Pendekar Bunga Matahari Jilid 02 : Awal Prahara di Pelabuhan Kalapa

Awal Prahara di Pelabuhan Kalapa

TAK ada yang tahu siapa dia dan dari mana dia berasal. Tidak juga dari kapal mana dia turun. Ada tiga atau empat kapal yang datang hampir pada waktu yang bersamaan dan ada puluhan orang yang turun pada saat yang nyaris berbarengan.

Dia adalah lelaki dengan penampilan yang sangat biasa. Pakaiannya sama saja dengan pakaian puluhan orang lainnya. Usianya sekitar pertengahan tiga puluhan, usia yang tidak mencolok dibandingkan dengan orang-orang lain. Kepalanya diikat dengan kain hitam yang hampir menutupi seluruh rambutnya, penampilan yang umum terlihat di mana-mana. Dia membawa buntalan kain yang tidak terlalu besar, mungkin berisi pakaian dan barang lain, yang dia sampirkan di pundak, dan ujungnya dia cekal di depan dada.

Dia berjalan dengan langkah yang tidak tergesa-gesa, tapi juga tidak bisa dibilang pelan-pelan. Dia berjalan berbaur dengan orang-orang lain, sendirian tapi tidak memisahkan diri. Puluhan orang hampir memenuhi dermaga. Jadi, dia adalah satu titik yang tidak akan membuat orang tertarik.

Juga tidak ada seorang pun yang mencurigainya ketika dia merogoh bajunya, menarik sebuah segitiga logam yang sangat tajam di setiap ujungnya, kemudian menyentilkannya begitu saja. Tidak ada tujuan bahwa segitiga tajam itu dimaksudkan untuk mengenai orang tertentu. Dia melemparkannya begitu saja. Dalam tempurung kepalanya hanya ada pemikiran bahwa kematian orang itu tidak terlalu berpengaruh terhadap jalannya sejarah. Mungkin keluarganya, istrinya dan anak-anaknya, akan menangis, tapi setelah itu mereka akan pasrah akan nasib yang menimpa si mati.

Crap!

Segitiga itu menancap di leher seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun.

“Aaaghk!”

Lelaki itu memekik, tanpa mengetahui apa yang terjadi. Dia hanya merasakan perih di lehernya, yang membuatnya sulit mengambil napas. Jemarinya meraih lehernya, darah segera membasah, dan dia berkelojotan beberapa jenak dengan mata melotot, sebelum tubuhnya ambruk dengan kepala terlebih dulu menghantam permukaan kayu dermaga.

Orang-orang heboh berkerumun di sekeliling lelaki nahas itu. Beberapa orang berusaha meraba pergelangan tangan dan lehernya. Mereka menemukan semacam senjata tajam berbentuk segitiga yang telah menyayat jalan napas di leher lelaki itu.

“Mati,” ucap seseorang.

Pekikan kemudian terdengar nyaring di pagi yang mulai panas oleh matahari. Pekikan seorang bocah berusia kira-kira sepuluh tahun. Tampaknya, dia anak lelaki malang itu. Tapi, seberapa hebat pun tangisan si bocah, tampaknya sejarah mengenai mereka terhenti hingga di situ ..., kalau saja si pelaku pembunuhan pergi melenggang begitu saja.

Akan tetapi, tampaknya lelaki itu menikmati apa yang baru saja dia lakukan. Baginya, betapa nikmat menghilangkan nyawa orang lain, seakan-akan sedang bermain-main. Membuat heboh puluhan orang. Dia pun ikut bergabung dengan orang-orang lain, seakan-akan ingin tahu apa yang sedang terjadi.

Setelah itu, dia melangkah menjauh hendak pergi. Pada saat itulah, godaan memenuhi kepalanya sehingga nyaris tanpa disadarinya tangannya kembali menyelinap ke balik bajunya. Dengan cepat, sudah terselip di jemarinya segitiga logam dengan ujung-ujung yang sangat tajam. Dia tidak perlu melihat siapa yang akan menjadi sasarannya. Sebab, seperti lelaki yang sudah mati tadi, sasaran kali ini pun adalah manusia kebanyakan, yang menurut pikirannya tidak berpengaruh terhadap laju sejarah.

Jadi, melalui sentilan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya, melesatlah segitiga berujung tajam itu, mendesis pelan, mengarah ke tengkuk seorang lelaki kebanyakan itu. Dalam separuh kejap, segitiga maut itu akan menancap dalam-dalam, dan bisa dipastikan orang itu akan segera tumbang, menyusul lelaki pertama.

Seperti tadi, si pelempar tidak mau melihat melesatnya senjata mautnya. Dia terus melangkah dengan tatapan ke depan. Dalam separuh kejap itu, dia akan segera mendengar bunyi senjatanya menancap di sasaran dan suara pekik si korban.

Akan tetapi, kali ini, yang terdengar kemudian bukanlah suara yang dia harapkan, melainkan ... tidak ada suara apa-apa! Sekejapan kemudian, justru terdengar suara desis lirih mengarah belakang kepalanya. Dia terkejut bukan main. Cepat dia miringkan kepalanya dan sesuatu mendesing lewat hanya dua jari dari telinganya. Sesuatu itu melesat kencang ke depan dan jatuh di dekat segerumbul perdu. Segitiga mautnya!

Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?

Sambil terus berjalan dengan langkah yang makin cepat, dia pun berpikir cepat untuk menebak-nebak apa yang terjadi. Ketika segitiga mautnya itu dia lentingkan dari jemarinya, jelas sekali dia yakin bahwa senjata rahasia itu akan mengenai sasarannya dengan tepat. Tapi, yang terjadi malah berbalik dan nyaris menjadi senjata makan tuan. Kalau saja orang yang disasar itu, atau siapa pun yang melakukannya, telah menangkis senjatanya, tentu akan terdengar suara denting keras. Tapi, ini tidak terdengar suara apa-apa.

Satu jawaban yang masih mungkin adalah seseorang, entah siapa, telah melancarkan tenaga dalam berupa angin yang sangat dahsyat yang membuat senjata segitiga mautnya berbalik arah dan mengejarnya.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Siapa pun dia, jelas dia orang yang sangat sakti. Pasti bukan lawan yang mudah bagiku, pikir orang yang sudah melemparkan segitiga maut itu seraya terus mempercepat langkahnya keluar dari dermaga. Wajahnya sedikit memucat. Dadanya berdebar-debar. Dia baru datang di wilayah ini dan dia tidak mau mati konyol. Dia bahkan belum sampai ke tahap awal tujuan kedatangannya.

Dia kemudian berlari dan lenyap di antara rumah-rumah penduduk.

*****

TEWASNYA seseorang di dermaga itu menjadi heboh di seantero pelabuhan. Kalapa sudah bertahun-tahun menjadi pelabuhan yang cukup aman. Di bawah penguasa Kalapa sekarang, dan di bawah kekuasaan Kesultanan Banten, Kalapa makin berkembang menjadi pelabuhan yang ramai, didatangi berbagai kapal dari berbagai negeri. Syahbandar pelabuhan juga sudah mengatur wilayahnya dengan baik sehingga nyaris tidak terjadi peristiwa besar yang menggemparkan.

Tampaknya, hari itu akan berlangsung sebuah perubahan dahsyat.

Seseorang tewas dengan leher berlubang oleh senjata rahasia berbentuk aneh.

Akan tetapi, kehebohan itu tidak berlangsung lama. Bukan karena kasusnya dengan cepat diselesaikan, melainkan terjadi kehebohan di tempat lain.

Tepatnya di sebuah kedai makan.

Sudah sejak lama kedai makan menjadi tempat yang rawan akan keributan. Bermacam alasan bagi orang-orang untuk itu. Tapi, boleh jadi masalah perut memang menjadi penyebab utama mengapa orang gampang tersulut amarah. Ini sudah menjadi bagian panjang sejarah.

Kedai makan itu berada di luar pelabuhan, tapi cukup dekat. Katakanlah menjadi tempat orang berhenti dulu dari pelabuhan sebelum melanjutkan perjalanan berjalan kaki atau menggunakan perahu kecil menyusuri Ci Liwung ke arah hulu. Atau, sebaliknya sebagai tempat persiapan orang sebelum berlayar dari pelabuhan menuju kota atau pulau lain.

Suasana di kedai itu sebenarnya sama saja dengan suasana sehari-hari, setiap tengah hari, ketika orang-orang merasa sudah waktunya untuk beristirahat dan mengisi perut. Sebagian adalah orang-orang yang sudah menjadi pelanggan kedai itu. Setelah memesan makanan dan minuman, mereka segera duduk di kursi yang sudah biasa mereka tempati, kemudian bercakap-cakap tentang kehidupan mereka sehari itu, tentang musim yang dirasa terlampau kering, tentang kerabat mereka yang akan melangsungkan perkawinan, tentang kapal besar berbendera hijau dan merah dengan lingkaran kuning, atau tentang apa saja.

Beberapa meja lain diisi oleh orang-orang yang mampir dalam perjalanan mereka dari satu tempat ke tempat lain. Kalau sedang banyak pengunjung, beberapa orang harus rela menunggu orang lain selesai.

Jadi, tidak ada yang menyangka bahwa siang itu akan terjadi kehebohan di sana, di sebuah kedai makan yang sangat biasa.

Tiba-tiba, sesuatu dilemparkan dari luar begitu saja. Bruk!
Orang-orang terkejut, lalu melihat apa yang jatuh di dekat mereka. Mata mereka sama-sama terbelalak. Sebagian menjerit histeris.

Di lantai kedai makan itu, teronggok sebutir kepala. Bukan salah ketik dari kelapa. Benar-benar kepala. Kepala babi! Kepala babi yang sudah membusuk! Baunya segera memenuhi ruangan kedai makan dan menghancurkan nafsu makan siapa pun pengunjung di sana.

Orang-orang berlarian keluar. Sebagian mengeluarkan isi perut yang baru saja mereka telan. Beberapa orang langsung celingukan untuk mencari siapa yang telah melakukan perbuatan biadab itu.

Akan tetapi, tidak ada orang yang kelihatannya layak dicurigai.

Beberapa orang berjalan dengan langkah yang biasa-biasa saja. Di aliran sungai, tidak kelihatan satu pun perahu yang lewat. Jadi, siapa yang telah melakukan perbuatan itu?

Dari salah satu bangku di dalam kedai, meskipun sudah berupaya menahan diri mati-matian, Ciang Hui Ling menarik tangan Jaka Wulung untuk keluar dari kedai itu. Tanpa menunggu jeda, begitu keluar dari kedai, Ciang Hui Ling pun memuntahkan isi perutnya. Wajahnya memerah.

Jaka Wulung memandang gadis itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Satu kalimat berjejal di dalam mulutnya, Kau memang tahan terhadap ombak laut sebesar apa pun, tapi ternyata tidak tahan terhadap kepala babi busuk. Tapi, tentu saja Jaka Wulung tidak mengucapkannya. Sindiran seperti itu, dia yakin, akan segera menghancurkan keakraban mereka.

“Ayo kita pergi,” kata Ciang Hui Ling setelah cukup banyak memuntahkan isi perutnya.

“Jalan kaki?” tanya Jaka Wulung.

Ciang Hui Ling menggeleng. Dia menunjuk, “Tuh, ada perahu yang siap berangkat. Kita naik perahu saja.”

“Jauhkah tempatnya?”

“Hmmm ..., kira-kira setengah hari perjalanan perahu.”

Jaka Wulung tersenyum. Dadanya mengembang oleh rasa bahagia. Masih ada setengah hari lagi kebersamaan dengan gadis cantik ini. Setelah itu, setelah Jaka Wulung mengantar Ciang Hui Ling menemui gurunya, Tan

Bo Huang alias Naga Kuning dari Ci Liwung, dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Eh, ada yang terlupa,” kata Jaka Wulung. “Apa?”
“Kita belum bayar makanan.”

Sebelum Jaka Wulung menemukan keping uang di kantongnya, Ciang Hui Ling sudah lebih dulu melemparkan sekeping uang seraya berseru, “Mohon maaf, kami tergesa-gesa,” dan jatuh tepat di depan pemilik kedai.

Pemilik kedai itu, sepasang suami-istri berusia sekitar empat puluh lima tahun, hanya bisa terpaku dengan wajah-wajah yang pucat. Pertanda apa ini? Mengapa mereka yang tertimpa musibah seperti ini? Apa salah mereka?

Di salah satu meja, di sudut kedai itu, seorang lelaki berusia kira-kira separuh abad hanya bisa menggeleng pelan. “Kalapa bukan lagi tempat yang menyenangkan,” batinnya.

Dia berdiri ketika dilihatnya Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling sudah naik perahu yang melaju menuju arah hulu sungai dari dermaga kecil di depan kedai makan.

Ingin sebenarnya dia terus mengikuti sepasang remaja itu. Tapi, dia sudah terikat janji untuk bertemu dengan seseorang. []
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar