Kabut Di Bumi Singasari Jilid 11

AKHIRNYA sebagaimana yang diperkirakan, menjelang matahari telah tergelincir sedikit dari puncaknya, pasukan besar Singasari itu telah sampai di Kademangan Tasikmadu.

Seribu prajurit yang dipimpin oleh Pangeran Ardharaja yang lebih dulu sampai ternyata sudah membuat beberapa barak darurat serta dapur umum yang diperlukan

“Selamat datang di Kademangan Tasik Madu”, berkata Ki Demang Tasik Madu menyambut kedatangan Raden Wijaya dan rombongannya.

Terlihat Raden Wijaya, Ranggalawe dan Kuda Cemani tengah menaiki tangga pendapa rumah Ki Demang Tasik Madu.

“Selamat bergabung dan terima kasih telah membuat persiapan awal”, berkata Raden Wijaya kepada Pangeran Ardharaja yang sudah ada dipendapa rumah Ki Demang.

“Hanya itu yang dapat kami lakukan sambil menunggu tuan Senapati”, berkata Pangeran Ardharaja yang usianya lebih muda dari Raden Wijaya.

“Para prajurit harus beristirahat yang cukup hari ini agar mereka siap menghadapi pertempuran besok”, berkata Raden Wijaya.

“Para prajurit pengawal Kademangan siap ikut serta bahu-menbahu dibelakang tuan Senapati”, berkata Ki Demang Tasik Madu kepada Raden Wijaya.

“Terima kasih, kepedulian penduduk Kademangan ini sebuah jasa yang sangat besar, dan kami tidak akan melupakannya”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Demang.

Sementara itu diwaktu yang hampir sama, di lereng gunung Rejo telah berhamburan para prajurit Tanah Gelang-gelang yang nampaknya begitu lelah setelah melakukan perjalanan panjang.

“Kita buat barak perkemahan yang besar, agar mereka menyaksikannya”, berkata Patih Kebo Mundarang kepada Senapati Jaran Guyang.

Terlihat Senapati Jaran Guyang memanggil beberapa perwiranya untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Patih Kebo Mundarang untuk membuat barak perkemahan yang besar.

Demikianlah, beberapa prajurit Tanah Gelang-gelang tanpa menghiraukan rasa lelahnya telah membangun barak perkemahan yang cukup besar.

Dan semua itu tidak pernah luput dari pengamatan para petugas telik sandi Singasari yang telah disebar untuk mengamat semua gerak gerik pihak musuh.

“Mereka tengah membuat barak perkemahan yang cukup besar, namun mereka tidak membawa persediaan makanan yang cukup”, berkata Kuda Cemani kepada Raden Wijaya di pendapa rumah Ki Demang Tasik Madu.

“Mungkin mereka terlalu yakin dengan pasukannya yang besar akan dapat dengan cepat memenangkan pertempuran ini”, berkata raden Wijaya memberikan pandangannya.

“Aku berpikir lain”, berkata Kuda Cemani kepada raden Wijaya.

“Apa yang ada dalam pikiran Paman Kuda Cemani?”, bertanya Raden Wijaya kepada Kuda Cemani.

“Aku berpikir bahwa mereka tidak bermaksud berperang di padang Kalimayit ini”, berkata Kuda Cemani.

“Mereka telah menurunkan seluruh pasukannya di Gunung Rejo, dan besok mereka telah siap tempur”, berkata Ranggalawe ikut memberikan pandangannya.

“Itu hanya pemikiranku, melihat dari jumlah gudang makanan yang mereka miliki”, berkata Kuda Cemani. “Semua keputusan kuserahkan kepada tuan Senapati”, berkata kembali Kuda Cemani.

Terlihat Raden Wijaya mencoba berpikir semua kemungkinan yang bisa saja terjadi sebagaimana yang dikatakan oleh Kuda Cemani.

Sementara itu tidak ada yang melihat sepintas perubahan wajah Pangeran Ardharaja yang sedikit terkejut dan diam-diam membenarkan semua pandangan Kuda Cemani. “Orang tua ini ternyata punya pandangan yang sangat kuat, dapat membaca apa yang dipikirkan oleh pihak musuh”, berkata Pangeran Ardharaja dalam hati.

“Aku belum dapat melihat kemungkinan itu, sampai saat ini mereka masih sepenuhnya di Gunung Rejo”, berkata Raden Wijaya kepada Kuda Cemani.

Terlihat Pangeran Ardharaja menarik nafas lega, meresa gembira bahwa Raden Wijaya tidak berpikir sebagaimana yang dipikirkan oleh Kuda Cemani.

Tapi Ranggalawe ternyata punya kepekaan yang cukup tinggi, diam-diam merasa curiga dengan sikap Pangeran Ardharaja. Tapi semua hanya disimpan dalam hati saja. Takut dugaannya hanya sebuah kecurigaan yang tidak mendasar.

Sementara itu langit diatas Rumah Ki Demang Tasikmadu sudah merayap mendekati senja. Suasana menjadi begitu bening dan teduh. Terlihat para prajurit mencari tempat bergerombol dibeberapa tempat hanya sekedar beristirahat, atau sekedar menghangatkan badan dengan bercanda bersama. Meski begitu mereka masih memperlihatkan kesiagaan dan kewaspadaannya. Ada sedikit ketegangan diantara wajah mereka, tapi semua ketegangan itu akhirnya larut bersama canda dan tawa mereka. Sepertinya mereka saat itu tidak akan menghadapi sebuah peperangan yang besar, sepertinya mereka dalam sebuah tamasya bersama. Begitulah cara banyak para prajurit melupakan ketegangannya.

Akhirnya malam dengan cepatnya telah datang menyergap, menggulung segenap pandangan dengan gelapnya. Langit diatas Rumah Ki Demang Tasikmadu sudah berubah berawan kelabu kelam tanpa satupun bintang diatas sana. Sebagai tanda bahwa hujan akan turun dimalam itu.

Dan hujan pun akhirnya turun seperti suara bah, hujan di ujung pergantian musim kemarau, hujan yang sudah lama ditunggu. Tiba-tiba saja muncul di balik kegelapan malam seorang prajurit naik keatas pendapa.

“Prajurit telik sandi”, berkata Kuda Cemani dalam hati yang mengenali salah seorang anak buahnya datang disaat hujan masih deras mengguyur bumi.

“Hamba mohon ampun bila kedatangan hamba tidak pada waktu yang tepat”, berkata prajurit itu sambil menjura penuh hormat.

“Duduklah bersama kami Ki Lurah Batiek, pasti kedatanganmu membawa berita yang tidak bisa dihentikan oleh petir sekalipun”, berkata Kuda Cemani kepada prajuritnya yang dipanggilnya sebagai Ki Lurah Bateik.

Maka setelah prajurit yang dipanggil Ki Lurah Batiek itu sudah duduk, sambil mengatur nafasnya yang masih memburu langsung menyampaikan sebuah berita yang membuat semua yang hadir saat itu terkejut bukan kepalang.

“Kami telah melihat pihak musuh tengah membangun sebuah lumbung persediaan makanan di selatan  Kotaraja Singasari”, berkata Ki Lurah Batiek dengan nafas masih memburu.

“Mereka telah menjebak kita, menggempur Kotaraja Singasari disaat para penjaganya jauh meninggalkan sarangnya”, berkata Kuda Cemani yang langsung menebak keinginan pihak musuh. “Paman Kuda Cemani sudah dapat membaca, sebelum berita ini datang”, berkata Ranggalawe membenarkan pendapat Kuda Cemani.

“Berapa jarak perjalanan antara Gunung Rejo ke lumbung itu?”, bertanya Raden Wijaya yang telah berusaha menenangkan dirinya.

“Antara matahari terbenam sampai datangnya kembali fajar keesokan harinya”, berkata Ki Lurah Batiek memperkirakan jarak perjalanan.

“Ki Lurah Batiek, pergilah bersama beberapa kawanmu ke Gunung Rejo. Berapa sisa prajurit pihak lawan yang mereka tinggalkan disana”, berkata Kuda Cemani memerintahkan Ki Lurah Batiek.

“Mohon pamit, kami akan segera menyusup di sekitar perkemahan lawan”, berkata Ki Batiek yang langsung berdiri dan melangkah menuruni anak tangga pendapa meski hujan saat itu masih belum reda betul, masih turun dalam gerimis yang panjang.

“Aku yang muda ini mohon petunjuk Paman Kuda Cemani, apa yang selayaknya kita lakukan”, berkata Raden Wijaya yang diam-diam telah mengagumi kekuatan pikiran pihak lawan.

“Aku hanya berpikir seperti pikiran seorang musuh, seperti itulah aku berpikir”, berkata Kuda Cemani dengan suara yang datar. “Tuan Senapati adalah pemimpin tertinggi disini, tuanlah yang harus menentukan langkah, aku tidak berani melampau apa yang ada dalam pundakku”, berkata kembali Kuda Cemani dengan wajah tenang penuh senyum, membiarkan Raden Wijaya belajar menjadi pemimpin yang sesungguhnya.

“Terima kasih Paman telah mengingatkan keberadaan diriku, tapi aku masih merasa muda dan masih perlu nasihat Paman Kuda Cemani yang sudah banyak menikmati rasa garam kehidupan yang lebih dariku”, berkata Raden Wijaya kepada Kuda Cemani.

“Keputusan ada padamu wahai tuan Senapati, aku hanya memberi gambaran bahwa saat ini Kotaraja Singasari dalam keadaan kosong tanpa penjaga”, berkata Kuda Cemani tidak bermaksud ingin menggurui, tapi menyerahkan semua keputusan kembali kepada Raden Wijaya. 

Sementara itu hujan diluar halaman rumah Ki Demang sudah mulai reda, langit malam sudah mulai terlihat biru sedikit berawan dengan beberapa kerlip bintang mulai bermunculan bersama cahaya redup bulan bulat yang masih buram terhalang awan tipis. Terlihat seorang prajurit naik keatas pendapa, ternyata adalah Ki Batiek yang telah kembali dari pengamatannya.

“Katakan apa yang kamu lihat”, berkata Kuda Cemani kepada Ki Batiek yang sudah duduk bersama di pendapa rumah Ki Demang Tasikmadu.

“Mereka hanya meninggalkan seribu prajurit di Gunung Rejo”, berkata Ki Batiek menyampaikan apa yang dilihat dan diamati di perkemahan pihak musuh.

“Terima kasih Ki Batiek, sekarang kamu beristirahatlah”, berkata Kuda Cemani kepada Ki Batiek yang langsung berdiri dan pamit diri.

Setelah Ki Batiek turun meninggalkan Pendapa, suasana diatas pendapa sepertinya menjadi begitu lengang, nampaknya semua yang ada diatas pendapa tengah berpikir keras atau ada dalam pikirannya masing-masing.

“Aku akan menghajar sisa musuh yang ada di Gunung Rejo, sementara Pangeran Ardharaja kuharapkan dapat kembali membawa pasukannya ke Kotaraja Singasari”, berkata Raden Wijaya memecahkan suasana  keheningan diatas pendapa.

“Malam ini?”, bertanya Pangeran Ardharaja cukup kaget mendengar keputusan Raden Wijaya.

“Benar, bawalah seribu pasukanmu malam ini juga. Kupercayakan pasukanmu dan pasukan yang masih ada di Kotaraja untuk menahan musuh”, berkata Raden Wijaya kepada Pangeran Ardharaja.”Kami akan datang secepatnya setelah membantai pasukan musuh di Padang Kalimayit itu”, berkata kembali Raden Wijaya.

“Keputusan tuan Senapati adalah perintah, aku akan membawa pasukanku ke Kotaraja”, berkata Pangeran Ardharaja sambil berdiri dan pamit diri melangkah menuruni tangga pendapa rumah Ki Demang.

Demikianlah, tidak lama berselang terdengar riuh suara prajurit yang berada dibawah pimpinan Pangeran Ardharaja terlihat sudah mulai bergerak meninggalkan Kademangan Tasik Madu.

“Aku tidak percaya, apakah Pangeran Ardharaja dengan suka hati menjaga Kotaraja”, berkata tiba-tiba Ranggalawe yang sepertinya merasa keberatan dengan keputusan Raden Wijaya. Namun baru disampaikannya setelah Pangeran Ardharaja tidak ada diatas pendapa rumah Ki Demang Tasikmadu.

“Aku juga tidak mempercayainya, itulah sebabnya kuminta dirinya untuk kembali ke Kotaraja”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe.

“Aku jadi semakin tidak mengerti”, berkata Ranggalawe kepada Raden Wijaya. “Aku hanya tidak ingin pasukanku bercampur dengan para prajurit yang pimpinannya sangat kuragukan kesetiannya”, berkata Raden Wijaya menjelaskan keputusannya itu.

“Ternyata kita punya penilaian yang sama atas Pangeran Ardharaja, aku juga akan melakukan hal yang sama seandainya berdiri sebagaimana dirimu”, berkata Kuda Cemani kepada Raden Wijaya.

“Paman Kuda Cemani pasti tidak hanya sekedar menduga, pasti sudah mendengar lewat para telik sandi siapa Pangeran Ardharaja dan pasukannya itu”, berkata Raden Wijaya kepada Kuda Cemani.

“Ternyata telinga Raden sangat tajam, kami memang sudah lama membayangi pasukannya”, berkata Kuda Cemani kepada Raden Wijaya. ”Pangeran Ardharaja dengan kekayaannya telah membeli kesetiaan para prajurit Singasari”, berkata kembali Kuda Cemani dengan wajah buram.

“Begitu murahnya sebuah kesetiaan”, berkata Ki Demang Tasikmadu ikut memberikan pandangannya.

“Begitulah gambaran wajah para prajurit Singasari di Kotaraja, mereka sudah begitu rapuh karena arah tujuan hidup mereka telah berpaling, kemewahan sebagai kebanggaan hidup, saling berlomba untuk mengumpulkan kekayaan sepertinya dunia abadi”, berkata Kuda Cemani memberikan gambaran tentang kehidupan para prajurit dan penduduk di kotaraja Singasari.

“Semoga kami para orang desa tidak tercemar, bakti kami pada junjungan kami Maharaja Singasari adalah ungkapan rasa syukur kami atas limpahan alam dari Gusti Yang Maha Tunggal, dan hati kami masih bersih dan tidak akan terbeli oleh apapun”, berkata Ki Demang Tasikmadu.

Sementara itu pasukan Pangeran Ardharaja sudah semakin menjauh dari Kademangan Tasikmadu.

“Rencana kita untuk merusak pasukan Singasari tidak terwujud”, berkata orang kepercayaan Pangeran Ardharaja berkata kepada Pangeran Ardharaja disampingnya ketika mereka bersama pasukannya meninggalkan Kademangan Tasikmadu.

“Ternyata Raden Wijaya seperti sudah dapat membaca arah pikiranku”, berkata Pangeran Ardharaja dengan wajah penuh kecewa.

“Tapi kita sudah dapat merusak persediaan makanan mereka”, berkata orang kepercayaannya itu kepada Pangeran Ardharaja.

“Jadi kamu telah melakukannya?”, berkata Pangeran Ardharaja kepada orang kepercayaannya.

“Kami telah melakukannya, mereka akan mati sebelum sempat bertempur”, berkata orang kepercayaannya itu yang disambut oleh tawa yang panjang oleh Pangeran Ardharaja.

“Kita masih dapat berbuat yang lebih pahit lagi, menghambat pasukan Senapati muda itu untuk tertahan diperjalanan”, berkata Pangeran Ardharaja kepada orang kepercayaannya itu

“Dengan cara apa?”, bertanya orang kepercayaannya itu menjadi penasaran

“Nanti akan kujelaskan”, berkata Pangeran Ardharaja kepada kawannya itu sambil menghentakkan kakinya keperut kuda agar berjalan lebih cepat lagi. Terlihat orang kepercayaan Pangeran Ardharaja memberi tanda kepada pasukannya untuk berjalan lebih cepat lagi.

Kabut drama sandiwara diatas bumi Singasari memang telah begitu menghujam menyelimuti wajah Kotaraja Singasari, kesetiaan menjadi barang murah. Keculasan dan kelicikan para pejabat istana sepertinya telah menambah carut-marut wajah Kotaraja Singasari.

Namun Gusti Yang Maha Agung ternyata masih menjadi Sang Dalang Yang Maha Sempurna, telah menghadirkan seorang prajurit muda yang masih bersih, masih punya hati dan kesetiaannnya.

Prajurit muda itu bernama Barayudha, seorang prajurit muda yang baru saja lulus dari sebuah pendadaran. Dan tidak satupun para penguji pendadaran itu yang mengetahui bahwa sesungguhnya pemuda itu adalah putra dari Sri Baginda Maharaja Kertanegara dari salah seorang selirnya.

Barayudha memang telah menyadari, bahwa dirinya tidak punya hak apapan atas darahnya, hanya karena terlahir dari seorang selir Raja, ibundanya yang sangat mencintainya.

Tanpa sepengetahuan Barayudha, ibundanya telah mengatur Barayudha agar bergabung bersama pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Ardharaja, mungkin karena ibundanya itu melihat para prajurit di bawah pimpinan Pangeran Ardharaja lebih sugih, lebih makmur dari prajurit di bawah kesatuan lainnya.

Demikianlah prajurit muda Barayudha akhirnya bersama pasukan Pangeran Ardharaja itu ikut ke Kademangan Tasikmadu. Ketika pasukan itu meninggalkan Kademangan Tasikmadu, prajurit muda Barayudha juga ikut bersama diantara para prajurit yang sudah tidak punya kesetiaan pada Singasari Raya.

Hati dan perasaan prajurit muda Barayudha seperti dalam kebimbangan, seperti tengah diaduk-aduk oleh suasana hati seorang diri kemana mengarahkan kesetiaannya. Namun prajurit Barayudha masih saja tidak bisa keluar, masih terbawa langkah kakinya, masih berada di kesatuannya.

Akhirnya prajurit Barayudha mulai dapat memberontak, sudah dapat menentukan kemana arah kesetiaannya diabdikan.

“Aku hanya putra seorang selir, tapi darahku tetap darah Raja Singasari!!”, berkata dalam hati Barayudha sambil menggeretakkan giginya menyatukan semangat didalam dirinya.

Akhirnya dalam sebuah kesempatan, manakala Pangeran Ardharaja menghentikan langkah pasukannya di sebuah jalan yang diapit oleh sebuah hutan yang cukup lebat. Parajurit muda Barayudha terlihat tanpa sepengetahuan siapapun menyelinap di kekegelapan.

Kemana tujuan prajurit muda Barayudha itu?

Terlihat dikegelapan malam arah langkah kaki Barayudha ternyata kembali kearah Kademangan Tasikmadu.

Hari memang sudah jauh larut malam ketika tiga orang orang prajurit yang tengah meronda melihat seorang lelaki muda berjalan di kegelapan.

“Aku mengenalmu sebagai prajurit dari kesatuan pasukan Pangeran Ardharaja?”, berkata salah seorang dari prajurit yang meronda itu kepada seorang lelaki prajurit yang tidak lain adalah Barayudha ketika mereka sudah saling mendekat.

“Aku memang prajurit dari kesatuan itu, aku membawa berita yang amat sangat penting. Antarkan aku kepada Senapatimu”, berkata Barayudha kepada tiga orang prajurit itu.

Mendengar bahwa Barayudha membawa berita yang amat sangat penting, tanpa bertanya apapun ketiga orang prajurit Singasari itu telah membawa Barayudha kehadapan Senapatinya, Raden Wijaya.

Beruntung bahwa Raden Wijaya masih belum beristirahat, masih tengah terlihat berbincang-bincang bersama Ki Demang, Ranggalawe dan Kuda Cemani.

Terlihat ketiga orang prajurit Singasari dan Barayudha sudah memasuki halaman rumah Ki Demang Tasikmadu. Namun hanya seorang saja dari ketiganya yang terus berjalan bersama Barayudha ketika mereka sudah mendekati anak tangga pendapa rumah Ki Demang Tasikmadu.

“Maafkan hamba, bersama hamba adalah seorang prajurit pasukan Pangeran Ardharaja, katanya akan menyampaikan berita yang amat sangat pentingnya”, berkata seorang prajurit itu yang datang bersama Barayudha sampai keatas Pendapa rumah Ki Demang Tasikmadu.

Hanya mendengar pasukan Pangeran Ardharaja, perkataan itu sudah cukup mengejutkan hati dan pikiran semua yang ada diatas pendapa rumah Ki Demang Tasikmadu itu.

“Kembalilah ketempat tugasmu, biarlah prajurit ini sendiri disini”, berkata Ranggalawe kepada seorang prajurit Singasari yang datang mengantar Barayudha.

Maka prajurit itupun terlihat pamit diri dan berdiri melangkah kembali kearah tangga pendapa rumah Ki demang Tasikmadu.

“Berita peting apakah yang ingin kamu sampaikan”, berkata Raden Wijaya kepada Barayudha.

“Ampunkan hamba, bahwa sebenarnya hamba telah melihat sendiri beberapa orang telah merusak dan meracuni semua persediaan makanan”, berkata Barayudha kepada Raden Wijaya.

Bukan main terkejutnya semua yang ada di atas  pendapa rumah Ki Demang Tasikmadu itu.

“Aku akan membuktikan kebenaran ucapanmu wahai prajurit”, berkata Ranggalawe sambil berdiri dan melangkah turun dari pendapa rumah Ki Demang langsung menuju ketempat lumbung persediaan para prajurit.

Kehadiran Ranggalawe di lumbung tempat persediaan makanan cukup menggegerkan para prajurit yang ada disekitarnya.

Maka bertambah gegerlah suasana malam itu ketika Ranggalawe telah membuktikan kebenaran berita Barayudha.

“Bahan makanan ini telah tercemar racun, buang dan jangan dipergunakan lagi”, berkata Ranggalawe kepada beberapa prajurit yang bertugas di dapur umum.

“Besok kita akan bertempur, dengan apa kita mengisi perut kita?”, bertanya seorang prajurit kepada kawannya ketika Ranggalawe telah meninggalkan mereka kembali kependapa Rumah Ki Demang Tasikmadu. “Aku akan memerintahkan seluruh penduduk untuk mengeluarkan lumbungnya malam ini juga”, berkata Ki Demang Tasikmadu kepada Raden Wijaya setelah mendengar laporan dari Ranggalawe bahwa lumbung persediaan untuk para prajurit sudah tercemar racun.

“Terima kasih Ki Demang, kami tidak akan melupakan budi besar ini”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Demang Tasikmadu. Sementara itu hujan diatas Kademangan Tasikmadu nampaknya sudah benar-benar reda, hanya menyisakan beberapa genangan ditanah becek dan suara air jatuh dari daun-daun dan ranting ketika angin menggoyangkannya.

Demikianlah, beberapa prajurit terlihat hanya tidur ayam. Mereka memang tidak dapat langsung terpulas, hati dan pikiran mereka banyak ditujukan pada peperangan yang akan mereka temui esok hari, hati dan pikiran mereka seperti terus berjaga, sukar sekali untuk memejamkan mata, apalagi tidur nyenyak.

Dan malam pun terus berjalan bersama langit dan bulan pucat tersamar awan hitam yang terus berjalan ditiup arah angin terburai atau bergabung menjadi bentuk awan baru.

Lama langit malam mencari datangnya warna pagi,

Akhirnya diujung sepi, terlihat semburat warna merah mengintip di ujung timur lengkung langit. Tidak jauh dari rumah Ki Demang Tasikmadu, beberapa prajurit yang bertugas di dapur umum sudah lebih dulu bangun mendahului kawan-kawannya yang baru merasakan kantuk yang sangat setelah diawal dan sepanjang malam begitu sulitnya untuk memejamkan matanya.

Dan pagi itu terdengar suara genderang, sebuah pertanda bahwa seluruh prajurit yang ada di Kademangan Tasikmadu untuk mempersiapkan dirinya, mempersiapkan senjatanya masing-masing, juga mempersiapkan dirinya untuk siap menghadapi pertempurannya, secara lahir dan bathin.

“Semalam aku bermimpi Juminten yang pernah menolak cintaku datang meminta maaf”, berkata seorang prajurit kepada kawannya sambil menyarungkan pedangnya dan meyakinkan bahwa sarung pedangnya telah terikat dengan sempurna di pinggangnya.

“Bukankah Juminten sudah menikah?”, berkata kawannya.

“Namanya juga mimpi, mungkin besok bersambung mimpiku dimana Juminten mengatakan cinta berat kepadaku”, berkata prajurit itu sambil tersenyum kepada kawannya.

“Benar, namanya saja mimpi. Bagaimana bila besok aku yang bermimpi bersama Juminten?”, berkata kawannya itu dengan wajah menggoda.

“Kudatangi mimpimu, kuhajar kamu sampai babak belur”, berkata prajurit itu sambil mengepalkan tangannya ke arah kawannya itu.

Celoteh dua orang prajurit Singasari di Kademangan Tasikmadu itu terhenti manakala terdengar suara genderang kedua, sebuah tanda bahwa seluruh prajurit sudah harus bergerak berkumpul dibawah kesatuannya masing-masing.

Dan jalan tanah di sepanjang Kademangan Tasikmadu itu pun sudah dipenuhi para prajurit Singasari.

Dan ketika terdengar lagi suara genderang yang lebih keras dan panjang, terlihat sebuah pasukan besar telah berjalan menuju padang Kalimayit. Pagi itu matahari seperti menjadi saksi di ujung timur Padang Kalimayit, menyaksikan dua buah kubu pasukan yang masing-masing sudah siap saling membentur. Dua buah pasukan manusia yang berada berseberangan jalan, berseberangan kepentingan. Namun sama-sama mempertahankan pijakan yang sama, kehormatan Rajanya.

“Mereka menggelar perang Jaladri pasang”, berkata Raden Wijaya kepada Barayudha yang saat itu bertugas sebagai pemegang rontek senapati, sebagai petugas penyambung lidah senapati di saat peperangan. ”Persiapkan dirimu, kita akan segera merubah gelar perang Diradameta menjadi Cakra Byuha disaat benturan pertama”, berkata kembali Raden Wijaya kepada Barayudha yang melihat pasukan didepannya tidak sebanding dengan jumlah bala prajurit Singasari yang siap menggilas seperti sekumpulan gajah di padang perburuan. 

“Mereka hanya menginginkan waktu kita tertunda menuju peperangan yang sebenarnya”, berkata Kuda Cemani kepada Raden Wijaya yang saat itu berada disampingnya.

“Artinya kita harus menyelesaikan peperangan ini secepatnya”, berkata Raden Wijaya menanggapi perkataan Raden Wijaya.

Namun, secepat apapun Raden Wijaya untuk menyelesaikan peperangan di padang Kalimayit itu, semua sudah tidak ada artinya lagi. Karena di waktu yang sama, Kotaraja Singasari sudah berubah porak poranda, istana Singasari yang indah itu sudah berubah menjadi tempat buangan sampah atas bangkai-bangkai manusia yang bergelimpangan disana sini bersama bau anyir darah yang bersimbah memenuhi setiap lorongnya. Apa sesungguhnya yang telah terjadi di Kotaraja Singasari?

Ternyata Patih Kebo Mundarang adalah seorang yang sangat cerdik, seorang yang punya kekuatan pikiran dan siasat perang yang sangat cemerlang.

Patih Kebo Mundarang sudah dapat membaca pikiran musuh yang telah memperkirakan pasukan yang dibawanya dari Gunung Rejo baru akan tiba di awal saat fajar.

Kecemerlangan siasat Patih Kebo Mundarang adalah mendahulukan lumbung persediaan makanan disebuah tempat tidak jauh dari Kotaraja. Dengan cara itulah perjalanan para prajuritnya menjadi ringan dan sangat ringkas tanpa membawa apapun yang memberatkan. Dan mereka telah tiba di selatan Kotaraja lebih cepat dari apa yang diperkirakan siapapun, mereka telah tiba jauh sebelum fajar tiba.

Fajar masih mengintip lewat secercah noktah merah diujung timur lengkung langit, disaat itulah bertebaran seperti air bah para prajurit Tanah Gelang-gelang dibawah pimpinan Kebo Mundarang masuk ke Kotaraja dan memporok porandakan seluruh isi istana dimana penghuninya masih terlelap tidur setelah semalaman berpesta pora dalam sebuah upacara resmi.

Mimpi buruk !!, itulah yang dirasakan para penghuni Kotaraja Singasari yang melihat kebiadaban para prajurit Tanah Gelang-gelang yang mabuk kemenangan. Seluruh harta penduduk di rampas dengan sesuka hati, rumahrumah mereka dibakar dibumi hanguskan.

Kotaraja Singasari telah berubah menjadi sebidang padang hitam yang kering menyisakan puing-puing sisa pembakaran, terlihat sebuah bangunan rumah kayu yang hangus masih menyisakan sedikit asap dari sisa puing kayu yang masih membara, disaat itulah Pasukan Pangeran Ardharaja memasuki Kotaraja Singasari.

“Selamat datang wahai Pangeran Ardharaja, putra junjunganku”, berkata Patih Kebo Mundarang di istana Singasari yang sudah dikuasainya.

“Aku meninggalkan pasukan Singasari dengan makanan yang sudah kucemari racun, bila mereka masih hidup setelah peperangan mereka di padang Kalimayit, aku telah menyiapkan mereka hutan pembakaran yang akan menghanguskan mereka sebelum tiba di Kotaraja Singasari ini”, berkata Pangeran Ardharaja kepada Patih Kebo Mundarang tentang apa saja yang telah dilakukannya guna menahan pasukan Raden Wijaya.

“Ayahmu pasti akan bangga dengan apa yang telah kamu ciptakan, wahai anak harimau besar”, berkata Patih Kebo Mundarang kepada Pangeran Ardharaja dengan penuh kebanggaan.

“Dimana para keluarga Istana Singasari saat ini”, bertanya Pangeran Ardharaja kepada Patih Kebo Mundaran.

“Keluarga dan Raja Tumapel itu kami biarkan berada di Pasanggrahan Ratu Anggabhaya, saat ini mungkin mereka tengah menangis bersama”, berkata Patih Kebo Mundaran disertai tawanya yang meledak-ledak penuh kebanggaan diri.

“Aku akan kesana”, berkata Pangeran Ardharaja kepada Patih Kebo Mundarang yang masih tertawa panjang.

“Aku akan menunggu Pangeran, begitu seharusnya seorang menantu mengunjungi orang tua mertua”, berkata kembali Patih Kebo Mundarang dengan masih tertawa berkepanjangan.

“Paman Patih menungguku untuk apa?”, bertanya Pangeran Ardharaja kepada Patih Kebo Ardharaja.

“Bukankah Pangeran telah membuat hutan pembakaran?, disanalah kita akan melanjutkan pesta terakhir kita”, berkata Patih Kebo Mundarang kepada Pangeran Ardharaja.

“Jadi kita akan menyongsong mereka diluar Kotaraja?”, bertanya kembali Pangeran Ardharaja.

“Kita bermain dengan waktu dan nafas, disaat mereka lelah dan tidak akan menyangka bahwa kita sudah menunggu untuk membantai mereka di perjalanan”, berkata Patih Kebo Mundarang menyampaikan siasatnya.

“Sebuah siasat perang yang hebat, ayahku pasti bangga punya patih seperti Pamanda”, berkata Pangeran Ardharaja sambil berpamit diri untuk menemui Ayah mertuanya di Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Patih Kebo Mundarang, seluruh keluarga istana saat itu memang telah berkumpul di Pasanggrahan Ratu Anggabhaya. Sebuah tempat di istana yang sangat disucikan oleh semua orang. Konon ditempat itulah tersimpan segala pusaka milik Raja Erlangga.

Terlihat Pangeran Ardharaja bersama beberapa pengawalnya memasuki pintu gerbang Pasanggrahan Ratu Anggabhaya. Di Pendapa utama Pasanggrahan tengah berkumpul beberapa kerabat keluarga istana, Ratu Anggabhaya, Lembu Tal serta Baginda Maharaja Kertanegara.

Pangeran Ardharaja sudah berada di bawah tangga pendapa langsung menaiki anak tangga Pendapa Utama Pasanggrahan Ratu Anggabhaya, sementara itu beberapa pengawalnya terlihat berhenti sampai di anak tangga pendapa utama.

“Ampunkan ananda yang tidak mampu menjaga keluarga”, berkata Pangeran Ardharaja sambil duduk bersujud dihadapan Baginda Maharaja Singasari.

“Harusnya saat ini kamu masih di Padang Kalimayit bersama seluruh prajurit Singasari, membela kebesaran dan harga diri Singasari Raya di Tanahnya sendiri”, berkata Maharaja Singasari dengan suara datar kepada Pangeran Ardharaja yang masih bersujud dihadapannya.

“Raden Wijaya tidak menginginkan Ananda di Peperangannya”, berkata Pangeran Ardharaja memberikan alasan kenapa dirinya kembali ke Kotaraja Singasari.

“Raden Wijaya telah berlaku benar, itulah yang akan aku lakukan seandainya aku berdiri sebagai seorang Senapati di sebuah peperangan.

“Apakah Ayahanda tidak mempercayai ananda?”, berkata Pangeran Ardharaja yang masih bersujud dihadapan Maharaja Singasari.

“Aku memang belum dapat mempercayai dirimu, itulah sebabnya aku memintamu bersama pasukanmu keluar dari kotaraja Singasari”, berkata Maharaja Singasari kepada Pangeran Ardharaja.

“Jadi Ayahanda belum dapat mempercayai ananda, anak menantu sendiri?”, berkata Pangeran Ardharaja sambil mengangkat wajahnya memandang Maharaja Singasari.

“Aku belum dapat mempercayai anak menantuku dari besanku yang juga saudaraku”, berkata Maharaja Singasari dengan mata tajam penuh kebencian menatap Pangeran Ardharaja.

“Sewajarnya Ayahanda membeci kami, karna kami juga menginginkan kematian Ayahanda”, berkata pangeran Ardharaja kepada Maharaja Singasari yang terperanjat mendengar perkataan dari pangeran Ardharaja. Namun keterkejutan Maharaja Singasari semakin bertambah manakala Pangeran Ardharaja dengan kecepatan yang tidak diduga, dari tempat yang begitu dekat telah mengeluarkan keris pusaka kayu hitamnya dan langsung saat itu juga menembus jantung Maharaja Singasari.

Tidak seorangpun menyangka Pangeran Ardharaja telah berani berbuat sekeji itu, tapi itulah yang telah terjadi.

Beberapa saat yang begitu pendek, semua mata yang ada di Pendapa utama itu seperti terbelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Namun saat itu juga Pangeran Ardharaja terkesiap memandang wajah Maharaja Singasari yang sepertinya tidak merasakan apapun, bahkan terdengar tawanya yang begitu keras bergema.

“Akhirnya mimpi burukku telah digenapi, melihat istanaku porak poranda oleh saudaraku sendiri, melihat keris kayu hitam menembus jantungku sendiri, oleh anak menantuku sendiri”, berkata Maharaja dengan sebuah tawa yang bergema seperti datang dari berbagai penjuru arah angin.

Terlihat Pangeran Ardharaja dengan wajah gugup berdiri dan mundur beberapa langkah, peluh terlihat telah membanjiri wajah dan tubuhnya, rasa takut yang sangat telah memenuhi jiwanya.

“Biarkan anak saudaraku itu keluar dari pandangannku, biarkan dia hidup dalam beribu penyesalan”, berkata Maharaja Singasari sambil mengangkat sebuah tangannya mencoba menghentikan langkah Pangeran Lembu Tal yang telah menjadi begitu murka atas apa yang dilakukan oleh Pangeran Ardharaja.

Ucapan Maharaja Singasari telah memberi peluang kepada Pangeran Ardharaja yang telah bergeser mendekati anak tangga pendapa.

Akhirnya dengan mata masih menatap wajah Maharaja Singasari, Pangeran Ardharaja telah langsung lompat turun dari pendapa, tanpa perkataan sedikitpun Pangeran Ardharaja telah melangkah berlari yang diikuti olah para pengawalnya keluar pintu gerbang Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.

“Saudaraku Pangeran Lembu Tal, mendekatlah”, berkata Maharaja Singasari yang masih tetap duduk tegap meski sebuah keris menancap tepat dijantungnya.

Terlihat Pangeran Lembu Tal datang mendekat, Ratu Anggabhaya juga sudah ikut datang mendekat, beberapa kerabat yang ada saat itu juga ikut datang mendekat.

“Kebahagianku ada bersama kalian, wahai saudaraku. Kutitipkan semua milikku kepada Raden Wijaya sebagaimana Ayahandaku Maharaja  Ranggawuni pernah meninitipkannya. Aku akan hidup selamanya, menjadi matanya memandang Singasari Raya lebih besar dari yang kulihat saat ini. Itulah mimpiku dan mimpi Ayahandaku Maharaja Ranggawuni”, berkata Maharaja Singasari kepada Pangeran Lembu Tal dengan mata dan wajah penuh senyum kebahagiaan.

Itulah pesan terakhir dari Maharaja Singasari yang didengar oleh semua yang ada di pendapa utama Pasanggrahan Ratu Anggabhaya. Dan perkataan itu pula tanda akhir dari kehidupan Maharaja Singasari, terlihat tubuhnya telah limbung kekiri dan rebah terlentang diatas papan kayu pendapa utama Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.

“Beliau telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, mendahului kita semua”, berkata Ratu Anggabhaya yang memeriksa tubuh Maharaja Singasari yang terlentang tidak bergerak lagi.

“Maharaja Singasari yang perkasa, pemersatu bumi mengembuskan napasnya di tanah suci, ditempat para leluhurnya menyimpan semua pusakanya”, berkata Pangeran Lembu Tal sambil menarik nafas panjang menatap wajah Sri Baginda Maharaja yang diakhir hidupnya telah melihat masa depan Singasari dalam mata anaknya Raden Wijaya.

“Dan kita hanya menjadi saksi, sebatas saksi atas putra Raden Wijaya yang saat ini tengah berada dalam peperangannya. Dan kita para orang tua masih sangat dibutuhkannya, sebagai cahaya kehidupannya, terus membakar semangatnya merebut kembali Singasari Raya”, berkata Ratu Anggabhaya kepada semua yang hadir diatas pendapa utama.

Sementara itu di Padang Kalimayit, api peperangan sudah lama berkobar antara pasukan Singasari di bawah pimpinan Raden Wijaya dengan pasukan dari Tanah Gelang-gelang di bawah pimpinan Senapati Jaran Guyang.

Bukan main kagetnya Senapati Jaran Guyang ketika dalam benturan pertama, tiba-tiba saja gelar perang pasukan Singasari dengan cepat telah mengubah gelar perangnya.

“Cakra Byuha”, berkata dalam hati Senapati jaran Guyang dengan mata terbelalak. “Tugas kita dalam peperangan ini adalah menahan pihak lawan, bertahanlah sejauh kamu bisa”, berteriak Senapati Jaran Guyang memberi semangat para prajuritnya. Namun dihati kecilnya menyumpah serapah kepada Patih Kebo Mundarang yang menjadikan pasukannya sebagai umpan lawan.

Gelar perang Cakra Byuha memang sebuah gelar yang luar biasa, sebuah gelar perang yang hanya dapat dilakukan dan mengandalkan jumlah pasukan yang lebih banyak dari jumlah lawan.

Terlihat para prajurit Singasari yang punya pengalaman jauh lebih tinggi telah menunjukkan kemampuannya dalam gelar perang Cakra Byuha. Pasukan dari Tanah Gelang-gelang seperti kawanan burung emprit yang akan turun bersama menghabisi pelataran sawah tiba-tiba saja tergilas oleh lingkaran besar yang berputar membantai siapapun yang datang mendekat.

Korban dari pihak prajurit Tanah Gelang-gelang jatuh berguguran, sisanya berhamburan menyelamatkan dirinya masing-masing.

Demikianlah, pada benturan pertama pasukan Raden Wijaya telah menunjukkan kemampuannya. Dan korban di pihak pasukan Tanah Gelang-gelang terus bertambah semakin mengurangi jumlah mereka, juga kekuatannya.

Ternyata para prajurit dari tanah Gelang-gelang adalah para prajurit yang baru ditempa satu dua tahun yang kebanyakan adalah para penyamun jalanan yang diperam secara paksa mungkin dengan upah dan janji oleh Raja Jayakatwang menjadi seorang prajurit. Mereka belum memiliki jiwa seorang prajurit sebenarnya. Maka melihat benturan pertama dan jumlah pihak lawan yang berlipat ganda telah membuat mereka panik, tidak tahu lagi arah dan paugeran yang seharusnya dilakukan oleh sepasukan prajurit sebenarnya.

Dan Senapati Jaran Guyang sepertinya tidak dapat lagi mengendalikan prajuritnya, mereka bertempur tanpa arahan, mereka bertempur seperti ketika mereka bertempur sebagai seorang penyamun, kasar dan tanpa aturan.

“Dasar penyamun jalanan”, berteriak Senapati Jaran Guyang merasa putus asa tidak mampu lagi mengendalikan prajuritnya.

“Pertahankan gelar kalian, perang belum usai”, berkata Raden Wijaya yang diterjemahkan oleh Barayudha yang memegang rontek senapati menyampaikannya kepada para penghubung di arena pertempuran.

“Jangan keluar dari kesatuanmu”, berkata seorang prajurit tua Singasari kepada kawannya yang masih muda yang nampaknya terpancing dengan cara prajurit musuh yang bertempur dengan kasar dan ucapan yang sangat kotor memanaskan telinganya.

“Terima kasih”, berkata prajurit muda Singasari kepada kawannya yang mengingatkannya.

Dan pertempuran antara dua kubu itupun sudah dapat dipastikan siapa diantaranya yang akan keluar membawa kemenangan, hanya masalah waktu.

“Raden Wijaya telah menguasai  peperangannya”, berkata Arya Kuda Cemani yang melihat gerak secara menyeluruh dari peperangan yang masih berlangsung itu.

“Pegang kendali Senapati ini wahai saudaraku Ranggalawe, aku akan meredang orang itu”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe sambil langsung mendekati salah seorang pihak lawan yang dilihatnya begitu kuat sehingga sering dapat merusak barisan prajuritnya.

Ternyata orang yang didekati oleh Raden Wijaya adalah Senapati Jaran Guyang.

“Trang!!!”, pedang Raden Wijaya sudah manahan sebuah sabetan pedang Senapati jaran Guyang yang ditujukan kepada seorang prajurit muda Singasari.

Bukan main kagetnya Senapati Jaran Guyang merasakan tangannya tergetar ketika pedangnya terbentur sebuah pedang Raden Wijaya.

“Akhirnya aku menemui kawan bertempur yang lumayan tangguh”, berkata Senapati Jaran Guyang mencoba mengingkari perasaan kagetnya.

“Aku memang sengaja datang menemuimu”, berkata Raden Wijaya dengan wajah tenang menatap tajam Senapati Jaran Guyang.

“Kukira kamu akan terus berlindung dibalik barisan prajuritmu”, berkata Senapati Jaran Guyang dengan wajah merendahkan setelah tahu dihadapannya adalah seorang Senapati sebagaimana dirinya.

“Aku hanya tidak tega melihat dirimu sebagai orang terakhir yang mati di padang Kalimayit ini”, berkata Raden Wijaya sambil tersenyum mencoba membakar amarah Senapati Jaran Guyang.

“Kamu akan menyesal dengan semua yang kamu katakan”, berkata Senapati jaran Guyang dengan wajah merah membara yang ternyata mudah terpancing amarahnya.

“Aku tidak akan menyesal membunuh seorang Senapati tua sepertimu”, berkata kembali Raden Wijaya dengan sebuah senyuman dibibirnya merasa telah dapat menyulut kemarahan lawan.

“Kamu benar-benar akan menyesal”, berteriak Senapati Jaran Guyang sambil menerjang Raden Wijaya seperti seekor banteng ngamuk menghajar apapun didepannya.

Terlihat Raden Wijaya telah sedikit bergeser kekanan menghindari serangan itu yang diketahuinya hanya sebagai gebrakan awal yang mencoba menggertak semangat lawannya. Namun diam-diam Raden Wijaya mengukur kekuatan lawan lewat angin sambarannya.

“Ternyata orang ini mempunyai tenaga banteng”, berkata Raden Wijaya yang merasakan angin sambaran pedang lawan yang dapat dihindari sambil langsung membalas serangan lawan.

Bukan main kagetnya Senapati Jaran Goyang yang melihat begitu cepat dan mudahnya Raden Wijaya mengelak serangannya bahkan sudah langsung mengancam pertahanannya.

“Gila!!”, berkata Senapati jaran Guyang sambil melompat mundur menghindari tusukan pedang Raden Wijaya yang tiba-tiba saja sudah mengarah ke perutnya.

Ternyata Raden Wijaya tidak sedang ingin bermain-main, yang ada dalam pikirannya adalah secepatnya menyelesaikan pertempurannya, dalam benaknya hanya terpikir suasana Kotaraja yang dalam keadaan bahaya besar. Maka bukan main kagetnya Senapati Jaran Guyang yang baru saja mundur mengelak sudah kembali mendapatkan serangan.

Terlihat Senapati Jaran Guyang harus melompat kesamping menghindari tebasan pedang raden Wijaya. Demikianlah pertempuran antara senapati dari dua kubu yang berbeda telah berlangsung, terlihat Raden Wijaya sepertinya tidak memberikan sedikitpun kesempatan bagi Senapati Jaran Guyang untuk bernapas.

Serangan Raden Wijaya seperti ombak yang datang bergulung-gulung. Namun ternyata Senapati Jaran Guyang bukan orang kemarin sore dalam hal kanuragan. Dapat dikatakan sebagai orang yang cukup berilmu tinggi. Beberapa kali masih dapat balas menyerang. Namun menghadapi Raden Wijaya yang ingin secepatnya menyelesaikan pertempurannya, Senapati Jaran Guyang seperti sebuah bunga kapuk yang dipermainkan angin deras, terpuruk kesana kemari melayang tanpa arah pasti.

Akhirnya, sebuah tendangan Raden Wijaya berhasil menghajar pinggang Senapati jaran Guyang. Tubuh yang besar itu seperti terlontar dihantam tendangan Raden Wijaya yang dirangkapi tenaga cadangan, meski belum sepenuh kekuatannya.

Beng!!!

Tubuh Senapati jaran Guyang yang besar dan berat itu jatuh menghantam tanah keras.

Tapi ternyata Senapati Jaran Guyang punya kekuatan banteng, secepatnya sudah bangkit berdiri dengan wajah penuh angkara merah membara langsung memburu Raden Wijaya dengan pedangnya.

Cratttt !!!

Pedang Raden Wijaya berhasil melukai sebuah sisi yang terbuka dari tubuh Senapati Jaran Guyang, sisi yang terbuka itu dua buah paha kaki dari Senapati jaran Guyang. Terlihat tubuh Senapati Jaran Guyang seperti meluncur terbawa tenaga serangannya sendiri dan terjerambat kembali dengan benturan ketanah lebih keras dari sebelumnya.

Naas bagi Senapati Jaran Guyang, bukan cuma tubuhnya yang terbanting menghajar tanah keras, tapi kepalanya juga membentur sebuah batu keras.

Terlihat Senapati jaran Guyang langsung tidak bergerak lagi. Ternyata nyawanya sudah pergi melayang bersama benturan kepalanya yang terhantam batu cadas keras yang banyak terhampar diatas padang Kalimayit.

“Perang belum berakhir, aku akan menyaksikan lebih banyak lagi darah dan kematian”, berkata Raden Wijaya dalam hati sambil menarik nafas panjang.

Terlihat juga Raden Wijaya menyapu dengan matanya ke seluruh arena peperangan.

“Para prajuritku sudah menguasi seluruh arena”, berkata kembali Raden Wijaya kepada dirinya sendiri.

Sebagaimana yang dilihat oleh Raden Wijaya, seluruh pasukannya memang telah menguasai medan pertempuran. Terlihat beberapa orang prajurit musuh telah melemparkan senjatanya tanda menyerah. Sementara hanya tinggal beberapa orang terpisah masih juga belum menyerah.

“Orang bodoh, tidakkah kamu melihat kawanmu sudah banyak yang mati dan menyerah?”, berkata seorang prajurit Singasari kepada seorang prajurit Tanah Gelanggelang yang sudah terluka namun masih juga tidak mau menyerah.

“Aku memilih mati di medan perang ketimbang menjadi tawanan perang”, berkata orang itu sambil memegang senjata golok besarnya seperti takut terlepas dari gemgamannya.

“Orang bodoh!!”, berkata salah seorang sambil maju menghantam golok besar itu dengan pedangnya.

Trang!!, golok besar itu langsung terlepas dari genggaman prajurit keras kepala itu

Plak, plak!!, dua kali prajurit keras kepala itu merasakan kedua pipinya ditampar dengan keras hingga sempat menanggalkan dua buah giginya.

“Ikat prajurit keras kepala itu”, berkata orang yang menggampar prajurit itu yang ternyata adalah Ranggalawe.

Terlihat dua orang prajurit Singasari mendatangi prajurit keras kepala itu yang telah jatuh duduk lemas dengan kepala terasa pening berputar-putar. Dan tidak ada kekuatan apapun manakala kedua tangannya diikat dengan kuatnya.

Demikianlah, peperangan sudah hampir berakhir. Satu persatu prajurit dari Tanah Gelang-gelang akhirnya sudah dapat dikuasai.

“Aku menyerah”, berkata seorang prajurit dari Tanah Gelang-gelang sambil melemparkan senjatanya yang diikuti oleh beberapa kawannya.

Sementara itu matahari di atas padang Kalimayit terlihat sudah bergeser dari puncaknya. Terdengar suara angin berhembus diatas tanah padang kalimayit seperti suara seruling kematian. Siapapun yang melihat pemandangan disaat perang yang telah usai itu akan merasakan sebuah jerit kengerian yang sontak bersama bulu kuduk yang berdiri sebagai tanda sebuah kengerian yang sangat. Bagaimana tidak menimbulkan kengerian yang sangat bagi siapapun yang memandang begitu banyaknya mayat manusia yang bergelimpangan kaku mengisi hampir setiap sudut Padang Kalimayit yang hanya dipenuhi semak ilalang.

“Para prajurit akan mengurus semua yang mati dan terluka, perang telah usai”, berkata Ranggalawe kepada Raden Wijaya sambil mengajaknya kembali ke Kademangan Tasikmadu.

“Bagaimana menurut Paman, apakah para prajurit Kotaraja masih dapat bertahan menunggu kedatangan kita?”, berkata Raden Wijaya penuh kekhawatiran  kepada Arya Kuda Cemani ketika mereka sudah berada di Pendapa rumah Ki Demang Tasikmadu.

“Kotaraja dibentengi perbukitan, bila mereka siaga  musuh dari manapun tidak akan mudah masuk”, berkata Arya Kuda Cemani kepada Raden Wijaya.

“Musuh kita kali ini ternyata sudah dapat menahan satu hari perjalanan pasukan kita”, berkata raden Wijaya.

“Peperangan adalah permainan pikiran, sekuat apa kita menjadi pengendali dari permainan itu, membaca apa yang dipikirkan musuh dan menjebaknya pada langkah akhir disebuah sudut”, berkata Arya Kuda Cemani kepada Raden Wijaya.

“Artinya pihak musuh saat ini telah berhasil membaca langkah kita?”, bertanya Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani.

“Juga telah dapat menghitung kapan kita datang ke Kotaraja”, berkata Arya Kuda Cemani.

“Apakah artinya kita selekasnya berangkat ke Kotaraja?”, bertanya Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani. “Benar, kita harus bergerak cepat”, berkata Arya Kuda Cemani.

“Artinya kita berangkat dalam beberapa gelombang, diawali pasukan berkuda yang paling dimungkinkan dapat bergerak cepat, menyusul para prajurit pejalan kaki yang akan disambung para prajurit yang telah menyelesaikan merawat beberapa orang yang terluka di Kademangan Tasimadu ini”, berkata Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani sepertinya meminta pertimbangannya.

“Raden sudah mencoba sebuah langkah dari permainan pikiran ini dengan segala macam pertimbangan dan kemungkinan. Dan tugas seorang senapati adalah membuat sebuah keputusan dengan mata dan pikiran terbuka, siap menghadapi semua kemungkinan”, berkata Arya Kuda Cemani kepada Raden Wijaya.

“Aku sudah membuat keputusan”, berkata Raden Wijaya yang merasa sudah siap membuat sebuah keputusan, sebuah keputusan secepatnya berangkat ke Kotaraja dengan pasukan yang paling cepat bergerak, pasukan berkudanya.

Demikianlah, Raden Wijaya telah mengumpulkan pasukan berkudanya untuk secepatnya berangkat Ke Kotaraja.

Sementara itu matahari diatas Kademangan Tasikmadu belum jatuh sejajar batas jarak pandang mata, cahayanya masih menyengat membakar tanah jalanan. Disaat itulah pasukan berkuda Raden Wijaya terlihat telah bergerak meninggalkan Kademangan Tasikmadu.

Dua ribu pasukan berkuda telah bergerak bersama  keluar dari regol gerbang Kademangan Tasikmadu. Terlihat debu mengepul dibelakang setiap kaki  kuda yang langsung bergerak berlari dalam sebuah barisan panjang.

Demikianlah Raden Wijaya telah membawa pasukan kudanya menuju Kotaraja Singasari. Arya Kuda Cemani dan Ranggalawe terlihat berkuda mendampingi Raden Wijaya.

Akhirnya pasukan berkuda itu telah memasuki jalan tanah yang cukup lebar, sehingga kuda-kuda mereka dapat berlari lebih cepat lagi.

Terlihat Raden Wijaya menghentakkan perut kudanya sebagai tanda agar kudanya dapat berlari lebih cepat lagi.

Melihat Senapati mereka memacu kudanya begitu cepat, seluruh prajurit berkuda dibelakangnya sepertinya tidak ingin tertinggal jauh, mereka ikut memacu kudanya.

Luar biasa!!, pasukan berkuda itu seperti barisan angin hitam berlari diatas jalan tanah menimbulkan kabut debu yang bertebaran dan berhamburan disepanjang jalan yang mereka lalui.

Terlihat beberapa gerobak pengangkut barang langsung menepikan arah kuda mereka jauh dari tepi jalan agar tidak terhempas langkah kaki kuda pasukan Raden Wijaya yang berlari kencang seperti berburu angin.

Demikianlah, pasukan berkuda Raden Wijaya terus memacu kudanya berlari menyusuri jalan tanah menuju Kotaraja, hingga akhirnya mereka sudah tiba disebuah jalan yang terhimpit dua buah hutan berbukit.

Bukan main terperanjatnya Raden Wijaya ketika mereka melihat batang-batang kayu hutan malang melintang memenuhi dan merintangi jalan mereka. “Pasti ini perbuatan pasukan Pangeran Ardharaja”, berkata Raden Wijaya sambil memperlambat jalan mereka.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar