Serial Joko Sableng eps 40 : Asmara Laknat

SATU
DAYANG Tiga Pumama pentangkan mata sekali lagi memperhatikan sosok berpakakan putih di seberang. Bayang keterkejutan besar dan pandangan heran makin jelas meronai wajahnya yang cantik. Lalu la berkata dalam hati.

"Pemuda berjubah hitam yang perkenalkan diri sebagai Datuk Kala Sutera ini sebut pemuda ini dengan Paduka Seribu Masalah... Orang yang selama ini kucari untuk kuminta keterangan! Tapi mengapa pamuda berpakaian putih itu sepertinya ingin menghindar?! Benarkah dia manusianya yang bergelar Paduka Seribu Masalah?! Tapi ketika memparkenalkan diri kemarin, dia mengatakan Paduka Seribu Masalah adalah sahabatnya. 

Hem... Mana ini yang benar?! Dia kemarin bersama seorang aneh, yang terus duduk rangkapkan kaki tanpa mau tunjukkan wajah. Di mana orang yang duduk bersamanya itu..? Benarkah yang ditunggu Datuk Kala Sutera adalah pemuda itu yang baru disebutnya sebagai Paduka Seribu Masalah?"

Dalam keadaan bimbang begitu rupa, Dayang Tiga Purnama segera mendekati Datuk Data Sutera. Lalu bertanya. "Yang kau tunggu pemuda berpakaian putih itu?!"

Yang ditanya tidak sagera menjawab. Sebaliknya membatin dalam hati. "Aku melihat raut kaget pada gadis cantik berbaju ungu ini. Sepertinya dia mengenal pemuda berpakaian putih itu. Hem.... Itu tidak penting. Yang jelas aku telah menemukannya dan dia harus menempati janji untuk menjawab pertanyaanku! Tapi, kemana orang satunya?! Itu juga tidak penting! Yang pasti pemuda itu, siapapun dia adanya, dia telah mengucapkan janji..."

Sementara pemuda berpakaian putih diseberang, diam-diam juga berkata dalam hati, "Celaka... mengapa Datuk Kala Sutera berada disini bersama Dayang Tiga Purnama?! Sepertinya mereka sengaja menghadangku... Bagaimana sekarang?! Jawaban apa yang harus kuberikan?! Ah... Tapi aku masih bisa memberi alasan! Bukankah aku minta waktu tiga hari! Sementara waktunya baru lewat satu hari. Berarti perjanjian itu masih kurang dua hari lagi di muka...!"

Si pemuda berpakaian putih didepan yang sesaat tadi tampak gelagapan bahkan hendak putar langkah karena kaget mendapati keberadaan Datuk Kala Sutera dan Dayang Tiga Purnama, terlihat sunggingkan senyum. Tapi senyumnya langsung pupus laksana disabet setan tatkala tiba-tiba dia ingat akan sesuatu.

"Paduka Seribu Masalah mengatakan bahwa Dayang Tiga Purnama dan Datuk Kala Sutera ada kaitannya dengan perkawinanku dengan Dewi Bunga Asmara! Astaga... Jangan-jangan ucapan orang itu benar! Tapi bagaimana keterkaitannya?!"

Selagi pemuda berpakaian putih yang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting membatin begitu, diseberang sana, Dayang Tiga Purnama segera buka mulut ulangi pertanyaannya pada Datuk Kala Sutera.

"Pemuda berpakaian putih itu yang kau tunggu?!"

Datuk Kala Sutera berpaling. "Kau mengenalnya?!" Sang Datuk balik bertanya dengan mata nanari sosok Dayang Tiga Purnama.

Kini Dayang Tiga Purnama yang tidak segera menjawab pertanyaan orang. Kembali dia membatin, "Aku tak boleh berterus terang! Aku harus tahu terlebih dahulu, mana yang benar dalam urusan ini! Dia memang Paduka Seribu Masalah atau seperti yang diucapkannya kalau dia bernama Joko Sableng!"

"Aku tahu kau mengenalnya..." Datuk Kala Sutera Menggumam.

Dayang Tiga Purnama gelengkan kepala. "Aku tak kenal pemuda itu!"

Seperti diketahui, Pendekar 131 bertemu Paduka Seribu Masalah. Saat dia berbincang, mendadak muncul Datuk Kala Sutera yang telah lama mencari Paduka Seribu Masalah. Karena tidak mau membuat urusan, Pendekar 131 sengaja meniru sikap Paduka Seribu Masalah dengan duduk rangkapkan kaki sembunyikan wajah dibelakang kedua kakinya. Joko tak menduga kalau sikapnya membuat Datuk Kala Sutera menyangka kalau dia adalah Paduka Seribu Masalah! Apalagi Joko mengambil alih pembicaraan.

Datuk Kala Sutera ajukan pertanyaan. Karena tidak bisa menjawab. Joko minta agar diberi waktu tiga hari. Datuk Kala Sutera mau menerima. Tapi dengan syarat Joko harus tunjukkan wajah. Karena tidak ingin membuat urusan, akhirnya Pendekar 131 turuti permintaan Datuk Kala Sutera tunjukkan wajah.

Sementara saat bertemu dengan Dayang Tiga Purnama, Pendekar 131 mengaku terus terang bernama Joko Sableng dan mengatakan orang yang bergelar Paduka Seribu Masalah adalah sahabatnya. Hingga pada akhirnya Dayang Tiga Purnama mau mengatakan apa yang selama ini menjadi ganjalan hatinya.

Namun Dayang Tiga Purnama jadi heran dan terkejut ketika Datuk Kala Sutera menyebut murid Pendeta Sinting dengan Paduka Seribu Masalah saat Joko muncul ketika Dayang Tiga Purnama tengah berbincang dengan Datuk Kala Sutera.

"Gadis cantik!" berkata Datuk Kala Sutera seraya melirik kejurusan lain. "Kau boleh mengatakan tidak kenal pada pemuda berpakaian putih itu. Tapi pandangan dan keterkejutanmu tidak bisa menipu diriku!" Datuk Kala Sutera tertawa pendek. Lalu lepas pandangan kearah murid Pendeta Sinting dan berteriak.

"Paduka Seribu Masalah! Senang bertemu dengan mu lagi! Harap kau tidak lupa dengan janjimu!"

Paras wajah Pendekar 131 berubah tegang. Dia memandang lurus pada Dayang Tiga Warna. "Busyet! Pemuda berjubah hitam itu menyebutku Paduka Seribu Masalah! Ini akan membuat posisiku sulit dihadapan Dayang Tiga Purnama! Apa yang harus kulakukan?! Gadis cantik itu pasti menduga aku telah mempermainkannya. Aku sudah mengatakan padanya kalau Paduka Seribu Masalah adalah salah seorang sahabatku. Hem..."

"Paduka Seribu Masalah!" kembali Datuk Kala Sutera berseru ketika dia tidak mendapatkan sambutan. "Di sini memang ada orang lain. Tapi aku tidak keberatan kalau jawabanmu didengarnya!"

Ucapan Datuk Kala Sutera mau tak mau membuat Dayang Tiga Purnama kernyitkan dahi. "Dari kata-katanya jelas sekarang jika memang pemuda itu yang ditunggu pemuda berjubah hitam ini. Dan dari nada ucapannya, jangan-jangan pemuda berpakaian putih yang kemarin mengaku bernama Joko Sableng itu adalah Paduka Seribu Masalah.

Mungkinkah...?! Aku hampir tak percaya semua ini! Mungkinkah seorang tokoh yang namanya sudah banyak dikenal dikalangan rimba persilatan sejak lama ternyata adalah seorang pemuda?! Kalau benar, mengapa raut wajahnya bukan seperti orang negeri ini? Padahal, menurut uang kudengar, Paduka Seribu Masalah adalah tokoh negeri Tibet..."

Baru saja Dayang Tiga Purnama membatin begitu. Murid Pendeta Sinting buka mulut. "Datuk Kala Sutera! Aku juga gembira bertemu denganmu lagi! Aku juga tidak akan lupa dengan janjiku! Tapi kalau saat ini aku belum bisa menjawab pertanyaanmu, jangan kira karena adanya gadis itu disini! Namun karena waktunya yang belum tepat..."

"Hem... jadi aku harus menunggu sesuai perjanjian!" tanya Datuk Kala Sutera.

"Benar...!" sahut murid Pendeta Sinting seraya tegakkan kepala, tengadah memandang langit. "Dan berarti kau harus menunggu satu setengah hari lagi!"

"Tak jadi masalah! Cuma aku ingin selama masa penantian ini kita harus bersama-sama! Kita harus selalu bersama! Kau jangan berprasangka dahulu. Ini kulakukan karena aku telah menghabiskan waktu lama untuk mencarimu! Aku tak mau waktu ku yang telah hilang, lenyap begitu saja dengan kepergianmu!"

"Waduh... Ini alamat buruk! Aku tak mungkin lagi bisa menghindar! Apa kukatakan saja dengan asal-asalan?! Tapi kalau nantinya dia tahu, akan berakibat makin parah! Hem... Bagaimana enaknya...?! Belum lagi bagaimana nanti aku harus menjelaskan pada Dayang Tiga Purnama...?! Ah... Aku akan coba dahulu mencari jalan...!"

Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting berkata. "Datuk Kala Sutera! Sebenarnya aku senang mendengar kau minta kita harus selalu bersama-sama selama dalam masa penantian! Tapi, aku punya sesuatu yang harus kuselesaikan tanpa adanya orang lain. Kau juga jangan berpraduga dahulu. Percayalah! Kita akan bertemu ditempat mana kita berjanji pada saat yang telah pula kita sepakati!"

Datuk Kala Sutera tertawa panjang sambil menggeleng. "Aku bukannya tidak percaya. Sebagai orang yang dikenal banyak tahu masalah orang, kau punya urusan banyak, tapi seperti yang kukatakan tadi, aku tak mau waktuku yang telah hilang untuk mencarimu harus lenyap begitu saja!"

"Nada ucapannmu menunjukkan kau tidak percaya!"

"maksudku bukan begitu! Tapi terserah bagaimana kau menilainya!"

"Hem,.. Tahu begini yang terjadi, menyesal aku tidak mengajak ikut serta Paduka Seribu Masalah. Bersama dengan dia, mungkin aku masih bisa mencari alasan lain... Malah bukan tak mungkin dia mau menjawab pertanyaan Datuk Kala Sutera!" Joko kembali membatin.

"Kau masih akan bicara dengan gadis cantik disebelah ku ini!" Tiba-tiba Datuk Kala Sutera alihkan pembicaraan melihat murid Pendeta Sinting selalu memandang pada Dayang Tiga Purnama.

"Tak mungkin aku menjelaskan pada Dayang Tiga Purnama dihadapan Datuk Kala Sutera!" gumam Joko lalu gerakkan kepala Menggeleng.

Galengan kepala Pendekar 131 menbuat Dayanng Tiga Purnama jengkel. Apalagi dari percakapannya dengan sang Datuk, si gadis mulai yakin kalau murid Pendeta Sinting adalah Paduka Seribu Masalah. Hal ini membuatnya lupa kalau tadi mengatakan tidak kenal Joko. Laksana terbang seraya bergumam tidak jelas Dayang Tiga Purnama melompat dan tegak sepuluh langkah dihadapan murid Pendeta Sinting. Lalu berteriak marah.

"Siapa kau sebenarnya?!"

Joko bukannya segera menjawab, melainkan memandang pulang balik kearah Datuk Kala Sutera dan Dayang Tiga Purnama dengan mulut terkancing.

Sikap orang membuat Dayang Tiga Purnama tak bisa kendalikan diri. Dia kembali berteriak. "Katakan siapa kau sebenarnya?! Mengapa pula berani berkata dusta mempermainkanku, hah?!" selesai berteriak, Dayang Tiga Purnama kembali membuat gerakan melompat dan kini tegak hanya lima langkah di depan murid Pendeta Sinting dengan tatapan garang.

"Dayang Tiga Purnama.... Aku tak bisa mengatakannya disini! Kita cari tempat yang aman untuk bicara!" ujar Joko dengan berbisik dan mata melirik pada Datuk Kala Sutera.

"Pemuda berjubah hitam telah menegaskan untuk selalu bersamamu! Percuma cari tempat untuk bicara! Katakan saja disini! Apa yang kau takutkan?!" tanya Dayang Tiga Purnama dengan nada ketus.

"Masalahnya bukan takut atau tidak... Tapi penjelasanku tidak boleh didengar oleh pemuda berjubah hitam itu...!"

"Mengapa?! Agar kau bisa mempermainkanku lagi!" Dayang Tiga Purnama memandang tajam kedalam bola mata Joko. Lalu berkata setengah berbisik. "Aku kini menyesal meski seandainya kau adalah Paduka Seribu Masalah!"

"Dayang... Aku tidak punya maksud mempermainkanmu! Aku berkata apa adanya...!"

"Lalu mengapa ucapan pemuda berjubah hitam itu lain dengan kenyataan yang kau katakan padaku, hah?! Apa maksudmu dengan semua ini, Apa?!"

"Itulah yang akan kujelaskan seandainya kita bisa mencari tempat yang aman untuk bicara...!"

"Dengar pemuda asing! Aku tak perlu penjelasan apa-apa lagi darimu. Yang kuminta sekarang, katakan siapa kau sebenarnya?!"

"Aku seperti apa yang kukatakan padamu kemarin. Pemuda berjubah hitam itu salah paham dan salah lihat!"

"Kau jangan berdusta lagi! Bagaimana mungkin dia bisa salah paham dan salah lihat! Dari ucapan dan jawabanmu, pemuda berjubah hitam itu tidak salah paham, apalagi sampai salah lihat! Kau yang pandai bersilat lidah memutar balik ucapan!"

"Dayang..."

"Cukup!" potong Dayang Tiga Purnama. "Kau mau katakan siapa kau sebenarnya atau aku harus mencabut ucapanku yang kukatakan padamu kemarin dengan jalan mencabut selembar nyawamu?!"

"Dayang...," ujar Joko lirih. "Aku Joko Sableng... Bukan Paduka Seribu Masalah! Paduka Seribu Masalah adalah sahabatku!"

HHem... Lalu mengapa pemuda berjubah hitam itu menyebutmu Paduka Seribu Masalah dan menurutnya tadi kau telah sepakat punya janji dengannya untuk menjawab pertanyaan yang diajukan! Sementara orang yang sudah dikenal sering memberi jawaban adalah Paduka Seribu Masalah!"

Belum sampai Joko buka mulut menjawab, Datuk Kala Sutera sudah berteriak. "Aku tidak bisa menghabiskan waktu penantian dengan cara begini! Kalian bicara bisik-bisik takut kudengar! Kalian perlu tahu...! Aku tidak peduli apa yang kalian bicarakan. Meski seandainya telingaku mendengar! Aku hanya perlu jawaban atas pertanyaanku!"

"Dayang... Untuk sementara ini, kuharap kau parcaya dengan keteranganku..." ujar murid Pendeta Sinting dengan anggukkan kepala perlahan dan sunggingkan senyum.

"Tidak..." Jawab Dayang Tiga Purnama seraya gelengkan kepala. "Aku sudah terlanjur mengatakan urusanku padamu! Aku harus bisa membuktikan kebenaran ucapanmu! Aku akan ikut kemana kau pergi! Lagi pula bukankah kau sahabatnya Paduka Seribu Masalah?! Tentu mudah bagimu menemukan Paduka Seribu masalah kelau kau benar-benar Joko Sableng dan bukan Paduka Seribu Masalah!"

"Dayang... Seandainya aku tidak punya urusan dengan pemuda berjubah hitam itu, tentu aku sangat senang kau mau ikut bersamaku... Kau tahu, mana ada pemuda yang tidak girang bisa jalan bersama gadis cantik sepertimu?!"

Jika saja tidak dalam keadaan jengkel, tentu Dayang Tiga Purnama sudah palingkan kepala sembunyikan wajahnya yang bersemu merah. Namun karena saat itu dia tengah dilanda kejengkelan, gadis ini bukannya sentakkan kepala berpaling, sebaliknya mendelik angker sambil membentak.

"Jangan kira aku tak tahu! Kau takut kuikuti. Karena selama ini kau telah berani berkata dusta padaku!"

"Dayang.... Pergi bersama pemuda berjubah hitam itu mengandung resiko besar... Aku tak mau melibatkanmu dalam resiko ini!"

"Dayang Tiga Purnama tertawa pendek seraya tersenyum dingin. Lalu berujar. "Dalam mencari Paduka Seribu Masalah, aku telah menempuh resiko! Jadi jangan kira aku takut kalau hanya jalan bersamamu dan pemuda berjubah hitam itu!"

"Hem... Kalau kau berpikir begitu, aku tak akan mencegah!" Akhirnya Joko berkata setelah agak lama berpikir. Dan diam-diam dalam hati murid Pendeta Sinting membatin. "Dengan adanya Dayang Tiga Purnama, mungkin aku bisa mencari jalan agar untuk sementara bisa menghindari Datuk Kala Sutera!"

Pendekar 131 memandang sesaat pada Dayang Tiga Purnama lalu beralih pada Datuk Kala Sutera sebelum akhirnya berkata. "Datuk Kala Sutera! Kita menuju hutan bambu! Kita habiskan masa penantian disana!"

Habis berkata begitu, Pendekar 131 mendahului berkelebat. Dayang Tiga Purnama putar diri. Tanpa memandang kearah Datuk Kala Sutera, gadis cantik ini teruskan kelebatan menyusul sosok murid Pendeta Sinting.

Datuk Kala Sutera memandang kelebatan sosok pendekar 131 dan Dayang Tiga Purnama. Entah apa yang dipikirkan pemuda berjubah hitam ini. Yang jelas bibirnya sunggingkan senyum dengan kepala mengangguk. Lalu melompat dari atas bongkahan batu dan berlari menyusul dibelakang sosok Dayang Tiga Purnama.

***
DUA
Kita tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting yang berkelebat menuju hutan bambu seraya mencari jalan keluar untuk bisa menghindar dari Datuk Kala Sutera. Kita kembali pada Bidadari Delapan Samudera. Seperti diketahui, saat Bidadari Delapan Samudera berbincang dengan Pendekar 131 di pinggir sungai dan hendak mengatakan apa yang selama ini menjadi maksud tujuannya, mendadak muncul Bidadari Pedang Cinta.

Karena masih menduga Bidadari Pedang Cinta adalah kekasih murid Pendeta Sinting dan dia tak mau keberadaannya bersama Joko membuai Bidadari Pedang Cinta merasa cemburu yang akhirnya dapat menimbulkan masalah, Bidadari Delapan Samudera segera berkelebat pergi.

Pada satu tempat sepi, Bidadari Delapan Samudera hentikan larinya. Lalu duduk di balik satu batangan pohon agak besar. Kepalanya sesekali bergerak memutar kearah mana tadi dia datang. Saat lain dia sedikit tengadahkan kepala dan bergumam sendiri.

"Mudah-mudahan keberadannku bersama pemuda bernama Joko Sableng itu tidak jadi pembuka masalah dikelak kemudian hari... Urusan tabir kehidupan belum selesai. Aku tak mau terlibat dalam urusan lain... Apalagi urusannya hanya berpangkal pada rasa cemburu! Ah...." Bidadari Delapan Samudera menghela napas panjang.

"Pemuda itu... Telingaku benar-benar mendengar dia sebut salah seorang di antara aku dan Bidadari Pedang Cinta adalah kekasihnya dihadapan Bidadar Tujuh langit. Aku yakin maksud ucapannya ditujukan pada gadis berbaju hijau itu. Bukankah mereka sudah saling kenal?! Sementara saat itu aku belum tahu siapa dia!"

Bidadari Delapan Samudera teringat peristiwa saat terjadi bentrok antara dia, Bidadari Pedang Cinta dengan Bidadari Tujuh Langit.

"Tapi mengapa dia sepertinya tidak mau mengakui?! Bahkan dia bersikap seolah tak pernah berkata apa-app dihadapan Bidadari Tujuh Langit! Mungkinkah alasannya dibuat-buat?! Tapi untuk apa...?! Ah... mengapa aku memikirkan hal itu?! Bukankah madih ada hal lebih penting yang harus kuselesaikan!?"

Berpikir begitu, setelah putar pandangan berkeliling, Bidadari Tujuh Samudera bergerak bangkit. "Sayang sekali. Hinggah sejauh ini aku belum juga menemukan orang yang kucari! Sampai kapan aku harus terus mengadakan perjalanan?! Lalu kemana lagi aku harus menuju?!"

Baru saja Bidadari Delapan Samudera berbisik begitu, mendadak satu sosok bayangnan berkelebat turun dari pohon di mana Bidaidari Delapan Samudera berada. Tersentak kaget, Bidadari Delapan Samudera segera tegakkan wajah lalu mengikuti gerakan sosok yang melayang turun dengan mata mendelik tak berkesip.

Bidadari Delapn Samudera melihat seorang perempuan berusia lanjut berambut putih disanggul tinggi. Kulitnya putih pucat dan mengeriput. Sepasang matanya melotot basar. Nenek ini mengenakan pakaian berupa selempang kain yang dibalutkan begitu saja pada sekujur tubuhnya berwarna hitam. Yang membuat penampilan nenek ini jadi angker adalah terlihatnya dua buah pedang yang pancarkan kilatan-kilatan aneh yang saling bersilangan disanggulan rambutnya.

Untuk beberapa lama Bidadari Delapan Samudera pandangi orang dengan bertanya-tanya sendiri dalam hati. "Dari tempatnya berasal, sepertinya dia sudah berada di pohon ini sebelum aku datang! Pasti nenek ini bukan manusia sembarangan! Aku tidak bisa mengetahui keteradaannya ditempat ini! Pasti nenek ini bukan manusia sembarangan! Aku tidak bisa mengendus keberadaannya ditempat ini! Apa dia tadi mendengar gumamanku...?! Siapa dia sebenarnya...?!"

"Sikapmu menandakan kau tengah gelisah dan risau, Anakku... Seandainya kau mau membagi cerita denganku...." Mendadak nenek yang sanggulan rambutnya dihias dua buah pedang perdengarkan suara.

Ucapan Si nenek membuat ketegangan Bidadari Delapan Samudera sedikit mereda. Namun hatinya jadi tidak enak. Dia merasa pasti jika gumamannya didengar oleh orang.

"Anakku... Masalah cemburu kadang-kadang menjadi beban terberat bagi Seorang perempuan! Malah tidak jarang rasa cemburu bisa menjadikan urusan penting jadi terlupakan...!"

"Nek... Siapa kau?"

Yang ditanya tertawa cekikikan penjang. Lalu berkata. "Seharusnya aku yang bertanya terlebih dahulu siapa adanya kau, Anakku... Aku telah lama berada ditempat ini sebelum kau datang..."

"Aku Bidadari Delapan Samudera...!"

"Namamu bagus. Parasmu cantik... Tapi kadang-kadang keberuntungan memliiki wajah cantik menimbulkan masalah! Hari ini paras wajahmu menunjukkan kalau Kau tengah dilanda perasaan tidak enak!"

Paras Bidadari Delapan Samudera bersemu merah. "Nek... Semua orang bisa saja dilanda perasaan tidak enak!"

"Ucapanmu benar. Tapi sikapmu membayangkan kalau kau memendam beban berat!"

Bidadari Delapan Samudera terdiam beberapa lama. Dalam hati dia membatin, "Selama ini aku telah berusaha mencari tanpa minta bantuan orang lain. Nyatanya aku mengalaml kegagalan, Mungkin sudah saatnya aku harus memberitahukan pada orang lain apa yang selama ini kucari..."

Berpikir begitu, akhirnya Bidadari Delapan Samudera buka mulut. "Nek... Aku telah memperkenalkan diri, kuharap kau tidak keberatan untuk sebuttkan diri!"

Si nenek cekikikan dahulu sebelum menjawab. "Aku biasa dipanggil Nenek Selir!"

Dahi Bidadari Delapan Samudera berkerut seraya berujar. "Apa panggilanmu masih ada hubungannya dengan apa yang pernah kau alami?!"

Perempuan tua yang sebutkan diri Nenek Selir kancingkan mulut beberapa lama dengan wajah berubah. Bidadari Delapan Samudera jadi tak enak. Gadis ini buru-buru sambung ucapannya.

"Nek... Harap dimaafkan. Bukan maksudku untuk..."

"Tak apa-apa, Anakku..." Nenek Selir sudah menukas. "Hidup adalah kenyataan. Kita tak mungkin bisa berlari menghindar! Nama panggilanku memang sesuai dengan hidup yang pernah kualami! Aku pernah mengalami hidup di dua sisi yng saling bertentangan! Tapi... Itulah hebatnya cinta. Kita bisa dibuatnya tidak peduli dengan keadaan apa saja! 

Namun, sebagai perempuan kadang-kadang kita terlalu telalu dalam buaian cinta. Hingga kita tidak sadar kalau tengah dijermuskan dalam kubangan yang paling dalam! Dan kita baru sadar jika kita sudah tidak bisa bangkit berdiri! Kita baru maklum kalau keadaannya sudah sangat terlambat! Hinggah apapun yang akan kita lakukan sudah tidak ada artinya lagi!"

Mendengar kata-kata Nenek Selir, Bidadari Delapan Samudera jadi tersedak seakan ikut terhanyut. Hinggah untuk beberapa lama dia berdiam diri tanpa buka mulut. Sementara si nenek tampak tengadah sambil usap wajahnya dengan telapak tangan kanan, Namun saat lain nenek berkain selempang warna hitam ini sudah perdengarkan tawa cekikikan seakan lupa dengan ucapan sendu yang baru saja dikatakan. Puas tertawa si nenek berpaling pada gadis dihadapannya dan berkata.

"Anakku... Perjalanan hidup telah menuntunku dapat menebak apa yang saat ini telah melanda dirimu! Kalau kau mau turut saranku, segerala selesaikan urusammu dengan jiwa besar! Jangan buang-buang waktu terombang-ambing dalam kebimbangan.... Kelak kau akan menyesal. Lebih baik kau menderita sekarang daripada ku nanti menderita memendam dendam seumur hidup!"

"Nek... Aku... Aku tidak punya urusan yang ada kaitannya dengan apa yang pernah kau alami!"

Nenek selir kembali tertawa cekikikan seraya geleng kepala. "Kau jangan berdusta, Anakku,... Saat ini hatimu tengah gelisah!"

"Nek... ucapanmu benar! Saat ini aku memang gelisah. Tapi urusannya bukan ada hubungannya dengan cinta..."

"Anakku... Kau boleh punya seribu alasan lain. Tapi seribu alasan itu tak bisa menenggelamkan rasa gelisahmu akibat perasaan cinta!"

Paras wajah Bidadari Delapan Samudera berubah merah padam. Dia menghela napas panjang. "Dalam perjalananku selama ini, aku tidak pernah gelisah. Kegelisahan ini baru muncul setelah aku bertemu dengan pemuda dari negeri sebarang itu! Padahal aku tahu... Dia sudah memiliki kekasih! Apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku?! Mengapa..."

Belum sampai Bidadari Delapan Samudera teruskan membatin, Nenek Selir sudah buka suara. "Anakku... Kau harus segera mengambil keputusan! Kalau tidak, urusanmu yang lain bakal berantakan!"

Bidadari Delapan Samudera gelengkan kepala. "Nek... Bagaimana aku harus mengambil keputusan?! Sedangkan aku belum bisa mengetahui apakah perasaan ini hanya ada pada diriku sendiri atau dia punya perasaan sama dengan diriku!"

Entah mengapa tiba-tiba Bidadari Delapan Samudera mau mengungkapan agak terus terang apa yang menjadi kegelisahan hatinya. "Tapi... Kurasa aku tak bisa melakukannya! Aku tau siapa dia!"

Ucapan Bidadari Delapan Samudera mendadak membuat Nenek Selir mendeilk. "Mengapa kau tak bisa melakukannya?! Kau ingin tersiksa selama hidupmu?! Kau ingin merasakan penderitan berkepanjangan?! Kau ingin tenggelam dan mati percuma karena dirajam perasaan cinta?!"

"Nek... Aku belum sejauh itu melangkah...!"

"Tapi langkahmu nantinya akan sampai ke sana juga! Sebelum terlambat, kau harus berani mengambil satu keputusan!"

"Nek... Terus terang saja. Belum lama berselang aku memang bertemu dengan seorang pemuda. Entah karena apa, pemuda ini terasa lain..."

"Itulah benih cinta" Nenek Selir sudah menyahut.

"Kalau benar, aku harus segera melupakannya!"

Nenek Selir terkejut, Belum sampai nenek ini buka mulut, Bidadari Delapan Samudera telah sambungi ucapannya. "Karen dia sudah memiliki kekasih!"

Dalam kagetnya, Nenek Selir ajukan tanya. "Kau yakin dia sudah mumiliki kekasih?!"

"Dia mengatakannya di depanku!"

Si nenek menggeleng. "Kau jangan menipu, Anakku... kalau benar keterangan itu, tak mungkin kau segelisah seperti saat ini! Kau menyembunyikan satu hal yang membuat hati mu masih bimbang!"

Bidadari Delapan Samudera kembali terdiam beberapa saat mendengar kata-kata Nenek Selir seraya arahkan pandangan ke juruaan lain, akhinnya Bidadari Delepan Samudera buka mulut.

"Nek... Aku tidak menipu! Dia memang telah mengatakannya didepanku! Hanya saja, ketika aku sempat bicara dengannya, dia mengatakan ucapanbya itu hanya satu alasan agar dia bisa ikut terlibat dalam menolongku dan gadis yang dikatakannya sebagai kekasihnya! Dia juga mengatakan kalau tidak punya hubungan apa-apa dengan gadis yang pernah disebutnya sebagai kekasih didepanku!"

"Kau percaya dengan ucapannya?!"

"Aku tak tahu, Nek... Dan itulah yang membuatku bimbang!"

"Alasanmu...?!"

"Dia berasal dari negeri di seberang laut. Dia tengah dalam perjalanan mencari satu tempat. Sementara gadis yang pernah disebutnya sebagai kekasih adalah gadis negeri ini. Dari sikap dan gelagatnya, aku bisa menduga, kalau dia belum terlalu lama berada di negeri ini...!"

"Jadi mustahil kalau dia sudah menjalin hubungan dengan gadis lain?!" lanjut Nenek Selir.

"Aku tidak berani mengatakan mustahil. Perasaan menusia setiap waktu berubah. Tidak perlu menunggu waktu lama!"

"Anakku... mendengar keteranganmu, aku jadi teringat pada apa yang pernah kualami pada beberapa puluh silam, waktu aku sebaya denganmu..."

"Lalu apa yang lakukan saat itu?!"

"Saat itu aku mengambil keputusan yang salah, Anakku... Aku berdiam diri terus tanpa mengambil tindakan apa-apa! Aku menungu dan menunggu dalam kebimbangan! Aku tidak berani berkata terus terang! Malah karena sudah tenggelam dalam arus kebimbangan, aku tidak percaya lagi saat pemuda yang kusukai mengatakan terus terang padaku kalau dia menyintaiku!"

"Lalu...?!" Bidadari Delapan Samudera segera menyahut ketika si nenek hentikan keterangannya agak lama.

"Aku baru benar-benar menyesal setelah tahu pemuda itu mengambil gadis yang selama ini membuat ku bimbang sebagai pendampingnya! Sialnya lagi, seak saat itu aku makin menyintainya! Dan hal itu membuatku makin tersuruk dalam liang cemburu yang tiada berkeputusan!"

Nenek Selir hentikan ucapannya sejenak. Dia menghela napas panjang dengan wajah ditengadahkan. Lalu menyambungi kata-katanya. "Dalamnya rasa cemburu membuatku makin tidak normal dalam mengambil satu keputusan. Hingga ketika satu saat aku bertemu lagi dengan pemuda yang ku cintai! 

Dan dia mengatakan masih mencintai dan mengharapkan diriku, tanpa pikir panjang lagi aku menyambutnya dengan dua tangan terbuka tanpa pedulikan siapa dia dan tanpa melihat bagaimana perasaan gadis pendampingnya! Aku hanya memikirkan diriku sendiri! Aku hanya mementingkan rasa senang sendiri. Hinggah aku tak sadar, kalau tindakan ku itu pada akhirnya mendatangkan malapetaka!"

Sepasang mata Nenek Selir tampak berkilat-kilat. Dagunya terangkat. Beberapa saat dia coba menindih hawa amarah. Lalu berucap dengan suara bergetar, "Kau tahu, Anakku.... Ternyata pernyataan pemuda yang kucintai itu hanya karena ingin menyakiti hatiku! Dia hanya mau membalas rasa sakit hatinya saat aku tidak percaya ketika dia menyatakan cintanya! Tapi kesadaranku sangat terlambat... Dan kau tahu apa akibatnya?!"

Bidadari Delapan Samudera gelengkan kepala perlahan. Masih dengan tengadahkan sedikit wajahnya, Nenek Selir buka mulut.

"Aku tersadar saat aku tenggelam dalam Indahnya cinta dan kasih sayarg! Hinggah aku tidak siap menerima bencana yang datang tiba-tiba. Aku laksana dihempaskan dari tempat yang sangat tinggi! Ketika aku dalam keadaan tertawa! Hingga bekasnya tidak lenyap sampai sekarang! Dan mungkin tidak akan bisa lenyap sebelum aku membunuh pemuda kekasihku itu!"

"Nek... Mengapa sampai sejauh itu?!" tanya Bidadari Delapan Samudera dengan mata menyipit.

***
TIGA
NENEK Selir tegak dengan tubuh sedikit bargetar. Suaranya serak tatkala berkata. "Aku telah berkorban segalanya! Bahkan aku tidak tersinggung orang mengatakan aku perempuan yang merebut laki-laki orang lain! Dan sejak saat itu pula orang sering memanggilku Si Selir! Tapi apa yang kudapat dari pengorbanan ku...?!"

Si nenek semburkan napas panjang. Lalu lanjutkan ucapan. "Kekasihku barkhianat! Dia berselingkuh dengan beberapa gadis lain. Dan meninggalkan aku ketika aku hamil besar!"

Bidadari Delapan Samudera kancingkan mulut rapat-rapat meski sebenarnya dia ingin ajukan tanya lagi! Di lain pihak, Nenek Selir gerakkan kedua tangan usap wajahnya yang basah berkeringat!

"Nek... Mengapa kau katakan semua ini padaku?!" Bidadari Delapan Samudera ajukan tanya setelah agak lama terdiam dan mendapati si nenek sudah dapat kuasai diri.

Nenek Selir memandang sesaat pada Bidadari Delapan Samudera. Lalu berkata pelan. "Awalnya melihatmu, membuatku teringat pada anakku!"

"Apa kalian jarang bertemu?!"

"Bukan hanya jarang... Tapi tidak pernah!"

Untuk kesekian kalinya Bidadari Samudera tampak terketut. Namun sebelum gadis ini sempat bertanya, si nenek sudah mendahului.

"Rasa kecewa yang berkepanjangan membuatku lupa segalanya! Yang ada di dalamm benakku saat itu hanyalah membunuh dan membunuh si penghianat jahanam ayah dari anakku! Hingga aku lupa tugasku sebagai ibu dari seorang anak!

Dia kutinggailgan begitu saja tanpa kuketahui siapa yang mengambilnya! Aku pergi sejauh mungkin untuk mencari seorang guru yang dapat memberi bekal ilmu dan aku bersumpah tidak akan kembali sebelum aku percaya dapat mengalahkan si penghianat dan beberapa perempuan yang saat itu membuat kekasihku berpaling!"

"Kau mendapatkan apa yang kau cari?!"

"Bekal untuk membunuh memang kudapatkan! Tapi sayang sekali. hingga saat ini aku belum bertemu dengan orang kucari! Tapi aku yakin, aku akan menemukannya sekaligus mencabut selember nyawanya!" 

"Bagaimana dengan anakmu...?!"

Wajah si nenek beruhah murung. Dia gelengkan kepalanya beberapa kali. "Aku juga telah berusaha menyirap kabar tentang keberadaan anakku. Tapi tampaknya belum juga kutemukan titik terang! Tapi sebagai seorang lbu, aku masih yakin bahwa suatu saat nanti aku pasti akan bartemu dengan anakku!"

"Nek... Kau tidak pernah bertemu dengan anakmu. Bagaimana kau yakin suatu saat akan bertemu?!"

"Tiap manusia dicptakan memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya! Itulah yang membuatku yakin dan merasa pasti! Anakku memiliki tanda yang tidak dimiliki orang lain!"

"Mau mengatakan padaku apa tanda yang dimiliki anakmu...?!"

Mendengar permintaan Bidadari Delapan Samudera, Nenek Selir tertewa ponjang. Bidadari Delapan Samudera melangkah maju satu tindak. Lalu berkata,

"Nek... Kau telah menceritakan perjalanan hidupmu padaku. Berarti kau telah memberi kepercayaan padaku. Tidak ada salahnya kalau sekarang kau juga memberi tahu padaku apa yang kuminta. Siapa tahu aku bisa membantu sebagai imbalan atas kepercayaan yang telah kau berikan!"

"Anakku..." kata Nenek Selir sambil geleng kepala. "Kuceritakan perjalanan hidupku bukan dengan maksud mencari imbalan apalagi minta bantuan. Aku hanya ingin agar kau tidak mengalami nasib yang sama seperti apa yang pernah kurasakan! Karena aku memiliki anak perempahan sepertimu... Dan lebih dari itu, aku menangkap kebimbangan dalam dirimu seperti apa yang pernah menimpa diriku! 

Kau membutuhkan waktu untuk mengambil satu keputusan. Aku tak mau membebani dengan persoalan lain. Bahkan seandainya kau mau bercerita, aku dengan senang hati mau mendengarkan. Berjalan seorang diri, tentu kau punya tujuan sangat penting.... tidak keberatan membagi cerita denganku....?!"

Bidadari Delapan Samudera terdiam beberapa lama. Diam-diam gadis jelira ini membatin. "Nasib yang dialaminya hampir sama dengan perjalanan yang kini tengah terjedi atas diriku. Sebaiknya aku bercerita padanya. Siapa tau dia bisa membantu..."

Membatin begitu, Bidadari Delapan Samudera lepaskan pandangan jauh ke depan, lalu berucap. "Nek... Aku memang punya tujuan sangat penting... Saat ini aku tengah mencari seseorang. Tapi orang yang kucari tidak kuketahui siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya! Aku hanya tahu tanda-tandanya...."

"Anakku... Rupanya suratan takdir kita hampir sama. Yang kau cari laki-laki-laki atau perempuan?!"

"Laki-laki..."

"Hubunganmu dengannya...?!"

Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. "Aku tak tahu pasti... Yang jelas dialah satu-satunya orang yang dapat membuka rahasia hidupku!"

Nenek Selir jerengkan mata dengan dahi berkerut. "Tampaknya bebanmu sangat berat, Anakku... Rahasia apa sebenarnya yang menyelimuti hidupmu?!"

"Hingga sebesar ini, aku tidak tahu siapa kedua orangtuaku!"

Nenek Selir tersentak kaget. Tanpa sadar dia melompat dan tegak hanya beberapa langkah dihadapan Bidadari Delapan Samudera. Lalu bertanya. "Lalu selama ini kau bersama siapa?!"

"Aku hidup bersama seorang kakek...!"

"Dia yang menyuruhmu mencari laki-laki yang tidak kau ketahui nama dan tempat tinggalnya itu?!"

Bidadari Delapan Samudera anggukkan kepala. Si nenek memperhatikan dengan seksama. "Aku menangkap gelagat tidak beres dalam urusanmu, anakku... Mengapa kakekmu menyembunyikan sesuatu yang seharusnya kau ketahui?!"

"Itulah yang selama ini juga mengganjal dihatiku. Bukan hanya itu saja! Begitu aku bertemu dengan orang yang kucari, aku punya dua tugas! Selain mengorek keterangan tentang kedua orangtuaku, aku juga harus membunuhnya!"

"Gila... Ini tindakan gila!" seru Nenek Selir. "Aku memang bukan orang baik-baik! Aku juga punya dendam dengan beberapa orang! Tapi aku tidak akan memindahkan tanggung jawab pada Orang lain! Siapa kakek mu itu?!"

Bidadari Delapan Samudera menggeleng. "Nek... Biarlah urusan ini kuselesaikan sendiri..."

"Kau akan laksanakan kedua tugas itu?!"

"Aku tidak bisa memastikan! YAng penting buatku, aku harus dapat menemukan orang yang kucari dan mendapat keterangan tentang kadua orangtuaku! Selebihnya aku akan menimbang!"

"Bagus.... Sakarang aku tanya. Apa tanda-tanda orang yang kau cari?!"

"Ibu jari kaki kanannya megenakan sebuah cincin dari batu giok berwarna hijau!"

"Apa?! Kaki kanannya mengenakan cincin batu giok berwarna hijau!" ulang Nenek Selir dengan suara tinggi.

Bidadari Delapan Samudera mengangguk. "Mengapa, Nek...?! Kau mengenalnya...? Dimana aku bisa bertemu dengannya?!"

"Kau jangan main-main Anakku..."

"Kau telah menceritakan perjalanan hidupmu padaku. Aku percaya semua ceritamu benar adanya! Layakkah aku berkata dusta atau main-main padamu?!"

"Gila... ini benar-benar gila! Aku makin curiga dengan kakekmu! Jelas dibalik perintahnya, dia sembunyikan sesuatu! Aku tak tahu apa, yang pasti kau harus berhati-hati!"

"Nek... sebenarnya ada apa?! Mengapa kau sepertinya tidak percaya?!"

"Anakku... Kau tahu siapa sebenarnya orang yang tengah kau cari?!"

"Siapapun dia adanya, yang pasti aku harus bertemu dan dia harus memberi keterangan!"

"Anakku... kalau memang dia yang cari, aku dapat memastikan kau akan menemukannya! Tapi bukan itu urusannya. Yang jadi masalah. Mungkinkah dia nanti dapat membuka tabir hidupmu?! Kusaran... jika kau nanti bertemu dengannya, harap jangan kau laksanakan tugasmu yang kedua!"

"Mengapa, Nek...?!"

"Orang yang kau cari adalah seseorang yang memiliki sebuah cincin dari Sepasang Cincin Keabadian! Sepasang Cincin Keabadian yang dahulu dikenakan oleh Dewi Keabadian. Dengan cincin itu, siapa pun saja akan berpikir dua kali untuk menghadapinya!"

"Nek... seperti kukatakan tadi. Yang terpenting buatku sekarang adalah menemukan orang itu! Urusan selanjutnya, aku masih akan mempertimbangkan dan melihat keadaan... Sekarang harap kau mau memberi petunjuk dimana aku bisa bertemu orang itu!"

"Aku tak dapat mengatakan dengan pasti dimana kau dapat menemukannya! Aku hanya bisa mengatakan namanya! Dia adalah Datuk Kala Sutera! Seorang pemuda berusia kira-kira tigapuluh tahunan. Dia tampan dan gagah... Dia sering mengenakan jubah panjang hitam..."

Bidadari Delapan Samudera kernyitkan kening. "Seorang pemuda...?! Mungkinkah dia bisa membuka tabir rahasia hidupku?! Aneh... Jangan-Jangan nenek ini bercanda?!"

Tampaknya Nenek Selir dapat membaca sikap orang. Hingga sebelum Bidadari Delapan Samudera utarakan apa yang ada dalam benaknya, si nenek sudah buka mulut.

"Anakku... Aku tahu. Mungkin kau menduga keteranganku tidak benar!" Si nenek tertawa dahulu sebelum melanjutkan. "Tapi begitulah adanya. Datuk Kala Sutera adalah seorang pemuda! Tapi jangan heran kalau ku katakan. Walau dia tampak masih muda, namu usia sebenarnya lebih dari yang terlihat! Inilah salah satu kehebatan dari cincin yang dikenakan!"

"Terimakasih atas keteranganmu, Nek... Tapi harap kau mau memberi penjelasan satu hal lagi. Tadi kau menyebut-nyebut Sepasang Cincin Keabadian. Berarti cincin itu ada dua! Siapa pemakai satunya lagi...!"

"Aku hanya pernah dengar tapi belum pernah tahu bukti. Menurut yang kudengar, cincin satunya dikenakan oleh seorang parempuan cantik yang dulu pernah dikenal dengan Bidadari Tujuh Langit!"

Saking kagetnya, Bidadari Dalapan Samudera tersurut satu tindak. Sepasang matanya membeliak. Saat lain dia bertanya. "Apa hubungan antara Datuk Kala Sutera dengan Bidadari Tujuh Langit?!"

"Konon, dahulu mereka adalah sepasang suami istri. Entah bagaimana ceritanya hingga mereka bisa mendapatkan Sepasang Cincin Keabadian yang semua orang tahu jika sepasang cincin itu adalah milik Dewi Keabadian. Dan entah bagaimana pula ceritanya, yang jelas mandadak saja pasangan suami-istri ini berpisah!"

Nenek Selir hentikan ucapannya. Lalu bertanya. "Aku lihat kau barubah! Ada apa, Anakku...?!"

Benar mereka berdua adalah pasangan suami istri?!" Bidadari Delapan Samudara bailk bertanya.

"APa untungnya aku mengada-ada cerita?!"

Bidadari Delapan Samudera gerakkan kepala menggeleng perlahan. Lalu berkata. "Nek... Aku pernah bertemu dengan Bidadari Tujuh Langit. Dia adalah perempuan yang tidak beres!"

Nenek Selir tertawa cekikikan. Lalu berucap. Dari keterangan mu, aku bisa memastikan jika perempuan yang kau temui adalah Bidadari Tujuh Langit! Sejak berpisah dengan suaminya, perempuan itu memang berubah! Dia lebih suka dengan perempuan daripada dengan laki-laki! Aku tak habis pikir! Apa enaknya suka dengan sesama jenis...? hiki hik hik! Lagipula dia tidak tahu? Suka dengan sesama jenis menimbulkan penyakit!"

Paras Bidadari Delapan Samudera berubah merah. Nenek Selir usap wajahnya. Lalu berkata.

"Anakku... Kembali pada pembicaraan kita semula. Mau kau mengatakan siapa pemuda yang sempat membuat hatimu gelisah tadi?!"

"Dia mengaku bernama Joko Sableng..."

"Katakan bagaimana manusianya?!"

"Dia tampan... Mengenakan pakaian putih-putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan. Parasnya agak lain dengan kebanyakan pemuda negeri ini!"

"Hem... Lalu siapa gadis yang dikatakan didepanmu sebagai kekasihnya namun kemudian disangkalnya!"

"Bidadari Pedang Cinta..." jawab Bidadari Delapan Samudera dengan suara berubah. "Mengapa kau bertanya nek?! Kau mengenal mereka?!"

Nenek Selir geleng kepala! "Aku belum pernah bertemu dengan mereka. Namanya juga baru kali ini kudengar! Joko Sableng... Bidadari Pedang Cinta... Hem... Kalau nanti bertemu dengan meraka, atau salah satunya, lebih-lebih pemuda itu, aku akan ber penjelasan!"

"Tapi hal itu bisa membuatganjalan terbesar dalam hidupmu! Kau akan terus dilanda kebimbangan! Apa kau ingin mengalami nasib sepertku, hah?!"

"Tapi..."

"Aku tahu bsgaimana menjelasan sekaligus minta keputusan! Dan aku tahu pula apa yang harus kulakukan kalau pemuda itu bicara berbelit-beli!"

"Nek... kuharap kau tidak melakukan apa-apa padanya..."

Kau mengkhawatirkan keselamatannya. Berarti kau telah jatuh cinta padanya! Aku tidak akan tinggal diam! Aku tak ingin perasaanmu disia-siakan begitu saja! Apalagi sampai dbuat main-main!"

"Nek...." Hanya itu suara yang terucap dari mulut Bidadari Delapan Samudera. Karena bersamaan dengan itu sosok Nenek Selir telah berkelebat dan saat lain telah berada jauh didepan sana.

"Apa yang harus kulakukan...?! Ini bisa menjad pembuka urusan dengan Bidadari Pedang Cinta! Sebenarnya aku tak ingin hal ini terjadi... Apalagi urusannya hanya berpangkal pada seorang pemuda! Tapi..."

Bidadari Delapan Samudera arahkan pandangan matanya jauh kearah mana tadi Nenek Selir berkelebat. Saat lain gadis jelita ini berkelebat dengan dada dibuncah berbagai ganjalan!

***
EMPAT
BERLARI kira-kira lima tombak, Nenek Selir berhenti. Kepalanya berpaling sesaat kebelakang. "Gadis itu tadi datang dari arah sebelah sana!" gumam si nenek seraya lepas pandangan kesatu arah. Saat lain dia sudah berkelebat lagi kearah mana dia tadi tahu datangnya Bidadari Delapan Samudera.

Setelah agak lama berlari, Nenek Selir menemukan aliran sungai. Si nenek putar pandangan. "Hem... Bekas tanah ini menunjukkan kalau beberapa orang baru saja berada ditempat ini... Kalau Bidadari Delapan Samudera berlari kearah sana, yang satunya pasti mengambil arah berlawanan!"

Berpikir begitu, tanpa menunggu lama lagi Nenek Selir teruskan berlari. Sepasang matanya dipentang besar-besar. Sementara telinganya dipasang baik-baik. Dia siasati jengkalan tempat yang dilewatinya dengan waspada.

Hingga pada satu tempat sepi, tiba-tiba nenek berkonde dua pedang yang pancarkan kilatan-kilatan aneh ini hentikan langkah lalu menyelinap dibalik satu batangan pohon tanpa membuat gerakan atau perdengarkan suara. Sepasang matanya liar memperhatikan kesatu batangan pohon sejarak sepuluh langkah diseberang depan.

Si nenek melihat seorang gadis berbaju hijau tengah duduk dengan punggung bersandar pada batangan pohon. Pandangan matanya lepas jauh kedepan. Sesekali dia menghela napas panjang. Tak jarang pula dia tampak hendak bergerak bangkit. Dan saat lain dia batalkan niat dan kembali duduk.

"Sikapnya ragu-ragu... Tapi jelas dia tidak tengah menunggu seseorang! Justru sepertinya dia hendak mengejar seseorang!" bergumam Nenek Selir. Lalu perhatikan sekali lagi gadis yang duduk bersandar pada batangan pohon.

"Hem... melihat paras gadis itu, mengingatkanku pada Bidadari Delapan Samudera... Mungkinkah dia gadis yang ada kaitannya dengan urusan Bidadari Delapan Samudera?! Ah... Dia sudah berada didepan mataku. Untuk apa aku bertanya-tanya?!"

Berpikir begitu, Nenek Selir segera berkelebat keluar dari balik batangan pohon. Dan sekali membuat gerakan melompat, serta merta membawa sosoknya sudah tegak hanya beberapa langkah dihadapan gadis berbaju hijau!

Si gadis tersentak kaget dan bergerak bangkit. Tanpa melihat tampang orang, dia segera membentak. "Siapa kau?!"

Nenek Selir tertawa cekikikan. Bola matanya menatap liar pada sosok gadis dihadapannya dari ujung rambut sampai ujung kaki!

Gadis yang dipandangi pentang mata. Lalu balas memandang pada orang didepannya! Paras wajahnya tampak sedikit berubah ketika mendapati keangkeran orang. Namun si gadis cepat kuasai diri dan saat lain tampangnya berubah agak garang ketika mendapati tatapan mata orang.

"Jangan-jangan nenek ini punya perilaku tak beres seperti Bidadari Tujuh Langit!" si gadis mendesis. Rahangnya terangkat. Lalu kembali perdengarkan bentakan.

"Siapa kau?!"

"Itu akan kujawab nanti!" jawab Nenek Selir. "Sekarang aku ingin tanya. Apa yang tengah kau lakukan ditempat ini?! Dari sikapmu, dari rona air muka mu, tentu kau tengah mengalami suasana hati yang tidak enak. Benar?!"

Yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya makin pentangkan mata. Namun cuma sekejap. Saat lain dia purar pandangan kejurusan lain dengan paras berubah.

"Aku jarang tepat menduga. Tapi kali ini aku yakin dugaan ku tidak akan meleset jauh!" Berkata Nenek Selir lalu ikut-ikutan alihkan pandangan kejurusan lain. "Saat ini kau tengah didera rasa galau akibat cinta!" 

Wajah si gadis tersentak dan berpaling lurus menghadap Nenek Selir. Mulutnya bergerak membuka. Tapi sebelum suaranya terdengar, si nenek sudah buka suara lagi.

"Sepertinya kita pernah bertemu... Aku tak tahu kapan dan dimana. Tapi jelas kita pernah berjumpa..." si nenek tersenyum lalu tertawa cekikikan.

"Nek... harap katakan terus terang. Apa maumu sebenarnya?! Kau boleh berkata kita pernah bertemu. Tapi harap kau ingat. Aku yakin belum pernah bertemu denganmu!"

Si nenek putuskan cekikikan. Kepadanya bergerak menggeleng saat dia berkata. "Anak cantik... Kalau tidak salah, bukankah kau Bidadari Pedang Cinta...?!"

Gadis berbaju hijau dihadapan Nenek Selir terlonjak kaget. Dia pandangi sekali lagi Nenek Selir. Lalu memperhatikan dirinya. Diam-diam gadis ini berkata dalam hati. "Mungkin dia hanya menduga-duga melihat dari pedang lentur dipinggangku... Tapi bagaimana dugaannya bisa tepat?! Aku tak ingat. Memang pernah bertemu dengan nenek ini atau belum..."

Di lain pihak, melihat gelagat orang, si nenek sudah maklum. "Hem... Seandainya pemuda bernama Joko Sableng itu ada disini juga, tentu urusannya akan segera selesai!"

"Nek! Kau telah tahu siapa aku. Harap sekarang kau katakan apa maksudmu?!" kata gadis berbaju hijau ang bukan lain ternyata Bidadari Pedang Cinta adanya.

Seperti diketahui, karena khawatir dengan keselamatan Pendekar 131, Bidadari Pedang Cinta segera minta izin pada eyangnya, Iblis Pedang Kasih. Tapi Bidadari Pedang Cinta tidak mau berterus terang. Dia hanya mengatakan hendak menyusul Bidadari Delapan Samudera karena masih ada sesuatu yang lupa dibicarakan.

Di pinggiran sungai, Bidadari Pedang Cinta menemukan Pendekar 131. Tapi gadis ini jadi sedikit kecewa, karena saat itu murid Pendeta Sinting bersama Bidadari Delapan Samudera. Dia hendak berlalu. Tapi sebelum sempat bergerak, Bidadari Delapan Samudera berkelebat terlebih dahulu meninggalkan pinggiran sungai.

Bidadari Pedang Cinta jelas menangkap sikap cemburu pada diri Bidadari Delapan Samudera. Karena tak mau terjadi urusan, Bidadari Delapan Samudera pergi. Bidadari Pedang Cinta segera pula berkelebat pergi.

Tapi murid Pendeta Sinting menghalangi. Sempat terjadi adu mulut. Pendekar 131 akhirnya menjelaskan apa hubungannya dengan Bidadari Delapan Samudera. Walau belum percaya, namun Bidadari Pedang Cinta sempat bernapas lega. Bahkan ketika dia berkelebat pergi, setelah memberi petunjuk pada Joko, dia sebenarnya ingin sekali Pendekar 131 mencegahnya lagi. Tapi lagi-lagi gadis cucu Iblis Pedang Kasih ini sedikit kecewa, karena murid pendeta Sinting tidak berusaha mencegah kepergiannya.

Bidadari Pedang Cinta teruskan berlari. Lalu di satu tempat dia berhenti dan duduk bersandar pada satu batangan pohon. Dia duduk termenung dengan dada dilanda perasaan ragu-ragu. Dan mungkin tak tahu mana yang harus dilakukan, Bidadari Pedang Cinta hanya duduk sambil bersandar tanpa melakukan apa-apa. Hingga muncul Nenek Selir.

"Anak cantik... Aku tidak punya maksud apa-apa..." Nenek Selir berkata menjawab ucapan Bidadari Pedang Cinta.

"Kalau begitu, harap tinggalkan tempat ini. Aku ingin sendirian!" ujar Bidadari Pedang Cinta dengan suara agak ketus, karena sebenarnya gadis ini masih hanyut oleh perasaan kecewa dan ragu-ragu akan semua ucapan murid Pendeta Sinting.

"Aku akan pergi... Tapi aku minta kau jawab dengan jujur pertanyaanku!"

"Nek!" teriak Bidadari Pedang Cinta sedikit keras. "Kau bilang tak punya maksud apa-apa. Sekarang kau bilang akan pergi, tapi dengan memasang syarat!" Entah mengapa tiba-tiba saat itu Bidadari Pedang Cinta teringat kembali akan peristiwa dengan Bidadari Tujuh Langit. Dada cantik gadis berbaju hijau ini jadi terbakar. Sambil kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya, dia membentak.

"Kau tak akan mendengar jawaban apa-apa dari mulutku!"

"Kalau begitu, aku juga tak akan pergi dari tempat ini!" sahut Nenek Selir seraya cekikikan.

"Siapa kau sebenarnya?! Jangan-jangan kau masih kaki tangannya Bidadari Tujuh Langit!

Mendengar ucapan Bidadari Pedang Cinta, Nenek Selir tegakkan wajah mendongak. Saat bersamaan dia perdengarkan tawa cekikikan panjang. Dua buah pedang yang bersilangan pada sanggulan rambutnya tampak bergerak-gerak kiblatkan kilatan-kilatan aneh. Lalu terdengar deruan-deruan halus dari gerakan dua buah pedang itu.

Sikap orang membuat Bidadari Pedang Cinta tak mau berlaku ayal. Dia lipat gandakan tenaga dalam pada kedua tangannya. Lalu membentak. "Aku ingatkan sekali lagi! Lekas tinggalkan tempat ini!"

Nenek Selir putuskan tawa cekikikannya. Memandang sesaat pada Bidadari Pedang Cinta seraya menggeleng dsn berujar kalem. "Aku beritahukan sekali lagi... Aku akan pergi begitu aku mendapatkan jawaban dari pertanyaanku..."

Bidadari Pedang Cinta sudah hendak buka mulut lagi. Tapi si nenek mendahului. "Kau kenal dengan pemuda tampan bernama Joko Sableng?!"

Bidadari Pedang Cinta batalkan niat buka mulut. Matanya memperhatikan lebih seksama pada nenek dihadapannya. Karena tak mau terkecoh, akhirnya dia menjawab. "Aku banyak bertemu dengan beberapa orang pemuda tampan. Hingga aku lupa apakah aku kenal dengan pemuda yang kau sebutkan atau tidak! Lagipula aku tidak terbiasa menghapal nama-nama pemuda yang sempat kukenal!"

"Bagaimana dengan Bidadari Delapan Samudera?!" tanya Nenek Selir dengan tetap tersenyum.

Dada Bidadari Pedang Cinta berdebar tidak enak. "Pertanyaan orang ini aneh... Siapa dia sebenarnya?! Apa maksud pertanyaannya?! Apa hubungannya dengan pemuda bernama Joko Sableng dan gadis bernama Bidadari Delapan Samudera itu?!"

Selagi Bidadari Pedang Cinta membatin begitu, si nenek buka suara lagi. "Kalau kau keberatan menjawab, aku tidak memaksa. Kau juga boleh mengatakan beberapa alasan. Tapi satu hal yang harus kau tahu. Kau mengenal dua orang yang namanya baru kusebut! Dan sekarang kau jawab pertanyaanku. Benar kau adalah kekasih pemuda bernama Joko Sableng itu?!"

"Pertanyaanmu aneh... Aku tak mau menjawabnya!" sergah Bidadari Pedang Cinta dengan raut merah dan dada berdebar keras.

"Kau tidak akan menyesal...?!" tanya Nenek Selir.

"Ucapanmu mengherankan! Ada apa dibalik pertanyaanmu?!"

"Kau tak akan memperoleh jawaban sebelum kau jawab dulu pertanyaanku!"

"Ah... Ini adalah urusanku! Mengapa harus kukatakan pada orang lain yang belum kuketahui siapa dan apa maksudnya?!" Membatin Bidadari Pedang Cinta. Lalu berkata.

"Nek... Kalau kau tak mau menjawab, aku juga tidak memaksa. Dan perlu kau tahu, tidak seorang pun berhak tahu urusan ini!"

"Hem... Begitu? Baik. Sekarang kuharap kau tidak keberatan mengatakan kemana perginya Joko Sableng?!"

"Kalau nenek ini terus disini, aku bisa tak dapat menahan sabar..." guman Bidadari Pedang Cinta. Lalu berpikir sesaat sebelum akhirnya berkata.

"Aku tak tahu kemana perginya pemuda itu! Dia hanya bertanya padaku letak Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai!"

"Dan kau memberinya petunjuk yang benar?!"

Bidadari Pedang Cinta anggukkan kepala. Lalu berujar. Tapi jangan salah tafsir. Kalau aku memberi petunjuk yang benar padanya. Bukan berarti aku punya hubungan dengan pemuda itu!"

Nenek Selir tertawa. Tanpa berkata apa-apa lagi dia balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan Bidadari Pedang Cinta yang makin dilanda ragu-ragu dan bingung!

***
LIMA
SEBELUM kita ikuti kemana perginya Nenek Selir, kita kembali dulu pada pinggiran sungai didekat hutan bambu, salah satu aliran sungai yang harus dilalui jika orang hendak menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.

Saat itu Pendekar 131 adalah orang yang pertama mencapai pinggiran sungai karena dia yang berkelebat terlebih dahulu meninggalkan Dayang Tiga Purnama dan Datuk Kala Sutera. Begitu tegak dipinggiran sungai, Joko terlihat ragu-ragu. Sepasang matanya melihat sebuah sampan yang pernah ditumpanginya saat menyeberang bersama Paduka Seribu Masalah.

"Apa aku harus menunggu? Atau lebih baik ku tinggal saja mereka berdua...?!"

Baru saja membatin begitu, satu desiran halus menderu disebelah kanannya, Joko mendelik. Ternyata Dayang Tiga Purnama sudah tegak disitu dengan memandang juga pada sampan dipinggiran sungai. Lalu gerakkan wajah perlahan menoleh pada murid Pendeta Sinting. Belum sempat gadis ini buka suara, satu sosok tubuh lain telah tegak tidak jauh dari tempat tegaknya Pendekar 131. Dia tidak lain adalah Datuk Kala Sutera. Dayang Tiga Purnama urungkan niat buka mulut.

"Apa yang kalian tunggu?!" Datuk Kala Sutera bertanya. Matanya melirik pada Dayang Tiga Purnama.

Murid Pendeta Sinting melirik pulang balik pada Dayang Tiga Purnama dan Datuk Kala Sutera. Tanpa buka suara lagi, dia segera berkelebat melayang turun dan tegak diatas sampan.

Dayang Tiga Purnama tidak tinggal diam. Dia segera melayang turun meyusul dan saat lain telah tegak pula diatas sampan dibelakang murid Pendeta Sinting. Datuk Kala Sutera memandang beberapa saat. Namun sejauh ini pemuda berjubah hitam panjang ini tidak melakukan gerakan apa-apa. Dia tetap tegak berdiri di pinggiran sungai.

"Rupanya dia tidak mau menyeberang bersama-sama!" mendesis Pendekar 131. Dia tengadah memandang sesaat pada Datuk Datuk Kala Sutera. Saat lain dia gerakkan tangan. Sampai yang ditumpangi bersama Dayang Tiga Purnama bergerak menyeberangi sungai.

Begitu sampan berada ditengah sungai Dayang Tiga Purnama buka mulut. "Di sini aman untuk bicara, sekarang jelaskan semuanya!"

"Aku adalah Joko Sableng, Paduka Seribu Masalah adalah sahabatku..."

"Mengapa pemuda berjubah itu menyebutmu Paduka Seribu Masalah?!"

"Kemarin aku bertemu dengannya di hutan bambu itu. Dia mengatakan mencari Paduka Seribu Masalah. Entah karena apa mendadak dia menduga aku adalah Paduka Seribu Masalah. Karena kupikir dia bercanda, aku meladeninya bercanda pula. Tak tahunya akan begini jadinya!"

"Ada janji apa diantara kalian?!"

"Aku harus menjawab pertanyaannya...!"

"Apa yang ditanyakan...?!"

"Dia menanyakan dimana kelima anak perempuannya yang ditinggalkan pada enam belas tahun silam!"

"Aneh..." guman Dayang Tiga Purnama. "Mungkinkah semuda itu sudah memiliki anak? Malah pada enam belas tahun silam...?"

"Itu belum aneh. Yang aneh, dia lupa siapa istrinya!"

Dayang Tiga Purnama terlengak. "Jangan-jangan pemuda ini bercanda dengan semua keterangan tadi!" katznya dalam hati. Lalu buka mulut.

"Kau jangan bercanda...!"

"Aku sudah mengalami nasib sial dan bahkan harus terlibat dalam urusan gila karena becanda. Mana sekarang aku berani bercanda lagi!"

"Hem... Lalu mana sahabatmu yang aneh itu?!"

Pendekar 131 tidak segera menjawab. Justru pada saat itulah dia teringat pada Paduka Seribu Masalah dan ucapan-ucapannya. Seraya telengkan kepala kearah si gadis yang tegak dibelakangnya, Joko buka mulut.

"Aku sama sekali tidak menduga kalau kau telah mengenal Datuk Kala Sutera. Bukannya aku ingin tahu banyak urusanmu dengannya. Tapi tidak merasa keberatan bukan, kalau kau menjawab pertanyaanku yang ada hubungannya dengan pemuda itu?!"

Dayang Tiga Purnama tidak menyahut. Sebaliknya mendelik besar dengan alihkan pandangan kejurusan lain.

Joko tersenyum lalu arahkan pandangannya kedepan lagi lalu berkata. "Benar bukan Datuk Kala Sutera memiliki lima orang anak perempuan?!"

Tidak ada sahutan. Joko berpaling. Saat itulah Dayang Tiga Purnama membentak."Dengar! Aku tidak tahu siapa sebenarnya Datuk Kala Sutera!"

"Tapi..."

"Aku baru mengenalnya sesaat sebelum kau muncul!" Dayang Tiga Purnama sudah memotong sebelum Joko sempat lanjutkan ucapannya.

"Hem... Kalau begitu, kau mau membantuku!"

Lagi-lagi tidak terdengar sahutan. Joko berpaling lagi kebelakang. Saat itulah terlihat Dayang Tiga Purnama membuat gerakan melompat kebagian depan sampan. Saat lain kedua kakinya menjejak.

"Bleeppp" Bagian depan sampan terdorong kebawah. Aliran sungai muncrat. Bersamaan dengan itu sosok Dayang Tiga Purnama berkelebat dan tahu-tahu sudah tegak dipinggiran sungai dikawasan hutan bambu.

Di lain pihak, amblasnya bagian depan sampan, membuat Joko terhuyung-huyung. Namun murid Pendeta Sinting cepat sentakkan kedua kakinya ke lantai sampan. Sosoknya melenting satu tombak keudara. Begitu bagian depan sampan muncul lagi kepermukaan. Joko cepat melayang turun. Lalu menjejak bagian depan sampan yang baru muncul.

Untuk kedua kalinya bagian depan sampan amblas masuk kedalam aliran sungai. Saat yang sama sosok murid Pendeta Sinting berkelebat dan kejap lain sudah tegak menjajari Dayang Tiga Purnama.

"Kau mau membantuku, bukan?!" Joko langsung ajukan tanya.

Yang ditanya tidak langsung menjawab. Sebaliknya arahkan pandangan matanya ketengah aliran sungai. Joko ikut lepas pandang kearah mana mata Dayang Tiga Purnama tengah memandang. Kedua mata orang ini sesaat tak berkesip melihat bagaimana satu sosok tubuh tampak berkelebat diatas aliran sungai.

Sesekali kedua kaki orang ini menjejak permukaan air. Hebatnya aliran air sungai tidak semburat muncrat. Malah kelebatan sosok itu makin cepat sebelum akhirnya menjejak dipinggiran sungai sejarak lima belas langkah disamping tegaknya murid Pendeta Sinting dan Dayang Tiga Purnama.

"Hem... Dia tidak membekal ilmu tidak rendah... Bagaimana aku harus wmenghindar darinya untuk sementara waktu ini?!" membatin murid Pendeta Sinting sambil melirik kearah sosok yang baru saja menjejak diseberang sana dan bukan lain adalah Datuk Kala Sutera. Lalu memandang kearah Dayang Tiga Purnama dan kembali ajukan tanya.

"Kau mau membantuku, bukan?!"

Belum sampai Dayang Tiga Purnama buka mulut menjawab, mendadak satu sosok bayangan berkelebat. Orang pertama yang berpaling adalah Datuk Kala Sutera. Disusul Dayang Tiga Purnama. Sementara Pendekar 131 tampak berpaling perlahan-lahan. Dia berharap yang muncul adalah Paduka Seribu Masalah. 

Namun murid Pendeta Sinting menghela nafas panjang ketika matanya melihat seorang nenek berpakaian kain salempang kain hitam. Berambut putih disanggul tinggi yang dihias dengan dua pedang. Nenek ini tidak bukan adalah Nenek Selir.

Untuk beberapa saat untuk beberapa saat lamanya kepala si nenek bergerak kearah satu persatu kepada ketiga orang disitu. Lalu berhenti pada sosok Datuk Kala Sutera.

"Ada apa manusia satu ini berada disini?!" Mata si nenek bergerak liar. Lalu berhenti pada kaki kanan sang Datuk. "Hem... Cincin itu masih dikenakan!" Habis membatin begitu, mata si nenek bergerak kearah Dayang Tiga Purnama dan murid Pendeta Sinting yang tegak disamping si gadis. Mendadak mata si nenek mendelik angker. Entah sadar atau tidak, bersamaan itu kaki kanannya terangkat lalu dibantingkan ketanah. 

Buukkk!

Joko dan Dayang Tiga Purnama tersentak kaget... meski yang dilakukan si nenek hanya hentakkan kaki kanannya, Namun baik Joko ataupun Dayang Tiga Purnama dapat merasakan getaran hebat pada tanah yang dipijaknya! Malah Dayang Tiga Purnama harus buru-buru kerahkan tenaga dalamnya untuk kuasai diri agar sosoknya tidak bergerak terhuyung!

Sosok dan pandangan si nenek membuat Dayang Tiga Purnama sedikit geram. Namun karena menduga sikap si nenek akibat keberadaannya dengan murid Pendeta Sinting, Dayang Tiga Purnama segera berpaling pada Joko dan membentak.

"Siapa nenek itu?! Kekasihmu?!"

Ucapan Dayang Tiga Purnama membuat murid Pendeta Sinting menahan tawa. Namun karena tak bisa menahan, kejap lain suara tawanya meledak. Nenek Selir makin melotot. Bukan saja karena ledakan tawa Joko, melainkan juga bentakan suara Dayang Tiga Purnama ydng menuduh.

"Berparas tampan. Berpakaian putih-putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan. Wajahnya lain dengan pemuda negeri ini. Hem... Pasti pemuda itu manusianya yang bernama Joko Sableng! Apalagi ini adalah kawasan yang menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai!" Nenek Selir menduga. Sepasang matanya berkilat laksana dikobari api.

"Dasar laki-laki tak tahu di untung! Yang disana dibuatnya gelisah dan bimbang... Tapi disini dia enak-enakan dengan gadis lain! Dan gendaknya itu!" Mata si nenek lurus menusuk kearah Dayang Tiga Purnama. "Seenaknya sendiri dia menuduhku sebagai kekasih pemuda sialan itu! Belum lega kalau kedua tanganku belum menampar mulut kedua manusia itu!"

Dilain pihak, mendapati Joko tertawa bergelak, Dayang Tiga Purnama makin geram. Dia menyeringgai dingin lalu berkata. "Kekasihmu telah datang menjemput! Jangan bikin dia jadi cemburu padaku! Lekas angkat kaki dari sampingku!"

Mendengar kata-kata Dayang Tiga Purnama, Joko putuskan ledakan tawanya. Mulutnya dikembungkan lalu berpaling. Tangannya kanannya diangkat lalu ditunjukkan kearah si gadis. Saat lain mulutnya semburkan ledakan tawa lagi.

Nenek Selir laksana kesurupan. Dengan hantamkan kaki kiri, dia melompat dan tegak lima langkah dihadapan murid Pendeta Sinting dan Dayang Tiga Purnama. Untuk kedua kalinya, Joko dan Dayang Tiga Purnama rasakan tanah tempat pijakannya bergetar hebat. Tanah yang terhentak kaki kiri si nenek muncrat keudara membentuk satu lubang menganga.

Begitu tegak, sepasang mata si nenek langsung menyengat tajam pada sosok Dayang Tiga Purnama. Sebelum nenek ini buka mulut, Joko hentikan tawa. Memandang sesaat pada Nenek Selir, lalu berpaling pada Dayang Tiga Purnama dan berkata.

"Kau mengenal siapa nenek itu?!"

"Aku sebenarnya yang bertanya siapa adanya nenek itu?! Bukan kau!" sahut si gadis dengan tampang cemberut. "Dia tampak cemburu melihat kau tegak disampingku! Kau pasti sudah mengenalnya?!"

"Ah... Tampaknya kau juga suka bercanda... Sayang, seandainya aku tidak mengalami nasib sial akibat bercanda, mungkin...!"

Belum sempat Joko lanjutkan ucapan, Nenek Selir sudah buka mulut. "Gadis berbaju ungu! Apa hubunganmu dengan pemuda sialan itu, hah?!"

Dayang Tiga Purnama tersenyum dingin. Dia bukannya segera menjawab. Sebaliknya dia menoleh pada murid Pendeta Sinting dan berucap. "Siapapun kau adanya. Apapun hubunganmu dengannya, jawab pertanyaannya!"

Pendekar 131 gelengkan kepala. "Kau yang ditanya, mengapa jawabannya kau serahkan padaku?! Bukan aku takut menjawab, tapi aku khawatir salah ucap!"

"Aku tak akan menjawab sebelum aku tahu apa hubunganmu dengan nenek itu!"

"Jadi kau sudah pasrahkan jawabannya padaku?!"

Dayang Tiga Purnama tidak menyahut. Murid Pendeta Sinting arakan pandang matanya pada si nenek. Dengan tersenyum dia berujar. "Nek... Tidak keberatan kalau aku yang memberi jawaban?!"

Nenek Selir melotot pada Joko. Tangan kanannya diangkat diluruskan menunjuk pada Dayang Tiga Purnama seraya berucap lantang. "Aku bertanya pada gadismu itu! Kau nanti juga dapat giliran untuk menjawab pertanyaanku!"

Joko melirik pada Dayang Tiga Purnama. Lalu berbisik. "Kau telah dengar pendapatnya. Kuharap kau segera turuti permintaannya!"

"Kau juga telah dengar apa mauku! Aku tidak akan menjawab sebelum aku tahu apa hubunganmu dengannya dan siapa dia sebenarnya!" sambut Dayang Tiga Purnama.

"Dayang... Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Aku tidak mengenalnya!"

"Aku bukan hanya minta keterangan dari mulutmu! Tapi juga dari nenek itu!"

Pendekar 131 anggukkan kepala. Lalu memandang pada Nenek Selir dan berujar. "Nek... Kita tidak punya hubungan apa-apa, Bukan?! Dan rasanya kita baru pertama kali ini bertemu. Betul bukan?!"

"Hem... Pemuda ini tampaknya mau bersilat lidah! Manusia macam begini pantas diberi pelajaran!" si nenek membatin. Lalu memandang silih berganti pada Joko dan Dayang Tiga Purnama. Sebelum akhirnya berkata.

"Nyatanya mulutmu tidak bisa dipercaya seperti kebanyakan mulut laki-laki! Di depan gadis macam dia kau sudah berani berkata jika diantara kita tidak ada hubungan apa-apa! Bahkan kau berani lancang berkata kalau kita baru pertama kali ini bertemu!" si nenek pasang tampang kesal. Lalu tegakkan wajah mendongak dan lanjutkan ucapan.

"Baru tegak disamping gadis macam dia, kau sudah berani berpura-pura tidak mengenalku! Penutup macam apa yang digunakan gadis itu hingga penglihatanmu bisa buta?! Tali macam bagaimana yang diikatkan gadis itu ke lidahmu hingga kau bisa memutar lidah mengatakan kita baru kali ini bertemu?! Tahu kalau kau manusia begini, tidak mungkin aku menuruti semua permintaanmu! Aku menyesal! Aku menyesal! Kau dengar?!"

Saking kagetnya, murid Pendeta Sinting sampai surutkan langkah dua tindak kebelakang. Parasnya berubah tegang dengan mata tak berkesip mengawasi sosok si nenek.

"Sialan betul. Bagaimana ini?! Apakah aku memang pernah bertemu dengannya...? Tapi..." Joko gelengkan kepala. Lalu melangkah dua tindak dan melotot memperhatikan orang sekali lagi. "Aku yakin... Aku belum pernah bertemu dengan nebek ini! Tapi mengapa ucapannya tadi seperti menuduhku?!"

Selagi Joko dilanda kebingungan begitu rupa, Dayang Tiga Purnama angkat suara. "Sekarang jelas siapa kau sebenarnya! Kau tak lebih dari seorang pemuda yang suka mempermainkan orang! Sekarang jangan mimpi aku percaya semua keteranganmu tadi!"

"Waduh... Tampaknya akan bertambah lagi urusanku di tempat ini! Siapa sebenarnya nenek berselempang kain hitam itu?! Dan ada apa dibalik ucapannya?!" Pendekar 131 membatin dengan memandang pulang balik pada Dayang Tiga Purnama dan Nenek Selir. Saat bersamaan, si nenek luruskan kepala kearah Dayang Tiga Purnama dan berkata.

"Hai! Kita sama-sama perempuan! Kuharap kau mau berterus terang agar nantinya tidak terjadi salah paham!"

"Terus terang apa maksudmu?! bertanya Dayang Tiga Purnama.

"Hem... Tampaknya kau juga suka berpura-pura seperti pemuda geblek itu! Bukankah tadi kau kutanya apa hubunganmu dengannya!"

Ucapan si nenek membuat dada Dayang Tiga Purnama sedikit panas. Namun gadis ini coba menindihnya karena dia maklum bagaimana perasaan perempuan kalau dipermainkan. Maka dengan tanpa memandang pada Nenek Selir dia menjawab. "Aku baru mengenalnya. Aku tak punya hubungan apa-apa dengannya!"

Nenek Selir mendelik. Lalu membentak. "Kau jangan memutar balik lidah! Kelak kau akan menyesal seumur-umur!"

"Siapa memutar balik lidah! Aku memang baru mengenalnya!" Dayang Tiga Purnama balas membentak!

"Lalu mengapa kalian berdua enak-enakan disini?! Apa yang kalian lakukan?!"

"Aku tak akan menjawab pertanyaanmu! Dan perlu kau tahu, ini adalah kawasan tempat tinggalku!"

"Hem... Begitu?! Kau mengatakan tak punya hubungan apa-apa! Tapi kau tak mau menjawab apa yang kau lakukan ditempat ini. Mana mungkin aku percaya dengan ucapanmu?!"

"Aku tidak minta kau percaya! Yang jelas dia baru saja kukenal! Kalau tidak percaya, kau bisa bertanya padanya...!"

"Aku tidak akan percaya padanya! Aku sudah sering ditipu! Dan kau tahu...? Ini adalah tindakan kekurang ajarannya yang kesembilan belas kalinya!"

Dayang Tiga Purnama menoleh pada murid Pendeta Sinting dengan menyeringai kesal. Dia sudah akan buka mulut. Tapi si nenek mendahuluinya buka suara.

"Aku perlu penjelasan sekali lagi. Benar tidak ada hubungan apa-apa antara kau dengannya?!"

"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya! Dan kalaupun ada, pasti sejak saat ini semuanya kuanggap tidak pernah ada!"

Nenek Selir anggukkan kepala. Lalu alihkan pandangannya pada murid Pendeta Sinting. Tapi sebelum dia angkat bicara. Kali ini Joko sudah berkata.

"Nek... Jelaskan apa maksudmu sebenarnya!"

"Gila! Kau sudah berulang-ulang berlaku kurang ajar seperti ini! Masih beraninya kau buka mulut bertanya!"

Belum sampai ucapan si nenek selesai, sosoknya sudah melompat. Tangan kanan bergerak lepaskan pukulan kearah kepala murid Pendeta Sinting.

Pendekar 131 merasakan sapuan gelombang angin dahsyat. Jelas kalau pukulan si nenek tidak main-main. Joko tidak mau bertindak ayal. Dia buru-buru angkat kedua tangannya menghadang pukulan yang datang. 

Namun lima jengkal lagi terjadi bentrokan antara tangan si nenek dan kedua tangan Pendekar 131, mendadak satu sosok tubuh berkelebat. Satu gelombang angin berkiblat. Tangan murid Pendeta Sinting dan Nenek Selir mental kebelakang. Sementara Dayang Tiga Purnama segera melompat menghindar.

***
ENAM
NENEK Selir tegak dengan sosok bergetar pertanda marah karena ada orang ikut campur urusannya. Sepasang matanya mendelik laksana dikobari api. Rahangnya terangkat mengembung dan wajahnya yang pucat mengeriput berubah merah mengelam. Dalam marahnya dia sentakkan wajah berpaling. Si nenek melihat Datuk Kala Sutera tegak tidak jauh dari tempatnya dengan kepala tengadah. Si nenek segera buka mulut membentak.

"Kau berani turut campur! Apa maumu, hah?!"

Perlahan-lahan Datuk Kala Sutera gerakkan kepala menghadap Nenek Selir. Dengan wajah dingin dia berucap. "Kalau kau punya urusan dengan dia, kau harus menunggu satu setengah hari lagi!"

"Hem... Mengapa?!"

"Dia sudah mengikat satu janji denganku! Dan janji itu waktunya berakhir sampai satu setengah hari dimuka! Kecuali kalau dia mau menepati janjinya hari ini, maka kau boleh berlaku apa saja padanya saat ini juga!"

Nenek Selir kerutkan dahi. "Hem... Pemuda ini kudengar berasal dari negeri jauh diseberang laut. Anehnya mengapa dia sudah banyak punya silang sengketa dengan beberapa orang dinegeri ini?! Kalau dia sampai punya urusan dengan Datuk satu ini, pasti urusannya bukan masalah sembarangan! Heran... Apa sebenarnya peran pemuda asing ini?! Dan apa tujuan sebenarnya hingga jauh-jauh sampai datang ke negeri ini?!"

Mungkin karena penasaran dan hampir saja tidak percaya, Nenek Selir ajukan tanya. "Aku tahu siapa dirimu. Aku juga tahu seluk beluk hidupmu! Sekarang aku tanya. Kau tahu siapa adanya pemuda itu?!"

"Syukur kau telah tahu siapa aku! Hingga tak perlu lagi aku memberi ingat jika kau tengah berhadapan dengan siapa saat ini!" Datuk Kala Sutera hentikan kata-katanya sejenak. Menatap lekat-lekat pada orang sebelum akhirnya lanjutkan ucapan. "Aku memang tidak pernah bertemu denganmu. 

Tapi dari lagakmu, aku bisa menduga siapa kau adanya!" Datuk Kala Sutera tertawa pendek. Lalu alihkan pandangan kejurusan lain seraya sambung suara. "Tentang siapa adanya pemuda itu, aku tak akan ambil peduli! Yang jelas dia berjanji akan menjawab pertanyaanku!"

Mendengar keterangan Datuk Kala Sutera, meski dadanya mulai dipanggang, tapi nenek ini perdengarkan tawa dan berucap. "Kau tak peduli siapa adanya pemuda ini. Bagaimana mungkin dia nantinya dapat menjawab pertanyaanmu dengan benar?!"

"Itu urusannya! Kalau dia jawabannya tidak benar! Dia sudah menjaminkan selembar nyawanya!"

"Hem... Percuma kau menunggu sampai satu setengah hari! Aku yakin kau tak akan memperoleh jawaban yang benar! Karena aku tahu siapa adanya pemuda itu!"

"Aku tidak percaya dengan ucapanmu!"

"Jadi kau lebih percaya dengan ucapannya?! tanya si nenek seraya melirik pada murid Pendeta Sinting yang serba salah tak tahu apa yang harus diucapkan serta dilakukan.

"Adalah manusia bodoh yang tidak percaya dengan keterangan dan jawaban Paduka Seribu Masalah!" sahut Datuk Kala Sutera yang sampai saat itu masih menduga kalau Pendekar 131 adalah Paduka Seribu Masalah, meski dari apa yang terjadi, pemuda berjubah hitam panjang ini mulai ragu-ragu akan dugaannya. 

Mendengar ucapan Datuk Kala Sutera, Nenek Selir terlonjak hingga bahunya bergoncang keras dan dua buah pedang disanggulan rambutnya bergerak-gerak pancarkan kilatan aneh dan semburan gelombang. Saat lain nenek ini mendelik tak berkesip memperhatikan Joko dari ujung rambut sampai pangkal kaki seolah melihat setan gentayangan. Kejap lain tiba-tiba nenek ini perdengarkan tertawa cekikikan panjang!

Sementara itu mendengar pembicaraan orang, diam-diam Dayang Tiga Purnama membatin. "Keterangannya saat diatas sampan perihal urusannya dengan Datuk itu benar. Siapa pemuda ini sebenarnya?!" Dayang Tiga Purnama ingat keterangan murid Pendeta Sinting saat menyeberang sungai. "Lalu apa urusannya dengan nenek itu?! Mana yang benar diantara semuanya?!" Dayang Tiga Purnama menghela nafas karena dia tidak juga mendapatkan jawaban.

"Hentikan tawamu!" Tiba-tiba Datuk Kala Sutera menghardik. "Apa yang kau dengar lucu, hah?!"

"Mau dengar saranku?!" bertanya Nenek Selir setelah putuskan tawa cekikikanya.

"Aku tidak butuh saran! Aku datang mencari jawaban! Dan kau diluar urusan ini!"

Nenek Selir gelengkan kepala . "Tidak bisa begitu! Aku justru berada di dalam urusan ini!"

"Kalau begitu tunggu satu setengah hari lagi!"

Lagi-lagi si nenek gelengkan kepala. "Aku tak bisa menunggu! Kau tadi telah dengar ucapanku. Pemuda itu telah bertindak kurang ajar. Dan ini adalah kekurangajarannya yang kesembilan belas! Aku sudah cukup lama bersabar. Tapi saat ini tidak ada lagi pintu maaf baginya!"

"Itu urusanmu! Yang jelas siapapun juga tidak berhak mengusiknya sampai satu setengah hari dimuka! Jika tidak, berarti akan berhadapan denganku!"

"Hemm.... Begitu?! Boleh aku tahu apa pertanyaanmu yang memerlukan jawaban darinya?!"

Datuk Kala Sutera diam. Saat itulah mendadak murid Pendeta Sinting buka mulut.

"Dia menanyakan keberadaan lima orang anaknya...! Dia bilang, limanya anaknya lenyap tidak tentu rimbanya pada enambelas tahun silam! Anehnya, dia bilang lupa siapa nama istrinya! Dan kalau tidak keliru, dia juga sampai tidak ingat, istrinya seorang perempuan atau bukan!"

"Betul begitu?!" tanya si nenek sambil lempar pandangan pada Joko.

Joko anggukkan kepala. Sementara saat bersamaan, Datuk Kala Sutera berpaling pada murid Pendeta Sinting, pemuda berjubah hitam ini sudah hendak buka suara. Tapi Nenek Selir keburu mendahului.

Datuk Kala Sutera! Kuharap kau mengerti apa yang akan ku sampaikan!"

"Sampaikan saja! Tapi jangan mimpi aku mau mengerti! Karena sekali lagi kau adalah manusia asing dalam urusan ini!" sahut Datuk Kala Sutera tanpa memandang.

"Aku tidak akan menerangkan siapa adanya pemuda itu karena kau telah yakin dia adalah Paduka Seribu Masalah! Tapi kau harus tahu. Siapapun adanya dia, saat ini dia harus mempertanggungjawabkan tindakanya padaku!"

"Tindakan apa?!" tanya sang Datuk.

"Dia telah menghamili dua cucuku!"

Pendekar 131 laksana mendengar gledek disiang bolong. Hampi-hampir saja dia melompat kearah si nenek . Namun justru yang dilakukan adalah melompat mundur dengan tubuh bergetar dan mata terpejam rapat serta mulut menganga lebar!

Di pihak lain, Dayang Tiga Purnama tak kalah kagetnya. Gadis cantik ini gigit bibirnya kuat-kuat dengan dada laksana pecah. Pada mulanya, mulai tertarik dengan murid Pendeta Sinting. Bahkan karena mulai jatuh hati, dia dengan suka rela menceritakan siapa dirinya dan apa yang tengah menjadi ganjalan hatinya saat itu. Kepercayaannya sempat goyah ketika terjadi pertemuan antara dirinya, Joko, dan Datuk Kala Sutera ditambah dengan munculnya Nenek Selir.

Namun pernyataan Datuk Kala Sutera yang ternyata sama persis dengan keterangan Pendekar 131, membuat Dayang Tiga Purnama mulai mempercayai murid Pendeta Sinting lagi. Tapi begitu mendengar ungkapan Nenek Selir, gadis ini tak bisa menahan diri lagi. Dia mendesis marah.

"Dasar laki-laki keparat! Kalau saja dia tidak harus bertanggung jawab, mungkin tangan ku sendiri tak segan untuk melepas nyawanya!"

"Datuk..." Nenek Selir buka mulut setelah agak lama tidak ada yang dengarkan suara. "Kuharap kau mengerti dan memberi waktu. Saat ini kedua cucuku menunggu kelahiran! Aku sudah tebalkan wajah. dan tutup telinga akan gunjingan semua orang yang membicarakan bagaimana bisa kedua cucuku hamil bersama-sama! Sekarang mau dikemanakan wajahku kalau sampai saatnya lahir ternyata tidak kelihatan batang hidungnya manusia yang berbuat?! 

Aku hanya perlu mendatangkan dia dan menyatakan pada semua orang jika jabang bayi itu punya bapak! Setelah itu, terserah apa yang akan kau lakukan padanya! Aku tak peduli lagi! Kau mau bunuh silahkan! Yang pasti, pemuda macam dia memang terlalu enak jika langsung dicabut nyawanya!"

"Nek...! Kau bicara apa?! Aku tidak mengenalmu! Aku tidak menghamili kedua cucumu!" Pendekar 131 berjingkrak sambil berteriak.

"Kau dengar?! Dalam keadaan begini rupa dia masih juga berpura-pura! Seharusnya dia bersyukur! Padahal tanganku sendiri sudah gatal ingin menggebuknya seumur-umur!"

"Nek! Kau yang berpura-pura dengan lemparkan fitnah padaku! Bagaimana bisa kau mengatakan aku menghamili kedua cucumu kalau kenal saja tidak?!"

Disini bukan tempatnya berdebat! Aku akan tunjukkan buktinya padamu!"

Habis berkata begitu, Nenek Selir melompat kearah murid Pendeta Sinting. Namun sebelum sempat tangan si nenek menyambar lengan Pendekar 131, Datuk Kala Sutera sentakkan kedua tangannya.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Dua gelombang angin dahsyat berkiblat kearah Joko dan Nenek Selir membuat si nenek batalkan niat julurkan tangan yang hendak menggaet lengan Joko. Bahkan si nenek harus cepat surutkan langkah. Sementara Joko sendiri buru-buru melompat mundur tatkala merasakan dirinya tersapu gelombang.

"Dia tidak akan tinggalkan hutan bambu ini sebelum memberi jawaban yang benar padaku!" berkata Datuk Kala Sutera dengan dongakkan wajah.

"Hemm... Aku belum tahu pasti apa maksud nenek itu memfitnahku! Tapi hari ini bisa kubuat alasan untuk sementara menghindari Datuk Kala Sutera! Aku heran... Mengapa aku bisa terlibat dalam urusan tak karu-karuan begini rupa?!" Joko membatin. Lalu memandang pada Nenek Selir.

Di lain pihak, Nenek Selir sendiri diam-diam berkata dalam hati. "Aku makin penasaran dengan pemuda ini! Bagaimana bisa-bisanya dia mengaku sebagai Paduka Seribu Masalah...? Apa maksudnya bertindak begitu?! Pasti dia menyembunyikan sesuatu! Aku harus dapat membawanya pergi dari hutan ini!"

Membatin begitu, Akhirnya Nenek Selir buka mulut. "Datuk... Sekali lagi kumohon kau mau mengerti. Urusan jawaban yang kau cari mungkin bisa ditunda! Tapi apa yang terjadi dengan kedua cucuku, tak bisa ditawar-tawar lagi! Dan aku berjanji. Begitu urusan dengan cucuku selesai, aku akan serahkan dirinya padamu!"

"Aku tak mau urusanku disela orang! Apapun urusannya!"

"Kalau begitu..."

"Kalau begitu, apa?!" sentak Datuk Kala Sutera.

"Sekarang begini saja. Kita tanya bagaimana kesanggupan pemuda itu! Menyelesaikan urusanmu dahulu atau menuntaskan masalahnya dengan kedua cucuku!"

Mendapat kesempatan, Pendekar 131 menyahut. "Nek! Kau telah menebar fitnah tak benar padaku! Belum lega hatiku kalau aku tidak bisa membuktikan jika aku tidak berbuat seperti yang kau fitnahkan! Dan perlu kau tahu. Tanganku pun tak segan menggantung mu dengan kepala dibawah kaki diatas seumur-umur kalau ternyata fitnahanmu nanti tidak terbukti!"

"Hem... Berarti kau ingin tuntaskan urusan denganku dahulu?! Bagus!" kata nenek selir. "Kau tak usah khawatir! Kalau ternyata nanti ucapanku dusta, kau bukan saja bisa menggantungku kepala dibawah kaki diatas! Tapi aku akan memberikan sekalian dua belas cucuku padamu! Dan kalau masih kurang, aku masih memiliki tujuh anak gadis cantik-cantik! Semuanya nanti bisa kau ambil ! Kalau nenek dan ibunya secantik ini, kau bisa bayangkan bagaimana cucu dan anaknya!"

Sebenarnya murid Pendeta Sinting sudah ingin tertawa. Namun dia coba menahan diri meski perutnya menyentak-nyentak. Di lain pihak, mendapati kesepakatan orang, Datuk Kala Sutera segera buka suara.

"Aku tidak menawarkan apa-apa! Jadi jangan harap kalian bisa mengambil keputusan!"

"Ah... Itu urusanmu! Kau orang luar dalam kesepakatan ini!" kata Nenek Selir sambil senyum-senyum. Lalu berkata pada murid Pendeta Sinting.

"Sekarang kita buktikan ucapan siapa yang benar ikut dia!"

Laksana dikomando, hampir bersamaan, murid Pendeta Sinting dan Nenek Selir membuat gerakan berkelebat.

Dayang Tiga Purnama tampak tergagu diam tak tahu apa yang harus dilakukan, hingga akhirnya dia hanya bisa memandang. pada gerakan sosok si nenek dan Pendekar 131. Sementara Datuk Kala Sutera juga diam tak membuat gerakan apa-apa atau buka mulut. Namun sekonyong-konyong Datuk Kala Sutera sentakkan kedua kakinya ketanah. Selagi sosoknya mental ke udara, kedua tangannya bergerak. Tangan kanan lepas pukulan kearah murid Pendeta Sinting, tangan kiri lepas hantaman jarak jauh kearah Nenek Selir.

Wuuuttt! Wuuuttt!

Dari masing-masing tangan Datuk Kala Sutera melesat satu gelombang luar biasa dahsyat perdengarkan suara bergemuruh.

Pendekar 131 dan Nenek Selir putar diri ditengah jalan. Begitu membalik kedua orang ini hantamkan tangan masing-masing kedepan menghadang gelombang yang datang.

Bummm! Bummm!

Hutan bambu itu laksana diguncang gempa hebat. Beberapa rumpunbambu terlihat langsung semburat tercabut dari akarnya lalu tersapu amblas. Nenek Selir tersentak mundur beberapa langkah dengan paras berubah dan kedua tangan bergetar. Di lain pihak, Joko hampir saja terhuyung jatuh kalau saja tidak segera lipat gandakan tenaga dalam.

"Busyet! Tidak kuduga kalau tenaga dalamnya begitu dahsyat!" gerutu murid Pendeta Sinting karena memang dia tidak menyangka sama sekali kalau kelebatan kedua tangan Datuk Kala Sutera memiliki tenaga dalam luar biasa!

Sementara disebelah samping, sosok Dayang Tiga Purnama tampak berguncang keras setelah tersapu beberapa langkah kebelakang. Gadis ini juga sama sekali tidak menduga akan kedahsyatan bias bentroknya pukulan.

"Anak ini tampaknya membekal ilmu lumayan! Jika tidak, pasti sosoknya sudah terjengkang jatuh!" kata Nenek Selir dalam hati seraya memperhatikan kearah murid Pendeta Sinting.

Sedangkan Datuk Kala Sutera sendiri melayang turun dari udara dengan kepala tengadah. Sosoknya memang sempat terdorong beberapa langkah. Tapi sama sekali pemuda ini tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan. Malah saat lain, tanpa memandang pada orang, pemuda berjubah hitam panjang ini berteriak.

"Sekarang aku bukan saja membutuhkan jawaban yang benar! Tapi juga nyawa busuk kalian berdua!"

Begitu ucapannya selesai, Datuk Kala Sutera putar diri setengah lingkaran. Saat lain kedua tangannya menyentak!

Wuuuttt! Wuuuttt!

Bersamaan dengan berkelebatnya kedua tangan Datuk Kala Sutera, mendadak tempat ini laksana ditelan kegelapan malam! Di susul dengan terdengarnya suara deruan dahsyat yang datang dari segala penjuru mata angin!

"Badai Sembilan Malam! Tampaknya manusia itu telah mempelajarinya dengan sempurna!" kata Nenek Selir mengenali apa yang dilakukan Datuk Kala Sutera. Kejap lain dia berkelebat kearah mana tadi murid Pendeta Sinting tegak berdiri.

Sementara itu, ketika kegelapan menyungkup, untuk beberapa saat Pendekar 131 tampak kebingungan apalagi disusul dengan terdengarnya suara deruan dahsyat yang seolah datang dari segala penjuru mata angin.

Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Joko kerahkan tenaga dalam memutuskan lepas pukulan sakti 'Lembur Kuring'. Lalu putar diri menghadap kearah mana dia menduga Datuk Kala Sutera berdiri tegak.

Saat itu juga kedua tangan murid Pendeta Sinting pancarkan cahaya sinar kekuninga. Namun belum sampai dia hantamkan kedua tangan, mendadak lengannya dipegang orang. Joko hendak pukulkan tangan satunya. Karena menduga si pemegang lengannya adalah Datuk Kala Sutera. Namun baru setengah jalan, mendadak terdengar suara.

"Jangan bodoh! Lekas lari dari tempat ini!"

Joko urungkan niat pukulkan tangan. Dia tahu siapa yang pegang lengannya dan menegur. Namun dia tidak juga segera lakukan apa yang diucapkan orang.

"Sialan!" maki orang yang memegang lengan Joko seraya manarik lengan Joko. "Kau ingin mampus dengan tinggalkan tanggung jawab, hah?!"

"Nek..."

Hanya itu suara yang terdengar. Karena bersamaan itu Joko merasakan beberapa tusukan tangan pada beberapa bagian tubuhnya dan terakhir pada lehernya. Dan saat itu juga, Joko merasakan sekujur tubuhnya tegang kaku! Lalu saat lain dia laksana dibawa terbang melintasi kegelapan dan menembusi deruan laksana gemuruh yang kejap lain perdengarkan dentuman berkali-kali.

***
TUJUH
DATUK Kala Sutera tegak dengan mata berkilat merah dan dagu mengembung. Pelipisnya bergerak-gerak. Mulutnya terkancing rapat. Sosoknya bergetar keras, pertanda hawa kemarahannya hampir saja tidak bisa dibendung. Saat itu suasana gelap akibat sentakan kedua tangannya sudah kembali terang.

Tempat disekitar tegaknya sang Datuk tampak porak-poranda. Disana sini tanahnya semburat membentuk lobang besar. Beberapa rumpun bambu terabas rata sisakan abu gosong.

"Dua manusia jahanam itu berhasil lolos. Tapi tidak akan lama! Dan perempuan tua itu tampaknya bisa mengenali pukulanku!" mendesis Datuk Kala Sutera dengan mata makin berkilat. Dalam marahnya dia melihat sosok Dayang Tiga Purnama yang terduduk diatas tanah dengan mata setengah terpejam dan tubuh berguncang.

Datuk Kala Sutera edarkan pandangan berkeliling sesaat. Lalu melompat dan tegak hanya beberapa langkah dihadapan Dayang Tiga Purnama. Si gadis buka kelopak matanya . Melihat siapa yang ada dihadapannya, dia cepat bangkit berdiri. Tengkuknya jadi merinding tatkala dia tidak lagi mendapati sosok murid Pendeta Sinting dan Nenek Selir.

"Siapa pemuda jahanam itu?!" mendadak Datuk Kala Sutera perdengarkan tanya.

Dayang Tiga Purnama tidak menjawab. Dia hanya memandang dengan tampang dingin, membuat sang Datuk makin marah dan kembali membentak.

"Benar dia bukan Paduka Seribu Masalah?!"

Untuk beberapa lama Dayang Tiga Purnama berpikir. "Ternyata manusia ini berilmu sangat tinggi! Percuma aku meladeninya! Apalagi urusanku masih terkatung-katung!"

"Aku tanya sekali lagi! Benar dia bukan Paduka Seribu Masalah?!" Untuk kesekian kalinya Datuk Kala Sutera buka mulut bertanya.

"Aku tak tahu! Aku baru mengenalnya!"

"Bagus! Sekarang aku ingin tahu siapa dirimu?!"

Dayang Tiga Purnama menggeleng. "Aku masih punya sesuatu yang harus kuselesaikan. Aku harus segera pergi!" katanya setengah berbisik. Lalu tanpa memandang pada sang Datuk, gadis cantik itu berkelebat. Namun sebelum Dayang Tiga Purnama bergerak lebih jauh, Datuk Kala Sutera sudah melompat dan tahu-tahu sudah tegak menghadang.

"Harap tidak mencari urusan! Aku tidak tahu siapa adanya pemuda itu! Kau sendiri tahu. Aku juga telah ditipunya!" Dayang Tiga Purnama telah buka mulut.

"Bukan itu yang ku tanya! Aku tanya siapa dirimu adanya!"

Dayang Tiga Purnama tidak menyahut. Sebaliknya hendak berkelebat lagi. Namun lagi-lagi Datuk Kala Sutera sudah mendahului, malah pemuda berjubah hitam itu melompat dan tegak lima langkah dihadapan si gadis.

"Apa maumu sebenarnya?!"

"Kau tidak mau menjawab pertanyaanku... Sebagai gantinya aku menginginkan dirimu!"

Sepasang mata Datuk Kala Sutera langsung menelusuri sekujur tubuh gadis dihadapannya. Dadanya berdebar. Bibirnya sunggingkan senyum dengan kepala mengangguk.

Di lain pihak, Dayang Tiga Purnama perdengarkan dengusan keras. Kalau saja tidak sadar jika tengah berhadapan dengan orang yang ilmunya sangat tinggi, niscaya dia sudah melompat dan menggebuk mulut orang.

"Ternyata kau bukan saja berparas cantik. Tapi juga bertubuh bagus..." desis Datuk Kala Sutera dengan suara hampir tidak terdengar ditelan deru hembusan nafasnya akibat gelegak nafsu yang membakar dadanya. Tanpa sadar kakinya bergerak mendekat kearah Dayang Tiga Purnama.

"Harap tidak teruskan langkah!" bentak Dayang Tiga Purnama seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Dan karena sadar siapa yang dihadapi, gadis cantik ini. kerahkan hampir segenap tenaga dalamnya hingga sosoknya bergetar keras.

Mendadak Datuk Kala Sutera berhenti. Sepasang matanya menyipit dan membeliak. Kepalanya bergerak pulang balik kedepan ke belakang. Bukan karena kedua tangan si gadis yang siap lepaskan pukulan, namun ternyata tiba-tiba mata sang Datuk melihat perubahan pada sosok gadis dihadapannya!

"Aneh... Apa mataku menipu?!" Datuk Kala Sutera angkat kedua tangannya lalu diusap-usapkan pada kedua matanya.

"Jahanam! Mataku tidak menipu! Dia benar-benar berubah! Jangan-jangan dia bukan manusia biasa!" Datuk Kala Sutera membelalak dengan kaki tersurut kebelakang.

Mendapati sikap orang, Dayang Tiga Purnama tampak bernafas lega tapi juga heran. "Ada apa dengan manusia ini? Apa yang terjadi dengan diriku?" Tanpa sadar kepala Dayang Tiga Purnama melirik memperhatikan dirinya sendiri. "Aku merasa tidak ada perubahan... Tapi mengapa dia bersikap aneh...?! Hem... Aku harus tetap berhati-hati. Siapa tahu ini hanya muslihatnya saja!"

Berpikir sampai kesana, meski melihat Datuk Kala Sutera terus memandangnya dengan tampang berubah dan surutkan langkah, gadis ini tetap angkat kedua tangannya keatas siap lepaskan pukulan.

Di lain pihak, mendadak Datuk Kala Sutera mendongak dan bergumam pelan. "Aku pernah mengalami hal seperti ini! Saat itu aku baru saja mendapatkan salah satu cincin dari Sepasang Cincin Keabadia. Aku mengejar seorang perempuan bertubuh sintal berbaju putih yang bersama-sama naik perahu. Dan mendadak perempuan itu berubah menjadi nenek-nenek berwajah keriput! Peristiwa itu kira-kira enam belas tahun silam..."

Datuk Kala Sutera luruskan kepala ke depan memandang kearah sosok Dayang Tiga Purnama yang ternyata sudah berubah. Bukan lagi terlihat sebagai gadis cantik bertubuh bagus, melainkan berubah menjadi seorang nenek-nenek berambut putih bermuka keriput!

"Apa hubungan gadis ini dengan perempuan yang kukejar pada enam belas tahun silam...?! Aku telah beberapa kali bercinta dengan para gadis. Tapi baru kali ini aku mendapati gadis yang bisa berubah setelah peristiwa enam belas tahun lalu itu!"

Datuk Kala Sutera menatap sekali lagi. Saat lain dengan sentakkan kepala menggeleng-geleng dia putar diri lalu laksana dikejar setan, pemuda berjubah hitam panjang ini mengambil langkah seribu!

Dayang Tiga Purnama luruhkan kedua tangannya dengan paras makin heran. Mungkin karena khawatir ada sesuatu yang berubah pada dirinya, gadis ini sekali lagi pentang mata lalu meneliti sekujur tubuhnya. Belum puas, dia segera pula gerakkan kedua tangan mengusap-usap anggota tubuhnya.

"Aku tidak mendapati ada yang berubah... Tapi mengapa dia ketakutan?!" gumam Dayang Tiga Purnama. Walau dia merasa lega, namun perubahan sikap Datuk Kala Sutera mau tak mau membuat gadis cantik ini dihinggapi ganjalan. Apalagi ketika ingat kembali pada murid Pendeta Sinting.

"Pemuda asing itu... Apa sebenarnya yang dia cari?! Apakah benar tuduhan nenek itu?! Ah... Aku masih punya urusan sendiri. Mengapa harus memikirkan urusan orang lain?! Tapi kemana sekarang aku harus pergi lagi mencari Paduka Seribu Masalah...?" Paras wajah Dayang Tiga Purnama berubah murung. Dan masih disarati berbagai hal, gadis ini perlahan-lahan melangkah.

Namun begitu mendapat sepuluh langkah, Dayang Tiga Purnama berhenti! "Ucapan pemuda asing itu sebagian tidak berdusta. Jadi Jangan-jangan nenek tadi itu yang salah menuduh! Bukankah pemuda itu orang asing?! Mana mungkin sudah menjalin hubungan bahkan menghamili dua gadis?! 

Pasti nenek itu punya maksud tertentu dengan ucapan tuduhannya! Hem... Bukankah pemuda asing itu mengatakan bersahabat dengan Paduka Seribu Masalah?! Ah... Aku harus mencarinya! Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk dimana adanya Paduka Seribu Masalah! Tapi kemana mereka pergi...?!"

Dayang Tiga Purnama edarkan pandangan berkeliling. Saat lain dia putar diri kearah selatan. "Mudah-mudahan aku tidak salah mengambil jurusan!"

Habis bergumam begitu, Dayang Tiga Purnama berkelebat tinggalkan hutan bambu.

***

Nenek Selir terus berlari kearah selatan dengan tangan kiri menahan satu sosok tubuh yang dipanggul diatas pundak kirinya. Memasuki satu pedataran tinggi, si nenek memperlambat larinya dengan kepala di tengadahkan sedikit memandang kearah pedatataran didepan sana. Saat lain kembali melesat. Dan di satu tempat agak terlindung oleh beberapa batangan pohon, si nenek hentikan larinya.

Tangan kanan Nenek Selir bergerak menusuk pada beberapa anggota tubuh sosok di panggulannya yang bukan lain adalah sosok murid Pendeta Sinting yang diam tak bergerak dan bersuara karena ditotok di nenek.

Begitu terasa orang di panggulannya bergerak menggeliat. Nenek Selir cepat sentakkan tangan kirinya yang sedari tadi menahan. Saat bersamaan, murid Pendeta Sinting buka matanya.

Pendekar 131 terkesiap mendapati dirinya laksana terbang meluncur kebawah. Belum sampai dia melakukan sesuatu, sosoknya sudah terjengkang menghantam tanah!

"Pemuda asing bernama Joko Sableng! Aku butuh jawabanmu secara jujur! Jika kau berdusta apalagi bercanda, tidak sulit satu tanganku mencabut lidah mengorek jantungmu! Kau dengar?!"

Murid Pendeta Sinting terkejut mendapati orang tahu siapa dirinya. Dia pandangi nenek dihadapannya beberapa lama. Lalu bergerak duduk.

"Kau kenal dengan Bidadari Delapan Samudera?!" Si nenek ajukan tanya dengan suara tinggi melengking. Sepasang matanya berkilat merah.

Untuk kedua kalinya Joko terlengak kaget dengan pertanyaan orang. "Siapa sebenarnya nenek ini?! Apakah Bidadari Delapan Samudera adalah cucunya?!"

Karena tak mendapatkan jawaban, Nenek Selir mendengus keras. Dengan tengadahkan wajah kembali dia buka mulut membentak. "Kau kenal dengan Bidadari Pedang Cinta...?!"

"Astaga...! Jangan-jangan yang di maksud dengan kedua cucunya adalah Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta! Tapi... Itu tidak mungkin! Kedua gadis itu belum saling kenal saat bertemu dengan ku tempo hari! Aneh... Apa maksud pertanyaan nenek ini!" kembali Joko dilanda keheranan.

"Kau telah mendengar dua pertanyaanku! Mengapa tidak dijawab, hah?! Kau ingin sebelah tanganku mencabut lidah dan sebelah lagi mengorek jantungmu, hah?!"

Pendekar 131 tercekat dengan kuduk dingin. Lalu dia gerakkan kepala menggeleng. Lidahnya dikeluarkan, lalu tangan kanannya digerakkan pulang balik didepan lidahnya.

"Setan! Kau bukan saja tidak mau menjawab! Tapi juga bercanda!" teriak si nenek. Dia maju melangkah dua tindak dengan tangan terangkat diudara.

Pendekar 131 surutkan tubuh kebelakang. Dengan paras tegang. Lidahnya cepat ditarik masuk. Lalu kedua tangannya digerak-gerakkan didepan mulutnya. Nenek Selir memandang sesaat. Tiba-tiba nenek ini perdengarkan tawa cekikikan panjang. Lalu mendekati Joko dengan bungkukkan tubuh dan sarangkan satu tusukan kearah leher.

Pendekar 131 perdengarkan suara orang seperti tercekik seraya pegangi lehernya. Lalu setelah menelan ludah beberapa kali, dia buka mulut.

"Terima kasih... Aku tadi sebenarnya sudah hendak menjawab. Tapi karena suaraku tidak bisa keluar..."

"Sudah! Sudah!" potong Nenek Selir. "Sekarang jawab pertanyaanku tadi!"

"Aku memang mengenal Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta! Apakah mereka berdua cucumu?!"

"Dengar! Kau hanya perlu menjawab! Bukan balik bertanya?!"

Joko anggukkan kepala. "Apa yang ingin kau tanyakan?!"

"Sialan! Kau tidak tuli! Kau hanya perlu menjawab! Bukan bertanya!" seru si nenek.

Kembali Joko anggukkan kepala dengan menghela nafas panjang. Sebenarnya Joko sudah hendak tersenyum, tapi begitu dilihatnya si nenek buka mulut, Joko urungkan niat kembangkan bibirnya.

"Kau telah lama mengenal kedua gadis itu?!"

Murid Pendeta Sinting geleng kepala.

"Aku butuh jawaban dengan mulutmu, bukan dengan kepalamu!"

"Belum lama, nek...!" buru-buru Joko buka mulut khawatir si nenek tambah marah.

"Jawab yang jelas! Belum lama bagaimana maksudmu?!"

"Mungkin baru beberapa hari berselang..."

"Apa hubunganmu dengan Bidadari Delapan Samudera?! Apa pula hubunganmu dengan Bidadari Pedang Cinta?!"

Joko sempat kernyitkan dahi sebelum menjawab. "Karena baru saja bertemu, aku tak punya hubungan apa-apa dengan keduanya"

Si nenek mendelik. "Jangan berkata berdusta didepanku!" bentak Nenek Selir bergerak menghampiri.

"Nek...! Aku tidak berdusta didepanmu! Apakah mereka mengatakan lain dengan apa yang dikatakan?!"

"Jangan bertanya! Jawab saja!" bentak si nenek mengingatkan. "Kalau kau tidak punya hubungan apa-apa, mengapa berani menyebut kekasih dihadapan orang?! Apa jawabanmu?!"

"Busyet! Dari mana manusia ini tahu...?! Mungkinkah kedua gadis itu yang menceritakan peristiwa saat bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit?! Atau jangan-jangan dia berada disekitar tempat itu saat terjadi bentrok?!" membatin Joko. Lalu berkata.

"Nek... Saat itu terjadi bentrok. Bidadari Tujuh Langit hendak melakukan hal tak senonoh pada kedua gadis itu! Aku terpaksa menyebut salah satu dari mereka adalah kekasih agar aku bisa menghalangi tindakan Bidadari Tujuh Langit!"

"Hem... Lalu siapa yang maksud sebagai kekasih diantara keduanya?!"

"Nek... Itu hanya satu alasan!"

"Alasan pasti punya dasar!"

"Aku hanya membantu! Tidak punya maksud lain...!"

"Benar kau tidak punya pamrih...?!"

Murid Pendeta Sinting tertawa. Lalu perlahan-lahan bangkit.

"Jangan tertawa! Tidak ada yang lucu!" sentak Nenek Selir, membuat Joko putuskan tawa. Lalu berkata.

"Nek... Aku sampai ke negeri ini tidak sengaja. Dalam perjalanan menuruti suratan takdir ini, aku telah banyak mendapat pertolongan dari beberapa orang. Kurasa bodoh kalau aku membantu orang lain dengan punya maksud tersembunyi! Apalagi perjalananku ini ternyata masih butuh bantuan orang lain...!"

"Hem... Bagus! Sekarang aku tanya. Seandainya kau disuruh memilih. Mana yang kau pilih diantara Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta?!"

"Pertanyaan aneh! Aku belum bisa mengerti ada apa dibalik pertanyaan-pertanyaan nenek ini?!" kembali Joko membatin. Lalu alihkan pandangan kejurusan lain seraya berkata.

"Nek... Seandainya aku memilih keduanya bagaimana?!"

"Jahanam!" maki si nenek sambil banting kaki. "Kau ingin mampus saat ini?!"

"Nek... Aku bilang seandainya! Karena pertanyaanmu juga seandainya! Hal itu berarti tidak sungguh-sungguh, bukan?!"

"Persetan! Yang jelas kau pilih yang mana antara keduanya?!"

"Nek... Mereka berdua gadis-gadis berwajah cantik. Siapapun laki-laki yang ditawari pasti tidak akan menolak. Tapi bagiku, masih butuh waktu untuk menentukan pilihan. Apalagi belum tahu bagaimana perasaan mereka padaku! Dan selebihnya aku belum kenal dekat dengan mereka! Dan lain daripada itu, aku masih punya pekerjaan yang harus kuselesaikan!

Belum lagi aku harus tahu dulu, apakah kelak mereka mau kuajak pulang ke negeri asalku?! Terus, apakah kira-kira beberapa kerabatku setuju atau tidak dengan gadis yang kubawa?! Lalu bagaimana nanti kalau gadis yang kubawa tidak betah tinggal di negeri asalku?! Lantas..."

"Cukup..." Tukas Nenek Selir. "Ternyata kau bukan saja pandai bertingkah! Tapi juga pandai bicara!"

Pendekar 131 kancingkan mulut seraya memandang tak mengerti pada si nenek! Sebenarnya dia hendak bertanya tentang tuduhan yang dialamatkan padanya. Tapi sebelum sempat buka mulut, si nenek mendahului!


"Lalu apa hubunganmu drngan gadis berbaju ungu di hutan bambu itu?!"

"Seperti halnya dengan Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta, aku tak punya hubungan apa-apa dengan gadis baju ungu itu!"

Nenek Selir menatap sekali lagi pada Joko lalu anggukkan kepala, membuat murid Pendeta Sinting bernafas lega.

"Mau kau melakukan sesuatu untukku?!" Nenek Selir ajukan tanya lagi setelah agak lama berdiam diri.

"Aku tsk bisa memastikan sebelum aku tahu apa yang harus kulakukan, nek!"

"Kau kuminta menentukan pilihan salah satu diantara ketiga gadis itu!"

Joko tercengang. Tanpa sadar dia surutkan langkah satu tindak. "Heran... Di Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai aku diminta mengawini Dewi Bunga Asmara! Sekarang aku diminta memilih salahsatu gadis! Nasib apa sebenarnya yang tengah kujalani ini...?!"

"Bagaimana! Kau sudah menentukan pilihan?! Katakan yang mana?!"

Joko menggeleng pelan. "Nek... Dalam hal ini, aku butuh waktu..."

"Hem... Begitu?! Berapa lama waktu yang kau minta?!"

"Urusan hati tidak bisa ditentukan, nek...!"

"Siapa bilang begitu?! Semua urusan bisa ditentukan waktunya! Peduli urusan hati atau bukan!"

"Tapi..."

"Aku tak mau dengar alasan! Tentukan saja, berapa lama kau minta waktu?!"

"Nek... Harap katakan dahulu. Mengapa kau tiba-tiba mengharuskan aku memilih salah satu diantara mereka?!"

"Aku perempuan! Aku tak mau melihat golonganku dibuat gelisah terombang ambing oleh makhluk laki-laki! Dengan keputusanmu! Berarti tidak ada lagi gadis yang gelisah dan galau! Dengan keputusanmu pula, tidak ada lagi urusan sakit hati!"

"Hem... Saat Bidadari Delapan Samudera bicara denganku dipinggiran sungai, jelas nada ucapannya cembru pada Bidadari Pedang Cinta. Demikian pula saat Bidadari Pedang Cinta menemukan aku berbincang dengan Bidadari Delapan Samudera. Gadis berbaju hijau itu juga tunjukkan sikap cemburu pada Bidadari Delapan Samudera! Pasti pangkal sebabnya disini! 

Tapi mengapa Dayang Tiga Purnama diikutkan serta?!" Joko coba menerka apa yang ada dibalik ucapan Nenek Selir. "Sebaiknya aku jawab saja permintaan nenek ini! Nanti mungkin semuanya bisa berubah! Daripada aku cari penyakit. Sementara aku harus segera mencari tempat yang tertera dalam peta!" membatin begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting buka mulut.

"Nek... Walapun sebenarnya aku membutuhkan waktu panjang untuk menentukan pilihan, namun karena aku tak mau terjadi apa yang kau katakan, aku minta tenggang waktu tiga purnama untuk menentukan pilihan!"

Nenek Selir tertawa seraya geleng kepala. "Waktu sepanjang itu terlalu cukup untuk membuatmu minggat dari negeri ini tanpa pamit dan memberi keputusan! Aku tak mau dikibuli! Kau kuberi waktu sepuluh hari!"

Joko sudah akan buka mulut. Tapi si nenek sudah mendahului. "Waktumu cuma sepuluh hari! Jangan minta lebih! Kalau dalam jangka sepuluh hari kau tidak juga mwmberikan keputusan pilihan, jangan mimpi kau bisa pulang ke negeri asalmu! Kau dengar?! Dan satu hal lagi. Jika dalam tenggang waktu sepuluh hari kau ditakdirkan bertemu dwngan gadis lain selain ketiga gadis itu, jangan bertingkah atau berucap yang bisa membuat hati orang gelisah! Dan sedapat mungkin kau jauhi para gadis! Kau dengar?!"

Karena tak mau berdebat, akhirnya Joko hanya mengangguk meski dalam hati terus menggerendeng panjang pendek.

"Bagus...! Aku gembira sekali kau mau mengerti perasaan perempuan!" ujar Nenek Selir seraya kembangkan senyum.

"Lalu bagaimana urusan tuduhanmu itu?!" Joko ajukan tanya. "Hatiku belum bisa tenteram kalau belum mendapatkan kejelasan! Apalagi tuduhanmu itu kau lemparkan dihadapan orang!"

Mendengar kata-kata Joko, Nenek Selir tersenyum. "Itu hanya alasanku agar kita bisa bicara ditempat ini!" 

Joko tersentak walau diam-diam merasa lega. Namun Joko tidak puas dengan jawaban si nenek. Dia segera berucap.

"Nek... Tuduhan itu kau ucapkan didepan orang! Bukan tak mungkin berita ini segera menyebar. Hal ini tentu membuatku tak enak!"

"Kau tak usah cemas... Serahkan semuanya padaku!" enak saja Nenek Selir menyahut.

"Tapi setidaknya aku harus tahu apa yang akan kau lakukan?!"

"Aku tak bisa mengatakannya! Tapi dalam jangka sepuluh hari kau tidak juga memberi keputusan, Kau akan tahu... Setiap orang di negeri ini pasti menjatuhkan tuduhan seperti yang kukatakan dihutan bambu! Bahkan tuduhan itu bisa bertambah panjang!"

***
DELAPAN
"GILA! Itu tidak adil...! Kau mencari ensk sendiri!" Joko berteriak dengan memandang tajam pada sosok Nenek Selir.

Yang di pandang senyum-senyum. Lalu berucap. "Gila atau tidak, memang harus begitu adanya!" Si nenek balikkan tubuh. Sesaat sosoknya terlihat akan berkelebat tinggalkan murid Pendeta Sinting. Namun mendadak dia putar diri lagi menghadap Joko dan buka suara.

"Satu hal lagi yang harus kau jawab! Mengapa kau mengaku-ngaku sebagai Paduka Seribu Masalah?!"

Mungkin karena masih merasa jengkel dengan sikap si nenek, Joko segera menjawab dengan suara agak tinggi! "Siapa mengaku-aku?!Pemuda itu sendiri yang cari alasan mengatakan aku sebagai Paduka Seribu Masalah!"

"Hem... Begitu?! Aku tak akan turut campur urusanmu dengan pemuda berjubah hitam itu! Tapi perlu kuberi tahu. Kau telah membuka urusan besar! Aku tak berani menjamin apa kelak kau bisa selamat dari tangannya atau tidak jika bertemu dengannya lagi!"

"Aku lebih senang bertemu dengannya lagi. Dengan begitu, urusan kita selesai!"

Nenek Selir tertawa seraya gerakkan kepala menggeleng. "Tidak semuda itu, Anak muda! Selama sepuluh hari ini, nyawamu berada didalam genggamanku! Tidak seorangpun akan kubiarkan menjamahnya sebelum kau memberi keputusan! Setelah itu terserah, Aku tidak peduli dengan keselamatan nyawamu!"

Habis berkata begitu, kembali si nenek balikkan tubuh. Namun sebelum orang tua ini berkelebat pergi, Joko buka suara.

"Sebelum kau pergi. Harap kau katakan dulu siapa kau adanya! Aku tidak terbiasa membuat kesepakatan dengan orang yang tidak ku kenal...! Dan jika kau tidak memberi tahu, jangan harap kesepakatan ini berlaku! Persetan dengan apa yang akan kau lakukan! Bagiku, sekarang mampus, kapan-kapan pun pasti akan mampus juga! Semuanya hanya tinggal waktu! Dan kau pasti sudah tahu. Seseorang akan sadar bahwa betapa berartinya seseorang jika orang itu sudah mampus berkalang tanah!"

Untuk kedua kalinya si nenek membalik. "Hebat betul ucapan mu! Bsik... Kali ini aku turuti permintaan mu tadi! Tapi jangan menduga hal ini karena ucapan mu tadi. Kau mampus sekarang atau kapan-kapan tidak ada pengaruhnya bagiku! Dan kau tidak akan berarti apa-apa meski kau mampus berkali-kali!" Nenek Selir putuskan ucapannya beberapa saat. Lalu menyambung. "Aku Nenek Selir! Kau dengar? Nenek Selir!"

"Hem... Nenek macam begini harus diberi satu pelajaran!" kata Joko dalam hati karena merasa jengkel dengan sikap si nenek.

"Nenek Selir...!" Joko ulangi ucapan si nenek. Saat lain tiba-tiba Joko arahkan telunjuknya lurus-lurus pada wajah si nenek. "Mengapa kau tidak mengatakan dari tadi kalau kau adalah Nenek Selir?! Mengspa?! Mengapa...?!" Joko pasang tampang aneh.

Nenek Selir tersentak tak mengerti. "Aneh... Ada apa dengan manusia satu ini?! Nada bicaranya sepertinya dia sudah pernah mengenalku!"

Baru saja si nenek membatin begitu, Joko sudah buka mulut lagi. "Benar kau adalah Nenek Selir?!"

"Telingamu sudah dengar! Aku tak akan mengulanginya lagi!"

Pendekar 131 pulang balikkan telunjuk dengan kepala disorongkan kedepan kebelakang sambil melotot. Namun sejauh ini dia tetap kancingkan mulut. Si nenek jadi penasaran. Tapi dia tetap menunggu,bahkan karena takut Joko melihat rasa penasarannya, nenek ini palingkan kepala dengan ekor mata melirik. Tapi ditunggu agak lama, dan Joko tidak juga buka mulut, Nenek Selir pupus kesabarannya. Seraya sentakkan wajah, dia membentak.

"Ada apa, hah?!"

"Dari namanya juga dari sikapnya yang membela beberapa gadis, tentu nenek ini punya masalah dengan seorang laki-laki!" Joko berpikir dalam hati. Lalu tanpa berpaling memandang kearah orang,dia berucap.

"Apakah selama ini kau punya masalah dengan seseorang?!"

Walau coba sembunyikan tampang dari rasa terkejut, namun nyatanya nenek ini tidak bisa menahan diri. Hingga tubuhnya doyong sedikit kedepan seolah tidak percaya dengan apa yang baru diucapkan Joko. Namun hebatnya, si nenek masih mampu tahan keinginan dengan berucap.

"Setiap manusia hidup pasti punya masalah! Apa pedulimu, hah?!"

"Hem... Tampangnya berubah! Dia sembnyikan sesuatu! Mudah-mudahan dugaanku benar!" tampaknya Joko masih membaca gelagat si nenek. Lalu berkata.

"Ucapan mu tidsk salah! Tapi kadang kala ada satu masalah yang dihadapi seseorang dan bisa menjadi beban seumur-umur!"

"Celaka! Jangan-jangan pemuda ini tahu apa masalah ku! Tapi darimana? Sebagai manusia baru di negeri ini, mustahil dia tahu masalah ku! Tapi ucapannya.."

"Nek... kata Joko sambil melirik. "Kau tsk perlu berdusta padaku! Jangan kira aku tak tahu kalau lau sebenarnya punya masalah yang jadi bebanmu seumur-umur!"

Habis berkata begitu Joko kerahkan ilmu peringan tubuh dan siap berkelebat jika dugaannya salah dan si nenek jadi marah. Tapi Joko terkesiap sendiri tatkala tiba-tiba Nenek Selir sudah melompat dan tegak hanya dua langkah dihadapannya dan membentak.

"Siapa yang bercerita padamu, hah?! Siapa?! Si jahanam laki-lakinya atau gendaknya?! Jawab!"

"Nek... Apa bedanya?!" enak saja Joko menyahut meski kuduknya jadi dingin melihat tàmpang angker si nenek.

"Kau masih tanya apa bedanya! Jawab saja"! Laki-lakinya atau gendaknya"!

"Aku tak akan mengatakannya sebelum kau kayan apa bedanya!"

Sosok Nenek Selir tampak bergetar keras. Wajahnya yang pucat berubah merah mengelam. Karena si nenek tidsk juga buka mulut menjawab, dengan angkat bahu Joko balikkan tubuh. Namun baru berputar setengah lingkaran, Nenek Selir Nenek Selir sudah berkata.

Jangan mimpi kau bisa tinggalkan tempat ini sebelum kau jawab pertanyaanaku!"

"Nek... Sekarang kau yang membutuhkan keteranganku! Jadi jangan mimpi kau akan mendapat keterangan sebelum kau menerangkan apa perbedan yang kutanyakan!"

"Kalau yang cerita si jahanam laki-lakinya, aku bersyukur. Karena ternyata penantian dan perburuan ku tidak akan sia-sia! Dia masih belum mampus ditangan orang lai!"

"Kalau yang cerita gendaknya?!" tanya murid Pendeta Sinting seraya menahan tawa.

"Berarti dia manantangku! Aku bersumpah akan merobek mulutnya atas bawah!"

"Astaga! Nenek ini benar-benar marah sungguhan..." gumam Joko dalam hati.

"Sekarang jawab. Siapa yang cerita?! Katakan pula, dimana kau bertemu!"

"Nek... Kuharap kau bersabar..."

"Tidak bisa!" Si nenek sudah memotong.

"Tidak bisa bagaimana?!"

"Kau harus jawab tanyaku saat ini juga!"

"Tidak bisa!" Joko menyahut seperti tatkala si nenek memotong ucapannya tadi.

"Jahanam! Apa maksudmu dengan tidak bisa, hah?!"

"Aku akan mengatakan padamu setengah purnama mendatang!"

Belum sampai ucapan murid Pendeta Sinting selesai, Nenek Selir sudah menyergap kedepan. Saat lain tiba-tiba tangan kirinya sudah mencekik leher Joko lalu diangkatnya ke udara siap lepaskan tamparan! Pendekar 131 tercekat kaku. Diam-diam dia merasa kagum dengan gerakan si nenek. Padahal sedari tadi dia sudah waspada dan siap berkelit.

"Kau punya dua pilihan! Menjawab sekarang atau menunda! Pilihan pertama berarti kau selamat, pilihan kedua berarti kau mampus saat ini!" Si nenek berteriak.

"Nek! kata Joko dengan suara tersendat. "Sebenarnya aku memilih yang pertama. Tapi karena satu dan hal lain, aku beranikan diri memilih yang kedua!"

Tangan kiri si nenek yang mencekik leher Joko makin diangkat. Saat bersamaan tangan kanannya bergerak. Namun baru setengah jalan, Joko buka mulut lagi.

"Nek...! Kalau aku mampus saat ini, siapa yang akan memberi keterangan?!"

Nenek Selir hentikan gerakan tangan kanannya. Matanya melotot menusuk tajam ke batok kepala Joko. Saat lain tangan kirinya disentakkan kebawah.

Bukkkk!

Murid Pendeta Sinting jatuh terduduk diatas tanah. Nenek Selir tegak dengan kacak pinggang. Lalu membentak. "Kau telah tentukan sendiri kapan saat kematianmu! Aku akan menagihnya tepat setengah purnama mendatang!"

"Hemm... Berarti umurku bertambah lima hari" kata Joko dalam hati seraya meringis dan beranjak bangkit. "Dia tidak tahu. Dengan jalan ini, aku bisa tawar menawar urusan pilihan ketiga gadis itu! hok hik hik...!"

Nenek Selir melirik sesaat pada murid Pendeta Sinting dengan menyeringgai. Tanpa buka mulut lagi, dia berkelebat.

"Nek! Tunggu!"

Nenek selir urungkan niat Tanpa memandang dia membentak. "Apa lagi yang katakan?!"

"Sebenarnya..." Joko hentikan ucapan. Lalu melanjutkan. "Tapi... Ah. Bukankah kita masih akan bertemu lagi?! Kelak saja akan kukatakan!"

"Keparat! Kalau saja kau tidak menggantung urusan, lidahmu sudah ku betot keluar!" desis si nenek merasa dipermainkan. Lalu teruskan berkelebat.

Pendekar 131 pandangi sosok si nenek seraya bergumam. "Untung dia tidak menentukan dimana kelak aku harus menemuinya! Ini bisa kujadikan alasan kalau..."

Murid Pendeta Sinting kancingkan mulut tidak lanjutkan ucapan. Karena bersamaan dengan itu mendadak sosok si nenek berputar didepan sana. Saat lain berkelebat balik kearah tempat tegaknya!

"Anak manusia dari negeri asing!" Nenek Selir berteriak setelah hentikan kelebatan sejarak lima langkah dihadapan Joko. "Aku menunggu mu sampai batas waktu yang kau tentukan dihutan bambu! Dan jangan kira kau menemukan tempat sembunyi jika kau berniat ingkar janji!"

Habis berkata begitu, si nenek tertawa cekikikan panjang. Lalu memutar diri dan berkelebat lagi.

"Busyet! Jangan-jangan dia tadi mendengar ucapanku!" bisik Joko dalam hati. Lalu karena khawatir si nenek akan berbalik lagi, Joko cepat-cepat menghambur pergi!

***
SEMBILAN
NENEK Selir duduk termangu didekat aliran sungai yang bermuara menuju kawasan hutan bambu. Nenek ini sengaja mencari tempat agak terlindung hingga sosoknya hampir tidak kelihatan. Sesekali wajah nenek yang sanggulan rambutnya dihias dua buah pedang ini tengadah lalu lurus memperhatikan kearah hulu sungai.

Nenek Selir tidak tahu sudah berapa lama dia duduk termangu. Dia baru sadar ketika pandangannya sudah mulai samar-samar terhalang suasana gelap, pertanda malam sudah menjelang.

"Mereka masih hidup! Mereka masih hidup!" mendadak si nenek mendesis sendiri dengan senyum dingin. "Sambil menunggu datangnya waktu yang dijanjikan pemuda negeri seberang itu, lebih baik aku menjajaki keberadaan dua jahanam itu! Siapa tahu aku mendapatkan mereka terlebih dahulu! Aku yakin, keterangan pemuda itu benar adanya! Jika tidak, mana mungkin dia bisa memberi keterangan hampir tepat?!"

Berpikir begitu, setelah merenung beberapa saat lagi, si nenek bergerak bangkit. Namun gerakan si nenek tertahan tatkala tiba-tiba sepasang matanya yang jereng besar samar-samar menangkap gerakan sebuah perahu jauh diseberang sana.

"Saat ini aku tengah mencari orang! Setiap orang harus kuketahui siapa adanya! Tak terkecuali sosok yang ada diatas perahu itu!" gumam Nenek Selir seraya pentang mata perhatikan gerakan perahu yang terus melaju ke arahnya.

Namun karena gerakan laju perahu sangat lambat, si nenek tidak sabaran. Apalagi suasana memang remang membuat matanya sulit sekali melihat sosok yang ada diatas perahu. Hingga sambil menggumam tak jelas, dia lalu bangkit berdiri terus berkelebat menyusuri pinggiran sungai menyongsong kearah laju perahu. Tapi si nenek sengaja memilih jalan berputar agar pengintaiannya tidak diketahui orang. Hingga dalam waktu tidak lama, sosoknya si nenek sudah mendekam sembunyi! Kira-kira dua puluh tombak dari laju perahu.

Sementara lain dipihak, tampaknya si penumpang perahu tidak tengah terburu-buru. Sambil duduk dihaluan perahu, dia sesekali ayunkan dayung kepermukaan sungai, hingga laju perahu bergerak amat lambat.

Sosok diatas perahu adalah seorang laki-laki mengenakan pakaian berupa jubah tanpa lengan berwarna abu-abu. Wajahnya hanya terlihat sebagian karena kepalanya mengenakan caping lebar dan dimasukkan dalam-dalam. Rambutnya panjang dibiarkan dibawah caping diatas punggungnya.

"Berlalunya waktu membuat keadaan berubah... Hingga aku lupa dimana berakhirnya aliran sungai ini! Padahal dahulu kala, aku hafal betul kawasan ini!" Laki-laki diatas perahu menggumam seraya lepas pandangan berkeliling. Saat lain dia bergerak berdiri.

Bersamaan dengan gerakan berdiri orang diatas perahu, dari balik tempat mendekamnya, Nenek Selir mendelik memperhatikan sosok orang. Tiba-tiba mulut nenek ini bergerak membuka perdengarkan gumaman tak jelas. Kepalanya disorongkan kedepan dengan dahi berkerut.

"Apakah penglihatanku tidak tertipu dengan apa yang kali ini tengah kuhadapi?!" Jangan-jangan orangnya beda tapi terlihat sama karena aku sedang tenggelam memikirkan jahanam itu?!" Nenek Selir berbisik, kepalanya digerakkan kekanan kiri.

"Tapi... Ucapannya tadi, juga pakaiannya..." Nenek Selir terus menggumam. Dadanya berdebar keras. Matanya makin melotot. Tapi karena keraguan masih mengguncang, Nenek ini tidak berani membuat gerakkan atau membuat suara. Sementara perahu itu terus melaju dan lewat tidak jauh dari tempat mendekamnya.

"Mataku tidak menipu!" si nenek mendesis begitu perahu lewat. Lalu dia bergerak dari tempat persembunyiannya, dan sekali melompat sosoknya sudah tegak di lamping sungai dengan mata menatapi bagian belakang sosok orang yang tegak diatas perahu. Tubuhnya tampak bergetar keras.

"Suratan nasib memang tidak bisa diduga... Siapa kira aku bisa injakkan kaki dikawasan ini setelah berpuluh tahun...?!" Laki-laki diatas perahu berucap lalu kembali duduk. "Siapa duga pula aku masih diberi umur panjang padahal aku sudah berkelana kemana-mana mencari mati! Mungkin telah takdir menggariskan jika aku harus mati di..."

Laki-laki diatas perahu putuskan ucapannya. Dayung ditangan diangkat lalu didorongkan pada ujung depan caping lebarnya. Sepasang matanya dipicingkan memandang lurus kearah bagian depan perahu.

"Aliran sungai tampak tenang... Tapi mengapa aku merasakan gerakkan aneh?! Jangan-jangan sungai ini telah dihuni ikan buas... Ataukah gerakkan tadi karena hembusan angin?!"

Baru saja laki-laki diatas perahu bergumam begitu, mendadak telinganya mendengar kecipak. Permukaan air dibagian depan perahu berombak lalu muncrat. Memandang kearah depan, si laki-laki jadi tersentak kaget. Sepasang matanya melihat munculnya dua tangan yang tiba-tiba sudah memegang bagian depan perahu.

Belum sampai laki-laki diatas perahu membuat gerakan, sekonyong-konyong permukaan air semburat keudara. Lalu satu sosok tubuh melesat dari dalam air dan kejap lain si laki-laki diatas perahu melihat satu sosok tubuh basah kuyup sudah tegak dibagian depan perahu.

Sosok tubuh yang baru muncul dari dalam air adalah seorang perempuan yang tidak bisa dikenali wajahnya karena raut muka dan kepalanya ditutup dengan kain selempang yang sebagian dibalutkan kesekujur tubuhnya. Dalam kagetnya si laki-laki cepat besarkan matanya lalu bergerak bangkit.

"Aku tidak menolak kalau kau akan menumpang! Aku juga tidak akan memintamu untuk membuka kain penutupan. Tapi harap kau yakinkan diriku kalau kau manusia adanya!" berkata laki-laki sambil memperhatikan sosok orang dihadapannya.

Sosok yang ditegur terdiam beberapa lama. Kepala dibalik kain penutup terlihat bergerak kebawah keatas, pertanda kalau sosok ini tengah meneliti sosok penumpang perahu.

"Suratan nasib memang tidak bisa diduga! Siapa tahu akhirnya kita bisa dipertemukan lagi! hik hik hik...!" sosok didepan si laki-laki perdengarkan suara. "Perjalanan takdir memang tidak bisa dikira. Siapa sangka kalau pengelanaanmu mencari mampus akhirnya membawamu bertemu denganku yang sudah disuratkan sebagai manusia yang paling berhak atas selembar nyawamu! Hik hik hik...!"

"Hebat! Dia bisa mendengar ucapanku meski mungkin dia tadi masih berada di dalam air!" gumam si laki-laki dalam hati mendengar kata-kata orang. Dan mungkin sudah yakin kalau sosok yang tegak dihadapannya adalah manusia juga adanya, ketegangan diwajah si laki-laki ini sedikit mereda, meski parasnya jelas masih dibalut keheranan.

"Nada ucapannya memberi petunjuk kalau kau mengenalku!" kata si laki-laki bercaping. "Sekali lagi aku tidak menolakmu jika akan menumpang. Aku juga tetap tidak akan memintamu untuk buka penutup wajah. Tapi harap kau tidak keberatan untuk sebutkan diri!"

"Berlalunya waktu emang membuat keadaan berubah... Hingga kau bukan saja tidak mengenali lagi kawasan yang kau lewati, tapi kau juga tidak ingat dengan siapa saat ini tengah bicara! Hik hik hik...!" Sosok dihadapan si laki-laki kembali peedengarkan suara seraya letakkan tangan kir kanan diatas pinggang.

"Kau menutup wajahmu! Bagaimana aku bisa mengenalimu?!" bertanya si laki-laki dengan dada mulai tidak enak dan caping bergerak-gerak mengkuti kerutan keningnya.

"Seharusnya kau sudah mengenali sebelum aku bicara, Wang Su Ji...!"

Si laki-laki terkesiap. "Dia tahu nama asliku! Berarti aku mengenalinya. Setidak-tidaknya pernah bertemu dengannya! Anehnya, mengapa dia berada dikawasan ini seolah tahu kedatanganku?!"

"Wang Su Ji bergelar Manusia Tanah Merah! Kau pura-pura tidak mengenalku atau tindakan bejatmu yang membuatmu lupa?!" sosok yang wajah dan kepalanya tertutup kain kembali menegur.

"Ucapanmu sudah keterlaluan! Siapa kau sebenarnya?! Aku tak pernah punya urusan dengan manusia sepertimu! Jangan mencari alasan kalau hanya ingin mampus!" Laki-laki yang dipanggil Wang Su Ji dengan gelar Manusia Tanah Merah buka mulut dengan suara agak keras karena mulai geram.

Sosok dihadapan Manusia Tanah Merah tertawa panjang. Lalu berucap. "Kau mengatakan tidak punya urusan denganku! Hik hik hik...! Bagus. Tapi perlu kau tahu. Seribu macam urusanku, tidak ada artinya apa-apa dibanding urusan yang ada diantara kita!"

Walau Manusia Tanah Merah tampak terkejut, namun laki-laki ini perdengarkan tawa seraya berkata. "Aku tidak percaya dengan ucapanmu! Mungkin kau hanya cari alasan karena diam-diam kau tertarik padaku! Harap tidak sungkan tunjukkan wajah. Kau juga tak perlu khawatir. Bagaimana nanti bentuk tampangmu, aku bukan manusia yang..."

"Bagus! Tiba-tiba sosok dihadapan Manusia Tanah Merah sudah menukas. "Bertambah umur ternyata kau makin pandai bicara! Terus terang. Aku memang tertarik padamu! Tapi sekalian tertarik dengan selembar nyawamu! Kau tak usah cemas. Pada saat-saat terakhirmu ini kau akan tahu bagaimana bentuk wajahku!" 

Habis berkata begitu, sosok dihadapan Manusia Tanah Merah angkat satu tangannya. Lalu perlahan-lahan singkapkan kain dikepalanya.

Si laki-laki mendelik mengawasi! Mula-mula dia melihat sanggulan rambut putih. Lalu terlihat dua buah pedang berkilat-kilat menghiasi sanggulan. Saat lain mendadak si laki-laki ini ternganga ketika kain penutup wajah orang terbuka.

"Apakah aku tidak salah lihat?!" kata Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah dengan suara bergetar. Kalau saja dia tidak sadar jika sekali surutkan langkah, sosoknya akan jatuh tercebur dalam aliran sungai, niscaya Manusia Tanah Merah sudah bergetar mundur! "Benarkah yang dihadapan ku saat ini adalah Yu Sin Yin?!" 

Sosok dihadapan Manusia Tanah Merah yang ternyata bukan lain adalah Nenek Selir mendelik angker. Namun saat lain perdengarkan cekikikan dan berujar. "Wang Su Ji! Syukur kau masih bisa mengenaliku bahkan ingat siapa namaku! Berarti kau tidak lupa dengan urusan diantara kita!"

Karena kaget dan tidak menduga, Wang Su Ji tidak membuat gerakan atau sambuti ucapan si nenek yang baru disebut sebagai Yu Sin Yin yang oleh kalangan Rimba Perdilatan lebih dikenal dengan Nenek Selir.

"Hem... Selama ini aku memang telah dengar kalau dia terus mencariku! Tapi aku tidak menduga kalau dia menghadangku ditempat ini! Urusan lama itu ternyata tidak bisa dilupakannya!" membatin Manusia Tanah Merah seraya usap wajah dengan telapak tangannya dan menghela nafas panjang. Lalu berkata lirih.

"Yu Sin Yin... Masalah diantara kita sudah berlalu begitu lama. Aku sadar jika kau mengalami hal yang tidak enak... Tapi kuharap kau percaya. Sebenarnya aku lebih merasakan tidak tenteram... Sekarang kita sudah sama-sama bau tanah. Bukankah lebih baik kita hapus kisah yang sudah berlalu...?"

Mendengar kata-kata Manusia Tanah Merah, Yu Sin Yin alias Nenek Selir tertawa cekikikan panjang. Tapi laksana di robek setan, si nenek putuskan tawanya. Saat lain terdengar suaranya yang melengking tinggi.


"Enak saja kau berkata begitu setelah kau tertawa bergelak di atas luka-lukaku!" Masalah boleh saja telah berlalu. Kisah lama boleh kita lupakan. Tapi kau harus ingat. Kau telah menoreh luka yang tidak bisa hilang bekasnya kecuali dengan aliran darahmu di tanganku! Kau telah menanam kepedihan yang tidak bisa pupus selain dengan lepasnya nyawamu!" Nenek Selir hentikan ucapannya sesaat. Dadanya tampak bergerak turun naik. Wajahnya merah membesi. Dengan memandang marah, si nenek lanjutkan ucapannya.

"Wang Su Ji! Kita memang sudah sama-sama bau tanah. Tapi aku bersyukur. Sebelum tanah menjemputmu, tanganku masih diberi kesempatan untuk mengantarkannya!"

"Yu Sin Yin... Aku mengaku bersalah atas semua tindakanku padamu dimasa lalu. Aku juga akan pasrahkan diri padamu. Tapi..."

Belum habis ucapan Manusia Tanah Merah, si nenek sudah menukas dengan suara makin keras. "Aku telah menantimu berpuluh-puluh tahun. Selama itu pula dadaku laksana di dalam bara! Setelah kini bertemu denganmu, kau kira aku masih memberimu kesempatan, hah? Tidak, Wang Su Ji! Aku tak mau lagi dengar alasan! Dan kau tak perlu pasrahkan diri! Aku memberimu kesempatan untuk mempertahankan diri! Tapi kalau kau tidak gunakan kesempatan, jangan kira aku tak tega membunhmu!"

"Aku belum selesai bicara, Yu Sin Yin...!" ujar Manusia Tanah Merah sambil lepas pandangan kearah rumpun hutan bambu yang kini terlihat bagaikan gundukan tanah hitam karena telah diselimuti suasana gelapnya malam.

"Bicaralah! Mungkin malam ini adalah malam terakhir kau bisa buka suara!" sahut Nenek Selir.

"Aku maklum akan apa yang akan kau lakukan padaku! Tapi begitu aku mampus, apa kau kira urusanmu selesai?!"

"Urusan terbesar dalam hidupku adalah urusan denganmu! Dengan mampusnya dirimu, matipun aku bisa tertawa!"

Manusia Tanah Merah gelengkan kepala. "Yu Sin Yin... Sebenarnya urusan terbesar itu bukan soal kematianku!"

"Jahanam! Siapa percaya bualanmu?!"

"Aku tidak membual. Urusan terbesar itu adalah urusan kita berdua! Kau dan aku sama-sama punya tanggung jawab! Kedatanganku kesini adalah untuk menyelesaikan urusan itu! Begitu urusan kita selesai, apapun yang akan kau lakukan padaku, aku suka rela menerimanya!"

Mendengar ucapan orang, mendadak paras wajah Nenek Selir berubah. Dadanya berdebar tidsk enak. Dia sudah akan buka mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, Manusia Tanah Merah sudah mendahului.

"Yu Sin Yin... Kau tak usah berdusta padaku. Hubungan kita dimasa lalu membuahkan benih. Kau juga tak usah malu mengatakan padaku, kalau hingga sampai hari ini kita sama-sama tidak tahu dimana benih kita itu!"

Nenek Selir tegak dengan tubuh bergetar keras hingga dua buah pedang di sanggulan rambutannya bersentuhan perdengarkan suara berdentangan dan deruan keras.

"Yu Sin Yin... Urusan diantara kita marilah kita lupakan sesaat. Mari kita cari dimana beradanya anak kita!" 

"Mulutmu terlalu kotor untuk menyebutnya sebagai anak!"

"Yu Sin Yin... Aku memang manusia kotor! Tapi..."

"Urusan anak adalah urusanku! Urusanmu sekarang tinggal menghadapiku! Bersiaplah!"

Habis berkata begitu, Nenek Selir angkat kedua tangannya diatas kepala. Sekali kedua tangannya bergerak, dua buah pedang di sanggulan rambutnya sudah tergenggam ditangan kakan kiri!

"Yu Sin Yin..." Hanya itu suara yang terdengar pelan dari mulut Manusia Tanah Merah. Karena saat yang sama, si nenek sudah melesat kedepan.

***
SEPULUH
MELESAT diudara setengah tombak, tiba-tiba dari pedang dikedua tangan Nenek Selir menyembur kobaran api yang membuat keadaan berubah menjadi panas menyengat. Kejap lain dua kobaran itu laksana tanggal dari kedua pedang si nenek dan berkiblat lurus perdengarkan deruan menggidikkan kearah Manusia Tanah Merah! Inilah Ilmu 'Bunga Api Neraka'!

Pada beberapa puluh tahun silam, dikawasan pegunungan Himalaya bagian selatan hidup seorang tokoh rimba persilatan yang sangat disegani dan menjadi momok baik bagi tokoh yang berada dijalur putih dan jalur hitam. Tokoh ini dikenal memiliki ilmu kesaktian yang dinamakan 'Bunga Api Neraka'. Sebuah ilmu yang dapat keluarkan dua kobaran api dari apa saja yang tergenggam tangan.

Yu Sin Yin yang pada saat itu tengah di rundung sakit hati akibat pengkhianatan kekasihnya, tanpa pedulikan lagi pada bayi hasil hubungannya dengan sang kekasih nekat menuju kawasan pegunungan Himalaya untuk mencari bekal balas dendam pada tokoh yang dikenal memiliki ilmu kesaktian 'Bunga Api Neraka'

Tampaknya Yu Sin Yin mendapatkan apa yang di idamkan. Karena pada beberapa tahun kemudian, Yu Sin Yin muncul lagi dalam kancah rimba persilatan tanah Tibet dan sudah diketahui mewarisi ilmu kesaktian 'Bunga Api Neraka'. Dan begitu muncul lagi, Yu Sin Yin sudah malang melintang dan namanya mulai ditakuti dan tindakannya dianggap ugal-ugalan. 

Begitu apa yang selama ini dicari tidak juga ditemukan. Karena dia tak segan-segan menurunkan tangan kasar pada siapa saja yang dianggapnya tahu urusannya namun tidak mau memberi keterangan.

Namun karena tidak juga menemukan apa yang dicari, Yu Sin Yin melenyapkan diri lagi dari kancah rimba persilatan tanpa ada yang tahu kabar beritanya. Tapi sebenarnya secara diam-diam Yu Sin Yin hidup menyendiri di satu tempat sambil memperdalam ilmu kesaktian 'Bunga Api Neraka'. Dia berharap, dengan tidak muncul sementara waktu dalam kancah rimba persilatan, maka orang yang dicari akan menduga keadaan sudah aman.

Begitu waktu yang diperhitungkan sudah tepat, sambil membekal ilmu kesaktian 'Bunga Api Neraka' yang sudah di sempurnakan selama menyendiri. Yu Sin Yin yang saat pemunculannya kembali yang sudah menggelari diri dengan Nenek Selir keluar dari persembunyiannya. Tapi kemunculannya yang kedua kali ini jauh berbeda dengan kemunculannya yang pertama kali ketika mendapakan bekal dari kawasan pegunungan Himalaya.

Pada kemunculannya yang kedua, sifat Yu Sin Yin sudah berubah. Dia memang tetap garang. Tapi dia tidak lagi ringan tangan membunuh siapa saja yang tidak mau memberi keterangan. Bahkan dia tidak lagi bertanya-tanya pada setiap orang yang ditemui. Ia kali ini berusaha mencari dengan menyelidiki sendiri tanpa pernah bertanya. Namun semua kalangan rimba persilatan sudah tahu apa sebenarnya yang dicari nenek ini.

Kobaran dua api yang keluar dari kedua pedang Nenek Selir terus berkiblat. Karena ilmu kesaktian 'Bunga Api Neraka' yang dilepas saat itu sudah disempurnakan, apalagi dalam menghadapi orang yang selama ini dicari, maka kedahsyatannya tidak bisa dianggap main-main.

Di lain pihak, mendapati serangan dahsyat begitu rupa, Manusia Tanah Merah tercekat beberapa saat. Dia tahu apa akibat jika terkena dua kobaran api dari kedua pedang si nenek menghantam tubuhnya. Sebenarnya Manusia Tanah Merah sudah memutuskan untuk tidak menahan pukulan 'Bunga Api Neraka' yang dilepas Yu Sin Yin alias Nenek Selir, yang beberapa puluh tahun silam pernah menjalin hubungan dengannya dan sempat menghasilkan seorang anak. 

Tapi ketika ingat bahwa dia masih harus mencari dimana keberadaan anaknya hasil hubungan dengan Yu Sin Yin, niatnya berubah. Dia berharap bisa bertemu dengan anaknya terlebih dahulu sebelum ajal menjemputnya.

Kesadaran itu membuat Manusia Tanah Merah berniat menghadang pukulan Nenek Selir. Tapi kini kembimbangan lain menghadang hatinya. Dia memang tidak tahu apakah hadangannya nanti dapat menyelamatkan dirinya, namun satu hal yang pasti, mau tak mau hadangannya akan menimbulkan bias dan sedikit banyak bisa membuat cedera Nenek Selir. Padahal Manusia Tanah Merah sudah tidak ingin menambah luka yang pernah ditorehkan pada bekas kekasihnya di masa muda itu!

Kebimbangan Manusia Tanah Merah membuat laki-laki ini terlambat membuat hadangan. Hingga meski dia sempat membuat gerakan dengan angkat kedua tangannya, namun belum sempat kedua tangannya bergerak lebih jauh, dua kobaran api sudah beberapa jengkal didepan hidungnya! Manusia Tanah Merah berseru tegang. 

Sepasang membesar memperhatikan dua kobaran api yang berkiblat lurus kearah kepala dan dadanya. Dan mungkin berpikir sudah terlambat untuk membuat hadangan, akhirnya laki-laki ini hanya bisa pejamkan mata dan pasrah menjemput ajal!

Dua jengkal lagi dua kobaran api menghantam telak kepala dan dada Manusia Tanah Merah, mendadak satu gelombang dahsyat berkiblat dari pinggiran sungai menghantam lurus kearah bagian perahu dimana Manusia Tanah Merah tegak pasrah menjemput ajal.

Braakkk! Byuuurr!

Bagian hulu perahu dimana Manusia Tanah Merah tegak berdiri langsung berderak pecah porak poranda. Air muncrat ke udara setinggi dua tombak. Porak porandanya bagian perahu membuat Manusia Tanah Merah langsung amblas masuk kedalam air sungai. Dan hal ini menyelamatkan tubuhnya dari kiblatan dua kobaran api.

Wussss! Wusss!

Dua kobaran api dari ilmu kesaktian 'Bunga Api Neraka' terus menerabas udara kosong. Lalu menghantam aliran sungai jauh didepan sana.

Byurrr!Byurrr!

Permukaan air semburat keudara laksana gelombang dahsyat muncratkan gumpalan bara. Lamping sungai bergetar keras dan sebagian langsung longsor membuat permukaan air kembali bergelombang hebat! Nenek Selir menjerit laksana merobek langit. kedua tangannya yang baru saja lepaskan 'Bunga Api Neraka' cepat ditarik pulang.

Hebatnya, walau bagian depan perahu sudah porak poranda dan perahu itu berguncang keras, bukan saja akibat gelombang yang tiba-tiba melesat dari pinggiran sungai, tapi juga akibat bias pukulannya yang menghantam permukaan air sungai, namun sosok Nenek Selir laksana terpacak.

Tubuhnya tetap tegak diam seolah perahu yang ditumpanginya tidak mengalami apa-apa! Bahkan saat itu si nenek cepat berpaling kearah pinggiran sungai dari mana tadi satu gelombang berkiblat menghantam bagian perahu dimana Manusia Tanah Merah berdiri tegak menghadapi dua kobaran api.

Sepasang bola mata Nenek Selir berputar menembusi pinggiran sungai. Namun karena saat itu malam telah menjelang, dan pinggiran sungai adalah kawasan hutan bambu, mata si nenek hanya bisa menangkap gerumbulan hitam rumpun bambu dan beberapa bongkahan tanah lamping sungai.

"Apa pun yang baru saja terjadi, pasti ada tangan jahanam yang turut campur urusanku!" desis Nenek Selir dengan dagu mengembung. Dia pentang mata sekali lagi lalu edaran bola mata mengelilingi pinggran sungai! Saat itulah dia ingat pada Manusia Tanah Merah.

"Aku yakin pukulanku lolos tidak menghantam tubuh jahanam itu! Berarti keparat itu masih bernyawa!"

Ingat begitu, si nenek langsung melompat kearah depan dimana tadi Manusia Tanah Merah tegak berdiri dan kini keadaannya sudah pecah dan air mulai masuk. Sepasang matanya dijerengkan menembusi permukaan air yang masih bergelombang. Namun sejauh ini matanya tidak menemukan lagi sosok orang yang dicari.

Nenek Selir jadi tidak sabaran dan putus asa. Hingga seraya berteriak marah, kedua tangannya yang masih menggenggam dua buah pedang disentakkan ke permukaan air dimana sosok Manusia Tanah Merah amblas masuk.

Wuuutt! Wuutt!

Dua kobaran api kembali berkiblat melesat dari dua buah pedang ditangan si nenek. Terdengar gemuruh dahsyat. Lalu permukaan air sungai membentuk gelombang besar muncrat keudara berubah menjadi bongkahan bara!

Perahu yang kini hanya di tumpangi Nenek Selir berguncang keras. Namun disaat lain perahu itu mental keudara dan terbalik sebelum akhirnya terhempas pecah tatkala meluncur diatas gelombang permukaan air. Saat perahu mental ke udara, Nenek Selir cepat sentakkan kaki ke pinggiran perahu. Sosoknya melesat diatad permukaan air dan dalam beberapa saat kemudian telah tegak berdiri dipinggiran sungai dikawasan hutan bambu. Untuk beberapa lama Nenek Selir memandang tak berkesip kearah aliran sungai dimana gelombang besar akibat gempurannya menghantam.

"Aneh... Kemana minggatnya jahanam itu?! Kalau dia masih hidup, tentu nafasnya sudah sesak dan pasti akan muncul kepermukaan! Kalau sudah mampus, tentu aku melihat apungan sosok jahanamnya! Tapi aku tidak melihat apa-apa!"

Si nenek bergumam. Tubuhnya makin bergetar akibat menahan marah. Saat itulah dia ingat lagi kalau ada seseorang yangikut campur urusannya hingga membuat Manusia Tanah Merah lenyap tak bisa dijajaki. Nenek Selir berpaling ke kawasan hutan bambu. Kedua tangannya diangkat. Kejap lain dia berteriak.

"Siapapun kau adanya, lekas tunjukkan diri! Jika tidak, akan ku hanguskan seluruh hutan bambu ini!"

Tidak terdengar sahutan atau terlihat tanda-tanda akan munculnya seseorang. Nenek Selir dongakkan kepala. Lalu berteriak sekali lagi.

"Aku mencium bau keberadaan mu ditempat ini! Mungkin aku masih bisa memberi ampun kalau kau cepat turuti permintaanku! Kalau tidak, jangan pernah bermimpi kau bisa lolos dari tanganku!"

Lagi-lagi tidak terdengar sahutan atau adanya tanda-tanda keberadaan seseorang, membuat dada si nenek laksana pecah menindih hawa kemarahan. Hingga untuk lamppiaskan kemarahannya dia sentakkan kedua tangannya kerumpun bambu.

Tapi sebelum dua kobaran api dari ilmu 'Bunga Api Neraka' sempat berkiblat keluar, mendadak telinga tajam si nenek mendengar suara kecipakan air. Nenek Selir tahan gerakan kedua tangannya. Saat yang sama kepalanya disentakkan berpaling kearah sumber suara kecipakan. Matanya dipentang besar-besar dan kedua tangannya diputar. Samar-samar si nenek melihat dua benda hitam timbul tenggelam dipermukaan air dan bergerak-gerak merapat kepinggiran sungai didepan sana.

"Aku tahu betul aliran sungai ini tidak dihuni ikan besar. Mustahil pula benda hitam itu adalah hancuran kayu perahu karena bergerak menantang arus! Pasti benda hitam itu..."

Si nenek tidak lanjutkan bergumam. Sebaliknya, laksana orang kesurupan, dia cepat berkelebat kearah mana dua benda hitam yang timbul tenggelam tengah merapat.

***
SEBELAS
Wuutt! Wuutt!

Baru saja kaki Nenek Selir tegak, dua sosok tubuh melesat keluardari dalam air. Lalu tegak dengan masing-masing sosok kucurkan air dari tubuh, pakaian dan rambut yang basah kuyup. Dalam gelapnya malam dan rasa penasaran Nenek Selir melihat seorang perempuan berusia lanjut bertubuh tambun besar mengenakan pakaian sangat ketat berwarna merah menyala. 

Rambutnya putih panjang menjulai hingga betis. Sepasang matanya sipit. Wajahnya menggumpal tebal, hingga hidungnya laksana melesak masuk. Mulutnya hampir-hampir tidak kelihatan karena tertutup tebalnya kulit pada pipi kanan kirinya.

Nenek Selir mendengus keras. Lalu sentakkan wajahnya kesamping. Darah si nenek laksana naik ke ubun-ubun ketika melihat dia melihat Manusia Tanah Merah tegak sambil usap-usap wajanya yang basah. Belum sampai si nenek buka mulut, Manusia Tanah Merah menoleh kesamping kearah sosok perempuan berambut panjang berpakaian merah ketat. Lalu berujar pelan.

"Terima kasih... Kalau tidak ada kau, pasti nyawaku sudah melayang diatas sungai!"

"Diatas sungsi nyawamu selamat! Tapi jangan kira kau bisa hidup diatas darat!" Nenek Selir sudah menyahut. Lalu memandang silih berganti pada kedua orang dihadapannya. Saat lain sia sambungi ucapan dengan memandang tajam pada perempuan tua bertubuh tambun besar.

"Putri Pusar Bumi! Tidak kusangka kalau kau bergendak ria dengan laki-laki jahanam itu! Kau bisa menyelamatkannya, tapi apa kau bisa selamatkan nyawamu sendiri?!"

Nenek bertubuh tambun berambut putih menjulai hingga betis dan bukan lai memang Putri Pusar Bumi adanya tersenyum. Lalu berkata. "Nenek Selir... Aku tahu kau cemburu. Aku jugs tidak bisa jamin selamatnya nyawaku. Tapi harap kau dengar ucapan ku. Masih ada yang hars kau selesaikan terlebih dahulu sebelum kau tumpahkan dendam padanya!" Putri Pusar Bumi lempar lirikan pada Manusia Tanah Merah.

"Beraninya kau mengaturku!" hardik Nenek Selir.

"Ah... Ah... Siapa mengatur. Aku hanya berharap kau dengar ucapan ku! Kau tidak perlu memikirkannya sekarang. Karena aku perlu waktu! Sekarang aku harus pergi..."

Belum sampai Putri Pusar Bumi membuat gerakan, Nenek Selir sudah bergerak dan tahu-tahu sudah tegak menghadang dihadapan si nenek bertubuh tambun besar.

"Apapun alasanmu, kau telah berani lancang mencampuri urusanku! Kau harus bayar kelancanganmu!"


Bersamaan selesainya ucapan, Nenek Selir angkat kedua tangannya yang masih memegang dua buah pedang. Namun sebelum kedua tangannya sempat berkelebat, Manusia Tanah Merah sudah bula suara.

"Yu Sin Yin... Urusanmu denganku...!"

"Hem... Jadi kau membelanya?! Bagus! Satu nyawa uang kucari, tapi aku beruntung mendapat tambahan datu lagi!"

"Yu Sin Yin... Kuharap kau tidak melibatkannya. Dan kukatakan sekali lagi, aku akan serahkan diri padamu jika urusan anak begitu selesai!"

"Terlambat ucapanmu itu kau katakan, Wan Su Ji! Seharusnya ucapan itu kau katakan pada beberapa tahun silam!"

"Yu Sin Yin... Aku telah mengaku bersalah padamu! Ku harap kau memberiku kesempatan untuk menebusnya dengan..."

"Tebusan yang pantas adalah jebolnya jantungmu!" Nenek Selir memotong. Kedua tangannya teruskan gerakan. Saat lain kedua tangannya sudah menggenggam dua buah pedang yang berada disanggulan rambutnya.

"Baiklah... Aku akan turuti permintaan mu. Mungkin sudah takdirku harus mampus sebelum dapat bertemu dengan anak kita. Tapi kuharap kau biarkan sahabat Putri Pusar Bumi tinggalkan tempat ini!" kata Manusia Tanah Merah bernada pasrah.

Nenek Selir melirik pada Putri Pusar Bumi. "Tua bangka ini bukan Manusia sembarangan! Lebih baik aku biarkan dia enyah dari sini. Begitu laki-laki jahanam itu mampus, aku akan mencarinya!" Nenek Selir membatin. Lalu berkata.

"Putri Pusar Bumi! Sebelum niatku berubah,lekas angkat kaki dari hadapanku!"

Putri Pusar Bumi memandang pulang balik pada Manusia Tanah Merah dan Nenek Selir.

"Sahabat... Sekali lagi kuucapkan terimakasih... Sekarang kuharap kau turuti saja permintaannya..."

Putri Pusar Bumi angkat bahu. Tanpa buka mulut lagi perempuan bertubuh tambun besar ini melangkah tinggalkan tempat itu.

Berada berdua dengan Manusia Tanah Merah, Nenek Selir segera melangkah mendekati Manusia Tanah Merah dengan tangan terangkat keatas. "Wan Su Ji! Sebelum nyawamu ku antar ke neraka, masih ada yang hendak kau katakan?!"

"Kau dulu yang mengatakan apa pesanmu sebelum ku antar ke neraka?!" Tiba-tiba satu suara menyahut sebelum Manusia Tanah Merah sempat buka mulut.

Nenek Selir terkesiap kaget. "Jahanam! Jelas itu bukan suara perempuan tambun tadi! Tapi siapa?!"

Dalam kagetnya si nenek cepat berpaling. Namun dia tidak melihat siapa-siapa! Tidak sabaran, si nenek segera membentak. "Siapa bicara?! Mengapa bertindak pengecut tak mau unjuk tampang?!"

Baru saja Nenek Selir membentak begitu, satu sosok tubuh melayang turun dari rimbun gelapnya rumpun bambu. Saat bersamaan, dari arah berlawanan melesat juga satu sosok tubuh. Pentangkan mata, Nenek Selir segera memandang kedepan. Dia melihat dua orang tegak berjajar sepuluh langkah dihadapannya. Tanpa melihat siapa adanya dua orang yang mendadak muncul, Nenek Selir sudah buka mulut membentak.

"Katakan! Jahanam siapa kalian berdua?!"

Dua orang yang dibentak bukannya menjawab dengan buka mulut, namun sama-sama sentakkan tangan masing-masing kearah Nenek Selir.

Wuuttt! Wuuttt! Wuuttt! Wuuttt!

Empat gelombang dahsyat menderu angker kearah batok kepala Nenek Selir. Nenek Selir berseru tegang. Pukulan 'Bunga Api Neraka' yang tadi disiapkan untuk dilepas kearah Manusia Tanah Merah serta merta dibelokkan dan kini dipukulkan kearah dua orang yang baru saha muncul.

Wuuttt! Wuuttt!

Dua pedang ditangan Nenek Selir menderu diatas udara. Saat bersamaan, dua kobaran api melesat keluar dari tubuh pedang perdengarkan gemuruh dan mengubah suasana dingin menjadi panas menyengat.

Buummm! Buummm!

Dua ledakan keras terdengar. Empat gelombang yang datang berkiblat kearah Nenek Selir langsung semburat dan menghantam rumpun bambu. Beberapa rumpun bambu perdengarkan suara gemerisik lalu mencelat tersapu. Sementara dua kobaran api yang melesat keluar dari dua pedang si nenek mental keudara. Namun saat lain, mendadak dua kobaran api itu menukik deras menuju dua sasaran! Terdengar suara berseru. Dalam jilatan dua kobaran api, terlihat dua sosok tubuh berkelebat lalu bergulingan diatas tanah!

Blaarr! Blaarr!

Untuk kedua kalinya terdengar ledakan keras tatkala dua kobaran api menghajar tanah dimana dua sosok yang baru saja berkelebat tegak berdiri. Tanah ditempat itu bergetar laksana dilanda gempa hebat. Tanahnya muncrat berubah jadi gumpalan bara. Lalu terlihat dua lobang menganga kepulkan asap.

Nenek Selir buru-buru melompat. Kedua tangannya kembali diangkat keudara. Lalu berteriak. "Aku tidak meminta kedua kali agar kalian sebutkan diri! Tapi itu berarti kalian berdua bakal mampus tanpa diketahui!"

Dua orang yang masih bergulingan ditanah cepat bergerak bangkit lalu tegak memandang pada Nenek Selir. Lain pihak, tampaknya si nenek tidak begitu peduli. Dia bukannya memandang pada dua orang yang baru saja lepaskan pukulan kearahnya, melainkan arahkan pandangan matanya kearah Manusia Tanah Merah yang kini tegak dengan rangkapkan kedua tangan. 

Dari sikapnya jelas kalau si nenek lebih mengkhawatirkan Manusia Tanah Merah daripada dua orang yang baru muncul. Karena tidak juga terdengar sahutan, Nenek Selir alihkan pandangannya dari sosok Manusia Tanah Merah kearah dua sosok yang baru saja muncul.

"Perempuan tua. Rambutnya putih jarang dan cepak. Matanya melotot. Memakai pakaian panjang. Pada pinggangnya memakai ikat pinggang yang dihias beberapa pisau kecil!" gumam Nenek Selir memperhatikan sosok sebelah kanan. "Aku tidak pernah ber temu dengan jahanam tua itu! Aku tidak mengenalnya!" si nenek teruskan pandangan kearah sosok satunya.

"Jahanam satunya seorang perempuan juga. Dia mengenakan baju besar kedodoran. Mukanya pucat seperti mayat. Mataku baru kali ini juga melihatnya! Apa maksud kedua setan perempuan itu?! Mungkinkah mereka perempuan simpanan laki-laki keparat itu dan tak rela kalau nyawanya lepas ditanganku?!"

"Nenek Selir!" Tiba-tiba sosok di sebelah kanan yang ternyata adalah seorang nenek berambut putih cepak dan jarang yang pada perutnya melingkar sebuah ikat pinggang yang dipenuhi dengan beberapa pisau kecil buka mulut. "Kau simak baik-baik ucapanku. Aku adalah Siluman Sebelas Muara! Temanku ini Ratu Pulau Mayat. 

Pada beberapa puluh tahun lalu, kau telah menghabisi kakak kandungku serta adik kandung Ratu Pulau Mayat yang keduanya adalah saudara seperguruan karena tidak mau memberitahukan dimana keberadaan laki-laki mu itu!" orang yang sebutkan diri sebagai Siluman Sebelas Muara berpaling pada Manusia Tanah Merah. "Kini kami berdua datang meminta tanggung jawab!"

"Hem... Saudara-Saudara kalian memang pantas mampus! Kau tahu! Mereka bukan saja tidak mau memberi keterangan apa yang kuminta, tapi berusaha menjamahku! Kau dengar itu?! Saudara-Saudara kalian berusaha memperkosaku! Apakah manusia macam mereka masih pantas diberi kesempatan menikmati sedspnya hidup?!" Nenek Selir berucap lalu tertawa cekikikan panjang sebelum akhirnya melanjutkan.

"Kalian kuberi ingat! Kalau hendak membela saudara yang tindakannya bejat begitu rupa, kalian bukan saja perempuan tua yang tolol, namun juga nenek bau tanah yang sia-siakan umur. Enyahlah dari depanku! Atau kalian akan..."

Belum sampai ucapan si nenek selesai, Siluman Sebelas Muara telah menyahut. "Tidak seorangpun yang percaya akan bualanmu, tua bangka! Kami telah menanti dan menunggu saat-saat seperti sekarang ini. Setelah saat itu tiba, apakah kami harus pulang balik hanya karena bualanmu?!"

Darah Nenek Selir jadi mendidih. Kalau dia tadi tidak ingin teruskan urusan dengan dua orang dihadapannya, kini niatnya berubah. Apalagi dengan kemunculan orang, urusannya dengan Manusia Tanah Merah jadi tertunda. Maka seraya maju dua tindak, si nenek menghardik.

"Ternyata kalian perempuan tua yang tolol! Percuma kalian terus berada di muka bumi!" bersama dengan selesainya ucapan, Nenek Selir sentakkan kedua tangan.

Wuuttt! Wuuttt!

Suasana gelap malam berubah terang benderang tatkala dari kedua pedang ditangan si nenek berkiblat dua kobaran api perdengarkan gemuruh menggidikkan. Tampaknya Siluman Sebelas Muara dan Ratu Pulau Mayat sudah bisa membaca gelagat. Hingga begitu kedua tangan Nenek Selir bergerak, kedua orang ini segera melesat kesamping. Tangan masing-masing orang bergerak.

Wuuttt! Wuuttt! Wuuttt! Wuuttt!

Dalam terangnya dua kobaran api, terlihat beberapa benda putih berkiblat menderu lurus kearah Nenek Selir. Lalu tampak dua gelombang hitam berkiblat semburkan hawa dingin menusuk.

Wusss! Wusss! Blammm! Blammm!

Kawasan hutan bambu pecah laksana di hantam badai dan gelap. Dua kobaran api terus melesat. Sementara dua gelombang hitam langsung amblas porak poranda. Beberapa benda putih berkiblat yang bukan lain adalah beberapa pisau milik Siluman Sebelas Muara tampak bermentalan. Namun dua lagi masih terus menyambar lurus kearah Nenek Selir.

Siluman Sebelas Muara dan Ratu Pulau Mayat terdorong deras beberapa tombak kebelakang. Lalu jatuh terduduk diatas tanah dengan sekujur tubuh berubah merah laksana orang terpanggang. Pakaian yang dikenakan masing-masing hangus. Siluman Sebelas Muara cepat gulingkan tubuh lalu kerahkan tenaga dalam. 

Namun nenek ini jadi tercengang. Memandang pada kedua tangan dan sekujur tubuhnya, matanya mendelik. Ternyata kulit pada kedua tangan dan sekujur tubuhnya telah mengelupas hingga yang terlihat hanyalah warna putih! Saat bersamaan, tubuhnya terasa panas bukan alang kepalang.

"Aku bisa celaka kalau terus berada ditempat ini!" gumam Siluman Sebelas Muara. Dia melirik sesaat pada Nenek Selir. "Hem... Tampaknya salah satu senjataku tidak bisa dibendung! Dia terluka... Tapi terlalu bodoh kalau terus menghadapinya sementara aku sendiri belum rahu apa yang tengah kualami!"

Siluman Sebelas Muara alihkan pandangannya pada Ratu Pulau Mayat. Namun karena suasana sudah gelap kembali, dia hanya melihat gerakan-gerakan sosok Ratu Pulau Mayat.

"Pasti dia tahu apa yang harus dilakukan!" desis Siluman Sebelas Muara. Dengan edarkan pandangan berkeliling, nenek ini bergerak bangkit lalu berkelebat menembusi rimbun kawasan hutan bambu.

Di lain pihak, Ratu Pulau Mayat tak kalah kagetnya mendapati kulit sekujur tubuhnya mengelupas dan hawa panas menyengat mulai membakar. Dia cepat bergulingan diatas tanah. Namun begitu kulitnya yang mengelupas bersentuhan dengan tanah, rasa panas makin terasa membakar. Saat itulah nenek ini ingat akan aliran sungai yang tidak jauh dari tempat itu.

Karena hanya berpikir untuk mendinginkan tubuh dan satu-satunya jalan adalah dengan air, maka dengan berseru laksana orang kalap, nenek ini bergerak bangkit lalu berlari kearah sungai.

"Byuurrr!" Sosok Ratu Pulau Mayat amblas masuk kedalam sungai. Untuk beberapa saat si nenek bernafas lega. Karena hawa panas yang laksana membakar sekujur tubuhnya lenyap seketika.

Tapi semua itu hanya sekejap. Saat lain mendadak nenek ini berseru tegang. Dia merasakan sekujur tubuhnya laksana ditusuk-tusuk jarum. Hawa panas makin menyengat. Saking tidak kuasa bertahan, nenek ini tampak melonjak-lonjak diatas permukaan air sungai. Namun itu pun berlangsung tidak lama. Karena begitu merasakan tubuhnya makin panas, si nenek jadi putus asa. Sambil menjerit menahan sakit, kedua tangannya dihantamkan pada batok kepalanya!

"Praaakkk!" Jeritan Ratu Pulau Mayat terputus. Kepalanya teleng kekanan. Saat bersamaan sosoknya tenggelam kedalam air. Lalu aliran sungai berubah menjadi kemerahan!

Sementara dikawasan hutan bambu, sosok Nenek Selir tampak tegak terhuyung-huyung. Dia cepat angkat kedua tangannya selinapkan kedua pedang pada sanggulan rambutnya. Saat lain kedua tangannya bergerak kearah bahu kiri dimana terlihat pakaiannya robek dan satu pisau menancap kucurkan darah.

Walau tancapan pisau milik Siluman Sebelas Muara tidak terlalu dalam, namun si nenek maklum kalau pisau itu bukan pisau sembarangan. Karena bersamaan dengan itu, tubuhnya terasa disentak-sentak dengan beribu-ribu jarum. Dengan kerahkan tenaga dalam, Nenek Selir cepat cabut pisau di bahu kirinya. Lalu diselinapkan ke balik pakaiannya. Kejap lain kedua tangannya bergerak. Ta



Blaarr! Blaarr!

Untuk kedua kalinya terdengar ledakan keras tatkala dua kobaran api menghajar tanah dimana dua sosok yang baru saja berkelebat tegak berdiri. Tanah ditempat itu bergetar laksana dilanda gempa hebat. Tanahnya muncrat berubah jadi gumpalan bara. Lalu terlihat dua lobang menganga kepulkan asap.

Nenek Selir buru-buru melompat. Kedua tangannya kembali diangkat keudara. Lalu berteriak. "Aku tidak meminta kedua kali agar kalian sebutkan diri! Tapi itu berarti kalian berdua bakal mampus tanpa diketahui!"

Dua orang yang masih bergulingan ditanah cepat bergerak bangkit lalu tegak memandang pada Nenek Selir. Lain pihak, tampaknya si nenek tidak begitu peduli. Dia bukannya memandang pada dua orang yang baru saja lepaskan pukulan kearahnya, melainkan arahkan pandangan matanya kearah Manusia Tanah Merah yang kini tegak dengan rangkapkan kedua tangan. 

Dari sikapnya jelas kalau si nenek lebih mengkhawatirkan Manusia Tanah Merah daripada dua orang yang baru muncul. Karena tidak juga terdengar sahutan, Nenek Selir alihkan pandangannya dari sosok Manusia Tanah Merah kearah dua sosok yang baru saja muncul.

"Perempuan tua. Rambutnya putih jarang dan cepak. Matanya melotot. Memakai pakaian panjang. Pada pinggangnya memakai ikat pinggang yang dihias beberapa pisau kecil!" gumam Nenek Selir memperhatikan sosok sebelah kanan. "Aku tidak pernah ber temu dengan jahanam tua itu! Aku tidak mengenalnya!" si nenek teruskan pandangan kearah sosok satunya.

"Jahanam satunya seorang perempuan juga. Dia mengenakan baju besar kedodoran. Mukanya pucat seperti mayat. Mataku baru kali ini juga melihatnya! Apa maksud kedua setan perempuan itu?! Mungkinkah mereka perempuan simpanan laki-laki keparat itu dan tak rela kalau nyawanya lepas ditanganku?!"

"Nenek Selir!" Tiba-tiba sosok di sebelah kanan yang ternyata adalah seorang nenek berambut putih cepak dan jarang yang pada perutnya melingkar sebuah ikat pinggang yang dipenuhi dengan beberapa pisau kecil buka mulut. "Kau simak baik-baik ucapanku. Aku adalah Siluman Sebelas Muara! Temanku ini Ratu Pulau Mayat. 

Pada beberapa puluh tahun lalu, kau telah menghabisi kakak kandungku serta adik kandung Ratu Pulau Mayat yang keduanya adalah saudara seperguruan karena tidak mau memberitahukan dimana keberadaan laki-laki mu itu!" orang yang sebutkan diri sebagai Siluman Sebelas Muara berpaling pada Manusia Tanah Merah. "Kini kami berdua datang meminta tanggung jawab!"

"Hem... Saudara-Saudara kalian memang pantas mampus! Kau tahu! Mereka bukan saja tidak mau memberi keterangan apa yang kuminta, tapi berusaha menjamahku! Kau dengar itu?! Saudara-Saudara kalian berusaha memperkosaku! Apakah manusia macam mereka masih pantas diberi kesempatan menikmati sedspnya hidup?!" Nenek Selir berucap lalu tertawa cekikikan panjang sebelum akhirnya melanjutkan.

"Kalian kuberi ingat! Kalau hendak membela saudara yang tindakannya bejat begitu rupa, kalian bukan saja perempuan tua yang tolol, namun juga nenek bau tanah yang sia-siakan umur. Enyahlah dari depanku! Atau kalian akan..."

Belum sampai ucapan si nenek selesai, Siluman Sebelas Muara telah menyahut. "Tidak seorangpun yang percaya akan bualanmu, tua bangka! Kami telah menanti dan menunggu saat-saat seperti sekarang ini. Setelah saat itu tiba, apakah kami harus pulang balik hanya karena bualanmu?!"

Darah Nenek Selir jadi mendidih. Kalau dia tadi tidak ingin teruskan urusan dengan dua orang dihadapannya, kini niatnya berubah. Apalagi dengan kemunculan orang, urusannya dengan Manusia Tanah Merah jadi tertunda. Maka seraya maju dua tindak, si nenek menghardik.

"Ternyata kalian perempuan tua yang tolol! Percuma kalian terus berada di muka bumi!" bersama dengan selesainya ucapan, Nenek Selir sentakkan kedua tangan.

Wuuttt! Wuuttt!

Suasana gelap malam berubah terang benderang tatkala dari kedua pedang ditangan si nenek berkiblat dua kobaran api perdengarkan gemuruh menggidikkan. Tampaknya Siluman Sebelas Muara dan Ratu Pulau Mayat sudah bisa membaca gelagat. Hingga begitu kedua tangan Nenek Selir bergerak, kedua orang ini segera melesat kesamping. Tangan masing-masing orang bergerak.

Wuuttt! Wuuttt! Wuuttt! Wuuttt!

Dalam terangnya dua kobaran api, terlihat beberapa benda putih berkiblat menderu lurus kearah Nenek Selir. Lalu tampak dua gelombang hitam berkiblat semburkan hawa dingin menusuk.

Wusss! Wusss! Blammm! Blammm!

Kawasan hutan bambu pecah laksana di hantam badai dan gelap. Dua kobaran api terus melesat. Sementara dua gelombang hitam langsung amblas porak poranda. Beberapa benda putih berkiblat yang bukan lain adalah beberapa pisau milik Siluman Sebelas Muara tampak bermentalan. Namun dua lagi masih terus menyambar lurus kearah Nenek Selir.

Siluman Sebelas Muara dan Ratu Pulau Mayat terdorong deras beberapa tombak kebelakang. Lalu jatuh terduduk diatas tanah dengan sekujur tubuh berubah merah laksana orang terpanggang. Pakaian yang dikenakan masing-masing hangus. Siluman Sebelas Muara cepat gulingkan tubuh lalu kerahkan tenaga dalam. 

Namun nenek ini jadi tercengang. Memandang pada kedua tangan dan sekujur tubuhnya, matanya mendelik. Ternyata kulit pada kedua tangan dan sekujur tubuhnya telah mengelupas hingga yang terlihat hanyalah warna putih! Saat bersamaan, tubuhnya terasa panas bukan alang kepalang.

"Aku bisa celaka kalau terus berada ditempat ini!" gumam Siluman Sebelas Muara. Dia melirik sesaat pada Nenek Selir. "Hem... Tampaknya salah satu senjataku tidak bisa dibendung! Dia terluka... Tapi terlalu bodoh kalau terus menghadapinya sementara aku sendiri belum rahu apa yang tengah kualami!"

Siluman Sebelas Muara alihkan pandangannya pada Ratu Pulau Mayat. Namun karena suasana sudah gelap kembali, dia hanya melihat gerakan-gerakan sosok Ratu Pulau Mayat.

"Pasti dia tahu apa yang harus dilakukan!" desis Siluman Sebelas Muara. Dengan edarkan pandangan berkeliling, nenek ini bergerak bangkit lalu berkelebat menembusi rimbun kawasan hutan bambu.

Di lain pihak, Ratu Pulau Mayat tak kalah kagetnya mendapati kulit sekujur tubuhnya mengelupas dan hawa panas menyengat mulai membakar. Dia cepat bergulingan diatas tanah. Namun begitu kulitnya yang mengelupas bersentuhan dengan tanah, rasa panas makin terasa membakar. Saat itulah nenek ini ingat akan aliran sungai yang tidak jauh dari tempat itu.

Karena hanya berpikir untuk mendinginkan tubuh dan satu-satunya jalan adalah dengan air, maka dengan berseru laksana orang kalap, nenek ini bergerak bangkit lalu berlari kearah sungai.

"Byuurrr!" Sosok Ratu Pulau Mayat amblas masuk kedalam sungai. Untuk beberapa saat si nenek bernafas lega. Karena hawa panas yang laksana membakar sekujur tubuhnya lenyap seketika.

Tapi semua itu hanya sekejap. Saat lain mendadak nenek ini berseru tegang. Dia merasakan sekujur tubuhnya laksana ditusuk-tusuk jarum. Hawa panas makin menyengat. Saking tidak kuasa bertahan, nenek ini tampak melonjak-lonjak diatas permukaan air sungai. Namun itu pun berlangsung tidak lama. Karena begitu merasakan tubuhnya makin panas, si nenek jadi putus asa. Sambil menjerit menahan sakit, kedua tangannya dihantamkan pada batok kepalanya!

"Praaakkk!" Jeritan Ratu Pulau Mayat terputus. Kepalanya teleng kekanan. Saat bersamaan sosoknya tenggelam kedalam air. Lalu aliran sungai berubah menjadi kemerahan!

Sementara dikawasan hutan bambu, sosok Nenek Selir tampak tegak terhuyung-huyung. Dia cepat angkat kedua tangannya selinapkan kedua pedang pada sanggulan rambutnya. Saat lain kedua tangannya bergerak kearah bahu kiri dimana terlihat pakaiannya robek dan satu pisau menancap kucurkan darah.

Walau tancapan pisau milik Siluman Sebelas Muara tidak terlalu dalam, namun si nenek maklum kalau pisau itu bukan pisau sembarangan. Karena bersamaan dengan itu, tubuhnya terasa disentak-sentak dengan beribu-ribu jarum. Dengan kerahkan tenaga dalam, Nenek Selir cepat cabut pisau di bahu kirinya. 

Lalu diselinapkan ke balik pakaiannya. Kejap lain kedua tangannya bergerak. Tangan kanan meremas sekitar luka, sementara tangan kiri menotok aliran darah. Saat itu juga dari robekan luka mengucur darah berwarna kehitaman, pertanda kalau ujung pisau telah dilumuri racun.

"Keparat benar! Ada saja jahanam yang menunda Urusanku" gumam Nenek Selir. Dia cepat kerahkan hawa murni karena sentakan-sentakan laksana ribuan jarum makin gencar. Namun tampaknya si nenek tidak menduga, jika aliran hawa murni yang disalurkannya membuat sentakan-sentakan itu makin dahsyat. Inilah kehebatan pisau Siluman Sebelas Muara. Racun yang berada pada ujung pisau makin merajam jika dilawan dengan pengerahan hawa murni.

"Celaka! Aku salah duga...!" desis Nenek Selir sadar akan apa yang terjadi.

Namun kesadarannya datang terlambat. Hingga belum tahu apa yang harus diperbuat, sosoknya telah limbung. Namun beberapa jengkal lagi sosok nenek Selir jatuh menghantam tanah, satu bayangan berkelebat menyambar tubuh si nenek...!

S E L E S A I
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar