Jurus Tanpa Nama Jilid 01 : Misteri Sang Resi

Misteri Sang Resi

JAKA Wulung mencangkung memandang permukaan kawah putih kehijau-hijauan di puncak Gunung Sepuh. Pepohonan di sekelilingnya dilapisi warna keemasan matahari menjelang senja. Udara dingin menggigit. Jaka Wulung sesekali menggigil, tapi bukan oleh udara dingin, melainkan sebaliknya, oleh sesuatu yang bergolak di dadanya.

Bara dendam.

Masih lekat di kepalanya adegan yang menyayat hati itu, saat-saat akhir pertempuran di Bukit Sagara, ketika dia, seorang bocah berusia lima belas tahun, harus menghadapi dua tokoh sakti yang sudah malang melintang puluhan tahun: Ki Wira dan Brahala. Dia baru saja menghindari hantaman gada Rujak Polo di tangan Brahala ketika keris Ki Wira sudah menjemputnya dari arah yang sama sekali tidak diduga.

Nyawa Jaka Wulung tentulah akan melayang kalau gurunya, Resi Darmakusumah, tidak memapak keris Ki Wira. Tapi, upaya penyelamatan itu membuat pertahanan Resi Darmakusumah terbuka. Ujung selendang salah seorang lawannya, Nyai Purwati, yang berisi jarum-jarum beracun menggores leher Resi Darmakusumah. Dan, itu menjadi titik awal penentuan nasibnya.

Memang, melalui sebuah keajaiban, Jaka Wulung dan Resi Darmakusumah sama-sama menerapkan ilmu andalan yang sama: gulung maung. Kujang Resi Darmakusumah berhasil merobek selendang Nyi Purwati, dan menembus ulu hati nenek siluman cantik itu. Pada kejapan yang sama, ujung kudi hyang di tangan Jaka Wulung menyayat perut Brahala. Nyi Purwati dan Brahala tumbang pada saat yang sama!

Akan tetapi, setelah itu, pertahanan Resi Darmakusumah benar-benar terbuka. Tenaganya seakan terisap habis untuk melakukan serangan terakhir. Secara beruntun, ujung-ujung pedang panjang di tangan Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu, yang juga mengeroyok Resi

Darmakusumah, menembus tubuh sang Resi!

Jaka Wulung tidak sempat mendengar pekik kesakitan atau menyaksikan tumpahan darah gurunya. Saat itu, dia nyaris hilang harapan dan kesadaran sebelum seseorang—yang ternyata Resi Jaya Pakuan— menyelamatkannya.

Sepasang Rajawali.

Aku harus menuntut balas.

*****

MATAHARI tergelincir di balik tonjolan salah satu puncak Gunung Sepuh. Hanya tersisa warna lembayung dan udara yang makin menggigit.

Akan tetapi, Jaka Wulung malah membuka bajunya, memperlihatkan dada yang semakin bidang dalam pertumbuhan tubuhnya. Dihirupnya napas, seakan-akan dia ingin merangkum semua udara di sekitarnya ke dalam dadanya. Matanya terpejam beberapa saat, merasakan rasa hangat yang pelan-pelan mulai memenuhi permukaan relung dadanya.

Dengan daya ingatnya yang luar biasa, setiap hari Jaka Wulung melatih semua jurus yang sudah dia baca dan hafalkan di luar kepala dari kitab- kitab yang diberikan Resi Jaya Pakuan.

Jaka Wulung sungguh bocah yang sangat beruntung.

Dia mendapat bimbingan langsung dari Resi Jaya Pakuan, pendekar legendaris yang sudah puluhan tahun, mungkin sekitar setengah abad, lenyap dari hiruk pikuk dunia. Pendekar yang lebih tersohor dengan nama Bujangga Manik.

Bulan purnama sudah lewat. Masih ditunggu beberapa lama munculnya bulan yang sudah mulai memipih di langit timur. Langit dipenuhi bintang- bintang. Jadi, sudah satu bulan lebih Jaka Wulung tinggal di pondok Resi Jaya Pakuan di puncak Gunung Sepuh. Dengan ramuan tetumbuhan yang tidak dia ketahui, yang selalu diberikan sang Resi setiap pagi dan malam, Jaka Wulung kini benar-benar pulih seperti sediakala. Racun maut dari ujung keris kusam Ki Wira alias Ki Cambuk Maut, sudah tak ada lagi bekasnya. Luka-lukanya pun sudah lama kering dan nyaris tidak

menyisakan apa-apa di permukaan kulit tubuhnya.

Dengan rambut yang makin panjang, berkibar ditiup angin, Jaka Wulung sudah menjelma menjadi seorang pemuda.

Pemuda dengan kesaktian yang sulit dicari tatarannya.

Sebulan lebih itu pula, dia terus mematangkan kesaktiannya baik kecepatan, kekuatan, maupun daya tahan tubuhnya melalui ilmu gulung maung, warisan ilmu Prabu Siliwangi yang diturunkan lewat tangan Resi Darmakusumah, dan kini melalui guru Resi Darmakusumah sendiri, yang tentu saja tataran ilmunya tidak bisa lagi diukur oleh manusia biasa.

Demikianlah, tidak berapa lama kemudian, Jaka Wulung sudah bersimbah keringat memainkan puluhan, atau bahkan ratusan jurus tingkat tinggi. Ilmu gulung maung-nya menjadi lebih kaya setelah ditambah dengan jurus-jurus sakti yang dikembangkan sendiri oleh Resi Jaya Pakuan. Bahkan, kadang dipadukan dengan jurus-jurus gagak rimang yang dia serap beberapa waktu lalu dari murid-murid Ki Jayeng Segara.

*****

“WULUNG,” kata Resi Jaya Pakuan. “Kau sudah menguasai ilmu yang kuberikan. Setidaknya, dalam hal tata gerak. Untuk mencapai tataran yang lebih lanjut, terutama mencapai taraf paduan gerak dan batin, kau tinggal mengembangkannya sendiri, melalui latihan dan pengalaman yang terus- menerus.”

“Ya, Eyang Resi.”

Senyap. Hanya terdengar gesekan dedaunan di luar pondok.

Jaka Wulung mendongak. Resi Jaya Pakuan memandang Jaka Wulung seakan-akan sedang mempertimbangkan suatu keputusan yang sangat berat.

“Apakah Eyang meminta saya segera turun gunung?”

Resi Jaya Pakuan menarik napas dalam. “Ke mana tujuanmu?”

Kali ini, Jaka Wulung terdiam beberapa saat. “Saya akan mencoba mencari orangtua saya.” Tapi, terasa nada keraguan dalam suaranya.

“Hanya itu?”

“Eeeh ... saya juga akan coba mencari ... Wulan.”

Resi Jaya Pakuan tersenyum di balik kumis dan janggutnya yang putih. “Masih ada sesuatu yang tersembunyi dalam hatimu.”
Jaka Wulung tertunduk. Dia sudah mencoba menyembunyikan hal ini. Tapi, tampaknya mustahil Resi Jaya Pakuan tidak mengetahuinya.

“Saya ... ingin ke Pelabuhan Ratu.”

Resi Jaya Pakuan masih memandang Jaka Wulung, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “Eyang sebetulnya tidak sepakat, terutama kalau kau akan melakukannya sekarang. Kau masih kalah tataran dibandingkan dengan Sepasang Rajawali. Perlu waktu lebih lama lagi bagimu untuk mencapai ilmu yang setingkat, apalagi mengalahkan mereka.”

Jaka Wulung mengangguk. Tiba-tiba, dalam hatinya tebersit gagasan untuk mencoba menantang Sepasang Rajawali itu dalam pertempuran satu lawan satu. Dan, pikiran demikian rupanya tertangkap oleh tajamnya naluri Resi Jaya Pakuan.

“Satu lawan satu, baik melawan Rajawali Jantan maupun Rajawali Betina, kau akan mampu menandinginya. Bahkan, berpeluang menang. Tapi, melawan keduanya sekaligus, kau masih di bawah mereka.”

Jaka Wulung belum berkata apa-apa. Tapi, sesuatu dalam dadanya rupanya tidak bisa disembunyikan begitu saja.

“Sekarang, tidurlah. Besok, kita menuju sisi barat kawah.”

*****

RESI Jaya Pakuan sudah berdiri menghadap terbitnya fajar ketika Jaka Wulung tiba. Cahaya fajar yang keperakan memantul di cermin permukaan kawah, memberikan pemandangan yang sangat indah.

Belum pernah sang Resi turun langsung menurunkan ilmunya. Biasanya, Jaka Wulung dibiarkannya membuka lempir demi lempir kitab-kitab milik

sang Resi, menghafalnya, dan melakukan latihan sendiri. Sang Resi kadang memperhatikan dari pondoknya, tapi lebih sering tidak ketahuan entah di mana, seakan-akan membiarkan Jaka Wulung melakukan latihan sendirian. Meskipun demikian, setiap Jaka Wulung melakukan kesalahan dalam tata geraknya, sang Resi selalu tahu dan selalu memberitahukannya setiap mereka bertemu.

Tak pernah Resi Jaya Pakuan memberikan petunjuk melalui tata gerak, tetapi hanya melalui kata-kata.

Sesungguhnyalah, kalau saja Jaka Wulung tidak mengalami sendiri pertolongan yang dilakukan oleh Resi Jaya Pakuan dalam saat-saat kritis pertempuran di Bukit Sagara, dia akan menyangka sang Resi tidak lebih dari kakek tua yang sudah tidak memiliki kekuatan apa-apa. Kekuatan luar biasa itu tersimpan dalam tubuh yang kelihatan tidak berdaya.

Kali ini pun, Resi Jaya Pakuan tampak seperti lelaki tua yang rapuh. Kalau saja pandangan matanya tidak menyorot tajam, sang Resi sama saja dengan kakek tua di mana-mana.

“Perhatikan. Dan kalau perlu, tirukan,” kata Resi Jaya Pakuan.

Sang Resi memulai gerakan tangan, kaki, dan seluruh tubuhnya dengan pelan. Terlalu pelan untuk sebuah ilmu kanuragan dalam tataran tinggi. Dan, nyaris tidak ada upaya untuk mengeluarkan kekuatan apa pun. Gerakan itu seakan-akan hanyalah angin yang bertiup pelan. Sunyi. Tanpa suara.

Dan sangat sederhana. Terlalu sederhana untuk ditiru, bahkan oleh orang kebanyakan.

Kakinya nyaris tidak bergeser dari satu titik. Tangannya hanya mengembang dan merapat dalam gerak yang sangat lambat.

“Cobalah lakukan serangan,” kata Resi Jaya Pakuan, tanpa menghentikan gerakannya.

Jaka Wulung ragu-ragu sejenak. “Jangan ragu.”

Jaka Wulung memukul bagian tepi kiri tubuh Resi Jaya Pakuan yang terbuka. Keraguan masih bersemayam di hatinya sehingga dia melakukannya dengan setengah hati. Telapak tangannya melayang dengan maksud sekadar menyentuh baju sang Resi. Jaka Wulung sangat yakin bahwa dia akan dengan mudah melakukannya.

Akan tetapi, aneh ketika tangan Jaka Wulung tinggal menyentuh tubuh sang Resi, entah bagaimana, tangan Jaka Wulung hanya seperti menepuk angin. Tidak mengenai apa-apa. Malah, akibat terbawa tenaganya, meskipun hanya tenaga setengah hati, tubuh Jaka Wulung terbawa ke depan dan nyaris dia terjerembap ke tanah. Dia terpaksa harus melakukan gerakan jungkir balik supaya jatuhnya tidak menyakitkan.

Jaka Wulung berdiri dan berbalik menghadap Resi Jaya Pakuan.

Sang Resi masih tetap melakukan gerakan seperti tadi. Lambat, lemah, dan sederhana. Sang Resi bahkan masih dalam posisi membelakangi setelah Jaka Wulung nyaris terjerembap.

Apa sebenarnya yang terjadi tadi? Bagaimana dia sampai gagal menyentuh tubuh sang Resi dan bahkan terbawa tenaganya sendiri?

“Jangan hanya menyentuh. Pukullah!”

Jaka Wulung berusaha menyingkirkan keraguannya. Meskipun belum sepenuhnya bisa, dia melancarkan pukulan dari belakang ke arah punggung Resi Jaya Pakuan. Jelas tampak bahwa dalam posisi membelakangi, punggung Resi Jaya Pakuan adalah salah satu titik yang paling lemah untuk menjadi sasaran serangan.

Jaka Wulung pun melancarkan pukulan dengan tangan membuka, dengan maksud memukul bagian atas punggung Resi Jaya Pakuan melalui sisi bawah telapak tangannya. Ada sejumput perasaan ragu dan menyesal, sebab pukulannya akan segera mengenai punggung sang Resi yang sekilas tampak sangat rapuh.

Jaka Wulung separuh memejamkan mata.

Akan tetapi, apa yang terjadi sungguh di luar dugaan Jaka Wulung.

Entah bagaimana caranya, permukaan punggung Resi Jaya Pakuan, yang

tadinya tegak lurus dengan arah pukulan Jaka Wulung, tiba-tiba menjadi sejajar di sebelah kanan. Benar-benar di luar akal Jaka Wulung. Untuk kali keduanya, pendekar bocah itu hanya memukul udara kosong. Dan, lagi- lagi, Jaka Wulung terseret oleh tenaganya sendiri sehingga terjerembap ke depan, kali ini dengan tenaga yang lebih besar.

Jaka Wulung kembali harus melakukan gerakan jungkir balik untuk mencegah wajahnya mencium tanah.

Jaka Wulung lekas berdiri, menghadap sang Resi, dan melenting melancarkan tendangan yang sangat cepat. Selama sebulan lebih berada di puncak Gunung Sepuh, kekuatan dan kecepatan Jaka Wulung sudah meningkat pesat dari sebelumnya dalam pertempuran di Bukit Sagara. Meskipun baru mempelajari sekadar tata geraknya, Jaka Wulung meyakini kitab-kitab milik Resi Jaya Pakuan adalah memang kitab-kitab sakti yang tiada taranya.

Oleh karena itu, tendangan Jaka Wulung kali ini adalah tendangan yang sangat cepat dan penuh tenaga. Dia tidak ragu lagi melancarkan serangan kepada Resi Jaya Pakuan.

Dalam posisi miring, tubuh sang Resi lagi-lagi terlihat sebagai sasaran yang sangat terbuka dan empuk bagi tendangan cepat Jaka Wulung. Hanya beberapa kejap ujung kaki Jaka Wulung sudah siap membentur pundak kanan Resi Jaya Pakuan.

Akan tetapi, lagi-lagi, entah apa yang terjadi, tendangan Jaka Wulung meleset dari sasaran. Bahkan, sebelum sempat menyeimbangkan kakinya, terasa sebuah angin pukulan mengenai tumit Jaka Wulung.

Jaka Wulung memekik.

Pukulan itu tidaklah keras, bahkan terasa seperti sentuhan angin lembut.

Akan tetapi, kaki Jaka Wulung tertolak jauh dari tubuh Resi Jaya Pakuan, membuat badan Jaka Wulung terputar dua kali putaran sebelum pendekar bocah ini menguasai keseimbangan kuda-kuda kakinya sehingga terhindar dari jatuh terjengkang.

Jaka Wulung memandang sang Resi tanpa berkedip. Kemudian, dia menjatuhkan lututnya seraya menundukkan kepalanya.

“Ajari saya ilmu ini, Eyang Resi.” Sunyi beberapa kejapan.
“Tinggal tirukan saja.”

Sunyi lagi, hanya angin lembut yang menerpa permukaan kawah. Matahari muncul dari sela-sela perdu.
Jaka Wulung mendongak.

Resi Jaya Pakuan sudah tidak ada lagi di tempatnya.

Demikianlah, dalam sekitar tujuh atau delapan hari terakhir, Jaka Wulung mulai mendapat ilmu kesaktian baru dari Resi Jaya Pakuan. Ilmu yang dikembangkan sendiri oleh sang Resi.

Ilmu yang belum dinamai hingga kini. Dengan jurus-jurus tanpa bentuk.
Ilmu ini juga sama sekali bertentangan dengan segala ilmu yang ada. Tidak mengandalkan tenaga, gerak, dan kecepatan.

Itulah tampaknya, puncak dari segala ilmu kanuragan.

Tentu saja, ilmu demikian hanya bisa dimiliki oleh manusia yang sudah benar-benar menguasai ilmu-ilmu lain yang ada. Resi Jaya Pakuan hanyalah sekadar memberikan dasar-dasarnya. Untuk sampai ke taraf menguasainya, Jaka Wulung harus menguasai dulu gulung maung ke tataran sangat tinggi, dan itu boleh jadi akan membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Pada saat-saat yang senggang, Jaka Wulung juga terus mendalami kemampuannya menulis naskah, baik di permukaan daun lontar dengan pisau pangot maupun di daun nipah dengan tinta. Jaka Wulung makin kagum dengan kehebatan Resi Jaya Pakuan dalam seni sastra.

Di pondok itu, Jaka Wulung juga berkesempatan mempelajari naskah Bujangga Manik yang dituliskan secara lebih lengkap dan penuh warna, dibandingkan dengan naskah Bujangga Manik yang tersimpan di Keraton

Pakuan dan kemudian diselamatkan oleh Resi Darmakusumah, yang hanya berisi garis-garis besar perjalanannya dari Pakuan hingga ke Pulau Dewata.

Resi Jaya Pakuan menjadi legenda karena kerap mengadakan petualangan yang jauh, terutama dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Tanah Jawa. Pada perjalanan kedua, sang Resi malah sampai di Pulau Dewata untuk beberapa lama. Namanya pun menjadi harum di mana-mana.

Dalam naskah Bujangga Manik yang lengkap ini, dituturkan pula banyak pengetahuan tentang hidup dan, tentu saja, inti ilmu kedigdayaan Resi Jaya Pakuan. Bagi Jaka Wulung, semua itu adalah mutiara yang membuat perjalanan hidupnya kian memperoleh dasar yang meyakinkan.

“PERGILAH dengan hati yang bersih, Cu,” kata Resi Jaya Pakuan. “Gunakan waktumu sebaik mungkin untuk menjalani hidup yang berguna bagi orang lain. Kau bisa memutuskan sendiri masa depanmu. Kapan saat yang tepat untuk menyambangi Pelabuhan Ratu, misalnya. Tapi, Eyang pikir lebih baik kau telusuri dulu orangtuamu, leluhurmu. Masa lalu adalah sesuatu yang sangat penting bagi langkahmu di masa depan.

Eyang pastilah sudah hampir tiba pada masa akhir perjalanan di dunia.

Kalau nanti kau kembali ke sini, mungkin akan kau temukan petunjuk di mana kitab-kitab ini Eyang simpan.

Hanya satu pesan Eyang: kau jagalah nama baik Eyangmu ini. Pergilah Cucuku, titisanku, Titisan Bujangga Manik!”
Jaka Wulung tertunduk dengan mata basah. Apakah ini sebuah perpisahan? Untuk berapa lama? Masihkah dia akan bertemu kembali dengan sang Resi?

Jaka Wulung mendongak. Seperti biasa, Resi Jaya Pakuan sudah tidak ada lagi di hadapannya. Sampai sekarang, Jaka Wulung tidak pernah tahu di mana sang Resi berada kalau sudah menghilang seperti itu.

Apakah Resi Jaya Pakuan merupakan sosok yang benar-benar mewujud? Jaka Wulung tetap belum bisa memahami misteri sang Resi. []
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar