Pendekar Bunga Matahari Jilid 05 : Tarian Payung Bunga Matahari

Tarian Payung Bunga Matahari

KALI ini, tawa dua orang itu terputus secara berbarengan. Wajah keduanya mendadak pias. Nama Naga Kuning dari Ci Liwung tentu saja bukan nama main-main. Baru mendengar namanya saja, siapa pun akan gentar dadanya. Hanya saja, setahu mereka, kediaman Tan Bo Huang jauh di kedalaman Ci Liwung, bukan di sekitar muara. Bagaimana bisa tiba-tiba di sini muncul muridnya?

Keduanya lagi-lagi saling pandang, tetapi bukan untuk tertawa, melainkan sama-sama melangkah dan merapatkan diri.

“Krrrhhh. Tampaknya, kita harus memeras keringat dulu, Sugriwa,” kata orang yang berdiri di sebelah kanan.

“Krrrhhh. Betul, Subali,” sahut orang yang disapa Sugriwa.

Jika saja dalam keadaan yang berbeda, Ciang Hui Ling akan tertawa geli mendengar nama mereka. Pantas, keduanya memang mirip kera. Bahkan, suara yang keluar ketika hendak memulai kalimat pun sama!

Tanpa diberi aba-aba, keduanya meletakkan dayung di lantai perahu. Dengan panjang lebih dari tinggi tubuh mereka, dayung itu bukan merupakan senjata yang memadai. Karena itu, keduanya sama-sama menghunus golok dari pinggang mereka.

“Oh, rupanya kalian lebih suka kekerasan. Baiklah, terima seranganku!”

Ciang Hui Ling menjulurkan ujung pedangnya mengarah kepada leher Subali. Ciang Hui Ling tahu dari cerita wayang bahwa Subali lebih tua dan lebih hebat dibandingkan dengan Sugriwa. Jadi, dia pun menduga bahwa Subali yang ada di hadapannya lebih tinggi ilmunya daripada Sugriwa. Sebuah dugaan yang lucu.

Baik Subali maupun Sugriwa sama-sama menyambut serangan pertama

Ciang Hui Ling dengan wajah yang tegang. Keduanya segera menyiapkan sebuah benturan dengan golok mereka. Serangan Ciang Hui Ling memang sangat cepat dan ringan, tapi hanya serangan pemancing karena sebelum golok-golok Subali dan Sugriwa menahan pedang Ciang Hui Ling, gadis itu segera membelokkan arah ujung pedangnya.

Ciang Hui Ling adalah gadis yang cerdas. Dari kayuhan kedua orang itu sudah jelas bisa disimpulkan bahwa mereka memiliki tenaga wadak yang luar biasa kuat. Karena itu, gadis ini tidak mau membenturkan tenaganya secara sia-sia. Dia lebih suka mengandalkan kecepatannya karena memang di situlah keunggulannya.

Demikian cepat dan tidak terduga, kali ini ujung pedang Ciang Hui Ling hendak menebas kaki kanan Sugriwa.

Subali dan Sugriwa tidak menyangka akan perubahan arah gerak yang demikian cepat. Karena itu, keduanya berseru nyaring dan dengan cepat juga mengubah arah golok mereka dan siap dengan pertahanan ganda.

Akan tetapi, serangan kedua itu pun ternyata bukanlah serangan utama karena sepersekian kejapan, Ciang Hui Ling mengubah lagi arah pedangnya, kali ini menusuk mengincar pinggang kanan Subali.

Sugriwa tidak mampu mengimbangi kecepatan Ciang Hui Ling sehingga tidak sempat membalikkan arah goloknya. Pada saat yang sama, Subali pun hanya bisa meloncat mundur untuk menghindari serangan cepat itu. Dia memang terhindar dari tusukan ujung pedang Ciang Hui Ling, tapi kain celananya masih juga terkena.

Sreeettt!

Sejengkal kain celana Subali sobek. Tidak hanya itu, Subali juga tidak dapat menahan keseimbangan tubuhnya sehingga terjengkang ke belakang. Buk! Punggungnya membentur dinding kayu kabin kecil perahu itu.

Ciang Hui Ling menahan serangannya. “Cepat tunjukkan apa yang kalian bawa!”

Jeda sejenak itu memberikan waktu bagi Subali untuk bangkit berdiri dan berdua dengan Sugriwa membentuk semacam pintu penghalang bagi Ciang Hui Ling untuk masuk ke kabin.

Subali dan Sugriwa kembali bersiap untuk menahan serangan berikutnya. Keduanya sadar bahwa Ciang Hui Ling bukan lawan sembarangan. Mereka tidak menyangka akan menemui hambatan dalam upayanya menculik seorang putri berkulit pucat bernama ... ah, nama orang-orang berkulit pucat sulit sekali diucapkan.

Mereka bukanlah bajak sungai yang tujuannya sekadar merompak perahu- perahu kecil atau sampan yang melintas di sungai, dengan hasil yang cukup hanya untuk bersenang-senang sesaat, melainkan jenis manusia yang dibayar untuk melaksanakan tugas tertentu. Kali ini, mereka mendapat tugas menculik gadis berambut seperti bulu jagung itu, mungkin dengan bayaran yang menggiurkan. Mengenai siapa yang menyuruh mereka, bukanlah urusan mereka, melainkan urusan sang pemimpin.

Untuk bisa menjadi manusia bayaran seperti itu, diperlukan kemampuan ilmu yang memadai, jauh di atas tataran para bajak sungai. Selama ini, mereka selalu berhasil ketika menjalankan tugas. Belasan kali kelompok kecil mereka berhasil menuntaskan tugas mereka tanpa hambatan berarti. Dan kini, sebutir kerikil tajam tampaknya siap menjegal langkah mereka. Karena itu, mereka segera memusatkan perhatian terhadap apa pun yang akan dilakukan Ciang Hui Ling.

Ciang Hui Ling menggeram. Jeda yang dia berikan ternyata menjadi kesempatan bagi dua lawannya untuk bersiap siaga.

“Baiklah,” kata Ciang Hui Ling. “Aku tidak akan segan-segan lagi.”

Bersamaan dengan selesainya kalimatnya, Ciang Hui Ling mengangkat serentak tangan kirinya, lalu menekuk ke atas kaki kanannya, sedangkan kaki hanya sedikit menekuk dan ujung pedangnya lurus terarah kepada kedua lawannya. Ujung pedang itu kemudian berputar membentuk lingkaran yang tidak terlalu besar. Dalam sekejapan, Ciang Hui Ling segera meloncat maju. Ujung pedang tetap terjulur membentuk lingkaran sehingga tidak jelas bagi Subali dan Sugriwa kepada siapakah ujung pedang itu mengarah.

Jurus Ular Putih Kepala Memutar.

Apa yang bisa dilakukan oleh Subali dan Sugriwa hanyalah mencoba bertahan dengan saling menyilangkan golok di depan badan mereka. Menunggu. Tidak mampu berpikir mengenai apa yang akan terjadi. Waktu

yang sangat singkat itu memberikan peluang bagi Ciang Hui Ling untuk mengambil keputusan.

Ujung pedangnya tiba-tiba mengambil arah kanan dan mengincar leher Sugriwa yang sedikit terbuka.

“Hiyaaaaaa!”

Subali dan Sugriwa terkejut bukan kepalang. Sugriwa hanya bisa mengelak dan menoleh sedikit, sedangkan Subali tidak sempat memberikan bantuan.

Bret!

Sejumput janggut Sugriwa terbabat hingga nyaris mengenai dagunya. Bulu-bulu keriting itu beterbangan, meninggalkan wajah Sugriwa yang kini menjadi aneh karena bagian dagunya menjadi botak sebelah.

Kalau tidak sedang bertempur, ingin rasanya Ciang Hui Ling tertawa melihat wajah Sugriwa.

“Krrrhhh. Bocah setan!” seru Sugriwa.

Wajahnya pucat pasi karena nyaris saja urat lehernya putus oleh pedang Ciang Hui Ling. Beberapa saat dia hanya bisa terpaku sehingga memberikan peluang bagi Ciang Hui Ling untuk melancarkan serangan susulan. Tapi, kali ini, Subali memiliki kesempatan untuk membantu adik seperguruannya. Dia tentu saja tidak mau membiarkan Sugriwa menjadi sasaran serangan lawannya.

Golok Subali mengayun cepat dengan tenaga besar mengarah ke sisi kiri tubuh Ciang Hui Ling yang terbuka karena sedang melancarkan serangan ke perut Sugriwa. Melihat serangan itu, Ciang Hui Ling terpaksa menarik pedangnya, dan dengan kelenturan tubuhnya dia melenting menghindari kibasan golok Subali.

Serangan Subali memberikan kesempatan bagi Sugriwa untuk menguasai dirinya kembali. Setelah mengumpulkan kesadaran dan memulihkan kepercayaan dirinya, Sugriwa segera bersiap dengan goloknya.

Dengan demikian, pertempuran pun berlangsung dengan sengit.

Ciang Hui Ling adalah murid Tan Bo Huang yang sangat ditakuti di sepanjang Ci Liwung. Meskipun belum banyak pengalaman bertempur, dia sudah mengalami gemblengan gurunya selama bertahun-tahun, termasuk bagaimana caranya bertempur di atas perahu. Beberapa hari lalu, dia juga sempat menguji kehebatan pendekar sakti si Rajawali Betina dari Pelabuhan Ratu. Oleh karena itu, menghadapi dua manusia berwajah penuh bulu seperti kera itu, Ciang Hui Ling mampu dengan leluasa mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya.

Di pihak lain, Subali dan Sugriwa adalah dua dari tiga pentolan penjahat bayaran yang tidak pernah gagal dalam menunaikan tugas. Sebab, mereka memang berbekal ilmu yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan penjahat atau begal kampung. Belasan tahun mereka hidup dari perkelahian yang satu ke perkelahian berikutnya dan tidak pernah mereka menderita kalah. Apalagi mereka tahu bahwa rekan mereka, yang menjadi pemimpin kelompok bertiga itu, sedang mengawasi dari dalam kabin sehingga mereka memiliki ketetapan hati untuk memberikan perlawanan memadai terhadap Ciang Hui Ling. Kalau pemimpin mereka itu sudah turun tangan, mereka yakin Ciang Hui Ling itu bukan tandingan. Pemimpin mereka itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Maka, pertempuran satu lawan dua itu pun berlangsung semakin seru. Ciang Hui Ling dengan kelincahan dan kecepatannya, ditambah dengan ginkang-nya yang lihai, berkali-kali memberikan serangan yang mengejutkan kepada Subali dan Sugriwa. Sebaliknya, Subali dan Sugriwa, yang memang mengandalkan kekuatan tenaganya yang di luar kewajaran manusia biasa, terus bertahan dan bahkan sesekali, menantang Ciang Hui Ling untuk mengadu benturan senjata.

Tentu saja Ciang Hui Ling tidak mau melayani tantangan untuk berbenturan senjata. Apalagi kalau benturan itu terjadi antara pedangnya dan dua golok lawannya sekaligus. Kalau itu terjadi, Ciang Hui Ling tidak yakin dengan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya. Karena itu, daripada menghadapi akibat yang belum pasti, dia lebih suka tetap mengandalkan kelincahan dan kecepatan geraknya meskipun tempat pertempuran itu tidak terlalu leluasa bagi gerakan dan jurus-jurusnya.

Dalam beberapa jurus kemudian, terlihat bahwa pertempuran satu lawan dua itu berlangsung seimbang. Dengan mengandalkan kecepatan dan ilmu meringankan tubuhnya yang lihai, Ciang Hui Ling menusukkan dan menyabetkan pedangnya kian kemari seperti patuk ular kobra yang terus-

menerus mengancam. Tapi, Subali dan Sugriwa mampu mementahkan setiap ancaman Ciang Hui Ling. Setiap ujung pedang itu mengancam, salah satu atau keduanya, Subali dan Sugriwa akan selalu menempatkan goloknya untuk siap berbenturan.

Alhasil, sampai sekian jurus Ciang Hui Ling belum juga berhasil menyentuh lawannya. Sebaliknya, Subali dan Sugriwa pun makin penasaran karena setiap kali mereka berusaha memanfaatkan celah untuk menyerang, gadis itu selalu mampu menghindar dengan lincah.

Meskipun demikian, Subali dan Sugriwa yakin lambat laun mereka akan bisa menaklukkan kehebatan gadis itu. Sehebat-hebatnya ilmu seorang gadis belia, kalau hanya mengandalkan kecepatan dan kelincahan, lama- kelamaan dia akan kelelahan juga. Begitu pikir mereka. Apalagi mereka masih punya andalan pada diri pemimpin mereka—meskipun kedua lelaki berewok itu heran mengapa pemimpin mereka tidak juga membantu untuk segera membereskan gadis itu.

“Krrrhhh. Sudahlah, Nona, sebaiknya menyerah saja,” kata Subali. “Kau tidak akan mampu mengalahkan kami. Lama-lama kau akan kehabisan tenaga secara percuma saja. Jadi, biarkan kami meneruskan perjalanan kami. Lagi pula, tidak ada gunanya Nona mencampuri urus ”

Belum selesai kata-katanya, Subali terkesiap karena ujung pedang Ciang Hui Ling nyaris mencabik wajahnya. Untunglah, Sugriwa mampu menahan serangan itu dengan ujung goloknya sehingga memaksa Ciang Hui Ling menarik pedangnya.

“Jangan terlalu banyak bacot, Kera Jelek!”

Subali menggeram marah. Pertama, oleh kenyataan bahwa mereka berdua tidak bisa mengatasi kelihaian lawannya yang hanya seorang gadis muda. Kedua, oleh ejekan yang menyakitkan hati. Kau tidak tahu, Nona, meskipun berupa kera jelek, Subali punya istri sangat cantik bernama Dewi Tara. Kalau saja Ciang Hui Ling mampu mendengar kata hati Subali, tentu dia akan tertawa terkikik-kikik. Sebab, meskipun keturunan prajurit Tiongkok, Ciang Hui Ling sudah hafal bahwa Subali dan Dewi Tara itu hanya tokoh khayalan dalam pewayangan. Lagi pula, bukankah kemudian Dewi Tara dicuri dan diperistri oleh adiknya sendiri, Sugriwa?

Subali memberi isyarat kepada Sugriwa untuk meningkatkan serangan

mereka. Tanpa kata-kata, meskipun hanya isyarat mata, Sugriwa memahami isyarat kakak seperguruannya. Karena itu, secara bersama- sama mereka memekik disertai peningkatan kecepatan dan tenaga mereka. Pekikan mereka benar-benar mirip kera sesungguhnya.

Hanya saja, meskipun mereka bertampang mirip kera, tata gerak ilmu silat mereka lebih mirip dengan kera lain yang lebih besar, yaitu gorila, yakni lebih mengandalkan tenaga wadak yang memang sangat besar.

Kini, serangan Subali dan Sugriwa terus membabi buta—lebih tepatnya menggorila buta—mencecar lawannya silih berganti tidak henti-henti. Kalau mau diberi nama, bolehlah jurus yang mereka peragakan itu diberi nama Wanara Gila Menggempur Naga. Keduanya menyerang Ciang Hui Ling dengan tata gerak yang seakan-akan tidak beraturan, sekehendak sendiri, dan bahkan separuh nekat.

Tapi, jurus wanara gila itulah justru yang membuat Ciang Hui Ling kewalahan. Pendekar rupawan itu terpaksa harus meloncat-loncat panjang dan melenting-lenting tinggi untuk menghindari tiap bacokan yang beraroma maut. Kadang, Ciang Hui Ling harus meloncat dari pinggir kiri ke pinggir kanan perahu, malah juga tidak jarang dia melenting dan hinggap di ujung haluan.

Melihat kedua lawannya itu seperti kalap, Ciang Hui Ling juga segera memainkan pedangnya lebih cepat lagi. Putaran pedangnya kini berubah dari sekadar membentuk lingkaran kecil menjadi lingkaran yang makin lama makin besar, dengan kecepatan yang tetap tinggi. Begitu cepatnya putaran pedang itu sehingga tampak seperti payung terbuka, dengan suara yang mendesing-desing. Di bawah sinar matahari, putaran pedang itu seakan-akan bercahaya. Indah sekali, sekaligus mengerikan. Itulah jurus Tarian Payung Bunga Matahari, sebuah jurus pedang tingkat tinggi yang khusus diciptakan untuk murid Tan Bo Huang ini.

Ciang Hui Ling juga memainkannya sedemikian rupa sehingga meskipun seakan-akan putaran payung itu merupakan perisai, dia tetap menghindari benturan dengan senjata dua lawannya. Kadang pedang itu berputar secara mendatar, tapi di lain saat miring, dengan sudut kemiringan yang berubah- ubah. Dan hal itu tentu saja membutuhkan kecepatan gerak yang luar biasa.

Dengan demikian, pertempuran pun berlangsung semakin mendebarkan.

Kedua pihak tidak lagi bertempur dalam tahap penjajakan, tapi sudah mencapai tingkat ilmu tertinggi mereka yang tujuannya tidak lain adalah membunuh lawan. Berkali-kali golok di tangan Subali dan Sugriwa mencoba memapas gerak pedang Ciang Hui Ling atau mengincar bagian tubuh lawannya, tapi sampai sejauh ini mereka belum pernah bisa menyentuh gadis itu. Beberapa kali bahkan golok mereka harus mengenai lantai dan pinggiran perahu yang terbuat dari kayu karena lawannya sudah lebih dulu menghindar.

Keadaan itu membuat Subali dan Sugriwa menjadi gelisah. Mereka harus menyelesaikan tugas itu secepat mungkin, tapi perlawanan Ciang Hui Ling bukan sekadar kerikil, melainkan batu besar, yang sulit sekali mereka singkirkan.

Karena itu, Subali segera bersiul keras dan panjang. “Suiiit!”
Itu adalah isyarat meminta bantuan dari Subali kepada kepala kelompok mereka yang masih berada di kabin kecil. Tapi, pintu kabin itu tetap tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda bahwa si pemimpin kelompok itu akan segera membantu mereka.

Subali sekali lagi bersiul, lebih keras dan panjang. “Suiiiiiiiiit!!!”
Bahkan, Sugriwa pun ikut-ikutan bersiul meskipun siulannya terdengar lebih lemah dan mirip suara daun robek.

“Srrrwwwttt ...!”

Subali memandang Sugriwa. Dari pandangan itu terkesan kalimat seperti ini: kamu sudah lama berlatih, siulanmu tetap saja sumbang! Tapi, tentu saja bukan saatnya untuk mencemooh soal siulan. Mereka bersiul untuk memanggil rekan mereka, yang tidak lain kepala kelompok mereka.

Akan tetapi, tetap saja tidak ada pertanda bahwa kepala kelompok penculik itu akan segera muncul.

Sementara itu, mereka juga harus terus menghadapi Ciang Hui Ling yang

tidak berhenti memainkan pedangnya dengan jurus Tarian Payung Bunga Matahari.

“Krrrhhh. Bang Indraaa ...!” Subali berseru keras. “Krrrhhh. Bang Indrajiiiiiit ...!” Sugriwa juga berseru keras. “Krrrhhh. Bang Indraaa ...!”
“Krrrhhh. Bang Indrajiiit ...!”

Di tengah serangannya yang menggebu, Ciang Hui Ling menyeringai dan nyaris tawanya pecah, tidak tahan oleh rasa geli yang ditimbulkan dari seruan kedua lawannya. Bukan hanya karena seruan itu yang saling timpal, yang selalu diawali suara mirip ngorok dari tenggorokan mereka, melainkan juga karena nama pemimpin mereka. Di jagat wayang, Indrajit adalah musuh pasukan kera, tapi di dunia nyata, Indrajit ternyata pemimpin dari Subali dan Sugriwa!

“Bang Ind ... au!”

Subali lengah sepersekian kejap, dan sebuah sabetan pedang Ciang Hui Ling menyobek lengan baju kirinya, menembus hingga kulitnya. Rasa perih segera menusuk-nusuk sarafnya, ditambah rasa perih di hati oleh pertanyaan mengenai apa yang sedang dilakukan pemimpin kelompok mereka, Indrajit, di dalam kabin kecil itu. Darahnya mendidih. Dalam pikirannya, ketika mereka berdua sedang berlaga di antara hidup dan mati, Indrajit sedang asyik berduaan dengan putri Tuan Alfonso yang sangat jelita dan berkulit putih mulus tanpa cacat.

Pemikiran yang sama muncul di kepala Sugriwa. Tapi, berbeda dengan Subali, Sugriwa berdebar-debar membayangkan adegan itu. Sebab, dia tentu akan kebagian, meskipun harus rela berada di urutan ketiga setelah Subali.

Pikiran Subali dan Sugriwa yang bercabang itu, meskipun isinya berbeda, lambat laun membuat keduanya kehilangan jurus-jurus mereka. Tahap demi tahap, Ciang Hui Ling mendesak keduanya sehingga hanya mampu bertahan hingga tidak ada lagi tempat leluasa bagi mereka selain bersandar di dinding kabin.

Dalam keadaan terdesak itu, Sugriwa tidak mampu menangkis sabetan ujung pedang Ciang Hui Ling. Dadanya terasa perih karena tersayat memanjang hingga sejengkal. Darah segera membasahi bajunya, bercampur dengan keringat, membuat bajunya tampak makin gelap.

Setelah itu, kemenangan hanyalah soal waktu. Sayatan demi sayatan menghiasi tubuh Subali dan Sugriwa. Keduanya, terutama Subali, hanya bisa pasrah dengan luka yang berdarah-darah, tapi juga dengan darah yang mendidih karena sakit hati oleh kenyataan bahwa pemimpin mereka, Indrajit, tetap berada di dalam, tanpa peduli terhadap nasib buruk yang sedang menimpa mereka.

Dalam keadaan itu, Subali melirik Sugriwa. Sugriwa balas melirik Subali. Keduanya saling melirik memberikan isyarat. Keduanya kemudian secara bersamaan melemparkan golok mereka ke arah Ciang Hui Ling. Golok Subali mengincar dada, sedangkan golok Sugriwa menyasar perut Ciang Hui Ling.

Ciang Hui Ling terkejut sejenak, tapi dengan cepat dia melenting tinggi. Dua golok itu lewat di bawah kakinya, meluncur jauh dan jatuh di permukaan air Ci Liwung.

Sebelum Ciang Hui Ling hinggap lagi di dek perahu dan melancarkan serangan balasan, Subali dan Sugriwa sama-sama menjatuhkan diri mereka. Sambil jatuh di atas lutut, mereka mengangkat tangan seraya berseru, “Kami menyerah!”

Ciang Hui Ling urung melancarkan serangan. Kini, dia berdiri dengan kaki selebar pundak dan tangan kiri bertolak di pinggang. Ujung pedangnya dia acungkan tepat di depan wajah Subali dan Sugriwa.

Ciang Hui Ling tersenyum menyeringai. “Sungguh licik. Kalau golok kalian tadi itu mengenaiku, kalian tentu tidak akan sudi menyerah seperti ini. Dasar pengecut!”

“Krrrhhh. Ampun, Nona Pendekar ...,” Subali mengiba-iba, jauh berbeda dengan tadi ketika masih bertempur, “jangan bunuh kami ”

Ciang Hui Ling mendengus. “Mudah sekali kalian meminta ampun. Lekas katakan, apa yang kalian bawa di dalam sana?”

“Krrrhhh. Anu, Nona

“Anu apa?!”

“Krrrhhh. Kami membawa Nona

“Membawa apa?!”

“Krrrhhh. Membawa Nona anu

“Kau mau mempermainkan aku, ya?” Ujung pedang Ciang Hui Ling hanya satu jari di depan hidung Subali. Sekali lagi Subali berkata atau bertindak yang tidak-tidak, bisa saja hidung besar dan pesek seperti gorila itu lepas dari wajahnya.

“Krrrhhh. Maaf, Nona,” Sugriwa mencoba menengahi, “maksudnya, kami lupa nama nona yang kami bawa di dalam sana.” Subali melirik adik seperguruannya. Kali ini, Subali heran, bagaimana Sugriwa mampu mengeluarkan rangkaian kata-kata yang sangat bijak. Jarang sekali, atau nyaris tidak pernah, Sugriwa bisa mengucapkan kalimat seperti itu.

Subali memandang Ciang Hui Ling dan mengangguk-angguk. “Krrrhhh. Benar, Nona. Kami membawa seorang nona berkulit putih, tapi kami lupa siapa namanya. Sebab, namanya panjang dan sulit diucapkan.”

“Ow,” Ciang Hui Ling mengangguk-angguk. “Rupanya kalian penculik. Dan penculik nona kulit putih tentu bukan penculik sembarangan. Nah, siapa yang menyuruh kalian menculik nona itu?”

Subali dan Sugriwa menggeleng-gelengkan kepala. “Cepat katakan!”
“Krrrhhh. Ampun, Nona, kami benar-benar tidak tahu

Ujung pedang Ciang Hui Ling nyaris menempel di ujung hidung Subali. Kedua lubang hidung Subali sudah bisa mencium bau angit logam pedang pendekar belia itu, dan sekaligus mencium aroma maut di ujungnya.

“Sekali lagi kalian bilang tidak tahu, ujung pedangku bisa melesak ke lubang hidung kalian!”

“Krrrhhh. Kami benar-benar ...,” kata-kata Sugriwa terhenti karena Subali segera menyikut adik seperguruannya itu. Menurut Subali, kata-kata selanjutnya adalah ... tidak tahu. Dan, kalau kata-kata yang kali ini tidak bijak itu keluar dari mulut Sugriwa, Ciang Hui Ling pastilah tidak akan segan-segan melesakkan ujung pedangnya.

“Kalian mempermainkanku lagi, ya?”

Subali dan Sugriwa menggeleng. “Krrrhhh. Tidak, Nona

“Kalau begitu, sebutkan siapa yang menyuruh kalian!” “Krrrhhh. Kami bersumpah tidak ta
Ujung pedang Ciang Hui Ling sudah menempel di lubang hidung Subali. Rasa perihnya bahkan sudah merayap di urat sarafnya. Tapi, sebelum ujung pedang itu melesak lebih dalam, mendadak pintu kabin perahu itu terbuka.

Sosok lelaki yang juga wajahnya hampir penuh dengan bulu berdiri nyaris memenuhi bidang pintu.

Dialah Indrajit, pemimpin kelompok penculik itu.[]
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar