Kabut Di Bumi Singasari Jilid 07

Mahesa Amping telah melihat bahwa Ki Sandikala tidak mampu lagi melontarkan ilmu andalannya aji gelap ngampar yang dahsyat itu.

“Aku sudah menutup sumber kekuatanmu Ki Sandikala”, berkata Mahesa Amping dengan suara bergema dan bergetar menyesakkan dada Ki Sandikala.

“Kamu memang luar bisa anak muda, mengapa tidak langsung saja menghentakkan ilmumu?, aku bangga mati ditanganmu”, berkata Ki Sandikala sambil mencaricari sumber suara Mahesa Amping.

“Aku dapat saja menghancurkan tubuhmu setiap saat, tapi aku bukan seorang pembunuh”, berkata Mahesa Amping melepaskan suaranya dengan kekuatan yang bersumber dari tenaga cadangan yang tinggi terdengar bergema dari berbagai penjuru menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya.

“Kamu punya hak untuk membunuhku, itulah yang akan kulakukan kepada semua lawanku”, berkata Ki Sandikala sangat heran bahwa Mahesa Amping tidak langsung melumatkan dirinya.

“Aku dan siapapun tidak punya hak apapun atas jiwa yang hidup”, berkata Mahesa Amping masih dengan suara yang dilambari kekuatan yang menggetarkan dada.

“Bukankah kamu sudah berada diambang kemenangan?”, berkata Ki Sandikala.

“Gusti Yang Maha Tunggal yang punya hak atas segala jiwa yang hidup”, berkata Mahesa Amping.

“Sembahan kami adalah Dewa Matahari, kepadanyalah kami hidup dan mati”, berkata Ki Sandikala

“Apakah saat ini dewamu dapat menolongmu wahai Ki Sandikala?”, berkata Mahesa Amping.

Didalam kepekatan kabut yang membatasi pemandangan, Mahesa Amping masih dapat melihat jelas Ki Sandikala seperti tengah tercenung dengan apa yang dikatakan oleh Mahesa Amping.

“Gusti yang Maha Tunggal tidak dapat dibatasi oleh apapun, kekuatan dan kekuasaannya tidak dapat dihalangi oleh apapun”, berkata kembali Mahesa Amping yang melihat Ki Sandikala masih tercenung sepertinya tengah menemukan sesuatu yang selama ini belum pernah ditemuinya.

“Apakah yang kamu maksud Dia Yang Maha melihat?”, bertanya Ki Sandikala

“Benar, Gusti Yang Maha Tunggal Maha Melihat segalanya”, berkata Mahesa Amping dengan suara yang masih penuh kekuatan menggetarkan dada

“Apakah yang kamu maksud Dia Yang Maha Pemelihara penuh kasih?”, bertanya Ki Sandikala

“Benar, Gusti Yang Maha Tunggal adalah Dia Yang Maha memelihara penuh kasih”, berkata Mahesa Amping yang tidak lagi melepaskan suaranya dengan kekuatan ilmunya.

Mahesa Amping juga telah menarik ilmu kekuatan kabutnya, perlahan kabut hitam di puncak bukit Karang Gajah semakin menipis dan akhirnya hilang meninggalkan pemandangan yang bersih terang benderang diterangi sinar matahari pagi yang penuh bercahaya.

Ketika kabut gelap menghilang sirna, ternyata Mahesa Amping cuma sejarak sepuluh langkah dari Ki Sandikala.

“Ketika kabut pekat menutupi segala pandangku, aku melihat kehadiranNYA. Ternyata selama ini aku salah menempatkan antara diriku dan diriNYA. Aku  merasa ada didalam tiada. Sesaat dan selalu sesaat itu memberi kenyamanan yang tak terhingga yang tidak pernah kurasakan dan kualami sebelumnya. Ijinkan aku berguru kepadamu, agar aku dapat mengenalNYA lebih dekat lagi”, berkata Ki Sandikala yang tidak terduga telah menemukan sesuatu yang aneh didalam dirinya kepada Mahesa Amping.

“Yang Ki Sandikala lihat adalah Dia Yang Maha Tunggal, yang mengendalikan matahari terbit dan terbenam. Yang Maha Tunggal telah memperkenalkan dirinya kepada Ki Sandikala. Dia Yang Maha Tunggal punya kekuasan memilih siapapun yang ingin dipilihnya. Dialah Guru  sejati yang membimbing siapapun yang dikehendaki”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Sandikala.

“Tuntunlah aku untuk dapat selalu bersamaNYA”, berkata Ki Sandikala sambil merangkap kedua tangannya  didada.

Terlihat Mahesa Amping datang mendekatinya. “Kita berjodoh, tidak semua orang diperkenalkannya. Kebetulan sekali aku lebih dulu mengenalNYA. Aku yang muda bersedia menjadi penuntunmu”, berkata Mahesa Amping sambil menyentuh pundak Ki Sandikala.

“Terima kasih”, berkata Ki Sandikala kepada Mahesa Amping dengan senyum penuh rasa terima kasih, sepertinya mereka bukan lagi sepasang musuh, tapi dua orang sahabat lama yang saling mengasihi.

Sementara itu matahari diatas puncak Bukit Karang Gajah sudah semakin naik ke puncaknya. Namun hawa yang sejuk dan segar di atas puncak Bukit Karang Gajah itu sepertinya meredam panasnya sinar matahari.

“Mari kita urus semua orang yang terlanjur terluka dan gugur di Puncak Bukit Karang ini”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Sandikala.

“Semua ini adalah kesalahanku”, berkata Ki Sandikala sambil melihat beberapa mayat yang bergeletakan.

“Tidak perlu merasa bersalah, semua memang sudah menjadi takdir dan garisNYA”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Sandikala.

Demikianlah, pada saat itu terlihat beberapa prajurit tengah membuat beberapa lobang kubur untuk memakamkan orang-orang yang gugur di puncak Bukit Karang Gajah itu. Sementara itu beberapa prajurit lagi terlihat tengah mengurus orang-orang yang terluka.

“Kita harus menunggu beberapa hari disini, ada  beberapa orang perlu perawatan khusus sebelum dapat berjalan sendiri kembali ketempatnya”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping

“Terima kasih, jiwa kalian seperti samudra”, berkata Ki Sandikala merasa terharu melihat perhatian yang besar kepada orang yang sebelumnya menjadi musuh mereka.

Dua malam mereka harus tinggal di puncak bukit Karang Gajah, beberapa orang yang terluka ringan sudah pulih kembali. Sementara satu dua orang yang terluka cukup berat masih harus mendapatkan perawatan yang khusus, tapi sudah tidak membahayakan nyawanya.

Pagi itu di puncak Bukit Karang Gajah, dua rombongan terlihat akan berpisah karena arah jalan mereka yang berbeda.

“Adikku Setyakala, kutitipkan Padepokan Gunung Wilis kepadamu, aku akan mengikuti garis hidupku sendiri, mengikuti penguasa sang waktu mengenal dan menguak segala kebesaraannya. Bila berjodoh, kita pasti berkumpul kembali bersama”, berkata Ki Sandikala kepada saudara mudanya bernama Setyakala yang akan kembali kekediamannya di Padepokan Gunung Wilis di Jawadwipa.

“Tidak ada kuasa untuk adinda Setyakala menahan keinginan kakanda Sandikala, aku hanya berdoa untuk Kakanda Sandikala, doa adinda Setyakala selalu menyertai langkah Kakanda Sandikala dalam menemukan pencerahan bathin menuju kebenaran hakiki. Pada saatnya mungkin adinda Setyakala akan menerima kebenaran yang kakanda Sandikala yakini adalah sebuah kebenaran. Namun hari ini keyakinan adinda masih menapak pada kebenaran yang telah diajarkan oleh leluhur kita, ayahanda tercinta”, berkata Ki Setyakala kepada Ki Sandikala penuh keharuan sebagai saudara kandung yang selama ini selalu bersama.

“Berjalanlah kembali wahai adikku Setyakala, kita saat ini berada disimpang jalan kebenaran. Jalani apa yang kamu yakini, karena kita tidak pernah memilih jalan keyakinan kecuali dipilih oleh sang penguasa waktu, pemilik kebenaran itu sendiri”, berkata Ki Sandikala penuh senyum kepada adiknya Ki Setyakala.

Sementara itu matahari pagi diatas puncak bukit Karang Gajah sudah mulai merangkak naik, terlihat iring-iringan Ki Setyakala bersama rombongannya telah menuruni tanah Bukit Karang Gajah diantar dan diringi pandangan mata Ki Sandikala, Mahesa Amping, Empu Dangka dan Pendeta Gunakara.

Iring-iringan Ki Setyakala dan rombongannya akhirnya telah menghilang tak terlihat lagi dijalan berliku dan menurun diantara belukar dan semak hutan yang gelap disisi barat Bukit Karang Gajah.

Tidak lama kemudian Ki Bancak mewakili para prajurit berpamit untuk kembali ketempat tugasnya masingmasing.

“Hamba mengiringi para prajurit mohon pamit diri, beberapa hari lagi hamba seperti biasa akan menemui tuan Senapati di Padepokan Pemecutan”, berkata Ki Bancak kepada Mahesa Amping.

“Terima kasih atas semua dan segalanya, aku akan selalu menunggumu di Padepokan Pemecutan”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Bancak. Matahari sudah mulai naik semakin keatas langit puncak buki karang Gajah manakala rombongan Ki Bancak dan para prajurit Singasari menuruni puncak bulit Karang Gajah.

“Akhirnya semua dapat diselesaikan, meski ada satu dua korban”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping.

“Mari kita kembali ke Padepokan Pemecutan”, berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka.

Sementara itu Matahari di langit diatas Bukit Karang Gajah sudah mulai bergeser turun sedikit, panasnya tidak begitu terik karena terhalang rimbunan pepohonan hutan. Terlihat Mahesa Amping, Ki Sandikala, Empu Dangka, Pendeta Gunakara dan Arga Lanang tengah menuruni bukit Karang Gajah.

Akhirnya, diujung senja mereka telah sampai di Pedepokan Pemecutan, seluruh warga Padepokan Pemecutan datang menyambut kedatangan mereka dengan gembira dan penuh rasa syukur. Hari itu juga mereka merayakan suasana gembira dengan sebuah acara makan malam bersama hingga jauh malam.

***

Sementara itu jauh dari Balidwipa, di hari yang sama di tanah Gelang-gelang. Terlihat seorang berkuda sudah memasuki gerbang kota Gelang-gelang.

Rembulan muda di atas Kotaraja Gelang-gelang bersembul dilangit malam dalam cahaya buram bersama beberapa bintang yang berkelip jauh. Warna malam sepertinya jauh dari kegembiraan suasana hati penunggang kuda itu.

Wajah orang itu dipenuh kesuraman, matanya terlihat berkilat penuh kebencian. Kuda orang itu terlihat berhenti di sebuah rumah besar di jalan Kotaraja Gelang-gelang yang sudah begitu sepi, karena hari sudah jauh malam.

“Katakan kepada tuanmu, aku Wirondaya ingin menemuinya”, berkata orang itu yang ternyata adalah Wirondaya. Seorang buronan Kotaraja Singasari keponakan Adipati Wiraraja dari Sunginep.

“Hari sudah jauh malam, tidakkah tuan datang kembali besok pagi?”, berkata penjaga rumah itu kepada Wirodaya.

“Katakan kepada tuanmu, aku Wirondaya ingin menemuinya”, berkata kembali Wirondaya kepada penjaga itu dengan suara yang lebih tegas.

Penjaga itu nampaknya sudah punya banyak pengalaman, dapat membedakan orang biasa maupun orang penting. Penjaga itu mendapat firasat bahwa orang didepannya itu adalah “mungkin” seorang yang biasa dilayani. Maka dirinya tidak ingin berurusan dengan halhal yang tidak mengenakkan, akhirnya dengan keraguan yang dipaksakan penjaga itu masuk kedalam lewat pintu butulan rumah itu.

“Silahkan tuan naik ke Pendapa, Senapati Jaran Guyang bersedia menerima tuan”, berkata penjaga itu yang sudah keluar kembali lewat pintu butulan mengabarkan kepada Wirondaya yang menunggunya diregol pintu gerbang rumah itu.

“Terima kasih”, berkata Wirondaya kepada penjaga itu sambil langsung melangkah menuju pendapa rumah itu.

Bersamaan ketika Wirondaya menapakkan kakinya di anak tangga pendapa, pintu utama terbuka dan terlihat dari dalamnya keluar seorang yang bertubuh kekar sebagai tanda ahli kanuragan yang terlatih. Wajahnya yang keras cukup membawa kegentaran siapapun yang menatapnya.

“Ternyata sahabatku Wirondaya”, berkata Senapati Jaran Guyang menyambut penuh senyum kepada Wirondaya.

“Aku gembira, masih ada orang yang memanggilku sebagai sahabat”, berkata Wirondaya kepada Senapati Jaran Guyang yang menyambutnya penuh keramahan.

“Sekali sahabat, tetap sebagai sahabat sepanjang  masa”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya sambil mengajaknya duduk di pendapa rumahnya.

“Nasib ternyata telah membedakan kita, dulu kita samasama prajurit pengawal istana. Saat ini kamu sudah menjadi seorang Senapati, sementara nasibku terpuruk menjadi seorang buronan”, berkata Wirondaya memulai ceritanya.

Demikianlah, kedua sahabat lama itu saling bercerita tentang perjalanan masing-masing. Bercerita tentang beberapa kenangan diantara mereka yang tidak pernah terlupakan dan memang sangat berkesan.

“Aku turut prihatin atas apa yang menimpamu saat ini. Pasti ada sebuah berita penting hingga kamu datang ke rumahku disaat gelap. Aku yakin kedatanganmu bukan hanya sebatas kerinduan seorang sahabat lama”, bertanya Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

“Saat ini malam sudah menjadi pakaian hidupku, dengan cara itu aku masih hidup sampai saat ini. Kedua aku datang hanya sebagai seorang sahabat lama mengunjungi seorang sahabatnya yang kini menjadi tangan kanan penguasa Tanah Gelang-gelang. Terakhir aku datang di Tanah Gelang-gelang ini hanya untuk memberikan kesetiaanku kepada Raja Jayakatwang”, berkata Wirondaya kepada Senapati Jaran Goyang.

“Kesetiaan apa yang dapat kamu berikan untuk Baginda Raja Jayakatwang?”, bertanya Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

“Persekutuan antara Tanah Perdikan Sungenep dan Penguasa Tanah Gelang-gelang”, berkata Wirondaya dengan suara meyakinkan. “Pamanku Adipati Wiraraja merasa tersinggung atas pemecatanku dari Istana Tumapel. Atas restunya jua aku datang menyampaikan sebuah rencananya”, berkata kembali Wirondaya dengan suara penuh keyakinan siapapun tidak akan menduga bahwa semua itu hanya sebuah kebohongan belaka.

“Pamanmu adalah seorang siasat perang yang mumpuni, tiada tanding. Aku sangat senang mendengarnya”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

“Menurut perhitungan beliau, kekuatan Tumapel harus dipancing untuk keluar dari sarangnya”, berkata Wirondaya kepada Senapati Jaran Goyang.

“Benar, aku belum pernah berpikir kearah itu. Kemana menurut Pamanmu memancing kekuatan Tumapel yang besar itu?”, bertanya kembali Senapati Jaran Goyang penuh kegembiraan.

Wirondaya tersenyum dalam hati, ”kena kamu Senapati bodoh”, berkata Wirondaya dalam hati.

“Menurut Pamanku, di Selat Malaka ada persaingan dagang antara para bangsawan Tumapel dengan para pedagang Cina. Disanalah menurut pamanku menggiring pasukan dan kekuatan Tumapel meninggalkan sarangnya. Dan kita bersiap berpesta pora di sarang istana mereka”, berkata Wirondaya sambil memperhatikan wajah Senapati Jaran Goyang.

Ternyata perkataan Wirondaya yang mengatasnamakan pamannya Adipati Wiraraja sangat dibenarkan dan diakuinya sebagai siasat yang sangat hebat.

“Pamanmu sangat cakap menyusun siasat, besok aku akan menyampaikannya kepada Baginda Raja Jayakatwang”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

Bukan main senangnya Wirondaya  mendengar perkataan Jaran Goyang itu, sepertinya perasaan dendam kesumatnya sebentar lagi akan terbayar lunas.

Sementara itu terdengar derit pintu utama terbuka, terlihat seorang lelaki pelayan tua keluar dari pintu itu sambil membawa minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Silahkan dinikmati makanan dan minumannya”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

“Terima kasih”, berkata Wirondaya sambil mengambil minuman hangatnya.

“Selama di Tanah Gelang-gelang ini, berdiamlah dirumahku. Kamu berada ditempat yang paling aman”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

“Terima kasih sahabat”, berkata Wirondaya tertawa dalam hati mengagumi kepandaian diri sendiri yang ternyata dapat mengelabui sahabatnya itu Senapati Jaran Goyang.

Tapi sebenarnya Senapati Jaran Goyang bukanlah orang bodoh. Menurut perhitungannya apa yang di sampaikan oleh Wirondaya yang mengatasnamakan pamannya memang sebuah hal yang sangat cerdas. Ditambah lagi bahwa siasat itu berasal dari seorang yang menurutnya  memang sangat mumpuni seperti Adipati Wiraraja yang sangat dikaguminya itu. Bertambah percayalah Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

Begitulah sebenarnya sifat dan prilaku manusia pada umumnya, mereka terbiasa menilai siapa dan dari mana sebuah pernyataan dibandingkan menilai apa isi dan makna pernyataan itu sendiri. Ilmu yang sama akan menjadi begitu berharga bila yang membawakannya adalah seorang Empu. Dan Wirondaya ternyata sangat ahli dan sangat mengenal watak sahabatnya Senapati Jaran Goyang yang sangat mengagumi pamannya Adipati Arya Wiraraja mantan pejabat istana Singasari jaman dulu yang sangat mumpuni membuat dan merencanakan sebuah siasat pertempuran. Seorang pejabat istana yang pernah hidup bersama tiga serangkai pahlawan istana Singasari, Mahesa Agni, Wiranta dan Mahendra.

“Beristirahatlah, besok aku ingin mendengar lagi apa yang dikatakan oleh pamanmu”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

Malam di luar rumah Senapati Jaran Goyang memang sudah jauh malam. Begitu sepi dan dingin. Maka tidak lama berselang pendapa rumah Senapati jaran Goyang terlihat sudah menjadi begitu lengang.

Pagi itu udara langit diatas Tanah Gelang-gelang begitu cerah ditandai hiruk pikuk para pejalan kaki di jalan Kotaraja Gelang-gelang yang cukup ramai.

“Aku akan menghadap Baginda Raja Jayakatwang, pesan pamanmu Adipati Arya Wiraraja akan kusampaikan kepada beliau”, demikian Senapati Jaran Goyang berkata kepada Wirondaya ketika akan berangkat ke Istana Gelang-gelang. “Jangan kemanamana”, berkata kembali Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya ketika hendak melangkah menuruni tangga pendapa rumahnya.

Sepanjang hari Wirondaya memang tidak kemana-mana. Kepada para pekerja di rumah Senapati Jaran Goyang yang cukup luas dan megah itu ternyata Wirondaya diperkenalkan sebagai saudara jauh dari Tanah Perdikan Sunginep. Tidak seorang pun mengetahui bahwa Wirondaya sebenarnya adalah seorang buronan yang sedang dicari-cari oleh seluruh prajurit istana Singasari.

Ketika hari menjelang sore, matahari terlihat hangat dan teduh. Senapati Jaran Goyang terlihat memasuki rumahnya.

“Baginda Raja Jayakatwang sangat tertarik ketika aku menyampaikan pesan dari pamanmu”, berkata Senapati Jaran Guyang kepada Wirondaya di pendapa rumahnya.

“Apa yang dikatakan Baginda Raja Jayakatwang mengenai pesan Pamandaku?”, bertanya Wirondaya seprti tidak sabaran.

“Baginda Raja merasa gembira bahwa pamanmu menarik diri sebagai persekutuannya”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya. ”juga mengenai pesan siasat perangnya”, berkata kembali Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

“Apa pendapat Baginda Raja Jayakatwang mengenai siasat memancing kekuatan Tumapel di Selat Malaka?”, bertanya Wirondaya dengan wajah yang berbinar-binar.

“Besok Baginda Raja Jayakatwang akan mengundang beberapa pejabat istana untuk membicarakannya, aku juga termasuk yang akan menghadirinya”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya. “Pamandaku juga memberi saran agar Raden Ardharaja yang saat ini sudah menjadi mantu keluarga istana Tumapel dapat dipengaruhi”, berkata Wirondaya kepada Senapati Jaran Goyang.

“Pamanmu memang punya pikiran segunung, aku akan menyampaikannya dalam pembicaraan besok”, berkata Senapati Jaran Goyang dengan penuh gembira membayangkan Raja Jayakatwang akan menganggapnya sebagai seorang yang cerdik, karna akan dikatakan sebagai buah pikirannya sendiri tanpa menyinggung sedikitpun kalau itu adalah pikiran dari Adipati Arya Wiraraja.

Diam-diam Wirondaya tersenyum sendiri dalam hati, tahu betul apa yang ada dalam pikiran sahabatnya itu.

“Aku tidak sabar menunggu berita Baginda Raja Jayakatwang untuk menugaskan beberapa petugas kepercayaannya memancing kekeruhan di Selat Malaka”, berkata Wirondaya dengan wajah masih berbinar-binar penuh kegembiraan membayangkan usulnya akan menjadi kenyataan.

Tidak terasa akhirnya senja telah datang turun di jalan Kotaraja Gelang-gelang yang sudah menjadi semakin sepi, ada satu dua orang yang terlihat melangkah cepat, mungkin ingin segera sampai dirumahnya masingmasing. Sementara itu matahari sudah melenggut diujung bibir bumi.

Terlihat seorang lelaki tua pekerja di rumah Senapati Jaran Goyang tengah menyalakan pelita malam di pendapa rumah. Tidak ada angin yang berhembus, halaman rumah senapati Jaran Goyang terlihat begitu lengang.

“Dengan mengikat Raden Ardharaja sebagai mantunya, Maharaja Kertanegara menyangka telah mengikat Raja Jayakatwang melupakan dendamnya”, berkata Wirondaya memulai pembicaraannya kepada Senapati Jaran Goyang ketika mereka duduk bersama di pendapa.

“Keinginan Baginda Raja Jayakatwang untuk merebut kembali martabat leluhurnya yang terjajah tidak tergoyahkan oleh ikatan apapun, meski sudah terikat sebagai ipar dan besan sekalipun”, berkata Senapati Jaran Goyang menanggapi perkataan Wirondaya.

“Raja Jayakatwang mengetahui makna dibalik ikatan itu, tahu apa yang ada dalam pikiran orang-orang Tumapel”, berkata Wirondaya memberi kayu api bermaksud memanas-manasi perasaan Senapati Jaran Goyang.

“Baginda Raja Jayakatwang akan melepas ikatan itu dengan api peperangan”, berkata Senapati Jaran Goyang.

“Membakar sampai hangus istana Tumapel yang sombong itu”, berkata Wirondaya penuh berapi-api.

“Apakah ada siasat dari Adipati Arya Wiraraja yang belum kudengar?”, bertanya Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

“Pamandaku punya perhitungan atas kelicikan Maharaja Singasari yang tidak akan sepenuhnya melepas kekutannya, Pamandaku punya perhitungan tersendiri”, berkata Wirondaya sambil tersenyum memandang Senapati Jaran Goyang yang menjadi penasaran dengan pancingannya itu.

“Ceritakanlah, aku ingin mendengar semuanya”, berkata Senapati jaran Goyang penuh penasaran.

“Saat ini kita ketahui kekuatan prajurit Singasari berjumlah sepuluh ribu prajurit yang kuat dan berpengalaman dimana setengahnya berada dibawah senapati muda Raden Wijaya”, berkata Wirondaya sengaja menghentikan perkataannya menunggu tanggapan dari Senapati Jaran Goyang.

“Teruskan”, berkata Senapati Jaran Goyang seperti tidak sabaran.

“Menurut pamandaku Maharaja Singasari yang licik itu pasti hanya melepaskan sekitar tiga ribu pasukannya ke Selat Malaka menghadang pasukan Mongol di perang lautan”, berkata Wirondaya kembali menghentikan perkataannya sambil berpikir keras menyampaikan pikirannya sendiri.

“Teruskan”, berkata kembali Senapati Jaran Goyang menjadi sangat penasaran.

“Masih ada kekuatan besar di Singasari yang harus dipecahkan”, berkata Wirondaya sambil memandang wajah Senapati Jaran Goyang yang nyaris seperti bocah kecil menikmati barang mainannya.

“Kita pecahkan dengan serangan pancingan yang lain”, berkata Senapati Jaran Goyang yang sudah mulai dapat mengikuti alur permainan siasat buatan Wirondaya.

“Itulah yang pamandaku katakan”, berkata Wirondaya membenarkan ungkapan Senapati Jaran Goyang.

“Bagaimana menurut pamanmu tentang Kebo Arema yang saat ini telah diangkat oleh Maharaja Singasari sebagai Maha Patih?”, bertanya Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

“Itulah yang Pamandaku sesalkan dengan keputusan Maharaja Singasari yang bodoh itu, menarik orang semacam Kebo Arema seperti mendudukkan macan ompong ke istana. Sementara beberapa orang mudanya telah dilepaskan ke luar Singasari sebagaimana Senapati Mahesa Amping dan Mahesa Bungalan yang saat ini bertugas di Balidwipa”, berkata Wirondaya mengarang kembali namun dengan perkataan yang sangat meyakinkan sepertinya benar-benar perkataan pamannya Adipati Arya Wiraraja.

Terlihat Senapati Jaran Goyang manggut-mangut tanda penuh kegembiraan.

Dan Wirondaya tahu betul apa yang tengah dipikirkan oleh sahabatnya itu, tidak lain akan menyampaikan langsung kepada Raja Jayakatwang sebagai buah pikirannya pribadi yang dibayangkannya adalah kepercayaan Raja Jayakatwang kepada dirinya akan semakin kuat.

Sementara itu langit malam diatas rumah Senapati Jaran Goyang sudah semakin gelap. Rembulan  muda terhalang awan gelap. Angin dingin semilir melewati dinding kayu pendapa menggoyangkan pelita malam yang tergantung disudut tiang pendapa. Warna suasana halaman rumah itu terlihat sudah begitu lengang.

“Berapa kekuatan prajurit di tanah Gelang-gelang ini”, bertanya Wirondaya kepada Senapati Jaran Goyang.

“Enam ribu Prajurit”, berkata Senapati Jaran Goyang.

“Cukup untuk menghantam istana Tumapel yang telah kosong”, berkata Wirondaya sambil tertawa.

“Mengosongkan juga semua penghuni Taman  Kaputrian”, berkata Senapati Jaran Goyang menyambung perkataan Wirondaya dengan diiringi tawa yang lebih keras dari tawa Wirondaya sepertinya merasa yakin siasat mereka akan menjadi kenyataan.

“Jangan kamu habiskan semuanya, sisakan seorang putri Maharaja Bodoh itu kepadaku”, berkata Wirondaya masih diiringi tawa yang berkepanjangan.

“Aku tidak akan melupakan sahabatku, satu putri untukmu ditambah dengan lima orang selir”, berkata Senapati Jaran Goyang sambil mengambil kendi minuman yang sudah hampir tersisa setengahnya langsung menuangkannya ke mangkuknya dan mangkuk Wirondaya.

Sampai jauh malam mereka saling bercakap-cakap penuh kegembiraan.

Keesokan harinya, terlihat Senapati Jaran Goyang sudah bersiap untuk berangkat keistana Gelang-gelang.

“Aku akan kembali membawa berita dari istana”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

“Berita tentang seorang putri dan lima orang selir”, berkata Wirondaya sambil tersenyum kepada Senapati Jaran Goyang yang membalasnya dengan ikut tertawa ingat apa saja yang telah mereka percakapkan tadi malam.

Seperti kemarinnya, hari itu Wirondaya memang tidak kemana-mana selain hanya tidak lebih dari seputar halaman rumah Senapati Jaran Goyang. Untuk jalanjalan ke luar dirinya masih belum berani, takut ada orang yang mengenalnya.

Sepanjang hari Wirondaya hanya duduk-duduk di pendapa, atau terkadang menghampiri pengalasan yang sudah cukup berumur untuk diajaknya berbicara. Pokok pembicaraan pun tidak lebih dari macam kembang dan tanaman buah.

“Daun pucuk merah ini baru kupindahkan dari kebun dirumahku”, berkata pengalasan tua itu kepada Wirondaya yang memang sepertinya sangat tertarik dengan daun pucuk merah yang tengah disiramnya.

“Apakah kamu sudah minta ijin kepada Senapati Jaran Goyang untuk menanan pohon ini dihalaman rumahnya?”, bertanya Wirondaya kepada pengalasan tua itu.

Pengalasan tua itu tidak langsung menjawab, hanya sedikit tersenyum memandang Wirondaya. “Justru tuan Senapati sendiri yang menyuruhku mencari tanaman ini untuk ditanam ditengah halaman rumahnya”, berkata pengalasan tua itu dengan bangganya kepada Wirondaya.

“Ternyata tuan senapatimu menyukai tanaman”, berkata Wirondaya dengan tersenyum.

“Tuan Senapati tidak begitu menyukai tanaman, hanya ikut-ikutan dari beberapa sahabatnya yang menyuruhnya untuk menanam daun pucuk merah di tengah halamannya”, berkata pengalasan tua itu membuat Wirondaya menjadi sangat tertarik dengan pembicaraan tentang pohon daun pucuk merah itu.

“Aku jadi tertarik, ada rahasia apa dengan daun pucuk merah ini?”, bertanya Wirondaya.

Pengalasan tua itu tidak langsung menjawab, hanya sedikit tersenyum menatap Wirondaya yang dilihatnya penuh kerut di dahinya menatap kepada dirinya.

“Tuan senapati hanya berkata sedikit, katanya daun pucuk merah yang subur dihalaman rumah sebagai  tanda kesuburan tuan rumahnya. Cuma itu”, berkata pengalasan tua itu kepada Wirondaya.

“Apakah selama dikebun rumahmu, daun pucuk merah ini tumbuh subur?”, bertanya Wirondaya kepada pengalasan tua itu.

“Daun pucuk merah ini tumbuh dengan sendirinya di kebun rumahku, waktu kupindahkan dalam keadaan subur penuh daun-daun muda”, berkata pengalasan tua itu dengan bangganya.

“Tapi selama itu tidak merubah kehidupanmu dari seorang pengalasan”, berkata Wirondaya dengan senyum mengejek.

“Aku tidak pernah mempercayai ada hubungannya antara kesuburan daun pucuk merah dengan pemiliknya, tugasku hanya menyiram dan menjaganya. Itulah hubungan yang istimewa antara aku dan tanaman yang ada disini, terutama hubungan kesuburannya dengan asap dapur dirumahku”, berkata pengalasan tua itu tanpa merasa tersinggung dengan apa yang diucapkan oleh Wirondaya yang memang sengaja mengejeknya. ”Maaf, aku akan kekebun belakang, ada tiga pohon mangga yang perlu disuburkan tanahnya”, berkata kembali pengalasan tua itu sambil bergeser melangkah pergi menuju kekebun belakang.

Wirondaya yang ditinggalkan oleh pengalasan tua itu masih tercenung menatap pohon daun pucuk merah dihadapanku.

“Pohon daun pucuk merah itu dipindahkan bersama saat kehadiranku dirumah ini, apakah berkaitan dengan keadaanku saat ini?”, bertanya Wirondaya kepada dirinya sendiri yang diam-diam mempercayai kaitan sebuah tanaman dengan pemiliknya.Diam-diam juga muncul ingatannya jauh menerawang pada rumahnya di Kotaraja Singasari yang sama megahnya dengan rumah Senapati Jaran Goyang. “Taman rumahku lebih indah dan terawat dengan suburnya, sementara aku harus terbuang menjadi orang buronan”, berkata Wirondaya yang mencoba membuang klenik kepercayaan atas sebuah kesuburan tanaman dengan pemiliknya. “Hanya orang bodoh yang punya pikiran seperti itu”, berkata Wirondaya dalam hati sambil melangkah lesu penuh kejenuhan menyesali kehidupannya saat itu, sebagai seorang buronan !!.

Tapi kejenuhan Wirondaya seketika meredup manakala di ujung sore yang cerah terlihat Senapati Jaran Goyang berjalan masuk dihalaman rumahnya menuju pendapa.

“Maaf, aku terlalu lama meninggalkanmu”, berkata Senapati Jaran Goyang yang sudah menapaki anak tangga pendapa dengan wajah penuh keceriaan.

“Dari wajahmu, aku melihat ada kabar yang sangat menggembirakan”, berkata Wirondaya kepada Senapati Jaran Goyang yang datang menghampirinya duduk bersama di pendapa rumahnya.

“Baginda Raja Jayakatwang dan semua pejabat yang hadir memuji semua paparan siasatku yang cemerlang”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

Wirondaya hanya tersenyum dalam hati, tahu dan membayangkan bagaimana Senapati Jaran Goyang yang menjual buah pikirannya kepada Raja  Jayakatwang. Dan Wirondaya sepertinya tidak menuntutnya, bahkan dengan piawainya menutupi perasaannya.

“Dan semuanya telah diputuskan, bahwa akulah yang memimpin semua tugas besar itu”, berkata Senapati Jarang Goyang dengan bangganya kepada Wirondaya.

“Aku sudah menyiapkan beberapa orangku menuju ke Selat Malaka, kamu termasuk diantaranya. Aku berharap kamu bersedia”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

“Terima kasih, mudah-mudahan aku tidak mengecewakanmu”, berkata Wirondaya kepada Senapati Jaran Goyang dengan gembiranya. Demikianlah, hingga jauh malam Senapati Jaran Goyang dan Wirondaya membicarakan rencana awal mereka untuk melakukan gesekan-gesekan di Selat Malaka.

“Keberhasilan kalian menentukan hasil akhir kita”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

“Aku sudah tidak sabar melihat percikan peperangan diantara mereka”, berkata Wirondaya penuh senyum kepada Senapati Jaran Goyang.

Sementara itu hari sudah jauh malam, halaman rumah Senapati Jaran Goyang sudah menjadi begitu remang dan lengang. Sementara itu jalan didepan rumah Senapati Jaran Goyang juga sudah terlihat begitu gelap.

“Beristirahatlah, besok kamu akan melakukan perjalanan panjang yang melelahkan”, berkata Senapati Jaran Goyang kepada Wirondaya.

Senapati Jaran Goyang dan Wirondaya terlihat masuk kedalam rumah. Pendapa rumah Senapati Jaran Goyang terlihat menjadi begitu sepi. Temaram warna cahaya kekuningan pelita malam yang bergantung di pojok tiang pendapa seperti warna panggung keheningan yang terkepung kegelapan malam, bersama suara denging malam yang terus berbunyi mengiringi kesunyian dan kegelapan malam tiada terputus hingga datangnya pagi menjelang.

Dan pagipun akhirnya datang menjelang diawali cahaya bintang kejora dilangit tinggi menggantung abadi memberi tanda bahwa sang malam akan pergi berlalu sembunyi di kegelapan bumi belahan lain.

Dihari yang sama dan dipagi yang sama, namun jauh  dari rumah Senapati Jaran Goyang, jauh dari Tanah Gelang-gelang, yaitu di Balidwipa di Padepokan Pemecutan dimana Mahesa Amping dan semua warganya sudah terlihat terbangun di pagi itu dalam kesibukannya masing-masing.

“Silahkan dinikmati wedang serenya, mumpung masih hangat”, berkata Nariratih sambil berdiri mengangkat nampan kayu tempat membawa minuman dan beberapa potong makanan kepada semua yang ada dipendapa Padepokan Pamecutan. Mereka adalah Mahesa Amping, Empu Dangka, Ki Sandikala, Pendeta Gunakara dan Arga lanang.

“Jayanagara dan Adityawarman sudah diajak Putu Risang pagi-pagi sekali ke sungai hutan cemara”, berkata Nariratih kepada Mahesa Amping.

“Terima kasih Nyi, aku akan menengok mereka”, berkata Mahesa Amping kepada Nariratih yang terlihat akan melangkah masuk kembali kedalam rumah. Namun perkataan Mahesa Amping menahan langkahnya.

“Aku juga akan membawa Mahesa Muksa kesana”, berkata Nariratih kepada Mahesa Amping sambil berhenti melangkah. Terlihat Mahesa Amping tersenyum sambil menganggukkan kepalanya kepada Nariratih yang sudah kembali melangkah masuk kedalam rumah.

Ketika matahari pagi mulai naik sepenggalan, di tepian sungai hutan cemara memang sudah terlihat Putu Risang dengan dua orang sahabat kecilnya sudah berlatih keseimbangan dan kekuatan diri berlari diatas beberapa bongkah batu yang banyak tersebar diatas sungai hutan cemara itu. Sementara itu Mahesa Amping juga telah hadir disitu menyaksikan latihan mereka. Nampak juga Nariratih yang membawa Mahesa Muksa untuk berjemur dibawah sinar matahari pagi yang memang sangat baik bagi perkembangan kesehatan bayinya.

“Langkah kaki kecil mereka seperti sudah bermata, dapat menapak dan meloncat tanpa terjatuh”, berkata Nariratih kepada Mahesa Amping sambil terus menyaksikan Adityawarman dan Jayanagara yang ditemani Putu Risang berlari dan melompat diantara batu-batu sungai.

“Aku jadi tidak sabaran menanti Mahesa Muksa dapat segera berjalan”, berkata Mahesa Amping kepada Nariratih.

“Kita akan melatihnya bersama”, berkata Nariratih kepada Mahesa Amping sambil tersenyum merasa tersanjung bahwa Mahesa Amping penuh perhatian kepada putranya Mahesa Muksa.

Sekilas Mahesa Amping menangkap senyum itu. Diamdiam mengakui bahwa begitu cantiknya wajah dan senyum itu. Tapi Mahesa Amping segera melempar bayangan itu dengan memperhatikan Putu Risang dan dua sahabat kecilnya yang masih penuh semangat berlatih keseimbangan dan kekuatan diri diatas batu-batu sungai.

“Bukalah matamu wahai putra tercintaku, sebentar lagi kamu akan seperti mereka”, berkata Nariratih mengajak Mahesa Muksa berbicara sambil mengayunkannya dalam bimbingan kedua tangannya.

“Nyi Nariratih, tetaplah didekatku”, berkata Mahesa Amping berbisik kepada Nariratih.

“Ada apa?”, bertanya Nariratih heran kepada Mahesa Amping.

“Aku merasakan ada dua pasang mata di tempat berbeda tengah memperhatikan kita”, berkata perlahan Mahesa Amping kepada Nariratih.

Terlihat Nariratih mendekap Mahesa Muksa lebih  melekat lagi, hanya putranya itulah yang dipikirkan keselamatannya.

“Kita belum tahu apa yang mereka inginkan, bersikaplah tenang”, berkata Mahesa Amping kepada Nariratih untuk bersikap tenang seperti tidak ada apapun.

Dan Nariratih nampaknya begitu percaya kepada Mahesa Amping dan merasakan dirinya berada di tempat yang aman. Maka sebentar saja Nariratih sudah dapat bersikap tenang kembali.

“Putu Risang, kemarilah”, berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang yang masih berada di sungai.

Mendengar namanya dipanggil, Putu Risang segera mendekati Mahesa Amping. Terlihat Adityawarman dan Jayanagara mengikuti Putu Risang dari belakang.

“Jagalah kedua adikmu”, berkata Mahesa Amping  kepada Putu Risang yang sudah datang mendekat.

Setelah berkata kepada Putu Risang, terlihat Mahesa Amping mengambil sebuah kerikil kecil.

Dijentikkannya kerikil kecil itu jauh terlempar meluncur begitu cepat kearah semak belukar diseberang sungai.

Belum lagi kerikil kecil itu mengenai sasarannya, dari semak belukar itu melesat sebuah bayangan putih meluncur terbang. Mahesa Amping memandang dari ujung kaki sampai ke kepala, seorang lelaki yang baru saja keluar dari persembunyiannya. Orang itu berpakaian sebagaimana Pendeta Gunakara.

“Maaf, kukira ada seekor harimau mengendap-endap dibalik semak itu”, berkata Mahesa Amping sambil merangkapkan kedua tangannya kepada seorang lelaki yang sudah berdiri tidak jauh darinya. Nampaknya seorang pendeta seperti halnya pendeta Gunakara.

“Aku tidak menyangka ada orang yang punya ketajaman indera yang tinggi di Balidwipa ini”, berkata orang itu dengan mata seperti elang tajam menatap pandang Mahesa Amping.

Nampaknya orang itu menjadi sedikit terkejut ketika pandangan matanya beradu pandang dengan Mahesa Amping, dirinya seperti terjerumus masuk ke mata air yang luas dan dalam tak bertepi. Sadarlah dirinya telah berhadapan dengan bukan orang sembarangan. Namun tetap saja dirinya menyangsikan kembali manakala melihat sosok Mahesa Amping yang masih muda.

“Sekarang tuan pendeta tidak bersembunyi lagi, adakah kiranya yang dapat kami bantu?”, bertanya Mahesa Amping dengan perkataan yang santun kepada seorang pendeta dihadapannya.

“Aku tertarik dengan bayi itu, apakah kamu orang tuanya?”, bertanya pendeta itu kepada Mahesa Amping.

“Terima kasih telah tertarik dengan bayi kami, benar kamilah orang tuanya”, berkata Mahesa Amping penuh ketenangan.

“Aku tidak sekedar tertarik, tapi ada keinginan untuk memilikinya”, berkata Pendeta itu kepada mahesa Amping.

“Tidak ada seorang pun orang tua didunia ini yang akan memberikan anaknya kepada orang lain”, berkata Mahesa Amping masih dapat mengendalikan dirinya, berbicara dengan teratur dan tenang.

Diam-diam pendeta itu mengagumi ketenangan diri orang muda dihadapannya itu.

“Aku akan tetap mengambilnya dengan segala cara”, berkata pendeta itu kepada Mahesa Amping.

“Aku akan tetap mempertahankannya”, berkata mahesa Amping yang langsung maju selangkah berhadapan dengan pendeta itu.

“Ternyata kamu cukup pemberani, tidak cuma berkatakata”, berkata pendeta itu yang cukup kaget dengan sikap Mahesa Amping yang tidak mengenal kata takut dan sudah melangkah menghadapinya.

“Tahan..!!!”,

Terdengar suara dari sebuah semak yang rimbun. Bersamaan dengan suara itu, meluncur seperti terbang langsung mendekati Mahesa Amping.

“Maafkan atas sikap saudaraku”, berkata seorang lelaki berjubah putih yang tidak lain adalah Pendeta Gunakara. Melihat pakaian yang dikenakan oleh pendeta itu sama dengan Pendeta Gunakara, Mahesa Amping dapat mempercayai ucapan Pendeta Gunakara bahwa orang dihadapannya itu adalah saudaranya.

“Adik Gesangkara, aku sudah mendengar semua ucapanmu. Apakah biara suci yang menugaskan dirimu kemari?”, berkata Pendeta Gunakara kepada orang itu yang dipanggilnya sebagai Gesangkara

Terdengar orang yang dipanggil dengan nama Gesangkara itu tertawa. ”Aku datang atas keinginnanku sendiri, melenyapkan titisan Jamyang Dawa Lama itu”, berkata Pendeta Gesangkara setelah tertawa panjang sambil menunjuk Mahesa Muksa yang masih didekap erat oleh ibunya Nariratih.

“Entah makhluk apa gerangan yang telah menutupi cahaya hatimu wahai adikku Gesangkara?”, bertanya Pendeta Gunakara kepada Pendeta Gesangkara.

Terdengar Pendeta Gesangkara tertawa panjang. “Jangan munafik, aku yakin kakang Gunakara juga menginginkan jabatan Dawa Lama, hanya cara kita saja yang berbeda”, berkata Pendeta Gesangkara setelah tertawa panjang.

“Adik Gesangkara salah menilaiku, Jamyang Dawa lama telah menitis kembali dalam diri bayi itu. Peranku hanya mengantarnya kembali ke biara suci hingga saatnya tiba. Itulah peranku, dan aku tidak akan melampaui dari apa yang ditugaskan kepadaku dari para wali agung biara suci”, berkata Pendeta Gunakara dengan wajah merah merasa tersinggung dengan ucapan pendeta Gesangkara yang sangat tajam menusuk hati.

“Hati manusia siapa yang tahu, wajah Kakang memerah sebagai tanda bahwa ucapanku tidak salah, hanya kukakatakan bahwa hanya cara kita yang berbeda”, berkata kembali pendeta Gesangkara yang diakhiri dengan tertawa panjang.

“Terserah apapun yang adik Gesangkara pikirkan atas diriku. Yang jelas aku tidak akan melakukan kekerasan dalam melaksanakan perintah suci ini”, berkata Pendeta Gunakara yang kembali telah menguasai hati dan pikirannya.

“Aku akan melenyapkan bayi itu, tapi bukan hari ini”, berkata Pendeta Gesangkara dibarengi datangnya angin dari segala penjuru. Tidak lama kemudia sosok Pendeta Gesangkara sudah melesat hilang dari pandangan mata. Sebuah pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi telah disaksikan oleh semua yang ada di tepian sungai hutan cemara.

“Mahesa Muksa masih dikelilingi banyak aral ancaman”, berkata Mahesa Amping dalam hati sambil menatap wajah bayi mungil yang masih berada dalam dekapan Nariratih.

Terlihat perlahan Mahesa Amping mendekati pendeta Gunakara.

“Ternyata tuan pendeta sudah mengetahui rahasia Mahesa Muksa ketika tiba di Padepokan Pamecutan ini”, berkata Mahesa Amping dengan tatap mata yang penuh wibawa terlihat dari sorot matanya yang begitu tajam memandang kepada Pendeta Gunakara.

“Maafkan aku tuan Senapati, aku berjalan mengikuti panggraitaku sendiri yang menuntunku hingga di Padepokan Pamecutan ini. Baru hari ini kudapati kebenaran pranggraitaku sendiri manakala melihat Mahesa Muksa yang dibawa oleh Nariratih keluar halaman Padepokan. Aku melihat kembali awan lembut yang selama ini sangat kukenal selalu melindungi Jamyang Dawa Lama gurusuci kami yang sangat kuhormati berada diatas halaman Padepokan mengikuti langkah Nariratih yang membawa Mahesa Muksa. Dan aku terus mengikutinya hingga sampai ditepian sungai hutan cemara ini”, berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping dengan suara penuh ketenangan meski diam-diam mengagumi sorot tajam mata Mahesa Amping yang seperti datang langsung menyentak dasar jiwanya.

“Apakah tuan Pendeta mempunyai keinginan untuk membawa Mahesa Muksa?”, bertanya Mahesa Amping kepada Pendeta Gunakara. “Sebagaimana yang kukatakan kepada saudaraku, bahwa aku tidak akan melakukan kekerasan dalam melaksanakan perintah suci ini, Mahesa Muksa meski menurut keyakinan kami adalah titisan Gurusuci kami, tetap sebagai bayi yang murni dan polos. Tugasku adalah mengantar dan mengisinya hingga tumbuh dewasa. Dan aku tidak akan memaksanya, biarlah takdir yang membawa kemana membawa dirinya. Dan ijinkan diri ini untuk menjaganya. Mudah-mudahan tuan senapati dapat memahaminya”, berkata Pendeta Gunakara sambil meluruskan sebelah tangannya diatas dadanya penuh permohonan kemurahan hati Mahesa Amping.

“Entah mengapa aku mempercayai semua ucapan tuan pendeta. Sebuah kehormatan menjaga Mahesa muksa tumbuh bersama”, berkata Mahesa Amping kepada Pendeta Gunakara penuh kepercayaan bahwa orang tua berwajah sareh itu berkata dengan tulus.

“Ancaman saudaraku bukan cuma sekedar gertak sambal, aku sangat mengenalnya dengan baik.  Mulai hari ini kita harus lebih berhati-hati”, berkata Pendeta Gunakara mengingatkan Mahesa Amping dan Nariratih.

Terlihat Nariratih semakin mendekap Mahesa Muksa dengan penuh kekhawatiran.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar