Jurus Tanpa Nama Jilid 04 : Braja Wikalpa

Braja Wikalpa

JAKA Wulung tiba di pinggir sebuah sungai kecil tepat ketika Bratalaras alias Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana ambruk dengan tongkat yang pangkalnya kepala ular menembus perutnya hingga ke punggung. Bratalaras tewas oleh senjatanya sendiri.

Baik Si Jari-Jari Pencabik maupun muridnya sama-sama tewas karena senjata makan tuan.

Seorang laki-laki tampak memeriksa lengan dan leher Nyi Asih. Beberapa saat kemudian, di bawah terpaan cahaya bulan yang makin rebah di lengkung langit barat, lelaki itu membantu Nyi Asih berdiri dan membalikkan badannya.

Lelaki itu berusia tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi dan tegap. Tatapan matanya ketika memandang Jaka Wulung terasa tajam dan misterius.

Akan tetapi, sebagai lelaki yang pernah mendapat didikan sopan santun dari kedua gurunya, Jaka Wulung bagaimanapun harus mengucapkan rasa terima kasihnya. “Terima kasih atas bantuan Ki Dulur,” kata Jaka Wulung sambil membungkuk hormat.

Lelaki itu masih memandang Jaka Wulung. Kemudian mengangguk- angguk, lalu balas membungkuk. “Panggil saja aku Braja Wikalpa,” kata lelaki itu. “Senang sekali berkenalan dengan Titisan Bujangga Manik. Masih muda, sudah luar biasa.”

“Ah, hanya punya kemampuan sekadarnya. Dari namanya, Ki Dulur pasti seorang yang berkedudukan tinggi. Mungkin orang keraton?” kata Jaka Wulung.

Braja Wikalpa mengerutkan kening, tapi kemudian tertawa. “Aku hanya orang biasa. Barangkali bapak dan ibuku dahulu menginginkan aku menjadi orang yang berkedudukan tinggi.”

Jaka Wulung, entah mengapa, merasakan bahwa lelaki itu memaksakan diri untuk tertawa. Meskipun demikian, Jaka Wulung turut tertawa.

“Sekali lagi, saya merasa beruntung Ki Dulur muncul pada saat yang tepat,” kata Jaka Wulung sambil memandang wajah Braja Wikalpa. Jaka Wulung harus sedikit mendongak karena tubuh Braja Wikalpa lebih tinggi beberapa jari. “Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan gadis itu. Bratalaras sudah terkenal akan kelakuannya yang seperti iblis.”

“Kalau aku tidak ada, aku yakin kau akan mampu mengejar Bratalaras dan membunuhnya.”

Jaka Wulung tertegun. Kata membunuh itu diucapkan dengan nada biasa- biasa saja oleh Braja Wikalpa. Tapi, bagi Jaka Wulung terasa menamparnya.

Dia sudah membunuh lagi.

Bagi orang lain, tampaknya membunuh adalah suatu tindakan yang lazim. Tapi, tidak bagi Jaka Wulung. Dia tadi sama sekali tidak berniat membunuh. Meskipun Si Jari-Jari Pencabik adalah manusia berhati iblis yang pantas mampus, Jaka Wulung tidak dalam keadaan niat membunuh ketika tadi dia menusukkan kudi hyang-nya. Dia melakukan hal itu lebih karena naluri untuk mempertahankan diri.

Kini, dia sudah dua kali membunuh orang. Yang pertama adalah ketika dia dengan senjata yang sama membunuh Brahala, raksasa dari Segara Anakan. Entah mengapa, Jaka Wulung merasa sedih karena telah menghilangkan nyawa orang lain.

Apakah manusia harus saling menghilangkan nyawa untuk menyelesaikan suatu masalah?

Inilah, sekali lagi, kelebihan sekaligus kelemahan Jaka Wulung.

Hanya satu yang setidaknya menghibur Jaka Wulung. Baik Brahala maupun Si Jari-Jari Pencabik adalah jenis manusia sesat. Dengan demikian, Jaka Wulung berharap, apa yang sudah dia lakukan akan mengurangi korban jatuh sia-sia, korban yang sesungguhnya tidak berdosa. Pendeknya, dengan membunuh mereka, dia berharap mengurangi kejahatan di negeri ini.

“Boleh dikatakan aku hanyalah kebetulan tiba di tempat ini,” Braja Wikalpa melanjutkan. “Aku tertarik ketika mengetahui ada pertempuran seru di sini. Dan aku terkejut ketika melihat siapa yang bertempur. Si Jari- Jari Pencabik adalah tokoh sesat yang sudah sangat terkenal kesaktiannya. Aku memang sedang mencarinya. Tapi, sebelum aku mengetahui hasil akhir pertempuran itu, tiba-tiba aku mendengar jerit menyayat gadis itu, yang ternyata diculik oleh murid Si Jari-Jari Pencabik sendiri. Tanpa pikir panjang aku mencoba mengejarnya. Aku beruntung karena dalam pertempuran, kemudian aku berhasil menyelamatkan gadis itu.”

Braja Wikalpa berusaha membetulkan posisi ikat kepalanya yang agak miring. Ikat kepala itu tampaknya terbuat dari kain yang istimewa dibandingkan dengan ikat kepala orang kebanyakan. Apalagi dibandingkan dengan ikat kepala Jaka Wulung yang hanya berupa bandana. Meskipun baju Braja Wikalpa terlihat sederhana, Jaka Wulung menebak bahwa lelaki itu bukan orang kebanyakan. Meskipun demikian, Jaka Wulung tidak bertanya lebih jauh.

Keduanya kemudian meminta kepada penduduk kampung supaya segera menguburkan Si Jari-Jari Pencabik dan muridnya. Meskipun banyak penduduk yang masih diliputi ketakutan, mereka tetap mengubur dua manusia iblis itu. Mereka berharap, dengan dikuburnya dua manusia sesat itu, terkubur juga kejahatan dan teror yang selama ini membuat penduduk perkampungan ketakutan.

Jaka Wulung dan Braja Wikalpa sempat beristirahat beberapa jenak sebelum memutuskan pergi pada pagi itu juga.

“Senang sekali kalau Ki Dulur berdua mau tinggal beberapa hari di sini,” kata Kepala Kampung.

“Terima kasih,” kata Braja Wikalpa. “Kami masih punya urusan di tempat lain.”

Penduduk kampung berkumpul untuk melepas kepergian Jaka Wulung dan Braja Wikalpa, yang sama-sama bertujuan ke arah barat.

Jaka Wulung memandang seorang gadis berkulit langsat. Wajahnya tampak agak pucat, tapi justru kelihatan lebih cantik daripada malam hari sebelumnya.

Nyi Asih, gadis itu, tersenyum malu-malu memandang Jaka Wulung. “Kapan kau akan mampir lagi ke sini?” tanya Nyi Asih sambil tertunduk.
Mendadak Jaka Wulung berdebar mendengar pertanyaan Nyi Asih dan melihat senyumnya. Manis sekali.

“Mudah-mudahan suatu saat aku bisa datang lagi ke sini,” jawab Jaka Wulung.

Tiba-tiba, si bocah yang mulai beranjak remaja ini merasakan langkahnya untuk pergi menjadi berat. Perhatian seorang gadis serupa itu jarang sekali dia dapatkan dalam hidupnya yang lima belas tahun lebih, menuju enam belas tahun. Sejuk terasa di dalam dada Jaka Wulung. Tapi, kemudian dia menepis perasaan berdebar-debarnya dengan meyakinkan dirinya bahwa dia masih memiliki tujuan lain yang lebih penting. Jauh lebih penting.

Ketika kemudian Jaka Wulung dan Braja Wikalpa pergi, Nyi Asih merasakan ada sesuatu yang kosong di dalam dadanya.

Pelan-pelan, air bening bergulir dari kedua sudut matanya.

*****

JAKA Wulung dan Braja Wikalpa sengaja melalui jalan pinggir hutan sehingga tidak bertemu dengan banyak orang. Jaka Wulung masih merasa bahwa Braja Wikalpa bukan jenis orang yang cepat akrab. Terasa ada jarak di antara mereka. Mungkin karena usia mereka berbeda agak jauh.

Atau, mungkin karena Braja Wikalpa memang sebenarnya punya kedudukan tinggi?

Jaka Wulung mencoba memecah kesunyian, “Ki Dulur sempat mengatakan sedang mencari Si Jari-Jari Pencabik?”

Braja Wikalpa menghentikan langkah. Jaka Wulung pun melakukan hal yang sama.

“Nah,” kata Braja Wikalpa, “inilah yang sejak tadi akan kukatakan kepadamu, Jaka. Aku sedang berkeliling di daerah selatan ini untuk mengajak para tokoh sakti hadir di Rajatapura. Ya, semula aku memang akan mengajak Si Jari-Jari Pencabik hadir di sana. Tapi, ternyata dia sudah

tewas di tanganmu. Karena itulah, sekarang aku mengajakmu untuk hadir di sana.”

Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Setahu dia, Rajatapura adalah sebuah tempat yang sangat istimewa dalam sejarah. Rajatapura adalah Ibu Kota Salakanagara, kerajaan paling tua di tanah Sunda. Memang sekarang negeri ini sudah lama lenyap, tapi namanya masih dikenang banyak orang.

“Ada apakah Ki Dulur mengajak para tokoh hadir di sana?”

Braja Wikalpa terlihat agak ragu-ragu sejenak. Tapi, kemudian katanya, “Akan ada sebuah pertemuan para tokoh sakti se-Tatar Sunda.”

Kerutan di kening Jaka Wulung belum hilang. Begitulah tandanya kalau masih banyak pertanyaan di kepalanya. “Pertemuan seperti apakah? Mengapa para tokoh sakti itu harus bertemu di suatu tempat? Dan mengapa tokoh sesat juga diundang untuk hadir?”

Braja Wikalpa memandang Jaka Wulung, seakan-akan ingin mengukur seberapa dalam pengetahuan yang dimiliki pendekar muda belia ini. Dia menarik napas dalam sebelum menjawab, “Yang pertama, tentu pertemuan itu akan menjadi ajang keakraban di antara kita. Mereka yang sudah lama tidak bertemu akan bisa melepas kerinduan. Mereka yang belum saling bertemu akan bisa saling mengenalkan diri. Selain itu, kalau bersedia, akan diadakan semacam lomba untuk menentukan siapa tokoh yang paling hebat saat ini.”

Kali ini, giliran Jaka Wulung yang memandang wajah Braja Wikalpa untuk mengukur seberapa dalam kebenaran yang terkandung di dalam kata-katanya. Entah mengapa, Jaka Wulung merasa bahwa kata-kata Braja Wikalpa tidak mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya. Meskipun sulit dijelaskan, Jaka Wulung menduga Braja Wikalpa menyembunyikan sesuatu.

Apa sesungguhnya maksud Braja Wikalpa mengumpulkan para tokoh sakti di Tatar Sunda?

Siapa sebenarnya Braja Wikalpa?

Meskipun demikian, masih terselip rasa sangsi, Jaka Wulung mengangguk-angguk.

“Kapan pertemuan itu akan dilaksanakan?” tanya Jaka Wulung.

“Tepat pada malam bulan purnama berikutnya. Tapi, kalau kau lebih cepat datang, tentu akan lebih baik.”

Jaka Wulung mengangguk-angguk lagi. “Tawaran Ki Dulur sangat menarik,” katanya. “Mudah-mudahan aku bisa datang ke sana pada saatnya. Tapi, aku masih punya tujuan yang lain lebih dulu. Aku harap urusanku akan cepat selesai. Jadi, aku bisa cepat mempertimbangkan apakah aku akan bisa hadir atau tidak di sana.”

“Urusan apa, kalau boleh tahu? Siapa tahu aku bisa membantu.”

Jaka Wulung termangu-mangu sejenak karena masih sangsi. Dia belum bisa menyimpulkan apakah Braja Wikalpa tergolong orang yang bisa dipercaya atau sebaliknya. Karena itu, dia kemudian menggeleng. “Hanya sedikit urusan pribadi,” katanya.

Braja Wikalpa tampak kecewa. Dia tentu tidak tahu urusan apa yang membuat Jaka Wulung terkesan menolak ajakannya. Untuk bertanya apakah urusan itu kira-kira bisa selesai dalam waktu cepat, Braja Wikalpa merasa hal itu kurang pantas.

Kalau saja Jaka Wulung mau datang, pikir Braja Wikalpa, tentu kedatangan pendekar muda yang luar biasa ini dalam pertemuan berbagai tokoh silat di Rajatapura akan sangat semarak. Braja Wikalpa sudah melihat sendiri betapa hebatnya Jaka Wulung ketika menghadapi tokoh besar seperti Si Jari-Jari Pencabik, sesuatu yang mustahil bisa dia lakukan.

Akan tetapi, dengan cepat dia mencoba menghapus kekecewaan itu. Tidak mudah, tentu saja, mengajak seorang pengelana seperti Jaka Wulung untuk hadir dalam sebuah pertemuan seperti itu. Braja Wikalpa bisa melihat kesederhanaan pada diri Jaka Wulung. Meskipun demikian, Braja Wikalpa juga melihat setitik harapan bahwa Jaka Wulung akan datang pada saatnya.

Karena itu, Braja Wikalpa kemudian mengangguk-angguk seraya tersenyum maklum.

“Tidak apa-apa, Jaka,” ujar Braja Wikalpa. “Kudoakan kau bisa cepat menyelesaikan urusanmu. Kalau kau bisa datang, carilah aku di lereng

utara Gunung Karang.”

“Akan kuusahakan,” sahut Jaka Wulung pendek.

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Jaka Wulung mengambil jalan agak menyerong ke barat daya. Dalam beberapa kejapan, Jaka Wulung sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.

Braja Wikalpa memandang hilangnya Jaka Wulung dengan kepala dipenuhi pertanyaan.[]
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar