Kabut Di Bumi Singasari Jilid 02

Tiba-tiba saja tubuh Ki Ambeg Kulon sudah tidak terlihat lagi lenyap ditelan atap bangunan.

Ternyata Ki Ambeg turun dengan cara meluncur langsung kebawah dengan begitu ringannya. Dan tidak ada bunyi sedikit pun manakala kakinya jatuh menginjak lantai kamar itu.

“Orang ini besok tidak lagi menemui pagi”, berkata Ki Ambeg dalam hati sambil mengangkat goloknya yang tajam terlihat sangat berkilat terkena cahaya pelita malam yang ada di kamar itu.

Sekilas Ki Ambeg Kulon masih sempat melihat wajah orang yang masih tertidur pulas, yang ternyata adalah Mengki utusan Kaisar Kubilai Khan.

Golok di tangan Ki Ambeg Kulon terlihat meluncur dengan cepatnya ke arah leher Mengki.

Tapi apa yang selanjutnya terjadi ??

Diluar perhitungan Ki Ambeg Kulon tiba-tiba saja tubuh Mengki bergeser.

Slebb !!

Golok tajam Ki Ambeg nyasar ketempat kosong. Bukan main kaget gusarnya Ki Ambeg Kulon melihat sasarannya telah bergerak menghindari tebasan goloknya. Namun belum habis rasa kagetnya, sebuah tendangan yang berasal dari kaki Mengki telah telah bergerak dengan cepatnya langsung tertuju ke arah rusuk samping Ki Ambeg Kulon.

Bukkk!!

Tendangan Mengki langsung mengenai sasaran.

Terlihat tubuh Ki Ambeg Kulon limbung menabrak dinding kamar. Terdengar suara keras beberapa barang yang tertabrak tubuh besar Ki Ambeg Kulon.

Malam itu Ki Ambeg Kulon benar-benar salah dugaan, sasarannya ternyata bukan orang sembarangan.

Ternyata Mengki memang sedang menunggu Ki Ambeg Kulon masuk ke kamarnya dengan berpura-pura tidur pulas. Ternyata Mengki sudah melihat Ki Ambeg Kulon jauh sebelum Ki Ambeg Kulon melompat ke atas atap Bangunan. Mengki sudah mendengar dan mengetahui kehadiran Ki Ambeg Kulon ketika mulai masuk mengendap di dinding dalam dekat regol pintu halaman Pasanggrahan Sentanu.

Dalam waktu singkat, Ki Ambeg Kulon sudah dapat menguasai dirinya. Sementara itu Mengki dengan tangkasnya sudah melompat dari peraduannya.

“Aku tidak akan memberikan leherku begitu saja kawan”, berkata Mengki kepada Ki Ambeg Kulon yang telah berdiri kembali dengan tangan masih menggenggam senjatanya sebuah golok tajam.

“Sebenarnya aku lebih senang membunuh orang dalam keadaan mata terbuka”, berkata Ki Ambeg Kulon sambil melepaskan sambaran goloknya kearah dada Mengki.

Mengki yang masih bertangan kosong itu terlihat bergeser dengan cepatnya kesamping.

Ternyata Mengki bukan hanya menghindar, bersamaan pula balas menyerang Ki Ambeg Kulon dengan sebuah tendangan tinggi kearah kepala.

Melihat lawannya telah keluar dari serangannya dan balas menyerang, Ki Ambeg Kulon dengan tenang memiringkan kepalanya, sementara itu goloknya telah bergerak berputar mengejar kaki Mengki yang masih belum sempat turun kebawah.

Luar biasa !!!, meski kakinya masih belum menyentuh bumi, kaki yang satunya sudah dapat membuat tendangan menyerang tangan Ki Ambeg Kulon yang tengah mengayunkan goloknya.

Melihat tangannya akan terkena sasaran hantaman kaki Mengki, Ki Ambeg kulon segera merubah arah goloknya langsung berbalik arah menjemput kaki lawannya yang lain.

Mengki tidak membiarkan kakinya menjadi makanan golok lawan, dengan cepat menarik kakinya jatuh ke lantai. Ternyata kaki yang menginjak lantai itu adalah sebagai tumpuan sumbu bagi kaki yang lainnya untuk melakukan tendangan berputar seperti gasing menerjang bagian bawah Ki Ambeg Kulon.

Demikianlah, Mengki dengan tangan kosong terus bertempur menghadapi Ki Ambeg Kulon yang bersenjata golok di ruang kamar utama yang terbatas itu. Mengki masih dapat mengimbangi serangan golok Ki Ambeg Kulon dengan serangan balasan yang sama berbahayanya.

Brakk !!!

Terdengar suara pintu di tabrak dari arah luar, pintu kamar utama itupun terkuak. Terlihat dua orang budak Mengki menerobos kedalam dan langsung mengurung Ki Ambeg Kulon dengan masing-masing menghunus sebuah pedang panjang.

“Tempat ini menjadi begitu sempit”, berkata Ki Ambeg Kulon sambil mengenjot tubuhnya melompat terbang menerobos lewat lubang atap.

“Jangan biarkan orang itu lolos”, berkata Mengki sambil menyambar pedangnya yang tergantung didinding dan langsung mengenjotkan tubuhnya melompat tinggi menyusul Ki Ambeg Kulon lewat atap bangunan.

“Aku belum lari jauh”, berkata Ki Ambeg Kulon di halaman Pasanggrahan sambil bertolak pinggang menanti Mengki yang berlari mengejarnya.

Sementara itu dua orang budak Mengki sudah terlihat keluar dari dalam rumah langsung turun ke halaman mengepung Ki Ambeg Kulon.

“Pedang-pedang yang bagus”, berkata Ki Ambeg Kulon menyeringai memandang tiga orang yang mengepungnya dengan tiga buah pedang terhunus kedepan. “Habisi orang ini”, berkata Mengki memberi aba-aba kepada dua orang budaknya menyerang Ki Ambeg Kulon secara bersamaan.

Ternyata ilmu pedang kedua orang budak Mengki ini tidak begitu jauh dibawah majikannya.

Terlihat tiga buah pedang seperti berpacu kearah Ki Ambek Kulon. Tapi ternyata Ki Ambeg Kulon tidak menjadi gentar menghadapi tiga serangan bersamaan itu, dengan sigap tubuh Ki Ambeg bergerak menyergap salah seorang budak Mengki yang paling dekat dengannya.

Bukan main kagetnya salah seorang budak Mengki menghadapi sergapan yang tiba-tiba itu. Sementara pedang yang menyerang Ki Ambeg Kulon masih meluncur.

Maka tidak ada jalan lain selain membenturkan pedangnya menangkis serangan Ki Ambeg Kulon.

Tranggg !!!

Terdengar benturan dua senjata dengan kerasnya.

Salah seorang budak itu meringis merasakan tangannya terasa panas dan kesemutan. Untungnya Mengki dan kawannya telah membantunya menyerang Ki Ambeg Kulon, sehingga dirinya tidak menjadi makanan empuk serangan Ki Ambeg Kulon selanjutnya yang keras dan cepat.

Demikianlah, Ki Ambeg Kulon masih dapat mengimbangi ketiga lawannya meski dengan kerja keras dan kehatihatian.

Sementara itu langit diatas halaman pasanggrahan Sentanu telah menjadi begitu suram dan gelap. Keempat orang yang tengah bertempur itu seperti bayangan yang tersamar saling mengejar, melompat dan terkadang melenting tinggi.

Puluhan jurus telah terlewati, Mengki dan kedua orang budaknya masih belum dapat melumpuhkan Ki Ambeg Kulon.

Sementara itu keringat sudah mengucur membasahi keempat orang yang tengah bertempur di halaman pasanggrahan Sentanu.

“Tangguh benar orang ini”, berkata Mengki dalam hati sambil melakukan penyerangan bersama kedua orang budaknya.

Kembali Ki Ambeg Kulon dapat keluar dari serangan serentak itu sambil membalas dengan serangan yang tidak kalah berbahayanya.

Demikianlah pertempuran itu terus berlangsung dengan serunya, belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah. Ki Ambeg Kulon selalu saja dapat keluar dari setiap kepungan dan balas menyerang tidak kalah dahsyatnya mengimbangi ketiga orang lawannya.

Namun pada sebuah serangan berikutnya, ketika Ki Ambeg Kulon menghindari sekaligus dua buah pedang dari dua orang budak Mengki yang bersamaan mengincar pinggangnya dari arah kanan dan kirinya memaksa Ki Ambeg Kulon maju selangkah kedepan.

Mata Mengki yang tajam melihat kesempatan itu untuk membuat mati langkah Ki Ambeg Kulon.

“Habislah kau sekarang”, berkata Mengki didepan Ki Ambeg Kulon dengan serangan menusuk arah jantung.

Bukan main kagetnya Ki Ambeg Kulon melihat pedang Mengki meluncur deras kearah jantungnya. Darahnya terasa mendesir membayangkan pedang itu menancap tepat dijantungnya, sementara langkah kakinya sudah seperti terkunci.

Terlintas dihati Ki Ambeg untuk menggunakan golok  yang masih tergenggam erat ditangannya untuk mengkis serangan pedang Mengki, namun kedua orang budak Mengki sudah datang menjepitnya dengan serangan serentak mengarah pada kiri dan kanan pinggangnya.

“Matilah aku”, berkata Ki Ambeg Kulon dalam yang sudah merasa buntu apa yang harus dilakukannya.

Ki Ambeg memang sudah pasrah, sudah buntu dan sudah bisa berpikir jernih lagi membayangkan dirinya harus mati ditangan orang yang seharusnya menjadi korbannya.

Namun ternyata kejadiannya tidak sesuai yang dibayangkan oleh Ki Ambeg Kulon, tidak juga yang ada dalam pikiran Mengki dan kedua budaknya itu.

Apa yang selanjutnya terjadi ??

Mengki yang sudah merasakan kemenangan didepan matanya, merasa yakin bahwa lawannya tidak akan mungkin dapat menghindari serangannya telah melupakan kesiagaannya.

Kaget bukan kepalang ketika Mengki merasakan sebuah angin berdesir dibelakang kepalanya. Namun Mengki sudah kehilangan kecepatan dan kesiagaannya, untungnya masih dapat sedikit memiringkan kepalanya.

Bresss !!!

Sebuah paser pisau kecil menembus dan merobek daun telinga Mengki, tapi ternyata paser itu dilepas oleh tenaga yang sangat kuat hingga terus melaju menancap tepat dileher Ki Ambeg Kulon. Ki Ambeg Kulon langsung roboh tanpa mampu berpikir kenapa bukan jantungnya yang tertancap, tapi lehernya yang menjadi sasaran ?.

Sementara itu Mengki terlihat tengah memegang daun telinganya yang robek, darah segar terlihat mengalir ditelapak tangan yang tengah menutupi daun telinganya itu.

“Tuan terluka?”, bertanya salah seorang budaknya.

Tapi Mengki tidak menjawabnya, melainkan membalikkan badannya menyapu setiap arah dengan pandangannya seperti mencari sesuatu.

Mata Mengki yang terlatih dapat menembus keremangan malam akhirnya menemukan sesuatu yang mencurigainya berada di gerumbul rumpun bambu  kuning disamping bangunan Pasanggrahan.

Tapi langkah Mengki terlambat, belum sempat berbuat apapun sebuah bayangan melesat kearah dinding pagar pasanggrahan dan menghilang dibalik dinding bersama keremangan malam yang sunyi dan senyap.

“Luka tuan harus segera diobati”, berkata salah seorang budaknya sambil membalurkan bubuk obat pengering luka.

“Apa yang harus kita lakukan atas orang itu”, berkata seorang lagi budaknya sambil menunjuk kearah Ki Ambeg Kulon yang sudah tidak bernyawa tergeletak di halaman Pasanggrahan Sentanu.

“Biarkan apa adanya sampai datang orang Singasari melihatnya, untuk sebagai bukti bahwa bukan kita yang membunuhnya”, berkata Mengki yang merasakan rasa pedih lukanya sudah semakin berkurang.

Seperti yang diharapkan oleh Mengki, beberapa saat kemudian terlihat dua orang prajurit peronda melewati regol pintu halaman Pasnggrahan Sentanu. Dua orang prajurit peronda itu merasa heran bahwa tiga orang tamu penghuni Pasanggrahan Sentanu berada di halaman.

Maka bertambah kaget lagi kedua prajurit peronda itu manakala masuk ke halaman mendapatkan sesosok tubuh terbaring tak bernyawa dengan sebuah paser menancap di batang lehernya.

“Apa yang telah terjadi?”, bertanya salah seorang prajurit peronda itu.

Maka dengan terinci jelas Mengki menceritakan semuanya tanpa ada yang dikurangi sedikitpun kepada kedua prajurit peronda itu.

“Laporkan semua ini kepada Ki Lurah, sementara aku menunggu disini”, berkata salah seorang prajurit peronda itu kepada kawannya.

“Baiklah, aku akan menemui Ki Lurah secepatnya”, berkata kawan prajurit itu sambil melangkah pergi keluar dari pasanggrahan Sentanu.

Sementara itu malam sudah mendekati pagi, cahaya merah tua terlihat memancar terang diujung timur bumi.

Terlihat beberapa prajurit pengawal istana dihalaman Pasanggrahan Sentanu. Semakin datang terang pagi, semakin banyak orang istana yang datang.

“Maafkan kami yang tidak dapat menjaga keamanan tuan Mengki dengan baik”, berkata Raden Wijaya kepada Mengki yang langsung menemuinya di Pasanggrahan Sentanu.

Mengki pun bercerita kembali apa yang telah terjadi semalam kepada Raden Wijaya yang datang bersama dengan Kebo Arema. “Beristirahatlah, kami akan mengusut dibalik semua ini”, berkata Raden Wijaya kepada Mengki dan kedua orang budaknya.

Akhirnya dihari itu juga ditunjuk beberapa perwira prajurit untuk mengusut tuntas apa dibalik peristiwa usaha pembunuhan utusan kaisar Kubilai Khan itu.

Para perwira prajurit mulai mengusut peristiwa di Pasanggrahan Sentanu dengan penuh ketelitian. Dan pengusutan benang merah pun akhirnya menemui ujungnya. Tertuju kepada seorang pejabat istana Singasari, seorang pejabat yang dipercayakan untuk mengurus upeti. Seorang pejabat istana bernama Rakrian Bala Malendra.

Sungguh malang nasib Malendra, semua tanggung jawab atas peristiwa percobaan pembunuhan atas  utusan Kaisar Kubilai Khan dibebankan hanya kepadanya seorang.

Malendra memang tidak dapat mengelak bahwa dirinyalah yang membawa Ki Ambeg Kulon ke istana yang jati dirinya begitu cepat diketahui sebagai seorang pembunuh bayaran. Malendra juga tidak dapat membuka rahasia besar dibalik semua itu, dirinya lebih baik mengakui sebagai orang yang bertanggung jawab atas peristiwa itu ketimbang melihat seluruh keluarganya yang tak berdosa habis binasa sengsara.

Namun masih ada rahasia yang belum terungkap, siapakah gerangan orang yang membunuh Ki Ambeg Kulon dan melukai daun telinga Mengki?.

Untuk mengetahuinya, marilah kita mundur kembali kebelakang saat Mengki melihat sesosok bayangan berkelebat menghilang dibalik dinding pagar batu Pasanggrahan Sentanu. Sosok bayangan itu tidak berjalan di lorong-lorong istana, sepertinya sangat hapal untuk melewati jalan lain yang jarang sekali dilewati para prajurit peronda. Terlihat sosok bayangan itu menuju arah belakang istana.

Malam saat itu begitu gelap, sosok bayangan itu berkelebat diantara gerumbul tumbuhan dan akhirnya tiba di sebuah pondokan bilik para abdi dalem istana. Sosok bayangan itu masuk kesebuah bilik seorang Pangalasan tua dimana Ki Ambeg Kulon juga ada menginap bersamanya.

Pelita malam yang menerangi bilik itu terlihat sudah mulai redup, namun masih dapat menerangi wajah orang yang baru masuk kedalam bilik itu. Ternyata sosok wajah itu adalah Ki Broto sang Pangalasan tua yang sudah menjelang purnabhakti.

Tidak seorang pun yang mengetahui jati diri Ki Broto yang sebenarnya adalah seorang prajurit delik sandi yang ditugaskan di dalam istana Singasari. Dan pada malam itu Ki Broto telah mendapat sebuah perintah rahasia, perintah untuk menghabisi nyawa seorang utusan Kaisar Kubilai Khan.

Pagi itu terlihat Ki Broto tengah mengemasi barangbarangnya ketika seorang prajurit perwira datang menemuinya.

“Jadi orang itu telah mati di halaman Pasanggrahan Sentanu?”, berkata Ki Broto sambil pura-pura terkejut mendengar berita yang dibawa oleh prajurit perwira itu kepadanya.

“Aku yakin Ki Broto tidak ada sangkutan apapn dalam peristiwa ini, aku hanya sekedar melengkapi beberapa keterangan”, berkata prajurit perwira itu kepada Ki Broto. “Kemarin kami seharian bekerja merawat taman di Pasanggrahan Kaputrian dan Pasanggrahan Sentanu”, berkata Ki Broto memberi keterangan kepada prajurit perwira itu.

“Terima kasih untuk keterangannya, kami hanya ingin melengkapi apa yang sudah kami dapat dalam pengusutan peristiwa ini”, berkata prajurit perwira itu sambil pamit untuk kembali ke istana.

Tidak lama setelah prajurit perwira keluar dari rumah Ki Broto, seorang lelaki datang menemuinya. Ternyata orang itu adalah seorang penghubungnya dalam jalur prajurit sandi.

“Secepatnya kamu tinggalkan Kotaraja ini, semoga di kampung halamanmu memberikan ketenangan hidup untukmu”, berkata penghubung itu sambil menyerahkan beberapa keping emas kepada Ki Broto untuk bekal hidupnya dikampung halamannya.

“Aku tidak dapat melakukan tugas terakhirku dengan baik”, berkata Ki Broto kepada penghubungnya.

“Tidak perlu disesali, siapapun pernah melakukan kesalahan dalam tugasnya”, berkata penghubung itu menghibur Ki Broto.

Demikianlah, setelah berpamitan dengan orang-orang terdekatnya selama bekerja dilingkungan Istana, Ki Broto meninggalkan Istana, kembali kekampung halamannya. Membawa rahasia besar yang tidak mungkin terungkap sepanjang hidupnya.

Sementara itu di ruang Magunturan, Sri Baginda Maharaja tengah mendengarkan beberapa pendapat dari pejabat istana tentang utusan Kaisar Kubilai Khan. Sebagian menyetujui mengakui kebesaran Mongolia, namun sebagian lagi menentang dengan keras untuk tunduk dan patuh dibawah kekuasaan Kaisar Kubilai Khan.

“Sampai saat ini aku belum dapat memutuskannya, apapun pendapat kalian akan menjadi pegangan bagiku”, berkata Sri Baginda Maharaja sambil berdiri berkenan untuk meninggalkan ruang Magunturan.

Namun Sri Baginda Maharaja tidak langsung ke pasanggrahannya untuk beristirahat, tapi menuju ruang Mentanu, sebuah tempat khusus untuk menerima tamu dan para pejabat istana.

“Panggil Kuda Cemani untuk menghadap kepadaku”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada seorang prajurit pengawalnya.

Seperti diketahui bahwa Kuda Cemani adalah seorang perwira tinggi yang paling dipercaya oleh Sri baginda Maharaja, seorang pejabat istana dibidang telik sandi yang sangat setia.

Maka tidak lama berselang Kuda Cemani sudah datang menghadap Sri Baginda Maharaja di ruang Mentanu.

“Ada beberapa pejabat istana yang harus diselidiki kesetiaannya, aku ingin mereka dibersihkan”, berkata Sri Baginda Maharaja sambil menyampaikan siapa saja pejabat istana yang perlu dicurigai kesetiaannya.

“Hamba siap menjunjung tinggi perintah tuanku Baginda”, berkata Kuda Cemani dengan penuh hormat.

“Sudah saatnya pula untuk membenahi jalur pasukan telik sandimu, yang kukhawatirkan sudah banyak yang tercemar”, berkata Sri Maharaja Singasari kepada Kuda Cemani.

Kuda Cemani tanggap atas kekhawatiran Sri Baginda Maharaja, sebagai seorang pemimpin tertinggi pasukan telik sandi kerajaan memang dapat membaca perkembangan terakhir terutama berhubungan dengan kedatangan utusan Kaisar Kubilai Khan.

“Jalur perintah menjadi tak mudah untuk dikendalikan, ada kerajaan bayangan didalam istana ini. Apakah kamu dapat merasakannya?”, bertanya Sri Baginda Maharaja kepada Kuda Cemani.

Kuda Cemani tidak langsung menjawab, diam-diam memuji kejelian Sri Baginda Maharaja mengamati perkembangan dilingkungan istananya.

“Ketika pertama kali dinobatkan sebagai seorang Raja, kubayangkan bahwa diriku tidak lebih dari seorang nachoda yang dapat mengatur kemana arah jung besar berlayar dan berlabuh. Ternyata tidak semudah itu, kerajaan besar ini seperti seperangkat gamelan, dan aku rajanya hanya sebagai pemukul degung yang baik yang harus mempunyai kepekaan yang tinggi agar dapat mengikuti setiap irama yang sudah tercipta”, berkata Sri baginda Maharaja kepada Kuda Cemani.

“Perkataan Tuanku Baginda begitu dalam, mengikuti irama gending mereka agar mengetahui kemana arah permainan mereka”, berkata Kuda Cemani yang menangkap kemana arah perkataan Sri Baginda Maharaja. “Kita bermain diatas permainan mereka”, berkata kembali Kuda Cemani yang merasa paham betul apa yang diinginkan oleh junjungannya Sri Baginda Maharaja.

Sementara itu langit diatas istana Singasari sudah hampir menjelang senja, terlihat beberapa prajurit pengawal istana bergilir berkeliling istana dengan penuh ketelitian, mereka tidak ingin peristiwa pasanggrahan Sentanu terulang lagi. Penjagaan didalam istana menjadi begitu ketat, siapapun yang memasuki istana harus melewati banyak gardu penjagaan dan juga banyak pertanyaan yang harus mereka jawab dengan baik dan benar.

“Maaf Ki Barep, ikatan kayu bakarmu harus kami periksa”, berkata seorang prajurit pengawal istana disebuah gardu jaga kepada seorang pembawa kayu bakar yang sudah biasa keluar masuk istana.

“Didepan gardu jaga pertama, ikatan kayu bakarku ini sudah diurai, apakah kalian akan mengurai kembali ikatannya?”, berkata Ki Barep dengan perasaan kurang senang.

“Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu ada yang terlewat”, berkata prajurit pengawal itu sambil tertawa getir, mungkin dirinya sendiri tidak senang dengan aturan baru itu yang juga ikut disusahkan.

Sementara itu di Pasanggrahan Sentanu sendiri mulai hari itu menjadi perhatian yang khusus, terlihat  lima orang prajurit pengawal tidak pernah meninggalkan tempat itu. Tapi sikap dan perlakuan Mengki bersama kedua budaknya yang ramah membuat mereka sedikit terhibur. Mereka merasa tidak sedang bertugas, sepanjang hari banyak makanan dan minuman mengalir dari dapur belakang Pasanggrahan Sentanu untuk mereka.

“Tugas Jaga di Pasanggrahan ini seperti istirahat dirumah sendiri, perutku tidak pernah kelaparan”, berkata seorang prajurit pengawal kepada kawannya yang tidak langsung menjawab, hanya tersenyum membenarkan perkataan kawannya itu.

Dan malam pun akhirnya datang perlahan menyelimuti istana Singasari dan Kotaraja. Seperti kemarin, sepanjang malam Kotaraja dikelilingi kabut tebal menjadikan suasana yang dingin menjadi lebih dingin lagi.

Namun sepanjang malam itu tidak terjadi apapun, keadaan istana yang terjaga lebih ketat lagi dari hari sebelumnya itu sepertinya begitu langgeng, aman dan damai. Para penghuninya tertidur dengan pulasnya di peraduan mereka. Hanya para prajurit yang karena tugasnya harus bertahan merasakan dinginnya malam, terus menyemangati diri bergilir berkeliling menjaga setiap sisi istana.

Dan sang malam pun akhirnya telah menyelesaikan waktunya dengan sempurna tidak lebih dan tidak kurang sedikit pun seperti malam-malam sebelumnya yang dibatasi oleh datangnya sang pagi mewarnai hari di bumi.

Dan awal pagi diistana Singasari ditandai dengan kabut yang belum juga menghilang. Beberapa penghuninya masih begitu enggan untuk turun dari peraduannya, sementara itu para inang sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk majikannya.

“Hari ini Sri Baginda Maharaja telah berkenan untuk menerima utusan Kubilai Khan”, berkata Raden Wijaya kepada Ratu Anggabhaya di pendapa agung bersama Kebo Arema dan ayahnya Pangeran Lembu Tal.

“Semoga Sri Baginda Maharaja telah mendapatkan keputusan yang terbaik”, berkata Ratu Anggabhaya.

Akhirnya ketika pagi sudah mulai terlihat terang, kabut sudah mulai menghilang. Terlihat Raden Wijaya dan Kebo Arema telah keluar dari regol halaman Pasanggrahan. Pagi itu mereka akan menghadap Sri Baginda Maharaja di ruang Mentanu bersama dengan Mengki utusan Kaisar Kubilai Khan.

“Apakah telingamu sudah merasa lebih baik?”,bertanya Sri Baginda Maharaja di ruang Mentanu kepada Mengki merasa ikut prihatin atas peristiwa yang telah terjadi.

“Hari ini sudah menjadi lebih baik, hanya robek dan terpotong sedikit”, berkata Mengki dengan tersenyum getir.

“Aku sudah mendapat beberapa keterangan dari Senapati Raden Wijaya perihal maksud kedatanganmu ke istana Singasari ini. Namun alangkah baiknya bila hari ini aku dapat mendengarnya langsung darimu sebagai utusan resmi Kaisar Kubilai Khan”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada utusan Kaisar Kubilai Khan.

“Terima kasih sebelumnya atas penerimaan kami di istana yang indah ini, hamba hanya sebatas utusan resmi dari Yang Dipertuan Agung Kaisar Kubilai Khan untuk menyampaikan sebuah permintaan agar kiranya Kerajaan Singasari Raya ini ikut bergabung bersama kebesaran Yang Dipertuan Agung Kaisar Kubilai Khan”, berkata Mengki penuh hormat dihadapan Sri Baginda Maharaja Singasari.

“Kuhargai dirimu sebagai utusannya yang berani datang dari tempat yang begitu jauh hanya berbekal nama dan kebesarannya”, berkata Sri Baginda Maharaja.

“Sampaikan salamku kepadanya bahwa aku penguasa Singasari akan ikut bergabung bersama kebesarannya. Sebagai bukti kedatanganmu, bawalah sedikit hadiah dariku yang mungkin tidak begitu bernilai, namun kuberikan dengan hati yang tulus”, berkata Sri Baginda Maharaja Singasari sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil dan memberikannya kepada Mengki sebagai bukti kedatangan seorang utusan raja telah diterima dengan baik. Seperti itulah kebiasaan yang berlaku pada jaman itu sebuah perlakuan seorang raja yang menerima kedatangan seorang utusan raja lainnya.

“Bukalah, agar kamu mengetahui apa yang kau bawa”, berkata Sri Baginda Maharaja Singasari kepada Mengki.

Terlihat Mengki membuka kotak kecil itu.

“Sebuah mutiara putih yang indah”, berkata Mengki dengan wajah yang bersinar.

“Sampaikan salamku kepada junjunganmu, bahwa aku akan membawakan hadiah yang lain sebagai tanda kesetiaanku”, berkata Sri Baginda Maharaja Singasari.

“Hormat hamba atas tuan, segala kebaikan dan kemurahan hati tuan akan hamba sampaikan kepada junjungan hamba Yang Dipertuan Agung Kaisar Kubilai Khan”, berkata Mengki dengan penuh hormat.

Demikianlah, setelah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Mengki bersama Raden Wijaya dan Kebo Arema terlihat bermaksud untuk pamit mohon diri kepada Sri Baginda Maharaja Singasari.

“Tugas telah hamba laksanakan, perkenan diri hamba untuk berpamit diri”, berkata Mengki yang bermaksud untuk pamit diri meninggalkan ruang Sentanu.

Terlihat Sri Baginda Maharaja berdiri dan menganggukkan kepalanya sebagai tanda menerima permintaan pamit diri tamunya itu.

Matahari diatas Singasari belum sampai diatas puncak cakrawala langit, awan pagi menjelang siang itu nampak begitu cerah bersama hembusan angin yang sejuk membelai genit daun dan ranting pohon yang banyak tumbuh merimbuni setiap sisi taman dan jalan setapak lorong-lorong istana Singasari. “Beristirahatlah, besok kita berangkat meninggalkan Kotaraja Singasari”, berkata raden Wijaya kepada  Mengki di persimpangan jalan menuju pasanggrahan masing-masing.

Ketika Raden Wijaya dan Kebo Arema tiba di Pasanggrahannya, terlihat Ratu Anggabhaya dan Pangeran Lembu Tal telah menunggunya di Pendapa Agung.

“Akhirnya Sri Baginda Maharaja telah memutuskan”, berkata Ratu Anggabhaya setelah mendengar berita yang disampaikan Raden Wijaya ketika mengantar Mengki utusan Kubilai Khan.

“Keputusan yang bijaksana”, berkata Pangeran Lembu Tal memberikan tanggapannya.

Ketika malam datang menyelimuti istana Singasari, seperti malam kemarinnya Sri Baginda muncul kembali di Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.

“Semula aku berharap akan berbesanan dengan keluarga ini”, berkata Sri Baginda Maharaja sambil tersenyum memandang kepada Raden Wijaya. “Aku masih punya tiga orang putri, mudah-mudahan pada suatu waktu datang lamaran dari keluarga ini meminta salah satu putriku”, berkata kembali Sri Baginda Maharaja masih dengan penuh senyum

“Ternyata pikiran tuan Paduka ada juga terlintas didalam pikiranku”, berkata ratu Anggabhaya sambil tersenyum ikut memandang kepada Raden Wijaya yang tersipu malu dipandang Sri Baginda Maharaja dan kakeknya.

“Kutunggu kedatangan Pamanda melamar salah seorang putriku, namun untuk saat ini aku meminta Pamanda mewakiliku menyampaikan keinginanku kepada penguasa Gelang-gelang”, berkata Sri Maharaja kepada ratu Anggabhaya.

“Raden Ardharaja adalah seorang lelaki yang baik, Ratu Turukbali pasti akan senang. Dan mudah-mudahan penguasa Gelang-Gelang bersedia berbesan dengan tuan Paduka”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Sri Baginda Maharaja. “Secepatnya aku akan datang ke Tanah Gelang-Gelang”, berkata kembali Ratu Anggabhaya kepada Sri Baginda Maharaja.

“Terima kasih untuk kesediaan Pamanda”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada Ratu Anggabhaya.

Sementara itu waktu terus berlalu, malam terlihat begitu kelam dan senyap di sekitar pendapa agung.

Terlihat Sri Baginda Maharaja bangkit berdiri bermaksud untuk pamit diri meninggalkan pasanggrahan Ratu Anggabhaya.

Malam berkabut di sekitar pasanggrahan telah mengantar Sri Baginda Maharaja bersama para prajurit pengawalnya keluar dari regol Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.

“Beristirahatlah, besok kalian akan meninggalkan Kotaraja”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Raden Wijaya dan Kebo Arema.

Akhirnya pendapa agung itu telah menjadi begitu senyap hanya ditemani cahaya pelita dan dinginnya malam.

Sepanjang malam kabut turun menyelimuti Kotaraja yang berada diatas dataran tinggi perbukitan, yang dikitari oleh empat gunung-gunung tinggi menyanggah langit, laksana empat raksasa hitam menjaga dan melindungi tanah dan bumi kotaraja dengan setianya. Angin dan kabut dingin telah memaksa penghuninya naik ke peraduan melepaskan segala kepenatan hari-hari dan bermimpi.

Dan pagi pun akhirnya datang juga bersama sinar cahaya matahari mengusir kabut dingin dan semua mimpi-mimpi.

Terlihat para petani sudah mulai turun ke sawahnya. Beberapa pedagang di pasar sudah menyiapkan barangbarangnya. Dan jalan Kotaraja terlihat sudah mulai ramai dilalui oleh orang-orang yang mungkin akan ke pasar atau kegiatan lainnya. Kotaraja sudah terbangun dari tidurnya.

“Semoga keselamatan dan kebahagiaan selalu menyertai kalian”, berkata Ratu Anggabhaya ketika mengantar Raden Wijaya dan rombongannya keluar dari gerbang istana Singasari.

Angin sepoi dingin sejuk menyapu kelima orang berkuda yang terlihat belum begitu lama meninggalkan regol pintu gerbang batas kotaraja. Kepulan debu di belakang kakikaki kuda mereka mengiringi setiap langkah perjalanan mereka yang setengah berlari memacu kudanya di jalan tanah yang kering menuju Bandar Cangu.

Di pagi yang cerah itu jalan antara Kotaraja dan Bandar Cangu memang sudah terlihat ramai. Para pedagang dengan gerobak berkuda tengah mengangkut barang dagangannya, atau beberapa pejalan kaki para pengembara yang tengah mencari pengalaman hidup baru di berbagai tempat dimana saat itu sudah menjadi pemandangan yang biasa.

“Sebuah pemandangan yang indah”, berkata Mengki kepada Raden Wijaya yang berjalan  berdampingan ketika menuruni jalan perbukitan hijau dikelilingi gununggunung yang indah berwarna biru.”Sayangnya aku harus meninggalkan tempat yang indah ini”, berkata kembali Mengki sambil menikmati udara sejuk dingin berhembus menyapu wajahnya.

Ketika matahari tepat diatas kepala mereka,  jarak tempuh mereka sudah begitu jauh meninggalkan Kotaraja melewati sebuah pasar yang masih cukup ramai dan sinar matahari di siang itu seperti membakar kulit.

“Mari kita beristirahat sambil melewatkan matahari siang yang panas”, berkata Raden Wijaya kepada Mengki menunjuk ke sebuah kedai.

Terlihat Raden Wijaya bersama Mengki telah turun dari kudanya dan menuntunnya kearah sebuah kedai diikuti oleh Kebo Arema bersama kedua budak Mengki.

Cukup lama mereka beristirahat didalam kedai, hingga ketika matahari telah mulai turun terlihat mereka baru melanjutkan perjalanan mereka menuju Bandar Cangu.

Akhirnya menjelang senja mereka telah tiba di Bandar Cangu langsung menuju Balai Tamu.

“Selamat datang kembali di Bandar Cangu”, berkata Rangga Lawe menyambut kedatangan mereka dengan penuh gembira.

Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing, Raden Wijaya sempat bercerita mengenai beberapa hal ketika di Kotaraja kepada Rangga Lawe.

“Sri Baginda Maharaja akan mengangkat mantu dari seorang putra penguasa Gelang-gelang”, berkata Raden Wijaya bercerita kepada Rangga Lawe.

Sementara itu malam mulai turun merambat mengaburkan pandangan kearah sungai Brantas  didepan pendapa Balai Tamu. Cahaya pelita malam mulai dapat dirasakan cukup menerangi dengan warna sinarnya yang lembut temaram memenuhi pendapa Balai Tamu.

Terdengar suara berderit sebuah pintu kayu ditarik, ternyata dari pintu utama keluar seorang pelayan tua yang tidak lain adalah Ki Widura membawa minuman hangat dan beberapa potong jagung rebus yang terlihat masih mengepul.

“Duduklah bersama kami”, berkata Kebo Arema kepada Ki Widura yang dilihatnya sudah selesai meletakkan makanan dan minuman hangat.

Terlihat perubahan di wajah Ki Widura seperti menjadi agak tegang, sementara tangannya yang masih membawa wadah makanan sepertinya nampak gemetar.

“Saya masih ada pekerjaan di belakang”, berkata Ki Widura dengan bibir seperti bergetar.

“Urusan di belakang abaikan dulu, duduklah bersama kami. Ada yang ingin kutanyakan kepada Ki Widura”, berkata Kebo Arema dengan suara yang tidak seperti biasanya, halus namun penuh dengan penekanan yang membuat Ki Widura tidak dapat mengelaknya untuk duduk bersama mereka. Masih dengan wajah yang pucat menunduk tidak berani mengangkat wajahnya.

“Dinding rumah ini tak bertelinga. Tidak ada seorang pun yang mengetahui selain kami bahwa seorang utusan Kubilai Khan telah datang di Bumi Singasari ini”, berkata Kebo Arema masih dengan suara yang halus sambil memperhatikan Ki Widura yang terlihat semakin menundukkan wajahnya. “Aku ingin Ki Widura berkata dengan sejujurnya. Benarkah Ki Widura telah menyebarkan rahasia ini ?”, berkata kembali Kebo Arema dengan nada yang masih tidak berubah, halus dan datar.

“Maafkanlah diri hamba yang tua ini, yang tidak mengenal arti budi. Tuan-tuan telah memperlakukan diri hamba ini dengan begitu baik, tidak selayaknya seorang pelayan, tapi seperti layaknya seorang keluarga. Sejak mengenal tuan-tuan diri ini telah terbagi dua dalam banyak keraguan, dalam banyak kebingungan. Benarkah diri hamba ini?. Benarkah perjuangan hamba ini? Benarkah menganggap tuan-tuan yang penuh kasih ini sebagai musuh yang berseberangan?. Sejak keberangkatan tuan-tuan ke Kotaraja, hati kecilku selalu mencela perselingkuhan ini, selalu mencaci sebagai manusia yang tak berbudi. Hari ini hamba pasrah atas apapun perlakuan terhadap hamba yang berdosa ini. Hamba pasrah atas hukuman apapun yang tuan jatuhkan”, berkata Ki Widura dengan wajah menunduk penuh rasa malu dan penyesalan yang sangat.

“Diantara kita memang tidak ada permusuhan, hanya secara kebetulan kita berdiri ditempat yang berbeda. Kami tidak akan menjatuhkan hukuman apapun. Hanya saja ada satu pengharapan dari kami, lupakanlah perbedaaan dimanapun saat ini kamu berdiri, karena sudah tidak ada lagi perbedaan diantara kita, tidak ada Tumapel, tidak ada Kediri. Yang ada saat ini adalah Singasari Raya yang bersatu menatap dunia untuk maju bersama. Dari dulu kita adalah satu keluarga, dan tetap satu keluarga sampai kapan pun”, berkata Kebo Arema kepada Ki Widura yang sepertinya telah tersentuh hatinya.

“Jiwa tuan-tuan begitu penuh kasih, hamba menjadi malu bercermin diri atas kekerdilan hati ini. Ijinkanlah hamba mengabdi disini dalam kesetiaan, menjadi bagian dari keluarga ini. Selamanya”, berkata Ki Widura penuh permohonan.

“Permohonan Ki Widura kami terima, kembalilah ke belakang. Mungkin masih ada yang perlu kamu selesaikan”, berkata Kebo Arema kepada Ki Widura.

“Terima kasih, terima kasih”, berdiri Ki Widura sambil menjura penuh kebahagian dan kembali masuk lewat pintu utama.

Dan hari pun terus berlalu, malam semakin gelap menghalangi aliran sungai Brantas di depan Balai Tamu. Hanya terkadang beberapa pelita perahu para nelayan terlihat berkelip-kelip. Suara angin datang dari arah tanah hutan seberang.

“Kami beristirahat lebih dulu”, berkata Mengki sambil berdiri diikuti dua orang pengawalnya.

Tidak lama berselang, Raden Wijaya dan Kebo Arema diikuti Rangga Lawe masuk ke peraduannya masingmasing untuk beristirahat.

Malam itu hamparan sungai Brantas begitu sepi dan senyap. Masih terlihat beberapa nelayan yang mencari udang masih menunggu jaringnya meski pelita yang bergelantungan sudah menjadi begitu redup.

“Malam ini rejeki simbok dan adikmu sedang mujur  besar, baru sepertiga malam sudah banyak udang terkumpul”, berkata melayan tua kepada anak lelakinya.

“Kalau begitu kita segera pulang saja, bukankah kita masih bisa tidur disisa malam?”, berkata anak lelakinya.

“Yang kamu pikirkan hanya tidur”, berkata nelayan tua itu sambil melipat jaringnya menuruti keinginan anak lelakinya.

Dan malam memang masih menyisakan waktunya diatas sungai Brantas di tepian dermaga Balai Tamu tempat Jung Singasari terlihat merapat dan bergoyang dihempas ombak sungai. Semakin mendekati pagi, hawa malam menjadi semakin dingin.

Dan semakin mendekati pagi, kesibukan sudah mulai terlihat disekitar dermaga Balai Tamu itu. Hari itu setelah dua pekan merapat di dermaga, Jung Singasari itu akan kembali berlayar mengarungi laut biru.

“Aku akan bercerita kepada semua orang bahwa di Singasari ini aku mendapat perlakuan yang baik. Terutama tentang dirimu wahai tuan Senapati Wijaya”, berkata Mengki ketika bersiap akan naik ke jung Singasari kepada Raden Wijaya yang mengantarnya.

“Semoga persahabatan kita terus terjalin dan panjang”, berkata Raden Wijaya kepada Mengki.

“Selamanya”, berkata Mengki melanjutkan ucapan Raden Wijaya.

Matahari telah bersembul dibalik hutan seberang sungai Brantas ketika jung Singasari itu mulai terlihat bergerak meninggalkan dermaga. Jung Singasari itu telah membawa Mengki dan dua orang pengiringnya, membawa berita perdamaian.

Terlihat Raden Wijaya, Kebo Arema dan Rangga Lawe berdiri melambaikan tangannya ke arah Mengki dan dua orang pengiringnya diatas pagar dag kayu jung Singasari yang telah mulai menjauhi dermaga.

Jung Singasari itu pun terus menjauh dibawa aliran sungai Brantas dibawah matahari pagi yang cerah. Terlihat Raden Wijaya, Kebo Arema dan Rangga Lawe telah beranjak dari dermaga kembali ke pendapa Balai Tamu.

Sementara itu pada waktu yang sama, sebuah kapal kayu telah merapat di sebuah dermaga Bandar Cangu. Terlihat dua orang anak lelaki kecil menuruni tangga kapal kayu dengan gembiranya. Usia kedua anak itu sekitar tujuh tahunan. Dibelakangnya mengikuti kedua anak itu seorang lelaki muda. Wajahnya cukup tampan. Berturut-turut dibelakang lelaki muda itu adalah seorang pendeta, terlihat dari pakaian yang dikenakannya serta kepala yang tercukur bersih.

“Kita telah sampai di Bandar Cangu, di tanah Singasari Raya”, berkata lelaki muda itu kepada seorang pendeta ketika mereka telah menginjakkan kakinya di dermaga Bandar Cangu yang sudah cukup ramai di pagi yang cerah itu.

“Paman Arga Lanang, perutku sangat lapar”, berkata salah seorang anak lelaki sambil memegang lengan lelaki muda itu yang ternyata adalah Arga Lanang. Seorang pemuda putra Minak Gajah penguasa daerah pasir seputih yang pernah bersama Raden Wijaya dan Mahesa Amping mengembara ke Tanah Melayu.

“Mari kita ke kedai, pamanmu juga lapar”, berkata Arga Lanang sambil menggandeng kedua anak lelaki itu diikuti oleh pendeta dibelakangnya menuju kesebuah kedai didekat dermaga.

Terlihat mereka berempat telah memasuki sebuah kedai.

“Pak tua, dapatkah ditunjukkan kepada kami letak Balai Tamu?”, bertanya Arga Lanang kepada pelayan tua yang datang membawa pesanan makanan mereka.

“Telusuri saja tepian sungai ini, tuan akan melihat sebuah benteng besar prajurit Singasari. Tidak jauh dari benteng itu berdiri sebuah rumah panggung yang cukup besar di tepian sungai Brantas yang mempunyai sebuah dermaga sendiri. Itulah Balai Tamu yang tuan maksudkan”, berkata pelayan tua itu memberikan arah petunjuk menuju Balai Tamu kepada Arga Lanang. “Makanlah yang banyak agar tubuh kalian sehat dan kuat, sebentar lagi kita akan bertemu dengan kedua ayah kalian”, berkata Arga Lanang kepada kedua anak lelaki dihadapannya.

“Aku melihat tulang kedua anak ini sangat bagus, tidak salah bila kamu katakan bahwa kedua orang ayah mereka adalah pendekar besar yang berilmu tinggi. Kedua anak ini mewarisi tulang tubuh yang sangat sempurna”, berkata pendeta disebelah Arga Lanang memuji kedua anak lelaki yang sedang menikmati hidangan di kedai itu.

Matahari terlihat sudah mulai beranjak naik, terlihat dua anak lelaki dan dua orang lelaki tengah menyusuri sungai Brantas dari arah Bandar Cangu.

“Sebuah benteng yang cukup besar”, berkata pendeta itu kepada Arga Lanang ketika mereka melihat sebuah benteng berdiri ditepian sungai Brantas.

“Itulah Balai Tamu”, berkata Arga Lanang menunjuk sebuah rumah panggung yang cukup besar menghadap sungai Brantas dan mempunyai dermaga sendiri yang juga cukup besar.

“Apakah tuan-tuan ada keperluan di Balai Tamu ini”, berkata seorang prajurit kepada Arga Lanang dan pendeta disebelahnya ketika mereka telah memasuki halaman Balai Tamu yang cukup luas. Prajurit itu merasa heran terutama melihat pendeta asing disebelah Arga lanang. Tidak pernah selama ini ada seorang pendeta, apalagi berwajah asing datang ke Balai Tamu.

“Aku ingin bertemu dengan Raden Wijaya”, berkata Arga Lanang penuh kebanggaan menyebut nama Raden Wijaya “Nama yang tuan sebutkan adalah Senapati kami”, berkata Prajurit itu sambil memandang Arga Lanang dari ujung kaki sampai kepala seperti masih menyangsikan bahwa lelaki muda itu mengenal Senapatinya.

“Senapatimu itu adalah sahabatku”, berkata Arga lanang dengan penuh kebanggaan.

“Silahkan tuan naik ke pendapa Balai Tamu”, berkata prajurit itu penuh hormat mempersilahkan langsung naik ke pendapa Balai Tamu.

Terlihat Arga Lanang dikuti kedua anak lelaki dan pendeta asing tengah naik anak tangga pendapa Balai Tamu.

“Arga Lanang!”, berkata Rangga Lawe yang melihat pertama kali Arga Lanang yang muncul dari anak tangga pendapa Balai Tamu seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Ternyata kamu masih mengenalku Lawe”, berkata Arga Lanang sambil tersenyum kepada Rangga Lawe.

“Arga Lanang!!”, berkata Raden Wijaya yang telah berdiri bersama Kebo Arema telah mengenali orang yang tengah berpelukan erat bersama Rangga Lawe.

“Sahabatku”, berkata Raden Wijaya sambil memeluk erat Arga Lanang.

“Jayanagara kemarilah nak, inilah ayahmu”, berkata Arga Lanang kepada salah seorang dari dua anak lelaki yang sudah naik keatas pendapa Balai Tamu.

“Raden Wijaya, inilah anakmu, putra Dara  Petak”, berkata Arga Lanang kepada Raden Wijaya.

Bukan main terharunya Raden Wijaya menatap seorang anak lelaki kecil yang juga sedang menatapnya. “Putraku”, berkata Raden Wijaya langsung memeluk erat anak lelaki itu yang bernama Jayanagara.

“Apakah lelaki itu ayahku?”, bertanya anak lelaki yang lain kepada Arga Lanang menunjuk kearah Kebo Arema.

Kebo Arema yang mendengar pertanyaan anak itu langsung mendekatinya, tahu siapa sebenarnya anak lelaki yang bermata bulat dan terang itu yang menandakan kecerdasan yang luar biasa.

“Kamu pasti putra Dara Jingga, siapa namamu nak”, berkata Kebo Arema sambil berjongkok memegang kedua bahu anak itu.

“Namaku Adityawarman”, berkata anak itu tegas kepada orang dihadapannya yang dianggapnya seorang penuh kasih dan dapat dipercaya.

“Namaku Kebo Arema, kamu boleh memanggilku dengan sebutan Eyang Kebo Arema karena ayahmu memanggiku sebagai paman”, berkata Kebo Arema kepada anak lelaki itu yang ternyata adalah putra Dara Jingga.

“Dimana ayahku?”, bertanya Adityawarman kepada Kebo Arema yang ternyata bukan ayahnya.

“Ayahmu seorang senapati besar, saat ini ditugaskan oleh Sri Maharaja di Balidwipa”, berkata Kebo Arema kepada Adityawarman.

Terlihat Adityawarman menoleh kepada Jayanagara yang masih dekat dengan ayahnya Raden Wijaya.

“Kamu sangat tampan seperti ayahmu”, berkata Raden Wijaya mendekati Adityawarman mencoba menyelami perasaan anak itu dan sekedar menghiburnya.

“Apakah aku dapat menemui ayahku?”, bertanya Adityawarman kepada Raden Wijaya menatapnya dengan bola mata yang begitu terang membuat siapapun akan segera akan menyukainya.

Belum sempat Raden Wijaya menjawab, Jayanegara sudah ikut mendekati Adityawarman.

“Aku akan bersamamu mencari ayahmu”, berkata Jayanera penuh kesetiakawanan yang tinggi.

Raden Wijaya tersenyum menatap dua anak itu, terbayang kesetiakawanan yang tinggi antara dirinya dan Mahesa Amping.

Ternyata anak-anak mereka mempunyai naluri yang sama. ”Mereka adalah saudara sepupu”, berkata Raden Wijaya dalam hati penuh kebanggaan dan kebagiaan.

“Balidwipa tidak begitu jauh, kita akan menemui ayahmu disana”, berkata Raden Wijaya kepada Adityawarman.

“Maaf, aku belum memperkenalkan teman perjalanan kami”, berkata Arga Lanang memperkenalkan seorang pendeta yang dikatakannya sebagai teman perjalanannya.

“Namaku Gunakara, aku berasal dari sebuah biara di Tibet. Atas kebaikan tuan Arga Lanang telah membawaku sampai disini”, berkata pendeta itu sambil menjura penuh hormat memperkenalkan dirinya. Tujuan perjalananku adalah sebuah tanah datar bernama Balidwipa”, berkata kembali Pendeta Gunakara menyampaikan tujuan perjalanannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar