Serial Joko Sableng eps 39 : Dayang Tiga Purnama

SATU
DUA gadis berparas cantik itu pasang tampang dingin angker. Di hadapan mereka Pendekar 131 Joko Sableng tertawa bergelak panjang. Sementara Bidadari Pedang Cinta pulang balikkan wajah memandang silih berganti pada dua gadis di hadapannya dan melirik pada murid Pendeta Sinting yang tegak di sampingnya dengan raut kebingungan. Dalam hati diam-diam dia berkata.

“Pemuda asing satu ini aneh.... Jelas tidak ada suara yang menggelikan! Namun mendadak dia tertawa bergelak seperti orang gila.... Jangan-jangan dia memang pemuda setengah gila.... Tapi....” Bidadari Pedang Cinta menghela napas panjang. “Aku terpaksa berdusta pada Eyang hanya karena ingin tahu bagaimana keadaannya.... Tak tahunya aku harus terlibat urusan lain....” Bidadari Pedang Cinta melirik pada dua gadis di hadapannya dan teruskan membatin.

“Mengapa dua gadis ini mencari Bidadari Tujuh Langit?! Apakah mereka tidak tahu kalau perempuan yang mereka cari memiliki kelainan?! Atau janganjangan mereka juga mempunyai sifat seperti Bidadari Tujuh Langit....” Membatin sampai di situ, tiba-tiba kuduk Bidadari Pedang Cinta berubah dingin. Apalagi teringat ucapan dan tindakan yang hendak dilakukan Bidadari Tujuh Langit beberapa saat yang lalu.

Seperti diketahui, Bidadari Pedang Cinta dan Bidadari Delapan Samudera sempat hendak diperlakukan tidak senonoh oleh Bidadari Tujuh Langit yang memiliki kelainan lebih suka dengan sesama jenis daripada dengan laki-laki. Untung saat itu muncul murid Pendeta Sinting yang menghadang tindakan Bidadari Tujuh Langit. Dan pada saat yang tepat, Iblis Pedang Kasih berkelebat menyelamatkan Bidadari Pedang Cinta serta Bidadari Delapan Samudera.

Begitu Bidadari Delapan Samudera pergi, Bidadari Pedang Cinta segera pula minta izin pada eyangnya. Dan secara tak sengaja Bidadari Pedang Cinta menemukan Pendekar 131 tengah berduaan bicara dengan Bidadari Delapan Samudera di pinggiran sungai. Didera oleh perasaan tidak enak, akhirnya Bidadari Delapan Samudera segera berkelebat pergi.

Bidadari Pedang Cinta juga akan pergi, tapi murid Pendeta Sinting mencegah dan memberi keterangan pada Bidadari Pedang Cinta soal hubungannya dengan Bidadari Delapan Samudera. Tapi Bidadari Pedang Cinta tidak percaya. Apalagi dia dengar sendiri dari mulut Joko jika salah satu di antara dirinya dan Bidadari Delapan Samudera adalah kekasihnya.

Bidadari Pedang Cinta menduga yang dimaksud kekasih oleh murid Pendeta Sinting adalah Bidadari Delapan Samudera. Ketika terjadi perbincangan itulah mendadak muncul dua orang gadis berwajah cantik. Yang satu berpakaian merah, satunya lagi mengenakan baju kuning. Paras kedua gadis ini sangat mirip dan sulit dibedakan. Yang bisa membedakan mereka adalah pakaian yang mereka kenakan.

Kedua gadis berbaju merah dan kuning muncul dengan bertanya tentang ke mana perginya Bidadari Tujuh Langit. Mendengar pertanyaan kedua gadis, Pendekar 131 mendadak tertawa bergelak, membuat Bidadari Pedang Cinta sempat merasa aneh. Sebaliknya dua gadis yang muncul dengan pertanyaan mulai geram karena jawaban dan sahutan murid Pendeta Sinting jelas bernada main-main!

“Pemuda asing! Apa yang kau dengar lucu, hah?!” Gadis berbaju merah perdengarkan bentakan keras membahana. Tangan kanannya diangkat ke udara.

Joko putuskan gelakan tawanya. Kedua tangan ditakupkan di depan dada. Lalu seraya tersenyum dia menjura dan berujar. “Pertanyaan kalian memang tidak lucu apalagi menggelikan....”

“Mengapa kau tertawa ngakak?!” sahut gadis berbaju kuning seolah tak sabar.

“Yang membuatku tertawa.... Mengapa kalian bertanya padaku?! Apa kalian kira aku tahu banyak tentang orang yang kalian tanyakan?! Kalau boleh aku bertanya, siapa yang memberi kalian keterangan kalau aku adalah orang yang banyak tahu masalah orang yang kalian cari?!”

Dua gadis yang ditanya tidak segera menjawab. Pendekar 131 tertawa lagi. Lalu berucap. “Mungkin orang yang memberi keterangan pada kalian salah ucap. Atau bisa saja kalian yang salah dengar....”

“Telinga kami tidak tuli! Dan mereka tidak mungkin berdusta!” Yang menyahut adalah gadis berbaju merah.
Murid Pendeta Sinting geleng kepala. “Aku baru percaya dengan ucapan kalian jika kalian mau mengatakan siapa mereka yang memberi keterangan.... Kalau tidak.... Aku tetap berkeyakinan orang yang memberi kalian keterangan salah ucap dan kalian sendiri salah dengar...!”

Tangan kanan gadis berbaju merah yang terangkat di udara sudah hendak bergerak. Namun gadis di sebelahnya segera berbisik. “Sebaiknya kita katakan saja siapa yang memberikita keterangan! Waktu kita bisa tersita kalau terus- terusan melayani manusia gila seperti dia....”

Gadis berbaju merah batalkan niat yang hendak lepaskan pukulan. Dia tarik pulang tangan kanannya ke belakang lalu berkata. “Kau pasti pernah dengar seorang tokoh bergelar Iblis Muka Setan dan tokoh perempuan berjuluk Perempuan Kembang Darah!”

Joko kerutkan dahi. “Hem.... Yang dimaksud mereka pasti orang tua bertubuh kerempeng dan perempuan setengah baya berwajah cantik yang sempat berdebat dengan Bidadari Tujuh Langit....” Joko ingat akan pertemuannya dengan dua orang itu ketika dia bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit. Lalu bertanya.

“Apa hubunganmu dengan Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah?!”

“Pertanyaanmu terlalu banyak! Sekarang jawab saja pertanyaan kami sebelum kesabaran kami pupus!” teriak gadis berbaju kuning.

“Baik.... Aku akan turuti permintaan kalian. Tapi harap kau katakan dulu siapa kalian adanya! Dengan begitu, kalau kalian nanti tidak bertemu dengan orang yang kalian cari dan kebetulan aku bertemu dengannya, aku bisa menerangkan lebih mudah!”

“Kau tak usah ikut campur! Ini urusan kami!”

“Aku tidak akan turut campur.... Hal ini agar memudahkan bagiku untuk memberi keterangan nantinya....”  

“Kau tak usah memberi keterangan padanya! Kami yang akan mencari!” Gadis berbaju merah menyahut lagi.

Pendekar 131 geleng kepala lagi. “Tidak semudah itu melakukannya.... Dan siapa tahu Bidadari Tujuh Langit juga tengah mencari kalian. Kalau nantinya dia bertanya padaku, dan aku tidak bisa menjawab, urusan besar akan berada di mataku.... Jadi harap kalian tidak menempatkan urusan padaku dengan tidak mau menjelaskan siapa adanya diri kalian...!”

“Turuti saja kemauannya...,” bisik gadis berbaju kuning.

“Aku Galuh Sembilan Gerhana!” seru gadis berbaju merah.

“Aku Galuh Empat Cakrawala!” Gadis berbaju kuning menyahut.

“Dari nama depan kalian, tentu kalian dua saudara...,” ujar Joko.

“Terserah bagaimana pendapatmu! Yang jelas kami telah turuti kemauanmu dan kami tunggu keteranganmu! Sekali lagi kau buka mulut bukan memberi keterangan, kau akan tahu akibatnya!” Gadis berbaju merah yang sebutkan diri dengan Galuh Sembilan Gerhana buka mulut.

Joko anggukkan kepala. Lalu berkata. “Kalian pasti pernah dengar seorang perempuan cantik bertubuh bahenol berambut putih panjang bernama Putri Pusar Bumi....”

“Teruskan keteranganmu!” kata gadis berbaju kuning yang tadi sebutkan diri dengan Galuh Empat Cakrawala.

“Orang yang kalian cari pergi mengejar perempuan berparas cantik bertubuh bahenol itu!”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala saling pandang. Galuh Sembilan Gerhana berucap pelan. “Kita pernah dengar nama yang baru diucapkan pemuda itu dari Guru walau kita belum pernah bertemu orangnya! Dari keterangan Guru pula, kita tahu jika Putri Pusar Bumi punya urusan dengan Bidadari Tujuh Langit!”

“Hem.... Jadi kau percaya dengan keterangan pemuda itu ke mana perginya buruan kita?!” tanya Galuh Empat Cakrawala.

Galuh Sembilan Gerhana anggukkan kepala. Lalu arahkan pandang matanya pada murid Pendeta Sinting seraya berkata. “Ke mana arah yang diambil orang yang kami cari?!”

“Pergilah ke selatan. Kalian akan menemukan tanah terbuka yang banyak ditebari bongkahan batu. Dari sana kalian boleh mengambil jurusan ke arah barat! Itulah arah yang diambil Bidadari Tujuh Langit saat mengejar perempuan cantik bertubuh aduhai yang tadi kujelaskan....”

“Hem.... Saat ini kami percaya dengan keteranganmu! Tapi ingat.... Sekali ternyata keteranganmu dusta, selembar nyawamu adalah jaminannya!” kata Galuh Sembilan Gerhana.

“Keteranganmu tadi adalah titipan nyawa kekasihmu itu!” Galuh Empat Cakrawala menyahut. “Sekali ternyata keteranganmu palsu, nyawa kekasihmu adalah bunga dari nyawamu dan akan kami tagih sekaligus dengan nyawamu!” Seraya berkata begitu, kepala Galuh Empat Cakrawala memandang pada Bidadari Pedang Cinta.

“Aku bukan kekasihnya!” Bidadari Pedang Cinta cepat buka suara dengan paras bersemu merah.

Galuh Empat Cakrawala tertawa pendek. “Kalau kau bukan kekasihnya, mengapa nada ucapanmu tadi seperti cemburu...?!”

“Hem... Jangan-jangan mereka berdua mencuri dengar pembicaraanku dengan Bidadari Pedang Cinta...” Murid Pendeta Sinting membatin.

“Siapa cemburu?! Dia bukan apa-apa ku!” teriak Bidadari Pedang Cinta.

Mendengar teriakan meradang Bidadari Pedang Cinta, kini Galuh Sembilan Gerhana yang ganti tertawa sebelum akhirnya buka mulut. “Kau kekasihnya atau bukan adalah urusanmu dengan pemuda itu! Yang jelas kau telah dengar keterangannya dan tidak menyangkal! 

Berarti kau membenarkan keterangannya. Dan kau harus ikut bertanggung jawab kalau nantinya keterangan itu palsu!” Habis berkata begitu, Galuh Sembilan Gerhana menggaet lengan Galuh Empat Cakrawala dan menariknya untuk berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Gara-gara kau menahan kepergianku, akhirnya aku sampai ikut terlibat dengan urusan gila ini!” Bidadari Pedang Cinta berujar seraya memandang pada sosok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang berlari menuruti keterangan Pendekar 131.

“Kau tak usah khawatir, Bidadari....”

“Enak saja kau bicara!” Bidadari Pedang Cinta sudah memotong sebelum murid Pendeta Sinting selesaikan ucapannya. “Seharusnya kau bicara begitu sebelum kedua makhluk tadi pergi! Tidak setelah mereka pergi dan tidak mendengar ucapanmu!”

“Ah.... Mungkin hal ini sudah menjadi takdir kita! Dengan adanya urusan ini berarti kita harus ke mana- mana selalu berdua....”

Bidadari Pedang Cinta menyeringai. “Jangan kira aku takut menghadapi mereka berdua! Dan aku tak ingin menambah urusan dengan terus bersama denganmu!”
“Kau masih menduga Bidadari Delapan Samudera adalah kekasihku?!”

“Itu urusanmu!” sentak Bidadari Pedang Cinta lalu berkelebat pergi.

“Bidadari! Tunggu!” tahan murid Pendeta Sinting sambil mengejar.

“Kau telah membuat diriku banyak punya urusan dengan orang! Harap tidak menambah urusan ini dengan mencegahku pergi! Dan jangan coba-coba mengikutiku!” teriak Bidadari Pedang Cinta sambil hentikan larinya dan sentakkan kepala memandang angker pada Pendekar 131.

“Aku tak akan mencegah atau mengikutimu meski seharusnya kita harus bersama-sama....”

“Lalu mengapa kau mengejarku?!” tanya Bidadari Pedang Cinta lagi-lagi menukas ucapan Pendekar 131.

“Aku ingin kau menjawab pertanyaanku tentang letak Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai....”

“Kau tak akan mendapat jawaban sebelum kau katakan apa tujuan sebenarnya hendak menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai!”

Joko menghela napas. “Tak mungkin aku berterus terang padanya. Malah-malah hal itu dapat membuatnya bungkam mulut!” katanya dalam hati. Lalu berkata.

“Aku telah membuat janji dengan Dewa Asap Kayangan untuk bertemu di lembah itu!”

“Hem.... Berarti kau pernah bertemu dengan orang itu! Mengapa kau tidak bertanya langsung pada yang bersangkutan?!”

“Dia tidak memberiku kesempatan untuk bertanya!”

Bidadari Pedang Cinta terdiam beberapa lama. Setelah menghela napas panjang akhirnya gadis cantik berbaju hijau ini buka suara. “Pergilah ke arah selatan. Kira-kira dua ratus tombak dari sini kau akan menemukan sebuah hutan bambu. Setelah itu kau akan menemukan sebuah aliran sungai. Itulah sungai pertama! Setelah itu kau akan menjumpai enam sungai lainnya! Pada sungai ketujuh, kau akan mendapati sebuah lembah berbentuk bintang! Itulah tempat yang kau cari!”

“Hem.... Dari keterangannya, kali ini pasti aku tidak akan tertipu lagi!” membatin murid Pendeta Sinting. Lalu angkat bicara. “Ketika kita bertemu di kedai, sepertinya kau juga hendak menuju lembah itu.... Kalau kau mau mengatakan urusanmu, mungkin aku bisa mengutarakannya pada Dewa Asap Kayangan!”

“Urusan yang harus kau selesaikan masih banyak! Jangan mempersulit diri dengan menambah urusan orang lain!”
“Kau telah memberi keterangan berharga padaku. Sudah selayaknya aku menawarkan diri.... Meski sebenarnya aku lebih suka seandainya kita pergi bersama- sama ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai....”

Bidadari Pedang Cinta tertawa sambil geleng kepala. “Aku bukan orang yang suka pamrih. Lebih dari itu aku tak mau membuat sakit hati orang lain!”

Selesai berucap begitu, Bidadari Pedang Cinta berkelebat. Namun entah mengapa sebenarnya gadis ini berharap Pendekar 131 menahan kepergiannya. Hingga kali ini ia berlari tidak begitu kencang dan sengaja menghindar dari tempat yang sekiranya dapat membuat dirinya segera tidak terlihat murid Pendeta Sinting. 

Di lain pihak, meski sebenarnya Joko ingin sekali mengajak Bidadari Pedang Cinta untuk jalan bersamasama menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai, namun karena jawaban si gadis yang bernada enggan, akhirnya Joko tidak berusaha menahan kepergian Bidadari Pedang Cinta. Hingga begitu sosok Bidadari Pedang Cinta hampir tidak kelihatan, Joko putar diri lalu berkelebat ke arah yang baru saja dijelaskan Bidadari Pedang Cinta.

***
DUA
PEREMPUAN bertubuh bahenol berparas cantik dan berkulit putih serta mengenakan pakaian warna putih ketat itu hentikan larinya dengan mulut perdengarkan gumaman tidak jelas. Dadanya yang membusung kencang tampak bergerak turun naik. Pakaian yang dikenakan telah basah kuyup. Sepasang matanya yang bulat dan menyorot tajam bergerak liar memandang berkeliling. Lalu terdengar ucapannya.

“Perempuan gembrot itu bisa lolos dari tanganku! Tapi bukan berarti dia bisa sembunyi!” Perempuan ini sisir rambutnya dengan jari tangan. Lalu putar diri menghadap arah mana dia tadi datang.

“Dua santapanku hilang percuma! Padahal keduanya adalah gadis-gadis cantik dan aku yakin belum pernah menikmati indahnya bercinta. Hem.... Ini gara-gara pemuda asing gila itu!” Mendadak paras wajah perempuan cantik meski usianya tidak muda lagi dan bukan lain adalah Bidadari Tujuh Langit adanya, berubah tegang. 

Dagunya terangkat dan mengembung. Saat lain dia berkelebat. Pada satu tempat, tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit hentikan larinya. Dua daun telinganya bergerak-gerak. Sepasang matanya dipentang besar-besar memandang pada satu jurusan.

“Hem.... Telingaku mendengar suara orang bicara. Suaranya makin lama makin keras.... Berarti mereka tengah mendekat ke tempat ini!” membatin Bidadari Tujuh Langit. “Dari suaranya, jelas mereka adalah perempuan! Mungkinkah mereka adalah gadis jelita berbaju biru dan gadis cantik berbaju hijau itu?!” dada perempuan berusia kira-kira dua puluh lima tahunan ini berdebar dibuncah hawa nafsu. Bibirnya sunggingkan senyum. Saat lain dia berkelebat menyelinap sembunyi di balik satu gundukan tanah agak tinggi.

Begitu sosok Bidadari Tujuh Langit lenyap tidak kelihatan di balik gundukan tanah, muncullah dua bayangan yang berkelebat cepat melintasi gundukan tanah agak tinggi di mana Bidadari Tujuh Langit baru saja menyelinap sembunyi. Bidadari Tujuh Langit segera mengintip. Sepasang matanya dijerengkan.

“Hem.... Ternyata bukan kedua gadis tadi! Tapi tampaknya hari ini memang aku lagi bernasib baik! Dua lenyap tapi dua lagi yang muncul!”

Bidadari Tujuh Langit tidak menunggu lagi apalagi dilihatnya dua sosok yang tengah berkelebat tidak tahu keberadaannya. Dia cepat keluar dari balik gundukan tanah dan berteriak. “Tampaknya kalian buru-buru! Kalian mengejar seseorang?!”

Dua bayangan yang baru saja melintasi gundukan tanah agak tinggi sama hentikan kelebatannya dan langsung balikkan tubuh. Mata masing-masing memandang tak berkesip pada sosok Bidadari Tujuh Langit dari ujung rambut sampai ujung kaki. 

Dua pasang mata dari dua bayangan yang ternyata adalah milik dua gadis berparas cantik berbaju merah dan kuning dan tidak lain adalah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala mendadak mendelik besar ketika melihat sesuatu di kaki Bidadari Tujuh Langit.

“Galuh Sembilan!” bisik Galuh Empat Cakrawala. “Tampaknya keterangan pemuda asing itu benar adanya! Kita menemukan manusia yang kita cari! Kau lihat cincin merah di ibu jari kaki kirinya?!”

“Aku melihatnya! Dia adalah Bidadari Tujuh Langit! Perempuan binal yang harus kita singkirkan dari muka bumi!” menjawab Galuh Sembilan Gerhana.

“Kita tidak boleh gegabah menghadapinya! Kita jalankan apa saran Guru...!” sahut Galuh Empat Cakrawala dengan suara masih ditekan. Lalu berpaling pada Galuh Sembilan Gerhana seraya memberi isyarat dengan kedipkan sebelah mata.

“Kalian belum jawab pertanyaanku.... Kalian tengah mengejar seseorang?!” Bidadari Tujuh Langit buka suara ulangi pertanyaan. Sepasang matanya menatap silih berganti pada Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala dengan bibir terus mengumbar senyum.

“Kami memang tengah mengejar seseorang!” Yang menyahut adalah Galuh Sembilan Gerhana.

“Mungkin kalian kehilangan jejak. Aku sudah agak lama di tempat ini. Dan tidak melihat adanya seseorang yang lewat! Kalau boleh tahu, siapa yang tengah kalian kejar?!” Bidadari Tujuh Langit ajukan tanya seraya melangkah mendekat.

“Seorang pemuda!” jawab Galuh Sembilan Gerhana setelah melirik sesaat pada Galuh Empat Cakrawala.
Dahi Bidadari Tujuh Langit berkerut. Dia hentikan langkah lalu buka suara.

“Mau katakan siapa nama pemuda yang kalian kejar?!”

Galuh Sembilan Gerhana geleng kepala. “Itu urusan kami! Kau sendiri mengapa berada di tempat sepi ini?! Tengah menunggu seseorang?!”

Bidadari Tujuh Langit tertawa. “Tampaknya kita punya tujuan yang hampir sama. Bedanya kalian tengah mengejar, tapi aku tengah menunggu....”

“Juga seorang pemuda?!” tanya Galuh Sembilan Gerhana.

Bidadari Tujuh Langit geleng kepala. “Itu urusanku, Gadis-gadis Cantik.... Dan percuma kujelaskan pada kalian siapa yang tengah kutunggu. Karena kalian pasti tidak akan kenal siapa adanya orang yang kutunggu!”

Seraya berucap begitu, kembali Bidadari Tujuh Langit teruskan langkah mendekati Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Perempuan bertubuh sintal yang ibu jari kaki kirinya mengenakan cincin berwarna merah salah satu dari pasangan Sepasang Cincin Keabadian ini hentikan tindakan delapan langkah di hadapan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala seraya ajukan tanya lagi.

“Boleh aku tahu siapa nama kalian...?!”

“Aku Galuh Sembilan Gerhana. Dia Galuh Empat Cakrawala!” Galuh Sembilan Gerhana menjawab dengan berpaling pada Galuh Empat Cakrawala. Lalu menoleh lagi pada Bidadari Tujuh Langit dan balik ajukan tanya.

“Kau telah tahu siapa kami. Rasanya kurang layak kalau kami belum tahu siapa kau adanya. Tidak keberatan mengatakan pada kami?!”

“Aku Bidadari Tujuh Langit....”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala saling lontar lirikan. Galuh Sembilan Gerhana anggukkan kepala lalu berujar. “Tampaknya kami memang telah kehilangan jejak.

Kami harus segera pergi....”

“Tunggu!” tahan Bidadari Tujuh Langit begitu melihat gerakan sosok Galuh Sembilan Gerhana yang hendak putar diri.

“Tampaknya orang yang kutunggu juga tidak akan muncul... Bagaimana kalau kita jalan bersama-sama...?!” kata Bidadari Tujuh Langit.

“Kau akan ke mana?!” tanya Galuh Sembilan Gerhana seraya batalkan niat untuk putar diri.

“Pada awalnya aku memang punya rencana pergi ke satu tempat bersama orang yang kutunggu. Namun nyatanya yang kutunggu tidak kunjung muncul! Aku merasa kecewa... Kini aku tak punya tujuan hendak ke mana. Aku hanya ingin turutkan ke mana kaki akan membawaku pergi... Dan kalau kalian tak keberatan, aku akan ikut ke mana saja kalian hendak pergi....”

Galuh Sembilan Gerhana sorongkan kepala ke arah Galuh Empat Cakrawala. Seraya melirik pada Bidadari Tujuh Langit, dia berbisik. “Bagaimana sekarang?! Aku yakin, ucapannya hanya pura-pura untuk menggaet kita! Sementara tidak mungkin kita langsung bertindak! Itu membawa risiko besar! Kita baru bisa bertindak kalau dia dalam keadaan lengah!”

“Hem.... Bagaimana kalau kita pura-pura ajak dia mengikuti kita? Lalu kita laksanakan rencana yang telah kita susun!” sambut Galuh Empat Cakrawala.
Selagi Galuh Empat Cakrawala berucap begitu, Bidadari Tujuh Langit sudah angkat suara lagi.

“Bagaimana?! Kalian merasa keberatan?!”

“Sebenarnya kami tidak ingin diikuti siapa pun! Tapi karena orang yang kami kejar tidak kami temukan, terpaksa kami harus pulang dahulu. Kalau kau mau ikut, silakan! Tapi....”

Belum sampai Galuh Sembilan Gerhana selesaikan ucapan, Bidadari Tujuh Langit sudah menyambut! “Kalian tak usah pikirkan diriku.... Sementara ini aku hanya ikut dengan kalian hingga perasaan kecewaku hilang. Dan aku pun tak tahu sampai di mana harus ikut dengan kalian! Yang pasti, begitu aku bisa melupakan peristiwa yang membuat hatiku kecewa ini, aku akan lanjutkan perjalanan sendiri... Aku hanya butuh teman untuk bicara!”

Galuh Sembilan Gerhana menoleh pada Galuh Empat Cakrawala. Galuh Empat Cakrawala anggukkan kepala. Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Lalu berkata. “Terima kasih.... Aku tak akan bertanya ke mana kalian akan mengajakku. Yang penting, aku bisa melupakan rasa kecewa hatiku....”

“Ikuti kami...,” kata Galuh Sembilan Gerhana lalu memberi isyarat pada Galuh Empat Cakrawala dan berkelebat.

Galuh Empat Cakrawala lemparkan senyum pada Bidadari Tujuh Langit. Lalu putar diri setengah lingkaran dan berkelebat menyusul Galuh Sembilan Gerhana. Bidadari Tujuh Langit tahan gerakan dadanya yang mulai turun naik karena dibuncah gejolak nafsu saat mencuri pandang ke arah dada dan pinggul Galuh Empat Cakrawala.

“Hem.... Tampaknya aku mendapatkan ganti yang sepadan dengan kedua gadis yang lepas dari tanganku tadi....” Bidadari Tujuh Langit bergumam seraya tersenyum lalu berlari menyusul Galuh Empat Cakrawala.  

Pada suatu tempat sepi, Galuh Sembilan Gerhana memperlambat larinya setelah berpaling pada Galuh Empat Cakrawala yang berlari tidak jauh di belakangnya. Gerakan kepala Galuh Sembilan Gerhana membuat Galuh Empat Cakrawala maklum. Dia mempercepat larinya lalu menjajari Galuh Sembilan Gerhana.

“Biar aku yang selesaikan urusan ini. Dan kau tahu apa yang harus kau lakukan!” Galuh Sembilan Gerhana berbisik begitu Galuh Empat Cakrawala berlari menjajari.

Galuh Empat Cakrawala sambuti ucapan dengan isyarat kepala. Lalu teruskan berlari melewati Galuh Sembilan Gerhana yang memperlambat larinya dengan sesekali berpaling ke belakang melihat Bidadari Tujuh Langit yang berlari dengan bibir terus menerus mengumbar senyum.

Pada saat melewati sebuah pohon agak besar berdaun rindang, mendadak Galuh Sembilan Gerhana hentikan larinya. Kepalanya sesaat lurus ke arah Galuh Empat Cakrawala yang sudah berada jauh di depan sana. Saat lain kepala itu menunduk. Bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak merangkap pada perutnya. Lalu terdengar teriakannya.

“Galuh...! Tunggu...!”

Namun suara itu laksana tersumbat di tenggorok- an. Hingga yang terdengar adalah gumaman tak jelas. Di lain pihak, Galuh Empat Cakrawala terus berlari bahkan tidak sekali pun berpaling.

Di belakang, Bidadari Tujuh Langit kerutkan dahi. “Ada apa dengan gadis baju merah bernama Galuh Sembilan Gerhana itu?! Sepertinya dia....” Bidadari Tujuh Langit lepas pandangan sesaat pada sosok Galuh Empat Cakrawala. Lalu melesat cepat ke arah Galuh Sembilan Gerhana dan tegak di samping gadis cantik berbaju merah itu.

“Tolong panggilkan saudaraku itu...,” pinta Galuh Sembilan Gerhana seraya melirik pada ibu jari kaki kiri Bidadari Tujuh Langit yang mengenakan cincin berwarna merah. Kedua tangannya makin dirangkapkan di depan perutnya, sementara tubuhnya ditekuk ke depan membuat sikap seperti orang diserang sakit perut luar biasa.

“Kau terluka...?!” tanya Bidadari Tujuh Langit. Kedua tangannya segera memegang kedua lengan Galuh Sembilan Gerhana. Sepasang matanya liar menatap lekat-lekat dada gadis di hadapannya. Lidahnya dijulurkan sedikit membasahi bibirnya.

Galuh Sembilan Gerhana tidak menyahut pertanyaan Bidadari Tujuh Langit. Sebaliknya menghela napas panjang dan dalam lalu angkat kepalanya memandang pada Bidadari Tujuh Langit.

“Aku tidak apa-apa.... Aku hanya....” Akhirnya Galuh Sembilan Gerhana buka mulut. Namun sebelum suaranya selesai, gadis cantik baju merah ini gigit bibirnya sendiri. Saat lain sosoknya melorot jatuh ke atas tanah!

Walau kedua tangan Bidadari Tujuh Langit yang memegang lengan Galuh Sembilan Gerhana sebenarnya mampu menahan lorotan sosok tubuh si gadis, tapi Bidadari Tujuh Langit tidak berusaha menahan, hingga saat itu juga Galuh Sembilan Gerhana jatuh terduduk di atas tanah.

“Aku tidak menangkap adanya luka pada dirinya. Apakah dia berpura-pura..? Tapi untuk apa..?!” Bidadari Tujuh Langit berpikir sesaat. “Ah... Itu tidak penting untuk kuketahui... Yang jelas...” Bidadari Tujuh Langit kembali basahi bibir-nya. Lalu duduk di hadapan Galuh Sembilan Gerhana. “Tampaknya kau terluka dalam. Biar kuperiksa...,” sambil berkata kedua tangan Bidadari Tujuh Langit bergerak memegang kedua tangan Galuh Sembilan Gerhana yang terus mendekap perutnya.

Galuh Sembilan Gerhana geleng kepala seraya berkata pelan. “Aku tidak apa-apa... Aku sudah terbiasa begini jika berlari agak jauh! Tapi sebenar lagi sudah pulih....”

Bidadari Tujuh Langit tersenyum. “Aku bukan seorang tabib. Tapi mungkin aku bisa mengurangi rasa sakitmu....” Kedua tangannya ditarik pulang ke atas dan kini memegang bahu kanan kiri Galuh Sembilan Gerhana.

“Berbaringlah...!” bisik Bidadari Tujuh Langit sambil dorongkan sedikit kedua tangannya.

Paras wajah Galuh Sembilan Gerhana tampak berubah. Anehnya, gadis ini tidak berusaha menahan gerakan tubuhnya yang terdorong ke belakang hingga akhirnya dia telentang di atas tanah. “Apa yang akan kau lakukan?!” tanya Galuh Sembilan Gerhana seraya memandang sayu pada Bidadari Tujuh Langit.

“Aku akan memeriksamu...!”

“Aku tidak apa-apa.... Tak usah....” Ucapan Galuh Sembilan Gerhana tidak berlanjut. Karena bersamaan dengan itu kedua tangan Bidadari Tujuh Langit sudah bergerak membuka rangkapan kedua tangannya dan diletakkan perlahan-lahan di atas tanah. 

Dan saat lain tangan Bidadari Tujuh Langit sudah mendekap perutnya. Dada Bidadari Tujuh Langit berdebar keras. Sosoknya bergetar. Mungkin sudah tak kuasa menahan diri, perempuan cantik bertubuh sintal ini cepat geser kedua tangannya menyentuh dada Galuh Sembilan Gerhana!

Galuh Sembilan Gerhana terlonjak kaget. Namun gadis ini tidak berusaha menghadang geseran kedua tangan Bidadari Tujuh Langit. Dia hanya ajukan tanya sekali lagi. “Apa yang akan kau lakukan?!”

Bidadari Tujuh Langit pandangi kedua bola mata Galuh Sembilan Gerhana. Lalu sorongkan wajahnya mendekati wajah si gadis. Dengan suara tersendat dan bergetar dia berbisik. “Aku ingin menggantikan rasa sakitmu dengan sebuah kenikmatan....”

“Kenikmatan...?! Kenikmatan apa maksudmu...?!”

Bidadari Tujuh Langit tidak segera menjawab. Sebaliknya cepat sentakkan wajahnya dan mencium bibir Galuh Sembilan Gerhana. Sementara kedua tangannya terus bergerak di atas dada Galuh Sembilan Gerhana. Galuh Sembilan Gerhana tersentak. Dia cepat gerakkan kedua tangannya. Tangan satu menahan dan mendorong bahu Bidadari Tujuh Langit hingga ciumannya terputus. Sementara tangan satunya lagi menahan gerakan kedua tangan sang Bidadari.

“Aku.... Aku tak paham maksudmu....” Galuh Sembilan Gerhana berbisik dengan tubuh bergetar. Bukan menahan gejolak nafsu akibat ciuman dan sentuhan kedua tangan Bidadari Tujuh Langit, namun sebaliknya menindih rasa jijik dan hawa amarah yang sudah sejak tadi ditahan-tahan.

“Galuh Sembilan Gerhana.... Aku tak bisa memberi penjelasan bagaimana menguraikan maksudku menggantikan rasa sakitmu dengan sebuah kenikmatan. Kau hanya perlu merasakan dan membuktikannya nanti....”

Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit mendorong tangan Galuh Sembilan Gerhana yang menahan bahu dan kedua tangannya. Saat lain kedua tangan perempuan cantik bertubuh sintal ini bergerak cepat melepas kancing-kancing pakaian Galuh Sembilan Gerhana.

“Bidadari Tujuh Langit.... Aku.... Aku tak apa-apa. Harap jangan....” Hanya sampai di situ ucapan yang meluncur dari mulut Galuh Sembilan Gerhana. Gadis ini mendadak katupkan mulut. Sepasang matanya mendelik memperhatikan tampang Bidadari Tujuh Langit yang tampak mulai tak sabar, apalagi kini melihat dada Galuh Sembilan Gerhana yang sudah terbuka!

“Gadisku.... Kau tak perlu cemas. Percayalah.... Kau pasti akan merasakan bagaimana nikmatnya...,” bisik Bidadari Tujuh Langit. Tangan kirinya bergerak menjulur ke bawah dan kejap lain telah menyelinap masuk ke bagian bawah tubuh Galuh Sembilan Gerhana.

Galuh Sembilan Gerhana perdengarkan jeritan lirih. Sosoknya terlonjak tegang. Namun gadis ini berusaha menahan kedua tangannya yang sudah tak tahan hendak bergerak. Malah saat lain dia pejamkan sepasang matanya. Jeritan yang baru saja terdengar telah berubah menjadi suara desahan panjang. Gejolak Bidadari Tujuh Langit makin menggelegak mendapati sikap Galuh Sembilan Gerhana yang seolah menyambut apa yang dilakukannya. Dia makin berani dan seakan tak sabar, tangan yang berada di bagian bawah tubuh Galuh Sembilan Gerhana segera disentakkan.

Kini bukan saja dada Galuh Sembilan Gerhana yang terbuka memperlihatkan sepasang payudara yang membusung kencang dan bergerak turun naik menggoda, namun pakaian bawahnya juga tersingkap lebar hingga terlihat jelas sepasang pahanya yang putih mulus dan padat!

***
TIGA
MUNGKIN sudah tenggelam dalam amukan gelegak nafsu, Bidadari Tujuh Langit lupa pada Galuh Empat Cakrawala. Bahkan dia tidak sadar jika sedari tadi sepasang mata terus memperhatikan dari balik satu batangan pohon. Malah Bidadari Tujuh Langit tidak merasa jika pemilik sepasang mata dari balik batangan pohon itu sudah mulai bergerak mendekat dengan berkilat-kilat.

Di lain pihak, perlahan-lahan Galuh Sembilan Gerhana buka sepasang matanya, sementara mulutnya terus perdengarkan desahan-desahan panjang. Bidadari Tujuh Langit sendiri sudah kesetanan. Dia menciumi leher dan dada Galuh Sembilan Gerhana, sementara kedua tangannya bergerak ke mana-mana. Dan di lain saat mendadak perempuan berwajah cantik bertubuh sintal ini membuat satu gerakan. Tahu-tahu sosoknya telah menindih tubuh Galuh Sembilan Gerhana!

Hampir bersamaan dengan bergeraknya sosok Bidadari Tujuh Langit yang menindih tubuh Galuh Sembilan Gerhana, mendadak satu bayangan berkelebat. Saat lain satu tendangan berkiblat ganas ke arah Bidadari Tujuh Langit! Bidadari Tujuh Langit merasakan desiran angin dari bagian belakang. Tanpa berpaling kaki kanan kirinya diangkat lalu dihantamkan!

Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras. Sosok yang menghajar Bidadari Tujuh Langit terlihat mental balik ke belakang lalu tegak terhuyung-huyung. Sementara kedua kaki Bidadari Tujuh Langit mental menghantam kedua kaki Galuh Sembilan Gerhana yang berada di bawahnya. Bidadari Tujuh Langit cepat berpaling. Sepasang matanya mendelik sesaat lalu menyipit. Ketegangan yang menghias wajahnya mendapati dirinya dibokong sirna seketika. Lalu senyumnya tersungging.

“Kau...!” desis Bidadari Tujuh Langit mendapati seorang gadis berwajah cantik tegak tidak jauh dari tempatnya dengan pandangan garang. Ternyata dia bukan lain adalah Galuh Empat Cakrawala.

Bidadari Tujuh Langit hendak buka suara. Tapi sebelum suaranya terdengar, mendadak Galuh Sembilan Gerhana gerakkan kedua tangannya lepas pukulan ke arah kepala Bidadari Tujuh Langit. Bukan hanya sampai di situ, bersamaan dengan bergeraknya tangan, kedua kakinya menyentak ke atas! 

Walau Bidadari Tujuh Langit sempat gerakkan kedua tangannya menghadang pukulan yang dilepas Galuh Sembilan Gerhana, namun hantaman kedua tangan si gadis lebih cepat, hingga tanpa ampun lagi kedua tangan Galuh Sembilan Gerhana menghantam telak kepala Bidadari Tujuh Langit.

Bukkk! Bukkk!

Kepala Bidadari Tujuh Langit tersentak ke atas lalu terdorong deras ke belakang. Namun baru setengah jalan, gerakan kepalanya terhenti lalu mental balik ke depan karena tubuh bagian bawahnya terlonjak terkena sentakan kedua kaki Galuh Sembilan Gerhana. Mendapati hal demikian, Galuh Sembilan Gerhana tidak menunggu. Untuk kedua kalinya tangannya bergerak lepaskan pukulan ke arah dada. Sementara kedua kakinya lepas tendangan ke arah perut dengan ditekuk!

Di bagian belakang, Galuh Empat Cakrawala tidak berdiam diri. Melihat kedua tangan dan kaki Galuh Sembilan Gerhana lepas hajaran lagi, dia cepat melesat ke depan dengan lepas pukulan dari jarak setengah tombak!

"Wuttt! Wuutt!" Dua gelombang dahsyat menerjang ganas ke arah Bidadari Tujuh Langit.

Mendapati hujan serangan begitu rupa, Bidadari Tujuh Langit hanya terkesiap beberapa saat. Saat lain dia hantamkan kedua tangannya. Bukan ke arah sosok Galuh Sembilan Gerhana yang berada di bawahnya, melainkan ke arah tanah di samping si gadis!

Bummm! Bummm!

Tanah dua jengkal di samping Galuh Sembilan Gerhana langsung muncrat bertabur ke udara. Saat bersamaan, sosok Bidadari Tujuh Langit melesat ke samping lalu bergulingan di atas tanah. Gerakan Bidadari Tujuh Langit bukan saja menyelamatkan dirinya dari hantaman kedua tangan dan kaki Galuh Sembilan Gerhana, tapi juga justru membuat Galuh Sembilan Gerhana harus cepat tarik pulang kedua tangan dan kakinya, karena pada saat itu gelombang pukulan yang dilepas Galuh Empat Cakrawala datang menyongsong lima jengkal di atas tubuhnya!

Di lain pihak, mendapati gerakan Bidadari Tujuh Langit yang begitu cepat, Galuh Empat Cakrawala perdengarkan seruan tertahan khawatir pukulannya yang lolos menghantam sosok Bidadari Tujuh Langit akan menghajar sosok Galuh Sembilan Gerhana. Sementara itu, tampaknya Galuh Sembilan Gerhana merasa maklum. 

Walau dia telah tarik pulang kedua tangan dan kakinya, namun tak urung gelombang pukulan yang dilepas Galuh Empat Cakrawala akan mengakibatkan sosoknya tersapu. Hingga saat itu juga dia sentakkan tubuh bergulingan ke samping. Lalu tegak dan putar diri menghadap Bidadari Tujuh Langit.

"Wusss! Wusss!" Muncratan tanah akibat sentakan kedua tangan Bidadari Tujuh Langit langsung amblas tersapu gelombang yang dilepas Galuh Empat Cakrawala.

“Gadis-gadis cantik... Rasanya aku tidak membuat kesalahan pada kalian... Mengapa kalian tiba-tiba hendak membunuhku?!” bertanya Bidadari Tujuh Langit seraya tersenyum.

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala saling pandang beberapa saat. Namun belum sampai ada yang buka suara menyahut, Bidadari Tujuh Langit sudah angkat suara lagi.

“Aku tahu.... Hal ini kalian lakukan bukan atas kehendak kalian sendiri! Kalian diperintah orang! Itulah sebabnya mengapa aku tidak membalas apa yang telah kalian lakukan!”

Bidadari Tujuh Langit hentikan ucapannya sejenak. Memandang silih berganti pada Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sebelum akhirnya lanjutkan ucapan. “Tapi harus kalian ingat.... Aku bisa bertindak lebih daripada apa yang telah kalian lakukan padaku jika kalian tidak mengatakan siapa manusia bangsat yang memerintah kalian!”

“Kami tidak mendapat perintah!” Galuh Sembilan Gerhana berseru sambil kancingkan kembali pakaiannya yang terbuka. “Kau berhutang dua nyawa pada kami!”

Bidadari Tujuh Langit kernyitkan kening. “Gadis- gadis cantik.... Aku yakin. Kita baru pertama kali ini bertemu. Bagaimana kalian bisa mengatakan aku berhutang dua nyawa pada kalian?!”

“Kau akan mendapat jawaban begitu nyawamu lepas!” Galuh Empat Cakrawala menyahut dengan nada tinggi.

“Hem.... Kalian tidak mau berterus terang. Ini menambah keyakinanku jika tindakan kalian atas suruhan orang lain!” ujar Bidadari Tujuh Langit seraya bergerak ke arah Galuh Sembilan Gerhana. “Gadis-gadis cantik.... Kalau saja kalian mau mengatakan terus terang, tentu aku bisa menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya hingga di antara kita tidak terjadi salah paham....”

“Kau tidak akan memperoleh penjelasan apa-apa! Yang jelas kau berhutang dua nyawa pada kami. Hari ini kami datang untuk menjemput selembar nyawamu meski sebenarnya hal itu belum memadai!” Yang menyambut adalah Galuh Sembilan Gerhana.

Bidadari Tujuh Langit hentikan langkah delapan tindak di hadapan Galuh Sembilan Gerhana. Lalu buka suara. “Kalian tidak mau memberi penjelasan. Aku tidak akan memaksa! Tapi sebagai imbalan dari tindakan kalian tadi, kuharap kalian mau ikut denganku....” Bidadari Tujuh Langit arahkan pandang matanya pada Galuh Sembilan Gerhana. Lalu lanjutkan ucapan. “Kita lanjutkan permainan kita yang tertunda. Kau tentu menyesal dengan acara yang tadi sempat tidak berlanjut, bukan?!”

Belum sampai Galuh Sembilan Gerhana menyahut, Bidadari Tujuh Langit putar pandangan ke arah Galuh Empat Cakrawala. Lalu berkata. “Kau juga tentu sudah tak sabar ingin menikmati bagaimana indah dan nikmatnya bercinta denganku....”

Habis berkata begitu, kini kepala Bidadari Tujuh Langit bergerak pulang balik memandang silih berganti pada Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Lalu sambungi ucapannya. “Kalian berdua nantinya juga akan kuajarkan bagaimana menikmatinya secara bersama-sama. Hik Hik Hik...!”


Tampang Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berubah merah padam. Saat lain laksana dikomando kedua gadis ini berkelebat ke depan. Setengah jalan keduanya sama lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.

Wuutt! Wuutt!

Wuutt! Wuttt!

Empat gelombang luar biasa dahsyat berkiblat lurus ke arah Bidadari Tujuh Langit. Bidadari Tujuh Langit hadapi gelombang pukulan dengan bibir sunggingkan senyum. Dia tidak membuat gerakan apa-apa. Namun begitu empat gelombang berada setengah depa di hadapannya, perempuan berbaju putih ini tekuk sedikit kedua kakinya. Kejap lain kedua tangannya menghantam ke depan.

Bummm! Bummm!

Bummm! Bummm!

Tempat itu langsung bergetar keras laksana dilanda gempa dahsyat. Sosok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala langsung mental balik di atas udara dengan mulut sama perdengarkan seruan tegang. Lalu sosok keduanya tersapu dan tegak tersen- tak-sentak di atas tanah. Paras keduanya berubah pucat pasi.

Di seberang, sosok Bidadari Tujuh Langit hanya sempat bergoyang-goyang sesaat. Saat lain dia membuat gerakan melompat. Tahu-tahu sosoknya telah tegak lima tindak di hadapan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang masih salurkan tenaga dalam untuk kuasai diri.

“Gadis-gadisku...!” berkata Bidadari Tujuh Langit. “Malam nanti kuharap menjadi malam paling indah dan paling terkesan dalam hidup kalian berdua! Dengan begitu apa yang menjadi ganjalan kalian berdua bisa lenyap! Dan kita bisa menjadi pasangan abadi....”

“Perempuan mesum! Siapa sudi melayani nafsu bejatmu! Dan kau harus tahu. Hidupmu tidak sampai menjelang malam!” berteriak Galuh Sembilan Gerhana. Gadis ini cepat melompat dan tegak di belakang Galuh Empat Cakrawala. Kedua tangannya cepat diangkat lalu ditempelkan pada punggung gadis di hadapannya.

Galuh Empat Cakrawala tidak tinggal diam. Bersamaan dengan menempelnya kedua tangan Galuh Sembilan Gerhana, dia cepat takupkan kedua tangan dan diangkat di depan kening. Kedua kakinya direnggangkan. Sepasang matanya dipejamkan. Hampir berbarengan, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berteriak. Saat yang sama, Galuh Empat Cakrawala buka takupan kedua tangannya lalu didorong ke depan.

Wuutt! Wuuttt!

Dari dorongan kedua tangan Galuh Empat Cakrawala melesat dua larik gelombang sinar berwarna tiga laksana pelangi perdengarkan suara bergemuruh dahsyat. Lalu suasana udara berubah redup seperti tengah terjadi gerhana ketika dari sosok Galuh Sembilan Gerhana melesat arakan awan berwarna kelabu ke angkasa. Hebatnya, tiba-tiba hawa di tempat itu berubah panas menyengat!

“Gabungan ‘Inti Cakrawala’ dan ‘Inti Gerhana’!” berseru Bidadari Tujuh Langit bisa mengenali gelombang gabungan pukulan Galuh Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana. “Apa hubungan dua gadis ini dengan iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah? Selama ini pukulan ‘Inti Cakrawala’ dan ‘Inti Gerhana’ hanya dimiliki pasangan jalang itu! Astaga! Jangan-jangan....”

Bidadari Tujuh Langit tidak lanjutkan gumaman. Karena saat itu sinar laksana pelangi sudah menggebrak dua tombak di hadapannya. Sementara arakan awan kelabu menderu angker menukik dari udara! Bidadari Tujuh Langit berseru keras. Kedua kakinya dihentakkan. Bersamaan dengan melentingnya tubuh ke udara, kedua tangannya disentakkan lurus ke depan dan ke atas.

Wuutt! Wuuttt!

Dari masing-masing tangan Bidadari Tujuh Langit menderu kiblatan sinar merah. Lalu terdengar beberapa dentuman dahsyat kala dua kiblatan sinar merah menghantam dua larikan sinar pelangi dan arakan awan redup.

Dua larikan sinar pelangi dan arakan awan laksana tersapu badai dahsyat lalu bertabur amblas ke udara. Sementara kiblatan sinar merah langsung porak-poranda sebelum menyambar rindangnya dedaunan pohon di mana tadi Galuh Sembilan Gerhana berhenti sampai terpangkas rata dan semburat hangus. Saat lain pohon itu bergetar perdengarkan gemuruh derakan lalu tumbang berdebam karena getaran bias bentroknya pukulan.

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala menjerit tinggi. Sosok keduanya terangkat ke udara lalu terpental beberapa tombak ke belakang dan jatuh bertubrukan di atas tanah dengan mulut sama semburkan darah!

Di lain pihak, sosok Bidadari Tujuh Langit terputar di udara beberapa kali. Tapi perempuan berbaju putih bertubuh sintal ini cepat sentakkan kedua tangannya ke bawah. Saat itu juga sosoknya melenting berputar lebih tinggi. Membuat gerakan jungkir balik dua kali lalu melayang turun kembali dan menjejak tanah dengan kaki laksana dipacak. 

Bidadari Tujuh Langit lepas pandangan ke arah sosok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang tampak berusaha bangkit. Dia pejamkan mata beberapa saat untuk kuasai rasa sakit pada dada dan kedua lengannya. Lalu memandang lagi pada dua gadis di seberang depan.

“Hem.... Jangan-jangan mereka adalah kaki tangan si Pasangan Mesum, Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah! Hem.... Aku tahu sekarang! Inilah yang dimaksud ucapan mereka beberapa waktu lalu.... Dua jahanam itu menduga bisa memuslihatiku dengan umpan kedua gadis itu! Hik Hik Hik...! Mereka tak sadar, justru mereka telah memberiku santapan luar biasa! Cantik-cantik dan belum pengalaman...!”

Habis membatin begitu, Bidadari Tujuh Langit segera melesat ke depan lalu tegak enam langkah di hadapan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakra-wala yang masih terhuyung-huyung dengan wajah pucat pasi dan sudut bibir lelehkan darah.

“Gadis-gadisku.... Seandainya kalian tadi mau berterus terang, tentu hal seperti ini tidak akan terjadi! Kalian tahu...?! Kalian sebenarnya diumpankan Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah padaku! Mereka tidak berani menghadapiku, lalu berusaha menghasut kalian dengan mengatakan berhutang dua nyawa pada kalian!” Bidadari Tujuh Langit hentikan ucapannya sejenak. Seraya maju dua langkah dia kembali berucap.

“Untuk selesaikan urusanku dengan dua penghasut jahanam itu, kalian harus ikut denganku! Selain sebagai jaminan atas dua nyawa Pasangan Mesum itu, kalian juga akan mendapatkan pelajaran berharga....”

“Siapa percaya mulut perempuan menjijikkan se- pertimu!” Galuh Empat Cakrawala menyahut.

“Aku tidak memaksa kalian untuk percaya! Nanti kalian akan tahu sendiri ucapan siapa yang benar! Dan sambil menanti saat itu, kalian akan kuajak menikmati bagaimana rasa surga dunia.... Kalian tentu sudah sering melihat bagaimana Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah bermain cinta. Tapi aku yakin, kalian belum pernah merasakannya... Lebih-lebih dengan orang sesama jenis... Hik Hik Hik..!”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berteriak marah. Saat lain keduanya lipat gandakan tenaga dalam. Namun mendadak kedua gadis cantik ini tercekat tegang sendiri. Mereka merasakan dadanya nyeri dan perutnya mual hendak muntah ketika berusaha alirkan tenaga dalam. Hingga kedua gadis ini saling pandang dengan paras kaku.

“Gadis-gadisku.... Kunasihati kalian.... Percuma kalian kerahkan tenaga dalam. Hal itu selain tidak bisa membantu banyak, namun juga akan membuat kalian makin terluka dalam.... Dan kalian harus tahu, hanya aku yang dapat mengobatinya!”

Mendengar ucapan Bidadari Tujuh Langit, mau tak mau kuduk Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala menjadi dingin. Tapi kedua gadis ini tidak begitu saja percaya. Keduanya kembali coba kerahkan tenaga dalam. Namun untuk kedua kalinya pula mereka tersentak kaget malah kaki mereka tersurut satu langkah dengan sosok bergetar dan hampir saja oleng ke samping.

“Gadis-gadisku.... Aku tidak pernah bicara dusta.... Dan kalian harus tahu. Bidadari Tujuh Langit pantang permintaannya ditolak!”

Selesai berucap begitu, Bidadari Tujuh Langit tegakkan wajah. Tapi cuma sesaat. Kejap lain mendadak dia berkelebat ke depan. Sosoknya laksana bayang-bayang. Walau maklum keadaan dirinya yang tak bisa kerahkan tenaga dalam, namun Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tidak berdiam diri. Mereka berdua cepat angkat kedua tangan masing-masing.

Namun baru saja tangan mereka bergerak, mulut mereka telah perdengarkan seruan tertahan. Saat lain mereka merasakan kedua tangannya tegang tak bisa digerakkan. Lalu sama-sama jatuh terduduk di atas tanah dengan mulut menganga tanpa perdengarkan suara!

“Gadis-gadisku.... Kalian akan mendapatkan pelajaran satu persatu. Setelah kalian bisa menikmatinya, kita bisa melakukannya bersama-sama.... Mari kita isi malam-malam mendatang dengan taburan cinta....”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala hendak berpaling karena jelas suara Bidadari Tujuh Langit diperdengarkan dari belakang mereka berdua. Tapi mereka gagal gerakkan kepala karena leher mereka tegak kaku. Mereka berusaha angkat suara, tapi tidak ada sepata kata yang keluar. Dalam keadaan begitu rupa, mendadak sosok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala terangkat ke udara. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Yang jelas mereka merasakan telah berada di pundak orang dan dibawa berlari!

***
EMPAT
Laki-laki bertubuh pendek berambut putih panjang menjulai hingga menyapu tanah itu tegak sandarkan punuk di punggungnya pada satu batangan pohon dengan wajah ditegakkan menghadap langit. Di hadapan laki-laki cebol ini terlihat seorang nenek bertubuh tambun besar dengan wajah dan perut diganduli gumpalan daging dan berpakaian warna merah ketat duduk menjeplok di atas tanah dengan tangan kanan kiri mainkan rambutnya yang juga panjang. Nenek ini sesekali arahkan pandang matanya pada laki- laki bertubuh pendek di hadapannya lalu berpaling lepas pandangan berkeliling.

Untuk beberapa lama, kedua orang ini yang bukan lain adalah Iblis Pedang Kasih dan si nenek yang dikenal dengan Putri Pusar Bumi sama kancingkan mulut tidak ada yang perdengarkan suara.

“Sampai kapan kita menunggu di tempat ini?!” mendadak Putri Pusar Bumi pecahkan kesunyian dengan ajukan tanya.

Iblis Pedang Kasih luruskan kepala memandang pada Putri Pusar Bumi yang bukan lain adalah adiknya sendiri. Lalu angkat suara menyambut. “Aku tak tahu.... Tapi kurasa penantian Ini tidak akan ada gunanya!”

“Hem.... Ke mana sebenarnya cucumu tadi minta izin?!” kembali Putri Pusar Bumi ajukan tanya.

“Dia hanya bilang akan mengatakan sesuatu pada gadis berbaju biru yang sebutkan diri dengan Bidadari Delapan Samudera. Aku tak tanya apa yang hendak di katakannya.... Dan mengapa dia tidak mengatakannya saat Bidadari Delapan Samudera berada di sini.... Tapi kurasa hal Itu hanya alasannya saja. Aku tahu pasti ke mana dia pergi!”

“Ke mana...?!”

“Ke mana lagi kalau tidak ingin melihat pemuda bernama Joko Sableng itu?!”

“Hem... Jangan-jangan cucumu itu telah jatuh cinta...”

Iblis Pedang Kasih menghela napas panjang. “Bidadari Pedang Cinta sudah dewasa. Gadis seusia dia memang sudah layak dihinggapi perasaan cinta pada seorang pemuda.... Hanya saja, aku ingin urusan tentang kehidupannya bisa tuntas terlebih dahulu!”

“Jadi selama ini kau belum berterus terang padanya?!” tanya Putri Pusar Bumi.

Yang ditanya gelengkan kepala. “Aku harus menunggu saat yang tepat! Menghadapi seorang gadis yang sudah menginjak dewasa tidak mudah... Aku takut dia nanti tidak percaya dengan kenyataan dihadapannya.... Kau sendiri bagaimana?! Apa kau telah mengatakan terus terang pada cucumu?!”

“Selama ini aku memang belum menjelaskan secara rinci. Tapi sedikit banyak aku sering menyinggung dan bercerita tentang orang-orang yang masih ada hubungan darah dengannya....”

“Hem.... Sudah lama aku tidak bertemu dengan cucumu itu. Pasti dia sudah sebaya dengan Bidadari Pedang Cinta dan tentu sama cantiknya....”

Putri Pusar Bumi tertawa. Lalu bangkit dan berkata. “Kalau kau yakin penantian ini percuma, sebaiknya kita pergi dahulu! Cucumu pasti tahu ke mana nanti harus mencari!”

“Dia sudah kuberi tahu.... Cuma aku khawatir dia akan mendapat halangan di jalan. Jika saja halangan itu datangnya dari orang lain, tentu aku tidak merasa cemas. Yang kutakutkan, kalau halangan itu datangnya dari Bidadari Tujuh Langit! Hal ini nantinya akan menyulitkan diriku untuk memberi keterangan!”

“Hem.... Lalu...?!”

“Sebaiknya kau pergi dahulu. Sementara aku akan menyusul setelah aku bertemu dengan Bidadari Pedang Cinta!”

Si nenek anggukkan kepala. Tanpa berucap lagi dia putar diri lalu berkelebat. Bersamaan itu Iblis Pedang Kasih berteriak. “Pemuda bernama Joko Sableng itu bilang hendak menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai! Kalau dia mendapat keterangan yang benar, pasti dia akan melewatimu! Kau harus melakukan sesuatu!”

“Apa yang harus kulakukan?!” seru Putri Pusar Bumi sambil terus berkelebat.

Iblis Pedang Kasih tidak menyahut. Karena sosok Putri Pusar Bumi sudah lenyap di depan sana. “Hem.... Aku harus segera menemukan gadis itu! Terlalu berbahaya kalau dia sampai terlibat urusan lebih jauh dengan pemuda itu. Lebih-lebih jika harus terlibat masalah lebih dalam dengan Bidadari Tujuh Langit...!” Iblis Pedang Kasih membatin. Lalu sekali kaki kanannya menghentak ke batangan pohon di belakangnya, sosoknya melesat.

***

Sementara itu, di tempat lain murid Pendeta Sinting terus berlari sesuai petunjuk yang diberikan Bidadari Pedang Cinta. Dan dia baru memperlambat larinya dan berhenti saat pandang matanya melihat hamparan hutan bambu.

“Hem.... Petunjuk gadis Itu nyatanya benar.... Mudah-mudahan benar juga semua petunjuk selanjutnya!
Aku ingin segera tuntaskan urusan ini dan pulang kampung tanpa membawa beban....” Habis bergumam begitu, Pendekar 131 teruskan berlari dan berhenti saat kakinya mulai menginjak hutan bambu.

“Setelah melewati hutan bambu ini aku akan menemukan sebuah aliran sungai! Itulah aliran sungai pertama dari tujuh sungai yang harus kulalui! Hem.... Aku harus terus waspada.... Bukan tak mungkin ada beberapa orang yang tak kukenal telah mengetahui Jika peta wasiat dari Perguruan Shaolin berada di tanganku!” Tangan kanan murid Pendeta Sinting bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Lalu mulai melangkah memasuki hutan bambu. Namun baru saja melangkah sepuluh tombak, mendadak terdengar suara orang berucap.

“Aku sudah berusaha sembunyi hingga sampai hutan bambu yang sunyi! Tapi mengapa masih ada saja yang menemukan diriku?! Apa mereka tidak merasa kasihan padaku...?! Tahu begini akibatnya, tak mungkin aku sampai jauh-jauh mendekam di tempat ini! Sial betul nasibku!”

Pendekar 131 simak ucapan orang beberapa lama. “Aneh.... Mengapa dia berkata...? Padahal seandainya dia tidak perdengarkan suara tentu aku tak tahu keberadaannya di tempat ini....”

Murid Pendeta Sinting berpaling. Memandang ke depan, dia tidak melihat siapa-siapa. Hanya rimbun gerombolan rumpun bambu. Joko putar pandangan. Tapi belum juga melihat adanya seseorang.

“Siapa yang bicara?!” Pendekar 131 berteriak karena tidak juga melihat adanya orang setelah agak lama edarkan pandangan berkeliling.

“Ah.... Seandainya aku tahu kau tidak melihatku.... Tentu aku tidak akan bersuara....”

Pendekar 131 Joko Sableng menoleh lagi ke arah mana telinganya mendengar suara yang baru saja didengar. Dan mungkin takut orang sudah melakukan gerakan sebelum dia gerakkan kepala, Joko sengaja berpaling sebelum suara orang selesai.

“Astaga! Kalau saja dia tidak bersuara, siapa pun juga pasti tidak menduga kalau itu adalah manusia!” Joko mendelik memperhatikan satu gerumbulan rumpun bambu yang di sebelahnya terdapat satu gundukan tanah agak tinggi di mana terlihat satu sosok tubuh duduk dengan kedua kaki ditekuk dan kepalanya dibenamkan dalam-dalam di belakang tekukan kedua kakinya. Sementara kedua tangannya merangkap erat pada kedua kakinya. Beberapa saat murid Pendeta Sinting memperhatikan.

“Hem.... Aku harus hati-hati. Aku tak mau tertipu untuk kedua kalinya....” Joko membatin ingat akan penipuan yang dilakukan Hantu Pesolek ketika berada di lembah berbatu cadas.

“Harap tidak sungkan tunjukkan muka....” Pendekar 131 berujar tanpa membuat gerakan mendekati sosok tubuh yang sembunyikan tampang di belakang tekukan kedua kakinya.

“Harap tidak salah duga. Aku bukannya sungkan tunjukkan tampang. Tapi aku takut!”

Joko kerutkan dahi. Lalu berkata. “Takut pada siapa?!”

“Apa kau melihat orang lain di tempat ini...?!” orang yang duduk di atas gundukan tanah balik bertanya.

Pendekar 131 putar pandangan berkeliling. Yakin tidak ada orang lain, dia baru sadar apa maksud ucapan orang. Hingga kemudian dia berkata. “Rasanya kita belum pernah bertemu. Adalah hal aneh kalau kau takut padaku!”

“Kita memang belum pernah bertemu. Tapi begitulah adanya! Aku takut tunjukkan tampang padamu! Jangan bertanya mengapa.... Penjelasan yang akan kuberikan malah akan membuatmu tak mengerti. Lagi pula hal itu tak mungkin kulakukan. Tunjukkan tampang saja aku takut, mana aku berani memberi penjelasan!”

“Bukan saja sikapnya yang aneh. Ucapannya juga membingungkan! Siapa dia sebenarnya?! Jangan-jangan dia sengaja menghadangku di hutan ini! Buktinya, dia sengaja memberitahukan keberadaannya meski sebenarnya aku tadi tidak bisa merasakan kehadirannya di tempat ini!”

Murid Pendeta Sinting memperhatikan orang sekali lagi. “Hem.... Daripada berurusan dengan orang yang tak kukenal dan bersikap aneh, lebih baik aku teruskan perjalanan ini!”

Tanpa buka suara lagi, Pendekar 131 balikkan tubuh lalu melangkah teruskan perjalanan. Namun baru saja mendapat tiga tindak, orang di atas tanah agak tinggi sudah perdengarkan suara lagi. “Anak muda.... Sebenarnya aku takut untuk bertanya. Tapi apa boleh buat. Mungkin baru padamu aku beranikan diri untuk ajukan tanya!”

Murid Pendeta Sinting hentikan langkah. Lalu putar diri lagi dan berkata dalam hati. “Dia sembunyikan wajah di belakang rangkapan kedua kakinya. Tapi nyatanya dia bisa melihatku.... Hem....”

“Apa yang akan kau tanyakan?!” Akhirnya Joko bertanya.

“Ini adalah hutan perbatasan menuju sebuah lembah yang aku takut untuk mengatakan lembah apa namanya. Apa kau hendak ke lembah itu?!”

Joko tidak segera menjawab. Sebaliknya memperhatikan orang sekali lagi dengan lebih seksama. Dia mulai curiga dengan pertanyaan orang. Hingga ia memutuskan untuk tidak mau mengatakan terus terang.

“Sebenarnya aku tak enak mengatakannya padamu. Tapi lebih tidak enak lagi kalau aku tidak memberi penjelasan padamu! Sudah beberapa hari ini perutku laksana diaduk-aduk. Sudah beberapa tombak ku telusuri, tapi aku tidak menemukan tempat yang layak untuk tumpahkan adukan perutku Ini. Kebetulan di jalan tadi aku diberi tahu orang jika di sebelah hutan bambu ini ada sebuah aliran sungai! Mudah-mudahan petunjuk orang tadi benar! Rasanya aku sudah tak betah lagi untuk bertahan! Apa memang benar di sebelah hutan bambu ini ada sebuah aliran sungai?!”

“Anak muda.... Sayang sekali aku tidak bisa memberi penjelasan. Bukan karena apa. Aku takut untuk memberi tahu. Kau paham maksudku, bukan?!”

“Bagaimana aku bisa paham maksudmu?! Kau takut tunjukkan tampang! Takut memberi penjelasan!”

“Maaf, Anak Muda.... Aku tak bisa menerangkan lebih jauh. Aku takut....”

“Baiklah! Aku tidak akan minta penjelasan apa-apa padamu. Tapi kuharap kau tidak takut memberitahukan siapa nama atau mungkin gelarmu!”

Orang yang wajahnya disembunyikan di belakang rangkapan kedua tekukan kakinya perdengarkan tawa panjang bergelak hingga rangkapan kedua kakinya berguncang. Lalu terdengar suaranya. “Jangan bertanya siapa nama atau gelarku, Anak Muda! Bukan saja tak ada gunanya bagimu, lebih dari itu aku takut untuk mengatakannya!”

“Hem.... Kalau aku terus bicara pada orang ini, aku tak akan sampai tujuan!” gumam Joko. Lalu tanpa buka mulut lagi dia putar diri dan melangkah teruskan perjalanan.

Mendapat sepuluh langkah, Pendekar 131 cepat palingkan wajah berharap orang di atas tanah tidak menduga dan dia bisa melihat tampang orang. Namun murid Pendeta Sinting jadi tercengang sendiri. Sepasang matanya dijerengkan besar-besar dan tubuhnya kembali diputar balik menghadapi tempat mana tadi orang duduk di atas tanah.

“Aneh.... Jangan-jangan dia bukan manusia!” desis Joko dengan kuduk merinding. Karena ternyata orang yang tadi duduk dengan rangkapkan kaki sudah tidak kelihatan lagi sosoknya!

Mungkin untuk yakinkan diri, murid Pendeta Sinting melompat ke arah gundukan tanah agak tinggi. Lalu pentangkan mata dan memandang liar berkeliling. Sepasang telinganya dipasang baik-baik. Tapi sejauh Ini dia tidak bisa menyiasati di mana keberadaan orang.

“Hem.... Mudah-mudahan ini bukan satu isyarat buruk!” Akhirnya Joko bergumam sendiri lalu berkelebat lanjutkan perjalanan.

Setelah berlari kira-kira lima puluh tombak, murid Pendeta Sinting sampai di ujung hutan bambu. Dia menghela napas lega. Bukan saja karena tidak menemukan halangan tapi juga karena dia menemukan aliran sungai.

“Hem.... Aku butuh alat untuk menyeberang! Tidak mungkin aku berenang, apalagi aku belum kenal situasi daerah Ini!” Joko berpikir setelah menghitung jarak lebarnya sungai yang harus dilalui.

“Aku harus membuat rakit! Bukan tak mungkin enam sungai lainnya juga butuh alat untuk menyeberanginya!”

Pendekar 131 sudah putar diri hendak kembali ke hutan bambu untuk membuat rakit. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba dari tikungan sungai di ujung sana meluncur sebuah sampan. Ada keanehan. Begitu sampan bergerak menelikung, tiba-tiba luncurannya terhenti. Sampan itu diam tak bergerak di atas aliran sungai. Dan murid Pendeta Sinting tidak melihat adanya orang yang mengemudikan sampan!

Joko memperhatikan beberapa lama. Dia sudah memutuskan untuk tidak hiraukan keanehan yang dilihat. Namun begitu dia hendak teruskan niat untuk kembali ke hutan dan membuat rakit, mendadak sampan di tikungan sungai sana terlonjak ke atas laksana disapu gelombang dahsyat, padahal tidak terlihat adanya sapuan gelombang yang menghantam!

“Busyet! Jangan-jangan hutan ini dihuni bukan bangsa manusia! Tapi aku harus menyelidik! Daripada terjadi urusan di sana nanti, lebih baik urusan itu terjadi di sini!”

Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting segera berkelebat ke arah tikungan sungai. Namun dia tidak mau bertindak ayal. Seraya berkelebat dia kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Begitu tegak di tempat yang lurus dengan sampan yang masih bergoyang-goyang di atas aliran sungai, Joko cepat edarkan pandangan.

“Sebenarnya aku takut menegurmu, Anak Muda! Tapi apa hendak dikata. Tegakmu menghalangi pandanganku...!”

Mendadak satu suara terdengar. Saking kagetnya, hampir saja Joko terlonjak. Dia cepat berpaling ke belakang. Kontan saja sepasang matanya mendelik.

***
LIMA
HANYA beberapa langkah di belakang Pendekar 131 terlihat satu sosok tubuh duduk di atas tanah di samping sebuah bongkahan batu cadas dengan kedua kaki dirangkapkan dan ditekuk. Sementara wajahnya dibenamkan dalam-dalam di belakang rangkapan kedua kakinya, hingga raut wajahnya tidak kelihatan.

“Dia lagi!” desis murid Pendeta Sinting. “Bagaimana tahu-tahu sudah duduk di sini?! Anehnya lagi, aku tidak bisa menyiasati keberadaannya! Dan apa maksud ucapannya tegakku menghalangi pandangannya?! Bukankah dia sengaja sembunyikan wajah di belakang kedua kakinya?! Bagaimana dia bisa bilang pandangannya terhalang...?! Orang aneh! Apa yang dipandangnya?!”

Pendekar 131 putar kepala lurus ke depan. “Hem... Benda yang lurus dengannya adalah sampan itu! Jadi... Gerakan sampan itu pasti karena ulahnya! Tapi apa maksudnya?! Untuk mengundang kepenasaranku dan agar aku mendekat kemari?!”

Baru saja Joko membatin begitu, orang yang duduk dengan sembunyikan wajah di belakang rangkapan kedua kakinya perdengarkan suara.

“Anak muda! Walau aku takut bertanya, tapi kali ini terpaksa aku memberanikan diri! Bukankah kau tadi mengatakan hendak menumpahkan adukan perutmu?!
Tapi....”

Belum sampai orang lanjutkan ucapan, murid Pendeta Sinting sudah menyahut. “Harap jangan banyak bertanya.... Aku takut menjawabnya!” Murid Pendeta Sinting sengaja mengikuti logat orang yang duduk di atas tanah.

Mendengar sahutan Joko, orang yang duduk di atas tanah perdengarkan tawa ngakak. Lalu buka rangkapan kedua kakinya dan memandang ke arah murid Pendeta Sinting dari sela kedua kakinya yang terbuka. Lalu angkat suara. “Aku gembira sekaligus takut mendengar sahutanmu! Kau tidak takut mengatakan siapa kau sebenarnya?!”

“Hem.... Orang macam dia harus dilayani seperti sikapnya!” Joko membatin. Lalu lorotkan tubuh dan duduk dengan rangkapan kedua kaki. Sementara wajahnya segera dibenamkan dalam-dalam ke belakang rangkapan kedua kakinya. Lalu sambuti ucapan orang. “Aku takut sekaligus senang mendengar kau mau bertanya! Namun harap jangan bertanya siapa aku.... Bukan saja karena kau belum memperkenalkan diri,
namun lebih dari itu, aku takut untuk menjawabnya...!”

“Ah.... Tampaknya kita manusia yang seirama! Seandainya saja kita tidak sama-sama merasa takut....”

“Harap tidak mengandai-andai.... Aku takut mendengarnya!” kata Joko seraya buka sedikit rangkapan kedua kakinya dan mengintip orang.

“Anak muda.... Sebenarnya aku takut untuk memberi tahu. Tapi karena kita manusia yang seirama, aku harus memberi penjelasan! Aku tidak merasa takut kalau bicara mengandai-andai....”

“Hem.... Begitu?! Lalu andai-andai apa yang akan kau katakan?!”

“Seandainya kau seorang pendatang dari negeri asing.... Dan seandainya kau mencari tahu tentang satu tempat.... Mungkin aku bisa sedikit membantu!”

Murid Pendeta Sinting terkesiap kaget. Hingga tanpa sadar dia angkat kepalanya dan memandang lekat-lekat pada sela rangkapan kedua kaki orang. Namun terlambat. Karena orang di hadapannya sudah takupkan kembali rangkapan kedua kakinya. “Sepertinya dia tahu siapa aku dan apa maksud tujuanku.... Hem.... Aku akan coba bertanya....”
Membatin begitu, akhirnya Joko buka suara bertanya.

“Siapa pun kau adanya. Kau mau membantuku?!”

Yang ditanya tertawa dahulu sebelum menjawab. “Anak muda.... Harap kau tidak lupa. Aku tadi bicara seandainya! Jadi maukah nantinya kau mendapat penjelasan seandainya juga?!”

“Sialan!” gumam Joko seraya beranjak bangkit. “Tak ada gunanya bicara dengan manusia seperti dia!” Pendekar 131 kembali arahkan pandang matanya ke arah sampan yang terapung di atas aliran sungai. “Mungkin sampan itu miliknya.... Seandainya saja aku.... Ah. Mengapa aku jadi ikut-ikutan mengandai- andai?! Lebih baik aku membuat rakit!”

Joko sudah putar diri. Tapi sebelum bergerak lebih jauh, orang yang duduk di atas tanah berucap. “Seandainya kau tidak takut membawa sampan itu, silakan kau mengambilnya!”

“Sampan itu milikmu?!”

“Aku takut mengatakannya!”

Murid Pendeta Sinting menghela napas panjang. Tampaknya dia sudah tak sabar menghadapi orang. Hingga tanpa buka mulut lagi dia melangkah hendak tinggalkan tempat itu.

“Tunggu, Anak Muda! Aku takut berada sendirian di tempat ini! Kau tak takut bukan untuk menemaniku beberapa saat saja?! Tampaknya kita akan kehadiran seorang tamu...!”

“Aku takut mendengar permintaanmu!” Enak saja Joko menyahut lalu tanpa pedulikan orang, dia teruskan langkah.

Saat itulah Joko melihat satu bayangan berkelebat ke arahnya. Joko cepat berpaling ke arah orang yang duduk di atas tanah. “Hem.... Aku tidak ingin terlibat urusan dengan orang! Tampaknya orang yang datang punya masalah dengan dia!”

Pendekar 131 cepat hendak berkelebat. Namun tahu-tahu bayangan yang berkelebat sudah berada beberapa tombak di hadapannya. Tanpa pikir panjang lagi Joko cepat lorotkan tubuh. Lalu duduk dengan rangkapkan kedua kaki dan selinapkan kepala di belakang kedua kakinya. 

Dan perlahan-lahan pentangkan mata mengintip orang dari sela kedua kakinya yang dibuka sedikit. Murid Pendeta Sinting melihat seorang pemuda berusia tiga puluh tahunan berwajah tampan bertubuh kekar. Rambutnya hitam lebat dan panjang sebahu menutupi sebagian pundak dan wajahnya.

Sepasang matanya tajam dengan alis tebal mencuat serta kumis tebal melintang. Pemuda ini mengenakan pakaian berupa jubah hitam panjang sebatas mata kaki melapis baju berwarna putih. Untuk beberapa saat si pemuda yang telah tegak dua belas langkah di hadapan murid Pendeta Sinting lepas pandangan silih berganti pada Joko dan orang yang duduk di sebelah samping sana. Jelas pandangannya membayangkan rasa aneh dan bertanyatanya.

“Di sini ada dua manusia yang bersikap sama.... Sayang, selama ini aku hanya tahu nama orang dan belum pernah melihatnya! Hem.... Mana di antara kedua manusia ini yang kucari?!” Si pemuda berjubah hitam panjang bergumam. Mungkin merasa kebingungan untuk menentukan pilihan, akhirnya si pemuda gerakkan kepala pulang balik seraya berkata.

“Aku datang mencari manusia bergelar Paduka Seribu Masalah! Siapa di antara kalian berdua yang memiliki gelar Paduka Seribu Masalah?!”

Orang yang duduk di seberang sana perdengarkan sahutan. “Anak muda berjubah hitam! Harap tidak ajukan tanya. Aku takut menjawabnya!”

Mendengar sahutan orang, murid Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Dia segera menyambut. “Anak muda berjubah hitam! Aku juga takut menjawabnya!”

Gerakan kepala si pemuda berjubah hitam terhenti. Parasnya berubah membesi. Dagunya terangkat mengembung. Saat lain dia ditegakkan wajah mendongak lalu berkata. “Aku tanya sekali lagi. Siapa di antara kalian berdua yang bergelar Paduka Seribu Masalah?!”

Karena khawatir dirinya yang dituduh, Pendekar 131 cepat-cepat berkata. “Anak muda berjubah hitam! Sebenarnya aku takut mengatakannya. Tapi daripada terjadi salah paham, aku beranikan diri untuk mengatakannya. Kalau yang kau cari adalah Paduka Seribu Masalah, bukan aku orangnya...!”

Ucapan murid Pendeta Sinting membuat pemuda berjubah hitam segera berpaling ke arah orang yang duduk di seberang sana. Namun sebelum pemuda ini angkat suara, orang yang duduk sudah perdengarkan suara.

“Anak muda berjubah hitam! Aku juga bukan Paduka Seribu Masalah!”

Si pemuda berjubah hitam menyeringai dingin. Dalam hati dia membatin. “Dari ciri yang kudengar, jelas mereka berdua memiliki ciri orang yang kucari! Sayang mereka tidak ada yang mau mengaku! Padahal aku yakin, salah satu dari mereka adalah Paduka Seribu Masalah! Aku telah datang jauh-jauh sampai ke tempat ini! Aku harus mendapatkan jawaban pasti! Bagaimanapun caranya!”

Membatin begitu, akhirnya si pemuda berjubah hitam berucap lagi. “Baiklah! Aku tidak akan memaksa kalian untuk mengaku siapa di antara kalian yang Paduka Seribu Masalah meski aku yakin salah satu di antara kalian adalah Paduka Seribu Masalah! Aku datang mencari jawaban! Harap di antara kalian mau menjawab pertanyaanku!”

“Aku senang mendengar kau tidak memaksa.... Tapi harap tidak kecewa. Bukan saja aku takut mendengar pertanyaanmu, namun aku juga takut menjawabnya!” Pendekar 131 menyahut terlebih dahulu.

“Jawabanku sama dengan dia!” Orang yang duduk di seberang menimpali.

“Hem.... Tampaknya kalian berdua memaksaku untuk bertindak lebih keras!” sambil berkata begitu, si pemuda berjubah hitam angkat kedua tangannya. Tangan kanan diarahkan pada murid Pendeta Sinting, sementara tangan kiri diluruskan pada orang yang duduk di seberang.

“Tahan dulu, Anak Muda.... Bukan saja aku takut dengan caramu, tapi kurasa tindakanmu tidak akan menyelesaikan masalah...!” ujar Joko sambil mengintip dari sela rangkapan kedua kakinya.

“Benar.... Tindakanmu menakutkanku, Anak Muda.... Padahal....”

Belum sampai orang yang duduk di seberang selesaikan ucapan, si pemuda berjubah hitam sudah memotong. “Persetan dengan ketakutan kalian! Jika tidak ada yang mengaku, kalian berdua akan tahu akibatnya!”

Karena tak mau terlibat urusan, Joko segera perdengarkan suara. “Anak muda berjubah hitam! Seandainya saja kau mau sebutkan diri, mungkin kami tidak terlalu takut lagi untuk mengaku dan menjawab pertanyaanmu!”

“Hem.... Baik! Kuturuti permintaanmu!” kata pemuda berjubah hitam sambil memandang tajam pada sosok Pendekar 131. “Aku adalah Datuk Kala Sutera!”

“Pertanyaanmu yang mana harus kami jawab?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Selama hampir lima belas tahun aku mencari jejak lima orang anakku! Tapi sejauh ini aku gagal menemukannya! Aku butuh jawaban, di mana kira-kira kelima anakku itu?!”

“Celaka! Bagaimana aku harus menjawab pertanyaannya?! Aku tidak kenal dengan pemuda bernama Datuk Kala Sutera itu! Apalagi kelima anaknya.... Kalau sampai aku menjawab asal kena, pasti dia tahu! Hem....” Pendekar 131 bergumam dalam hati. Beberapa saat dia terdiam.

“Kau telah tahu siapa aku dan apa pertanyaanku!
Aku butuh keteranganmu!”

“Kalau saja kau tidak takut mengatakannya padaku. Mengapa kau bertanya soal kelima anakmu padaku?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Paduka Seribu Masalah telah dikenai sebagai manusia yang tahu segala macam masalah! Tentu tidak sulit memberi keterangan padaku!”

“Hem.... Begitu?! Seandainya kau tidak merasa takut menjawab pertanyaanku dahulu. Mungkin....”

“Aku akan jawab pertanyaanmu!” Pemuda berjubah hitam sudah berkata menukas sebelum Joko sempat selesaikan ucapannya.

“Kalau kau merasa punya anak, pasti kau memiliki seorang istri! Kau tidak takut mengatakan siapa istrimu?!”

Pertanyaan Joko membuat si pemuda berjubah hitam yang sebutkan diri sebagai Datuk Kala Sutera tersentak kaget. Dia tidak segera menjawab pertanyaan. Sebaliknya tengadahkan wajah dengan kepala menggeleng.

Mendapati sikap Datuk Kala Sutera, murid Pendeta Sinting cepat berujar. “Kau takut mengatakan siapa istrimu?!”

“Aku tidak takut mengatakannya! Tapi aku tidak ingat lagi siapa istriku!”

“Aneh.... Bagaimana mungkin seorang suami bisa lupa pada istrinya?!” kata Joko dalam hati. Lalu berkata. “Datuk Kala Sutera. Kau tak perlu cemas atau takut. Katakan saja terus terang. Siapa istrimu!”

“Aku tidak ingat!”

“Hem.... Kau pasti takut mengatakan jika kau sudah memiliki perempuan lain hingga tidak ingat lagi pada istri!”

“Kau boleh percaya atau tidak! Yang jelas aku tidak memiliki perempuan lain! Dan aku benar-benar tidak ingat lagi siapa istriku!”

“Bagaimana bisa begitu?!”

“Aku sendiri tak tahu! Yang jelas begitulah adanya!”

“Lalu apakah kau juga tidak ingat siapa nama istrimu?!” tanya Joko.

Datuk Kala Sutera kembali gelengkan kepala. “Aku juga tidak ingat lagi siapa nama istriku!”

“Hem.... Lalu apakah kau juga lupa, istrimu seorang perempuan atau laki-laki?!”

“Aku datang butuh keterangan! Bukan untuk menjawab pertanyaan gila seperti ini!” Datuk Kala Sutera membentak.

Pendekar 131 tahan tawanya. Lalu buka suara lagi. “Kau mengatakan mencari kelima anakmu. Kau masih ingat berapa anak laki-laki dan anak perempuan?”

“Semuanya perempuan!”

“Kau ingat siapa nama mereka?!”

“Mereka belum sempat kuberi nama!”

“Dari keterangan pemuda ini, juga dari ucapan orang yang duduk di seberang sana yang tahu-tahu bisa menebak tepat siapa diriku, pasti orang yang duduk itulah yang bergelar Paduka Seribu Masalah....”

Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu, Datuk Kala Sutera sudah buka suara. “Aku menunggu keteranganmu!”

“Gawat! Bagaimana ini...?! Jawaban bagaimana yang harus kukatakan?!”

“Kau dengar ucapanku! Aku juga telah turuti permintaan dan menjawab semua pertanyaanmu! Jangan membuat aku tak sabar!” Datuk Kala Sutera kembali buka mulut setelah ditunggu agak lama murid Pendeta Sinting tidak juga memberi keterangan.

“Datuk Kala Sutera... Kau kuberi waktu tiga hari...”

“Jahanam! Apa maksudmu?!”

“Seandainya kau tidak lupa siapa nama istrimu, pasti aku bisa memberi keterangan saat ini juga! Tapi, karena kau tidak ingat siapa istrimu, aku butuh waktu untuk menjawab pertanyaanmu! Kembalilah tiga hari mendatang. Kau akan memperoleh jawaban yang kau inginkan!”

Datuk Kala Sutera berpikir beberapa saat. Lalu berkata. “Baik! Aku akan kembali tiga hari mendatang! Tapi aku perlu jaminan!”

Joko sempat terkesiap. Hampir saja dia angkat kepalanya. Untung dia sadar dan buru-buru benamkan lagi wajahnya dalam-dalam ke belakang rangkapan kedua kakinya. Lalu bertanya. “Datuk Kala Sutera... Kau datang mencari jawaban. Tidak seharusnya kau minta jaminan segala! Hal itu membuatku takut... Ini akan mengakibatkan hilangnya konsentrasiku untuk mencari jawaban atas pertanyaanmu....”

Datuk Kala Sutera geleng kepala. “Itu urusanmu! yang jelas kau telah mengucapkan janji! Dan kau tak usah takut.... Jaminan yang kuminta tidaklah sulit!”

“Seandainya kau tidak takut mengatakan apa jaminan yang kau minta....”

Datuk Kala Sutera memandang dahulu silih berganti pada sosok murid Pendeta Sinting dan orang yang duduk di seberang. Lalu berkata. “Di sini ada dua orang yang bersikap sama. Sejauh ini belum ada di antara kalian yang mengaku sebagai paduka Seribu Masalah! Aku tidak mau tertipu....”

“Maksudmu...?!”

“Karena kau yang tadi menjanjikan jawaban padaku, aku ingin tahu bagaimana wajah di balik rangkapan kedua kakimu!”

“Celaka! Kalau sampai dia dapat mengenaliku, tak mungkin lagi aku bisa berkelit....” Joko membatin dengan dada berdebar tidak enak.

Datuk Kala Sutera melangkah maju mendekati Pendekar 131. Lalu berkata. “Angkatlah wajahmu!”

“Aku takut.... Bukan karena....”

“Aku minta kau tunjukkan tampangmu!” Datuk Kala Sutera sudah membentak sebelum Pendekar 131 sempat teruskan ucapannya.

“Aduh.... Tidak kusangka kalau akan begini akibatnya! Ini akan membuat masalah!”

“Aku minta jaminan yang tidak sulit untuk kau lakukan! Tapi tampaknya kau keberatan! Ini satu bukti kalau kau hendak memuslihatiku!”

“Jangan salah sangka... Tidak ada maksud untuk memuslihatimu. Aku hanya takut dan tidak terbiasa tunjukkan tampang pada orang... Percayalah! Tiga hari mendatang kau akan menemuiku di sini dan mendapat jawaban yang kau minta!”

Datuk Kala Sutera geleng kepala. “Kalau kau tidak mau menuruti jaminan yang kuminta, aku akan menunggumu di sini! Tidak jadi soal sampai berapa hari!”

“Wah.... Ini makin celaka! Bisa-bisa perjalananku terhambat! Sialnya mengapa orang di seberang sana itu tidak juga perdengarkan suara?!”

“Kau tinggal memberi keputusan! Mau tunjukkan tampang dan aku akan pergi serta kembali lagi tiga hari mendatang, atau kau tetap akan sembunyikan wajahmu tetapi aku akan menunggu jawabanmu di sini!” Datuk Kala Sutera angkat suara sambil teruskan tindakan mendekati sosok murid Pendeta Sinting.

“Daripada cari penyakit, lebih baik kuturuti permintaannya. Begitu dia pergi, aku akan bertanya pada orang yang duduk di seberang sana itu tentang jawaban apa kelak yang harus kukatakan!” Berpikir sampai di situ akhirnya perlahan-lahan Pendekar 131 angkat kepalanya dari balik rangkapan kedua kakinya.

Datuk Kala Sutera hentikan langkah. Sepasang matanya dipentang memandang tajam pada wajah murid Pendeta Sinting. “Hem.... Ternyata seorang pemuda! Benarkan dia Paduka Seribu Masalah?!” Datuk Kala Sutera bimbang. “Ah.... Itu bukan urusanku! Yang penting tiga hari di depan dia harus bisa memberi keterangan! Jika sampai dia berdusta, aku tak segan-segan membuatnya berkalang tanah!”

Habis membatin begitu, Datuk Kala Sutera putar diri setengah lingkaran. “Siapa pun kau adanya, kau telah mengikat janji denganku! Tiga hari mendatang aku akan datang menagihnya! Kalau kau berdusta, selembar nyawamu menjadi jaminannya!” Datuk Kala Sutera tertawa pendek. Melirik sesaat pada Pendekar 131 lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

***
ENAM
PENDEKAR 131 cepat tegak berdiri lalu arahkan pandang matanya pada orang yang duduk di seberang begitu sosok Datuk Kala Sutera tidak kelihatan lagi. “Harap kau berkata jujur. Bukankah kau orangnya yang bergelar Paduka Seribu Masalah?!” Joko ajukan tanya.

“Jangan memaksaku, Anak Muda.... Aku takut menjawabnya! Apalagi kau minta aku harus bicara jujur!”

“Baik! Salah atau benar dugaanku, yang pasti aku percaya kau adalah Paduka Seribu Masalah! Sekarang aku perlu bantuanmu! Tolong katakan padaku, jawaban bagaimana kelak yang harus kukatakan pada Datuk Kala Sutera!”

“Anak muda... Aku benar-benar takut mengatakannya! Ini bukan urusan kecil... Aku takut terlibat!”

“Hem... Begitu?!” ujar Joko lalu melangkah mendekati orang. “Kalau kau tak mau membantuku, terpaksa aku akan melibatkanmu lebih jauh dalam urusan ini! Aku tahu bagaimana caranya!”

Orang yang duduk perdengarkan gumaman tak jelas. Joko hentikan langkah lima tindak di hadapan orang lalu berkata. “Terus terang saja. Aku tidak punya waktu banyak berada di tempat ini! Kuharap kau segera memberi keputusan!”

“Anak muda... Seandainya urusan ini kita hadapi bersama-sama. Mungkin rasa takutku bisa berkurang!”

“Maksudmu...?!”

“Aku takut berada sendirian di tempat ini! Kalau kau tidak keberatan atau takut, kuharap kau mengajakku ke mana kau akan pergi!”

“Lalu urusan dengan Datuk Kala Sutera?!”

“Walau sebenarnya aku takut, tapi aku akan beranikan diri untuk mengambil alih urusan menakutkan itu! Asal... Kau tidak ketakutan untuk mengajakku ikut serta ke mana kau akan pergi... Jika tidak, terpaksa aku cuci tangan!”

Pendekar 131 menghela napas panjang. “Aduh.... Daripada akhirnya aku dihadang urusan yang tak ada juntrungannya ini, lebih baik kuturuti saja permintaannya. Siapa tahu pula dia nantinya bisa sedikit membantu dalam urusanku!”

Setelah membatin begitu, Joko angkat suara. “Baiklah... Aku akan mengajakmu ikut serta! Tapi kuharap kau nantinya tidak takut memberi jawaban pada Datuk Kala Sutera!”

“Kalau bersamamu, aku yakin tidak takut memberi jawaban pada siapa saja!”

“Mengapa begitu?!”

“Jangan bertanya! Aku takut memberi keterangan!”

“Busyet! Jawabannya balik lagi!” gerutu murid Pendeta Sinting dalam hati. Lalu berkata. “Aku hendak menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai! Kau tidak takut berterus terang mengatakan jika kau tahu tempat itu?!”

“Aku tidak takut berterus terang. Aku memang tahu lembah itu! Malah aku tidak takut mengatakan jika kedatanganmu ke lembah itu untuk bertemu dengan manusia berjuluk Dewa Asap Kayangan! Dan masalahmu adalah urusan janji dengan seorang gadis!”

Pendekar 131 tersentak kaget. “Hem.... Aku makin yakin jika manusia satu ini adalah Paduka Seribu Masalah! Aku tidak mengenalnya sebelum ini. Tapi dia sudah tahu masalahku...! Apakah dia juga tahu urusan peta di tanganku?!”

Ingat akan urusan itu, mendadak Pendekar 131 teringat pada Hantu Pesolek. Seketika parasnya berubah dan perlahan-lahan surutkan langkah seraya membatin. “Belum lama berselang aku juga bertemu dengan orang yang sepertinya banyak tahu urusanku.... Namun nyatanya aku tertipu.... Jangan-jangan orang ini adalah Hantu Pesolek! Bukankah dia takut menunjukkan tampang...?!” Dada Joko jadi berdebar. “Bagaimana enaknya...?”

Selagi murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan begitu rupa, orang yang duduk di hadapannya perdengarkan suara. “Sikapmu menunjukkan kau takut dan bimbang!”

“Bukan aku menyinggung. Tapi belum lama berselang aku telah ditipu orang! Dia seolah-olah tahu banyak urusanku! Lalu memberi petunjuk! Ternyata semua itu hanyalah muslihatnya saja!”

“Aku takut mendengar ceritamu.... Tapi kuharap kau tidak takut mendengar ucapanku. Bukankah yang memuslihatimu adalah seorang pemuda pesolek...?!”

“Hem.... Nyatanya dia tahu...! Jangan-jangan dia Hantu Pesolek juga!”

“Anak muda.... Sebenarnya aku takut dan sungkan mengatakannya. Namun agar tidak ada salah sangka di antara kita, perlu kujelaskan padamu. Kau tak usah takut kalau aku adalah orang yang menipumu! Aku baru kali ini bertemu denganmu.... Tapi jangan lantas kau memintaku untuk tunjukkan wajah! Hal itu adalah sesuatu yang paling kutakutkan!”

“Hem.... Kalau begitu kau adalah Paduka Seribu Masalah!”

“Kau tak usah takut. Bersama berlalunya waktu, kelak kau akan mendapat jawabannya....”

Murid Pendeta Sinting berpikir beberapa saat. Lalu berkata. “Baiklah.... Sekarang kuharap kau berada di depan! Kita menuju ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai!”

Orang yang duduk di atas tanah gerakkan tangan kanannya ke udara. Lalu membuat gerakan melambai.
Joko cepat berpaling dengan dahi berkerut. Namun ketegangannya mereda bahkan sepasang matanya sedikit membelalak tatkala tahu apa yang dilakukan orang. Bersamaan dengan lambaian tangan kanan orang, sampan yang terapung di atas aliran sungai bergerak merapat. Dan belum sampai benar-benar merapat, Joko merasakan deruan angin halus. Lalu terlihat so-sok orang berkelebat dengan posisi duduk. Kejap lain orang yang tadi duduk merangkapkan kaki di atas tanah, telah duduk di atas sampan!

“Sebentar lagi hari akan gelap! Sementara perjalanan masih agak jauh! Kuharap agar kau tidak membuang-buang waktu!” Orang yang tadi duduk di atas tanah dan kini telah duduk di atas sampan berkata.

Tanpa pikir panjang lagi, Joko segera berkelebat lalu melompat dan tegak di belakang orang. Bersamaan itu kedua tangan orang yang duduk rangkapkan kedua kaki bergerak-gerak. Hebatnya, saat itu juga sampan berpenumpang dua orang itu bergerak melintasi aliran sungai!

“Apakah kira-kira tiga hari mendatang kita sudah bisa kembali ke hutan bambu itu?!” Joko ajukan tanya setelah agak lama sama berdiam diri.

“Aku takut untuk memastikannya! Semua itu tergantung selesai tidaknya urusanmu...!”

“Kau tahu siapa sebenarnya manusia yang sebutkan diri dengan Datuk Kala Sutera itu?”

Yang ditanya terdiam beberapa lama. Lalu berujar. “Aku tidak tahu benar. Cuma aku pernah dengar...”

“Apakah betul semua keterangannya?!”

“Dia tidak berkata dusta...! Semua keterangannya benar!”

Pendekar 131 tertawa. “Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?! Mana ada suami yang bisa tidak ingat lagi siapa nama istrinya?!”

“Anak muda... Jangan dikira aku menakut-nakutimu kalau kukatakan, apa yang ada di muka bumi ini segalanya serba mungkin! Malah tidak mustahil pula kau kelak akan terlibat di dalam urusan Datuk Kala
Sutera!”

Mendengar ucapan orang, Joko makin keraskan tawanya hingga sampan yang ditumpanginya bergoyang-goyang. “Aku tahu...,” kata Joko. “Aku telah terlibat dalam urusan dengan Datuk Kala Sutera. Tapi keterlibatanku hanya sebatas perjanjianku tadi!”

Kini balik orang yang duduk di hadapan Joko yang perdengarkan tawa panjang sebelum akhirnya berkata. “Sekali lagi jangan kira aku menakut-nakutimu, Anak Muda.... Justru perjanjianmu tadi adalah awal sebuah urusan panjang!”

“Kau tidak takut menjelaskannya lebih jauh?!”

Yang ditanya geleng kepala. “Sayang sekali, Anak Muda.... Aku takut menjelaskannya lebih jauh!”

Murid Pendeta Sinting lagi-lagi menghela napas panjang. Mungkin untuk tenangkan diri akhirnya murid Pendeta Sinting bergumam sendiri dalam hati. “Ah.... Mungkin dia hanya menakut-nakutiku....”

Baru saja Joko bergumam tenangkan diri, orang yang duduk di depannya angkat suara. “Anak muda.... Sebenarnya aku takut mengatakannya padamu. Tapi coba kau lihat dengan seksama. Apakah kau melihat seseorang di seberang sana?!”

Pendekar 131 segera lepas pandangan ke seberang. Namun Joko hanya melihat hamparan tanah terbuka yang banyak ditebari batu-batu. Tidak satu sosok yang terlihat. “Aku tidak melihat siapa-siapa!”

“Anak muda.... Jangan cepat memutuskan! Coba kau teliti sekali lagi!”

Dengan enggan Joko pentangkan mata lalu edarkan pandangan ke hamparan tanah terbuka yang ditebari batu-batu. Namun hingga matanya pedih mencari-cari, dia tidak dapat menemukan seseorang. “Aku tidak melihat siapa-siapa!”

“Hem.... Syukurlah! Mudah-mudahan penglihatanmu yang benar!” ujar orang yang duduk rangkapkan kaki. Lalu gerakkan kedua tangannya beberapa kali seolah melambai. Saat yang sama sampan yang ditumpangi meluncur deras. Dan beberapa saat kemudian telah merapat di tepian.

Dua tombak lagi sampan itu menyentuh tepi aliran sungai, orang yang duduk rangkapkan kaki gerakkan pantatnya. Sosoknya melesat dan tahu-tahu sudah duduk di samping sebuah bongkahan batu. Murid Pendeta Sinting edarkan pandangan sekali lagi. Lalu ikut berkelebat dan tegak tidak jauh dari orang yang duduk di samping bongkahan batu. 

Baru saja Joko tegak berdiri, mendadak satu bayangan berkelebat. Joko tersentak kaget dan cepat ber-paling. Memandang ke depan, dia melihat seorang gadis berparas cantik berambut panjang dikelabang dua. Sepasang matanya bulat dan tajam. Hidungnya mancung ditingkah bibir merah tanpa polesan. Gadis ini mengenakan pakaian berwarna ungu.

“Harap sebutkan nama dan tujuan!” Mendadak si gadis perdengarkan bentakan.

Joko memandang pulang balik ke arah orang yang duduk di tanah rangkapkan kedua kaki. Lalu ke arah gadis cantik berbaju ungu di hadapannya. “Hem.... Penglihatan orang yang duduk itu sangat luar biasa sekali! Aku yakin dia tadi tidak mengangkat wajah melihat ke tempat ini. Tapi nyatanya dia bisa mengetahui keberadaan orang....”

Sementara murid Pendeta Sinting membatin begitu, gadis cantik berbaju ungu dihadapannya arahkan pandangannya pada Joko sesaat. Lalu pada orang yang duduk rangkapkan kaki. Dahi si gadis berkerut. Sikap orang yang tidak mengangkat wajahnya membuat gadis ini mulai terlihat agak jengkel, apalagi murid Pendeta Sinting sendiri tidak segera menjawab pertanyaannya. Hingga seraya arahkan pandangan ke jurusan lain dia buka mulut lagi.

“Kalian tidak ada yang mau sebutkan nama dan tujuan! Harap segera angkat kaki dari tempat ini!”

“Tunggu! Tunggu!” tahan Joko sambil pulang balikkan kedua tangan. “Aku Joko... Joko Sableng!”

Si gadis berpaling menatap pada Joko. Lalu melirik pada orang yang duduk rangkapkan kaki. Lirikan mata si gadis membuat Joko maklum. Dia cepat-cepat angkat suara.

“Dia adalah sahabatku. Namanya...” Joko kebingungan sebutkan nama.

“Anak muda bernama Joko Sableng...” Orang yang duduk rangkapkan kaki perdengarkan suara. “Jangan sebutkan nama. Aku takut mendengarnya!”

Gadis berbaju ungu mendelik. Kemarahan jelas membayang di wajahnya. Joko tahu gelagat. Dia cepat mendekati si gadis. Namun belum sampai mendapat dua langkah, si gadis sudah membentak. “Tetap di tempatmu!”

Pendekar 131 batalkan niat. Lalu mendahului buka suara sebelum si gadis angkat bicara. “Harap maafkan.... Jangankan kau. Aku sebagai sahabatnya saja belum tahu siapa dia sebenarnya!” Joko sunggingkan senyum. Namun senyumnya segera diputus ketika mendapati si gadis memberengut dan palingkan wajah sambil berucap ketus.

“Harap segera tinggalkan tempat ini!”

“Kami memang akan segera pergi.... Tujuan kami memang bukan tempat ini! Tapi.... Aku tadi telah sebutkan nama padamu. Sebelum aku pergi, kuharap kau mau juga perkenalkan diri!”

“Aku Dayang Tiga Purnama!”

“Hem.... Melihat wajah gadis ini, membuatku teringat pada beberapa orang gadis yang belum lama berselang sempat kutemui!” Tanpa sadar terbayang paras wajah Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Samudera, dan dua gadis berbaju merah dan kuning yang sempat dijumpainya di pinggiran sungai saat bersitegang dengan Bidadari Pedang Cinta dan bukan lain adalah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala.

“Aku telah sebutkan nama. Kuharap kalian segera angkat kaki!” Gadis yang baru sebutkan nama Dayang Tiga Purnama berucap agak lantang tanpa memandang.

“Bagaimana?! Kau tidak takut teruskan perjalanan?!” Joko bertanya pada orang yang duduk rangkapkan kaki.

“Anak muda.... Kalau memang tidak ada hal lain yang akan kau bicarakan dengan gadis cantik itu, aku tidak takut untuk teruskan ikut bersamamu!”

“Dayang Tiga Purnama.... Kau tinggal di tempat ini?!”

“Itu urusanku! Aku tak ingin memberi keterangan apa-apa! Yang kuinginkan kalian segera angkat kaki teruskan perjalanan!”

“Kau ada hubungan dengan gadis bernama Bidadari Delapan Samudera?!” Joko ajukan tanya tidak pedulikan ucapan Dayang Tiga Purnama.

“Kau dengar! Aku tak ingin memberi keterangan apa-apa!”

“Kenal dengan Paduka Seribu Masalah?!”

Dayang Tiga Purnama terlengak. Diam-diam dalam hati gadis ini membatin. “Dari parasnya, sepertinya dia bukan asli orang negeri ini! Siapa dia sebenarnya?! Mengapa bertanya tentang Paduka Seribu Masalah?!
Apakah dia juga tengah mencari Paduka Seribu Masalah...?!”

“Tampaknya kau memang tidak ingin memberi keterangan.... Aku tidak memaksa!” Joko tersenyum lalu gerakkan tangan menyentuh pundak orang yang duduk rangkapkan kaki memberi isyarat. Saat lain murid Pendeta Sinting melangkah.

“Tunggu!” Dayang Tiga Purnama berseru.

Namun Joko seolah tidak mendengar seruan orang. Dia teruskan langkah. Sementara orang yang duduk rangkapkan kaki tidak bergerak dari tempatnya semula.
“Hai! Tunggu!” Dayang Tiga Purnama berteriak sekali lagi seraya melompat dan tegak dengan sikap menghadang di depan Pendekar 131.

***
TUJUH
PENDEKAR 131 hentikan langkah. Memandang si gadis dari ujung rambut hingga ujung kaki. Namun sejauh ini murid Pendeta Sinting masih kancingkan mulut.

Dayang Tiga Purnama sendiri sedikit merasa jengah dipandangi orang begitu rupa hingga dia cepat alihkan pandangan. Dalam hati dia berkata. “Apakah aku layak bertanya padanya?! Dia seperti orang asing. Mungkinkah dia tahu tentang Paduka Seribu Masalah?! Ah....”

“Mau utarakan sesuatu?!” Akhirnya Joko buka suara.

Dayang Tiga Purnama menoleh. Mulutnya sudah bergerak membuka. Namun entah mengapa, mendadak gadis cantik ini cepat-cepat katupkan kembali mulutnya seraya gelengkan kepala. Saat lain dia putar diri hendak melangkah.

“Dari sikapnya, jelas dia ingin mengutarakan sesuatu. Tapi jelas pula dia merasa bimbang....” Joko membatin. Lalu berkata. “Aku tahu. Kau bimbang hendak ucapkan sesuatu. Harap tidak berprasangka buruk. Kita memang baru bertemu. Tapi tak ada salahnya kalau kau ingin mengutarakan sesuatu padaku. Siapa tahu kita bisa saling membantu...!”

Dayang Tiga Purnama urungkan niat langkahkan kaki. Lalu perlahan-lahan putar diri lagi menghadap murid Pendeta Sinting. Tapi lagi-lagi gadis cantik ini batalkan niat untuk berucap meski mulutnya telah bergerak membuka.

Pendekar 131 tersenyum. “Dayang Tiga Purnama....” Hanya sampai di situ Joko berucap. Karena si gadis telah perdengarkan suara.

“Tidak keberatan mengatakan siapa kau sebenarnya?!”

“Hem.... Ucapanmu membuktikan kalau kau masih menaruh sak wasangka padaku.... Tapi tak apa.... Seperti kukatakan tadi. Aku Joko Sableng!”

“Bukan itu maksud pertanyaanku....”

Murid Pendeta Sinting maklum akan maksud Dayang Tiga Purnama. Seraya anggukkan kepala dia berkata. “Aku memang bukan orang negeri ini. Aku berasal dari negeri jauh di seberang laut!”

“Datang jauh-jauh dari negeri seberang laut. Pasti kau punya tujuan sangat penting hingga sampai di ne- geri ini....”

Pendekar 131 gelengkan kepala. “Ceritanya sangat panjang. Yang jelas kalaupun aku sampai menginjakkan kaki di negeri ini, itu semua bukan kusengaja. Mungkin hanya takdir yang membawaku. Tapi aku tidak kecewa dengan suratan yang harus kujalani. Karena aku selalu bertemu dengan gadis-gadis cantik sepertimu....”

Wajah Dayang Tiga Purnama bersemu merah. Namun kali ini gadis cantik berbaju ungu itu tidak berusaha palingkan wajah. Sebaliknya memandang tajam pada bola mata murid Pendeta Sinting. Hingga untuk beberapa lama kedua orang ini saling berpandangan.

“Aku tadi mendengar kau sebutkan nama seorang gadis.... Kau tengah dalam perjalanan mencarinya?!” tanya Dayang Tiga Purnama dengan suara sedikit direndahkan.

Joko menjawab dengan gelengkan kepala seraya berucap. “Di negeri ini, aku sempat bertemu dengan beberapa orang gadis. Di antaranya adalah gadis bernama Bidadari Delapan Samudera. Kalau aku tadi menyebutnya, semata-mata karena aku melihat kemiripan antara kau dengan Bidadari Delapan Samudera. Kau mengenalnya?!”

Dayang Tiga Purnama tersenyum dengan menggeleng. Lalu berujar. “Kau tadi juga sebut-sebut orang berjuluk Paduka Seribu Masalah.... Kau mengenalnya?!”

Joko terdiam beberapa lama. Tanpa sadar matanya bergerak memandang ke arah orang yang masih duduk rangkapkan kaki di sebelah bongkahan batu. “Aku belum bisa memastikan apakah dia manusianya yang bernama Paduka Seribu Masalah meski dari sikap dan ucapannya aku menduga dia adalah Paduka Seribu Masalah!” Joko alihkan pandangan pada Dayang Tiga Purnama. “Dari ucapan pertanyaannya, jangan-jangan gadis ini tengah mencari Paduka Seribu Masalah. Hem.... Bagaimana aku harus menjawab?!”

Selagi murid Pendeta Sinting membatin begitu, Dayang Tiga Purnama ulangi pertanyaan. “Kau mengenal Paduka Seribu Masalah?!”

“Dia adalah sahabatku....”

Dayang Tiga Purnama terkejut. “Dia baru saja mengaku sebagai orang dari negeri seberang laut. Bagaimana mungkin dia juga mengaku sebagai sahabat Paduka Seribu Masalah?! Bukankah Paduka Seribu Masalah adalah tokoh negeri ini?!”

“Boleh aku bertanya. Sejak kapan kau berada di tanah Tibet?!” tanya Dayang Tiga Purnama.

“Memang belum lama. Tapi mungkin nasib baik yang membawaku bisa bersahabat dengan beberapa orang di negeri ini! Sebagai orang negeri ini, tentu kau juga mengenal Paduka Seribu Masalah. Benar...?!” Joko balik bertanya untuk meyakinkan dugaan apakah orang yang tengah duduk rangkapkan kaki di sebelah bongkahan batu adalah Paduka Seribu Masalah. Dayang Tiga Purnama tidak segera buka mulut. Joko jadi bertanya-tanya dalam hati.


“Hem.... Gadis ini sepertinya tidak mengenali orang yang duduk rangkapkan kaki itu. Jangan-jangan orang itu bukan Paduka Seribu Masalah. Kalau dia Paduka Seribu Masalah, tentu gadis ini mengenalinya sejak pertama melihat. Tapi mengapa Datuk Kala Sutera menduga orang itu adalah Paduka Seribu Masalah?! Mana di antara keduanya yang benar...?!”

“Aku memang orang negeri ini...” Akhirnya Dayang Tiga Purnama berkata setelah agak lama terdiam. “Tapi nyatanya kau lebih beruntung...”

“Maksudmu...?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Kau belum lama berada di negeri ini. Tapi kau telah bersahabat dengan Paduka Seribu Masalah! Sementara aku melihat pun belum pernah!”

“Hem.... Sepertinya kau punya urusan dengan Paduka Seribu Masalah!” Joko langsung menebak setelah menyimak ucapan-ucapan Dayang Tiga Purnama.

“Sebenarnya aku tidak punya urusan apa-apa dengan Paduka Seribu Masalah. Bagaimana aku bisa punya urusan kalau bertemu pun belum pernah?!”

“Belum pernah bertemu bukan satu jaminan kalau orang itu tidak punya urusan...”

“Hem... Ucapannya benar juga... Apakah aku harus bertanya padanya?! Apakah ucapannya bisa dipercaya?!” Dayang Tiga Purnama dilanda kebimbangan. Lalu bertanya.

“Benar kau adalah sahabat Paduka Seribu Masalah?!”

“Aku tidak mau membuka urusan dengan orang dengan mengaku-aku dan berkata dusta!” kata Joko setelah yakin kalau orang yang duduk rangkapkan kaki di sebelah bongkahan batu adalah Paduka Seribu Masalah.

“Mau mengatakan padaku di mana aku bisa bertemu dengannya?!”

“Walau kau belum pernah bertemu, mungkin kau sudah pernah dengar. Mencari Paduka Seribu Masalah adalah urusan gampang-gampang sulit! Tidak dicari mendadak saja nongol, tapi kalau tengah dicari dia seolah lenyap ditelan bumi!” Joko hentikan ucapannya sejenak. Lalu menyambung. “Kalau kau percaya padaku, katakan saja apa urusanmu dengan Paduka Seribu Masalah! Kalau nanti aku bertemu dengannya, aku bisa mengutarakan!”

Dayang Tiga Purnama menghela napas. Lalu tengadahkan sedikit kepalanya. Jelas wajahnya membayangkan perasaan gelisah dan galau. “Aku bukan tak percaya padamu...,” akhirnya Dayang Tiga Purnama berucap. “Tapi aku tidak bisa mengutarakan maksud selain pada Paduka Seribu Masalah!”

“Itu sama saja kau belum percaya padaku! Tapi terserah padamu.... Aku hanya menawarkan...!”

“Terima kasih.... Mungkin aku masih butuh waktu! Kalau kelak aku gagal, tidak mustahil aku terpaksa akan mengutarakan maksudku padamu.... Sekarang kau hendak ke mana?!” Dayang Tiga Purnama alihkan pembicaraan.

“Benar ini tempat yang harus dilewati kalau ingin sampai Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!”

“Kalau kau ingin ke lembah itu, kau telah melewati jalan yang benar!”

“Terima kasih.... Aku harus segera pergi!” kata Joko seraya arahkan pandangan pada orang yang duduk rangkapkan kaki. Lalu berseru. “Sahabatku.... Bagaimana sekarang?! Kau akan terus bersamaku atau tetap berada di sini?!”

“Kau jangan menakut-nakuti aku dengan ucapan seperti itu! Di antara kita sudah terjadi sepakat! Kau pasti takut pergi tanpa aku, begitu juga sebaliknya! Aku tidak akan berani tanpa bersamamu!”

Mendengar ucapan orang, Joko cepat putar diri. Namun sebelum melangkah dia masih buka suara lagi. “Dayang Tiga Purnama.... Kau benar-benar tidak mau mengutarakan urusanmu dengan Paduka Seribu Masalah?!”

Yang ditanya berpaling pada orang yang duduk rangkapkan kaki. “Ah.... Sebaiknya aku utarakan saja. Sepertinya dia pemuda baik-baik.... Tapi aku tidak ingin orang yang duduk itu mendengarnya pula meski dia adalah sahabat pemuda itu!”

Karena tidak ada jawaban, murid Pendeta Sinting berpaling. Saat yang sama Dayang Tiga Purnama alihkan pandangan matanya dari orang yang duduk rangkapkan kaki. Lalu melangkah mendekati Joko dan berkata pelan.

“Aku akan mengatakannya padamu. Tapi...” Si gadis tidak lanjutkan ucapan. Tapi melirik pada orang yang duduk rangkapkan kaki.

Murid Pendeta Sinting tampaknya dapat membaca gelagat. “Kau tak ingin ada orang lain yang mendengarnya?!”

Dayang Tiga Purnama anggukkan kepala sambil berkata setengah berbisik. “Bukan aku tak percaya dengan sahabatmu itu. Tapi rasanya tak enak kalau urusanku diketahui banyak orang! Kuharap kau mengerti...” Habis berkata begitu, Dayang Tiga Purnama melangkah.

Joko tersenyum. Tanpa pikir panjang lagi dia segera mengikuti di belakang si gadis. Di tempat yang agak jauh dari orang yang duduk rangkapkan kaki, Dayang Tiga Purnama berhenti. Lalu berucap begitu Joko berhenti tidak jauh di belakangnya.

“Sebelum kukatakan, aku minta padamu. Harap apa yang kukatakan nanti tidak kau bicarakan pada siapa saja selain dengan Paduka Seribu Masalah!”

“Aku akan pegang janji! Sekarang katakanlah....”

“Selama ini aku hidup bersama seorang Eyang. Pada mulanya memang seperti tidak ada hal yang perlu diselesaikan. Namun begitu aku agak besar, mulai timbul pertanyaan... Karena selama itu aku belum pernah mengenal siapa orangtuaku. Aku mulai sering menanyakan perihal kedua orangtuaku pada Eyang. Namun jawaban yang kuperoleh selama ini tidak membuatku puas. Sepertinya Eyang menyembunyikan sesuatu padaku...”

Dayang Tiga Purnama hentikan keterangannya. Wajahnya berubah sedikit murung. Sementara murid Pendeta Sinting menyimak keterangan si gadis dengan seksama tanpa buka mulut.

“Gelagat Eyang membuatku penasaran. Hingga tak henti-hentinya aku terus bertanya padanya. Tapi jawaban yang kuterima masih saja belum membuatku puas. Dan sikap Eyang membuatku makin yakin kalau Eyang menyembunyikan sesuatu. Hingga pada akhirnya aku memaksa Eyang untuk mengatakan apa sebenarnya yang disembunyikan padaku....”

“Dia mau mengatakannya?!” Joko bertanya.

Dayang Tiga Purnama geleng kepala. “Dia tetap tidak mau mengatakannya! Hingga aku mengancam akan pergi meninggalkan dia kalau dia tetap tidak mau membuka diri!”

“Lalu...?!”

“Akhirnya Eyang memberi penjelasan. Bahwa satu- satunya orang yang bisa memberi keterangan adalah Paduka Seribu Masalah! Tapi jawaban itu belum membuatku tenang. Aku bertanya mengapa harus Paduka Seribu Masalah yang memberi keterangan! Eyang tidak mau menjelaskan. Dia hanya berpesan, kalau aku ingin tahu, aku harus mencari Paduka Seribu Masalah!”

Untuk kedua kalinya Dayang Tiga Purnama hentikan ucapannya. Setelah menghela napas dan arahkan pandangan pada orang yang duduk rangkapkan kaki di seberang sana, gadis ini buka mulut lagi.

“Aku bertanya pada Eyang di mana bisa kutemui Paduka Seribu Masalah. Jawaban yang kuterima hampir mirip dengan ucapanmu tadi. Mencari Paduka Seribu Masalah adalah urusan gampang-gampang susah! Dia tidak bisa ditentukan di mana beradanya. Lebih dari itu aku tidak memperoleh keterangan bagaimana manusia yang bernama Paduka Seribu Masalah!”

“Hem.... Lalu mengapa kau berada di tempat ini?!”

“Daerah ini adalah tempat tinggalku. Di sebelah sana ada sebuah goa agak besar. Di sanalah selama ini aku hidup bersama Eyang....” Dayang Tiga Purnama arahkan telunjuknya pada satu jurusan. “Joko.... Seandainya kau nanti bertemu dengan Paduka Seribu Masalah, kuharap kau mau membantuku. Kau telah tahu di mana tempat tinggalku....”

“Kau yakin Paduka Seribu Masalah dapat membuka rahasia hidupmu?!”

“Pada mulanya aku memang heran dengan keterangan Eyang. Tapi setelah aku mencari keterangan, aku mendapatkan kabar, jika manusia yang bergelar Paduka Seribu Masalah adalah seorang yang memiliki kepandaian aneh. Dia tahu seribu masalah orang meski orang yang belum pernah dikenalnya! Tapi aku mendapatkan kesulitan untuk mencarinya meski aku telah berusaha!”

Pendekar 131 menghela napas panjang seakan ikut merasakan kesenduan Dayang Tiga Purnama. Lalu berkata pelan. “Masih ada yang hendak kau sampaikan?!”

Dayang Tiga Purnama geleng kepala. “Aku hanya meminta kau tidak mengatakan apa yang baru kuutarakan pada orang lain selain Paduka Seribu Masalah...”

Pendekar 131 anggukkan kepala. Lalu arahkan pandang matanya pada orang yang duduk rangkapkan kedua kaki. “Dayang Tiga Purnama... Aku harus segera teruskan perjalanan. Kalau boleh tahu, apakah aku masih memerlukan sampan untuk melintasi enam sungai berikutnya?!”

“Kau tidak perlu lagi sampan itu. Kau memang akan melintasi enam sungai lagi sebelum mencapai lembah. Tapi sungai itu bisa dilewati dengan melompat-lompat. Karena hanya aliran sungai kecil dan banyak batu-batu yang dapat kita buat loncatan hingga sampai ke tepian....”

“Terima kasih.... Sekarang aku harus pergi. Mudah- mudahan aku segera memperoleh keterangan yang kau perlukan....” Habis berkata begitu, Joko melangkah kembali ke arah orang yang duduk rangkapkan kaki. Namun baru mendapat enam langkah dia ingat sesuatu. Seraya palingkan wajah, Joko bertanya. “Siapa nama eyangmu...?!”

“Kita nanti mungkin masih bertemu lagi. Kelak aku akan memberitahukan padamu! Selamat jalan....”

Joko tersenyum, lalu berpaling lagi pada orang yang duduk rangkapkan kaki. Namun baru saja kepalanya bergerak, sosok yang duduk rangkapkan kaki telah membuat gerakan. Sosoknya melesat dengan tetap dalam posisi duduk dan saat lain sudah berada jauh di sana!

“Hai! Tunggu...!” Joko berteriak, lalu berlari menyusul.

Dayang Tiga Purnama pandangi sosok murid Pendeta Sinting. Saat itulah mendadak dia sadar. “Ah... Mengapa aku cepat percaya pada pemuda itu...?! Padahal aku belum kenal betul siapa dia... Tapi... Mudah-mudahan saja semua keterangannya benar....”

Dayang Tiga Purnama terus memperhatikan hingga sosok murid Pendeta Sinting dan orang yang tadi duduk rangkapkan kaki lenyap di ujung sana. Lalu putar diri melangkah. Aneh, di pelupuk matanya terus terbayang paras Pendekar 131 Joko Sableng!

***
DELAPAN
Bidadari Tujuh Langit tegak memandang pada dua sosok tubuh yang tergeletak di atas jerami tebal dengan bibir sunggingkan senyum kepuasan. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat mulai dari rambut sampai kaki. Pakaian yang dikenakan tampak semburat tak karuan. Malah dadanya tersingkap lebar hingga sepasang payudaranya terlihat jelas dan tampak bergerak-gerak turun naik. Pakaian bawahnya juga ternganga lebar memperlihatkan sepasang pahanya yang padat dan mulus.

Di lain pihak, dua sosok tubuh yang tergeletak di atas jerami tebal tampak diam tak bergerak-gerak. Mereka adalah dua orang gadis berparas cantik. Namun keadaannya sangat mengenaskan. Pakaian yang dikenakan sudah robek di sana-sini bahkan nyaris telanjang. Rambutnya kusut awut-awutan. Sementara wajahnya basah, bukan saja oleh keringat namun juga air mata.

Bidadari Tujuh Langit usap wajahnya. Lalu rapikan pakaian dan melangkah mendekati dua sosok gadis di atas jerami tebal. Dia memperhatikan beberapa lama pada sekujur tubuh dua sosok di hadapannya. Sepasang matanya membelalak liar. Saat bersamaan dadanya bergerak-gerak keras.

“Hem.... Sebenarnya aku masih ingin menikmati kemolekan tubuh mereka berdua.... Tapi si Pasangan Mesum itu terlalu enak kalau tidak segera diberi tahu apa yang menimpa utusannya.... Lebih dari itu, aku ingin agar mereka segera mencariku. Dan akan kuajarkan pada si perempuannya bagaimana cara bercinta yang baik dan mengasyikkan...!”

Bidadari Tujuh Langit tertawa cekikikan. Kedua tangannya bergerak dan mengusap paha kedua sosok gadis di atas jerami tebal. Kedua tangan perempuan bertubuh sintal berwajah cantik ini tampak bergetar. Napasnya berhembus panjang-panjang.
Saat lain Bidadari Tujuh Langit yang mulai dilanda gelegak hawa nafsu itu gerakkan kedua tangan ke arah leher masing-masing gadis.

Dua sosok gadis yang tergeletak terlonjak. Saat bersamaan sepasang mata mereka membuka. Untuk beberapa saat dua pasang mata itu memperhatikan berkeliling. Jelas wajahnya membayangkan keheranan. Namun begitu mata mereka menumbuk pada sosok Bidadari Tujuh Langit, sekonyong-konyong mata mereka mendelik angker. 

Kejap lain hampir bersamaan kedua gadis itu bergerak bangkit. Namun kedua gadis itu tercekat. Mata mereka makin melotot tatkala mereka sadar jika mereka tidak bisa gerakkan anggota tubuh! Dan dari mulut mereka keluar suara menggembor marah ketika mereka menyadari bagaimana keadaan diri masing-masing yang hampir telanjang!

“Jahanam! Apa yang kau lakukan?!” hampir berbarengan kedua gadis di atas jerami berteriak setengah menjerit.

Bidadari Tujuh Langit tersenyum. “Galuh Sembilan Gerhana... Galuh Empat Cakrawala... Bukan apa yang telah kulakukan. Tapi apa yang telah kita lakukan... Hik Hikk Hik...! Kita baru saja menikmati indahnya surga dunia... Kuharap kalian tidak melupakan apa yang baru saja kita lakukan bersama-sama...”

“Perempuan jalang!” jerit gadis sebelah kanan yang pakaian merahnya tampak awut-awutan dan bukan lain adalah Galuh Sembilan Gerhana.

“Perempuan mesum!” Gadis sebelah kiri yang pakaian kuningnya juga tampak berserakan dan tidak lain adalah Galuh Empat Cakrawala ikut berteriak.

Bidadari Tujuh Langit tertawa panjang. “Gadis-gadisku... Seharusnya kalian bersyukur. Bukan saja karena kalian telah kuajak menikmati indahnya cinta, lebih dari itu kalian masih kubiarkan hidup!”

“Kau hanya berani pada orang yang tak berdaya!” seru Galuh Sembilan Gerhana.

“Aku bersumpah akan membunuhmu!” Galuh Empat Cakrawala menyahut dengan suara tinggi.

“Terserah apa kata kalian! Yang jelas, kalau aku mau, membunuh kalian berdua bukan pekerjaan sulit! Tapi aku tak mau melakukan hal itu! Kalian tahu apa sebabnya?!”

Belum sampai ada yang buka mulut menjawab, Bidadari Tujuh Langit sudah menyambung. “Agar dua jahanam yang memerintahkan kalian tahu. Bidadari Tujuh Langit bukan manusia bodoh seperti dugaan mereka! Lebih dari itu, aku ingin menikmati kemolekan perempuan keparat salah satu manusia yang mengutus kalian berdua!”

“Lepaskan kami!” teriak Galuh Sembilan Gerhana.

“Tanpa kau minta, aku akan melepas kalian...! Tapi sebelumnya kalian perlu tahu...”

“Kau tak usah banyak bicara! Kami tak butuh keterangan apa-apa darimu!” bentak Galuh Empat Cakrawala. Namun baik Galuh Sembilan Gerhana maupun Galuh Empat Cakrawala hanya bisa berteriak tanpa bisa membuat gerakan. Karena tubuh mereka masih dalam keadaan tertotok.

“Kalian butuh atau tidak itu urusan kalian berdua! Yang penting aku telah memberi tahu! Pertama. Sebenarnya kalian sengaja diumpankan padaku. Di antara kita tidak ada hutang nyawa! Kedua. Sebenarnya yang punya urusan darah adalah antara aku dengan Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah si Pasangan Mesum yang telah memerintahkan kalian! Mereka tidak berani menghadapiku lalu menghasut kalian!”

“Siapa percaya ucapan perempuan binal jahanam sepertimu!” sahut Galuh Sembilan Gerhana.

“Aku tidak minta kalian percaya! Aku hanya memberi tahu! Bukan tak mungkin setelah ini kalian akan mendapat perintah lagi untuk membunuh seseorang! Untung jika kalian berhadapan dengan orang seperti ku! Aku bukan saja tidak membalas, tapi justru memberikan kenikmatan yang selama ini belum pernah kalian kecap!”

“Ternyata bukan tindakanmu saja yang keji! Tapi mulutmu juga pandai menghasut!” Yang berteriak adalah Galuh Empat Cakrawala.

“Aku tahu.... Mungkin saat ini kalian masih dalam keadaan panik. Kalian membutuhkan waktu untuk merenungkan ucapanku!”

Habis berkata begitu, Bidadari Tujuh Langit membuat gerakan melompat. Galuh Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana hanya bisa memandang tanpa bisa berbuat banyak. Saat lain kedua gadis ini perdengarkan seruan tegang. Lalu sosok keduanya terlempar jatuh dari atas jerami tebal. 

Anehnya, saat itu juga Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala bisa gerakkan anggota tubuhnya. Sadar bisa bergerak, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala segera bergerak bangkit. Mata mereka liar memandang berkeliling. Malah saat itu juga Galuh Sembilan Gerhana sudah melompat. Namun sosok Bidadari Tujuh Langit sudah tidak kelihatan lagi.

“Jahanam keparat!” teriak Galuh Sembilan Gerhana. Laksana kesetanan gadis ini berkelebat meski tidak tahu arah mana yang harus diambil.

“Tunggu!” Galuh Empat Cakrawala berteriak menahan.

Galuh Sembilan Gerhana batalkan niat. Lalu berpaling ke arah Galuh Empat Cakrawala. Sepasang matanya mendelik memperhatikan sosok Galuh Empat Cakrawala yang masih tegak dalam keadaan setengah telanjang. Saat itulah dia sadar akan dirinya yang keadaannya hampir tidak beda dengan Galuh Empat Cakrawala. Seraya rapikan pakaiannya, Galuh Sembilan Gerhana berkata dengan suara bergetar parau. “Kita harus mengejar jahanam binal itu!”

Galuh Empat Cakrawala tidak menyahut. Melainkan rapikan pakaiannya dengan bahu berguncang menahan isakan. Galuh Sembilan Gerhana melangkah mendekati Galuh Empat Cakrawala. Matanya berkaca-kaca saat dia berucap.

“Semuanya telah terjadi! Percuma kita sesali! Yang jelas, mulai hari ini, kita bersumpah bahwa seluruh hidup kita akan kita curahkan untuk membalas perempuan keparat binal itu!”

“Itu sudah pasti.... Tapi ada satu hal lagi yang harus segera kita lakukan!” kata Galuh Empat Cakrawala setelah agak lama terdiam.

“Apa...?!”

“Selama ini kita hanya lakukan apa yang diperintahkan Guru tanpa pernah bertanya atau menyelidik benar tidaknya apa yang diperintahkan!”

“Kau termakan ucapan perempuan binal tadi, Galuh....”

Galuh Empat Cakrawala gelengkan kepala. “Tidak... Selama ini kita memang tidak pernah mencoba
bertanya. Kita percaya begitu saja!”

“Lalu apa yang harus kita lakukan?!”

“Kita menemui Guru! Kita minta penjelasan duduk persoalan sebenarnya! Setelah itu kita menyelidik di samping mencari jalan untuk membunuh perempuan jahanam binal tadi!”

Galuh Sembilan Gerhana anggukkan kepala. Saat lain kedua gadis ini berkelebat setelah memandang berkeliling.

***

Dua sosok tubuh yang tengah berpelukan sambil berciuman itu tiba-tiba saling tarik pulang wajah masing-masing dengan paras membesi dan perdengarkan dengusan. Saat lain kedua wajah itu menyentak berpaling ke samping kanan dengan mata mendelik angker.

“Ada dua orang menuju kemari!” berkata orang sebelah kanan yang ternyata adalah seorang laki-laki berusia lanjut berambut putih panjang dan jarang. Parasnya lonjong dengan kulit putih pucat. Sosoknya kerempeng hingga raut wajahnya hampir saja tidak tertutup daging. 

Sepasang matanya melotot besar seakan mencelat keluar dari dalam rongganya yang cekung dalam. Laki-laki ini mengenakan pakaian warna putih gombrong besar. Saking gombrongnya pakaian yang dikenakan, saat ada angin bertiup, sosoknya tampak bergoyang-goyang meski sebenarnya dia tidak membuat gerakan apa-apa!

“Hem.... Tampaknya mereka!” Orang kedua yang tegak di sebelah kiri menyahut, la adalah seorang perempuan berusia setengah baya. Walau begitu paras wajahnya tetap terlihat cantik jelita. Rambutnya hitam lebat dikuncir tinggi. Kulitnya putih bersih dengan hidung mancung dan bibir merah menyala. Lehernya jenjang dan dadanya masih tampak membusung kencang dan padat. Pinggulnya yang besar dibalut dengan pakaian tipis warna biru sangat ketat, hingga terlihat mencuat menggoda!

“Kancingkan bajumu! Aku mendapat firasat tidak baik!” Si laki-laki bertubuh kerempeng berpakaian gombrong besar dan bukan lain adalah Iblis Muka Setan buka suara.

Dengan menyeringai dingin dan hembuskan napas panjang, si perempuan yang tidak lain adalah Perempuan Kembang Darah cepat lakukan apa yang diucapkan Iblis Muka Setan. Saat lain laki-laki dan perempuan yang dalam kancah rimba belantara persilatan tanah Tibet dikenal dengan julukan Pasangan Mesum ini putar diri menghadap ke depan menyongsong dua sosok tubuh yang berkelebat menuju ke arah mereka.

“Guru berdua! Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala datang!” terdengar seruan.

Lalu dua sosok tubuh sudah berlutut sejarak sepuluh langkah di hadapan Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah. Kepala Iblis Muka Setan tersentak ke belakang. Sepasang matanya membelalak besar. Mulutnya terkancing rapat namun rahangnya yang hanya tinggal tulang terangkat. Di sebelahnya, Perempuan Kembang Darah sorongkan wajah ke depan dengan mata mendelik dan mulut perdengarkan gumaman tak jelas. Saat lain kedua orang ini saling pandang.

“Tampaknya mereka gagal!” berbisik Iblis Muka Setan.

“Benar! Tapi setidaknya kita berhasil menjalankan rencana kedua! Dari pakaian dan gelagatnya, jelas apa yang kita duga menjadi kenyataan! Bidadari Tujuh Langit tidak tahu. Siapa sebenarnya dua gadis yang baru saja menjadi mangsanya!”

Iblis Muka Setan anggukkan kepala. Lalu angkat suara. “Galuh Sembilan Gerhana! Galuh Empat Cakrawala! Aku melihat pakaianmu tidak seperti biasanya! Apa yang telah terjadi...?!”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala angkat kepala lalu memandang pada Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah.

“Guru berdua!” Yang buka mulut Galuh Sembilan Gerhana. Suaranya masih bergetar dan setengah terisak. “Harap maafkan kami. Kami berdua gagal melaksanakan perintahmu...!”

“Mungkin kalian tidak melakukan seperti apa yang kita rencanakan!” kata Perempuan Kembang Darah.

“Kami telah melakukan sesuai rencana! Tapi kami tetap gagal! Bahkan kami harus mengalami....” Galuh Sembilan Gerhana tidak lanjutkan ucapan.

“Kalian tidak perlu bersedih... Kalian masih punya waktu untuk melakukannya lagi! Aku akan menurunkan ilmu pada kalian berdua!” kata Iblis Muka Setan.

“Terima kasih... Tapi kalau kami boleh bertanya. Benarkah kedua orangtua kami memang tewas di tangan Bidadari Tujuh Langit jahanam itu?!” tanya Galuh Empat Cakrawala.

Iblis Muka Setan saling lontar lirikan dengan Perem-puan Kembang Darah. Jelas kedua orang ini sembunyikan rasa kaget. Tapi Iblis Muka Setan buru-buru angkat suara. “Murid-muridku.... Kalian berdua kuasuh sejak masih bayi. Kalian sebenarnya lebih kuanggap anak daripada murid. Adalah satu hal aneh kalau tiba-tiba kau bertanya begitu!”

“Maafkan kami... Kami hanya ingin mendapat kejelasan!” ujar Galuh Sembilan Gerhana.

“Tidak ada penjelasan lain! Semuanya sudah jelas! Kedua orangtuamu tewas di tangan Bidadari Tujuh Langit pada enam belas tahun silam! Lalu aku mengambil kalian berharap satu saat nanti kalian dapat membalas apa yang dilakukan Bidadari Tujuh Langit pada kedua orangtua kalian! Apa yang belum jelas?!”

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala saling pandang. Lalu sama arahkan pandangan pada kedua guru mereka. Galuh Empat Cakrawala buka mulut. “Apakah antara Guru berdua dengan Bidadari Tujuh Langit ada urusan darah?!”

“Pada mulanya, kami berdua adalah sahabat Bidadari Tujuh Langit. Tapi karena aku mengambil kalian, persahabatan kami putus. Bahkan sejak saat itu pula Bidadari Tujuh Langit mencoba cari-cari urusan! Sedapat mungkin aku menghindar karena aku tahu. Ada yang lebih berhak atas nyawa Bidadari Tujuh Langit!”

“Bagaimana sekarang?!” bisik Galuh Sembilan Gerhana.

“Kita harus menyelidik... Kita harus mencari tahu dengan bertanya pada seseorang..,” jawab Galuh Empat Cakrawala.

“Tapi pada siapa...?!”

“Kau tentu masih ingat cerita Guru tentang seorang aneh berjuluk Paduka Seribu Masalah... Kita cari dia! Mungkin kita akan mendapat keterangan!” Habis berkata begitu, tanpa menunggu sambutan Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat Cakrawala angkat suara.

“Guru berdua... Untuk beberapa hari ini kami minta izin pergi ke satu tempat untuk tenangkan diri...”


“Baiklah... Setelah itu nanti kita bicarakan lagi apa yang harus kalian lakukan!” kata iblis Muka Setan.

Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama menjura hormat. Lalu putar diri dan berkelebat dari hadapan Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah.

***
SEMBILAN
LANGIT malam sudah berganti agak terang ketika Pendekar 131 dan orang yang duduk rangkapkan kaki mencapai sebuah lembah berbentuk bintang. Joko tegak dengan lepas pandangan berkeliling. Lembah itu merupakan sebuah tanah terbuka yang banyak diranggasi rumput tebal tinggi dan beberapa jajaran pohon besar berdaun rindang, hingga meski suasana sudah akan berganti pagi, tapi lembah itu masih terlihat gelap.

“Ini Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!” Joko bertanya untuk meyakinkan diri pada orang yang duduk rangkapkan kaki tiga tindak di sebelahnya.

“Aku takut mengatakannya. Tapi mungkin memang ini lembah yang kau cari!” orang yang duduk dengan wajah dibenamkan ke belakang rangkapkan kedua kakinya perdengarkan jawaban.

“Aku menyelidik. Harap kau tunggu di sini!” Tanpa menunggu sahutan orang, murid Pendeta Sinting berkelebat. Namun hingga mengitari lembah dua kali, dia tidak menemukan siapa-siapa. Bahkan dia tidak menemukan tanda-tanda jika lembah itu dihuni orang. Hingga pada satu tempat dia hentikan larinya.

“Jauh-jauh mencari lembah ini. Setelah kutemukan ternyata aku tidak bertemu dengan orang yang kucari! Mungkinkah Dewa Asap Kayangan berkata dusta?! Tapi untuk apa...?! Dia bersama Dewa Cadas Pangeran telah membantu banyak dalam urusan peta wasiat Perguruan Shaolin. Tidak mungkin di antara mereka ada yang mau berkata dusta! Tapi mengapa aku tidak menemukan di tempat yang pernah dikatakannya?! Apa maksud semua ini...?!”

Pendekar 131 menghela napas panjang. Lalu memandang berkeliling sekali lagi. “Aku sengaja memisahkan diri dari orang yang duduk sembunyikan wajah dengan harapan dia tidak tahu apa urusanku hingga sampai ke lembah ini! Lagi pula aku ingin bertanya pada Dewa Asap Kayangan siapa dia sebenarnya!”

Baru saja Joko bergumam begitu, mendadak telinganya mendengar suara orang tertawa bersahutsahutan. Joko terlengak dan pasang telinga baik-baik. Lalu putar tubuh menghadap ke arah sumber suara tawa.

“Aneh... Suara tawa ini datangnya dari tempat mana orang yang duduk tadi kutinggalkan... Tapi mengapa suara tawa itu diperdengarkan bukan satu orang?! Jangan-jangan...”

Murid Pendeta Sinting tidak lanjutkan membatin. Dia segera berkelebat ke arah datangnya sumber tawa. Namun kali ini dia sengaja berkelebat berputar dan mengendap-endap mendekati tempat di mana dia tadi tinggalkan orang yang duduk rangkapkan kaki. Dari tempat yang terlindung batangan pohon, Joko segera mendekam sembunyi lalu berpaling. Memandang ke depan, sepasang matanya sedikit terbelalak.

Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut berparas lonjong berambut putih jarang serta jabrik. Sepasang matanya jereng besar. Pada mulutnya yang mungil terdapat satu pipa cangklong yang kepulkan asap. Dia mengenakan celana pendek berwarna putih kusam. Pakaian atasnya berupa rompi tanpa lengan. Di pundaknya menyelempang sebuah ikat pinggang besar yang dihias beberapa pipa. Setiap pipi di mulutnya kepulkan asap, beberapa pipa yang menghiasi ikat pinggangnya juga kepulkan asap!

“Dewa Asap Kayangan!” Joko mendesis mengenali siapa adanya kakek berpipa.

Kakek ini tegak tiga langkah di samping kanan orang yang tengah duduk rangkapkan kaki seraya tertawa ngakak. Joko teruskan pandangan. Karena di sebelah kiri orang yang duduk rangkapkan kaki tampak juga seorang kakek berpakaian compang-camping. Paras wajahnya tidak kelihatan karena tertutup sebuah benda bulat yang berada di depan wajahnya. 

Benda bulat itu adalah sebuah batu putih yang digantungkan pada ujung sebuah tambang dan tambang itu berpangkal pada punggung orang. Anehnya, meski hanya berupa tambang, tapi tambang itu lurus tegak di punggung orang lalu begitu tepat di bagian atas kepala, tambang itu melengkung hingga batu putih tepat menutupi wajahnya.

“Dewa Cadas Pangeran!” untuk kedua kalinya murid Pendeta Sinting mendesis mengenali siapa adanya kakek yang wajahnya tertutup batu putih. Joko menghela napas lega. “Ternyata perjalananku tidak sia-sia. Mereka kutemukan di sini! Mudah-mudahan urusan ini segera selesai... Tapi...”

Tiba-tiba murid Pendeta Sinting ingat sesuatu. Dia pentang mata sekali lagi lalu lepas pandangan berkeliling. “Dia tidak kelihatan! Bagaimana urusan ini akan selesai kalau dia tidak ada...?! Ataukah Dewa Cadas Pangeran tidak jadi mengambil Dewi Bunga Asmara sebagai murid?! Lalu apa pula yang membuat mereka bertiga tertawa bergelak-gelak...?! Hem... Ini satu petunjuk kalau Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran mengenali siapa adanya orang yang duduk sembunyikan wajah di balik rangkapan kedua kakinya itu!”

Selagi Joko membatin begitu, dari arah depan terdengar orang berkata. “Sahabatku Paduka Seribu Masalah...!” Yang berkata adalah kakek berpakaian compang-camping yang wajahnya tertutup batu putih dan bukan lain memang Dewa Cadas Pangeran adanya. “Kau tadi mengatakan datang hendak melamar! Tapi kulihat kau datang seorang diri. Apakah kau sendiri yang hendak ajukan lamaran?!”

“Jangan berkata begitu, Sahabatku... Aku takut!” jawab orang yang duduk rangkapkan kaki.

“Hem... Dugaanku tidak jauh meleset. Jadi dia adalah Paduka Seribu Masalah!” gumam murid Pendeta Sinting mendengar percakapan orang.

“Kau perlu tahu satu hal, Sahabatku...” Orang yang bercelana pendek warna putih kusam dan berompi tanpa lengan serta mengisap pipa dan bukan lain memang Dewa Asap Kayangan, buka suara. “Kau boleh saja takut pada semua hal! Tapi kuharap kau tidak merasa takut dengan urusan lamaran ini! Jika itu terjadi, kau tentu tahu apa yang bakal terjadi!”

“Dan kau tak usah khawatir... Gadis itu ditanggung meyakinkan! Masih muda, cantik, dan selebihnya memang tengah menunggu untuk dilamar! Kau tunggu apa lagi?!” Dewa Cadas Pangeran menimpali.

“Ah... Kalian makin membuatku takut saja...”

“Sahabatku... Kalau kau terus-terusan takut, bagaimana jadinya?! Kau tidak takut nantinya bakal terjadi malapetaka jika lamaran ini gagal?!” tanya Dewa Cadas Pangeran.

“Sahabatku berdua... Harap kalian tidak takut kalau kukatakan jika sebenarnya bukan aku yang punya maksud hendak melamar! Tapi seorang sahabat. Namun harap jangan bertanya siapa. Aku takut menjawabnya...!”

Dada murid Pendeta Sinting berdebar tidak enak. Dia maklum kalau perbincangan orang ditujukan kearahnya. Hal ini membuatnya sadar kalau keberadaannya diketahui orang. Maka dia memutuskan untuk keluar dari tempat mendekamnya dan berkelebat ke arah tiga orang yang tengah berbincang.

“Dewa Asap Kayangan... Dewa Cadas Pangeran... Selamat jumpa lagi!” Joko tegak delapan langkah di hadapan ketiga orang sambil memandang silih berganti. Lalu hentikan pandangannya pada orang yang duduk rangkapkan kaki. Namun belum sempat dia buka mulut, orang yang duduk rangkapkan kaki dan tadi dipanggil Paduka Seribu Masalah sudah mendahului.

“Sahabat Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan... Dialah sahabat yang kukatakan... Dialah yang punya maksud untuk melamar... Harap kalian berdua tidak merasa takut untuk menyelesaikan urusan ini dengannya!”

Dewa Asap Kayangan berpaling. Batu putih di depan wajah Dewa Cadas Pangeran bergerak, tanda orang ini gerakkan kepalanya. Sementara Paduka Seribu Masalah buka sedikit rangkapan kedua kakinya.

“Dewa Cadas Pangeran..,” kata Joko. “Sebenarnya kedatanganku bukan untuk melamar... Tapi...” Joko tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya putar kepala memandang berkeliling.

“Teruskan ucapanmu, Anak Muda!” Berkata Dewa Cadas Pangeran.

“Aku ingin bertanya...” Joko sambungi kata-kata yang tadi sempat terputus. Lalu selinapkan tangan ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik keluar terlihat sebuah gulungan kain putih kusam yang bersambung.

“Ini adalah isi dari kantong putih dan gelang baja yang jadi sengketa di Bukit Toyongga pada beberapa hari yang lalu... Aku tidak tahu dari mana harus memulai mengadakan perjalanan seperti yang tertera dalam kain ini! Aku ingin minta petunjuk!”

Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting melangkah ke arah Dewa Cadas Pangeran. Tapi orang yang didekati segera perdengarkan suara. “Perlihatkan saja pada sahabatku Dewa Asap Kayangan! Urusan kita lain lagi, Anak Muda...”

Joko hentikan langkah. Berpaling sesaat pada Dewa Asap Kayangan. Dia bimbang beberapa lama. Namun karena Dewa Asap Kayangan tidak buka mulut atau memberi isyarat apa-apa, Joko belokkan langkah menuju Dewa Asap Kayangan.

“Kek... Harap beri petunjuk dari mana aku harus memulai!” kata Joko seraya pentangkan kain yang tidak lain adalah kain peta dari Perguruan Shaolin.

Dewa Asap Kayangan maju dua tindak menjajari murid Pendeta Sinting. Lalu buka matanya lebar-lebar memperhatikan peta di kain yang bersambung. Saat lain tangannya menunjuk pada gambar peta dan berucap. “Ini adalah hutan bambu. Kau tentu sudah tahu tempatnya! Dari sinilah kau harus memulai perjalanan! Hanya itu petunjuk yang bisa kuberikan. Selanjutnya kau tentu tahu....”

Joko simak gambar yang ditunjuk Dewa Asap Kayangan seraya anggukkan kepala. Lalu berkata. “Terima kasih, Kek....”

Dewa Asap Kayangan mundur lagi mendekati Paduka Seribu Masalah. Joko memperhatikan sekali lagi. Lalu lipat kain putih dan dimasukkan ke balik pakaiannya.

“Urusanmu dengan Dewa Asap Kayangan selesai. Sekarang kita tuntaskan urusan kita!” Yang berucap Dewa Cadas Pangeran.

Murid Pendeta Sinting melirik sesaat pada Dewa Asap Kayangan dan Paduka Seribu Masalah dengan wajah berubah. Dadanya berdebar. “Sebenarnya aku ingin menyelesaikan urusan ini dengan Dewi Bunga Asmara sendiri! Tapi nyatanya dia tidak muncul di tempat ini....”

“Anak muda... Kau yang memulai, atau aku yang bicara dahulu?!” Dewa Cadas Pangeran buka suara setelah ditunggu agak lama murid Pendeta Sinting belum juga buka mulut.

“Kek... Boleh aku tahu di mana Dewi Bunga Asmara?!”

“Nanti kau akan bertemu dengannya setelah pembicaraan kita selesai!”

“Kek... Sebenarnya hal ini harus kukatakan sendiri pada Dewi Bunga Asmara...”

Batu putih di depan wajah Dewa Cadas Pangeran bergerak pulang balik ke samping kiri kanan tanda kepala orang bergerak menggeleng. “Kita bicarakan dahulu! Selanjutnya kita tentukan nanti...!”

Pendekar 131 tercenung beberapa saat. Dia tampak bingung sekaligus bimbang. Dia ragu-ragu untuk mulai bicara karena dia pikir urusannya tidak layak diketahui orang lain.

Seperti diketahui, Pendekar 131 sempat bertemu dengan Dewi Bunga Asmara murid tunggal seorang nenek bergelar Ratu Selendang Asmara saat terjadi peristiwa gegernya peta wasiat. Karena inginkan petunjuk dari Dewi Bunga Asmara, Joko sempat mengucapkan janji untuk menghadap Ratu Selendang Asmara bersama Dewi Bunga Asmara. Sikap dan ucapan murid Pendeta Sinting ternyata diartikan lain oleh Dewi Bunga Asmara.

Gadis ini jatuh hati dan menduga sikap dan ucapan Joko sebagai tanda kalau murid Pendeta Sinting juga jatuh hati dan hendak memintanya pada Ratu Selendang Asmara. Tapi sebelum Joko sempat berbicara dengan Ratu Selendang Asmara, si nenek keburu tewas di puncak Bukit Toyongga. Dan sebelum Joko sempat pula mengatakan yang sebenarnya pada Dewi Bunga Asmara, mendadak gadis cantik murid Ratu Selendang Asmara itu dibawa pergi oleh Dewa Cadas Pangeran.

Dan saat itu juga Dewa Cadas Pangeran berpesan agar Pendekar 131 kelak mencarinya untuk selesaikan urusan. Karena dipesan oleh orang yang telah menolongnya dan juga karena dia perlu bertanya tentang gambar peta, akhirnya Joko memenuhi permintaan Dewa Cadas Pangeran. Tapi sebenarnya dia ingin bicara langsung dengan Dewi Bunga Asmara dalam urusan salah duga si gadis.

“Anak muda... Kau tidak mau segera bicara. Terpaksa aku yang harus mulai...,” berkata Dewa Cadas Pangeran. “Kau harus kawin dengan Dewi Bunga Asmara!”

Pendekar 131 tersentak kaget mendengar kata-kata Dewa Cadas Pangeran. Tegaknya bergetar dan sepasang matanya mendelik memandang seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Kek....” Akhirnya Joko dapat pula perdengarkan suara setelah terdiam lama. Namun sebelum dia lanjutkan ucapan, Dewa Cadas Pangeran telah berkata.

“Kau harus tahu, Pendekar 131! Tanpa perkawinan antara kau dan Dewi Bunga Asmara, maka akan terjadi satu kegegeran besar yang tak kalah dahsyatnya dengan peristiwa peta wasiat!”

Joko gelengkan kepala. “Kek... Aku... Aku tidak mungkin bisa melakukannya! Dan kurasa mustahil akan terjadi sesuatu yang luar biasa kalau aku tidak kawin dengan Dewi Bunga Asmara....”

“Anak muda... Kau boleh percaya atau tidak! Yang mungkin terjadi, akan ada peristiwa besar bila kau tidak mau kawin dengan Dewi Bunga Asmara. Lain daripada itu, perkawinanmu ini nanti mungkin bisa meredakan timbulnya masalah pada beberapa orang juga pada dirimu sendiri!”

“Kek... Aku akan lakukan apa saja untuk meredakan timbulnya masalah pada beberapa orang! Tapi kalau dengan jalan harus kawin, rasanya aku belum siap melakukannya....”

“Anak muda sahabatku...” Yang buka mulut adalah Dewa Asap Kayangan. “Kau perlu tahu satu hal. Perkawinan ini harus kau laksanakan! Kalau tidak, mungkin kau masih harus menunggu lama lagi untuk bisa kembali ke negeri asalmu...!”

“Aku pilih terus berada di sini daripada harus kawin...!” Joko berkata sendiri dalam hati. “Dewi Bunga Asmara memang seorang gadis cantik. Tapi rasanya aku masih harus belajar untuk mencintainya! Sementara hal itu mungkin tak mudah... Lagi pula aku tidak bisa mengenyampingkan Guru... Setidaknya Pendeta Sinting harus tahu siapa dan bagaimana Dewi Bunga Asmara!”

“Bagaimana, Anak Muda...?!” tanya Dewa Cadas Pangeran.

“Kek... Kau bisa memberi keterangan bagaimana peristiwa besar akan terjadi kalau aku tidak kawin dengan Dewi Bunga Asmara?!”

“Kau takut aku menjerumuskan dirimu?!” ujar Dewa Cadas Pangeran lalu tertawa bergelak. “Semua ini demi keselamatan dan ketenanganmu, Anak Muda...!”

“Kek... Seandainya ada jalan lain...!”

“Anak muda... Sekarang tak usah basa-basi. Kau harus jawab dengan tegas! Kau bersedia kawin dengan Dewi Bunga Asmara atau tidak?!” kata Dewa Cadas Pangeran.

***
SEPULUH
"KEK... Rasanya aku tidak bisa Jawab sekarang. Aku minta waktu...” Akhirnya Joko berkata setelah lama terdiam. “Aku masih harus lakukan perjalanan untuk selesaikan urusan yang belum tuntas.”

“Anak muda... Aku perlu bertanya satu hal. Kau siap menghadapi apa yang akan terjadi jika kau benar- benar menunda perkawinan ini?!” Yang bertanya adalah Dewa Asap Kayangan.

“Aku sampai ke negeri ini sudah melewati beberapa urusan. Kalaupun urusan ini belum juga tuntas, apa boleh buat!”

“Pendekar 131. Kalau begitu jawabmu, aku tidak bisa memaksa. Hanya saja untuk sementara ini kuharap kau tidak kecewa kalau tidak akan bertemu dahulu dengan Dewi Bunga Asmara!” kata Dewa Cadas Pangeran.

Murid Pendeta Sinting menghela napas panjang. Sebenarnya dia ingin buka mulut menerangkan mengapa dia tidak ingin segera kawin. Namun karena tidak mau memperpanjang pembicaraan, dan sebenarnya dia ingin nantinya bisa bicara sendiri dengan Dewi Bunga Asmara, Joko akhirnya berkata.

“Dewa Cadas Pangeran, Dewa Asap Kayangan... Kurasa aku harus segera pergi. Terima kasih atas petunjuk kalian berdua...” Joko arahkan pandang matanya pada Paduka Seribu Masalah. Tapi sebelum dia sambung ucapannya, Paduka Seribu Masalah mendahului.

“Kau masih tidak takut terus bersamaku, bukan?!”

“Aku masih memerlukan beberapa keterangan darinya! Lagi pula aku punya perjanjian dengan Datuk Kala Sutera. Dia harus terus bersamaku!” Joko membatin. Lalu berkata. “Paduka... Kita sudah terikat dengan kesepakatan! Kau tidak takut kita pergi sekarang?!”

“Sahabatku Dewa Cadas Pangeran, Dewa Asap Kayangan... Sebenarnya aku tidak takut terus berada di sini bersama kalian. Tapi seperti kalian dengar tadi, aku punya kesepakatan dengan sahabat muda itu. Terpaksa aku harus beranikan diri untuk tinggalkan tempat ini...,” ujar Paduka Seribu Masalah.

“Paduka Seribu Masalah!” kata Dewa Cadas Pangeran. “Aku titip sahabat muda itu. Aku masih menginginkannya sebagai pendamping muridku kelak...”

“Jangan berkata begitu. Aku takut memberi jaminan! Tapi aku akan berusaha untuk memenuhi keinginanmu....”

Habis berkata begitu, Paduka Seribu Masalah putar pantat. Saat lain orang yang selalu sembunyikan raut wajah di belakang rangkapan kedua kakinya ini membuat gerakan. Sosoknya berkelebat dengan posisi tetap duduk rangkapkan kedua kaki.

Pendekar 131 menjura sekali lagi pada Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan. Lalu putar pandangan untuk meyakinkan kalau Dewi Bunga Asmara betul-betul tidak berada di tempat itu mencuri dengar pembicaraan. Saat lain dia berkelebat menyusul Paduka Seribu Masalah. Setelah melewati tiga aliran sungai, Joko sengaja menjajari Paduka Seribu Masalah. Lalu berbisik seraya terus berlari.

“Paduka.... Kau tidak takut menjawab beberapa pertanyaanku?!”

“Aku harus tahu dulu pertanyaan macam apa yang akan kau ajukan! Dan harap kau ingat, kalau pertanyaanmu ada hubungannya dengan urusan perkawinanmu, terus terang saja.... Aku takut untuk menjawabnya!”

Joko memperlambat larinya. Lalu buka mulut lagi. “Paduka... Harap kau tidak takut mendengarnya kalau kukatakan jika seorang gadis berwajah cantik saat ini tengah mencarimu!”

Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Paduka Seribu Masalah hentikan kelebatannya, lalu duduk rangkapkan kaki di sebelah satu batangan pohon. “Sahabat muda... Aku tidak takut mengatakannya padamu. Walau aku tidak pernah tunjukkan tampang pada orang, namun banyak gadis-gadis yang mencariku! Coba katakan siapa gadis yang kau ceritakan!”

“Kita pernah bertemu dengannya ketika melewati sungai yang pertama di sebelah hutan bambu itu!”

“Hem.... Yang kau maksud gadis cantik bernama
Dayang Tiga Purnama itu?!”

Meski Joko tahu orang tidak melihat ke arahnya, tapi Joko menjawab dengan orang dengan isyarat anggukkan kepalanya.

“Sahabat muda.... Rasanya percuma kau meneruskan bicara jika masih ada kaitannya dengan gadis bernama Dayang Tiga Purnama itu!”

Joko hentikan larinya lalu putar diri dan melangkah ke arah Paduka Seribu Masalah dengan kening berkerut. Belum sampai dia bertanya, Paduka Seribu Masalah sudah sambung! ucapannya.

“Perihal gadis itu masih ada kaitannya dengan urusan perkawinanmu. Jadi seperti kataku tadi, kalau pertanyaanmu ada hubungannya dengan perkawinanmu, aku takut menjawabnya!”

“Paduka! Bagaimana kau tahu urusan gadis itu masih ada hubungannya dengan perkawinan itu?!” tanya Joko dengan mata mendelik tak percaya.

“Sudah kukatakan, aku takut menjawabnya! Itu masih ada kaitannya dengan perkawinanmu! Lebih baik kau tanya saja persoalan yang lain... Mungkin sedikit banyak aku tahu dan tidak takut untuk menjawabnya!”

“Aneh.... Bagaimana bisa begini?! Apa kaitannya Dewi Bunga Asmara dengan Dayang Tiga Purnama?!” Joko membatin. Lalu angkat suara. “Paduka... Sekarang bagaimana urusan dengan Datuk Kala Sutera?! Kau tahu di mana kelima anaknya?!”

“Sahabat muda... Tampaknya hari ini kau harus mengalami nasib kurang baik...”

“Maksudmu...?!” tanya Joko dengan dada berdebar tidak enak.

“Pertanyaan yang diajukan Datuk Kala Sutera masih ada kaitannya dengan perkawinanmu! Jadi aku juga tidak berani menjawabnya!”

Kedua gendang telinga murid Pendeta Sinting seperti disambar geledek. Laksana terbang dia melompat dan tegak dua langkah di hadapan Paduka Seribu Masalah. “Paduka! Harap kau tidak bermain-main! Aku bersungguh-sungguh!”

“Sahabat muda.... Menjawab saja aku takut, bagaimana mungkin aku berani main-main...?!”

“Celaka! Celaka! Bagaimana semua bisa amburadul begini rupa?! Aku tak percaya! Aku tak percaya!” gumam Joko sambil geleng-geleng kepala.

“Kau tak percaya itu adalah hakmu, Sahabat Muda....”

“Paduka! Lalu bagaimana aku kelak harus menjawab pertanyaan Datuk Kala Sutera?”

“Sahabat muda... Tidak ada jawaban yang lebih tepat dibanding sebuah bukti!”

“Aku tak mengerti ucapanmu!”

“Untuk sementara ini sebaiknya kau harus menghindari Datuk Kala Sutera!”

“Tapi....”

“Kau nanti bisa menjawab pertanyaan Datuk Kala
Sutera dengan sebuah bukti! Bukan dengan ucapan!”

“Caranya...?!”

“Waktu tidak pernah terhenti, Sahabat Muda! Jadi waktulah nanti yang akan menentukan bagaimana caranya!”

“Aku tak habis pikir. Bagaimana ini bisa berkait?!
Padahal...”

Belum sampai murid Pendeta Sinting teruskan gumaman, Paduka Seribu Masalah sudah buka suara. “Sahabat muda... Seandainya kau tadi jadi mengawini gadis yang ditawarkan sahabatku Dewa Cadas Pangeran, mungkin saja urusannya tidak akan jadi panjang lebar walau di sana-sini tentu masih ada hadangan....”

“Paduka! Bukankah kau sudah berjanji akan mengambil alih urusanku dengan Datuk Kala Sutera?!” ujar Joko ingat akan ucapan Paduka Seribu Masalah sebelum diajaknya ikut serta ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.

“Pada awalnya aku memang hendak mengambil alih. Aku menduga kau bakal menerima tawaran Dewa Cadas Pangeran. Ternyata dugaanku keliru. Kau menolak tawaran mengawini gadis yang ditawarkan. Kini aku sendiri yang jadi takut memberi penjelasan pada Datuk Kala Sutera....”

“Sontoloyo benar! Ternyata tidak ada gunanya terus bersama orang ini! Aku malah jadi bingung!” Berpikir begitu, akhirnya Joko berucap. “Paduka... Kau tidak bisa membantuku. Kurasa tidak ada gunanya kita terus bersama-sama! Biarlah semua urusan ini kuhadapi sendiri!”

Paduka Seribu Masalah perdengarkan tawa bergelak panjang. Lalu berkata. “Sahabat muda... Sahabat Dewa Cadas Pangeran telah memberi pesan padaku. Rasanya sulit untuk tidak menuruti ucapan pesannya!”

“Paduka! Aku yang meminta... Kelak kalau ada apa-apa, kau bisa menjelaskan padanya!”

“Kau yakin...?!”

“Aku tidak bisa mengatakan padamu. Karena aku sendiri tidak percaya dengan semua ini!”

“Sebenarnya aku takut melepasmu pergi seorang diri... Tapi kalau kau yang memintanya, mana berani aku menolak?!”

“Paduka... Sebelum aku pergi, kuharap kau tidak takut menjawab dua pertanyaanku. Pertama. Apakah benar semua yang diucapkan Datuk Kala Sutera?! Kedua. Kalau benar, siapa nama Istri Datuk Kala Sutera?!”

“Sahabat muda.... Sebenarnya aku takut. Tapi sebagai perpisahan, aku beranikan diri menjawab. Semua yang diucapkan Datuk Kala Sutera benar adanya!”

“Lalu nama istri Datuk itu?!” sahut Joko seakan tak sabar.

“Aku tidak berani mengatakannya! Bukan karena apa, aku takut salah sebut... Kau tentu tahu sendiri. Orang rimba persilatan sering merubah namanya. Aku takut sebutkan nama yang salah!”

“Hem.... Bagaimana kalau kau sebutkan saja bagaimana cirinya?!”

“Sahabat muda.... Bersama berlalunya waktu, setiap manusia akan mengalami perubahan! Sementara perpisahan antara Datuk Kala Sutera dan istrinya sudah berlangsung enam belas tahun yang silam! Biasanya, kurun waktu enam belas tahun sudah cukup membuat orang sangat berubah! Jadi....”

Mungkin karena agak jengkel dengan jawaban Paduka Seribu Masalah, tanpa menunggu orang selesaikan ucapan, murid Pendeta Sinting sudah balikkan tubuh dan berkelebat tanpa buka suara.

“Sahabat muda... Selamat jalan! Hanya perlu kukatakan padamu, kau pernah bertemu dengan istri Datuk Kala Sutera!” teriak Paduka Seribu Masalah.

Mendengar teriakan Paduka Seribu Masalah, sekonyong-konyong Pendekar 131 balikkan tubuh di atas udara. Namun sebelum dia buka mulut, Paduka Seribu Masalah sudah sambungi kata-katanya.

“Sahabat muda... Jangan bertanya apa-apa lagi! Aku takut menjawab!” Habis berkata begitu, Paduka Seribu Masalah putar diri setengah lingkaran. Kejap lain dia sentakkan kedua tangannya ke atas tanah. Sosoknya melesat tinggalkan samping pohon.

Murid Pendeta Sinting pandangi sosok orang dengan dada dilanda berbagai pertanyaan dan dugaan. “Aku jadi bingung dengan ucapan orang itu! Ucapannya aneh-aneh! Dia mengatakan takut sebutkan nama orang dan cirinya. Tapi dia bisa mengatakan kalau aku pernah bertemu dengan orangnya! Jangan-jangan dia hanya main-main! 

Tapi menurut Dayang Tiga Purnama, Paduka Seribu Masalah adalah seorang tokoh yang memiliki ilmu aneh. Dia tahu banyak masalah orang. Hem... Ini juga terbukti dengan munculnya Datuk Kala Sutera yang mencari Paduka Seribu Masalah untuk mencari jawaban!”

Pendekar 131 tegakkan wajah karena sosok Paduka Seribu Masalah sudah tidak kelihatan lagi. “Siapa kira-kira perempuan istri Datuk Kala Sutera itu...?! Dilihat dari segi usia Datuk Kala Sutera, pasti istrinya masih muda... Mungkinkah Bidadari Delapan Samudera?! Bukankah dia juga mengatakan tengah mencari seseorang?! 

Atau mungkinkah Bidadari Pedang Cinta?! Atau jangan-jangan Bidadari Tujuh Langit. Tapi ini tak mungkin. Bidadari Tujuh Langit adalah seorang perempuan yang punya kelainan. Mana mungkin dia punya suami?! Atau layakkah kalau istri Datuk itu adalah Putri Pusar Bumi...?! Ah... Itu tak mungkin! Datuk Kala Sutera masih tampak muda dan berwajah tampan. Sementara Putri Pusar Bumi...?!”

Mendadak Joko jadi tertawa sendiri membayangkan Datuk Kala Sutera berjalan bergandengan dengan Putri Pusar Bumi. “Tapi siapa tahu...?! Bukankah perasaan cinta tidak mengenal apa saja?! Bukankah cinta adalah tabir tebal penutup mata dan penuhi telinga?!”

Joko menghela napas panjang berulang kali. Lalu gelengkan kepala. “Datuk Kala Sutera mengatakan berpisah dengan anak-anaknya sudah hampir enam belas tahun silam.... Tapi mengapa dia masih kelihatan muda...?! Malah aku hampir tak percaya kalau dia sudah beristri pada enam belas tahun silam! 

Hem.... Bagaimana ini?! Lalu apa hubungannya dengan Dewi Bunga Asmara?! Mengapa aku harus mengawini gadis itu...?! Juga ada hubungan apa antara Dayang Tiga Purnama dengan Datuk Kala Sutera?! Mengapa pula mereka berdua dikait-kaitkan dengan urusan perkawinanku...?!”

Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh. Namun dia tidak segera teruskan berlari. Sebaliknya dia terus berpikir. “Haruskah aku menuruti saran Paduka Seribu Masalah untuk menghindari Datuk Kala Sutera?! Tapi kalau tiba-tiba bertemu bagaimana?! Apa yang harus kujawab?! Ah... Itu urusan nanti! Siapa tahu di tengah jalan aku bisa mendapatkan jalan keluar dari pemecahan urusan gila ini!”

Setelah membatin begitu, Joko melangkah perlahan-lahan. Tapi sekuat tenaga dia coba melupakan urusan yang dihadapinya, justru dia makin bingung. Hingga seraya melangkah mulutnya terus menggumam tak jelas dan sesekali kepalanya bergerak menggeleng. Bahkan tidak jarang dia perdengarkan tawa sendiri!

***
SEBELAS
SOSOK berjubah hitam panjang sebatas mata kaki itu berkelebat cepat laksana kesetanan menembusi hutan bambu. Jubah yang dikenakan tampak berkibar perdengarkan deruan angker. Hanya beberapa saat saja sosoknya telah mencapai ujung hutan di mana terdapat sebuah aliran sungai agak besar. 

Tepat di pinggiran aliran sungai sosok berjubah hitam hentikan larinya. Kepalanya berputar sekali menyiasati keadaan. Dia adalah seorang pemuda berparas tampan dan keras. Rambutnya panjang sebahu menutupi sebagian pundak dan pelipis kiri kanannya.

“Sebelum aku pergi, aku sempat melihat mereka berdua melintasi sungai dengan sebuah sampan.... Walau aku tidak bisa membedakan, tapi aku yakin salah satu dari mereka berdua adalah manusia yang bergelar Paduka Seribu Masalah! 

Salah satu dari mereka menjanjikan menjawab pertanyaanku dalam tempo tiga hari. Sekarang sudah lewat sehari. Aku tidak mau ditipu orang. Aku telah lama mencari. Aku akan menunggunya di sini!” Pemuda berjubah hitam panjang bergumam sendiri seraya lepas pandangan ke arah aliran sungai.

“Sampan yang mereka tumpangi masih berada di sana! Ini satu petunjuk kalau mereka berdua belum kembali....” Si pemuda berjubah hitam yang tak lain Datuk Kala Sutera adanya teruskan gumaman ketika sepasang matanya melihat sebuah sampan terapung di pinggiran seberang.

“Enam belas tahun telah berlalu.... Pasti mereka telah tumbuh menjadi gadis-gadis.... Sayang sekali selama ini aku masih gagal mencari tahu. Mudah-mudahan petunjuk manusia bergelar Paduka Seribu Masalah nanti bisa menghentikan masa pencarian ini!”

Baru saja Datuk Kala Sutera bergumam begitu, mendadak matanya menangkap kelebatan satu sosok tubuh di seberang sana. Sang Datuk pentangkan mata beberapa lama. Dahinya berkerut. “Apakah tanah di seberang itu berpenghuni?! Dari pakaian dan sikapnya, jelas sosok di sana itu adalah seorang perempuan! Siapa dia...?! Apakah dua orang yang sama cirinya seperti Paduka Seribu Masalah itu berada di sana juga...?”

Datuk Kala Sutera memperhatikan gerakan sosok di seberang depan. “Hem... Gelagatnya menunjukkan kalau dia tengah menunggu seseorang! Siapa yang ditunggu...? Mengapa di tempat sepi begini?! Mungkinkah dia juga tengah menunggu Paduka Seribu Masalah...?! Hem... Waktu yang dijanjikan masih satu setengah hari lagi! Tidak ada salahnya kalau aku ke sana! Siapa tahu hari ini aku mendapat rejeki besar....”

Berpikir begitu, Datuk Kala Sutera segera balikkan tubuh dan berkelebat balik menuju hutan bambu. Tidak berapa lama dia kembali dengan tangan kanan membawa sebatang bambu sepanjang satu tombak. Di pinggiran sungai, Datuk Kala Sutera kembali arahkan pandang matanya pada tanah terbuka di seberang.

“Perempuan itu tidak kelihatan. Tapi aku yakin dia masih berada di sana!”

Yakin begitu, Datuk Kala Sutera segera lemparkan batangan bambu ke aliran sungai. Saat bersamaan dia berkelebat menyusul di belakang batangan bambu yang terus meluncur dan amblas ke dalam air sungai.

"Byurr!" Aliran sungai berkecipak dan muncrat. Saat yang sama batangan bambu muncul ke permukaan. Saat itulah kedua kaki Datuk Kala Sutera menginjak batangan bambu. Sekali pemuda ini bergerak, sosoknya meluncur deras di atas permukaan aliran air sungai dengan berpijak pada batangan bambu. Empat tombak lagi mencapai pinggiran seberang, Datuk Kala Sutera hentakkan pijakannya. Batangan bambu amblas masuk ke dalam aliran sungai. Tapi saat yang sama, sosok sang Datuk melesat dan tegak di pinggiran sungai seberang.

Sepasang mata sang Datuk langsung mengedar berkeliling dengan telinga dipasang baik-baik. Namun sejauh ini dia belum bisa menduga di mana adanya orang yang tadi sempat ditangkap matanya. “Hem... Jangan-jangan dia tahu kemunculanku di tempat ini. Lalu sengaja sembunyikan diri...” Datuk Kala Sutera tersenyum. Saat lain dia berkelebat dari satu batu ke bongkahan batu lainnya dengan mata liar.

Tapi Datuk Kala Sutera jadi heran sendiri. Walau dia telah menyelidik ke setiap sudut bongkahan batu, dia tidak juga menemukan siapa-siapa! Hingga akhirnya sang Datuk hentikan pencarian dan tegak berdiri di atas salah satu bongkahan batu seraya bergumam.

“Mungkinkah mataku tertipu...?! Tapi jelas mataku tadi melihat sosok perempuan itu mondar-mandir di tempat ini seperti orang tengah menunggui Anehnya, aku telah berkeliling. Tapi manusia itu tidak kutemukan! Mungkinkah dia telah menyeberang ke sungai sebelah sana itu...?!” Datuk Kala Sutera arahkan pandang matanya ke aliran sungai kecil yang berada di seberang lainnya.

Baru saja mata sang Datuk lepas ke arah aliran sungai yang berada di seberang depan sana, mendadak ekor matanya menangkap kelebatan satu sosok tubuh. Saat lain pemuda ini merasakan desiran angin dari arah samping. 

Datuk Kala Sutera cepat berpaling. Memandang ke depan, sepasang matanya sedikit membelalak. Di samping satu bongkahan batu sejarak sepuluh langkah di hadapannya, tegak seorang gadis berparas cantik mengenakan pakaian warna ungu. Rambutnya yang lebat dikelabang dua. Sepasang matanya bulat dan tajam.

“Harap sebutkan diri dan maksud!” Si gadis langsung buka suara dengan nada agak tinggi dan bola matanya meneliti sekujur tubuh sang Datuk dari ujung rambut sampai ujung kaki. Namun cuma sesaat, saat lain dia tegakkan wajahnya sedikit.

Datuk Kala Sutera tidak langsung buka mulut menjawab. Sebaliknya menatap balik ke arah si gadis dengan mata liar. Dalam hati dia berkata. “Gadis cantik... Mengapa berada di tempat begini?! Aku yakin, gadis inilah yang bayangan sosoknya sempat kutangkap dari seberang hutan bambu tadi...”

“Aku tidak memaksa! Kalau kau tidak mau sebutkan diri dan katakan maksud, harap segera angkat kaki dari tempat ini!” Si gadis kembali buka mulut ketika tidak juga dia mendapat jawaban dari sang Datuk.

Datuk Kala Sutera rangkapkan kedua tangan di depan dada. Seraya terus menatapi sosok si gadis yang bukan lain adalah Dayang Tiga Purnama, sang Datuk berkata. “Aku Datuk Kala Sutera... Kau sendiri siapa?”

“Kau belum jawab pertanyaan keduaku!” Dayang Tiga Purnama menyahut dengan melirik pada sang Datuk.

“Aku tengah menunggu seseorang! Kau sendiri...?!”

“Siapa yang kau tunggu?!” Dayang Tiga Purnama kembali ajukan tanya tanpa menjawab pertanyaan Datuk Kala Sutera.

Datuk Kala Sutera geleng kepala. “Aku tidak bisa mengatakannya padamu siapa orang yang tengah kutunggu!”

“Tempat ini yang kau tuju?!” kembali Dayang Tiga Purnama ajukan tanya.

Datuk Kala Sutera kembali gelengkan kepala. “Memang bukan tempat ini yang ditentukan untuk menunggu. Tapi setidaknya tempat ini yang akan dilewati orang yang tengah kutunggu!”

Dada Dayang Tiga Purnama berdebar. “Selama aku di sini, hanya dua orang yang sempat lewat. Mereka adalah pemuda bernama Joko Sableng dan sahabatnya yang bersikap aneh... Mungkinkah mereka berdua yang tengah ditunggu pemuda ini?!” Selagi Dayang Tiga Purnama membatin begitu, mendadak satu bayangan putih berkelebat.

Datuk Kala Sutera dan Dayang Tiga Purnama segera berpaling. “Paduka Seribu Masalah!” Saking tidak menduga, Datuk Kala Sutera berseru melihat siapa sosok yang baru muncul dan kini tegak dua puluh lima langkah di seberang depan sana. Paras wajah sang Datuk jelas membayangkan rasa heran dan terkejut.

Tapi yang paling terkejut dan heran adalah Dayang Tiga Purnama. Dia pulang balikkan wajah memandang silih berganti ke arah Datuk Kala Sutera dan sosok berpakaian putih yang baru muncul di seberang sana. “Bagaimana ini?! Apa telingaku tidak salah dengar?! Bagaimana pemuda berjubah hitam ini menyebut pemuda itu Paduka Seribu Masalah?! Ataukah pemuda berjubah hitam ini salah lihat?!”

Sementara di seberang, sosok berpakaian putih yang baru muncul tampak gelagapan. Malah dia sempat hendak putar diri membelakangi orang...!

S E L E S A I
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar