Pertarungan Di Bukit Sagara Jilid 01 : Terkucil di Lembah Baribis

Terkucil di Lembah Baribis
Pondok kayu itu berdiri hanya beberapa puluh langkah dari Ci Gunung, sebuah sungai berbatu-batu besar dan membelah Gunung Baribis, dengan jurang-jurangnya yang menganga. Pondok itu terkesan dibuat seadanya, asal cukup untuk berteduh dari hujan dan angin yang selalu menggigit. Tapi, tiang penyangganya terbuat dari kayu besi. Keras dan kukuh. Dindingnya berupa gedek dari bambu hitam. Atapnya terbuat dari rumbia dan dibuat berbentuk limas.

Pondok itu memang terkesan sengaja dibangun di tempat terpencil. Kampung terdekat harus ditempuh sepertiga hari berjalan kaki. Di samping berdiri di dekat tebing curam, hutan yang ditumbuhi berbagai pohon yang rapat dan hijau seakan membungkus bangunan itu dari pandangan. Di tambah pula, pagar kayu yang rapat setinggi jangkauan tangan menghalangi pemandangan di dalamnya.

Gunung Baribis sendiri adalah bebukitan berhutan rapat yang jarang sekali diinjak manusia. Harimau, babi hutan, dan berbagai jenis kera masih menjadi penguasa utama. Hanya orang dengan tekad sangat bulatlah yang berani menembus hutan di bukit itu, lebih-lebih menyusuri Sungai Ci Gunung, sungai yang berdinding ngarai terjal dan memiliki jeram-jeram yang mematikan.

PAGI masih menyisakan titik-titik embun terakhir di dedaunan. Matahari menerobos dedaunan lebat akasia dan garis-garis cahayanya rebah memanjang di halaman depan pondok kayu itu. Luas halaman itu kira-kira sepuluh tumbak.

Tiga bocah belasan tahun berdiri berjajar menghadapi seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun dengan wajah yang keras.

Wajah ketiga bocah itu berkilat oleh keringat. Baju mereka juga basah dan kotor. Dada mereka tampak mengembang dan mengempis dengan cepat.

“Ulangi jurus yang terakhir,” kata pria berwajah keras itu. Matanya memandang tajam ketiga bocah di hadapannya satu per satu.

Ketiga bocah itu sama-sama mengeluarkan keluhan melalui bibir dan hidung mereka.

Bocah paling kanan memiliki wajah yang tampan, dengan bibir tipis yang selalu tampak menyeringai. Tubuhnya tinggi langsing, lebih tinggi daripada dua bocah lainnya.

Bocah paling kanan kira-kira setengah jengkal lebih pendek dan bertubuh kekar, nyaris bulat, dengan kulit lebih gelap.

Sementara itu, bocah di tengah memiliki rambut panjang yang diikat pita ungu serta berwajah lembut dengan mata yang cemerlang dan bibir merah. Dia memang bocah perempuan yang mulai menunjukkan garis-garis kecantikan.

Umur mereka sebaya, kira-kira empat belas atau lima belas tahun.

“Kalian jangan cengeng. Nama besar leluhur agung kita berada di pundak kalian.”

Lelaki itu memandang ketiga bocah di depannya satu per satu. Ia lelaki dengan kulit cokelat karena matahari. Sehelai ikat kepala menutupi sebagian rambutnya yang mulai bergaris-garis putih. Wajahnya terkesan menyimpan seribu pengalaman pahit sepanjang perjalanan hidupnya. Garis lurus menghitam melintang di pipi kirinya, luka yang rasanya belum benar-benar sembuh meskipun sudah bertahun-tahun.

“Ayo, Lingga, jangan menganggap enteng pelajaran kali ini.”

Bocah paling kanan menangkupkan telapaknya di depan dada, sedikit membungkuk, kemudian berkata dengan tegas, “Baik, Paman Jayeng.” Masih tersisa nada keluhan dalam suara Lingga Prawata, nama lengkap si bocah.

Lelaki yang dipanggil Jayeng itu, lengkapnya Ki Jayeng Segara, menghela napas dalam-dalam, mencoba meredam kegeramannya.

Sekarang ia memang sudah kehilangan nyaris segalanya. Tapi, beberapa tahun lalu, ia masih seorang senapatiyuda. Tentu saja lengkapnya Senapatiyuda Jayeng Segara, salah satu kesatria dari Kadipaten Jipang Panolan, yang bertanggung jawab atas keselamatan wilayah itu. Posisinya

hanya dua lapis di bawah Arya Penangsang, pimpinan tertinggi angkatan perang Jipang.
Sebagai salah seorang senapatiyuda, Jayeng tentu saja memiliki ilmu kanuragan pada tataran tinggi. Ia memimpin ratusan laskar Jipang yang semuanya terlatih. Senjata andalannya, seperti umumnya kesatria Jipang, adalah sebilah keris tanpa luk dengan bilah yang hitam legam—mirip keris Kiai Setan Kober milik Arya Penangsang sendiri. Sampai sekarang, gagang keris pusakanya selalu mencuat di perut, ditempa oleh keadaan untuk selalu bersiaga menghadapi siapa pun yang berniat menyerang.

“Kalian juga, Wulan dan Watu, berlatihlah dengan penuh semangat. Kalian tak akan bisa menjadi apa-apa kalau melakukannya hanya setengah-setengah.”

Kedua bocah yang dipanggil Wulan dan Watu, lengkapnya Dyah Wulankencana dan Watu Ageng, membungkuk dengan hormat.

“Baik, Paman Jayeng,” ucap keduanya berbarengan. “Mulai!”
Lingga Prawata, Dyah Wulankencana, dan Watu Ageng sama-sama berdiri tegak dengan kaki selebar pundak, lalu sedikit menekuk kaki seraya mengangkat kedua tangan, mula-mula hingga di sisi pinggang, kemudian merentang melebar seperti sayap-sayap burung. Kaki kiri melangkah menyerong, kemudian kaki kanan menyusul, dengan jemari tangan yang mengeras seakan-akan cakar rajawali yang siap mencengkeram dan mencabik-cabik.

Itulah salah satu dasar gerak awal jurus ilmu gagak rimang, ilmu kesaktian andalan laskar Jipang Panolan, ciptaan Arya Penangsang sendiri. Pada taraf puncaknya, seperti yang dimiliki Arya Penangsang, ilmu ini berpadu dengan ilmu kebal sang adipati, yang membuatnya disegani siapa pun lawan yang ia hadapi.

Mata Ki Jayeng Segara tak pernah sedetik pun lepas dari setiap gerakan ketiga bocah itu. Ilmu gagak rimang bukanlah ilmu sembarangan. Kesalahan gerak atau keliru bernapas sedikit saja, kedahsyatan ilmunya tak akan keluar.

Memang, meskipun ia seorang senapatiyuda, Ki Jayeng Segara merasa ilmu gagak rimang yang ia miliki masih satu-dua lapis di bawah ilmu Arya Penangsang yang sulit ditakar kedalamannya.

Meskipun demikian, Ki Jayeng Segara adalah lelaki yang memiliki semangat baja dan otak lumayan cerdas sehingga ia tak pernah berhenti mengasah sendiri ilmu gagak rimang-nya. Kalau saja ada kesempatan, ingin rasanya menjajal ilmu gagak rimang Arya Penangsang. Begitu pikiran usilnya, meskipun selalu kemudian ia meralat pikirannya.

Setelah Arya Penangsang percaya oleh cara licik yang diterapkan Danang Sutawijaya, atas gagasan Jaka Tingkir sendiri, laskar Jipang Panolan menjadi buron pasukan Pajang. Tidak hanya keluarga Arya Penangsang. Bahkan, keluarga pasukan inti Jipang Panolan dikejar-kejar ke mana pun mereka melarikan diri.

Kenyataan itulah yang selalu membuat mata Ki Jayeng Segara berkaca- kaca. Sekaligus, di dadanya bergolak dendam yang sulit diredam.

Sisa-sisa laskar Jipang yang tertangkap hampir bisa dipastikan nasibnya: hukuman penggal. Mereka yang lolos tercerai-berai ke berbagai tujuan dan arah mata angin. Ki Jayeng Segara tidak tahu berapa banyak sisa laskar Jipang yang selamat. Dia sendiri bersama belasan orang lain melarikan diri ke arah matahari tenggelam. Mereka tersaruk-saruk mendaki gunung berhutan-hutan dan menembus hutan-hutan pegunungan, lembah dan ngarai, menyeberang sungai yang membentang, meninggalkan wilayah Pajang. Setelah berbulan-bulan, mereka akhirnya tiba di sebuah lembah di kaki Gunung Baribis, melewati batas sisi barat bekas Kerajaan Majapahit. Mereka membangun rumah-rumah sederhana di tepi Ci Gunung.

Sendirian, Ki Jayeng Segara kemudian menembus hutan Gunung Baribis, membangun pondok kayu di tempat terpencil. Setiap saat ia melakukan mesu diri, menempa ilmu miliknya, kemudian mengambil tiga bocah untuk dijadikan muridnya. Ketiganya adalah anak-anak para prajurit Jipang yang gugur ketika melawan pasukan Pajang. Ia berharap murid- muridnya bisa melestarikan ilmu kebanggaan Arya Penangsang supaya tidak musnah dimakan zaman.

Akan halnya Sungai Ci Gunung, sungai ini mengalir ke timur dan akan bermuara di Ci Pamali, sungai yang pernah menjadi batas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit.

KETIKA ketiga bocah itu tengah memperagakan gerakan-gerakan gagak rimang, tiba-tiba wajah Ki Jayeng Segara menegang. Matanya memandang tajam ke arah pohon kiara di luar pagar. Telinga dan indranya yang peka

merasakan ada sesuatu yang tidak wajar di pohon berdaun rimbun itu.

Dipungutnya sebutir batu kecil. Melalui tenaga lontar yang terbentuk dari jari tengah yang dijentikkan dengan tumpuan ibu jari, batu itu pun meluncur nyaris tak kasat mata, menimbulkan desis ketika menyibak angin, kemudian terdengar bunyi benturan nyaring ketika batu itu mengenai sesuatu.

Hanya dalam waktu sepersekian detik kemudian, terdengar bunyi gedebuk benda jatuh ke tanah.

Gerakan yang diperagakan ketiga bocah itu langsung terhenti.

Tanpa menunggu waktu, Ki Jayeng Segara melesat dan melalui tumpuan ujung kaki kirinya, ia melenting tinggi dan kedua kakinya hinggap di ujung pagar, kemudian menjadikan ujung pagar sebagai tumpuan berikutnya guna melenting keluar dari pagar pondok mereka.

Lingga Prawata, Dyah Wulankencana, dan Watu Ageng bergegas menuju pintu pagar, lalu berlarian memburu ke arah Ki Jayeng Segara.

Di hadapan mereka, seorang bocah lelaki tengah meringis sambil memegangi pantatnya yang sakit.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar