Kisah Dua Naga Di Pasundan Jilid 07

TIDAK ada kejadian apapun selama di perjalanan mereka. Jarak antara Gunung Galunggung dan Kotaraja Kawali memang tidak begitu jauh. Ketika matahari terlihat mulai meredup menjelang senja mereka telah berada di sebuah lereng Gunung Galunggung.

“Kami di sini selalu menunggu kabar dari kalian”, berkata Prabu Guru Darmasiksa menyambut kedatangan mereka. Maka Putu Risang telah memperkenalkan Bango Samparan kepada semua yang hadir di atas pendapa Padepokan Prabu Guru Darmasiksa dimana saat itu juga hadir Jayakatwang dan Pendeta Gunakara.

Setelah bersih-bersih diri di pakiwan dan beristirahat dengan cukup, akhirnya Putu Risang telah bercerita cukup rinci sebuah perkembangan yang ada di Kotaraja Kawali.

“Jadi Patih Anggajaya akan menggunakan tangan Adipati Suradilaga untuk membunuh Raja Ragasuci”, berkata Prabu Guru Darmasiksa setelah mendengar semua cerita dari Putu Risang.

“Masa perburuan direncanakan pada purnama bulan depan” berkata Pangeran Citraganda menambahkan.

“Kita buat sebuah jebakan dimana Patih Anggajaya akan termakan oleh senjatanya sendiri” berkata Prabu Guru Darmasiksa membuat sebuah siasat.

“Cucunda belum dapat memahami apa yang Eyang Prabu maksudkan”, bertanya Pangeran Citraganda yang belum mengerti arah pembicaraan Prabu Guru Darmasiksa.

Terlihat Prabu Guru Darmasiksa tidak langsung menjawab pertanyaan Pangeran Citraganda, hanya sedikit tersenyum mendengar pertanyaan dari cucunya itu.

“Kita harus dapat membuka mata hati Adipati Suradilaga, dengan cara itu kita sudah dapat menjadikannya kawan sekutu yang baik”, berkata Prabu Guru Darmasiksa sambil memandang kearah semua yang hadir di pendapa padepokannya.

“Sekarang cucunda baru paham” berkata pangeran Citraganda sambil manggut-manggut tanda sudah memahami apa yang ada dalam pikiran kakeknya itu.

“Sekarang siapa yang dapat mendatangi Adipati Suradilaga itu?” bertanya Pangeran Jayanagara.

Mendengar pertanyaan Pangeran Jayanagara itu, terlihat semua mata telah mengarahkan pandangannya kearah Pangeran Citraganda. Semua orang diatas pendapa Padepokan itu nampaknya telah berharap banyak kepada pangeran Citraganda, karena dialah yang mungkin dapat membuka mata hati Adipati Suradilaga, terutama tentang lamaran palsu antara Pangeran Citraganda dengan seorang putri seorang Tumenggung yang sengaja disebarkan oleh Patih Anggajaya.

“Kamulah yang akan dapat mendekati Adipati Suradilaga”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Pangeran Citraganda.

“Cucunda akan segera berangkat besok ke Singaparna menemui Adipati Suradilaga” berkata pangeran Citraganda menyanggupinya.

“Patih Anggajaya telah banyak mempengaruhi beberapa kesatuan prajurit di Kotaraja Kawali, akan banyak korban sesama kita sendiri bila kita beradu tangan menghadapinya langsung”, berkata Prabu Guru Darmasiksa mencoba melemparkan sebuah pandangannya.

“Kita buat sebuah pemberontakan palsu yang dapat mengalihkan sebagian prajurit agar tidak terpusat kepada kepentingan Patih Anggajaya di hutan perburuan di hutan Sindur”, berkata Jayakatwang memberikan sebuah pendapat.

“Sebuah pendapat yang cemerlang, kita alihkan sebagian prajurit ke sebuah pemberontakan palsu. Mudah-mudahan Adipati Suradilaga dapat memainkan peran ganda itu”, berkata Prabu Guru Darmasiksa menyetujui usulan Jayakatwang.

“Kita akan membuat Patih Anggajaya seperti hewan perburuan yang terkejut”, berkata Pangeran Citraganda memahami jalan pikiran Kakeknya itu.

“Apa pendapat Ayahandamu manakala kamu ceritakan tentang rencana busuk Patih Anggajaya?” bertanya Prabu Guru Darmasiksa kepada Pangeran Citraganda.

“Pada awalnya Ayahanda tidak percaya, tapi setelah cucunda jelaskan bahwa Eyang Prabu telah mengamati sejak jauh-jauh hari, maka Ayahanda menunggu semua keputusan dan rencana kepada Eyang Prabu” berkata Pangeran Citraganda mengenai sikap Ayahandanya itu.

“Besok kamu akan berangkat ke Singaparna, semoga tugasmu dapat terlaksana dengan baik. Semua rencana kita masih menunggu bagaimana sikap Adipati Suradilaga setelah kamu kunjungi”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Pangeran Citraganda.

“Cucunda mohon doa restu dari Eyang Prabu”, berkata Pangeran Citraganda penuh hormat.

“Ki Lurah Prajoga adalah seorang prajurit yang sangat setia kepada Raja. Kita dapat menjadikannya sebagai sekutu yang baik”, berkata Putu Risang sambil bercerita tentang sebuah kejadian yang pernah terjadi atas diri Ki Lurah Prajoga dan pasukannya itu yang bermula penolakan Ki Lurah Prajoga menjadi tumbal arang.

“Bagus, semakin banyak sekutu, tugas kita akan semakin ringan”, berkata Prabu Guru Darmasiksa.

Demikianlah, malam itu di pendapa Padepokan Prabu Guru Darmasiksa masih berlanjut membicarakan apa yang akan mereka lakukan menghadapi Patih Anggajaya di hutan perburuan.

Dan ketika hari sudah menjelang datang pagi, terlihat mendung begitu pekat menghalangi jarak pandang menyelimuti padepokan Prabu Guru Darmasiksa di lereng Gunung Galunggung itu.

“Semoga Gusti Yang Maha Agung merestui perjalanan kalian, mendung begitu pekat di awal pagi pertanda hari ini akan menjadi cerah sepanjang hari”, berkata Prabu Guru Darmasiksa mengantar kepergian Pangeran Citraganda dan kelompok Putu Risang.

Sebagaimana sudah diatur sebelumnya bahwa Pangeran Citraganda akan berangkat menuju Singaparna guna menemui Adipati Suradilaga. Sementara Putu Risang, Pangeran Jayanagara dan Bango Samparan akan kembali ke Kotaraja Kawali.

Dan di sebuah persimpangan jalan, terlihat Pangeran Citraganda telah mengambil arah jalan selatan.

“Kutunggu kabarmu di Kotaraja Kawali”, berkata Pangeran Jayanagara kepada Pangeran Citraganda sambil melambaikan tangannya mengambil arah ke utara di persimpangan jalan itu.

Sebagai seorang muda yang sering banyak pergi mengembara, Pangeran Citraganda sudah mengetahui arah jalan menuju daerah Singaparna.

Dan hari masih belum senja ketika Pangeran Citraganda sudah memasuki daerah Singaparna. Tidak sukar mencari rumah kediaman seorang Adipati Suradilaga di daerah itu.

Bukan main terkejutnya Adipati Suradilaga manakala mengetahui bahwa tamu yang datang ke rumahnya adalah Pangeran Citraganda.

“Entah angin apa yang telah membawa Pangeran datang di kediaman hamba ini” berkata Adipati Suradilaga yang telah mengenal Pangeran Citraganda.

“Hanya angin yang bertiup penuh kerinduan”, berkata pangeran Citraganda sedikit senyum berusaha mengurangi ketegangan di wajah Adipati Suradilaga.

“Hamba jadi semakin berdebar, pastinya ada sebuah kabar yang Pangeran bawa dari istana Kawali”, berkata Adipati muda itu masih penuh tanya di kepalanya tentang kedatangan Pangeran putra mahkota itu di rumahnya.

“Aku memang sengaja datang menemuimu guna meluruskan sebuah masalah”, berkata Pangeran Citraganda masih dengan sebuah senyum penuh persahabatan.

“Meluruskan sebuah masalah?” berkata Adipati Suradilaga.

“Benar, meluruskan sebuah masalah”, berkata kembali Pangeran Citraganda

“Masalah apa?” bertanya Adipati Suradilaga mencoba menerka-nerka didalam pikirannya.

Namun akhirnya Adipati tidak perlu banyak menerkanerka ketika Pangeran Citraganda langsung memberikan sebuah penjelasan tentang sebuah berita bohong  tentang sebuah lamaran putri seorang Tumenggung.

“Tentang perjodohan itu hanyalah berita kebohongan yang sengaja ingin merusak hubungan dirimu dengan keluarga Istana”, berkata Pangeran Citraganda meyakinkan Adipati Suradilaga.

Pangeran Citraganda melihat raut wajah Adipati Suradilaga sudah sedikit mengendur.

“Di mata Ayahanda Baginda Raja, kamu adalah seorang pahlawan Kawali yang setia. Sudah sepatutnya beliau mengangkat dirimu menjadi seorang Adipati di Singaparna ini untuk menjaga penuh kesetiaan tanah dan bumi Singaparna, dan bukan mengucilkan dirimu jauh dari Kotaraja Kawali”, berkata Pangeran Citraganda sambil memperhatikan sikap dan raut muka Adipati Suradilaga yang seperti tengah merenungi sesuatu. “Buang jauh-jauh perasaan disingkirkan, sadarlah dirimu tengah diperalat oleh seseorang”, berkata kembali Pangeran Citraganda.

Tercengang Adipati Suradilaga mendengar kata-kata terakhir Pangeran Citraganda itu.

“Istana telah mengetahui hubungan hamba dengan orang itu?” bertanya Adipati Suradilaga dengan suara gemetar merasa telah melakukan sebuah kesalahan besar.

“Kami sudah mengetahui banyak, tidak usah merasa bersalah karena itu bukan kesalahanmu. Yang kami butuhkan darimu saat ini adalah sebuah kerja sama. Sebuah jalan guna menunjukkan kesetiaanmu yang tinggi kepada kami”, berkata Pangeran Citraganda.

“Terima kasih telah mengampuni dosa besar hamba, katakan kesetiaan apa yang dapat hamba tunjukkan. Selama dapat hamba pikul dan junjung, selama itu akan hamba laksanakan” berkata Adipati Suradilaga dengan suara penuh kesungguhan. Maka akhirnya dengan perlahan Pangeran Citraganda mencoba menjelaskan sebuah rencana sebagaimana yang telah didengar dari Prabu Guru Citraganda.

“Kita akan menjebak Patih Anggajaya di hutan perburuan”, berkata Pangeran Citraganda mengakhiri penjelasannya.

“Dihadapan Pangeran, hamba menjadi merasa begitu kerdil, hamba merasa malu telah masuk dalam penjara hasutan. Patih Anggajaya telah mencoba membakar api amarah kepada hamba”, berkata Adipati Suradilaga sambil menundukkan wajahnya.

“Lupakan yang telah terjadi, siapapun kadang salah langkah. Siapkan diri kita untuk menghadapi bulan purnama di hutan perburuan”, berkata Pangeran Citraganda.

Maka kembali Pangeran Citraganda menjelaskan dengan rinci apa yang dapat mereka lakukan di hutan perburuan nanti kepada Adipati Suradilaga.

Sementara itu hari terlihat sudah mulai datang malam, Adipati Suradilaga tidak juga dapat memaksa Pangeran Citraganda untuk menginap bermalam di rumahnya.

“Waktuku begitu sangat singkat, aku harus segera kembali menghadap Eyang Prabu Guru dan ke Kotaraja Kawali menghadap Ayahanda Baginda Raja”, berkata pangeran Citraganda yang dengan halus mencoba menolak permintaan Adipati Suradilaga untuk bermalam di kediamannya.

“Pada saat berbeda, hamba akan  memaksa pangeran bermalam di Singaparna ini”, berkata Adipati Suradilaga ketika mengantar Pangeran Citraganda hingga ke regol pintu gerbang rumahnya.

Demikianlah, Adipati Suradilaga masih dapat melihat bayangan punggung Pangeran Suradilaga dan kudanya yang akhirnya lenyap dikejauhan terhalang kegelapan malam.

Pangeran Citraganda sepertinya tidak ingin membuang waktu sedikit pun, terlihat terus berjalan dengan kudanya meski sudah jauh malam.

Perjalanan malam Pangeran Citraganda memang tidak sebagaimana di siang hari. Pangeran Citraganda tidak memacu kudanya dengan cepat, hanya terkadang manakala berada di jalan lapang dengan penerangan cahaya langit malam terlihat telah memacu laju kudanya berlari menembus angin malam. Namun, karena perjalanan dari Singaparna menuju Gunung Galunggung melewati beberapa hutan pepat, terpaksa Pangeran Citraganda harus bersabar dengan membawa kudanya berjalan menembus lebatnya hutan.

Hingga akhirnya, ketika langit malam telah mulai berganti memerah sebagai tanda sang pagi akan datang berganti, terlihat Pangeran Citraganda telah berada di sekitar kaki Gunung Galunggung.

“Pasti kamu lelah setelah berjalan sepanjang malam”, berkata Pangeran Citraganda sambil mengusap-ngusap perut kudanya ketika telah turun dari punggung kudanya.

Pangeran Citraganda menuntun tali kudanya ke sebuah pohon rindang di sebuah tepian hutan di sekitar kaki Gunung Galunggung. Di sebuah pohon besar diantara tanah lapang berbatu, Pangeran Citraganda telah merebahkan tubuhnya bersandar di pohon besar itu. Demikianlah, Pangeran Citraganda tidak langsung naik ke atas lereng Gunung Galunggung, tapi beristirahat sejenak sambil menunggu datang pagi menjadi terang tanah.

Ketika matahari terlihat telah menyinari tanah lapang berbatu itu, terlihat Pangeran Citraganda bangkit berdiri menghampiri kudanya yang nampaknya sudah kenyang menikmati rumput-rumput hijau yang tumbuh diantara sela-sela bebatuan.

“Kita lanjutkan perjalanan kita”, berkata Pangeran Citraganda sambil mengusap perut kudanya dan langsung melompat keatas punggung kuda.

Angin pagi terlihat menyapu pangeran muda itu yang tampan itu. Kuda tunggangannya yang berwarna putih totol belang hitam di lehernya itu sepertinya sudah tahu sendiri jalan pulang menuju Padepokan Prabu Guru Darmasiksa di lereng Gunung Galunggung itu.

“Cepat bersih-bersih dan beristirahat, nampaknya semalaman kamu berkuda”, berkata Prabu Guru Darmasiksa kepada Pangeran Citraganda ketika sudah tiba di Padepokan.

“Cucunda sudah beristirahat cukup di kaki gunung menunggu terang tanah”, berkata Pangeran Citraganda sambil tersenyum kepada kakeknya itu.

Demikianlah, setelah bersih-bersih di pakiwan,  terlihat Pangeran Citraganda langsung menuju pendapa Padepokan dimana sudah menunggu kakeknya, juga terlihat ada Jayakatwang dan pendeta Gunakara disana.

“Adipati Suradilaga bersedia bekerja sama dengan kita”, berkata Pangeran Citraganda.

Terlihat Prabu Guru Darmasiksa menarik nafas lega mendengar laporan Pangeran Citraganda itu.

“Syukurlah bila demikian adanya, artinya kita telah meredam sebuah anak panah mereka. Saatnya kita membuat rapuh kekuatan mereka”, berkata Prabu Guru Darmasiksa sambil meraba janggut putihnya, sepertinya tengah berpikir mencari sebuah jalan.

“Patih Anggajaya telah menyusupkan sebuah kekuatan dalam pasukan prajurit Kawali lewat penggalangan beberapa perwira yang berasal dari asalnya sendiri, kotaraja Rakata”, berkata Pangeran Citraganda memberikan sebuah pemandangan yang terjadi dalam setiap kesatuan prajurit Kawali saat itu.

“Kita coba merusaknya dengan cara yang sama, menyusupkan para putra daerah dalam kesatuan prajurit yang sama”, berkata Prabu Guru Darmasiksa dengan wajah penuh cerah seperti telah menemukan sebuah jalan. ”Sampaikan kepada ayahandamu agar mengangkat para putra daerah, mereka pasti punya kesetiaan yang lebih kuat dari para orang Rakata itu”, berkata kembali Prabu Guru Darmasiksa.

Terlihat Jayakatwang manggut-manggut sendiri sepertinya menyetujui usulan Prabu Guru Darmasiksa tentang memecah kekuatan lawan.

Sementara itu Pendeta Gunakara terlihat diam membisu, bagi dirinya apapun bentuk peperangan hanya akan melahirkan banyak penderitaan. Terlihat sinar matanya seperti terbang menyaksikan sebuah peperangan antara manusia, sesama saudara.

“Siang ini cucunda akan kembali ke istana Kawali, semua rencana dari Prabu Guru Darmasiksa akan cucunda sampaikan kepada Ayahanda Baginda Raja”, berkata Pangeran Citraganda. “Sampaikan salamku kepada Ayahandamu, kami dari Padepokan Lereng Galunggung akan turun gunung siap berada dibelakang para prajurit Kawali”, berkata Prabu Guru Darmasiksa sambil menambahkan beberapa usulan rencana menghadapi Patih Anggajaya di hutan perburuan, hutan Sindur.

Demikianlah, ketika matahari telah mulai condong bergeser sedikit dari puncaknya, terlihat seorang penunggang kuda telah keluar dari regol gerbang Padepokan Prabu Guru Darmasiksa. Siapa lagi penunggang kuda berwarna putih totol hitam di lehernya itu bila bukan Pangeran Citraganda.

Saat itu memang Pangeran Citraganda baru saja keluar dari regol gerbang Padepokan menuju Kotaraja Kawali.

Sementara itu di waktu yang sama di taman Kaputrian istana Kawali, terlihat seorang gadis jelita tengah duduk di pinggir sebuah kolam dinaungi sebuah pohon rangon kuning yang tengah berbunga.

Wajah gadis itu begitu suram tidak bergairah, beberapa inang pengasuh tidak berani mendekatinya takut terkena sasaran kekesalannya.

Terlihat ikan sepat kecil bergerombol mengelilingi pinggir kolam sambil sesekali merobek lumut hijau yang tumbuh subur di pinggiran kolam. Tapi mata gadis itu seperti tidak bergeming sedikitpun, tubuhnya seperti patung diam membisu memandang kosong kearah air kolam yang bening penuh tanaman teratai putih.

Ternyata gadis jelita bunga taman Kaputrian istana Kawali itu adalah sang putri Dyah Rara Wulan.

Hati dan perasaan Dyah Rara Wulan memang tengah gundah gulana, hati dan perasaannya tengah terbakar api cemburu sejak mendengar bahwa Andini telah tinggal di rumah kediaman Patih Anggajaya di mana di tempat yang sama Gajahmada juga tengah bertugas di sana.

“Aku takut mendekati Cah Ayu untuk mengingatkannya bahwa makan siang sudah disiapkan”, berkata seorang inang pengasuh kepada seorang lelaki petugas pengalasan tidak jauh dari tempat sang putri duduk di pinggir kolam.

“Kukira hati seorang putri seperti Cah Ayu dan juga para penggede tidak akan pernah gundah seperti diriku”, berkata lelaki pengalasan itu sambil tersenyum kepada wanita inang pengasuh itu.

“Manusia siapapun orangnya pasti sama, bisa senang gembira, kadang berduka”, berkata wanita inang pengasuh itu.

“Apa yang telah membuat Cah Ayu berduka?, semua serba berkecukupan bahkan berlebihan menurutku”, berkata sang pengalasan itu.

“Semula aku berpikir seperti itu, enak sekali terlahir sebagai putra dan putri seorang Raja. Namun ternyata aku melihat mereka kadang berwajah tidak bahagia seperti saat ini pada diri Cah Ayu. Akhirnya aku berpikir bahwa bukan harta yang bergelimang akan membuat hati seorang bisa selalu senang, tapi kesenangan itu milik Gusti Yang Maha Agung, Dialah yang memilih siapa diberikan rasa senang hari ini, siapa pula yang ditarik rasa senangnya hari ini. Dia pula yang mempunyai rasa susah, memberikan dan menariknya dari hati kita”, berkata wanita sang inang pengasuh kepada lelaki pengalasan kawannya itu.

“Kamu berbicara seperti sang pendeta”, berkata kawannya lelaki pengalasan itu seperti tidak percaya kalimat bermakna itu keluar dari mulut seorang wanita seorang inang pengasuh.

“Sang putri sering memintaku membacakan untuknya sebuah kitab”, berkata wanita inang pengasuh itu sambil tersipu malu.

Namun arah pandangan mereka terlihat berpaling bersama kearah pintu gerbang taman Kaputrian melihat seorang prajurit penjaga datang menghampiri mereka.

“Ada seorang prajurit muda ingin bertemu dengan tuan putri”, berkata prajurit penjaga itu.

“Aku akan menyampaikannya kepada tuan putri”, berkata inang pengasuh itu sambil berjalan mendekati Dyah Rara Wulan.

“Prajurit penjaga menyampaikan bahwa ada seorang prajurit muda ingin bertemu dengan Cah ayu”, berkata inang pengasuh itu kepada Dyah Rara Wulan.

Mendengar perkataan wanita itu, terlihat wajah Dyah Rara Wulan langsung berubah penuh keceriaan membuat wajah inang pengasuh itu ikut menjadi ceria melihat wajah majikannya itu.

“Katakan bahwa segera aku akan menemuinya”, berkata Dyah Rara Wulan kepada wanita itu.

“Siapa seorang pemuda yang telah dapat merubah perasaan Cah Ayu menjadi begitu penuh kegembiraan?”, berkata inang pengasuh itu dalam hati sambil berjalan mendekati prajurit penjaga yang tengah menunggunya itu.

Siapa prajurit muda yang datang ingin bertemu dengan sang putri?. Lelaki muda itu ternyata adalah Gajahmada, sorang anak muda yang baru diangkat menjadi seorang prajurit pengawal.

Memang, siapapun lelaki didunia ini harus punya sebuah nyali guna mendatangi seorang gadis, putri siapapun, putri pembesar atau putri orang biasa.

Gajahmada, adalah lelaki pertama yang datang ke istana untuk menemui sang putri Raja telah membuat beberapa prajurit pengawal istana saling berbisik kepada kawannya sendiri, mereka sangsi apakah benar yang mereka saksikan bahwa ada seorang pemuda, prajurit biasa ingin bertemu dengan putri Raja, majikan mereka.

“Apakah tuan putri Dyah Rara Wulan yang memintamu datang ke istana ini untuk menemuinya?”, bertanya seorang prajurit penjaga yang merasa sangsi apa benar anak muda ini ingin bertemu dengan majikannya, atau jangan-jangan anak muda itu sedikit kurang akal, demikian yang ada dalam pikiran beberapa prajurit penjaga yang tengah bertugas siang itu.

“Tuan Putri tidak memintaku, tapi Pangeran Citraganda yang memintaku datang menemui tuan putri”, berkata Gajahmada dengan suara datar apa adanya.

“Kamu mengenal Pangeran Citraganda?” bertanya kembali prajurit penjaga itu sambil memandang Gajahmada dari bawah kaki hingga kepala seperti tidak percaya melihat Gajahmada seorang prajurit biasa telah mengenal Pangeran Citraganda, majikannya.

Namun Gajahmada tidak langsung menjawab, karena dari kejauhan telah melihat seorang gadis datang menghampirinya bersama dengan seorang wanita tua.

Ketika Gadis dan wanita tua itu semakin mendekat, ternyata mereka adalah Dyah Rara Wulan yang datang bersama inang pengasuhnya. Gajahmada memang belum sempat menjawab pertanyaan prajurit penjaga itu karena Dyah Rara Wulan sudah datang mendekatinya dan langsung menarik tangannya mengajaknya keluar pintu gerbang istana.

Beberapa prajurit penjaga yang melihat semua itu seperti ternganga, mereka menjadi seperti iri melihat keberuntungan Gajahmada, seorang yang mereka kenal hanya sebagai prajurit ternyata begitu dekat dengan majikan mereka, sang putri Raja.

“Ternyata anak muda ini yang telah membuat majikanku ini sering melamun seorang diri”, berkata sang inang pengasuh sambil berjalan di belakang mereka berdua, Gajahmada dan Dyah Rara Wulan yang telah berada di luar Istana.

Namun wanita sederhana yang belum nampak begitu tua itu berusaha menutup diri untuk menilai apapun. Juga cara pandangnya menghadapi seorang prajurit biasa sebagaimana Gajahmada. Yang ada dalam pikiran wanita sederhana itu bahwa dirinya harus menghargai Gajahmada sebagai kawan dekat majikannya itu.

Dan wanita setengah baya itu ikut gembira melihat kecerihan memenuhi wajah junjungannya itu.

“Ternyata kamu sangat berani datang menemuiku di istana”, berkata Dyah Rara Wulan sambil memandang ke arah pemuda yang telah mencuri hatinya itu.

“Kakakmu Pangeran Citraganda yang telah memintaku untuk datang menemuimu”, berkata Gajahmada dengan suara datar sambil terus berjalan mengikuti langkah Dyah Rara Wulan.

“Jadi kamu datang menemuiku hanya karena permintaan kakakku?” berkata Dyah Rara Wulan sambil menghentikan langkahnya.

Terlihat Gajahmada ikut berhenti melangkah, sejenak memandang wajah Dyah Rara Wulan yang semula  penuh ceria telah berubah seketika menjadi wajah cemberut masam.

“Adakah yang salah dalam ucapanku?” berkata Gajahmada dalam hati.

“Bukan hanya permintaan kakakmu, tapi keinganku kebetulan beriring ingin bertemu denganmu”, berkata Gajahmada sambil memenuhi bibirnya dengan sebuah senyuman.

Terlihat Dyah Rara Wulan menarik nafas panjang mendengar perkataan Gajahmada, juga senyum pemuda itulah yang membuat dirinya tergoda dengannya.

“Aku lapar, kita ke kedai yang ada dipasar tempat kita pernah makan bersama”, berkata Dyah Rara Wulan seperti telah melupakan masalah tentang kedatangan Gajahmada menemui dirinya.

Terlihat mereka kembali melangkah bersama berjalan di jalanan Kotaraja Kawali yang masih cukup ramai itu.

Sementara itu beberapa orang yang umumnya telah mengenal putri Raja itu tidak pernah lepas memandang Gadis manis itu, juga pemuda beruntung yang bersamanya itu.

“Beruntung sekali nampaknya anak muda itu”, berkata seorang pejalan kaki kepada kawannya manakala melihat sang putri Raja tengah berjalan penuh kegembiraan hati.

“Selama janur kuning belum melambai, selama itu pula kesempatan kita masih ada, sahabat”, berkata kawannya sambil bertolak pinggang memandangi langkah sang putri yang terus berjalan menjauh.

“Anak Ki Buyut saja tidak dapat kamu taklukkan, bagaimana mungkin kamu dapat menaklukkan putri seorang Raja”, berkata kawannya dengan wajah dan bibir mencibir meremehkan perkataan kawannya itu.

‘Sebentar lagi anak Ki Buyut itu akan mengejarngejar diriku, kemarin malam aku telah diberi jampi-jampi ampuh dari Ki Jasmita, syaratnya begitu mudah, cukup puasa putih selama tujuh hari tujuh malam”, berkata kawannya penuh kebanggaan.

“Setahuku, kamu tidak akan mampu sehari saja makan tanpa lauk pauk dan sambal terasi”, berkata kawannya menggoda.

“Demi anak Ki Buyut, aku rela melupakan kegemaranku itu”, berkata kawannya penuh keyakinan.

“Aku sudah mendahuluimu”, berkata kawannya datar. “Maksudmu?”, berkata pemuda bertubuh tambun itu

kepada kawannya penuh ketidak-mengertian.

“Maksudku, aku hanya perlu satu hari ini untuk menuntaskan puasa mutihku untuk putri Ki Buyut”, berkata kawannya itu sambil langsung berlari kencang.

“Penghianat!!”, berkata pemuda tambun itu sambil mengepalkan tangannya kearah kawannya yang sudah jauh berlari.

Sementara itu, Gajahmada dan Dyah Rara Wulan sudah berada di dalam kedai yang dituju, sebuah kedai  di tengah pasar yang masih saja tetap ramai meski hari sudah naik siang.

“Junjunganmu itu bersama siapa?”, berkata seorang wanita di luar kedai yang melihat kedatangan mereka kepada inang pengasuh yang tidak ikut masuk makan bersama.

“Kamu melihatnya dengan siapa?”, balik bertanya inang pengasuh itu merasa kurang senang dengan wanita yang bertanya kepadanya yang dikenalnya sebagai seorang wanita yang usil selalu mau tahu urusan orang lain.

Mendapat sikap kurang bersahabat dari inang pengasuh itu, terlihat wanita itu langsung pergi sambil sedikit mencebirkan bibirnya.

Sosok Dyah Rara Wulan sebagai seorang putri Raja memang sudah sangat dikenal oleh orang-orang di Kotaraja Kawali. Apalagi kawan seperjalanannya itu seorang seperti Gajahmada yang mempunyai tubuh dan warna kulit berbeda dari orang pribumi umumnya, maka kehadiran mereka telah menjadi bisik-bisik hampir semua orang di dalam kedai, juga manakala mereka berjalan berkeliling sekitar pasar sekedar melihat-lihat beberapa barang dan kerajinan perak di pasar itu.

Dan bisik-bisik itu juga sudah menjadi seperti kain sutra tersiram minyak jaitun, langsung menyebar merata hampir menjadi sebuah pembicaraan di istana.

“Putri kita berjalan dengan seorang prajurit biasa?”, berkata Baginda Raja Ragasuci manakala mendengar pemberitahuan itu lewat sang permaisurinya.

“Kakanda harus segera mencari tahu siapa gerangan prajurit biasa itu”, berkata sang permaisuri Ratu Dara Puspa kepada Baginda Raja Ragasuci.

“Aku gembira mendengarnya, artinya putri kita memang sudah tumbuh dewasa”, berkata Raja Ragasuci dengan senyum dikulum mencoba berkelit keluar dari arah yang dimaksud oleh sang permaisurinya.

“Yang Adinda maksudkan bukan masalah kedewasaan putri kita, tapi pemuda yang berjalan bersamanya itu hanya seorang prajurit biasa”, berkata sang permaisuri mencoba kembali ke pokok persoalannya semula.

“Ternyata kita sudah cukup tua, sebentar lagi kita akan menimang-nimang seorang cucu”, berkata Raja Ragasuci kembali berkelit keluar dari arah pembicaraan yang disampaikan oleh permaisurinya.

“Kakanda tidak berkeberatan berbesan dengan keluarga biasa, orang dusun?”, bertanya sang permaisuri sudah mulai merajuk melihat sikap Raja Ragasuci yang seperti tidak mengacuhkan persoalan sebenarnya.

Sebenarnya sebagai seorang Raja, mustahil bila Raja Ragasuci belum mengetahui siapa pemuda prajurit biasa yang sangat dekat dengan putrinya itu. Tapi dihadapan sang permaisuri, Raja Ragasuci sengaja dan pura-pura belum mengetahui tentang itu.

Namun akhirnya, melihat wajah sang permaisuri yang sudah mulai agak masam, Raja Ragasuci pun berkata datar, “Aku akan mencari tahu siapa gerangan prajurit biasa itu”, berkata Raja Ragasuci kepada permaisuri Ratu Dara Puspa.

Mendengar perkataan Raja Ragasuci, hati dan perasaan Ratu Dara Puspa ada sedikit terhibur. Namun sebagai seorang wanita, ada saja yang dikatakannya.

“Kakanda harus bertindak cepat, menjauhkan putri kita dari pemuda itu”, berkata Ratu Dara Puspa.

Mendengar perkataan sang permaisuri, Raja Ragasuci sedikit mengerutkan keningnya. Namun akhirnya dirinya dapat memaklumi mengapa sang permaisuri berkata seperti itu, karena belum tahu siapa gerangan pemuda yang dikatakan sebagai prajurit biasa itu.

Sebenarnya Raja Ragasuci sudah banyak mengetahui tentang Gajahmada lewat pembicaraannya dengan putranya, Pangeran Citraganda. Raja Ragasuci sudah mengetahui bahwa Gajahmada adalah beberapa orang tamunya yang datang bersama seorang mantan Raja dari Majapahit. Dan sebagai seorang Raja, dirinya juga sudah mengetahui permainan Gajahmada sebagai seorang prajurit biasa, seorang prajurit pengawal yang bertugas untuk membayangi Patih Anggajaya.

Tapi kepada sang Permaisuri, tidak satu pun yang dikatakannya tentang kehadiran Gajahmada.

“Sifat Putri kita sangat keras kepala, kita harus menyikapinya dengan penuh bijaksana”, hanya itu yang dikatakan oleh Raja Ragasuci kepada permaisurinya.

Sementara itu, sang Putri Dyah Rara Wulan sudah kembali ke istana. Karena hari sudah hampir sore, Gajahmada tidak mengantar kembali ke Istana, tapi langsung ke baraknya untuk bersiap diri melaksanakan tugas sebagai prajurit pengawal di kediaman Patih Anggajaya.

Dan sang inang pengasuh malam itu sedikit gembira melihat putri junjungannya itu penuh ceria, terlihat dari wajahnya yang manis dan semakin manis.

Dan hari memang belum terlalu malam, manakala seorang pemuda turun dari kudanya di depan regol pintu gerbang istana.

“Lama tidak melihat tuan Pangeran di istana ini”, berkata seorang prajurit penjaga sambil menyambut tali kekang kuda pemuda itu yang tidak lain adalah Pangeran Citraganda.

Terlihat dengan sebuah senyum keramahan Pangeran Citraganda menatap prajurit penjaga itu, tidak ada sebuah pun kata-kata keluar dari pemuda tampan  itu. Namun sebagai seorang prajurit penjaga, senyum keramahan itu sudah melebihi dari penghargaan dan kehormatan apapun kepadanya.

Dan prajurit penjaga itu masih memandang pemuda itu yang semakin jauh masuk lewat jalan setapak menuju pasanggrahan pribadi Ayahandanya.

“Nampaknya ada sesuatu yang sangat penting yang akan disampaikan kepada Ayahandanya”, berkata prajurit penjaga itu dalam hati sambil menuntun kuda tunggangan Pangeran Citraganda.

Prajurit penjaga itu memang telah melihat Pangeran Citraganda tidak berjalan ke arah Kesatrian, tapi berjalan ke arah pasanggrahan pribadi Baginda Raja.

Sebagaimana persangkaan prajurit penjaga itu, memang benar bahwa ada beberapa hal penting yang akan disampaikan oleh Pangeran Citraganda kepada Ayahandanya.

“Eyang kamu memang seorang ahli siasat ulung yang mumpuni, aku akan mengikuti alur permainannya”, berkata Raja Ragasuci ketika sudah mendengar penuturan langsung Pangeran Citraganda.

“Kita harus dapat mencari seseorang yang dapat memecahkan kekuatan Patih Anggajaya yang telah punya pengaruh yang kuat diantara para perwira prajurit dari orangnya sendiri, orang-orang Rakata”, berkata Pangeran Citraganda kepada Ayahandanya mencoba menyampaikan beberapa usulan Prabu Guru Darmasiksa tentang sebuah rencana menjebak Patih Anggajaya.

“Aku mengenal seorang perwira prajurit putra Kawali yang sangat setia, kuharap dirinya dapat mempengaruhi jalan pikiran para prajurit kita. Rangga Ageng Pasek, dialah orangnya”, berkata Raja Ragasuci menyebut sebuah nama.

“Ki Rangga Ageng Pasek?”, bertanya Pangeran Citraganda mengulang menyebut sebuah nama.

“Benar, seorang prajuritku yang sangat setia, panggil dirinya besok agar datang bersama seorang prajurit pengawal bernama Mahesa Muksa”, berkata Raja Ragasuci kepada Pangeran Citraganda.

“Mahesa Muksa?”, kembali Pangeran Citraganda mengulang sebuah nama.

“Benar, Mahesa Muksa dapat mengelabui orangorang Patih Anggajaya. Mereka akan menyangka bahwa kehadiran dirinya menghadap di istana berkaitan dengan hubungan Mahesa Muksa dengan Dyah Rara Wulan”, berkata Raja Ragasuci mencoba memberikan sebuah penjelasan mengapa harus mengikutkan Mahesa Muksa datang bersama Ki Rangga Ageng Pasek.

“Mahesa Muksa datang ke istana atas permintaanku, wahai Ayahanda”, berkata Pangeran Citraganda kepada Raja Ragasuci.

“Jadi kamu telah menjadi mak comblang dari adikmu sendiri?”, berkata Raja Ragasuci kepada putranya itu sambil tersenyum.

Demikianlah, setelah menghadap Ayahandanya, Pangeran Citraganda kembali ke Pasanggrahan Kesatrian.

“Datanglah ke rumah Ki Rangga Ageng Pasek, katakan Baginda Raja telah meminta dirinya untuk menghadap bersama seorang prajurit muda bernama Mahesa Muksa. Besok pagi mereka harus sudah ada di istana”, berkata Pangeran Citraganda kepada seorang prajurit pengawal di Pasanggrahannya.

“Prajurit Mahesa Muksa?”, bertanya prajurit pengawal itu kepada Pangeran Citraganda.

“Seorang prajurit muda yang tadi siang datang menemui sang putri”, berkata Pangeran Citraganda seperti telah memastikan bahwa semua penghuni istana telah mendengar dan mengetahui tentang kehadiran Mahesa Muksa datang ke istana tadi siang.

Ki Rangga Ageng Pasek adalah seorang prajurit putra daerah Kawali yang telah banyak berjasa dalam beberapa peperangan dan sangat setia kepada Raja. Namun dalam lingkungan istana saat itu yang kurang sehat dimana banyak peran dari Patih Anggajaya mempengaruhi kebijakan Raja, prajurit tua itu seperti tersingkir hanya membawahi urusan pengawalan istana. Sementara beberapa orang perwira yang berasal dari Rakata telah menempati tempat dan jabatan yang sangat penting dalam kesatuan prajurit Kawali.

Namun kekecewaan Ki Rangga Ageng Pasek hanya disimpan dalam hati melihat ketimpangan antar putra daerah itu. Dan demi kesetiaannya kepada Raja, begitu legowo hanya mengurusi kesatuan pengawalan istana.

“Kamu yang bernama Mahesa Muksa?”, bertanya Ki Rangga Ageng Pasek kepada Gajahmada ketika mereka bertemu di muka gardu tunggu di istana Kawal. “Hamba bernama Mahesa Muksa”, berkata Gajahmada membenarkan perkataan Ki Rangga Ageng Pasek.

“Apakah kamu sudah mengetahui, mengapa kamu di minta untuk menghadap Baginda Raja?”, bertanya kembali Ki Rangga Ageng Pasek mencoba mencari tahu gerangan masalah apa sehingga dirinya harus datang menghadap bersama prajurit muda itu.

“Hamba hanya tahu bahwa kedatangan diistana ini bersama Ki Rangga”, berkata Gajahmada yang sudah mengenal Ki Rangga Ageng Pasek adalah pucuk pemimpinnya dalam kesatuan prajurit pengawal.

Mendengar perkataan Gajahmada, terlihat Ki Rangga Ageng Pasek menarik nafas dalam-dalam sambil tersenyum.

“Artinya kita sama-sama tidak tahu mengapa pagi ini harus datang menghadap Baginda Raja”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek sambil terus berpikir dan mencaricari dalam benak dan pikirannya.

Sebenarnya masih banyak yang ingin ditanyakan oleh Ki Rangga Ageng Pasek kepada Gajahmada guna mencari tahu apa gerangan sehingga mereka harus datang menghadap Baginda Raja. Namun tiba-tiba saja seorang prajurit pengawal datang kepada mereka bahwa Baginda Raja telah menunggu mereka berdua di Bale Puntadewa.

“Di Bale Puntadewa ?”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek dengan wajah sedikit terkejut. Sebab setahu dirinya bahwa Bale Puntadewa hanya digunakan manakala Baginda Raja memutuskan sebuah hukuman kepada seorang yang telah terbukti bersalah, orang  biasa maupun seorang prajurit. Berbeda dengan Gajahmada yang belum mengetahui tentang Bale Puntadewa itu, terlihat tidak menunjukkan sikap apapun.

“Mari kita menuju Bale Puntadewa”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek dengan wajah penuh seribu tanda tanya.

Dibawah pandangan mata beberapa prajurit penjaga yang bertugas saat itu, terlihat Ki Rangga Ageng Pasek bersama Gajahmada telah berjalan menuju Bale Puntadewa diantar oleh seorang prajurit  pengawal istana.

“Jadi orang memang harus berkaca diri, siapa kita dan dari mana kita. Yang pasti prajurit muda itu akan menerima sebuah teguran keras dari Baginda Raja, karena coba-coba mendekati putrinya”, berkata seorang prajurit penjaga kepada kawannya di gardu jaga.

“Ki Rangga Ageng Pasek yang tidak mengetahui apaapa jadi ikut terseret”, berkata kawannya. Sementara itu Ki Rangga Ageng Pasek dan Gajahmada sudah sampai di Bale Puntadewa.

“Mengapa tidak ada seorang pun pejabat istana ikut hadir di tempat ini”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek dalam hati manakala melihat ruang Bale Puntadewa hanya dihadiri oleh Baginda Raja dan Pangeran Citraganda. Sebagai seorang prajurit perwira, Ki Rangga Ageng Pasek sudah sering menghadiri beberapa persidangan di ruang Bale Puntadewa itu dimana biasanya dihadiri oleh beberapa pejabat istana.

“Kami datang menghadap, terimalah sembah sujud kami”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek sambil bersujud di hadapan Baginda Raja Ragasuci. Terlihat Gajahmada sebagaimana Ki Rangga Ageng Pasek ikut bersujud dihadapan Baginda Raja.

“Jagalah diluar, jangan sampai ada orang yang mendekati tempat ini”, berkata Baginda Raja Ragasuci kepada prajurit penjaga yang datang ikut mengantar.

“Kalian kupanggil di Bale Puntadewa ini bukan sebagai pesakitan”, berkata Baginda Raja dengan penuh senyum seakan dapat membaca jalan pikiran Ki Rangga Ageng Pasek.

“Sepanjang perjalanan hati hamba selalu bertanyatanya, mendengar perkataan tuanku Baginda Raja telah membuat hati ini menjadi tenang kembali, adakah hal penting sehingga memanggil kami berdua datang menghadap?”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek yang terlihat sudah tidak berwajah tegang lagi.

“Maaf bila aku telah membuat kamu menjadi tegang karenanya, sengaja kupanggil kalian di ruang ini hanya sebagai sebuah awal dari sebuah permainan yang sangat menyenangkan”, berkata Baginda Raja penuh senyum keramahan.

Sebagai seorang perwira, Ki Rangga Ageng Pasek langsung mengetahui kemana arah pembicaraan Baginda Raja yang terlihat sangat berhati-hati.

“Hampa paham apa yang tuanku Baginda Raja maksudkan, di dinding kayu ini memang bisa jadi bertelinga”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek seperti telah siap menerima sebuah tugas khusus dari Baginda Raja Ragasuci.

“Putraku Pangeran Citraganda akan menjelaskan tugasmu lebih merinci, hari ini aku hanya ingin meyakinkan apakah Ki Rangga masih sebagai prajuritku yang masih setia sebagaimana yang kukenal sebelumnya”, berkata Baginda Raja Ragasuci sambil memandang Ki Rangga Ageng Pasek.

“Kesetiaan hamba untuk Paduka Baginda Raja tidak akan tersurut setapak pun, meski seandainya batok kepala ini Tuanku pinta, pasti dengan rela hamba serahkan”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek masih dengan wajah menunduk penuh rasa hormat dihadapan Baginda Raja Ragasuci.

“Aku tidak menyangsikan kesetiaanmu wahai Ki Rangga”, berkata Baginda Raja Ragasuci.

“Terima kasih”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek penuh rasa hormat.

“Cuaca dan suasana di Istana ini memang tengah kurang baik, Putraku Pangeran Citraganda telah membukakan mataku. Dan kamu adalah salah satu korbannya, tersingkir jauh dari pasukan tempurmu, hanya mengurusi sebuah kesatuan prajurit pengawal”, berkata Raja Ragasuci sambil menatap wajah Ki Rangga Ageng Pasek. “Aku begitu merasa yakin, bahwa kamulah orangnya yang dapat mempengaruhi kawan-kawan kamu para prajurit putra Kawali. Bangkitkan kesetiaan para prajurit putra Kawali, prajurit putra Galuh dan seluruh prajurit putra Pasundan”, berkata Raja Ragasuci kepada Ki Rangga Ageng Pasek.

Mendengar penuturan Raja Ragasuci, Ki Rangga Ageng Pasek dapat mengerti apa keinginan dan maksudnya dimana tidak menyebut satu nama daerah. Ki Rangga Ageng Pasek dapat membaca siapa kawan dan siapa yang akan menjadi lawan, dan pikiran Ki Rangga Ageng Pasek telah tertuju kepada Patih Anggajaya dan orang-orang kepercayaannya yang berasal dari satu tempat, sebuah tempat yang jauh di ujung tanah Pasundan, di ujung Jawadwipa, Kotaraja Rakata.

Dan pikiran Ki Rangga Ageng Pasek seperti terbang melihat suasana istana yang saat ini telah dipenuhi dan di pengaruhi orang-orang Rakata. Telah lama dirinya menaruh kebencian yang dalam kepada kesombongan orang-orang Rakata itu. Tapi semua hanya disimpan dalam hati, dirinya tidak dapat berbuat apapun karena istana sepertinya telah berada dalam cengkraman kuat seorang Patih Anggajaya yang berasal dari kotaraja Rakata.

“Sebagaimana yang kukatakan, Putraku Pangeran Citraganda akan menjelaskan apa dan bagaimana peranmu dalam permainan ini”, berkata Baginda Raja Ragasuci sambil bangkit berdiri. ”Senang melihatmu, sudah lama kita tidak berjumpa”, berkata Baginda Ragasuci sambil melemparkan senyumnya kepada Ki Rangga Ageng Pasek dan Mahesa Muksa dan terlihat sudah melangkah meninggalkan mereka di Bale Puntadewa itu.

“Aku akan mengutus Mahesa Muksa ke rumahmu, memberikan penjelasan tentang apa peran dan tugasmu”, berkata Pangeran Citraganda sambil berdiri dan melangkah keluar ruangan Bale Puntadewa.

“Baginda Raja dan tuan Pangeran nampaknya sangat mengenal dirimu dengan baik”, berkata Ki rangga Ageng Pasek sambil menepuk pundak Gajahmada.

“Aku hanya seorang prajurit pengawal biasa”, berkata Gajahmada sambil tersenyum.

“Pasti bukan prajurit biasa”, berkata Ki Rangga  Ageng Pasek sambil memandang Gajahmada dari  bawah kaki sambil ke atas kepala. Baru kali ini dirinya memandang dengan jelas dan seksama anak muda itu. “Jangan merendahkan diri, kulihat Pangeran Citraganda telah mengenalmu begitu dekat”, berkata kembali Ki Rangga Ageng Pasek kepada Gajahmada.

“Mari kita keluar, para prajurit penjaga mungkin tengah menunggu kita, ingin tahu hukuman apa yang kita terima hari ini”, berkata Gajahmada mencoba mengalihkan pembicaraan dirinya.

“Nampaknya aku berhadapan dengan seorang yang rendah hati”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek sambil mengajak Gajahmada keluar dari ruangan Bale Puntadewa itu.

Demikianlah, mereka berdua terlihat telah berjalan menuju regol gerbang pintu istana.

Namun manakala mereka berdua tengah mendekati gardu jaga, terlihat tangan Ki Rangga Ageng Pasek menarik tangan Gajahmada untuk berhenti.

“Mahesa Muksa, lekas katakan siapa prajurit penjaga ini yang telah berlaku kurang sopan kepadamu kemarin”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek dengan suara penuh wibawa.

Empat orang prajurit penjaga yang saat itu berada di gardu jaga seperti mendengar suara petir di siang hari mendengar suara Ki Rangga Ageng Pasek. Mereka berempat seperti kaku sebagaimana seorang pesakitan menunggu sebuah putusan hukuman untuk mereka.

“Aku tidak melihat orangnya diantara mereka”, berkata Gajahmada sambil tertawa dalam hati melihat ketegangan sikap para prajurit itu.

“Baiklah, besok aku akan membawamu  mencari siapa prajurit itu”, berkata kembali Ki Rangga Ageng Pasek dengan suara keras penuh kemarahan.

Terlihat sikap para prajurit itu menjadi semakin pucat, Gajahmada menjadi kasihan melihatnya.

“Tidak perlu diperpanjang lagi Ki Rangga, aku sudah memaafkan orang itu”, berkata Gajahmada sambil tertawa dalam hati.

“Kamu bisa saja memaafkannya, tapi aku akan memberikan pelajaran buat semua para prajurit penjaga agar bersikap ramah kepada siapapun”, berkata kembali Ki Rangka Ageng Pasek masih dengan wajah orang sedang kurang senang hati.

“Kami akan mengingat semua pesan Ki  Rangga, akan selalu bersikap ramah kepada siapapun”, berkata seorang prajurit mencoba memberanikan diri.

“Aku tidak ingin mendengar masalah ini terulang kembali”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek sambil menarik tangan Gajahmada melangkah pergi.

Ketika Ki Rangga Ageng Pasek dan Gajahmada sudah tidak terlihat lagi telah keluar dari regol pintu gerbang istana, keempat orang prajurit penjaga itu saling bertatap muka.

“Siapa prajurit penjaga yang berlaku kurang sopan kepada anak muda itu?”, bertanya salah seorang  diantara mereka.

“Mereka salah seorang yang bertugas kemarin, salah sendiri telah berbuat kurang sopan kepada kawan dekat sang putri”, berkata seorang lagi.

“Untungnya anak muda itu sangat lunak, telah memaafkan perlakuan kurang sopan itu”, berkata orang yang pertama bicara. “Semula kukira mereka berdua akan mendapat sebuah hukuman di panggil ke Bale Puntadewa”, berkata seorang prajurit penjaga yang sedari tadi tidak bicara.

“Aku pun berpikir seperti itu ketika mereka datang”, berkata prajurit penjaga yang pertama bicara.

Sementara itu Ki Rangga Ageng Pasek sudah jauh meninggalkan istana.

“Keempat prajurit itu gemetar ketakutan”, berbisik Ki Rangga sambil tersenyum kepada Gajahmada.

Terlihat Gajahmada dan Ki Rangga Ageng Pasek berjalan bersama.

“Senang mengenalmu anak muda”, berkata Ki Rangga Ageng Pasek yang merasa semakin menyenangi sikap Gajahmada baik dalam tutur kata maupun pembawaannya yang sangat sederhana. Dalam hati Ki Rangga Ageng Pasek telah menduga bahwa anak muda ini nampaknya bukan orang biasa dan telah biasa  bergaul di kalangan para bangsawan.

“Nanti malam aku akan singgah ke rumah Ki Rangga”, berkata Gajahmada ketika mereka tiba di sebuah persimpangan jalan dimana Gajahmada telah bermaksud untuk menuju sebuah pondokan Putu Risang dan Pangeran Jayanagara di Kotaraja Kawali itu.

“Baiklah, aku menunggumu di rumahku”, berkata Ki rangga Ageng Pasek.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar