Dua Jenis Kecantikan
CIANG Hui Ling terkejut memandang orang yang muncul di pintu sehingga tekanan ujung pedangnya mengendur. Subali memanfaatkan jeda sejenak itu untuk menoleh. Hati Subali, dan tentu saja Sugriwa, berbunga- bunga oleh kemunculan Indrajit. Harapan mereka untuk segera bebas dari ancaman Ciang Hui Ling terbuka lebar.
Bahkan, secara bersama-sama, mulut Subali dan Sugriwa membentuk seringai mengejek yang menyebalkan. Tergambar jelas dalam seringai itu kalimat seperti ini: rasakan sekarang kehebatan pemimpin kami! Sakit hati karena Indrajit terlalu lama berduaan dengan nona itu serta-merta pudar oleh rasa senang karena akan segera pergi dengan selamat dari tempat itu.
Akan tetapi, seringai mengejek di wajah kedua penculik itu langsung lenyap.
Bukannya menyerang Ciang Hui Ling, Indrajit malah jatuh di atas kedua lututnya, kemudian pelan sekali tubuhnya miring ke depan, lalu jatuh dengan kepala lebih dulu. Wajah Indrajit tentu akan berdebum menghantam dek perahu kalau saja Sugriwa, yang lebih dekat kepada Indrajit, tidak segera menahannya.
“Krrrhhh. Bang Indrajit!”
Sugriwa memeluk tubuh Indrajit, lalu merebahkan sang pemimpin penculik di lantai dek perahu. Mata Indrajit terbuka, tapi tatapannya kosong. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya lemah terkulai, seakan-akan tidak memiliki kekuatan sama sekali. Apa yang terjadi? Bagaimana seorang berilmu tinggi seperti Indrajit mengalami nasib buruk seperti itu setelah menggoda seorang gadis? Apakah itu terjadi karena Indrajit terlampau rakus?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, muncul di pintu sosok lain ... seorang pemuda berpakaian hitam-hitam seperti mereka, tetapi dengan
wajah yang tampan meskipun kulitnya sedikit legam.
Sekali lagi, Subali dan Sugriwa memandang sosok yang baru muncul itu. Bagaimana bisa dari dalam kabin muncul orang lain selain Indrajit dan nona yang mereka culik? Siapa dia?
“Bawalah pulang pemimpin kalian. Sampaikan kepada siapa pun yang menyuruh kalian, akulah yang telah menggagalkan upaya kalian.”
Subali dan Sugriwa memandang lelaki yang masih sangat muda itu dengan tatapan tidak percaya. Benarkah pemuda ini yang telah melumpuhkan Indrajit? Tidak mungkin! Indrajit adalah lelaki yang tidak mungkin terkalahkan, apalagi oleh anak semuda itu! Tapi, kenyataan terhampar di hadapan mereka bahwa Indrajit sudah tidak berdaya oleh sebab yang entah apa. Sebab, kalau misalnya sudah terjadi pertempuran di dalam kabin, mereka sama sekali tidak mendengar ada kegaduhan apa pun!
“Krrrhhh. Siapa kau, Anak Muda?” tanya Subali dan Sugriwa berbarengan.
Ciang Hui Ling, yang melihat siapa yang muncul di pintu, tersenyum lega dan rasa kagumnya makin tidak terbendung.
“Ingat-ingatlah, para penculik pengecut,” kata Ciang Hui Ling. “Kalau kalian pernah mendengar namanya, dialah yang oleh orang-orang dikenal dengan nama Titisan Bujangga Manik.”
Subali dan Sugriwa memucat mendengar nama itu. Meskipun samar- samar, mereka pernah mendengar nama Titisan Bujangga Manik, yang mulai menjadi buah bibir di kalangan orang-orang persilatan. Bahkan, Indrajit yang sudah tidak berdaya, terlihat bahwa wajahnya berubah menjadi lebih pucat lagi.
“Krrrhhh. Ap ... apa yang kau lakukan ... kepada Bang Indrajit?” Suara Subali terbata-bata. Langsung terbayang dalam kepalanya betapa sebentar lagi dia dan Sugriwa akan mengalami nasib yang serupa dengan pemimpin mereka, bahkan mungkin lebih buruk lagi. Menghadapi Ciang Hui Ling mereka sudah menyerah, kini muncul orang yang sama sekali jauh dari dugaan mereka.
“Dia mengalami luka dalam tubuhnya,” kata Jaka Wulung. “Cepat, bawa
pergi sebelum aku berubah pikiran.”
“Krrrhhh. Ba ... bagaimana kami ... pergi dari sini?”
Jaka Wulung tertawa pelan. “Satu-satunya jalan adalah berenang ke tepi sungai, setelah itu ... terserah kalian.”
“Krrrhhh ”
“Sudah sana!” teriak Ciang Hui Ling. “Sakit telingaku mendengar suara ngorok kalian!”
Dengan susah payah, Subali dan Sugriwa mencebur ke air Sungai Ci Liwung, berenang sambil memondong tubuh Indrajit yang tidak berdaya hingga ke tepi, lalu berjalan terseok-seok mendaki tebing. Kedua penculik itu sempat menoleh ke arah Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling dengan rona dendam tergambar di wajah mereka, sebelum hilang dari pandangan.
Ciang Hui Ling memandang wajah Jaka Wulung. “Kau terlalu murah hati kepada para bedebah itu.”
Jaka Wulung tersenyum. “Aku justru takut terlalu kejam kepada mereka.”
“Mereka penjahat yang tidak punya belas kasihan. Setelah mereka pulih, mereka pasti akan membalas dendam, entah dengan cara apa.”
“Setidaknya, orang yang bernama Indrajit itu tidak akan melakukannya.” Ciang Hui Ling memandang Jaka Wulung dengan kening berkerut.
“Dia mengalami luka parah di dalam tubuhnya. Entah mengapa aku yakin, dia tidak akan pulih. Kalaupun pulih kesehatannya, ilmu silat yang dimilikinya tinggal setingkat orang biasa, malah mungkin hilang sama sekali.”
“Apa yang kau lakukan kepadanya, Jaka? Aku tidak mendengar apa-apa di dalam sana.”
Sebelum Jaka Wulung menjawab, di pintu kabin muncul Dona Teresa Henrique.
Wajahnya pucat.
Tentu saja, dia adalah gadis bangsa kulit pucat.
Rambutnya yang cokelat bergelombang tergerai hingga ke punggung. Di bawah matahari, wajah dan rambut Dona Teresa sangat berkilau, menampilkan sosoknya yang sungguh jelita. Jaka Wulung terpaku oleh pesona yang dipancarkan gadis itu. Ciang Hui Ling memandang dengan mulut yang separuh terbuka.
Dona Teresa memandang Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling bergantian. “Ah, aku khawatir kalian seakan-akan melihat setan.”
Jaka Wulung seperti diempaskan lagi ke bumi. Kesadarannya segera pulih dari tarikan pesona. Di dalam kabin tadi, suasananya agak remang sehingga tidak terlalu jelas bagaimana sosok Dona Teresa. Di luar sini, baru jelas bagaimana cantiknya gadis itu.
Satu lagi jenis kecantikan perempuan. “Tidak mungkin ada setan secantik Nona ”
Mata Jaka Wulung masih memandang wajah Dona Teresa.
Ciang Hui Ling melirik wajah Jaka Wulung. Tiba-tiba meletup bara dalam dadanya. Dia tidak suka melihat cara Jaka Wulung memandang gadis berkulit pucat itu. Mata Jaka Wulung memancarkan gairah yang pernah dia lihat beberapa kali jika pendekar muda itu memandangnya.
Ciang Hui Ling cemburu.
Beberapa saat hening. Hanya suara riak air Ci Liwung di kanan dan kiri perahu itu. Mereka juga tidak sadar bahwa perahu bergerak pelan mengikuti aliran air sungai kembali ke hilir.
“Aku ucapkan terima kasih atas pertolongan kalian. Namaku Dona. Dona Teresa Henrique,” Dona Teresa menjulurkan tangannya kepada Jaka Wulung untuk bersalaman.
Alih-alih menyambut uluran tangan Dona Teresa, Jaka Wulung menatap gadis berambut jagung itu dengan kening berkerut. Apa yang harus dia lakukan? Memegang tangan gadis itu?
Jaka Wulung mengatupkan kedua tangannya di depan dada, lalu sedikit
membungkuk, “Namaku Jaka Wulung. Dan ini temanku ”
Ciang Hui Ling menjulurkan tangannya menyambut tangan Dona Teresa yang menjulur kepada Jaka Wulung. “Namaku Ciang Hui Ling.”
Kedua gadis itu bersalaman.
Barulah Jaka Wulung melihat dengan jelas dua jenis kecantikan perempuan yang berbeda, masing-masing dengan kelebihannya. Yang satu bertubuh mungil dan berkulit kuning dengan rambut hitam dan mata sipit, yang lain bertubuh tinggi dan berkulit putih pucat dengan rambut cokelat dan mata hijau kebiru-biruan. Mana yang lebih cantik di antara mereka?
“Apa yang terjadi kepadamu, Dona?” tanya Ciang Hui Ling. Suaranya mantap dan tegas. Aku turut bertanggung jawab atas keamanan di daerah ini dan aku perlu tahu peristiwa apa yang menimpa siapa pun penduduk di sepanjang tepi Ci Liwung.
“Entahlah. Tiba-tiba tiga orang itu tadi muncul di rumah kami, melumpuhkan dua pengawal, membuat ibuku dan para pembantu tidak berdaya, kemudian membawaku ke perahu, entah hendak dibawa ke mana. Aku tidak berdaya karena secara mendadak aku seperti orang lumpuh. Aku tidak tahu apa yang terjadi tadi di perahu. Yang aku tahu, Jaka Wulung telah menolongku di dalam kabin.”
Hening lagi beberapa jenak.
Dona Teresa tidak menceritakan bagaimana cara Jaka Wulung melumpuhkan Indrajit, pemimpin kelompok penculik itu.
Biarlah nanti kutanyakan langsung.
“Ya, sudah,” kata Ciang Hui Ling. “Kami antarkan lagi kau ke rumahmu. Ayo, Jaka.”
Ciang Hui Ling melemparkan salah satu dayung kepada Jaka Wulung. Ciang Hui Ling kemudian mulai mendayung dan mencoba membalikkan arah perahu.
“Lingling.”
Ciang Hui Ling menoleh memandang Jaka Wulung. Wajahnya masih datar
oleh letik bara cemburu. “Jurusmu tadi indah sekali.”
Apakah ini cara merayu Jaka Wulung untuk meredakan rasa cemburunya? pikir Ciang Hui Ling.
“Guruku memberi nama Tarian Payung Bunga Matahari.” Perlahan-lahan, letikan bara dalam dada gadis itu mereda. “Hai, kau melihat aku memperagakan jurus itu?”
“Kau memiliki ilmu yang mengagumkan,” Jaka Wulung tidak menjawab pertanyaan Ciang Hui Ling. “Sebagai pendekar, kau pantas mendapat julukan.”
“Ah, apa, ya, kira-kira julukan yang pantas untukku?”
“Kau bisa menentukannya sendiri. Atau, gurumu. Atau, biarlah nanti aku juga mengusulkan.”
“Ai, benarkah, Jaka?” Pipi Ciang Hui Ling sedikit memerah.
Jaka Wulung makin gemas memandang wajah memerah gadis itu.
Akan tetapi, keakraban yang tercipta itu harus terputus karena tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan.
“Itu dia!” []