Kisah Dua Naga Di Pasundan Jilid 11



Kembali lingkaran prajurit menjadi semakin melebar merasakan pertempuran dua naga kanuragan itu terlihat sudah menjadi kian dahsyatnya. Para prajurit di jajaran paling depan telah merasakan angin sambaran serangan Pendeta Rakanata telah menimbulkan hawa panas. Mereka tidak dapat membayangkan bagaimana Gajahmada menghadapi serangan ber hawa panas itu dimana mereka saja yang berjarak sekitar dua puluh langkah dari pusat pertempuran masih dapat merasakan hawa panasnya.

Ternyata Gajahmada tidak mengalami kesulitan apapun menghadapi serangan Pendeta Rakanata yang telah meningkatkan tataran kesaktiannya dengan menghempaskan angin pukulan hawa panas yang kuat bersama setiap serangannya itu. Sekuat apapun tataran kesaktian yang dilontarkan oleh Pendeta Rakanata tetap saja masih dapat diimbangi oleh Gajahmada yang telah melindungi dirinya dengan daya sakti kekuatan sejatinya yang berbeda dan berlawanan menyesuaikan diri.

Pendeta Rakanata sudah seperti menjadi putus asa melihat anak muda yang menjadi lawan tandingnya itu tidak bergeming sedikitpun meski telah meningkatkan tataran kemampuan puncaknya, baik kecepatannya bergerak maupun daya tempur hawa panasnya yang sudah membuat siapapun orang didekatnya akan terbakar hangus, namun tetap saja Gajahmada tidak merasakan apapun karena telah melambari dirinya dengan kekuatan yang berlawanan meredam kekuatan hawa panas lawan.

Sebenarnya Gajahmada masih dapat meningkatkan tataran kemampuan ilmunya lebih tinggi  lagi, melontarkan tenaga sakti sejatinya dalam bentuk  lontaran hawa panas dan hawa dingin sesuai keinginannya. Tapi Gajahmada tidak ingin melakukannya, hanya berusaha mengimbangi serangan lawan dan tidak ingin cepat-cepat menyelesaikan pertempurannya.

“Tugasku hanya membuat sebuah kekacauan guna menarik perhatian seluruh prajurit”, berkata Gajahmada dalam hati sambil berkelit dan balas menyerang lawannya.

Sementara itu Pangeran Citraganda yang menyaksikan pertempuran mereka dari tempat jauh telah melihat sebuah kabut tipis perlahan menyelimuti hampir seluruh permukaan istana. Kabut tipis itu kian lama semakin menebal menutup pandangan mata hampir semua orang.

“Hanya orang berilmu tinggi saja yang dapat melakukannya”, berkata Pangeran Citraganda kepada Dyah Rara Wulan dan ibundanya Ratu Dara Puspa yang masih terus mengamati jalannya pertempuran antara Gajahmada dan Pendeta Rakanata.

Tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa di dalam istana telah lama menyelinap dua orang berjubah pendeta. Mereka sudah lama mengamati pertempuran itu. Salah seorang berjubah pendeta itu adalah Pendeta Gunakara. Sementara seorang lagi terlihat lebih tua dari usia Pendeta Gunakara. Ternyata orang itulah yang telah menurunkan kabut pekat menyelimuti seluruh istana.

Kabut terlihat sudah begitu pekat menutupi pandangan semua orang. Para prajurit istana tidak dapat lagi menyaksikan jalannya pertempuran antara Gajahmada dan Pendeta Rakanata.

Terlihat Gajahmada tersenyum menyaksikan Pendeta Rakanata seperti terganggu penglihatannya dan telah melompat mengambil jarak aman. Dengan daya penglihatan yang kuat Gajahmada masih dapat melihat dengan jelas di dalam kabut pekat itu. Dan Gajahmada tidak berlaku curang mengejar Pendeta Rakanata yang sudah kehilangan penglihatannya tertutup kabut tebal yang pekat.

Gajahmada masih tersenyum manakala dilihatnya muncul begitu banyak orang asing berpakaian seorang biksu seperti yang dikenakannya saat itu telah melumpuhkan semua prajurit di istana itu dengan begitu mudahnya.

“Para biksu dari Tibet ?”, berkata Gajahmada dalam hati melihat orang-orang asing yang baru muncul itu tengah melumpuhkan para prajurit istana.

Dan pertanyaan Gajahmada akhirnya terjawab manakala muncul dua orang berjubah pendeta mendekatinya. Salah seorang telah dikenalnya sebagai Pendeta Gunakara.

“Orang berjubah pendeta itu kulihat berhati kelam, jauh berbeda dengan pakaian putih yang dikenakannya”, berkata seorang tua yang datang bersama Pendeta Gunakara.

Bersama kedatangan dua orang pendeta itu, kabut di atas Istana Kawali terlihat semakin lama menjadi kian menipis terbawa angin.

Kecut hati Pendeta Rakanata melihat dua orang pendeta di dekat anak muda lawan tandingnya itu. Dua orang pendeta itu pasti akan membela anak muda itu, demikian pikiran Rakanata pada saat itu.

Maka tanpa berpikir lebih lama lagi, terlihat Pendeta Rakanata langsung berkelebat ke arah dinding istana, melompati dinding tinggi dan menghilang pergi entah kemana. “Jangan kamu kejar orang itu, ada banyak hal penting selain Kujang Pangeran Muncang”, berkata Pendeta Gunakara sambil menggamit lengan Gajahmada seperti tahu jalan pikiran Gajahmada saat itu.

“Benar Mahesa Muksa, tugas kita saat ini adalah mengamankan istana”, berkata Pangeran Citraganda yang telah datang bersama Dyah Rara Wulan dan ibunda Ratu Dara Puspa.

“Ampun Gusti Ratu, hari ini kendali di istana telah menjadi tanggung jawab kami”, berkata Pendeta Gunakara penuh hormat seperti tahu bagaimana bersikap di hadapan sang permaisuri Ratu Dara Puspa.

“Atas nama keluarga istana, kami mengucapkan rasa terima kasih atas bantuan kalian”, berkata Ratu Dara Puspa penuh kebanggaan hati melihat sikap dan perkataan Pendeta Gunakara yang sangat menghormatinya itu.

Namun Ratu Dara Puspa terlihat berkerut keningnya manakala seorang tua tidak bersikap hormat kepadanya, melainkan kepada anak muda yang dikenalnya sebagai Mahesa Muksa.

“Terimalah sembah sujud dari Nathabala, wahai titisan sang terkasih Damyang Dalai Lama”, berkata seorang tua berjubah pendeta yang datang bersama pendeta Gunakara sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dadanya dengan wajah menunduk sebagai tanda kehormatan.

“Putraku Mahesa Muksa, aku belum memperkenalkan paman guruku”, berkata pendeta Gunakara sambil tersenyum mengerti sikap Gajahmada yang bingung melihat ada seorang tua datang kepadanya dengan sikap penuh hormat. “Kami biasa memanggilnya sebagai paman guru Nathabala”, berkata kembali Pendeta Gunakara memperkenalkan orang itu kepada Gajahmada.

Mendengar perkataan Pendeta Gunakara, segera Gajahmada dengan penuh senyum membalas penghormatan orang yang dipanggil Paman Guru Nathabala itu.

“Sebentar, aku akan kembali”, berkata Pendeta Gunakara sambil melangkah mendekati beberapa biksu yang tengah mengumpulkan para prajurit istana yang masih tergeletak belum sadarkan diri.

Terlihat Pendeta Gunakara segara memberikan beberapa perintah kepada para biksu itu.

Kembali Ratu Dara Puspa mengerutkan keningnya manakala melihat satu persatu dari para biksu berdatangan menghadap Gajahmada secara bergiliran dengan sikap penuh penghormatan dan langsung pergi ke sisi pinggir dinding istana seperti tahu bagaimana harus mengamankan istana.

“Mahesa Muksa seperti seorang Raja bagi mereka”, berkata Ratu Dara Puspa dalam hati manakala melihat para biksu itu satu persatu telah menghadap Mahesa Muksa dengan penuh penghormatan.

Diam-diam Dyah Rara Wulan melirik kearah Ibunda Ratu, seakan ingin berkata, “wahai bunda, inilah Mahesa Muksa bukan orang biasa sebagaimana persangkaanmu selama ini”, begitulah yang ingin dikatakan kepada ibundanya. Tapi Dyah Rara Wulan tidak berkata apapun, hanya penuh kegembiraan dan kebanggaan melihat semua para biksu asing itu nampak begitu menghormati Mahesa Muksa. Nampaknya para biksu asing itu telah mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Terlihat mereka telah langsung menuju dinding pagar istana. Dan tidak ada satupun sisi dinding pagar Istana yang kosong tanpa penjagaan mereka.

Dinding pagar istana itu memang cukup tebal, ada sebuah undakan untuk seseorang dapat berdiri melihat ke arah luar istana. Dan para biksu asing itu nampaknya telah bersiaga penuh menjaga istana membentuk pagar betis mengelilingi hampir setiap sisi dinding pagar istana.

Maka gemparlah suasana Kotaraja Kawali ketika mengetahui bahwa istana telah dikuasai oleh para biksu asing. Beberapa perwira tinggi telah mengumpulkan satuan pasukan masing-masing dari barak prajurit di luar istana. Terlihat para prajurit Kawali telah berkumpul di alun-alun Kotaraja Kawali untuk menunggu perintah apa yang harus mereka lakukan.

“Kami menunggu perintah dari tuan Patih”, berkata salah seorang perwira tinggi kepada Patih Anggajaya yang juga telah hadir di alun-alun Kotaraja Kawali.

Terlihat wajah Patih Anggajaya begitu gusar, merasa rencananya tidak berjalan sesuai yang diinginkan. Adipati Suradilaga yang diharapkan telah memberikan sebuah kabar tentang tugasnya di hutan Sindur tidak juga kunjung datang. Dan tiba-tiba saja telah menyaksikan istana Kawali telah di kuasai oleh para biksu asing, rusaklah rencana dan harapannya membawa pasukan Rakata ke kotaraja Kawali.

“Seluruh kesatuan prajurit telah berkumpul, siap menunggu perintah tuan Patih”, berkata kembali seorang perwira tinggi kepada Patih Anggajaya yang merasa kecewa melihat kelambanan sikap sang Patih. Terlihat Patih Anggajaya tidak langsung memberikan perintah apapun, seperti tengah berpikir keras keluar dari kemelut suasana yang sangat berbeda dari apa yang direncanakan semula.

Namun di hadapan para perwira tinggi itu, Patih Anggajaya tidak ingin dinilai tidak punya ketegasan sebagai seorang patih yang diandalkan.

“Persiapkan seluruh pasukan, kita gempur dan kuasai kembali istana”, berkata Patih Anggajaya seperti terpaksa membuat sebuah keputusan dengan cepat meski di dalam hatinya belum menemukan sebuah jalan terbaik menghadapi kemelut suasana medan yang tidak sesuai dengan rencananya itu.

Setelah mendengar perintah dari Sang Patih, terlihat para perwira tinggi itu telah melangkah menuju kesatuan mereka masing-masing.

Namun belum lagi para perwira tinggi itu menemui kesatuan mereka masing-masing, terlihat dari arah selatan Kotaraja Kawali dua orang penunggang kuda berlari sambil membawa dua bendera kebesaran Kawali, salah satunya sebuah bendera hijau bergambar harimau putih.

“Raja Ragasuci telah kembali dari Hutan Sindur”, berkata Patih Anggajaya dalam hati dengan perasaan penuh kegusaran. Sebagaimana yang dikatakan oleh Patih Anggajaya, di belakang dua orang penunggang kuda itu memang telah datang sebuah pasukan khusus pengawal Raja.

Dan hati, Patih Anggajaya menjadi bertambah gusar manakala melihat di belakang pasukan khusus pengawal Raja terlihat sebuah iring-iringan pasukan yang lebih besar lagi. “Adipati Suradilaga datang bersama  Raja Ragasuci?”, terkejut dan penuh rasa gusar hati Patih Anggajaya manakala merasa yakin bahwa pasukan besar yang datang bersama Raja Ragasuci adalah sebuah pasukan dari Singaparna yang dibawa langsung oleh Adipati Suradilaga. ”Adipati Suradilaga telah mengkhianati-ku?”, berkata dalam hati Patih Anggajaya dengan penuh tanda tanya besar di kepalanya.

“Baginda Raja Ragasuci datang!!”, berteriak dengan lantang salah seorang penunggang kuda pembawa bendera kebesaran Kerajaan.

“Sembah sujud dan kesetiaan kami untuk Baginda Raja Ragasuci. Semoga kemuliaan dan panjang umur untuk Baginda Raja Ragasuci”, berkata bersamaan para prajurit di alun-alun Kotaraja itu sambil bersujud.

“Berdiri dan bangkitlah wahai para prajuritku yang gagah dan setia”, berkata Raja Ragasuci dihadapan para prajurit masih diatas punggung kudanya.

Menggeram hati Patih Anggajaya melihat Raja Ragasuci masih hidup, sementara matanya terlihat begitu tajam mencari seseorang diantara para pasukan berkuda yang datang bersama Raja Ragasuci.

Ternyata orang yang dicarinya ada tepat dibelakang Baginda Raja Raga suci.

Siapa lagi yang dicari oleh Patih Anggajaya kalau bukan Adipati Suradilaga yang telah berjanji kepadanya untuk membunuh Raja Ragasuci.

“Pengkhianat itu ada di belakang Baginda Raja”, berkata dalam hati Patih Anggajaya penuh kebencian.

Namun wajah dan hati Patih Anggajaya menjadi begitu kecut dan gusar ketika kembali mendengar suara yang cukup lantang dari Raja Ragasuci.

“Dengarlah wahai para prajuritku, musuh kita bukan orang-orang asing yang berada di dalam istana. Tapi musuh kita adalah sebuah pasukan dari Rakata yang saat ini telah mempersiapkan diri di hutan sebelah timur Kotaraja Kawali”, berkata Raja Ragasuci dengan suara begitu lantang.

“Kurang ajar, siapa yang telah membocorkan semua rahasia ini?”, berkata dalam hati Patih Anggajaya dengan wajah pucat dan kaget tidak menyangka Raja Ragasuci telah mengetahui keberadaan pasukan Rakata.

Namun, Patih Anggajaya berusaha keras untuk menutupi perasaan hatinya itu, terus berpikir keras menghadapi kemelut suasana yang keluar dari yang diharapkan dan direncanakannya itu. Apalagi melihat sebagian para prajurit yang nampak bingung dan terkejut mendengar perkataan Raja Ragasuci tentang sebuah pasukan Rakata yang tengah bersiap untuk menyerang Kotaraja Kawali.

Dan Patih Anggajaya memang seperti tahu apa yang dapat diperbuat guna memanfaatkan suasana kebimbangan sebagian para prajurit itu.

“Ampun tuanku Baginda Raja, istana saat ini telah dikuasai oleh para orang asing. Kami siap untuk menghalau mereka mengembalikan keamanan di istana”, berkata Patih Anggajaya dengan suara cukup lantang bermaksud agar para prajurit dapat mendengar juga perkataannya.

Terlihat Raja Ragasuci tersenyum menanggapi perkataan Patih Anggajaya yang diketahui maksud dan tujuan pikirannya agar dirinya dengan segala keterpaksaan akan memerintahkan semua prajurit untuk menyerang istana.

Dan Raja Ragasuci tidak berkata apapun, sepertinya tengah menunggu sesuatu. Ternyata Raja Ragasuci tengah menunggu seseorang. Dan dengan penuh senyum telah melihat seorang prajurit telah bergerak dari tempatnya maju kedepan menghadap para prajurit.

“Dengarlah wahai para saudaraku, para putra Ciremai, para putra Galunggung, para putra Pangrango dan para putra Pasundan, sabda Baginda Raja adalah sabda para dewata, perkataan Baginda Raja adalah perkataan Dewata. Tunjukkan kesetiaanmu bagi Baginda Raja”, berkata prajurit itu dengan suara begitu lantang yang ternyata adalah Ki Rangga Ageng Pasek.

Ternyata sengaja Ki Rangga Ageng Pasek tidak menyebut nama putra Rakata dalam perkataannya sebagai sebuah sindiran dan ingin membakar perasaan hati para prajurit para putra daerah selain Rakata yang selama ini telah tertindas dan tersingkirkan oleh orangorang Rakata yang merasa besar kepala menjadi anak emas Patih Anggajaya.

Kembali Raja Ragasuci tersenyum melihat kegelisahan di wajah Patih Anggajaya, dan dirinya memang telah tidak sabar lagi untuk menyingkirkan orang yang telah sengaja dengan liciknya membokong dan menusuknya dari belakang lewat tangan Adipati Suradilaga.

Dan Baginda Raja Ragasuci dengan penuh senyum telah tahu apa yang harus diperbuat. Terlihat Baginda Raja Ragasuci telah mengangkat kedua tangannya seperti meminta semua orang untuk mendengarnya.

“Aku tidak akan memaksa apa yang menjadi pilihan kalian, segeralah menyingkir ke sebelah kanan siapapun yang telah mendengar perkataan Ki Rangga Ageng Pasek dan berpihak kepadanya”, berkata Raja Ragasuci dengan suara lantang terdengar oleh siapapun yang berada di atas alun-alun itu.

Dan tanpa perintah dua kali, terlihat setengah para prajurit itu telah menyingkir memisahkan dirinya.

Sementara itu setengah dari para prajurit Kawali masih tetap diam ditempatnya, mereka sebagian besar adalah para putra Rakata yang selama ini telah menjadi anak emas Patih Anggajaya. Namun diantara mereka masih ada beberapa orang prajurit yang sudah berkeluarga dan beristrikan para wanita diluar orang Rakata.

Dan Raja Ragasuci seperti tahu perasaan sebagian orang Rakata itu. Terlihat Raja Ragasuci kembali mengangkat kedua tangannya meminta perhatian semua orang yang berada di alun-alun Kotaraja itu. Begitu besar wibawa Raja Ragasuci, seketika itu juga semua orang terdiam tidak ada suara satupun dan suasana saat itu begitu mencekam dan semua mata terlihat tertuju kepada penguasa Pasundan itu, Raja Ragasuci.

Terlihat wajah dan mata Raja Ragasuci seperti begitu memerah seakan tengah memendam sebuah kemarahan besar. Dan hampir semua orang di wilayah Pasundan telah mengetahui kesaktian Raja mereka yang dapat membakar apapun dengan sorot matanya. Dan terlihat semua orang saat itu seperti berdebar merasa takut bila saja Raja Ragasuci menumpahkan kemurkaan-nya.

“Dengarlah perkataanku, aku Raja Ragasuci yang akan bermurah hati kepada siapapun prajurit yang mengabdi setia kepadaku, mengampuni siapapun yang menyadari kesalahannya. Namun aku tidak akan pernah bermurah hati kepada musuh-musuhku dan seluruh keluarganya”, berkata Raja Ragasuci dengan suara lantang seperti bergemuruh dan bergema didengar oleh hampir semua orang yang berada di alun-alun itu.

Ternyata, perkataan Raja Ragasuci seperti anak panah kembar bermata dua. Satu mata panah ditujukan kepada para prajurit yang sudah berkeluarga bercampur dengan penduduk Kawali. Dan satu anak panah lagi memang ditujukan kepada Patih Anggajaya beserta para pengikut setianya yang selama ini telah bermaksud menggulingkan kekuasaannya.

Terlihat Raja Ragasuci tersenyum melihat beberapa prajurit telah bergerak memisahkan diri.

Bukan main gusar hati Patih Anggajaya melihat para pengikutnya sebagian telah bergerak memisahkan diri.

“Aku harus bertindak cepat sebelum semua pengikutku bergerak berpindah tempat memilih setia kepada Raja Ragasuci”, berkata dalam hati Patih Anggajaya dengan wajah penuh kegelisahan.

Ternyata dendam hati Patih Anggajaya telah melebihi kegentaran hatinya. Dendam yang sudah lama terpendam itu akhirnya telah mengoyak dadanya dan meledak seperti sebuah gunung berapi.

Terlihat patih Anggajaya telah melompat diatas punggung kudanya.

“Dengarlah wahai para putra Rakata”, berkata Patih Anggajaya dengan suara menggelegar karena telah dilambari hentakan tenaga sakti sejati yang kuat telah membuat semua orang berpaling ke arahnya. “Kita orang Rakata yang terlahir di bawah Gunung Rakata pusat bumi ini telah lama terjajah. Lihatlah diri kalian, hari ini kita telah dipisahkan. Mari kita bergabung bersama saudara kita di timur hutan Kotaraja ini”, berkata Patih Anggajaya sambil menghentakkan perut kudanya agar bergerak melangkah.

Sekonyong-konyong beberapa orang prajurit putra Rakata seperti mendapat angin setelah bingung beberapa saat mengkhawatirkan nasib mereka yang pasti akan mendapat balasan atas semua penindasan mereka selama ini dimasa kekuasaan Patih Anggajaya melebihi kekuasaan seorang Raja.

Terlihat semua orang Rakata itu telah bergerak mengikuti arah langkah kaki kuda Patih Anggajaya.

Mata dan pandangan Ki Rangga Ageng Pasek sekilas berpaling kearah Raja Ragasuci. Mata dan pandangan Ki Rangga Ageng Pasek seperti mewakili hampir semua prajurit yang berada di belakangnya.

Mereka tengah berharap satu kata perintah dari Raja mereka. Hanya satu kata maka mereka sudah pasti akan bergerak menyergap orang Rakata yang mereka anggap sebagai para pendurhaka.

Nampaknya Raja Ragasuci dapat membaca perasaan para prajuritnya yang setia kepadanya. Terlihat dengan wajah penuh ketenangan telah mengangkat kedua tangannya.

“Biarkan orang-orang itu memilih jalan mereka. Besok menjelang fajar, kesombongan Gunung Rakata akan kita bungkam dan hancurkan selama-lamanya”, berkata Raja Ragasuci dengan suara bergema lebih dahsyat lagi melebihi suara Patih Anggajaya sebelumnya.

Dan suara itu masih terdengar oleh para orang Rakata yang sudah mulai menjauhi alun-alun Kotaraja menuju kearah timur. Ciut hati dan perasaan mereka mendengar getaran suara itu, sebuah suara kemurkaan seorang Raja.

“Orang bumi Pasundan tidak pernah merasa punya musuh, karena orang bumi Pasundan mencintai perdamaian diatas muka bumi ini. Masih ada kesempatan hingga fajar agar mereka berpikir ulang untuk menghadapi kekuatan orang Pasundan”, berkata seorang tua yang datang menghampiri Raja Ragasuci.

“Terima kasih, Ayahanda telah membukakan mata hatiku selama ini bahwa ada seekor ular besar hidup di istanaku ini”, berkata Raga suci kepada orang tua yang datang menghampirinya itu yang ternyata adalah Sang Prabu Guru Darmasiksa, ayahandanya sendiri.

Terlihat Raja Ragasuci telah turun dari kudanya. Nampaknya memberi sebuah isyarat agar Ki Rangga Ageng Pasek segera datang mendekatinya.

“Ampun, tuanku Baginda Raja”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek penuh hormat ketika sudah datang mendekat di hadapan Raja Ragasuci.

“Mulai hari kamu kuangkat sebagai seorang Senapati Agung. Persiapkan seluruh pasukanmu besok menjelang saat fajar untuk menghalau ular besar di hutan timur Kotaraja”, berkata Raja Ragasuci kepada Ki Rangga Ageng Pasek.

“Sabda Paduka akan hamba junjung tinggi diatas kepala, kebanggaan hamba adalah kesetiaan hamba. Perkenankan hamba menghaturkan segala kesetiaan dan pengabdian hidup hamba”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek penuh rasa hormat di hadapan Raja Ragasuci. “Perkenanmu kuterima, istirahatkan seluruh pasukanmu di baraknya masing-masing”, berkata Raja Ragasuci kepada Ki Rangga Ageng Pasek.

Terlihat Ki Rangga Ageng Pasek telah undur diri dari hadapan Raja Ragasuci.

Sementara itu didalam istana terlihat dua pasang mata tidak pernah lepas mengarahkan pandangannya ke arah alun-alun.

“Tidak ada tanda-tanda mereka akan menyerang istana”, berkata seorang tua berjubah pendeta.

Ternyata orang berjubah pendeta itu adalah Pendeta Gunakara yang bersama Gajahmada telah mengamati dari jarak jauh suasana di atas alun-alun Kotaraja.

“Mereka yang bergerak memisahkan diri berjalan kearah timur pastilah orang-orang yang setia kepada Patih Anggajaya bermaksud akan bergabung dengan pasukan orang-orang Rakata di hutan timur Kotaraja”, berkata Gajahmada ketika melihat beberapa prajurit terlihat memisahkan diri keluar dari alun-alun kota.

“Nampaknya iring-iringan yang tengah berjalan kearah istana adalah Raja Ragasuci bersama rombongannya”, berkata Pendeta Gunakara manakala melihat sebuah rombongan berkuda tengah berjalan kearah pintu gerbang istana Kawali.

“Mari kita songsong mereka di muka pintu gerbang”, berkata Gajahmada mengajak Pendeta Gunakara mendekati pintu gerbang istana Kawali.

Terlihat Pendeta Gunakara telah memberi perintah kepada seorang biksu untuk membuka lebar-lebar pintu gerbang istana Kawali yang nampak begitu kokoh dan kuat terbuat dari bahan kayu pilihan yang tidak mudah di robohkan atau dihancurkan.

“Selamat datang Paduka Baginda Raja Ragasuci”, berkata Pendeta Gunakara mewakili Gajahmada menyambut kedatangan rombongan yang datang bersama Raja Ragasuci.

“Kalian telah melaksanakan tugas dengan baik, terima kasih telah mengamankan keluarga istana”, berkata Raja Ragasuci yang telah turun dari punggung kudanya kepada Gajahmada dan Pendeta Gunakara di depan pintu gerbang istana.

“Tanpa kalian, mungkin kami sudah berdarah-darah di hutan Sindur”, berkata seorang tua yang tidak lain adalah Prabu Guru Darmasiksa yang telah ikut turun dari punggung kudanya.

Ternyata rombongan yang ada di belakang Raja Ragasuci adalah orang-orang yang sudah dikenal oleh Gajahmada dan Pendeta Gunakara. Mereka adalah Putu Risang, Pangeran Jayanagara serta Jayakatwang. Ada seorang lagi yang belum dikenal oleh Gajahmada dan Pendeta Gunakara.

“Perkenalkan, inilah Adipati Suradilaga”, berkata Prabu Guru Darmasiksa seperti langsung mengetahui jalan pikiran Gajahmada dan Pendeta Gunakara.

“Ternyata Adipati Suradilaga dari Singaparna”, berkata Gajahmada sambil memperkenalkan dirinya kepada seorang yang nampak begitu ramah kepadanya.

“Pasukan para biksumu begitu besar, kuperkenankan kalian menggunakan Paseban kami”, berkata Raja Ragasuci kepada Gajahmada dan Pendeta Gunakara.

Demikianlah, terlihat Pendeta Gunakara telah mendekati beberapa orang biksu agar mereka menarik diri mengembalikan keamanan istana kepada para prajurit Kawali.

Sementara itu sang surya perlahan menjauhi puncaknya bergeser sedikit rebah kearah barat bumi bersandar awan putih yang tebal seperti kapas putih memenuhi cakrawala langit biru.

Terlihat cahaya matahari telah terhalang sebuah pohon beringin putih yang tumbuh begitu rindang di sisi barat bangunan Paseban Raya di dalam istana Kawali yang menghadap kearah utara.

Diatas panggungan Paseban Raya itu terlihat para biksu duduk memenuhi hampir setiap sisi, bahkan setengahnya terlihat duduk diluar bangunan di bawah anak tangga panggungan Paseban Raya.

Namun, suasana di Paseban Raya itu nampak begitu lengang dan sepi, semua pandangan terlihat tertuju ke arah tengah panggungan Paseban Raya itu.

Gajahmada terlihat duduk di tengah panggungan Paseban Raya itu diapit oleh Pendeta Gunakara dan Pendeta Nathabala, orang yang disebut sebagai paman guru oleh Pendeta Gunakara itu.

“Putraku Mahesa Muksa, hari ini kami dari tempat yang amat jauh mengarungi lautan luas hanya ingin bertemu wajah denganmu, meredam kerinduan kami hanya untuk membuktikan bahwa Guru Besar kami Danyang Dalai Lama masih hidup, masih ada jiwanya di alam dunia ini”, berkata pendeta Gunakara perlahan. Namun suasana yang begitu hening itu telah membawa suaranya didengar oleh semua para biksu di dalam maupun diluar bangunan Paseban Raya.

Terlihat Pendeta Gunakara seperti menarik nafas panjang, nampaknya ada sesuatu yang akan dikatakannya kembali.

“Putraku Mahesa Muksa, bertahun-tahun lamanya dan secara turun temurun kepemimpinan kami hanya oleh satu Maha Guru yang satu, yang selalu hidup kembali dalam wadag jiwa baru, seorang titisan sucinya. Dan hanya ada satu cara untuk kami secara turun temurun menguji kebenaran seorang titisan sejati”, berkata kembali Pendeta Gunakara sambil membuat sebuah isyarat tangan kepada salah seorang biksu.

Ternyata biksu yang diberikan isyarat tangan itu sudah mengerti, terlihat dirinya telah membawa dua buah kotak kayu hitam ke hadapan pendeta Gunakara.

“Putraku Mahesa Muksa, dua kotak kayu hitam ini berisi dua buah kitab ajaran suci kami. Namun salah satunya adalah sebuah salinan biasa. Dalam kepercayaan kami hanya guru kamilah yang dapat membedakan mana kotak kayu hitam yang berisi kitab pusaka asli”, berkata kembali pendeta Gunakara diam sejenak memperhatikan raut wajah Gajahmada yang terlihat begitu tegang mencoba menerka-nerka kemana arah pembicaraan Pendeta Gunakara itu.

“Aku yakin kamulah titisan Guru Besar kami itu yang selama ini ku bimbing sejak bayi hingga saat ini. Dan kuyakini kamulah yang dapat membedakan dimanakah kitab suci kami yang asli. Buka dan perlihatkanlah pada kami bahwa kamu sang titisan suci itu”, berkata kembali Pendeta Gunakara masih dengan memandang kearah wajah Gajahmada.

Berdebar hati Gajahmada mendengar akhir dari perkataan Pendeta Gunakara. Dirinya tidak merasa sedikitpun sebagai seorang titisan guru sakti, dan tidak mengetahui bagaimana membedakan dua kotak kayu hitam di hadapannya itu.

Berkecamuk pikiran diatas kepala anak muda itu, merasa ragu apakah dirinya dapat membedakan dua kotak kayu hitam dihadapannya itu dimana segala bentuk rupanya nampak tidak berbeda satu dengan yang lainnya.

“Bila aku dapat membuka dan memilih dengan benar, maka segera mereka akan mengangkatku sebagai pemimpin mereka, tinggal dan hidup di Vihara sebagai seorang biksu”, berkata dalam hati Gajahmada sambil dengan penuh keraguan memandang dua kotak kayu hitam di hadapannya.

Sekilas pandangan mata Gajahmada menyapu ke wajah para biksu yang terlihat begitu penuh pengharapan memintanya untuk memilih dua buah kotak kayu hitam yang ada di hadapannya sebagai sebuah ujian kebenaran seorang titisan guru suci. Karena secara turun temurun, hanya seorang guru suci saja yang dapat membedakan diantara kedua kotak kayu hitam itu dimana diletakkan kitab pusaka asli.

Terlihat Gajahmada telah menarik nafas panjang, mengendurkan segala ketegangan perasaan hatinya. Dan perlahan telah mengendapkan segala akal nalar dan budinya, segala hasrat kehendaknya dengan memusatkan diri kepada Yang Maha Hidup, pemilik segala kehendak, pemilik semua yang bernyawa, Sang Maha Tunggal.

Tiba-tiba Gajahmada melihat sebuah jalan terang, sebuah cermin dirinya berada di ujung jalan itu. Tanpa sadar Gajahmada telah melangkah memasuki jalan terang itu dan masuk ke cermin diri manunggal dengan keakuannya. Dan Gajahmada seperti masuk dalam ketiadaan, kedalam sebuah ruang kosong kehampaan.

Tersadar Gajahmada seperti tengah berlari menyusuri lorong waktu ke belakang dari masa ke masa, melihat dan membaca seluruh buku dirinya. Dan Gajahmada seperti telah mengenali siapa dirinya, seorang Guru Suci yang telah hidup sepanjang masa mengabdikan dirinya di sebuah Vihara suci.

Perlahan terlihat Gajahmada telah membuka kelopak matanya, dengan penuh kesadaran telah mengambil sebuah kotak kayu hitam di hadapannya.

“Bukalah Gunakara, kamu akan mengenalinya”, berkata Gajahmada sambil menyerahkan kotak kayu hitam kepada Pendeta Gunakara.

Terkesiap wajah Pendeta Gunakara merasa tekanan suara Gajahmada bukan lagi seperti yang dikenalnya selama ini. Dan tanpa sadar Pendeta Gunakara telah menerima kotak kayu hitam itu dari tangan Gajahmada.

Terlihat Pendeta Gunakara menarik nafas panjang mengamati kotak kayu hitam di tangannya itu. Dan perlahan Pendeta Gunakara terlihat membuka kait pengancing kotak kayu hitam itu agar dapat membukanya.

Sementara itu semua pandangan para biksu di Paseban Raya itu tertuju kepada Pendeta Gunakara yang tengah membuka kotak kayu hitam ditangannya itu.

Terlihat Pendeta Gunakara telah membuka kotak kayu hitam itu dan telah melihat sebuah kitab suci di dalamnya. Perlahan sebuah tangan Pendeta Gunakara mencoba mengambil kitab suci di dalam kotak kayu hitam yang sudah terbuka itu. Bergetar seluruh tubuh Pendeta Gunakara manakala matanya melihat sebuah benang emas menghiasi kulit muka kitab suci itu dengan sebuah tata lukis jalinan huruf yang begitu indah.

“Kitab suci yang asli”, berkata Pendeta Gunakara seperti tanpa sadar.

“Benar, kitab suci yang asli”, berkata pula Pendeta Nathabala melihat dari dekat kitab suci yang masih berada di tangan Pendeta Gunakara itu.

Begitu mendengar ucapan dua orang pendeta utama mereka yang selama hidupnya begitu dekat dengan Guru suci mereka, Damyang Dalai Lama, semua biksu di Paseban Raya itu langsung bersikap sujud penuh kehormatan dihadapan Gajahmada.

“Perkenankan diriku, Gunakara untuk sujud dihadapanmu, wahai titisan suci guru suci”, berkata Pendeta Gunakara sambil sujud penuh penghormatan dihadapan Gajahmada

“Perkenankan diriku, Nathabala untuk berbakti bersamamu, wahai titisan guru suci”, berkata pula pendeta Nathabala sambil bersikap sama sebagaimana Pendeta Gunakara dan semua biksu di Paseban Raya itu bersujud di hadapan Gajahmada.

Terlihat suasana di Paseban Raya itu menjadi begitu lengang sepi, semua orang di Paseban Raya itu seperti tidak bergerak sujud di hadapan Gajahmada yang masih terpaku seperti arca Budha ditengah para muridmuridnya yang terkasih.

“Bangunlah kalian wahai para pemilik tuntunan suci, pemegang jalan kedamaian. Salam sentosa dalam damai”, berkata Gajahmada terdengar seperti bukan lagi Gajahmada seperti biasa seorang anak muda biasa. Tapi Gajahmada saat itu seperti seorang Pendeta tua penuh kharisma dengan sorot mata penuh kasih sayang, dan raut wajah penuh kedamaian.

Mendengar suara Gajahmada, terlihat semua biksu perlahan bergerak dari sujudnya dan kembali duduk bersimpuh.

“Salam sentosa dalam damai”, berkata para biksu menyambut ucapan salam Gajahmada terdengar memenuhi Paseban Raya dan pekarangan sekitarnya.

“Salam sentosa dalam damai, keagungan Gusti Yang Maha Tunggal telah dipersembahkan di hadapan kalian, telah menganugerahkan jiwaku untuk hidup dan terlahir kembali dari masa ke masa. Namun dalam kelahirannya yang terakhir ini dihidupkan didalam sebuah wadag yang lain, jauh dibatasi laut biru dan perjalanan panjang dari Vihara pegunungan Tibet. Itu sebagai pertanda bahwa pengabdianku di bumi ini tidak lagi sebagai seorang penggembala rohani bagi jiwa-jiwa yang mencari jalan damai kesucian hati. Tapi pengabdianku di bumi ini adalah sebagai seorang ksatria memerangi musuhmusuh manusia agar keadilan tetap terjaga dan kemakmuran merata dinikmati seluruh manusia di muka bumi ini”, berkata Gajahmada diam sejenak sambil pandangannya menyapu wajah para biksu yang memenuhi seluruh bangunan Paseban Raya itu.

Sejenak suasana di atas Bangunan Paseban Raya menjadi begitu hening tanpa suara apapun seperti pemandangan dan suasana diatas sebuah altar candi para biara yang luas dan sepi.

“Relakanlah pengabdian jiwa baruku ini, bila saatnya tiba di penghujung umur ini mungkin aku akan datang kembali menemui kalian sebagaimana jiwaku di masa silam. Selama pengabdianku di bumi tempat tapak kelahiranku ini, kutitipkan dan kupercayakan kepada seorang diantara kalian yang kuyakini telah mewarisi seluruh ilmu pengetahuan serta nalar dan budi seorang guru suci. Dialah sang Budha Sidharta Gunakara yang telah membimbing dan menuntunku selama ini”, berkata kembali Gajahmada.

Kembali keheningan memenuhi suasana diatas bangunan Paseban Raya. Terlihat semua biksu seperti bisu merenungi perkataan Gajahmada, titisan guru suci mereka.

Sementara itu, sang surya di sebelah barat Paseban Raya seperti termangu semakin redup menuruni cakrawala langit biru di ujung senja itu. Terlihat sepasang elang terbang rendah menuju kearah utara perbukitan, mungkin akan kembali ke sarang mereka di puncakpuncak tinggi setelah seharian mencari mangsa di padang perburuannya.

“Rombongan para pengawal Raja”, berkata Pendeta Gunakara sambil memandang ke arah pekarangan Paseban Raya.

Ternyata sebuah rombongan pasukan pengawal Raja terlihat telah mendekati Paseban Raya. Terlihat di barisan depan Raja Ragasuci berjalan diiringi beberapa orang lain lagi.

Ketika mereka sudah semakin dekat, semua orang di Paseban Raya itu telah berdiri memberi penghormatan kepada Raja Ragasuci bersama rombongannya serta memberi jalan kepada Raja dan rombongannya masuk ke Paseban Raya lebih ke tengah lagi.

“Aku datang bersama sebuah perjamuan besar untuk para tamuku yang hari ini telah menyelamatkan istana dan keluargaku”, berkata Raja Ragasuci setelah duduk bersama di Paseban Raya itu bersama beberapa orang yang ikut dengannya, diantaranya adalah Prabu Guru Darmasiksa, Jayakatwang, Pangeran Citraganda, Putu Risang dan Pengeran Jayanagara.

Ternyata di belakang rombongan mereka berselang beberapa waktu telah datang serombongan para pelayan istana membawa berbagai macam hidangan.

“Kami akan selalu mengingat keramahan orangorang Pasundan, pintu Vihara kami akan selalu terbuka untuk membalas keramahan yang kami terima ini”, berkata Pendeta Gunakara mewakili para biksu.

Demikianlah, suasana perjamuan di atas Paseban Raya itu terlihat begitu meriah dan penuh kegembiraan hati, dan Pendeta Gunakara nampaknya seorang juru bahasa yang baik sehingga dapat melebur dua bangsa berbeda bahasa itu dalam sebuah keramahan.

Dan perlahan malam mulai terlihat menyelimuti Paseban Raya. Di ujung perjamuan itu terlihat Raja Ragasuci telah membuka pembicaraan tentang rencana mereka menghadapi para pemberontak yang masih berada di timur hutan Kotaraja Kawali.

“Ayahanda Prabu Guru Darmasiksa nampaknya punya sebuah cara untuk menghancurkan para pemberontak dari Rakata itu”, berkata Raja Ragasuci sambil tersenyum memandang kearah Ayahandanya, sang Prabu Guru Darmasiksa.

Semua perhatian di atas Paseban Raya itu terlihat mengalihkan pandangannya ke arah Prabu Guru Darmasiksa. “Kita akan menggempur mereka disaat perut mereka kosong”, berkata Prabu Guru Darmasiksa sambil tersenyum.

Mendengar perkataan Prabu Guru Darmasiksa, beberapa orang terlihat mengerutkan keningnya sebagai tanda belum dapat menangkap dan mengerti maksud dan arah perkataannya itu.

“Menggempur di saat perut kosong?”, berkata dalam hati sebagian orang di Paseban Raya itu.

Melihat semua pandangan ke arahnya, tidak mempengaruhi ketenangan Prabu Guru Darmasiksa yang nampak asyik mengelus janggut panjangnya yang sudah memutih. Hanya tersenyum mengalihkan arah pandangnya ke arah Gajahmada.

“Sabarlah, akan dijelaskan. Namun bukan aku yang menjelaskannya, melainkan Mahesa Muksa yang sudah dapat membaca isi kepalaku”, berkata Prabu Guru Darmasiksa masih sambil tersenyum.

Terlihat saat itu perhatian di atas Paseban Raya itu beralih kearah Gajahmada.

“Baiklah, aku tidak akan melempar ke lain orang lagi”, berkata Gajahmada ikut tersenyum.

Maka dengan perlahan Gajahmada mencoba merinci tentang perkataan Prabu Guru Darmasiksa melakukan penyerangan di saat perut kosong. Dikatakan bahwa Pasukan Rakata pastinya hanya membawa perbekalan sepanjang perjalanan mereka dari Kotaraja Rakata sampai ke Kotaraja Kawali ditambah sekitar tiga malam beristirahat.

“Saat ini mereka sudah hampir tiga malam menghabiskan perbekalan mereka, ditambah sekitar lima ratus orang pasukan yang dibawa oleh Patih Anggajaya di hutan timur Kotaraja Kawali pastinya akan menipiskan persediaan mereka semakin berkurang lagi”, berkata Gajahmada berhenti sebentar sambil menyapu pandangannya ke semua orang di Paseban Raya itu.

“Kita hanya menunggu mereka keluar hutan seperti serigala lapar yang akan merampok di sekitar Padukuhan terdekat, di saat itulah kita gunting rampasan mereka dan menyergap pasukan yang kelaparan itu di hutan persembunyiannya”, berkata kembali Gajahmada.

“Sebuah rencana perang yang hebat”, berkata Jayakatwang memuji.

“Terima kasih telah menguraikan isi kepalaku, tapi jujur kukatakan bahwa Mahesa Muksa nampaknya lebih sempurna lagi mengurai rencanaku dengan menambahkan pengguntingan hasil perampokan mereka di Padukuhan terdekat. Dan aku menyukai penyempurnaan itu”, berkata Prabu Guru Darmasiksa sambil mengacungkan jempolnya kearah Gajahmada.

“Hari ini aku telah mendapat laporan dari petugas telik sandi bahwa kekuatan mereka ada sekitar seribu lima ratus orang. Untuk mengimbangi mereka, aku akan menurunkan dua ribu pasukanku”, berkata Raja Ragasuci.

“Bila dibutuhkan, seribu para biksu akan siap membantu para prajurit Kawali”, berkata Pendeta Gunakara menawarkan bantuannya.

“Terima kasih, entah dengan apa kami dapat membalas budi kebaikan kalian”, berkata Raja Ragasuci.

“Anggap saja kami sebagai orang yang kebetulan lewat, melihat sebuah keluarga yang memerlukan sebuah bantuan”, berkata Pendeta Gunakara.

“Untuk sebagai langkah awal, besok pagi kita sudah dapat menurunkan beberapa orang di sekitar Padukuhan terdekat menunggu sekumpulan serigala kelaparan keluar hutan persembunyiannya”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Ijinkan cucunda ikut dalam pasukan penyergap itu”, berkata Pangeran Citraganda.

“Kita memang perlu anak muda untuk penyergapan itu, Mahesa Muksa, Pangeran Jayanagara dan Putu Risang akan menemani Pangeran Citraganda”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

“Kita memang tidak perlu pasukan besar untuk sebuah penyergapan awal, ijinkan hamba membawa sepuluh biksu yang terbaik”, berkata Gajahmada memberikan usulan kepada Raja Ragasuci.

“Kepemimpinan sekelompok pasukan penyergap itu kuserahkan kepadamu Mahesa Muksa”, berkata Raja Ragasuci yang sudah mulai menyukai sikap Gajahmada yang dilihatnya berbakat besar untuk menjadi seorang pemimpin.

Sementara itu malam terlihat sudah terus merayap menyelimuti Paseban raya. Namun suasana percakapan di Paseban Raya masih saja terus berlanjut. Banyak hal yang mereka putuskan bersama tentang rencana penerangan para pemberontak dari Rakata. Diantaranya tentang tanda-tanda khusus para prajurit yang harus dibedakan serta bendera dan umbul-umbul di medan perang sebagai bahasa isyarat mereka.

“Nampaknya suasana di Paseban Raya ini sudah menjadi begitu dingin, atau karena usiaku?”, berkata Prabu Guru Darmasiksa ketika mereka merasa sudah mendapatkan beberapa kesepakatan.

“Ayahandaku memang sangat pandai berbahasa halus, maksudnya memang hari sudah cukup malam dan kita memang perlu beristirahat”, berkata Raja Ragasuci sambil tersenyum mencoba menerjemahkan ucapan Ayahandanya itu.

Demikianlah, Raja Ragasuci bersama rombongannya telah meninggalkan Paseban Raya.

“Aku akan mengutus seorang prajurit untuk membawakan pakaian untukmu”, berkata pangeran Citraganda berbisik kepada Gajahmada ketika hendak pergi mengikuti rombongan Raja Ragasuci.

“Terima kasih”, berkata Gajahmada dengan wajah penuh senyum baru menyadari bahwa dirinya masih berpakaian seorang tahanan, pakaian yang sama dipakai oleh para biksu dari Tibet itu.

Sementara itu dua pohon beringin putih yang mengapit bangunan Paseban Raya di kiri kanannya di malam itu terlihat seperti raksasa kembar yang suram begitu kelam sedikit mengurangi hempasan angin dingin malam para biksu yang beristirahat di  panggung Paseban Raya itu.

Beberapa orang biksu mungkin karena lelahnya sudah terlihat tertidur begitu pulas. Sementara beberapa orang biksu lagi masih terlihat berbincang-bincang mengisi malam yang dingin dan sepi.

“Aku akan menyertakan sepuluh biksu terbaik untukmu besok pagi”, berkata Pendeta Gunakara kepada Gajahmada yang masih terjaga.

“Terima kasih”, berkata Gajahmada kepada Pendeta Gunakara.

“Hari-hariku terasa begitu cepat, kita akan berpisah jauh berbatas lautan”, berkata Pendeta Gunakara  kepada Gajahmada.

“Di ujung umurku, mungkin aku akan datang menemuimu mengisi hari-hari tuaku disana”, berkata Gajahmada penuh haru memandang wajah orang tua di hadapannya itu yang selama ini selalu hadir disisinya menjadi pengasuhnya dan begitu tulus penuh kasih sayang menjaganya.

Sementara itu langit malam di atas Paseban Raya terlihat buram dipenuhi awan gelap. Nampaknya sebentar lagi pasti akan turun hujan. Perlahan, terdengar suara air hujan rintik diatas istana Kawali dan melebar merata membasahi jalan-jalan kotaraja Kawali.

Hujan malam membuat suasana menjadi begitu lengang dan kelam. Tidak ada seorang pun yang melihat sesosok bayangan terlihat mendekati dinding pagar bagian belakang kediaman Patih Anggajaya.

Begitu mudahnya sosok bayangan itu memanjat dinding pagar batu rumah kediaman Patih Anggajaya. Ketika memastikan tidak seorang pun melihatnya, sosok bayangan itu telah melompat dan merapat di dinding pagar batu bagian dalam rumah itu.

Sosok bayangan itu tidak menyadari ada sepasang mata telah mengintainya di sebuah tempat tersembunyi.

“Aku tidak sendiri”, berkata dalam hati pemilik sepasang mata yang telah melihat sosok bayangan itu melesat mendekati sebuah bangunan bilik bagian belakang rumah kediaman Patih Anggajaya.

“Apa yang dicari orang itu?”, berkata kembali orang itu ketika melihat sesosok bayangan tengah mengintip lewat bilik bambu apakah penghuni bilik itu sudah tertidur.

Perlahan orang itupun bergeser membayangi sosok bayangan yang telah melangkah mendekati pintu bilik.

“Bibi Ijah, cepat buka pintunya. Aku Bango Samparan”, berkata sosok bayangan itu sambil  mengetuk pintu kayu bilik itu.

Rupanya sosok bayangan itu telah mengintip dari  bilik bambu dan telah memastikan bahwa penghuninya yang dipanggilnya Bibi Ijah itu memang belum tertidur, itulah sebabnya sosok bayangan itu telah memberanikan dirinya mengetuk dan memanggil penghuni di dalamnya.

“Tuan Bango Samparan?”, berkata Bibi Ijah menyebut sebuah nama yang baru saja didengarnya itu.

“Benar, aku Bango Samparan. Bukalah pintunya”, berkata kembali sosok bayangan itu.

Terlihat sebuah pintu kayu bilik itu telah bergerak perlahan. Akhirnya pintu kayu bilik itu telah terbuka.

Cahaya pelita malam di dalam bilik itu telah menerangi wajah sosok bayangan itu. Ternyata benar bahwa orang itu adalah Bango Samparan, sang majikan Rawa Rontek.

“Apakah Bibi Ijah masih mengenaliku?”, berkata Bango Samparan kepada seorang wanita tua yang telah menjengukkan wajahnya keluar pintu biliknya.

“Lama sekali hamba tidak melihat tuan, tapi hamba tidak akan melupakan wajah tuan”, berkata wanita itu yang tidak lain adalah Bibi Ijah, pengasuh Nyi Dewi Kaswari yang sangat setia itu. “Aku hanya sebentar, aku hanya ingin memberi kabar tentang Andini”, berkata Bango Samparan.

“Setiap hari dan sepanjang hari, Nyi Mas Dewi Kaswari selalu memikirkan keadaan Andini”, berkata Bibi Ijah sambil membuka pintu lebih lebar lagi.

“Seseorang telah melukainya. Untunglah Mahesa Muksa dapat membawanya ke Padepokan Prabu Guru Darmasiksa dan berhasil menawarkan racun di lukanya itu”, berkata Bango Samparan sedikit bercerita tentang kepergian Andini dari rumah Patih Anggajaya bersama Mahesa Muksa.

“Bagaimana keadaan gadis itu sekarang?”, bertanya Bibi Ijah dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Sudah berangsur sembuh”, berkata Bango Samparan kepada Bibi Ijah.

Terlihat Bibi Ijah menarik nafas lega mendengar keadaan Andini.

“Siapakah orang yang begitu keji telah melukai gadis tidak berdosa itu?”, berkata Bibi Ijah sambil memicingkan kelopak matanya.

“Sayang sampai saat ini kami belum dapat mengetahui siapa orang keji itu”, berkata Bango Samparan dengan memperlihatkan wajah penuh dendam kepada orang yang belum diketahuinya itu yang telah melukai anak gadis kesayangannya itu. Seandainya Bango Samparan ikut ke hutan Sindur bersama Prabu Guru Darmasiksa, pasti akan mengetahui perkembangan terakhir keadaan istana Kawali dan mengetahui siapa orang berpakaian serba hitam yang telah melukai Andini itu yang tidak lain adalah Pendeta Rakanata.

“Kabarkan kepada Dewi Kaswari bahwa Andini telah berada ditempat yang aman bersamaku”, berkata Bango Samparan.”Maaf, aku harus segera keluar dari rumah ini sebelum diketahui siapapun”, berkata kembali Bango Samparan sambil berpamit diri kepada Bibi Ijah.

“Hamba akan menyampaikan pesan tuan bahwa putrinya dalam keadaan baik-baik saja, berhati-hatilah”, berkata Bibi Ijah sambil menarik nafas panjang memandang wajah Bango Samparan yang sudah begitu lama tidak pernah dijumpainya itu.

Perlahan pintu kaya bilik itu telah rapat tertutup kembali, perlahan Bango Samparan berbalik badan melangkah mengendap-endap mendekati dinding pagar batu bagian belakang. Sebentar Bango Samparan memastikan tidak seorang pun melihat dirinya. Dan dengan sebuah ayunan kaki tubuh Bango Samparan sudah melejit melompati dinding pagar batu rumah kediaman patih Anggajaya itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar