“ADA tamu yang hendak menemui tuan Senapati”, berkata salah seorang cantrik yang baru datang dari regol halaman depan.
“Bawalah ke pendapa ini”, berkata Mahesa Amping tanpa menanyakan siapa dan apa tujuannya.
Maka cantrik itu segera kembali keregol halaman depan, memberitahukan kepada tamu yang datang itu bahwa Mahesa Amping menerima kunjungan mereka.
Dari pendapa Mahesa Amping dan Empu Dangka melihat ada dua orang lelaki dan dua anak kecil bersama mereka. Terlihat dua orang cantrik mengantar dan mengiringi mereka menuju pendapa.
“Arga Lanang !”, terkejut Mahesa Amping setelah mengetahui salah satu diantara mereka ternyata adalah Arga Lanang.
“Selamat berjumpa kembali wahai sahabatku”, berkata Arga Lanang ketika sudah naik keatas tangga pendapa Padepokan Pamecutan.
Bukan main terharu dan senangnya Mahesa Amping dan Arga Lanang, terlihat mereka saling berpelukan sebagaimana dua orang sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. “Berterima kasihlah padaku, aku telah jauh-jauh mengantarkan putramu dari Tanah Melayu”, berkata Arga Lanang sambil menepuk pundak Mahesa Amping menunjuk salah seorang lelaki kecil yang bersamanya. “Adityawarman, inilah ayahmu”, berkata pula Arga Lanang kepada Adityawarman.
Mahesa Amping dengan mata tidak berkedip melihat seorang lelaki kecil datang mendekatinya.
“Putraku”, berkata Mahesa Amping memeluk Adityawarman penuh keharuan dan kegembiraan bercampur aduk memenuhi seluruh perasaan hatinya.
“Bundaku sering bercerita tentang ayah, apakah ayah merindukan bunda?”, berkata Adityawarman kepada Mahesa Amping.
“Aku sangat merindukan kalian, bersama kalian adalah mimpi-mimpiku yang paling indah”, berkata Mahesa Amping tersenyum memandang putranya Adityawarman.
Sementara itu seorang lelaki kecil yang lain, yang ternyata adalah Jayanagara ikut merasa bergembira melihat saudara sepupunya telah menemui ayah kandungnya sendiri.
“Ternyata ayahmu sama gagahnya dengan ayahku”, berkata Jayanagara kepada Adityawarman yang masih merapat disamping ayahnya Mahesa Amping.
“Jayanagara ini adalah putra Raden Wijaya”, berkata Arga Lanang kepada Mahesa Amping.
“Mendekatlah wahai putra sahabatku”, berkata Mahesa Amping kepada Jayanagara.
Terlihat Jayanagara mendekati Mahesa Amping. “Wajahmu sangat mirip dengan ayahmu, sama-sama tampan”, berkata Mahesa Amping sambil mengusap lembut rambut kepala anak itu.
Arga Lanang tidak lupa juga memperkenalkan Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping.
“Selamat datang di Padepokan Pemecutan”, berkata Mahesa Ampung penuh hormat kepada Pendeta Gunakara. Dan akhirnya Empu Dangka mendapat kesempatan untuk diperkenalkan oleh semua tamutamunya Mahesa Amping.
“Perkenalkan Empu Dangka, orang tuaku di Balidwipa ini”, berkata Mahesa Amping memperkenalkan Empu Dangka kepada Arga lanang dan Gunakara, juga kepada Jayanagara dan Adityawarman.
Demikianlah, suasana di pendapa Padepokan itu menjadi begitu ramai. Mahesa Amping mempersilahkan semua tamunya untuk bersih-bersih diri setelah melakukan perjalanan panjang. Setelah itu diadakanlah perjamuan besar menyambut kedatangan mereka.
Setelah perjamuan telah selesai, hari sudah mulai memasuki malam. Mahesa Amping meminta Putu Risang membawa Adityawarman dan Jayanagara ketempat yang telah disiapkan untuk beristirahat.
“Hari sudah menjadi malam, ajaklah kedua adikmu ini untuk beristirahat”, berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang.
Setelah Putu Risang bersama Adityawarman dan Jayaraga masuk kedalam untuk beristirahat, Arga Lanang memulai cerita perjalanannya. Mulai dari Tanah Melayu ke Bandar Cangu dan akhirnya sampai juga ke Balidwipa. Arga Lanang juga bercerita tentang kawan perjalanannya Pendeta Gunakara. Bukan main kagetnya Mahesa Amping ketika mendengar cerita tentang Pendeta Gunakara yang datang ke Balidwipa hanya untuk mencari seorang bayi lelaki yang dipercaya adalah titisan dari guru besarnya yang terlahir kembali di dunia ini.
“Hari ini umur bayi itu telah berusia dua belas purnama sembilan hari”, berkata Pendeta Gunakara menambahkan cerita Arga lanang.
“Apakah bayi itu punya sebuah pertanda?”, bertanya Mahesa Amping dengan hati berdebar kepada Pendeta Gunakara.
“Bayi itu mempunyai sebuah tanda dipundaknya”, berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping.
Terlihat Mahesa Amping manggut-manggut sendiri, berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar perkataan Pendeta Gunakara tentang pertanda bayi yang sedang dicarinya itu.
Sementara itu malam sudah semakin larut, Mahesa Amping mempersilahkan Arga Lanang dan Pendeta Gunakara untuk beristirahat.
“Beristirahatlah, kalian pasti sangat lelah”, berkata Mahesa Amping kepada kedua tamunya.
Demikianlah, pendapa Padepokan Pemecutan itu sudah menjadi lengang. Pelita malam yang tergantung cahaya kuning melenggut terkantuk-kantuk. Semua penghuninya sudah masuk ke biliknya masing-masing.
Sementara itu Mahesa Amping di biliknya masih juga belum dapat memejamkan matanya. Terbayang wajah Pendeta Gunakara yang tengah mencari seorang bayi dengan pertanda yang sama pada Mahesa Muksa. Ingin rasanya hari menjadi lekas pagi, berharap segera memberitahukan Nariratih untuk lebih berhati-hati.
Bergerak perputar diantara kesuraman bayang-bayang perasaan hati Mahesa Amping, ada kegembiraan yang mendalam telah dipertemukan dengan Adityawarman putranya. Ingin rasanya menjelang pagi untuk melihat kembali anak itu, mengajaknya bermain bersama mengisi hari-hari sepanjang hari.
“Aku akan membesarkan putraku, menjaganya hingga sayapnya tumbuh”, berkata Mahesa Amping dalam hati sambil berbaring diperaduannya.
Akhirnya perlahan Mahesa Amping sudah dapat memejamkan matanya dan tertidur.
Angin dingin dan kabut putih perlahan turun menyelimuti Padepokan Pemecutan yang berada disebuah lereng perbukitan. Langit diatasnya berwarna hitam kelam ditumbuhi beberapa bintang. Bulan sabit redup terhalang awan masih menjaga bumi malam yang sunyi.
Dan waktu pun terus berlalu, sekelompok kalelawar telah kembali kesarangnya. Sang fajar telah mulai bangun mengintip bumi, perlahan mengusir kegelapan malam diatas langit Padepokan Pemecutan.
Pagi itu Mahesa Amping sudah terbangun langsung keluar dari biliknya menuju pakiwan untuk bersih-bersih. Ternyata disana sudah ditemuinya Putu Risang yang telah terbangun lebih awal tengah mengisi gentonggentong air.
“Adityawarman dan Jayanagara belum bangun?”, bertanya Mahesa Amping kepada Putu Risang.
“Tidurnya sangat lelap, aku meresa kasihan untuk membangunkan mereka”, berkata Putu Risang kepada Mahesa Amping. “Mereka pasti sangat begitu lelah setelah melakukan perjalanan panjang”, berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang.
“Silahkan tuan Senapati bersih-bersih lebih dulu”, berkata Putu Risang kepada Mahesa Amping
Demikianlah, setelah bersih-bersih Mahesa Amping langsung ke bilik Adityawarman dan Jayanagara. Terasa hati Mahesa Amping penuh kebahagiaan memandang wajah putranya
“Hari memang masih begitu pagi, di Istanah Tanah Melayu mereka pasti sangat dimanjakan”, berkata Mahesa Amping tersenyum melihat kedua anak itu masih tertidur pulas.
Ketika Mahesa Amping hendak menuju ke pintu utama, bersisipan dirinya dengan Nariratih yang baru saja keluar dari biliknya hendak ke dapur.
“Datanglah ke hutan cemara disaat pagi sudah menjadi terang, ada yang ingin aku bicarakan disana”, berkata Mahesa Amping kepada Nariratih.
“Tunggulah aku disana”, berkata Nariratih kepada Mahesa Amping sambil melanjutkan langkahnya menuju dapur belakang.
Sementara itu Mahesa Amping langsung keluar menuju pendapa Padepokan Pemecutan.
Ternyata Mahesa Amping tidak lama seorang diri, berturut-turut muncul Empu Dangka, Arga Lanang dan Pendeta Gunakara. Ketika pagi sudah menjadi terang, Mahesa Amping mempersilahkan Arga Lanang dan pendeta Gunakara untuk melihat-lihat ke Sanggar dimana para cantrik tengah berlatih.
“Empu Dangka akan menemani kalian, sementara aku pagi ini akan mengajak kedua putraku bermain-main”, berkata Mahesa Amping kepada Arga Lanang dan Pendeta Gunakara.
“Selamat menikmati hari pertamamu sebagai seorang ayah”, berkata Empu Dangka penuh senyum kepada Mahesa Amping ketika telah turun lebih dulu di tangga Padepokan Pemecutan yang disusul oleh Arga Lanang dan Pendeta Gunakara.
Kembali Mahesa Amping seorang diri di pendapa Padepokan Pemecutan. Tapi itu pun tidak begitu lama, dari balik pintu utama telah keluar Putu Risang yang diikuti oleh Adityawarman dan Jayagiri.
“Hari ini aku akan mengajak kalian ke tepian sungai di hutan cemara”, berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang, Jayanagara dan Adityawarman.
Terlihat wajah mereka bertiga begitu gembira mendengar perkataan Mahesa Amping, terutama Adityawarman yang baru mengenal Ayahnya yang selama ini selalu dirindukannya, dan dibanggakan tentunya meski hanya lewat cerita dari Bundanya Dara Jingga bahwa ayahnya adalah seorang kstria yang berilmu sangat tinggi. Di Tanah Melayu telah dikenal dengan sebutan Manusia Dewa.
“Bila aku kelak dewasa, aku akan seperti ayahku”, berkata Adityawarman dalam hati sambil memandang Mahesa Amping dari sebelahnya yang erat menggenggam tangannya membawanya melangkah ke arah hutan cemara.
“Adityawarman sangat bahagia sekali berada disisi ayahnya”, berkata pula Jayanagara dalam hati berjalan menggandeng tangan kiri Mahesa Amping ikut merasa bahagia. Jayanagara dapat merasakan perasaan saudara sepupunya itu yang terlihat sangat bahagia. Dan dirinya sepertinya tidak menjadi iri, bahkan sebaliknya merasa ikut berbahagia sebagaimana kebahagiaan yang dirasakan oleh saudara sepupunya itu.
Ternyata perasaan iri itu sempat melekat singgah di hati Putu Risang, tapi pemuda itu segera menepisnya dengan mengatakan pada dirinya bahwa kedua anak lelaki itu adalah putra dan kemenakan Mahesa Amping, mereka berhak mendapatkan kasih sayang yang tak terhingga dari Mahesa Amping.
“Aku ingin melihat jurus-jurus kalian”, berkata Mahesa Amping kepada Adityawarman dan Jayanagara ketika mereka telah sampai di tepian sungai hutan cemara.
Maka terlihat tanpa malu-malu lagi kedua anak lelaki itu berdiri bersama di hadapan Mahesa Amping. Keduanya langsung menggerakkan tangan dan kaki mereka yang mungil itu seperti tengah menari menunjukkan kepada Mahesa Amping dengan penuh semangat.
“Pasti Panglima perang Prastawa yang melatih mereka”, berkata Mahesa Amping dalam hati yang sudah dapat membaca dan mengenal gerak kedua anak lelaki kecil dihadapannya itu sebagai aliran perguruan dari Datuk Belang, ayah Prastawa di Tanah Melayu.
“Kalian telah melakukannya dengan sempurna”, berkata Mahesa Amping memuji kedua anak lelaki itu. ”Putu Risang, ajaklah kedua adikmu ini berlari diatas batu sungai sebagaimana biasa kamu lakukan”, berkata mahesa Amping kepada Putu Risang untuk membawa Adityawarman dan Jayanagara berlatih keseimbangan diatas batu sungai yang bertebaran menyembul dipermukaan air sungai yang jernih dan Dangkal itu. Bukan main senangnya hati Mahesa Amping melihat kedua saudara sepupu itu berlari dan melompat dari satu batu sungai ke batu lainnya mengikuti Putu Risang yang berada didepan mereka.
“Ternyata tuan Senapati telah mempunyai seorang putra sudah sebesar itu”, berkata Nariratih kepada Mahesa Amping yang telah datang di tepian sungai sambil menggendong putranya Mahesa Muksa.
“Hari ini pertama kali kurasakan sebagai seorang ayah”, berkata Mahesa Amping kepada Nariratih tanpa memalingkan wajahnya terus memandang Adityawarman yang tengah melompat dan berlari diatas batu sungai itu.
“Apakah ada perbedaan rasa, sebagai ayah kandung dan sebagai ayah angkat?”, bertanya Nariratih kepada Mahesa Amping.
Mahesa Amping seperti tersentak mendengar pertanyaan itu, diam-diam dapat merasakan sebuah kecemburuan. Mahesa Amping tidak segera menjawab, dipandangnya Nariratih yang memalingkan wajahnya lurus sepertinya tengah memandang Putu Risang, Adityawarman dan Jayanagara yang masih berlari dan melompat diatas batu sungai.
Sekilas Mahesa Amping melihat kecantikan Nariratih yang sempurna, beberapa helai rambutnya yang panjang terlepas dari ikatannya tergerai tertiup angin.
“Ayah kandung dan ayah angkat adalah dua kata yang terpisah, sementara kasih sayang tidak dapat dipisahkan”, berkata Mahesa Amping kepada Nariratih dengan suara yang tenang dan datar.
“Maaf, aku memang terlalu banyak menuntut darimu”, berkata Nariratih yang telah menyadari perkataannya terlalu menusuk. Diam-diam mengutuk kebiasaan diri sendiri yang selalu menjadi perhatian sebagai wanita satu-satunya di Padepokan Teratai Putih dan juga sangat dimanjakan. ”Aku harus merubah sikapku”, berkata dalam hati Nariratih.
“Percayalah, aku akan menjaga Mahesa Muksa sebagai aku akan menjaga putraku sendiri”, berkata Mahesa Amping kepada Nariratih.
“Terima kasih”, berkata Nariratih kepada Mahesa penuh senyum.
“Mudah-mudahan Nyi Nariratih tidak berkeberatan untuk meluangkan sedikit waktu memberikan perhatian kepada putraku dan putra sahabatku itu”, berkata Mahesa Amping kepada Nariratih.
“Aku akan menjaganya sebagaimana aku menjaga putraku”, berkata Nariratih dengan penuh senyum menggetarkan perasaan Mahesa Amping disampingnya. Tapi Mahesa Amping segera menepis perasaan itu, melemparkan pandangannya jauh diantara tawa Adityawarman dan Jayanagara yang sangat menikmati latihan mereka bersama Putu Risang.
“Orang-orang Padepokan Teratai Putih akan membawa delapan pemimpin Kshetra merebut Mahesa Muksa dari tangan kita”, berkata Mahesa Amping kepada Nariratih.
“Orang-orang Padepokan Teratai Putih pasti telah memutar balikkan kejadian yang sebenarnya kepada mereka”, berkata Nariratih merasa cemas ketika Mahesa Amping menyebut tentang para pemimpin delapan kshetra yang diketahuinya telah mengikat janji darah kepada ayahnya Ki Karmapala.
Dalam kesempatan itu pula Mahesa Amping menyampaikan bahwa Pendeta Gunakara juga tengah mencari seorang bayi yang mempunyai pertanda sebagaimana pertanda yang ada di pundak Mahesa Muksa.
“Pendeta dari Tibet itu?”, bertanya Nariratih seperti tidak percaya.
“Benar, kita harus merahasiakan pertanda itu darinya”, berkata Mahesa Amping kepada Nariratih.
Sementara itu mentari pagi sudah mulai merangkak naik, Mahesa Amping mengajak semuanya untuk kembali ke Padepokan Pemecutan.
Terlihat Mahesa Amping menuntun Jayaraga dan Adityawarman diikuti Nariratih dan Putu Risang berjalan keluar dari hutan Cemara.
Ketika mereka tiba di Padepokan Pemecutan, dilihatnya para cantrik tengah berlatih di sanggar terbuka disaksikan oleh Empu Dangka, Arga Lanang dan Pendeta Gunakara.
Nariratih masih mengendong putranya langsung menuju pendapa, sementara itu Mahesa Amping bersama Adityawarman, Jayanagara dan Putu Risang mendekati para cantrik yang tengah berlatih.
Terlihat Putu Risang langsung bergabung dengan para cantrik yang tengah berlatih.
“Pemuda itu punya semangat luar biasa”, berkata Mahesa Amping melihat Putu Risang yang telah bergabung bersama para cantrik.
“Aku ingin seperti mereka”, berkata Adityawarman kepada Mahesa Amping.
Mahesa Amping tersenyum mendengar perkataan putranya.
“Bila kalian ingin seperti mereka, kalian harus punya semangat seperti mereka”, berkata Mahesa Amping kepada Adityawarman dan Jayaraga.
Terlihat Mahesa Amping mempersilahkan Adityawarman dan Jayanegara bergabung dengan para cantri Padepokan Pemecutan. Mahesa Amping tersenyum bangga melihat tangan dan kaki kecil mereka tengah mengikuti gerak jurus para cantrik yang tengah berlatih.
“Kelak mereka akan menjadi para kstria yang mumpuni seperti ayah-ayah mereka”, berkata Arga Lanang kepada Mahesa Amping yang ikut memperhatikan kedua anak lelaki kecil itu berlatih.
Ketika matahari sudah mulai beranjak diatas puncaknya, Empu Dangka mempersilahkan para cantrik untuk beristirahat. Mahesa Amping mengajak Arga Lanang dan Pendeta Gunakara naik ke pendapa Padepokan Pemecutan.
“Mari kita beristirahat di atas pendapa”, berkata Mahesa Amping kepada Arga Lanang dan Pendeta Gunakara.
Terlihat Mahesa Amping berjalan bersama Adityawarman dan Jayanagara diikuti dibelakangnya Arga Lanang, Pendeta Gunakara, Empu Dangka tengah menuju pendapa Padepokan Pemecutan.
Ternyata ketika mereka tiba di pendapa, Nyi Nariratih sudah menyiapkan hidangan makan siang untuk mereka.
“Terima kasih Nariratih, pasti masakanmu sangat luar biasa”, berkata Empu Dangka kepada Nariratih yang sudah mempersiapkan hidangan dan bermaksud kembali ke dalam rumah.
“Jangan memuji dulu, nanti bisa kecewa”, berkata Nariratih sambil pamit untuk kembali ke dalam. Demikianlah, mereka menikmati hidangan makan siang itu di pendapa Padepokan Pemecutan dengan penuh kegembiraan.
“Ternyata aku datang di saat yang tepat”, berkata seseorang yang tiba-tiba saja muncul naik keatas pendapa Padepokan Pemecutan.
“Langsung saja bergabung Ki Bancak”, berkata Mahesa Amping kepada orang itu yang sepertinya sudah sangat dikenalnya dengan baik dan sepertinya sudah tidak asing lagi di Padepokan Pemecutan.
Maka orang itu yang dipanggil Ki Bancak langsung bergabung. Ketika melihat Arga Lanang dan Pendeta Gunakara dengan penuh hormat dan keramahan Ki Bancak menganggukkan kepalanya sebagai tanda sebuah perkenalan.
“Perkenalkan ini sahabatku Ki bancak”, berkata Mahesa Amping kepada Arga Lanang dan Pendeta Gunakara.
“Ki Bancak pasti keluar rumah dengan kaki kanan”, berkata Empu Dangka dengan penuh senyum kepada Ki Bancak.
“Jika tidak pakai kaki kananku, aku tidak akan sampai di Padepokan ini”, berkata Ki Bancak yang disambut tawa oleh semua yang ada di pendapa Padepokan Pemecutan.
Siapakah Ki Bancak itu??
Ki Bancak adalah seorang prajurit telik sandi, orang kepercayaannya Mahesa Amping yang menjadi penghubung jalur sandinya. Lewat Ki Bancak situasi dan keadaan di Balidwipa dapat diterima oleh Mahesa Amping sebagai seorang Senapati. Lewat Ki Bancak juga garis perintah Mahesa Amping dapat dijalankan dengan baik.
Sementara itu matahari diatas Padepokan Pemecutan sudah mulai bergeser turun. Terlihat semua orang di pendapa Padepokan Pemecutan sudah menyesaikan makan siangnya.
“Adityawarman dan Jayanagara, perkenalkan diri kalian kepada pamanmu ini”, berkata Mahesa Amping kepada Adityawarman dan Jayanagara meminta mereka memperkenalkan diri kepada Ki Bancak.
“Mereka berdua adalah putraku dan putra sahabatku Senapati Raden Wijaya”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Bancak.
Terlihat Adityawarman dan Jayanagara merangkapkan kedua tangannya didada menghadap dan menganggukkan kepalanya kepada Ki Bancak.
“Anak-anak yang tampan”, berkata Ki Bancak penuh senyum memandang Adityawarman dan Jayanagara.
“Yang ada disini semua adalah keluarga, silahkan Ki Bancak menyampaikan berita”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Bancak.
Maka dengan perlahan Ki Bancak menyampaikan beberapa hal tentang keadaan dan situasi di Balidwipa. Ada satu berita yang cukup mengundang perhatian dari Mahesa Amping, yaitu tentang kedatangan sekitar dua puluh orang dari Jawadwipa.
“Berita terakhir yang dapat kami terima, mereka adalah para tamu dari Padepokan Teratai Putih”, berkata Ki Bancak menyampaikan beritanya.
“Ternyata orang-orang dari Padepokan Teratai Putih masih ingin memperpanjang urusannya kepadaku”, berkata Mahesa Amping perlahan sepertinya kepada diri sendiri.
“Apakah tuan Senapati punya urusan dengan orangorang dari Padepokan Teratai Putih?”, bertanya Ki Bancak kepada Mahesa Amping.
Terlihat Mahesa Amping menarik nafas panjang. Ada keraguan untuk menyampaikan apa sebenarnya yang terjadi antara dirinya dan orang-orang dari Padepokan Teratai Putih kepada Ki Bancak, terutama di pendapa ada Pendeta Gunakara yang juga punya kepentingan dengan putra angkatnya, Mahesa Muksa.
Namun akhirnya Mahesa Amping melepas keraguannya. Dalam penilaiannya, hari ini atau nanti Pendeta Gunakara pasti akan mengetahuinya juga. Mahesa Amping dapat merasakan bahwa Pendeta Gunakara bukan orang sembarangan, langkah kakinya yang membawanya ke Padepokan Pemecutan adalah sebuah gambaran dirinya bukan orang bodoh, pasti tengah mengikuti suara hati kebenaran, mengikuti panggraitanya yang tajam.
Akhirnya Mahesa Amping menceritakan tentang peristiwa di Hutan Mada, peristiwa yang membawanya hingga harus berurusan dengan orang-orang Padepokan Teratai Putih. Namun Mahesa Amping tidak bercerita tentang awan dan tanda dipundak Mahesa Muksa yang telah dihilangkannya.
“Persoalan Nariratih dan putranya sudah selesai disaat Ki Karmapala menghembuskan nafasnya yang terakhir. Yang dipersoalkan sekarang dari orang-orang Padepokan Teratai Putih adalah ketidak relaan mereka bahwa gurunya dapat dikalahkan olehku”, berkata Mahesa Amping mengakhiri ceritanya tentang peristiwa di Hutan Mada beberapa hari yang lalu.
“Pada saat Raja Adidewalancana berkuasa, mereka adalah salah satu pendukung setianya. Mungkin saja persoalan ini merupakan saat yang tepat bagi mereka untuk membalas rasa sakit hatinya lewat cara dan persoalan yang berbeda”, berkata Empu Dangka memberikan tanggapannya.
“Aku sependapat dengan Empu Dangka”, berkata Ki Bancak membenarkan pendapat dari Empu Dangka.
“Kita cegat mereka sebelum datang ke Padepokan Pemecutan ini”, berkata Empu Dangka.
“Aku sependapat dengan Empu Dangka, siapkan dua puluh prajurit yang terbaik tanpa tanda-tanda kebesaran seorang prajurit, kita bertemu di bukit Karang Gajah”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Bancak.
Maka terlihat Ki bancak bangkit berdiri untuk pamit diri.
“Sampai berjumpa kembali di Bukit Karang Gajah”, berkata Mahesa Amping sambil mengantar Ki Bancak turun dari tangga pendapa Padepokan Pemecutan.
“Aku akan turun ke sanggar, para cantrik pasti sudah menunggu”, berkata Empu Dangka yang berpamit diri untuk melihat para cantrik berlatih di sanggar.
“Adityawarman dan Jayanagara, ikutlah bersama Empu Dangka ke sanggar”, berkata Mahesa Amping kepada Adityawarman dan Jayanagara yang langsung dengan gembiranya mengikuti Empu Dangka.
Akhirnya hanya ada Mahesa Amping, Arga lanang dan Pendeta Gunakara di pendapa Padepokan Pemecutan.
“Sudah hampir dua hari aku di sini, tapi belum melihat ada seorang bayi di Padepokan ini”, berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping yang telah duduk kembali bersama.
“Bayi itu sekarang ada dibiliknya bersama ibunya”,berkata Mahesa Amping kepada Pendepa Gunakara dengan hati dan perasaan yang berdebardebar.
“Aku tamu disini, perkenankan diriku ini ikut bersamamu ke bukit Karang Gajah”, berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping.
Ada perasaan lega dihati Mahesa Amping, perkiraannya bahwa Pendeta Gunakara berkeinginan untuk melihat Mahesa Muksa, namun perkiraan itu ternyata hanya ada dalam bayang-bayang perasaannya saja.
“Sebagai seorang tuan rumah, sudah sewajarnya untuk melindungi tamunya. Tapi bila ini adalah keinginan dari tuan pendeta, kami sangat berterima kasih atas kepedulian dan perhatian tuan pendeta”, berkata Mahesa Amping dengan wajah penuh senyum kepada Pendeta Gunakara.
“Aku sahabatmu, ijinkan pula aku ikut bersamamu ke Bukit Karang Gajah”, berkata Arga Lanang penuh semangat.
“Terima kasih atas perhatian kalian semuanya”, berkata Mahesa Amping kepada Arga lanang dan Pendeta Gunakara.
“Malu rasanya bila tidak berbuat apapun kepada tuan rumah yang begitu baik dan ramah menerima kehadiran kami”, berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping.
“Meski ilmuku belum seberapa, setidaknya menambah jumlah pasukanmu”, berkata Argalanang dengan wajah penuh senyum. Sementara itu terdengar suara langkah yang halus berjalan diatas papan kayu panggung, terdengar suara berderit pintu utama yang terbuka.
Berdebar perasaan Mahesa Amping ketika mengetahui siapa yang keluar dari pintu utama itu. Ternyata adalah Nariratih sambil membawa putranya Mahesa Muksa.
“Aku mendengar semua percakapan kalian”, berkata Nariratih yang telah duduk bersimpuh bersama di pendapa Padepokan Pemecutan. ”Semua berawal dari masalahku dan bayiku ini yang membawa tuan Senapati harus terseret didalamnya”, berkata Nariratih kepada Mahesa Amping dengan suara penuh ketenangan.
Pendeta Gunakara dan Arga Lanang yang telah mendengar cerita Mahesa Amping tentang peristiwa di Hutan Mada langsung dapat menebak bahwa inilah wanita yang ada dihadapan mereka pastilah Nariratih putri Ki Karmapala, pemimpin Padepokan Teratai Putih itu.
“Aku tidak bisa berdiam diri disini, sementara kalian bertempur untuk kepentinganku. Aku ingin ikut ke bukit Karang Gajah”, berkata Nariratih dengan suara penuh kemanjaan membuat Mahesa Amping bingung menghadapinya.
“Siapa yang menjaga Mahesa Muksa bila Nyi Nariratih ikut ke Bukit Karang Gajah?”, bertanya Mahesa Amping dengan suara perlahan mulai mencoba mengimbangi sikat dan watak wanita dihadapannya itu.
“Putu Risang dapat menjaganya”, berkata Nariratih kepada Mahesa Amping.
“Aku pernah melihat kamu bertempur di Hutan Mada, ilmu kepandaianmu dapat diandalkan. Tapi hatiku akan merasa tentram bila Mahesa Muksa berada dalam perlindunganmu”, berkata Mahesa Amping kepada Nariratih.
Diam-diam Nariratih merasa tersanjung mendengar perhatian Mahesa Amping terhadap Mahesa Muksa, putranya.
“Aku setuju apa yang dikatakan tuan Senapati, seorang bayi lebih aman berada dalam perlindungan ibunya sendiri. Setidaknya disaat seperti ini musuh dapat saja berbuat hal-hal yang mengejutkan, misalnya dengan memecah kekuatan menyerang Padepokan Pemecutan disaat kita sudah berada di Bukit Karang Gajah”, berkata Pendeta Gunakara memberikan pandangannya.
“Terima kasih Tuan Pendeta, hal itu memang belum pernah terpikirkan olehku”, berkata Mahesa Amping kepada Pendeta Gunakara.
Sementara itu Nariratih juga ikut memahami apa yang dikatakan oleh Pendeta Gunakara.
“Lama aku berada di lingkungan Padepokan Teratai Putih, aku memahami apa yang mereka pikirkan, meraka akan melakukan begitu banyak siasat, meski kadang harus melepaskan rasa kemanuasiaan”, berkata Nariratih mencoba memberi gambaran tentang orang-orang Padepokan Teratai Putih.”Dan aku menerima untuk tetap disini, melindungi putraku”, berkata Nariratih dengan wajah penuh riang.
Mahesa meresa lega dengan sikap Nariratih yang terakhir, menerima untuk tidak ikut ke bukit Karang Gajah.
“Aku gembira, Nyi Nariratih dapat menerima untuk tidak ikut bersama kami”, berkata Mahesa Amping kepada Nariratih.
“Mudah-mudahan mereka tidak berpikir tentang apa yang dipikirkan tuan pendeta, tapi setidaknya ada aku disini menjaga putraku sendiri”, berkata Nariratih sambil mendekap Mahesa Muksa dengan lebih erat lagi, sepertinya takut akan kehilangan buah hatinya itu.
“Bolehkah aku mengendong putramu?”, berkata Pendeta Gunakara kepada Nariratih.
Terlihat Nariratih menatap Mahesa Amping sekejab, mohon pertimbangannya. Namun belum lagi Mahesa Amping memberikan tanggapannya, Pendeta Gunakara sudah bangkit berdiri mendekati Nariratih dan putranya yang masih didekapnya.
Nariratih tidak dapat berbuat apapun ketika Pendeta Gunakara dengan penuh senyum mengulurkan tangannya bermaksud memindahkan Mahesa Muksa yang masih tertidur.
Anehnya Nariratih seperti tersihir, melepaskan Mahesa Muksa berpindah tangan berada dalam dekapan Pendeta Gunakara. Mungkin wajah dan senyum yang sareh dan penuh ketulusan itulah yang telah menyihir perasaan Nariratih untuk begitu percaya melepaskan putranya kepada seseorang yang diketahui punya kepentingan yang besar terhadap putranya Mahesa Muksa.
“Parasnya begitu cemerlang, siapapun akan kasih kepadanya”, berkata Pendeta Gunakara sambil mengembalikan Mahesa Muksa ke pangkuan ibunya.
Nariratih dan Mahesa Amping terlihat menarik nafas dalam setelah beberapa saat dipenuhi perasaan penuh kekhawatiran yang sangat. Ternyata Pendeta Gunakara tidak melakukan apapun. Tapi sepintas Mahesa Amping dapat melihat mata Pendeta Gunakara yang memperhatikan kearah pundak belakang Mahesa Muksa.
Sementara itu langit sore diatas Padepokan Pemecutan terlihat cerah bersinar dengan cahayanya yang kuning teduh. Dua ekor kepodang kuning terlihat berlompatan diantara dahan-dahan pohon kemboja yang berada di pojok halaman Padepokan Pemecutan.
“Aku akan kembali kedalam”, berkata Nariratih berpamit untuk kembali kedalam rumah.
“Mari kita ke sanggar melihat para cantrik berlatih”, berkata Mahesa Amping kepada Arga Lanang dan Pendeta Gunakara.
“Mari”, berkata Arga Lanang yang langsung bangkit dari duduknya.
Terlihat Mahesa Amping, Arga Lanang dan Pendeta Gunakara telah menuruni tangga pendapa Padepokan Pemecutan.
“Kedua anak itu punya daya ingat yang luar biasa”, berkata Arga Lanang kepada Mahesa Amping ketika melihat Adityawarman dan Jayanagara ikut berlatih di sanggar terbuka disisi samping sebelah kanan Padepokan Pemecutan.
Akhirnya di pertengahan senja, Empu Dangka menyudahi latihan bersama itu sambil menyampaikan beberapa pesan, diantaranya tentang rencana mereka besok yang akan berangkat ke bukit Karang Gajah.
“Mudah-mudahan kalian dapat melindungi diri kalian sendiri”, berkata Empu Dangka kepada para cantriknya.
“Kenapa kami tidak diikutkan bersama kalian ke Bukit Karang Gajah?”, bertanya Putu Risang mewakili para cantrik yang merasa penasaran tidak diikutkan ke Bukit Karang Gajah.
“Saat ini kalian masih belum waktunya untuk menghadiri pertempuran yang sebenarnya. Tetaplah kalian berlatih meski kami tidak ada di Padepokan Pemecutan ini. Aku yakin dalam waktu dekat ini kalian pasti sudah dapat diandalkan”, berkata Empu Dangka kepada para cantriknya.
Terlihat beberapa cantrik dapat menerima alasan yang disampaikan oleh Empu Dangka. Justru pernyataan dari Empu Dangka telah memecut semangat mereka untuk berlatih lebih giat lagi.
Ketika hari sudah dipenghujung senja, semua cantrik terlihat sudah kembali ke bilik-bilik mereka untuk beristirahat. Sementara itu Empu Dangka, Mahesa Amping, Pendeta Gunakara dan Arga Lanang bersama Adityawarman dan Jayanagara kembali beristirahat di Bangunan utama Padepokan Pemecutan.
*****
Kita tinggalkan dulu Mahesa Amping bersama orangorangnya yang tengah bersiap-siap esok hari untuk menuju ke Bukit Karang Gajah dimana pasukannya telah menunggu mereka disana.
Mari kita menjenguk sebentar suasana di Kotaraja Singasari, diujung senja yang sama matahari diatas istana Singasari sudah hampir terbenam diufuk barat. Diruang Mentanu, tempat Sri Baginda Maharaja Kertanegara menerima tamu dan pejabatnya baru saja melepas kepergian tiga orang tamu kepercayaannya. Mereka adalah Ratu Anggabhaya, Pangeran Lembu Tal dan Kuda Cemani. Ratu Anggabhaya dan Pangeran Lembu Tal baru saja melaporkan tentang tugasnya mewakili Sri Baginda Maharaja untuk meminang putra Raja Gelang-gelang. Betapa gembiranya hati Sri Baginda mendapatkan laporan bahwa pinangannya atas Raden Ardharaja diterima dengan baik.
Sementara itu Kuda Cemani yang datang bersamaan dengan Ratu Anggabhaya dan Pangeran Lembu Tal telah melaporkan beberapa nama pejabat kerajaan yang telah terbukti ikut berhianat berkaitan dengan peristiwa utusan resmi Maharaja Mongol. Dalam laporan itu Kuda Cemani juga menyampaikan bahwa hampir semua pejabat Istana itu sudah diamankan, kecuali seorang pejabat Istana yang bernama Wirondaya yang berhasil melarikan diri.
Ketika hari sudah menghampiri diujung senja, barulah Sri Baginda Maharaja melepas ketiga tamunya itu.
“Besok pagi aku akan meminta kalian datang kembali kemari, masih banyak hal yang ingin kubicarakan bersama kalian”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada Kuda Cemani, Ratu Anggabhaya dan Pangeran Lembu Tal.
Sementara itu di penghujung senja yang sama, terlihat seorang tengah berlari dengan kudanya disebuah bulakan panjang. Sepertinya orang itu tengah berpacu dengan waktu.
Siapakah orang berkuda itu? Tidak lain bahwa orang itu ternyata adalah Wirondaya, seorang pejabat istana Singasari yang berhasil melarikan diri.
Wirondaya berhasil meloloskan dirinya jauh sebelum Kuda Cemani mencium penghianatan di istana berkaitan dengan peristiwa Mengki, utusan resmi Maharaja Yang Dipertuan Agung Kubilai Khan.
Wirondaya telah pergi jauh dari Kotaraja Singasari sebelum datangnya para prajurit untuk menangkapnya.
Hari itu dipenghujung senja yang sama, Wirondaya tengah memacu kudanya disebuah bulakan panjang. Sebuah tempat yang tidak begitu jauh lagi berbatasan dengan sebuah Tanah Perdikan Sunginap, sebuah tanah perdikan yang dipimpin oleh seorang mantan pejabat istana yang setia dan banyak berjasa di kerajaan Singasari bernama Ki Gede Banyak Wedi. Atas kesetiaannya pula Ki Gede banyak Wedi telah dianugerahkan oleh Sri Baginda Maharaja Singasari sebagai pejabat perwakilan kerajaan di Madhuradwipa dengan gelar anugerah nama Aria Wiraraja.
Wirondya ternyata kalah satu langkah dengan Kuda Cemani.
Ketika mengetahui bahwa Wirondaya telah meloloskan dirinya, segera pada hari itu juga Kuda Cemani telah mengutus orangnya untuk segera berangkat ke Madhuradwipa. Utusannya itu telah berhasil datang menghadap Aria Wiraraja dan menceritakan peristiwa utusan Maharaja Mongol, juga tentang larinya seorang pejabat istana bernama Wirondaya.
Terlihat Wirondaya memperlambat kudanya ketika memasuki regol pintu gerbang Tanah Perdikan Sunginep. Malam sudah menutup pemandangan disepanjang jalan Tanah Perdikan Sunginep, satu dua orang masih terlihat di beberapa gardu ronda. Pada saat itu hampir semua rumah disepanjang jalan yang dilalui sudah menyalakan pelita malam.
Akhirnya kuda Wirondaya berhenti disebuah rumah besar yang didepannya berdiri sebuah Banjar Desa. Beberapa prajurit pengawal Tanah Perdikan Sunginep terlihat tengah berbincang-bincang di Banjar Desa itu.
“Bukankah kamu Wirondaya?”, berkata seorang prajurit pengawal tanah Perdikan yang masih mengenal Wirondaya.
“Benar, aku Wirondaya. Ternyata matamu masih dapat mengenaliku”, berkata Wirondaya kepada prajurit pengawal Tanah Perdikan itu. ”Apakah Paman Aria Wiraraja ada dirumah?”, bertanya Wirondaya kepada prajurit pengawal Tanah Perdikan itu.
“Ki Aria Wiraraja ada dirumah, aku akan menyampaikan kedatanganmu”, berkata prajurit pengawal itu sambil melangkah ke arah pendapa rumah besar itu diikuti oleh Wirondaya di belakangnya.
Terlihat prajurit itu masuk lewat pintu butulan, sementara Wirondaya terus melangkah menaiki tangga pendapa rumah besar itu.
Wirondaya tidak menunggu terlalu lama. Terdengar pintu utama berderit terbuka lebar, dari dalamnya terlihat seseorang yang sudah cukup berumur, terlihat dari warna putih di semua rambut dikepalanya. Namun tubuh orang itu masih cukup kokoh dan kuat sebagai tanda bahwa orang itu masih sering berlatih olah kanugaran.
“Ternyata kamu Wirondaya”, berkata orang itu menyapa Wirondaya.
“Ampun Pamanda, kesibukan diistana membuat aku tidak sempat berkunjung ke kampung halaman sendiri”, berkata Wirondaya yang memanggil orang itu dengan sebutan Pamanda langsung berdiri dan berlutut dihadapan pamannya.
“Aku sudah mengetahui apa yang terjadi atas dirimu Wirondaya”, berkata orang itu yang ternyata adalah Ki Aria Wiraraja.
Bukan main kagetnya Wirondaya, ternyata Ki Aria Wiraraja telah mengetahui tentang dirinya.
“Mari kita duduk bersama berbicara sebagai orang dewasa”, berkata Ki Aria Wiraraja kepada Wirondaya yang langsung kembali duduk ditempatnya semula diikuti oleh Ki Aria Wiraraja yang juga telah duduk berhadaphadapan.
“Pamanda baru mendengar dari orang-orang Tumapel, belum mendengar apa yang sebenarnya terjadi”, berkata Wirondaya kepada Ki Aria Wiraraja.
“Dari awal pembicaraanmu saja tentang Tumapel, aku sudah dapat menebak dimana kamu berdiri”, berkata Ki Aria Wiraraja kurang senang ketika Wirondaya menyebut kata Tumapel.
“Pamanda harus banyak mendengar, bahwa Kotaraja Singasari memang telah dikuasai oleh orang-orang Tumapel. Kotaraja hanya milik orang Tumapel, bukan orang Kediri dan lainnya, juga bukan orang Madhura. Tidakkah Pamanda merasakan bahwa orang-orang Tumapel telah menjajah kita semua?’, berkata Wirondaya kepada Ki Aria Wiraraja.
“Dengarlah wahai Wirondaya kemenakanku, aku mengenal mereka sebagaimana aku mengenal anakku sendiri. Perlu kamu ketahui, Pamandamu pernah berseberangan jalan dengan mereka, atas kebesaran jiwa mereka aku dapat hidup sebagaimana yang kamu lihat sampai saat ini. Jadi kamu salah langkah bila punya pikiran berlindung di Tanah Perdikan ini. Karena Tanah Perdikan Sunginep ini adalah anugerah dari mereka. Jadi, siapapun yang memusuhi mereka, adalah musuhku. Siapapun yang berdiri berseberangan dengan mereka, bukan orang Tanah perdikan Sunginep ini. Mudah-mudahan kamu dapat mengerti dimana aku berdiri”, berkata Ki Aria Wiraraja kepada Wirondaya.
Pucat pasi wajah Wirondaya mendengar perkataan dari Pamandanya Ki Aria Wirondaya. Awalnya Wirondaya berharap datang ke Madhuradwipa untuk mempengaruhi Pamandanya ikut memusuhi orang-orang Singasari dan bersekutu dengan mereka, namun kenyataannya Ki Aria Wiraraja tidak dapat dipengaruhinya.
“Tidakkah kamu sadari, kutitipkan dirimu di Istana Singasari sebagai perwakilan pengabdianku kepada mereka. Kuharapkan kesetiannmu sebagaimana kesetianku kepada mereka. Tapi ternyata kamu telah mencoreng namaku”, berkata kembali Ki Aria Wiraraja kepada Wirondaya.
Terlihat wajah Wirondaya semakin pucat pasi. Tidak pernah dirinya melihat Pamandanya berkata sekeras itu kepadanya. Dulu Pamandanya begitu sangat memanjakannya, terutama ketika Lawe putranya meninggalkannya.
“Harusnya kamu mengikuti jejak saudara sepupumu Lawe, aku bangga dengannya yang mengerti apa yang kuinginkan, sebagai pengganti diriku mengabdi seluruh jiwa dan raga untuk penguasa tahta Singasari. Itulah takdir diri kita atas jiwa mereka yang tidak dapat dirubah oleh apapun. Inilah titah para dewata atas diri kita dan mereka yang bertahta”, berkata kembali Ki Aria Wiraraja kepada Wirondaya.
Wirondaya tidak dapat berkata apapun, mulutnya seperti tersumbat. Wajahnya sudah semakin pucat pasi bersama dengan lemasnya seluruh persendiannya. Wirondaya seperti pasrah menerima apapun perlakuan dari Pamandanya Ki Aria Wiraraja yang terlihat sangat kecewa dengan dirinya.
“Kemana lagi diri ini berlindung selain kepada Pamanda. Disemua tanah Singasari diriku tidak akan dapat diterima”, berkata Wirondaya penuh belas kasihan memohon perlindungan Pamandanya Ki Aria Wiraraja.
“Dengan sangat menyesal, aku tidak dapat melindungimu. Aku masih bermurah hati tidak memanggil para prajurit pengawal Tanah Perdikan untuk merangkengmu, membawamu sebagai buronan yang sedang dicari oleh orang-orang Kotaraja Singasari. Pergilah sebelum kemurahanku ini berubah”, berkata Ki Aria Wiraraja kepada Wirondaya.
Wirondaya merasakan hatinya remuk retak berkepingkeping. Punah sudah segala harapan dan anganangannya. Ki Aria Wiraraja yang diharapkan akan menjadi sandarannya, kini sudah berbalik membencinya. Timbul rasa keangkuhan dan ketinggian hatinya yang membangunkan kembali kekuatan dirinya.
Terlihat Wirondaya bangkit berdiri perlahan.
“Baiklah bila Pamanda menginginkan aku pergi dari tempat ini. Aku bukan anak kecil lagi yang merengekrengek minta sesuatu. Dengarlah wahai Pamanda, aku tidak akan dan tidak mungkin seperti Pamanda yang tunduk patuh kepada orang-orang Tumapel, merendahkan dirinya sebagai hamba sahayanya yang setia. Aku berjanji pada diriku ini bahwa suatu waktu nanti aku akan berdiri dihadapan mereka, menyuruh mereka menyembah dan mencium kakiku ini”, berkata Wirondaya kepada ki Aria Wiraraja yang tidak bergeming sedikitpun memandangnya. Sepertinya tidak mendengar apapun yang diucapkan oleh Wirondaya dengan suara cukup keras dan tajam.
“Maafkan aku Pamanda, aku tidak dapat menjadi dirimu. Karena aku tidak akan merendahkan diriku”, berkata Wirondaya yang langsung melangkah menuju tangga pendapa.
Di keremangan malam yang mulai menyelimuti Tanah Perdikan Sunginep itu, terlihat bayangan Wirondaya yang tengah keluar dari regol pintu gerbang rumah besar Ki Aria Wiraraja.
Sementara itu Ki Wiraraja masih tetap duduk di pendapa rumahnya. Dadanya terasa sesak menahan amarah yang meluap-luap. Ucapan Wirondaya seperti belati yang menikam rongga dadanya. Seorang anak kemenakan yang dibesarkannya telah mengecewakan hatinya. Dan mereka nampaknya mulai hari itu ada di persimpangan jalan yang berbeda. Mereka berdua telah berdiri berseberangan jalan, bahkan suatu saat nanti mungkin akan berhadapan sebagai dua musuh di kubu dan sekutu yang berbeda.
Kemanakah arah kuda Wirondaya melangkah??
Dikeremangan malam yang telah gulita, kuda Wirondaya masih terlihat menyusuri bulak-bulak malam, semakin menjauh dari Tanah Perdikan Sunginep. Sebuah tanah kampung halamannya sendiri, tempat dimana dirinya dibesarkan, bermain bersama sanak kandang dan kemanjaan Pamandanya yang dicintai dan mencintainya.
Ketika terusir dari istana Kotaraja Singasari, dirinya tidak merasakan kepedihan hati yang begitu dalam. Namun ketika terusir dari rumah Pamandanya sendiri, hatinya sepertinya merasakan kepedihan yang sangat. Pamandanya yang selama ini diakuinya sebagai ayahnya sudah tidak mempedulikannya lagi, bahkan telah begitu sangat membencinya sebagai manusia yang tidak punya arti.
Diperjalanan malam itu, hati dan perasaan Wirondaya telah membeku menjadi sebuah kebencian.
Kebencian Wirondaya sepenuhnya ditumpahkan kepada orang-orang Tumapel. Kebencian itu pula yang membawa langkah kaki kudanya untuk menempuh perjalanan jauh, menuju Tanah Gelang-gelang.