Pendekar Bunga Matahari Jilid 07 : Dahsyatnya Senjata Aneh

Dahsyatnya Senjata Aneh

KIRA-KIRA seratus depa di belakang mereka, sebuah perahu melaju dengan cepat, didayung oleh empat orang berperawakan kekar dan bertenaga besar. Seperti perahu-perahu lain yang melaju di Sungai Ci Liwung, perahu itu juga berukuran sama. Panjangnya kira-kira empat depa, dengan kabin di tengah, sebagai tempat penumpang.

Di antara para pendayung itu berdiri tegak tiga orang lelaki. Seorang yang di tengah adalah lelaki bertubuh tinggi besar. Bertolak pinggang dengan wajah tegang, seakan-akan sedang menantang angin dari depan. Di sebelah-menyebelahnya adalah dua lelaki yang juga berperawakan kekar, bertelanjang dada, dengan tombak sepanjang tubuh di tangan mereka.

Jaka Wulung-lah yang kali pertama melangkah ke pinggir perahu untuk melihat ke belakang siapa yang berteriak. Kemudian, diikuti Ciang Hui Ling dan Dona Teresa.

Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Ciang Hui Ling tegang.
Tapi, Dona Teresa memperlihatkan wajah girang, kemudian malah melambai-lambaikan tangannya seraya balas berteriak, “Papaaaaaa ...!”

Jaka Wulung memandang Dona Teresa, kemudian menoleh kepada Ciang Hui Ling. Pada saat yang sama, Ciang Hui Ling memandang Dona Teresa, lalu menoleh kepada Jaka Wulung. Ciang Hui Ling dan Jaka Wulung saling tatap, kemudian mengangguk-angguk. Keduanya tidak jadi mendayung, tapi membiarkan perahu itu terbawa hanyut ke hilir, supaya bisa lekas dikejar oleh perahu di belakangnya, yang ternyata membawa ayah Dona Teresa.

Beberapa saat kemudian, haluan perahu Alfonso Henrique menyalip buritan perahu yang ditumpangi putrinya.

“Papaaa!”

Wajah Dona Teresa tampak semringah, putih kemerahan seperti bunga mawar yang sedang bersemi. Jaka Wulung ikut tersenyum melihat kebahagiaan yang memancar dari wajah Dona Teresa.

Pada saat itulah, tangan Alfonso Henrique terangkat dan di tangannya tergenggam sebuah benda terbuat dari logam yang berbentuk melengkung aneh. Di bagian depannya terdapat tabung logam kira-kira sebesar telunjuk. Alfonso Henrique memejamkan mata kirinya dan mengarahkan benda kepada Jaka Wulung.

Dona Teresa terkesiap. “Papaaa, jangaaaaaan!”
Akan tetapi, terlambat. Gadis remaja itu hanya bisa terpaku dengan mulut ternganga.

Tarrr!

Suara keras itu mengejutkan Jaka Wulung. Pendekar muda ini sama sekali tidak menduga bahwa dari lubang di bagian depan benda di tangan ayah Dona Teresa itu melesat, dengan sangat cepat, sesuatu.

Sesuatu itu melesat menimbulkan bunyi desing, lebih cepat dari senjata apa pun yang pernah dihadapi Jaka Wulung. Dia baru sadar ketika sesuatu itu, entah apa, sebuah benda berwarna kuning keperakan, yang sekilas berkilat karena memantulkan cahaya matahari, sudah dekat sekali dengan bagian atas tubuhnya.

Tepat di dada kirinya!

Sebuah bidikan yang sangat tepat dari seorang yang sangat terlatih menggunakan senjata aneh itu!

Jaka Wulung hanya punya waktu yang sangat singkat untuk menghindar. Tapi, dengan kecepatan gerak tubuhnya yang nyaris tidak bisa dilihat manusia biasa, Jaka Wulung hanya bisa bergeser sejengkal.

Apa yang dirasakan kemudian adalah sesuatu itu menggores lengan kirinya, terus melesat jauh dengan suara yang tetap mendesing, dan mungkin jatuh di permukaan air Ci Liwung di arah hulu sana.

Jaka Wulung menyeringai. Lengan bajunya sedikit terkoyak.
Kulit lengannya perih. Perih sekali.

Dirabanya lengan kirinya yang perih. Basah oleh darah yang hangat. Mungkin luka yang agak dalam.

Jaka Wulung hanya bisa memandang lelaki yang telah mengarahkan senjatanya tadi, ayah Dona Teresa, dengan tanda tanya berjubel dalam kepalanya. Apa yang telah dia lakukan sehingga ayah Dona Teresa menyerangnya? Tapi, yang lebih membuat Jaka Wulung bertanya-tanya: senjata jenis apa yang telah membuatnya nyaris mendapat celaka. Dalam beberapa saat tadi, Jaka Wulung melihat bahwa ayah Dona Teresa tidak melakukan gerak apa pun selain mengarahkan senjatanya kepadanya. Tapi, entah dengan cara bagaimana sesuatu, yang sekilas kelihatan berwarna kuning keperakan, muncul dari lubang di bagian depan, kemudian melesat dengan kecepatan yang sangat di luar dugaan.

Jaka Wulung sudah mengenal senjata sumpit, yang terbuat dari sejenis bambu kecil. Sumpit bisa menjadi senjata yang sangat mematikan setelah diisi kerikil atau biji tanaman tertentu yang keras, kemudian dengan tenaga tiupan yang kuat, apalagi kalau disertai dengan tenaga dalam tingkat tinggi, kerikil atau biji tanaman itu akan menjadi pencabut nyawa seseorang jika mengenai jantung, ulu hati, atau tengkorak kepala sekalipun.

Akan tetapi, senjata aneh yang dipakai ayah Dona Teresa jauh lebih mematikan dibandingkan dengan sumpit mana pun.

Aneh. Jaka Wulung memandang ayah Dona Teresa dengan pandangan bertanya-tanya, sekaligus kagum. Mungkin itu sejenis senjata masa depan. Lebih dahsyat, lebih mematikan, dibandingkan dengan keris, pedang, tombak, golok, bahkan kujang.

Pada saat yang bersamaan, Dona Teresa dan Ciang Hui Ling meloncat ke arah Jaka Wulung.

Pertanyaan yang terlontar dari mulut kedua gadis itu benar-benar sama: “Kau tidak apa-apa?”
Jaka Wulung tersenyum memandang Ciang Hui Ling, kemudian Dona Teresa.

“Hanya tergores sedikit.”

Beberapa orang kemudian meloncat dari perahu yang dinaiki Alfonso Henrique, diikuti oleh Alfonso Henrique sendiri.

“Papa, kau salah menembak orang!” seru Dona Teresa dengan nada yang menyalahkan ayahnya.

Alfonso Henrique ragu-ragu beberapa jenak, tapi kemudian memeluk putrinya dengan erat.

“Kau tidak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja. Berkat pertolongan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling,” Dona Teresa menunjuk dua pendekar muda itu.

Alfonso Henrique melepaskan pelukan kepada putrinya, lalu memandang Jaka Wulung dengan penuh rasa heran, sekaligus kagum.

“Anak muda, maafkan aku,” kata Alfonso Henrique. “Aku tadi hanya mendapat kabar bahwa penculik putriku ini lelaki berpakaian hitam-hitam. Jadi, ketika tadi kulihat ada laki-laki berpakaian hitam-hitam di perahu ini, aku langsung menembak. Sekali lagi maafkan aku.”

Jaka Wulung memandang lelaki keturunan Peranggi itu dengan kepala mendongak. Alfonso Henrique memang lelaki bertubuh tinggi besar. Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Wajahnya tampan dan otot-otot tubuhnya menonjol. Perutnya juga rata, tidak besar seperti umumnya orang yang sudah separuh baya.

Jaka Wulung mengangguk seraya tersenyum. “Senjata Tuan luar biasa. Nyaris tewas aku dibuatnya.”

Alfonso Henrique mengelus senjata yang sudah tersarung di pinggangnya. “Namanya pistol. Seorang teman belum lama ini membawakan dari Eropa,” Alfonso Henrique menatap darah di sela jemari Jaka Wulung. “Ah, kau perlu diobati. Ayo, kita ke rumahku. Kau dan gadis Tionghoa ini, ayo ikutlah dengan kami.”

Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling saling pandang. Meskipun singkat, tampaknya terjadi percakapan batin melalui mata di antara keduanya. Keduanya kemudian menggeleng secara berbarengan.

“Terima kasih atas undangan Tuan, tapi lain kali saja,” kata Jaka Wulung. “Aku harus mengantar Nona Ciang ini.”

“Aku harus pulang dulu ke rumah guru,” ucap Ciang Hui Ling.

“Sayang sekali,” Dona Teresa menyela. “Tapi, bolehkah kalau kapan- kapan kami mengunjungi kalian?”

“Tentu saja,” jawab Ciang Hui Ling.

“Siapa nama gurumu?” tanya Alfonso Henrique.

“Namanya Tan Bo Huang,” sahut Ciang Hui Ling. “Orang-orang menyebutnya Naga Kuning dari Ci Liwung.”

Baik Alfonso Henrique maupun empat orang pengawalnya sama-sama terkejut seraya membelalakkan mata. Nama Naga Kuning dari Ci Liwung bukan nama sembarangan.

“Rupanya, kau murid dari pendekar termasyhur itu,” ujar Alfonso Henrique. “Sampaikan salam hormat dariku.”

Rombongan Alfonso Henrique, Dona Teresa, dan empat pengawalnya kemudian kembali menuju hilir.

Tinggal Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling yang saling pandang di atas perahu yang tadi digunakan para penculik.

“Biarlah aku yang mendayung,” kata Ciang Hui Ling. “Tanganmu pasti sakit sekali.”

“Tidak apa-apa,” ujar Jaka Wulung sambil mulai mendayung menuju hulu. “Darahnya sudah mengering.”

Matahari sudah bergeser menuju lengkung langit belahan barat. Perahu melaju pelan, menembus arus Ci Liwung yang tenang.
Jaka Wulung mendayung di tepi kanan, sedangkan Ciang Hui Ling di kiri. “Jaka.”

Jaka Wulung menoleh.

Ciang Hui Ling menatap Jaka Wulung, tapi tidak lekas mengatakan apa pun.

Jaka Wulung masih menunggu. Apa yang akan dikatakan gadis ini? Tidak biasanya Ciang Hui Ling menelan kembali kata-kata yang hendak diucapkan. Biasanya dia selalu mengungkapkan dengan segera apa pun yang ada dalam pikirannya. Apakah dia akan menanyakan bagaimana perasaan Jaka Wulung terhadap Dona Teresa? Ah, dugaan yang terlampau jauh. Jaka Wulung tersenyum sendiri dalam hati.

“Jaka.”

“Ada apa, Lingling?”

“Apa yang terjadi di kabin tadi? Bagaimana pemimpin penculik itu tidak berdaya, padahal aku tidak mendengar suara pertempuran?”

Jaka Wulung menghela napas. Dugaannya ternyata keliru. “Haruskah aku ceritakan?”

“Ceritakanlah. Aku ingin tahu.” “Tidak ada yang istimewa. Biasa saja.”
“Mungkin bagimu biasa. Tapi, bagiku tetap luar biasa.”

“Tadinya aku tidak menduga bahwa di dalam kabin itu ada penculik lain selain dua orang yang bertempur denganmu,” kata Jaka Wulung. “Tapi, kemudian kudengar suara yang mencurigakan. Kudengar suara lenguhan yang aneh, seperti orang yang mulutnya dibekap. Akhirnya, kubuka pintu belakang. Tampaknya, kebetulan orang itu lupa mengunci pintu. Atau, mungkin terlampau percaya diri. Rupanya gadis itu melenguh-lenguh bukan karena dibekap, melainkan karena tak bisa bicara akibat sarafnya dibikin kaku oleh para penculik itu.” Jaka Wulung berhenti, menunggu apakah Ciang Hui Ling menyimak kata-katanya. Lalu, katanya, “Ketika aku masuk, lelaki bernama Indrajit itu berbalik langsung menghadapku dan menyerang dengan pukulan tanpa senjata. Tenaga pukulannya sangat kuat sehingga ketika aku menangkisnya dengan telapak tangan, telapak tanganku serasa kesemutan juga. Tendangan kakinya juga sangat kuat.

Pasti dia memiliki ilmu tenaga dalam tingkat tinggi. Untungnya secara kebetulan, aku bisa menangkap tendangan kakinya. Lalu, ketika dia mencoba memukulku lagi, secara kebetulan pula aku mendahuluinya dengan pukulan sisi bawah telapak tanganku, yang tanpa kusadari disertai dengan tenaga yang berasal dari ilmu gulung maung, dan kebetulan mengenai ulu hatinya. Dia jatuh kebetulan bertepatan dengan teriakan dua temannya yang memanggil namanya. Setelah itu, kau tahu apa yang terjadi.”

Ciang Hui Ling memandang Jaka Wulung untuk memastikan apa yang didengarnya. Lalu, katanya, “Kau bohong.”

Jaka Wulung mengerutkan keningnya. “Mengapa kau bilang begitu?” “Tidak ada yang kebetulan di dunia ini.”
Jaka Wulung tertawa, tapi dia tidak menanggapi kata-kata Ciang Hui Ling. Akan tetapi, Ciang Hui Ling tidak ikut tertawa.
“Jaka.”

Jaka Wulung menoleh.

“Hmmm ... bagaimana menurutmu ... gadis itu?”

Jaka Wulung menahan senyumnya. Dugaannya tidak terlampau meleset. “Siapa? Nona berambut jagung itu?”

“Dia sangat cantik, bukan?” “Ya.”
“Kau menyukainya?” Jaka Wulung diam.
“Kau jatuh cinta kepadanya?”

Jaka Wulung tertawa. “Aku senang mendengar kata-katamu.” “Jadi, benar kau jatuh cinta?”

“Tidak.”

“Lalu?”

“Kata-katamu menunjukkan bahwa ...,” Jaka Wulung memandang lekat wajah Ciang Hui Ling, “... kau cemburu.”

Ciang Hui Ling membuang mukanya ke arah lain. Menyembunyikan wajahnya yang memerah dan senyumnya yang tersipu.

Bahagia sekali dia hari itu. []
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar