan iba dalam hatinya melihat perawakan Ki Somali yang bungkuk karena cacat di punggungnya sehingga tangannya seakan-akan enggan untuk melakukan serangan balasan. Inilah salah satu kelemahan Jaka Wulung, yang kerap membuatnya mengalami kesulitan sendiri.

“Hiaaaaaa ... ayo lawan ... hkkk!”

Sebuah tusukan trisula Ki Somali yang sangat cepat nyaris merobek dada Jaka Wulung. Pendekar belia ini hanya bisa menghindar dengan cara melenting jauh sambil menjatuhkan diri dan berguling.

Ki Somali, yang merasa sudah di atas angin, tidak mau memberi Jaka Wulung kesempatan untuk bangun. Dia meluncur seperti anak panah dengan ujung trisula mengarah ke leher Jaka Wulung.

Jaka Wulung berseru keras. Tampaknya, dia sudah sampai pada titik batas rasa ibanya. Bertumpu pada salah satu kakinya, Jaka Wulung melenting tinggi dan berjumpalitan sekali, lalu meluncur turun dengan ujung kudi hyang mengarah ke gagang trisula.

Ki Somali terkesiap bukan main melihat bagaimana cepatnya Jaka Wulung menghindar dan bahkan melakukan serangan balik. Ki Somali terlambat menghindar dan hanya bisa sedikit membelokkan trisulanya.

TRANG!

Benturan itu dijadikan titik tumpu oleh Jaka Wulung untuk melenting lagi dan berjumpalitan di udara sebelum mendarat dengan mulus di tanah. Meskipun demikian, Jaka Wulung mengeluh dalam hati. Rasa ngilu di lengan kirinya, akibat terserempet “senjata rahasia” Tuan Alfonso, makin terasa.

Di pihak lain, Ki Somali merasakan betapa benturan dalam kedudukan yang tidak seimbang itu membuat tangannya bergetar hebat dan senjata di tangannya nyaris lepas dari genggamannya. Dan dia baru sadar, salah satu bilah luar trisulanya sudah putung tepat di titik tengah!

“Bocah edan! Hkkk ...!” pekik Ki Somali.

Tidak hanya Ki Somali yang terpekik. Senyum Lembu Sura pun mendadak lenyap melihat kejadian itu. Di luar sadarnya, tangannya menggenggam gagang keris di perutnya. Sudah waktunya aku melibatkan diri, pikir Lembu Sura.

Lembu Sura tertawa panjang. Jenis tawanya sama dengan tawa yang mengandung tenaga dalam yang kuat beberapa waktu sebelumnya. Namun, kali itu, dia sadar bahwa tawa itu tidak akan berpengaruh banyak kepada lawannya. Karena itu, Lembu Sura memilih menyimpan tenaga dalamnya untuk pertempuran yang sebenarnya.

Hiaaaa!

Lembu Sora tidak mau menunggu jeda lebih lama. Dia langsung meloncat panjang seperti banteng untuk melibatkan diri dalam pertempuran yang kemudian terjadi dua melawan satu. Dua orang tokoh sakti dari dua tempat yang berlainan—yang pertama dari Pegunungan Sewu dan yang kedua

dari pantai timur Jawa Dwipa—melawan pendekar belia yang berjuluk Titisan Bujangga Manik.

Pendekar Teratai Biru, yang semula hendak menyerang Ciang Hui Ling, ternganga sejenak menyaksikan trisula Ki Somali sudah patah salah satu bilahnya. Dia tidak mengetahui persis apa yang terjadi. Namun, bahwa trisula maut Ki Somali bisa patah dalam beberapa kejap pertempuran menjadi bukti bahwa Jaka Wulung bukanlah bocah sembarangan. Karena itu, secara naluriah, dia bergeser ke lingkaran pertempuran antara Jaka Wulung dan dua lawannya.

Ditariknya tombak pendeknya yang terselip di pinggang kirinya.

Akan tetapi, sekejap sebelum meloncat membantu Ki Somali dan Lembu Sura, untuk memadukan tiga jenis ilmu yang terbukti sangat ampuh seperti ketika melawan Resi Darmakusumah, Pendekar Teratai Biru terkejut ketika Ciang Hui Ling mendeham.

“Kau melupakan aku, Nona Teratai Biru?”

Langkah Pendekar Teratai Biru tertahan. Upayanya untuk memusatkan perhatian kepada pertarungan antara Jaka Wulung dan dua lawannya menjadi buyar. Meskipun demikian, dengan cepat Pendekar Teratai Biru memutar badannya lagi menghadap Ciang Hui Ling. Dia memang punya urusan dengan gadis bermata sipit ini, tapi dia menganggap bahwa Ciang Hui Ling bisa ditangani dengan mudah segera setelah mereka melumpuhkan Jaka Wulung.

Pendekar Teratai Biru memandang tajam Ciang Hui Ling. Matanya yang sipit tampak sangat kejam, mengaburkan seluruh wajahnya yang sebenarnya memiliki sisa-sisa garis kecantikan.

Pendekar Teratai Biru kemudian tertawa mengikik seperti hantu zaman Dinasti Ming. “Hik-hik-hik ...!”

Ciang Hui Ling menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata yang makin menyipit sehingga nyaris terpejam.

“Tawamu jelek, Nona Teratai,” ucap Ciang Hui Ling. Sikapnya berani dan tegar. Dia yakin bahwa Pendekar Teratai Biru tentu pendekar wanita yang ilmunya sangat tinggi. Namun, sebagai murid Tan Bo Huang, Ciang Hui

Ling tidak punya rasa takut terhadap perempuan itu, terutama karena dalam hatinya dia kecewa wanita sebangsanya memihak golongan yang hendak mengacaukan masyarakat.

Tawa Pendekar Teratai Biru terhenti. “Kau menjijikkan seperti ... gurumu.”

Ciang Hui Ling terkejut, “Ah, kau kenal guruku?”

“Justru karena aku kenal gurumu, maka aku akan menghancurkanmu sekarang.”

“Oh, oh .... Nona Teratai Biru punya dendam rupanya terhadap guruku. Masalah cinta, ya, Nona ... Chen Lian?”

Ciang Hui Ling sebenarnya hanya menduga-duga dengan menyinggung “masalah cinta” dan menyebut nama Chen Lian. Tapi, rupanya dugaan itu tepat sasaran dan Pendekar Teratai Biru menjadi bertambah marah. Tampak mukanya mengencang dan warna wajahnya berubah-ubah dari putih menjadi merah, kemudian biru. Entah apa yang terjadi pada aliran darahnya sehingga wajahnya bisa berubah-ubah seperti itu. Kalau waktunya lebih lama, mungkin semua warna pelangi akan terpenuhi.

Ciang Hui Ling merasa pancingan kata-katanya sudah mengena. Karena itu, dia merasa sudah kepalang basah. “Kau patah hati karena cintamu ditolak guruku, maka sampai sekarang kau memilih hidup sendiri. Dan kau terus menyebut diri sebagai nona, Nona Teratai Biru, dan bergaul dengan anak-anak muda agar kau setidaknya merasa awet muda ”

“Cukuuup ...!” Dengan wajah merah membara, Pendekar Teratai Biru langsung menerjang dengan maksud memecahkan kepala Ciang Hui Ling dalam sekali pukul. “Hiaaaaaat!”

Sebenarnya aneh juga seorang pendekar wanita yang berpenampilan ramping, meskipun sudah berusia setengah abad, menggunakan senjata andalan tombak pendek. Panjang gagang tombak itu kira-kira tiga jengkal dan terbuat dari kayu hitam yang sangat keras. Kepalanya terbuat dari logam keperakan dengan ujung yang mengilat karena sangat tajam. Tapi, tampaknya justru keanehan itulah yang membuat Pendekar Teratai Biru menjadi mengerikan.

Ujung tombak itu pun langsung mengincar kepala Ciang Hui Ling dengan gerakan yang sangat cepat.

Akan tetapi, Ciang Hui Ling sudah memperkirakan serangan yang dilakukan Pendekar Teratai Biru. Dua jengkal sebelum ujung tombak pendek itu mengenai sasarannya, Ciang Hui Ling dengan tidak kalah lincah dan cepat menggeserkan tubuhnya untuk berkelit, bahkan ujung pedangnya mampu pula memberikan serangan balasan dengan mengincar lengan Pendekar Teratai Biru.

Pendekar Teratai Biru terkesiap sejenak melihat kemampuan Ciang Hui Ling untuk menghindar dan bahkan menyerang balik. Pendekar wanita setengah tua ini mengumpat-umpat karena dia harus menahan tusukannya kalau tidak mau lengannya tergores ujung pedang Ciang Hui Ling. Dari mulutnya berhamburan nama-nama binatang menjijikkan.

“Bocah celurut, kecoak, tikus!”

Pendekar Teratai Biru tidak menyangka bahwa gadis kecil itu memiliki ilmu yang tinggi, sanggup menghindari serangan awalnya yang cepat.

Meskipun demikian, Pendekar Teratai Biru tidak mau larut dalam rasa terkejut. Dia sudah bisa menebak cara menghindar dan menyerang balik Ciang Hui Ling. Tentu saja, Pendekar Teratai Biru sudah hafal luar-dalam ilmu yang dipergunakan Ciang Hui Ling, yang memang diturunkan dari Tan Bo Huang. Bertahun-tahun, semenjak berusia sekitar sepuluh tahun, Pendekar Teratai Biru, yang memang memiliki nama kecil Chen Lian, menimba ilmu yang sama dengan Tan Bo Huang, dari guru yang sama, seorang keturunan pengikut Laksamana Ceng Ho. Karena itu, tanpa kesulitan dia menarik serangannya, kemudian melancarkan serangan lanjutan secara cepat melalui tendangan kaki kirinya separuh putaran.

Di pihak lain, Ciang Hui Ling juga sudah bisa mengenali gerakan-gerakan Pendekar Teratai Biru. Dengan enteng, dia menjejakkan kakinya di tanah, lalu melenting tinggi untuk menghindari sapuan kaki Pendekar Teratai Biru.

Dalam beberapa kejap kemudian, berlangsunglah pertempuran yang sangat seru dari dua pendekar wanita berbeda usia dan berlainan golongan, yang ilmunya ternyata berasal dari satu mata air. Bedanya, semua gerakan silat Ciang Hui Ling terlihat halus, sedangkan gerakan Pendekar Teratai Biru

bercampur dengan sifat-sifat yang kasar. Ilmu Ciang Hui Ling masih bisa disebut masih segar, baru keluar dari perguruan, sedangkan ilmu silat Pendekar Teratai Biru sudah dilumuri dengan berbagai ilmu lain. Dan karena Pendekar Teratai Biru memang bergaul dengan orang-orang dari golongan kasar, ilmunya pun menjadi tampak kasar.

Dengan mengandalkan pedangnya, Ciang Hui Ling berkali-kali membuat lawannya terkejut dan hanya bisa menantang Ciang Hui Ling dengan mencoba membenturkan tombak pendek di tangannya untuk menahan pedang Ciang Hui Ling. Namun, sampai sejauh ini, Ciang Hui Ling terus menghindari benturan. Dalam hati, Ciang Hui Ling mengakui bahwa dari segi tenaga, lawannya sedikit lebih unggul dan dia tidak mau membuang- buang tenaga percuma. Ciang Hui Ling lebih mengandalkan kelincahan dan kecepatannya bergerak, yang membuatnya melenting-lenting seakan- akan kakinya tidak menjejak di tanah.

Demikianlah, pertarungan antara Ciang Hui Ling dan Chen Lian alias Pendekar Teratai Biru makin lama makin sengit. Keduanya sama-sama lincah dan gesit, saling libat dalam gerak yang sulit diikuti mata biasa.

Dengan demikian pula, terjadi dua lingkaran pertarungan yang sama-sama sengit.

Jaka Wulung kini harus menghadapi dua lawan yang sama-sama berilmu tinggi. Bersenjatakan keris luk sembilan, Lembu Sura bertarung sangat trengginas dengan gaya yang keras dan pantang surut seperti umumnya para pendekar dari belahan timur Jawa Dwipa. Tendangannya penuh tenaga dan tak pernah ragu-ragu untuk terus-menerus menyerang, seperti banteng yang tidak mengenal kata mundur.

Sementara itu, gerakan-gerakan si bungkuk Ki Somali, meskipun trisulanya sudah patah satu, tetap tidak kalah mengerikan. Dua ujung yang tersisa dari trisulanya tidak henti-hentinya menusuk-nusuk ke sana kemari.

Kalau saja berhadapan satu-satu dengan kedua pendekar itu, Jaka Wulung memiliki tingkat ilmu yang selapis-dua lapis lebih unggul. Namun, menghadapi dua orang sekaligus, Jaka Wulung seperti menghadapi tembok yang sangat kokoh. Lembu Sura dan Ki Somali mampu saling menutupi kelemahan masing-masing. Setiap Jaka Wulung menyerang salah satu dari lawannya, yang lainnya selalu mampu menghalangi melalui serangan yang cepat.

Lebih dari itu, Lembu Sura dan Ki Somali mampu menyatukan kekuatan mereka untuk membentuk pola serangan yang sangat berbahaya. Jika diibaratkan, satu serangan Lembu Sura ditambah satu serangan Ki Somali bukan memberikan hasil dua serangan, melainkan tiga serangan. Sungguh luar biasa, mengingat bahwa kedua lawan Jaka Wulung itu bukanlah berasal dari perguruan yang sama.

Meskipun demikian, Jaka Wulung adalah anak muda yang sudah menyerap banyak ilmu dalam waktu singkat secara ajaib. Dengan daya ingatnya yang istimewa, dia mampu menyerap ilmu secara cepat dari gurunya, Resi Darmakusumah. Dalam petualangannya, dia juga menerima ilmu melalui cara yang aneh dari leluhurnya, Niskala Wastukancana. Dia kemudian menerima ilmu yang tiada tara dari eyang gurunya, Resi Jaya Pakuan, yang merestui Jaka Wulung mengemban nama Titisan Bujangga Manik. Lalu, secara tidak sengaja dia minum air sungai yang mengandung getah pohon Dewadaru, getah yang memiliki khasiat luar biasa yang membuatnya memiliki tenaga dan daya tahan yang berlipat. Dan melalui seorang lelaki berjubah putih yang aneh, dia menerima kemampuan berupa penglihatan yang setajam Maung Lodaya!

Karena itu, pada jurus-jurus awal pertempuran berlangsung seimbang. Paduan ilmu Lembu Sura dan Ki Somali saling susul melancarkan serangan maut. Sebaliknya, Jaka Wulung melayani mereka dengan kecepatan, kegesitan, dan ketangguhan, ditambah dengan kemampuan untuk menilai dan memutuskan setiap gerakan lawan dan jurus apa yang dia terapkan.

Meskipun perlahan, lama-lama tampak bahwa Jaka Wulung sedikit lebih unggul. Perlahan-lahan juga, Jaka Wulung mampu mendesak Lembu Sura dan Ki Somali sehingga kedua lawannya itu hanya mampu bertahan dari setiap serangan kudi hyang di tangan Jaka Wulung yang menyambar- nyambar seperti burung elang.

Kalau saja keadaannya terus seperti itu, bisa dipastikan tidak sampai belasan jurus lagi Jaka Wulung akan mampu menaklukkan dua lawannya sekaligus.

Akan tetapi, pada titik itulah perhatian Jaka Wulung terpecah. Mula-mula, dia agak terganggu oleh seruan-seruan dari bibir Pendekar Teratai Biru yang terus memuntahkan nama-nama binatang menjijikkan. Beberapa kejap berikutnya Jaka Wulung bisa menilai bahwa Ciang Hui Ling,

meskipun memiliki tingkat ilmu yang memadai, mulai kewalahan menghadapi lawannya yang memiliki tata gerak yang kasar.

Memang Ciang Hui Ling, dengan jurusnya yang ampuh, Tarian Payung Bunga Matahari, berhasil menjaga keseimbangan pertempuran dan membuat Pendekar Teratai Biru terkejut, karena dia tidak pernah mempelajari jurus yang dahsyat itu. Namun, Pendekar Teratai Biru sudah mereguk sangat banyak pengalaman dari puluhan tahun hidupnya dalam petualangan sehingga lama-kelamaan dia bisa meredam kehebatan Tarian Payung Bunga Matahari. Bahkan, pendekar wanita separuh baya itu terus mendesak Ciang Hui Ling yang kemudian hanya mampu bertahan.

Jaka Wulung bertekad melumpuhkan lawannya secepat mungkin untuk membantu Ciang Hui Ling. Namun, karena perhatiannya pecah, upayanya menjadi terhambat. Kedua lawannya mengetahui bahwa perhatian Jaka Wulung terbelah dan mereka memanfaatkannya dengan meningkatkan perlawanan mereka.

Berkali-kali Jaka Wulung mencoba menarik lingkaran pertempuran mereka untuk mendekati lingkaran pertempuran antara Ciang Hui Ling dan Nona Chen Lian alias Pendekar Teratai Biru. Namun, baik Lembu Sura maupun Ki Somali bisa menebak maksud Jaka Wulung. Mereka terus memancing dengan berbagai serangan yang memaksa Jaka Wulung tetap menjauh dari lingkaran pertarungan di sebelahnya.

Jaka Wulung mulai menggeram marah.

Segera dia menyalurkan kemarahannya untuk mengeluarkan cadangan tenaga dalamnya. Dia atur napasnya sedemikian rupa sehingga dari tenggorokannya mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman layaknya harimau Lodaya ....

Grrrhhh!

Bersamaan dengan itu, gerakan kudi hyang-nya makin cepat sekali, meloncat dia melenting jauh meninggalkan lingkaran pertarungannya dan memapas sebuah serangan maut Pendekar Teratai Biru.

TRINGGG!

Tombak pendek di tangan Pendekar Teratai Biru terpental dan nyaris lepas dari tangannya. Tidak berhenti di situ, Jaka Wulung terus memburu dengan ujung kudi hyang mengarah kepala Pendekar Teratai Biru yang masih dalam kedudukan sulit karena nyaris terjengkang. Namun, Lembu Sura dan Ki Somali tidak tinggal diam. Mereka melancarkan serangan secara bersama-sama untuk mencegah serangan Jaka Wulung.

Jaka Wulung terpaksa menahan diri, lalu menempatkan diri di sebelah Ciang Hui Ling.

“Lingling,” kata Jaka Wulung pelan, “mari kita bertarung bersama.”

Ciang Hui Ling mengangguk. Sesuatu berdesir dalam dadanya. Rasa bahagia.

Apalagi kemudian Jaka Wulung berbisik, “Aku akan selalu di sisimu.”

Ciang Hui Ling tidak mampu membalas bisikan Jaka Wulung, tetapi sekadar berucap, “Ah, Jaka ”

“Kadal! Jangkrik! Kampret! Kuda nil !”

Jaka Wulung tidak sempat menikmati kehangatan dadanya mendengar kata-kata Ciang Hui Ling. “Sudahlah, Nona Teratai,” potong Jaka Wulung. “Hewan-hewan itu tidak bersalah. Kenapa kau maki-maki?”

Pendekar Teratai Biru memandang Jaka Wulung dengan mata yang memancarkan kemarahan luar biasa. Wajahnya memerah dan nyaris kelihatan mengepulkan asap. Dalam keadaan begitu, wajah cantiknya benar-benar berubah menjadi hantu zaman Dinasti Ming.

“Kodok edan! Hiaaaaaat!”

Pendekar Teratai Biru, meskipun masih merasakan tangannya ngilu akibat benturan tadi, nekat melancarkan serangan. Tombak pendeknya diputar dengan cepat seperti ruyung. Dan dengan entakan kaki yang kuat, dia melenting menyambarkan tombak pendeknya mengarah dada Jaka Wulung.

Pada saat yang sama, Lembu Sura dan Ki Somali melakukan serangan pula mengarah Jaka Wulung dengan keris dan trisula di tangan mereka.

Baik Jaka Wulung maupun Ciang Hui Ling sudah memperhitungkan serangan serentak demikian. Keduanya saling bersisian, begitu dekatnya sehingga bisa mencium bau tubuh masing-masing. Keduanya juga sudah bersiap dengan kudi hyang dan pedang di tangan masing-masing, menyambut serangan ketiga lawannya.

Maka, yang terjadi kemudian adalah pertarungan sengit dalam satu lingkaran lebih besar yang melibatkan lima orang sekaligus.

Dua melawan tiga.

Jaka Wulung-Ciang Hui Ling melawan Lembu Sura-Ki Somali-Pendekar Teratai Biru.

Seperti ketika bertarung bersama-sama melawan Resi Darmakusumah beberapa tahun sebelumnya, tiga pendekar dari berbagai tempat dan berbeda aliran itu, bahu-membahu menghasilkan serangan yang sangat dahsyat. Jika diibaratkan, jumlah tingkat ilmu antara Lembu Sura, Ki Somali, dan Pendekar Teratai Biru bukanlah menghasilkan nilai tiga, melainkan empat dan bahkan lima! Mereka mampu saling menutupi kelemahan dan saling memperkuat menghasilkan bermacam pola serangan yang luar biasa hebat.

Akan tetapi, di pihak lain, gabungan kekuatan antara Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling menghasilkan kekuatan tidak hanya dua, tetapi berlipat- lipat.

Itulah kekuatan yang sulit ditahan siapa pun.

Meskipun kedua pendekar belia itu belum mengucapkan dari bibir mereka, dada merekalah yang merasakannya.

Itulah dahsyatnya kekuatan cinta! []
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar