Pertarungan Di Bukit Sagara Jilid 13 : Titik Akhir adalah Sebuah Awal (Tamat)

Titik Akhir adalah Sebuah Awal

JAKA WULUNG terus berlari seperti kesetanan. Kekuatan yang ia peroleh secara ajaib di Nusa Larang, ditambah rasa patah hati yang menyayat-nyayat, membuat tenaga Jaka Wulung menjadi berlipat-lipat. Kakinya yang telanjang seakan-akan tidak menapak di tanah ketika ia meniti jalan setapak, menuruni ngarai, mendaki bukit, menyeberang sungai kecil, dan menembus pepohonan rapat di hutan menjelang Bukit Sagara.

Ia baru menahan langkah larinya ketika telinganya menangkap dentang senjata dan pekik manusia berpuluh-puluh langkah di depannya.

Jaka Wulung menyelinap dari satu pohon ke pohon lainnya dengan penuh kehati-hatian. Ada apa gerangan? Siapa yang bertempur di tempat yang begini sunyi?

Di tanah datar di bagian lembah pondok gurunya, tampak seorang perempuan berbaju putih-putih, dengan dua pedang pendek, sedang bertempur seru dengan dua lelaki bertubuh sangat besar, seperti raksasa, dengan senjata gada di tangan masing-masing.

Rupanya, Raksasa Kembar dari Segara Anakan itu masih penasaran atas kekalahan yang mereka alami di tangan si Mawar Beracun. Jadi, di sini, mereka mengerahkan segala kemampuan dan tenaga mereka yang besar untuk mencoba membalas dendam. Mungkin mereka tidak peduli terhadap tujuan utama mereka datang ke Bukit Sagara.

Sekilas Jaka Wulung mengagumi sepak terjang perempuan cantik itu, yang dengan lincah dan gesit mampu melayani dua raksasa bertenaga raksasa. Bahkan, sesekali ujung pedang pendeknya, baik di tangan kiri maupun kanan, mampu menyentuh tipis kulit Cingkarabala dan Balaupata, yang membuat kedua raksasa itu bertambah marah dan berusaha melipatgandakan serangan mereka.

Jaka Wulung terkesiap ketika dilihatnya di tanah yang lebih tinggi, tepat di

depan pondoknya, sang guru, Resi Darmakusumah, mati-matian menghadapi lima orang pengeroyok yang dalam sekilas pun kelihatan bahwa ilmu mereka berada pada level yang sangat tinggi, setidaknya hanya selapis tipis dari tingkat ilmu Resi Darmakusumah.

Di bawah sadarnya, Jaka Wulung meloncat ketika ujung cambuk Ki Wira melesat mengancam kepala gurunya. Sambil melayang di udara, Jaka Wulung menarik kudi hyang dari balik bajunya, mengarahkannya untuk memapak ujung cambuk si Cambuk Maut. Ilmu gulung maung sudah siap menerkam.

Grrrhh ...!

Dalam keadaan sadar dan memahami keadaan, pastilah Jaka Wulung akan berpikir tiga kali untuk melawan senjata maut di tangan Ki Wira. Itu adalah tindakan nekat!

Akan tetapi, acap kali terjadi, kenekatan seperti itu memberikan tenaga yang berlipat, seperti seseorang yang tiba-tiba mampu meloncati pagar tinggi ketika dikejar binatang buas. Itulah yang terjadi pada Jaka Wulung saat itu.

Trang! Tas!

Dalam dua gerakan singkat, kudi hyang di tangan Jaka Wulung membentur logam baja di ujung cambuk dan memapas leher cambuk itu.

Cambuk itu putus!

Jaka Wulung berjumpalitan dan hinggap tepat di sebelah kiri gurunya. Pertempuran sejenak terhenti.
“Wulung?” Resi Darmakusumah memandang muridnya seakan-akan sudah puluhan tahun tidak melihatnya. Ia terkejut melihat apa yang baru saja diperbuat sang murid. Tapi, tak lama kemudian ia yakin bahwa kepergian Jaka Wulung sesuai dengan petunjuknya telah memberikan hasil seperti yang diharapkan.

Kudi hyang di genggaman Jaka Wulung adalah senjata pusaka yang hanya dimiliki tokoh hebat masa lalu, misalnya Prabu Niskala Wastukancana

sendiri. Resi Darmakusumah tentu saja ingin mendengar cerita tentang pengalaman Jaka Wulung, tetapi keadaan tidak memungkinkan.

Tidak hanya pertempuran di antara mereka yang terhenti. Pertempuran antara si Mawar Beracun dan dua raksasa itu pun terhenti. Mereka ingin tahu apa yang terjadi. Mereka terkejut melihat kedatangan seorang bocah belasan tahun yang tiba-tiba menunjukkan sesuatu yang berada di luar akal mereka.

Mahesa Geni dan, tentu saja, Ki Jayeng Segara, yang sedari tadi tidak melakukan apa-apa kecuali menonton dua kalangan pertempuran, menganga tidak percaya. Terutama Ki Jayeng Segara, yang segera mengenal siapa orang yang tiba-tiba ikut terjun dalam pertempuran tingkat tinggi itu. Beberapa waktu lalu, bocah itu bukanlah siapa-siapa. Bagaimana mungkin dalam waktu yang sangat singkat ia tiba-tiba menjadi sedemikian hebat? Ki Jayeng Segara bahkan tidak sempat menggeleng- gelengkan kepala.

Akan tetapi, orang yang paling terkejut tentu saja adalah Ki Wira. Matanya melotot tak percaya. Mulutnya terbuka, memperlihatkan gua yang menganga. Ia bahkan tidak bergerak beberapa jenak, dengan cambuk terkulai di tangannya. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa? Cambuk maut di tangannya adalah senjatanya yang nyaris tidak pernah terkalahkan seumur ia terjun di dunia persilatan. Entah sudah berapa puluh nyawa tercabut oleh cambuk mautnya. Dan kini, hanya dalam satu gebrakan, cambuknya putung! Dan, yang melakukannya adalah seorang bocah ingusan!

Brahala tidak kalah kagetnya. Baru kali pertama dalam hidupnya ia menyaksikan seorang tokoh hebat setingkat Si Cambuk Maut mengalami peristiwa memalukan seperti itu.

Mata Sepasang Rajawali pun menatap Jaka Wulung dengan kening berkerut berlipat-lipat.

“Bukankah kau ...,” kata si rajawali jantan, “... kau yang kemarin kulihat di seberang Ci Tanduy?”

Jaka Wulung memandang sepasang lelaki dan perempuan itu. “Benar,” kata Jaka Wulung. “Saya lihat Ki Dulur berdua menyeberang Sungai Ci Tanduy yang sedang banjir bandang. Luar biasa. Tapi, mengapa Ki Dulur

berdua mengeroyok guru saya?”

Sepasang Rajawali itu mengangguk-angguk. Pantas, kata mereka dalam hati. Resi Darmakusumah adalah tokoh hebat dan pantas memiliki murid yang hebat.

Akan tetapi, tiba-tiba, pada saat yang sama, mereka justru menjadi gembira. Sehebat-hebatnya seorang murid tentu belum akan melebihi kehebatan gurunya. Kalaupun tadi ia mampu memutuskan senjata maut Ki Wira, itu pastilah karena keberuntungan. Meskipun datangnya hanya sekali dua kali dari seribu peristiwa, keberuntungan terkadang datang dalam sebuah pertempuran.

Pemikiran yang sama menghinggapi Nyai Purwati alias Siluman Cantik dari Karang Bolong dan Ki Wira sendiri. Bahkan, Brahala, dengan otaknya yang bebal, saat itu mendadak menjadi agak cerdas dan menyimpulkan bahwa gerak mengejutkan si bocah tadi lebih banyak terjadi karena keberuntungan.

Sebenarnyalah, Jaka Wulung sendiri merasakan tangannya yang menggenggam kudi hyang seperti tersengat hawa panas yang luar biasa. Beberapa saat ia merasakan seperti mati rasa. Untunglah, pusaka di tangannya tidak mencelat jatuh dan beberapa saat kemudian ia mampu menyalurkan hawa sejuk ke tangan kanannya dan kini yang tersisa adalah rasa seperti kesemutan.

Brahala tertawa dengan suara yang tetap mengguntur. “Hah, sekarang kau mendapat bantuan sepadan, Resi. Pertempuran ini akan semakin menarik.”

Sambil menjejakkan kakinya ke tanah dan menimbulkan getaran seperti gempa, Brahala menyerbu langsung ke arah Jaka Wulung dengan gada Rujak Polo-nya. Jaka Wulung terkejut sepersekian kejap, tetapi kemudian menyadari ancaman yang mengincar kepalanya.

Jaka Wulung merunduk dengan cepat dan kakinya mencoba menyapu Brahala. Brahala sengaja tidak menghindari sapuan kaki Jaka Wulung. Dan, hal itu justru membuat Jaka Wulung ragu-ragu sehingga ia menarik serangannya dan memilih menusukkan kudi hyang-nya mengarah ke ulu hati.

Demikianlah, pertempuran berlangsung kembali. Kali ini Resi

Darmakusumah dan Jaka Wulung bahu-membahu menghadapi lima orang yang tadi mengeroyok sang Resi sendirian. Ki Wira, setelah cambuk mautnya putung, memang sempat patah arang. Tapi, ia tersulut lagi hasrat tempurnya, bahkan kini dilambari dengan dendam yang membara. Ia merasa sudah dipermalukan oleh seorang bocah. Oleh karena itu, Ki Wira, yang kini menggenggam sebilah keris berwarna cokelat kelam, langsung menggempur Jaka Wulung.

Dengan demikian, Jaka Wulung menghadapi dua orang sekaligus, Brahala dan Ki Wira, sedangkan Resi Darmakusumah melawan gempuran Sepasang Rajawali dan Nyai Purwati.

Brahala adalah tokoh tua bertubuh raksasa yang sangat mengerikan. Muridnya saja, si raksasa kembar, sudah menebarkan ketakutan di kawasan Segara Anakan dan sekitarnya karena kekejaman dan tingkat ilmu mereka yang tinggi. Dan, tentu saja gurunya memiliki tingkat ilmu yang jauh lebih tinggi.

Sementara itu, meskipun sudah tidak menggenggam cambuk mautnya, Ki Wira tetaplah tokoh dengan tingkat ilmu yang tak terperi, yang membuat namanya ditakuti di sepanjang pantai utara di bagian tengah Jawa Dwipa.

Kalau tadi keduanya, Brahala dan Ki Wira, kurang leluasa ketika mengeroyok Resi Darmakusumah, kini mereka benar-benar bisa memusatkan perhatian dan bisa mengeluarkan segenap ilmu kepada Jaka Wulung.

Oleh karena itu, serangan yang mereka lakukan adalah serangan-serangan yang berhawa maut. Brahala terus membabi buta sebagaimana kebiasaan seorang raksasa di mana pun, seperti babi hutan yang terus menyeruduk tidak peduli apa pun yang menghalang di depan. Dari arah yang selalu berlawanan, Ki Wira tidak pernah putus menusukkan kerisnya yang berwarna kusam, yang justru menimbulkan hawa maut yang sangat kental.

Jaka Wulung, meskipun sudah tuntas menyerap ilmu Resi Darmakusumah dan tingkatan ilmunya sudah melesat jauh secara ajaib dalam peristiwa aneh di Nusa Larang, hanyalah bocah berumur lima belas tahun. Ia belum menyerap banyak pengalaman dalam pertempuran yang sesungguhnya. Apalagi sekarang ia melawan tokoh-tokoh dengan tingkat ilmu yang sangat tinggi seperti Brahala dan Ki Wira, dan langsung berhadapan dengan dua orang.

Tampak dengan segera bahwa kedudukan Jaka Wulung langsung terdesak hebat. Ia hanya bisa berloncatan menghindari dua tokoh dari pantai selatan dan pantai utara itu.

Luar biasa bocah ini! Ki Wira mengakui dalam hati, dan hal itu justru membuatnya penasaran dan terus meningkatkan ilmunya hingga ke puncak.

Sementara itu, Resi Darmakusumah mampu meladeni perlawanan Sepasang Rajawali dan Siluman Cantik. Nama besarnya di masa lalu bukanlah nama kosong, apalagi pada beberapa tahun terakhir ia mendalami semua intisari yang terkandung dalam kitab-kitab pusaka peninggalan leluhurnya. Tapi, perhatiannya menjadi terbelah ketika melihat Jaka Wulung terdesak hebat oleh Brahala dan Ki Wira.

Situasi itu memaksa Resi Darmakusumah sesekali mendekat ke lingkaran pertempuran antara Jaka Wulung dan dua lawannya. Sesekali pula ia berhasil membantu muridnya dengan cara menahan serbuan Brahala atau Ki Wira.

Akan tetapi, Sepasang Rajawali dan Nyai Purwati selalu sengaja menjauhkan Resi Darmakusumah dari lingkaran pertempuran muridnya.

“Kami bukan anak-anak, Resi,” teriak Nyai Purwati seraya tertawa.

Resi Darmakusumah menggeram dan melesat hendak membungkam mulut Nyai Purwati. Tapi, ia harus menarik serangannya karena dua ujung pedang milik Sepasang Rajawali mengancamnya dari dua arah yang berbeda.

Suatu saat, kedudukan Jaka Wulung benar-benar terjepit. Ia baru saja menghindari hantaman Rujak Polo di tangan Brahala ketika keris kusam Ki Wira sudah menjemputnya dari arah yang sama sekali tidak diduga. Resi Darmakusumah melihat situasi tersebut dan ia dengan nekat melenting memapak keris Ki Wira.

TRANG!

Kujang Resi Darmakusumah menghantam keris Ki Wira pada saat yang tepat. Ia berhasil menyelamatkan sang murid. Tapi, pertahanan dirinya sendiri menjadi terbuka. Hanya sekejapan, ujung selendang merah Nyai

Purwati menyentuh tipis leher Resi Darmakusumah. Sang Resi terpekik dan ia merasakan lehernya seperti panas membara.

Jarum-jarum di ujung selendang itu pastilah beracun!

Akan tetapi, Resi Darmakusumah sudah tidak lagi memikirkan dirinya sendiri.

“Wulung, cepat lari!” pekiknya seraya mati-matian menahan serbuan lawan-lawannya.

Akan tetapi, Jaka Wulung sama sekali tidak berpikir untuk lari. Kalaupun mereka tidak mampu lagi bertahan, pikirnya, biarlah ia akan gugur bersama gurunya.

Kini pertarungan sudah bisa ditebak kesudahannya. Tenaga Resi Darmakusumah dengan cepat susut. Darah terus mengucur dari lukanya, sedangkan racun yang buas dengan cepat meresap ke dalam pembuluh darahnya, menyerap kekuatan di dalam tubuh sang Resi.

Sementara itu, Jaka Wulung beberapa kali tidak bisa menghindari serangan lawan-lawannya. Pakaiannya sudah koyak di beberapa tempat oleh ujung keris Ki Wira. Kulit perutnya bahkan sudah tersayat sepanjang hampir setengah jengkal. Terasa luka itu sangat perih.

Ujung keris Ki Wira pun mengandung racun! Begitulah kejinya orang-orang golongan hitam!
Akan tetapi, baik Resi Darmakusumah maupun Jaka Wulung tetap bertarung seperti maung. Mereka tidak mengenal kata menyerah. Guru dan murid sama-sama menerapkan ilmu andalan leluhur mereka: gulung maung. Meskipun sudah terluka nyaris arang keranjang, keduanya terus mengaum melancarkan serangan-serangan pamungkas. Pada satu saat, boleh jadi melalui semacam keberuntungan juga, kujang Resi Darmakusumah berhasil merobek selendang Nyai Purwati, bahkan menggores tangan nenek siluman cantik itu.

Grrrhhh ...!

Pada kejapan yang sama, ujung kudi hyang Jaka Wulung menyayat perut

Brahala.

Nyai Purwati dan Brahala memekik pada saat yang sama.

Melalui tenaga dan kecepatan yang seakan-akan menjadi berlipat, Resi Darmakusumah melepaskan kujangnya dan Nyai Purwati tidak sempat menghindar. Kujang itu menancap tepat di ulu hati Siluman Cantik dari Karang Bolong. Pada saat yang sama, kudi hyang Jaka Wulung di luar dugaan siapa pun, bahkan Jaka Wulung sendiri, mengiris leher Brahala.

Nyai Purwati dan Brahala tumbang pada saat yang sama!

Akan tetapi, setelah itu pertahanan Resi Darmakusumah benar-benar terbuka. Tenaganya seakan terisap habis untuk melakukan serangan terakhir. Secara beruntun ujung-ujung pedang panjang di tangan Sepasang Rajawali menembus tubuh Resi Darmakusumah!

Resi Darmakusumah, salah seorang tokoh besar terakhir dari Pajajaran, tumbang di tangan Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu, daerah yang sesungguhnya pernah menjadi andalan Pajajaran sendiri!

“GURUUU!” Jaka Wulung memekik pilu menyaksikan akhir hidup gurunya.

Akan tetapi, pada kejapan berikutnya Jaka Wulung juga tidak mampu menghindari serangan maut keris Ki Wira yang meluncur seperti kilat ke arah ulu hatinya ....

Pada saat-saat terakhir itulah entah dari mana datangnya, sesosok bayangan putih melesat, meraih tubuh Jaka Wulung dan Resi Darmakusumah sekaligus, kemudian menghilang di rerimbunan hutan di sebelah barat pondok.

Semua orang yang ada di sana hanya bisa terpaku menyaksikan kejadian yang bagi mereka di luar akal itu. Bayangkan, mereka, Sepasang Rajawali dan Ki Wira, di luar Nyai Purwati dan Brahala yang tampaknya hampir sekarat, sama sekali tidak mengetahui ada sosok putih yang menyelamatkan Resi Darmakusumah dan Jaka Wulung.

Siapa dia? Manusiakah? Adakah di dunia ini manusia yang memiliki kecepatan seperti itu?

Pondok bekas kediaman Resi Darmakusumah kembali dicekam kesunyian.

Orang-orang belum segera bisa menepis keanehan yang mereka alami dan lihat pada akhir pertempuran itu.

****

GUNUNG Sepuh sunyi senyap. Hanya angin yang cukup kencang meniup permukaan kawah berwarna putih bersemu hijau.

Jaka Wulung memandang puncak gunung itu dengan perasaan aneh. Ia merasa pernah mengalami kejadian seperti itu. Tentu saja, ia pernah diselamatkan oleh seorang tua aneh ketika terjatuh ke jurang dalam, ketika ia sudah pasrah akan nasib buruk apa pun. Ia kemudian menjadi murid orang tua aneh itu, yang belakangan diketahui bernama Resi Darmakusumah, melalui jalan yang aneh pula.

Kini untuk kali kedua, ketika sudah hendak dijemput maut dalam sebuah pertempuran yang hanya samar-samar ia ketahui persoalannya, ia diselamatkan oleh seorang tua yang tidak kalah anehnya.

Apakah ini semacam peristiwa berulang? Angin lembut berdesir.
Jaka Wulung menoleh.

Orang tua aneh itu berdiri seraya menggenggam kitab lontar di tangan kanannya. Rambut, alis, kumis, dan janggut lelaki itu putih semua. Jubah yang dikenakannya juga putih meskipun sudah agak kusam. Kerut merut di wajahnya menunjukkan usianya.

Pastilah ia setidaknya dua puluh tahun lebih tua dibanding Resi Darmakusumah. Ah, Resi, semoga kedamaian kau dapat di sana ....

Sorot matanya tajam, tetapi terasa teduh di dada Jaka Wulung.

Jaka Wulung membungkuk penuh hormat. “Selamat pagi, Kakek yang terhormat ”

“Cucuku, syukurlah kau sudah makin pulih. Racun yang sempat meresap di aliran darahmu sangat kuat. Kalau aku terlambat datang, kau pasti tidak

akan bertahan lama.”

“Terima kasih atas pertolongan Kakek.”

“Ini kubawakan salah satu kitab yang untungnya juga masih bisa kuselamatkan dari pondok gurumu. Kau pelajarilah. Kau memiliki bakat yang langka. Tak perlu dibimbing, kau akan mampu menyerap ilmu dalam kitab ini. Aku tinggal tidak jauh dari sini. Nanti sesekali, kalau usiaku masih ada, aku akan mengunjungimu, melihat perkembanganmu.”

“Sekali lagi, terima kasih. Bolehkah saya menyebut ... guru?” Lelaki tua itu tersenyum.
“Aku sudah terlalu tua untuk menjadi seorang guru. Aku hanya bisa memberimu restu. Jalan masih panjang membentang bagimu dan kau telah memutuskan sebuah nama untuk kau sandang. Jangan coreng nama itu. Ya, ya, aku merestuimu meneruskan jalanku.”

Jaka Wulung masih menunduk, menunggu kata-kata berikutnya. Akan tetapi, yang ada hanya keheningan.
Jaka Wulung mendongak. Kakek serbaputih itu tiada lagi di tempatnya semula.

“Kakek?”

Jaka Wulung celingukan. “Kakek?”

Jaka Wulung berdebar-debar. Otaknya yang cerdas langsung berputar.

Tentu dialah orangnya, tokoh legendaris yang selama ini seakan-akan hanya ada di dalam khayalan: Resi Jaya Pakuan. Atau orang lebih mengenalnya dengan nama ini: Bujangga Manik. ?

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar