Kisah Dua Naga Di Pasundan Jilid 14

Sementara itu di hutan persembunyiannya, Pangeran Rha Widhu telah mengunci diri di barak sederhananya, nampaknya tidak ingin di ganggu oleh siapapun.

Patih Anggajaya yang telah mendengar bahwa Pangeran Rha Widhu telah mengunci diri di barak sederhananya merasa maklum atas sifat dan adat adik iparnya itu yang dikenal sangat mudah menyerah dan berputus asa.

Ternyata benar bahwa Pangeran Rha Widhu di barak sederhananya seperti tengah merenungi langkahlangkahnya selama ini, terutama keputusan besarnya bergabung dengan Patih Anggajaya membuat sebuah pemberontakan kepada penguasa Pasundan itu.

“Pasukanku telah menyusut setengahnya dalam perang pertama ini, ternyata Raja Ragasuci terlalu kuat untuk ditumbangkan”, berkata Pangeran Rha Widhu dalam hati seperti penuh dalam keputus asaan.

“Siapa pula anak muda bercambuk itu yang nampaknya berilmu sangat tinggi hingga dapat mengimbangi permainan pedangku”, berkata kembali Pangeran Rha Widhu dalam hati mengingat kembali pertempurannya dengan seorang anak muda bersenjata cambuk pendek.

Ternyata keputus asaan bukan hanya milik Pangeran Rha Widhu seorang, beberapa perwira prajurit Rakata juga tengah dirambati perasaan yang sama, kepercayaan diri mereka seperti tengah terkikis oleh suasana kekalahan perang pertama itu.

“Tahukah kamu apa hukuman bagi seorang pemberontak seperti kita ini ?”, berkata seorang perwira prajurit Rakata kepada salah seorang kawannya. “Raja Ragasuci akan menghukum seluruh keluarga kita di Kotaraja Rakata”, berkata kembali perwira itu.

Terlihat kawan perwira itu langsung seperti pucat pasi wajahnya dengan membayangkan anak dan istrinya harus menanggung hukuman dari Raja Ragasuci, penguasa Pasundan.

“Bila kita lari dari sini dan menyerahkan diri, apakah Raja Ragasuci akan meringankan hukumannya ?”, bertanya kawan perwira itu masih dengan wajah yang sudah sangat pucat pasi.

“Ku dengar Raja Ragasuci seorang Raja yang sangat bijaksana, hukumanmu pasti lebih ringan dari pada yang lainnya yang dianggap telah mengganggu kedamaian susana kehidupan di Pasundan ini”, berkata perwira itu menjawab pertanyaan kawannya.

Ternyata perkataan perwira itu sangat berbekas di  diri kawannya itu yang juga seorang perwira di sebuah kesatuan prajurit Rakata.

Maka ketika dirinya telah berada di kesatuannya, telah menyampaikan sebuah rencana untuk lari dan menyerahkan diri ke penguasa Pasundan di Kotaraja Kawali.

“Aku hanya menawarkan sebuah jalan yang lebih  baik dari hari ini untuk kita dan keluarga kita di Kotaraja Rakata”, berkata kawan perwira itu mulai menghasut para prajurit bawahannya.

Ternyata gayung bersambut, beberapa prajurit terlihat sudah termakan hasutannya itu. Namun masih ada satu dua orang telah menunjukkan kesetiaan mereka kepada Pangeran Rha Widhu.

“Hukuman apapun akan kuterima, sementara kita belum kalah berperang”, berkata seorang prajurit menunjukkan sikap kesatriaannya sebagai seorang prajurit.

“Itu adalah pilihanmu dan jangan halangi kami untuk keluar dari hutan ini”, berkata perwira itu dengan sedikit mengancam kepada dua tiga orang bawahannya yang tetap ingin bertahan dan setia kepada Pangeran Rha Widhu.

Maka ketika malam sudah menjadi begitu sepi, terlihat sekitar seratus orang prajurit Rakata mengendapendap meninggalkan barak-barak mereka, meninggalkan kawan-kawan mereka sendiri yang telah tertidur terlelap setelah seharian berperang di padang ilalang.

Gemparlah suasana pagi di hutan persembunyian itu.

“Dengar dan camkan perkataanku, bahwa aku dapat lebih kejam dari Raja Ragasuci. Aku akan mencari sampai ke lobang semut pun bersembunyi, siapapun yang lari dari peperangan ini”, berkata Patih Anggajaya dengan wajah begitu murka di hadapan para perwiranya yang sengaja dipanggil berkumpul datang menghadapnya di pagi itu.

Kecut hati beberapa perwira itu mendengar ancaman Patih Anggajaya yang memang sudah sangat dikenal sangat kejam menghukum siapapun orang yang telah mengecewakan dirinya.

Sementara itu di waktu yang sama di istana Kawali, Raja Ragasuci telah menerima laporan tentang beberapa orang prajurit Rakata yang telah datang menyerahkan diri di Kotaraja Kawali. Raja Ragasuci juga telah mendapatkan berita dari salah seorang yang menyerahkan diri itu tentang kekalahan peperangan mereka kemarin hari dengan pasukan prajurit Kawali.

“Keputus asaan nampaknya telah menggayuti para prajurit Rakata di hutan persembunyiannya itu, apa yang dapat kita lakukan wahai ayahandaku ?”, bertanya Raja Ragasuci kepada ayahandanya Prabu Guru Darmasiksa.

“Jangan biarkan duri terlalu lama di dalam daging, perintahkan pasukan Adipati Suradilaga dari Singaparna untuk membersihkan duri-duri itu di hutan timur Kotaraja ini”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Raja Ragasuci.

“Bagaimana dengan pasukan kita di padukuhan dekat hutan sebelah timur itu?”, bertanya Raja Ragasuci kepada Prabu Guru Darmasiksa.

“Mereka telah melaksanakan tugasnya dengan baik, biarlah mereka beristirahat merasakan kemenangan peperangan pertama mereka”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Ucapan Ayahanda akan ananda pusakai”, berkata Raja Ragasuci kepada ayahandanya yang sangat dihormatinya itu.

Demikianlah, hari itu juga Raja Ragasuci telah memanggil Adipati Suradilaga dan memerintahkan pasukannya dari Singaparna yang masih berada di Kotaraja Kawali itu untuk menghancurkan prajurit Rakata.

“Perintah paduka Raja Ragasuci adalah sebuah kehormatan untuk hamba”, berkata Adipati Suradilaga ketika akan berpamit diri dari hadapan Raja Ragasuci. Sementara itu di Padukuhan dekat hutan timur Kotaraja Kawali, terlihat Putu Risang dan beberapa orang lainnya baru saja kembali dari sebuah upacara pemakaman. Sebuah upacara pemakaman yang sederhana mengantar para sahabat sejati pergi untuk selama-lamanya.

“Pasukan mereka telah semakin menyusut, bila kita hantam mereka hari ini pasti kemenangan besar berada di pihak kita”, berkata Pangeran Citraganda kepada Putu Risang ketika mereka dalam perjalanan kembali ke rumah Ki Bekel.

Terlihat Putu Risang tidak langsung menjawab, orang muda yang sangat pendiam itu yang telah dipercayai menjadi seorang senapati sebuah pasukan besar itu nampaknya tengah berpikir keras membuat sebuah langkah-langkah yang sangat bijaksana menghadapi para musuh dari Rakata yang saat itu masih berada di hutan persembunyiannya.

“Banyak korban berjatuhan di pihak mereka, biarlah hari ini kita berikan sebuah kesempatan untuk mereka berpikir jernih apakah peperangan ini masih harus di lanjutkan”, berkata Putu Risang setelah menarik nafas panjang seperti mendapatkan sebuah keputusan yang benar sebagai seorang senapati.

“Aku juga berharap yang sama, korban sudah banyak berjatuhan. Semoga mereka dapat berpikir jernih mengukur kemampuan mereka menghadapi kekuatan Pasukan Pasundan”, berkata Pangeran Jayanagara ikut bicara.

“Apakah dengan memberikan kesempatan mereka hari ini sama halnya memberi kesempatan seekor buaya yang terjepit?”, berkata Pangeran Citraganda merasa kurang setuju dengan sikap Putu Risang.

“Hari ini atau besok kita bisa saja membantai mereka memenangkan peperangan ini. Tapi aku masih berharap menyelesaikan peperangan ini tanpa ada jatuh banyak korban lagi, korban para prajurit di pihak manapun”, berkata Putu Risang sambil memandang penuh senyum kearah Pangeran Citraganda.

Sekilas Putu Risang dapat membaca sikap kurang setuju dari Pangeran Citraganda. Namun Putu Risang dapat memaklumi jiwa dan darah muda putra Mahkota Kerajaan Kawali ini yang melihat dan menilai sebuah peperangan tidak lebih dari sebuah perjudian antara menang dan kalah.

“Laporan terakhir dari para prajurit pemantau, hari ini pihak musuh belum ada tanda-tanda untuk melanjutkan peperangan”, berkata Gajahmada mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.

“Kita memang tidak harus menjadi lengah, para prajurit pemantau harus tetap berada di tempatnya menilai setiap perkembangan”, berkata Putu Risang.

“Mohon ijin dari kakang Putu Risang, nanti malam aku akan ikut sebagai prajurit pemantau, mendekati hutan persembunyian mereka lebih dekat lagi”, berkata Gajahmada kepada Putu Risang.

“Aku ikut bersamamu”, berkata Pangeran Jayanagara.

“Aku mengijinkan kalian, berhati-hatilah”, berkata Putu Risang kepada kedua muridnya itu.

Tidak terasa langkah mereka sudah mendekati pekarangan rumah Ki Bekel.

Dan hari itu tidak ada kesibukan apapun di padukuhan dekat hutan timur Kotaraja Kawali, hanya beberapa prajurit Kawali terlihat tengah merawat kawankawan mereka yang terluka parah. Sementara itu para warga nampaknya tidak merasa terganggu dengan kehadiran pasukan Kawali di tempatnya. Beberapa orang warga tetap melakukan kegiatan rutin mereka seperti pergi ke sawah untuk menyiangi rumput-rumput liar di antara tanaman padi yang baru tumbuh.

“Penerimaan para warga disini atas kehadiran para prajurit adalah sebuah dukungan. Sampai saat ini kami masih belum memerlukan para warga untuk angkat senjata membantu kami di medan peperangan”, berkata Putu Risang kepada Ki Bekel ketika menyampaikan pesan dari Ki Buyut yang menawarkan tenaga para lelaki warga di kabuyutan itu.

“Meski keseharian kami hanya sebagai seorang petani, namun ada seorang warga disini yang dengan tulus telah melatih para pemuda olah kanuragan”, berkata Ki Bekel bercerita tentang kesiapan para warga seandainya diperlukan dapat juga turun mengangkat senjata.

“Pasti mereka dapat diandalkan untuk menjaga tanah mereka sendiri dari orang-orang yang bermaksud kurang baik di kabuyutan ini”, berkata Putu Risang sekedar tidak mengecilkan perkataan Ki Bekel itu.

Sementara itu di depan pekarangan rumah Ki Bekel terlihat beberapa orang tengah membawa padi kering menuju ke arah dapur umum prajurit yang tidak jauh dari rumah Ki Bekel sendiri.

“Ki Buyut telah memerintahkan warga untuk menyumbangkan padi kering mereka”, berkata Ki Bekel memberikan penjelasan. “Sampaikan rasa terima kasih kami kepada Ki Buyut, juga kepada seluruh warga di kabuyutan ini”, berkata Putu Risang kepada Ki Bekel.

Demikianlah, hari itu para prajurit Kawali di Padukuhan itu memang tidak melakukan apapun selain beristirahat. Namun Putu Risang tetap memerintahkan beberapa orang untuk berjaga-jaga di luar padukuhan disamping juga telah menempatkan beberapa prajurit pemantau di dekat hutan persembunyian para pasukan Rakata.

Dan tidak terasa waktu pun terus berlalu, terlihat cahaya matahari semakin redup di ujung barat bumi. Wajah padukuhan yang dikelilingi hamparan sawah hijau menjelang senja terlihat begitu bening dan damai. Beberapa lelaki terlihat baru pulang dari sawah mereka berjalan sambil memanggul cangkul di pundaknya, sementara ditangannya ikut berayun sebuah arit mengikuti arah langkah petani itu.

“Istri-istri mereka pasti tengah menyiapkan sayur bening untuk makan malam mereka”, berkata Putu Risang dalam hati manakala melihat beberapa petani lewat di depan pekarangan rumah Ki Bekel.

“Saat ini masih di musim penghujan, namun sudah dua hari ini tidak juga datang hujan”, berkata Ki Bekel yang tetap selalu menemani tamu-tamunya di pendapa rumahnya itu.

Ketika hari berganti malam, tidak juga terlihat tandatanda hujan akan turun karena terlihat langit malam di atas padukuhan itu dipenuhi bintang.

Dan malam di padukuhan itu terlihat menjadi begitu lengang, sunyi dan begitu sepi. Malam itu terlihat Gajahmada dan Pangeran Jayanagara telah keluar dari Padukuhan berjalan di sebuah bulakan panjang kearah sebuah padang ilalang di ujung padukuhan itu.

Sebagai seorang guru, nampaknya Putu Risang telah mengetahui bahwa Gajahmada bukan hanya sekedar berkeinginan untuk mengamati dari dekat pasukan Rakata di hutan sebelah timur Kotaraja Kawali itu. Tapi keinginan Gajahmada itu pasti diawali dengan sebuah getar naluri panggraitanya yang sudah mulai tajam terasah.

Terlihat Gajahmada dan Pangeran Jayanagara sudah memasuki padang ilalang yang cukup luas membatasi jarak antara Padukuhan dan hutan di seberang sana. Dibawah langit malam mereka berdua seperti hilang tertelan kerimbunan padang ilalang dan kegelapan malam. 

“Kita masuk lebih kedalam lagi mendekati mereka”, berkata Gajahmada kepada Pangeran Jayanagara ketika langkah mereka telah sampai di tepi muka hutan itu.

Kegelapan hutan malam seperti menelan mereka yang terus melangkah lebih kedalam lagi memasuki hutan tempat pasukan Rakata bertahan dan bersembunyi.

“Mari kita bersembunyi”, berkata Gajahmada kepada Pangeran Jayanagara yang sama-sama telah memiliki ketajaman pendengaran yang tinggi telah sama-sama mendengar suara banyak langkah kaki orang yang tengah berjalan tidak jauh dari mereka berdua.

Tidak sukar bagi mereka untuk bersembunyi.

Di kegelapan hutan malam terlihat Gajahmada dan Pangeran Jayanagara seperti sebuah bayangan telah melesat dengan cepatnya seperti bersayap terbang meloncat dan telah hinggap di sebuah dahan pohon yang cukup tinggi.

“Siapakah gerangan mereka?”, berkata Pangeran Jayanagara kepada Gajahmada ketika dibawah pohon telah melihat beberapa orang tengah berjalan berendapendap sangat mencurigakan.

“Nampaknya mereka seperti kita, tengah melakukan pengintaian kepada para pasukan dari Rakata”, berkata Gajahmada memastikan diri bahwa orang-orang yang berada di bawah pohon pastinya bukan para prajurit Rakata.

“Apa yang ingin mereka lakukan terhadap pasukan Rakata itu?”,berkata Pangeran Jayanagara

“Kita akan segera tahu”, berkata Gajahmada masih terus mengamati orang-orang yang semakin banyak berdatangan.

“Nampaknya mereka tengah melakukan sebuah pengepungan”, berkata Pangeran Jayanagara dengan perasaan tegang masih mengamati orang-orang di dalam hutan itu dari atas sebuah pohon.

“Sebuah panah sanderan”, berkata Gajahmada dengan suara berbisik kepada Pangeran Jayanagara.

Ternyata panah sanderan berupa cahaya api berekor itu sebuah panggilan kepada kelompok orang-orang  yang belum diketahui berada di pihak mana untuk menyerang pasukan Rakata.

Dan dengan mata kepala sendiri, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara telah melihat hujan panah berapi meluncur dari berbagai penjuru kearah barak-barak sederhana milik para prajurit Rakata.

Cahaya dan kilatan api seperti terbang jatuh membakar apapun di sekitar barak-barak para pasukan Rakata. Beberapa panah api bahkan telah melukai para prajurit Rakata yang lengah.

Cahaya dan lidah api telah membakar barak-barak yang terbuat dari kayu beratap daun kering itu, juga telah menjalar membakar semak dan batang pohon di hutan itu.

Gajahmada dan Pangeran Jayanagara masih tetap berada ditempatnya menyaksikan beberapa orang prajurit Rakata berlari tidak beraturan ke berbagai penjuru.

Malang nasib para prajurit yang bermaksud melarikan diri dari jilatan kepungan api yang berkobar membakar sekeliling mereka. Ternyata beberapa orang dengan senjata terhunus ditangan telah menantikan mereka yang tengah berlari tak terkendalikan itu.

Gajahmada dan Pangeran Jayanagara telah melihat sendiri pembantaian itu, ratusan prajurit Rakata  tidak mati terpanggang api, tapi mati terhunus pedang bermandikan darah segar bersama cahaya api kebakaran yang menerangi hutan di malam itu.

“Ternyata mereka para prajurit dari Singaparna”, berkata Gajahmada manakala cahaya kebakaran hutan itu telah menyinari beberapa tanda-tanda keprajuritan dari orang-orang yang telah mengepung dan membakar barak-barak prajurit Rakata itu.

Terlihat sebuah bayangan telah melesat keluar dari kepungan api, ternyata seseorang yang ingin keluar dan menyelamatkan dirinya dari kobaran api yang semakin membesar itu. Namun tiga sampai empat orang telah datang mengepungnya.

Ternyata orang itu bukan orang sembarangan, buktinya tiga sampai empat orang lawannya tidak dapat melumpuhkan dirinya, bahkan sebaliknya  dengan sebuah gerakan yang cepat serta tangkas telah melukai beberapa orang pengepungnya.

“Pengeran Rha Widhu”, berkata Gajahmada yang telah mengenali wajah orang itu yang terlihat jelas diterpa cahaya api kebakaran di dekatnya.

“Tidak ada seorang pun yang mampu menahannya”, berkata Pangeran Jayanagara manakala melihat empat orang prajurit Singaparna telah berjatuhan rebah termakan mata pedang Pangeran dari Kerajaan Rakata itu.

Gajahmada dan Pangeran Jayanagara masih di tempatnya manakala telah melihat Pangeran Rha Widhu meninggalkan lawan-lawannya yang tergeletak di tanah. Mereka berdua telah melihat Pangeran Rha Widhu telah melangkah pergi dan menghilang di kegelapan hutan malam.

Api masih saja tetap menyala membakar hutan dan memaksa Gajahmada dan Pangeran Jayanagara bergeser dari persembunyiannya mencari tempat persembunyian baru lebih jauh lagi.

Sementara itu malam masih terus berlalu di hutan yang telah terbakar itu, terdengar beberapa pohon tumbang merambati pohon disekitarnya dengan kobaran apinya.

“Sebuah perbuatan keji”, berkata Pangeran Jayanagara yang melihat sendiri seorang prajurit Singaparna dengan pedang telanjang memotong kepala musuh mereka yang sudah mati terbunuh.

Gajahmada dan Pangeran Jayanagara di tempat persembunyiannya itu telah melihat beberapa prajurit yang didatangkan dari Singaparna oleh Adipati Suradilaga itu telah menebas batang leher para mayat musuh mereka yang tergeletak di tanah.

Terlihat Gajahmada termenung sejenak mengingat cerita Pendeta Gunakara bahwa di tempat asalnya ada sekumpulan orang yang masih percaya bahwa ruh seorang musuh akan tetap mengganggu. Itulah sebabnya mereka harus memenggal kepala musuh dan melakukan sebuah upacara khusus.

Sementara itu api kebakaran di hutan masih berkobar merobohkan beberapa batang pohon besar di hutan itu.

Cahaya benderang di sekitar hutan terbakar. Syukurlah kebakaran hutan itu tidak menjalar luas,

mungkin terhalang parit-parit baru yang sengaja di buat oleh para prajurit Rakata untuk daerah pertahanan mereka.

“Mereka telah pergi ke arah selatan”, berkata Pangeran Jayanagara kepada Gajahmada manakala melihat pasukan dari Singaparna berduyun-duyun telah melangkah pergi meninggalkan hutan terbakar.

Kobaran api di atas hutan terbakar itu nampaknya sudah semakin berkurang seiring dengan berjalannya sang waktu.

Dan malam pun perlahan beranjak pergi menemui bumi lain. Perlahan pula sang pagi yang dingin datang menyapu warna cakrawala langit yang buram menjadi semakin bening. “Hujan datang”, berkata Pangeran Jayanagara kepada Gajahmada ketika merasakan titik-titik air menyentuh tubuhnya lewat celah-celah dahan dan daun di atas pohon tempat persembunyian mereka.

“Mari kita turun”, berkata Gajahmada kepada Pangeran Jayanagara manakala melihat di bawah mereka sudah menjadi begitu sepi tidak terdengar seorang pun disana.

Dan hujan terlihat semakin deras mengguyur hutan itu, mengguyur sisa-sisa batang pohon yang terbakar.

Ketika hujan menjadi reda, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara hanya melihat sebuah puing-puing batang dan dahan pohon sisa hutan yang terbakar itu.  Hamparan tanah yang sebelumnya sangat rimbun itu hanya menyisakan sebuah hamparan tanah gosong bersama tumpukan sisa abu batang, dahan dan semak yang terbakar.

“Kita harus memanggil beberapa prajurit untuk menguburkan mayat-mayat itu, meski dengan tanpa sebuah kepala”, berkata Gajahmada sambil menahan napas begitu berat menyayangkan kekejian sebagian orang yang telah memperlakukan saudara mereka sendiri.

“Mari kita kembali ke Padukuhan”, berkata Pangeran Jayanagara kepada Gajahmada.

Dan hari di depan langkah mereka telah menjadi terang tanah memenuhi wajah bumi pagi.

Dan ketika hari pagi sudah mulai beranjak terang mendekati saat siang, terlihat suasana penuh kegembiraan di paseban raya dalam sebuah perjamuan besar. “Kegembiraan hari ini memang sangat layak untuk dirayakan”, berkata Raja Ragasuci kepada para tamunya para biksu dan para ksatria dari Majapahit.

“Bumi Pasundan telah kembali dalam kedamaian, prahara dari Rakata telah sirna. Puji Syukur kepada Gusti Yang Maha Agung yang telah membawa kalian melangkah ke istana Kawali ini”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

Sementara itu di sebuah sudut terlihat sepasang mata tidak pernah lepas pandangannya ke arah Mahesa Muksa. Siapa lagi pemilik mata rupawan itu kalau bukan Dyah Rara Wulan.

“Aku akan meminta Ayahandamu untuk menjadikan Mahesa Muksa sebagai seorang perwira di Bumi Pasundan ini”, berbisik permaisuri Ratu Dara Puspa kepada sang Putri tercintanya itu.

“Terima kasih Ibunda”, berkata Dyah Rara Wulan dengan wajah penuh kegembiraan melihat sikap ibunya yang telah berubah terhadap Mahesa Muksa.

Demikianlah, perjamuan besar di atas Paseban Raya itu memang begitu meriah, wajah-wajah suka cita mengiringi kegembiraan hati semua yang hadir di atas Paseban Raya itu.

Namun di ujung perjamuan besar itu seketika menjadi sebuah keharuan manakala Pendeta Gunakara telah menyampaikan keinginannya untuk kembali ke tanah leluhur mereka.

“Kami datang dari sebuah daratan yang sangat jauh di seberang lautan sana, hanya berharap untuk dapat membawa Mahesa Muksa menjadi pemimpin kami, menjadi guru suci kami. Namun ternyata hasrat dan keinginan kami belum juga segaris dengan ketetapan dari Gusti Yang Maha Agung. Atas nama para Biksu, kami menghaturkan ribuan rasa terima kasih atas segala penerimaan kami di bumi Pasundan ini. Sementara itu angin laut telah berganti membawa kami untuk segera meninggalkan bumi Pasundan ini. Dan pintu Vihara kami di daratan Tibet sana akan selalu terbuka menunggu kedatangan tuan-tuan”, berkata Pendeta Gunakara mewakili para biksu di Paseban Raya itu.

Suasana di atas Paseban Raya itu seketika menjadi sepi dicekam keharuan terlebih para ksatria dari Majapahit yang sudah lama mengenal Pendeta Gunakara hadir bersama mereka.

“Kami akan menemani kalian hingga ke Bandar Muara Jati”, berkata Prabu Guru Darmasiksa seperti memecahkan suasana keharuan di atas Paseban Raya itu.

Maka ketika matahari telah bergeser condong sedikit ke barat, terlihat sebuah rombongan para biksu telah keluar dari Istana Kawali.

Dan Prabu Guru Darmasiksa bersama para ksatria dari Majapahit ikut dalam rombongan para biksu itu mengantarnya hingga sampai di bandar Muara Jati.

Tidak ada gangguan apapun atas perjalanan mereka menuju Bandar Muara Jati. Sebuah perjalanan yang cukup jauh terutama bila dilakukan hanya dengan berjalan kaki. Namun kekuatan para biksu yang sudah terlatih itu nampaknya bukan sebuah pekerjaan yang berat, terlihat di wajah mereka tidak sedikitpun terlihat rasa kelelahan sedikitpun meski mereka telah berjalan sepanjang hari.

Semilir angin laut berhembus basah di ujung malam itu manakala rombongan para biksu telah sampai di Bandar Muara Jati.

“Nampaknya angin laut masih belum berkenan memisahkan kita, wahai putraku”, berkata Pendeta Gunakara kepada Gajahmada.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Pendeta Gunakara, mereka memang harus menunggu esok hari.

“Sangat kebetulan sekali, esok hari ada sebuah perahu dagang yang akan berangkat hingga ke ujung Tanah Malaka”, berkata seorang Syahbandar di Muara Jati itu sebagai salah seorang pejabat perwakilan kerajaan Kawali yang sangat menghormati Prabu Guru Darmasiksa.

Demikianlah, akhirnya rombongan itu memang harus menunggu hingga esok hari.

Bandar Muara Jati memang sebuah pelabuhan dagang yang cukup ramai saat itu, banyak terlihat beberapa perahu dagang bersandar di pelabuhan itu.

Setelah seharian menunggu saat angin berubah haluan menuju laut raya di pantai Muara Jati, akhirnya ketika matahari mulai condong rebah ke barat bumi terlihat rombongan para biksu menaiki sebuah perahu dagang yang akan mengantar mereka sampai di ujung Tanah Malaka.

“Angin yang baik telah membawaku pergi kembali ke tanah leluhurku setelah begitu lama hidup bersamamu, wahai putraku”, berkata pendeta Gunakara kepada Gajahmada.

“Angin yang baik pula yang akan membawaku dalam perjumpaan bersamamu, mungkin di ujung sisa usiaku nanti”, berkata Gajahmada seperti tengah berusaha membendung keharuan hatinya melepas pergi pendeta Gunakara.

Suara ombak di pantai Muara Jati itu seperti dengung irama senja yang terus terdengar mengantar pergi sebuah perahu dagang membawa Pendeta Gunakara dan para biksu dari Tibet itu jauh ke lautan luas.

Prabu Guru Darmasiksa, Sang Begawan Jayakatwang dan tiga orang ksatria Majapahit terlihat seperti mematung di pantai Muara Jati mengikuti gerak sebuah perahu dagang bertiang layar lima yang perlahan menjauhi bibir dermaga.

“Angin baik dan perahu layar adalah dua sahabat sejati, semoga kita selalu dipertemukan kembali dengan sahabat sejati dalam sebuah perjalanan waktu mengarungi lautan garis hidup ini”, berkata Prabu Guru Darmasiksa seperti memecahkan suasana keharuan di hati mereka.

Dan tidak terasa seiring waktu, perahu layar yang membawa Pendeta Gunakara dan para biksu terlihat sudah menjauh mendekati bibir lengkung laut biru di ujung senja itu.

“Mangapa tuan-tuan tidak menunggu pagi dan bermalam di Bandar Muara Jati ini ?”, berkata Syahbandar Muara Jati yang datang bersama tiga orang anak buahnya membawa lima ekor kuda.

“Perjalanan malam mungkin dapat menghibur hati kami”, berkata Prabu Guru Darmasiksa sambil tersenyum kepada Syahbandar Muara Jati yang sangat menghormatinya itu.

Sementara itu langit senja terlihat sudah semakin pudar memayungi bibir pantai. Dan di bibir malam terlihat bintang bertaburan memenuhi langit purba.

Terlihat lima orang berkuda telah menapaki sebuah jalan menjauhi pantai Muara Jati.

“Ketika pagi menjelang kita mungkin sudah sampai di kaki gunung Galunggung”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Jayakatwang yang berkuda di sampingnya.

Sementara itu tiga orang ksatria Majapahit, Putu Risang, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara berkuda di belakang tanpa berkata apapun, nampaknya masingmasing tengah berada bersama alam pikirannya sendirisendiri.

Tidak terasa kadang mereka memacu kuda-kuda mereka di atas tanah lapang di kegelapan malam. Namun kadang mereka harus bersabar membawa kuda mereka berjalan perlahan ketika menapaki sebuah jalan berbatu dan berliku di sebuah perbukitan.

Perjalanan dari Bandar Muara Jati menuju Gunung Galunggung memang cukup jauh. Ketika malam telah bergulir mendekati warna pagi mereka sudah sampai di sebuah simpang jalan menuju arah Kotaraja Kawali.

Namun sebagaimana keinginan Prabu Guru Darmasiksa, mereka tidak berkelok ke arah Kotaraja Kawali, langsung ke arah Gunung Galunggung.

Demikianlah, ketika warna pagi terlihat mulai menerangi wajah bumi, kelima orang berkuda itu telah berada di bawah kaki Gunung Galunggung.

Cerah warna matahari pagi menyinari wajah mereka ketika langkah kaki kuda mereka telah menapaki jalan menanjak menuju arah lereng Gunung Galunggung. “Tuan Prabu Guru Darmasiksa telah datang kembali”, berkata seorang cantrik kepada dua orang kawannya yang tengah berada di muka regol pintu Padepokan, nampaknya akan berangkat ke sawah mereka.

“Apakah kalian akan berangkat ke sawah ?”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada ketiga orang cantrik itu dari atas punggung kudanya ketika telah berada di muka regol pintu Padepokan.

“Kami bermaksud memperbaiki jalan air di sawah”, berkata salah seorang dari ketiga cantrik itu sambil membungkuk penuh hormat kepada Prabu Guru Darmasiksa dan empat orang bersamanya itu.

Terlihat seorang cantrik menyambut tali kuda mereka berlima ketika telah memasuki halaman pekarangan Padepokan.

“Aku sudah menjadi bosan sendiri tiap malam di atas pendapa ini”, berkata Bango Samparan sambil menuruni anak tangga pendapa menyambut kedatangan mereka berlima.

“Bagaimana keadaan Andini saat ini ?”, bertanya Prabu Guru Darmasiksa kepada Bango Samparan.

“Hari ini sudah mulai belajar berjalan di biliknya”, berkata Bango Samparan dengan wajah penuh ceria.

Demikianlah, setelah bersih-bersih diri di pakiwan, terlihat mereka telah berkumpul kembali di Pendapa Padepokan itu bersama Bango Samparan tentunya.

“Semoga aku tidak mengurangi kenikmatan tuantuan”, berkata Bango Samparan yang terlihat ingin membuka sebuah pembicaraan ketika mereka tengah menikmati sebuah makanan dan minuman hangat di atas pendapa Padepokan itu. Terlihat Bango Samparan telah mengeluarkan sebuah benda dari balik pakaiannya.

“Kujang Pangeran Muncang?”, berkata Prabu Guru Darmasiksa ketika melihat benda yang berada di tangan Bango Samparan itu.

“Aku menunggu tuan Prabu untuk menyerahkan pusaka ini”, berkata Bango Samparan sambil menyerahkan sebuah senjata Kujang kepada  Prabu Guru Darmasiksa.

“Berceritalah, bagaimana senjata yang hilang ini bisa berada di tanganmu”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Bango Samparan.

Terlihat semua mata yang ada di atas pendapa itu tertuju kearah Bango Samparan ingin secepatnya mendengar cerita dari Majikan Rawa Rontek itu.

Terlihat ada sebuah keraguan di dalam hati Bango Samparan, pikirannya bercabang antara ingin bercerita kejadian sebenarnya dan sebuah keinginan untuk merahasiakan asal dan usul jati diri Dewi Kaswari.

“Bila ada sesuatu yang sangat memberatkan hatimu, kami tidak akan memaksamu”, berkata Prabu Guru Darmasiksa seperti telah dapat membaca apa yang ada dalam pikiran Bango Samparan saat itu.

“Aku akan bercerita seutuhnya”, berkata Bango Samparan yang sudah dapat memerangi hatinya sendiri untuk bercerita seutuhnya tanpa rasa takut dan malu bila ceritanya itu akan membuka sebuah rahasia besar tentang jati diri Dewi Kaswari.

Maka perlahan Bango Samparan telah bercerita tentang pertemuannya dengan Pendeta Rakanata, juga pertemuannya dengan seseorang yang telah menolong jiwanya yang nyaris terbunuh oleh pendeta Rakanata.

“Pendeta Rakanata telah membuka rahasia dirinya kepadaku bahwa dirinya adalah Ayah kandung dari Dewi Kaswari”, berkata Bango Samparan yang tidak ragu lagi untuk bercerita seutuhnya menyangkut rahasia tentang penukaran seorang bayi keturunan Raja Rakata.

“Hati Pendeta Rakanata sudah begitu kelam”, berkata Prabu Guru Darmasiksa ketika mendengar cerita sebuah kejahatan yang dilakukan oleh pendeta Rakanata.

“Kasihan nasib bayi Raja Rakata itu”, berkata pula Pangeran Jayanagara.

“Sungguh sebuah kebetulan bahwa yang menyelamatkan nyawaku hingga hidup sampai saat ini adalah bayi Raja Rakata yang tertukar itu. Dialah putra Raja Rakata yang sebenarnya penolong jiwaku di hutan itu. Begitu luas jiwanya meski telah mengetahui kejahatan Pendeta Rakanata atas dirinya masih tetap mengampuni Pendeta berhati kelam itu”, berkata kembali Bango Samparan bercerita tentang pertemuannya dengan sang penolong jiwanya itu.

“Siapakah orang itu, apakah dirinya telah menyebut sebuah nama kepadamu”, berkata Prabu Guru Darmasiksa merasa penasaran dengan cerita bango Samparan mengenai sang penolongnya itu.

“Ketika berpisah, orang itu hanya memperkenalkan dirinya sebagai seorang pertapa dari Gunung Wilis bernama Dharmaraya”, berkata bango Samparan.

Mendengar perkataan bango Samparan itu, terlihat Putu Risang dan Gajahmada saling berpandangan mata, mereka tahu betul dan sudah mengenal siapa gerangan nama yang disebut oleh Bango Samparan itu. “Bila Pendeta Dharmaraya adalah putra Raja Rakata, berarti bahwa Mahesa Muksa adalah keturunan dari Kerajaan Rakata”, berkata Putu Risang dalam hati  namun masih berdiam diri.

Sementara itu Gajahmada masih termenung mengulang-ulang perkataan Bango Samparan yang mengatakan bahwa ayahandanya adalah seorang putra Raja Rakata.

“Apakah aku harus mengatakan kegembiraan hati ini, mengatakan bahwa diriku inilah putra Pendeta Dharmaraya sang pertapa dari Gunung Wilis itu ?”, berkata Gajahmada dalam hati menimbang-nimbang apakah sebuah kelayakan bila kegembiraan hatinya itu di ketahui oleh semua yang hadir di atas pendapa Padepokan itu. Namun akhirnya Gajahmada telah memilih untuk diam.

“Biarlah setiap orang mengenal diriku apa adanya, bukan dari mana dan siapa yang melahirkan diriku ini”, berkata Gajahmada dalam hati memilih diam dan merahasiakan hubungan dirinya dengan Pendeta Dharmaraya putra Raja Rakata yang sebenarnya itu.

Melihat Gajahmada tidak berkata apapun, terlihat Putu Risang ikut tidak mengatakan apapun yang diketahui tentang hubungan antara Pendeta Dharmaraya dan Gajahmada.

“Nampaknya Mahesa Muksa tidak ingin membuka jati dirinya”, berkata Putu Risang dalam hati menilai sikap diam dari Gajahmada.

Namun tiba-tiba saja suasana di atas pendapa itu menjadi tercengang manakala Prabu Guru Darmasiksa telah angkat bicara tentang kujang Pangeran Muncang yang sudah berada di tangannya itu. “Bukan maksudku tidak percaya dengan semua ceritamu, katakanlah kepadaku apakah kamu menerima senjata Kujang ini memang dalam keadaan bertelanjang tanpa sarung kayu rumahnya ?”, bertanya Prabu Guru Darmasiksa kepada Bango Samparan.

“Ampun tuan Prabu, aku menerima Kujang itu dalam kedaan telanjang tanpa sarung kayunya”, berkata Bango Samparan merasa terkejut dengan pertanyaan Prabu Guru Darmasiksa.

“Sebenarnya kehilangan sebuah senjata pusaka bukan menjadi alasan diriku untuk merasa khawatir, yang kutakutkan adalah bahwa di atas sarung kayu senjata Kujang ini telah terukir sebuah rahasia ajian ilmu pamungkas, sebuah rahasia ilmu ajian muncang kuning. Inilah yang kukhawatirkan bila saja rahasia ilmu ini telah jatuh di tangan orang yang salah, pasti akan membawa sebuah malapetaka dan prahara besar di bumi ini”, berkata Prabu Guru Darmasiksa menjelaskan sebuah rahasia.

Suasana diatas pendapa Padepokan itu sejenak menjadi sepi tanpa suara, semua orang nampaknya tengah berada di dalam alam pikirannya sendiri-sendiri.

“Menurut cerita dari Bango Samparan, senjata kujang Pangeran Muncang itu terakhir berada di tangan Pendeta Rakanata. Maka orang itulah yang dapat kita jadikan pijakan pertama untuk mengetahui keberadaan sarung kayu senjata pusaka itu”, berkata Jayakatwang mencoba menyampaikan jalan pikirannya.

“Sebuah cara yang baik mencari dimana keberadaan sarung senjata itu. Namun kita belum tahu kemana perginya Pendeta Rakanata itu setelah merasa tersingkir dari lingkungan istana Kawali”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Kemanapun seekor bangau pergi, pasti akan kembali lagi ke sarangnya. Kita bisa mencarinya di tempat asalnya di Kotaraja Rakata”, berkata Jayakatwang kembali menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya.

“Bila diijinkan, biarlah cucunda yang akan mencarinya ke Kotaraja Rakata”, berkata Pangeran Jayanagara menawarkan dirinya kepada Prabu Guru Darmasiksa.

Terlihat Prabu Guru Darmasiksa meragu, merasa khawatir bila Pangeran Jayanagara seorang diri menghadapi Pendeta Rakanata yang berilmu tinggi. Namun Prabu Guru Darmasiksa tidak ingin mengecewakan diri Pangeran Jayanagara dengan mengatakan keberatannya itu. 

Nampaknya Putu Risang dapat membaca apa yang ada dalam pikiran Prabu Guru Darmasiksa itu.

“Mahesa Muksa dapat menemani Pangeran Jayanagara”, berkata Putu Risang.

Mendengar perkataan Putu Risang, terlihat Prabu Guru Darmasiksa mulai dapat menarik nafas lega tidak lagi mengkhawatirkan untuk melepas Pangeran Jayanagara seorang diri ke Kotaraja Rakata. Meski begitu, Prabu Guru masih juga bertanya kepada Gajahmada.

“Bagaimana Mahesa Muksa, apakah kamu bersedia menemani Pangeran Jayanagara”, berkata Prabu Guru Darmasiksa ingin memastikan langsung dari Gajahmada sendiri.

“Aku bersedia menemani Pangeran Jayanagara”, berkata Gajahmada. “Sebenarnya aku ingin juga mengunjungi Kotaraja purba itu, namun istriku Turuk Bali pasti sudah rindu untuk kembali ke Majapahit”, berkata Jayakatwang sambil tersenyum ke arah Putu Risang.

Nampaknya Putu Risang tanggap sekali dengan pandangan mata Jayakatwang.

“Sebagaimana Paman Jayakatwang, aku juga ingin rasanya melihat-lihat suasana Kotaraja Rakata, namun keluarga di Majapahit mungkin sudah begitu lama menunggu”, berkata Putu Risang memberikan alasan tidak dapat menemani kedua muridnya itu.

“Seandainya Andini tidak dalam penyembuhan, mungkin aku dapat menjadi kawan penunjuk arah yang baik, karena beberapa tahun yang silam aku pernah datang mengunjungi kota tua itu”, berkata pula Bango samparan sambil bercerita banyak tentang keadaan Kotaraja Rakata dimasa lalu.”Penduduk asli Rakata telah meyakini bahwa Gunung berapi Rakata sebagai pusar bumi dan awal peradaban dunia”, berkata kembali Bango Samparan.

“Sebagai kerajaan tertua di Jawadwipa, mereka masih merasa terhina menjadi sebagai sebuah daerah bawahan dari Kerajaan Kawali. Aku berharap kekalahan mereka kemarin akan melunakkan kekerasan dan kebanggaan atas kebesaran masa-masa jaya leluhur mereka”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

Mendengar perkataan Prabu Guru Darmasiksa, terlihat Jayakatwang seperti termenung, terbayang kekerasan hatinya di masa lalu sebagai keturunan Raja Kediri yang merasa lebih mulia dari orang Singasari yang biasa disebut sebagai orang-orang Tumapel.

“Kemuliaan para leluhur memang kadang membutakan para pewarisnya. Mereka akan berusaha dengan segala upaya untuk merebutnya kembali. Selama itulah peperangan tidak akan pernah berakhir dan berujung”, berkata Jayakatwang seperti berkata kepada dirinya sendiri.

“Sayangnya hanya sedikit manusia yang memahami bahwa kemuliaan diri itu adalah menjadi raja atas dirinya sendiri di dalam istana hati”, berkata Prabu Guru Darmasiksa menanggapi perkataan Jayakatwang.

“Aku jadi iri kepada tuan Prabu Guru Darmasiksa yang telah merelakan kemewahan dan kemegahan singgasana dan hidup sebagai orang biasa di lereng gunung ini dengan segala kesederhanaan hidup”, berkata Jayakatwang.

“Dipadepokan ini aku merasa berbahagia karena dapat berbagi, dapat saling mengingatkan  tentang makna hidup yang sebenarnya dan dapat bersama-sama melakoninya hingga di ujung usia”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.”Meski begitu kita tidak harus melupakan dunia nyata, sebagai petani, sebagai pedagang, sebagai seorang ksatria memerangi kemungkaran atau sebagai seorang pendeta membawa arah jalan lurus bagi sesama. Kita hanya sebuah wayang, apapun lakonnya harus kita terima sebagai garis lakon dari sang Dalang yang punya kekuasaan terbesar dalam sebuah  pagelaran besar”, berkata kembali Prabu Guru Darmasiksa.

“Dan hari ini kita telah menyaksikan sebuah lakon hidup sang pendeta durjana, sang Pendeta Rakanata”, berkata Bango Samparan.

“Ini pun sudah menjadi tuntutan lakon yang harus kita perangi bersama, aku akan membekali dua anak muda ini dengan ajian ilmu Muncang Kuning, agar mereka dapat lebih menguasai keadaan bila bertemu dan terbentur dengan ajian yang sama”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Berbahagialah kalian berdua, tidak semua orang mendapatkan kesempatan ini”, berkata Jayakatwang kepada Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

Demikianlah, ketika malam mulai menjalar menggelapi wajah bumi, terlihat Prabu Guru Darmasiksa telah mengajak Gajahmada dan Pangeran Jayanagara untuk memasuki sanggar tertutup.

Ketika Pangeran Jayanagara dan Gajahmada masuk ke sanggar itu, mereka memang melihat sebuah sanggar yang sangat lengkap untuk berlatih olah keseimbangan, kecepatan dan ketahanan tubuh meski terbuat dari bahan-bahan yang sangat sederhana tidak seperti sanggar mereka di istana Majapahit.

Ada dua buah pelita menerangi ruang sanggar itu, dan sebuah bale bambu sederhana.

“Simak dan pahatlah di dinding-dinding ingatan kalian”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

Maka terdengar beberapa kali Prabu Guru Darmasiksa menuturkan beberapa kalimat yang disimak dengan penuh perhatian oleh Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

“Enam kalimat yang kalian telah hapalkan ini adalah sebuah kalimat yang terukir di sarung kayu Kujang Pangeran Muncang itu”, berkata Prabu Guru Darmasiksa ketika merasa yakin bahwa Gajahmada dan Pangeran Jayanagara telah menghapalnya diluar kepala. “Aku akan merinci arti dan makna dari enam kalimat ini”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada kedua anak muda itu di dalam sanggarnya.

Terdengar kembali Prabu Guru Darmasiksa menguraikan makna dan arah dari enam kalimat rahasia yang telah terpahat di dinding-dinding ingatan Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

Ternyata enam kalimat itu merupakan sebuah  rahasia ilmu tenaga sakti sejati ajian Muncang kuning yang sangat terkenal di jaman silam, sebuah ajian ilmu yang hanya ada dalam dongeng-dongeng orang tua di bumi Pasundan.

“Kalian telah mengenal bagaimana mengendapkan hawa murni dalam aliran perguruan kalian serta bagaimana cara mengungkapkan tenaga sakti sejati dari dalam diri kalian. Namun setiap perguruan mempunyai cara yang sedikit berbeda satu dengan yang lainnya, kuharap dapat memperkaya pengenalan kalian”, berkata Prabu Guru Darmasiksa setelah menguraikan secara rinci rahasia ajian Muncang Kuning kepada Pangeran Jayanagara dan Gajahmada.

“Apa yang kupahami ini benar-benar telah menyempurnakan pemahaman sebelumnya bagaimana cara mengendapkan hawa murni dan membangkitkannya menjadi tenaga diri sejati”, berkata Gajahmada dengan wajah berbinar-binar.

“Seperti menemukan sebuah jalan lain yang lebih singkat”, berkata pula Pangeran Jayanagara.

“Itu tandanya kalian berdua memang berjodoh dengan ajian Muncang kuning ini”, berkata Prabu Guru Darmasiksa dengan wajah penuh kegembiraan hati melihat dua anak muda itu telah begitu cepat memahami rahasia ajian Muncang Kuning itu.

Sementara itu udara malam di luar sanggar itu sudah menjadi begitu dingin membeku, mungkin karena letak Padepokan itu memang berada di lereng gunung Galunggung, di sebuah dataran tinggi yang cukup dingin.

“Mari kita keluar dari sanggar ini”, berkata Prabu  Guru Darmasiksa mengajak kedua anak muda itu mengikuti dirinya.

Terlihat tiga orang lelaki telah keluar dari sanggar dan berjalan kearah regol pintu gerbang Padepokan.

“Kami mau cari angin”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada dua orang cantrik yang malam itu telah mendapat tugas ronda di depan regol pintu gerbang Padepokan.

Ternyata Prabu Guru Darmasiksa telah mengajak Gajahmada dan Pangeran Jayanagara ke sebuah danau besar tidak jauh dari Padepokannya.

“Turunlah kalian dan berendamlah kalian di danau ini”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

Mendengar perintah Prabu Guru Darmasiksa itu, terlihat kedua anak muda itu sudah langsung turun ke tepian danau yang belum begitu dalam, hanya sebatas leher mereka.

Sudah dapat dibayangkan betapa dinginnya  air danau di waktu malam itu.

“Kutinggalkan kalian hingga besok pagi”, berkata Prabu Guru Darmasiksa sambil tersenyum dan berbalik badan meninggalkan tepian danau.

Bintang malam terlihat bertaburan memenuhi langit gelap diatas danau sepi.

Sebenarnya sebagai dua orang anak muda yang telah mahir menguasai tenaga sejati diri dapat saja mereka mengurangi rasa dingin yang membeku itu dengan mengalirkan hawa panas melindungi diri mereka. Tapi semua itu tidak mereka lakukan karena mereka harus murni melakukannya agar dapat merasakan dan mengenal rasa dingin yang kuat dari air danau itu di waktu malam.

“Seperti inilah para leluhur kami melatih ajian Muncang kuning. Pahatlah rasa dingin itu didalam sanubari kalian paling dalam”, terdengar suara Prabu Guru Darmasiksa bergema dari berbagai arah penjuru, entah dari mana asal suara itu karena Prabu Guru Darmasiksa memang sudah tidak ada lagi terlihat disekitar danau itu.

Semilir angin dingin berhembus menggoyangkan bunga teratai putih yang sedang mekar berkembang. Sekali-kali terdengar suara anak katak yang tengah meronta dari cengkraman mulut seekor ular air. Atau suara burung hantu yang sayup menghilang menjauh pergi mencari mangsa binatang kecil yang malam itu bernasib malang menjadi santapan malamnya.

Malam pun terus berlalu diatas danau itu.

Terlihat Pangeran Jayanagara dan Gajahmada telah menggigil kedinginan. Namun ketanahan hati mereka berdua telah dapat melawan semua rasa dingin yang begitu mencekam mencekik hampir seluruh tubuh mereka yang telah terendam terbatas leher dan kepala mereka. 

Malam pun terus berlalu diatas danau yang sepi itu. Semakin malam mendekati pagi, rasa dingin semakin menjadi-jadi menjalari seluruh kulit dan tulang kedua anak muda itu. Namun mereka tetap tidak bergerak sejengkalpun naik keatas danau itu.

Dan malam pun perlahan berlalu.

Terlihat warna langit telah mulai berubah, ada segaris warna merah memanjang berujung tebal di tepi pertemuan bibir bumi dan ujung lengkung langit.

Perlahan matahari muncul di barat bumi menyinari alam dan jagat raya, menerangi warna air danau yang terlihat semakin hijau bening.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar