Serial Joko Sableng eps 16 : Bidadari Cadar Putih

SATU
DARI tempatnya tegak, Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat serta Ni Luh Padmi sama-sama melihat satu sosok tubuh yang bukan saja membuat Ratu Pemikat surutkan langkah satu tindak, namun membuat perempuan bertubuh sintal ini tekap mulutnya agar seruan kagetnya tidak terdengar. Walau Ratu Pemikat adalah orang yang paling tampak terkejut, tapi Ni Luh Padmi tak kalah kagetnya. Nenek ini pentangkan mata dengan mulut terkancing. Lalu memandang silih berganti pada Lumba-lumba dan orang yang baru muncul dengan dada dibuncah berbagai duga dan tanya.

"Apa hubungan pemuda bernama Lumba-lumba dengan orang itu? Apakah orang itu selalu mengikuti langkahku sejak pertemuan beberapa hari yang lalu? Atau adakah kehadirannya di sini hanya satu kebetulan?! Tapi... Bukankah ucapan-ucapan kedua orang itu hampir mirip? Mereka berdua seakan tahu siapa adanya orang meski baru bertemu sekali! Malah ucapan orang itu menjadi kenyataan. Jangan-jangan mereka berdua memang dua sahabat." 

Yang bersikap tenang-tenang saja adalah Iblis Rangkap Jiwa meski sepasang matanya mendelik angker dengan tubuh sedikit bergetar menindih hawa amarah menghadapi pukulannya dengan mudah dipangkas orang. Namun tiba-tiba paras wajah Iblis Rangkap Jiwa berubah setelah sesaat melihat seksama siapa adanya orang yang baru saja membuat pukulannya tersapu amblas. Tulang dahi laki-laki berkepala gundul Ini bergerak-gerak. 

"Melihat ciri-cirinya, jangan-jangan orang ini adalah Hem... Tapi ciri orang belum menjamin dialah orangnya! Lagi pula baru kali ini aku jumpa. Siapa tahu apa yang selama ini kudengar lain dengan kenyataan!" 

Berpikir begitu, Iblis Rangkap Jiwa cepat buka mulut perdengarkan bentakan. "Orang tak dikenal! Cepat sebutkan diri!" 

Mendengar bentakan Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat. dan Ni Luh Padmi serentak sama berpaling padanya. Kedua orang perempuan ini sama merasa sedikit heran. 

"Apakah dia tidak mengenalnya? Padahal orang itu rasanya sudah tidak asing lagi bagi kalangan rimba persilatan! Ratu Pemikat membatin. 

Di lain pihak Ni Luh Padmi diam-diam juga berkata sendiri dalam hati. "Kudengar Iblis Rangkap Jiwa berusia hampir dua ratus lebih. Tapi mengapa tidak mengenal orang itu?!" 

Di seberang sana, orang yang baru muncul hentikan suara tawanya. Namun dia tak segera menjawab bentakan Iblis Rangkap Jiwa. Malah seolah tak mendengarkan bentakan orang, orang ini yang ternyata seorang kakek bertubuh besar mengenakan pakaian gombrong warna hijau dengan rambut disanggul dan sepasang matanya berwarna putih yang tidak lain adalah Gendeng Panuntun adanya hadapkan wajah kearah Lumba-lumba. Tangan kanannya sejurus mengusap cermin bulat yang ada didepan perutnya. 

"Sahabat muda! Apa yang tengah kau lakukan di sini?! Mataku memang putih, tapi itu tidak mengherankan. Yang aneh kudengar kau menangis lalu tertawa! Apa yang baru kau tangisi, apa pula yang membuatmu tertawa?!" Bertanya Gendeng Panuntun lalu tengadah seolah menunggu jawaban orang. 

Lumba-lumba putuskan tawanya. Tapi pemuda berperangai perempuan ini tidak segera buka mulut menjawab pertanyaan Gendeng Panuntun. Sebaliknya buka kesepuluh jari tangannya yang diletakkan di depan wajah. Kejap lain bukannya dia mengintip wajah Gendeng Panuntun, melainkan mengintip paras wajah Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi. Lalu kedua tangannya dirapatkan dan digerakkan pulang balik mengusap sepasang matanya yang tidak mengeluarkan air mata! 

"Kita lanjutkan saja perjalanan kita...!" mendadak Ratu Pemikat ajukan usul dengan suara pelan. 

Iblis Rangkap Jiwa tidak menyahut. Malah berpaling pun tidak. Laki-laki berkepala gundul ini tegak dengan mata tak berkesip pandangi Gendeng Panuntun dan Lumba-lumba. Seperti diketahui, ketika Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat, dan Ni Luh Padmi turun dari puncak bukit hendak lakukan rencana yang mereka susun, mendadak di bawah bukit ketiganya berjumpa dengan seorang pemuda berperangai perempuan dan sebutkan diri dengan nama Lumba-lumba. 

Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat, serta Ni Luh Padmi sempat terkesima mendapati Lumba-lumba dapat mengetahui satu persatu siapa diri mereka adanya dengan tepat dan benar. Sejak awal, Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat sudah menaruh curiga pada Lumba-lumba. Tapi tidak demikian halnya dengan Ni Luh Padmi. Nenek ini semula tidak menaruh curiga apa-apa pada Lumba-lumba. Kalaupun pada akhirnya dia merasa curiga justru setelah mendengar perbincangan Lumba-lumba. Meski begitu rasa curiga si nenek tidak sedalam rasa curiga Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat. 

Pada akhirnya, Iblis Rangkap Jiwa yang tidak sabar melihat sikap lumba-lumba segera lancarkan serangan. Sementara Ni Luh Padmi segera pula sentakkan tangan kanan untuk memangkas pukulan Iblis Rangkap Jiwa yang mengarah pada Lumba-lumba, karena Ni Luh Padmi merasa tidak ada gunanya meladeni dan membuat urusan dengan pemuda berperangai perempuan itu. 

Saat itulah mendadak muncul Gendeng Panuntun yang langsung dapat mementalkan sekaligus membuyarkan pukulan Iblis Rangkap Jiwa yang mengarah pada Lumba-lumba serta pukulan tangan kanan Ni Luh Padmi yang hendak memangkas pukulan Iblis Rangkap Jiwa. Ni Luh Padmi segera arahkan pandangannya pada Ratu Pemikat begitu mendengar usul perempuan bertubuh bahenol ini.

"Heran... Bukankah dia tadi yang bersikeras hendak membunuh pemuda bernama Lumba-lumba itu?! Tapi mengapa dengan kemunculan manusia buta itu niatnya mendadak berubah?! Ada yang tidak beres! Wajah perempuan itu juga tampak berubah membayangkan rasa takut, ada apa ini?! Apakah antara dia dengan manusia buta itu ada ganjalan?!"

Sementara di seberang depan sana, begitu Gendeng Panuntun tidak mendengar adanya sahutan jawaban dari Lumba-lumba, kakek bermata buta ini perdengarkan tawa perlahan sebelum akhirnya berujar. 

"Sahabat muda! Apa kubilang. Inilah akibat kalau kau tidak turuti ucapan orang tua! Bukankah sudah kukatakan, jangan lancang berjalan sendiri! Akhirnya bukan saja kau tersesat jalan, malah menangis tertawa di hadapan orang!" 

Lumba-lumba sejenak hentikan usapan-usapan kedua tangannya pada sepasang matanya. Kepalanya bergerak menoleh ke arah Gendeng Panuntun. Sejurus sepasang mata Lumba-lumba membulat besar. Tapi cuma sekejap. Saat lain kepalanya kembali memandang ke depan. Bersamaan itu kedua tangannya kembali mengusap-usap sepasang matanya pulang balik. Saat itu juga kembali terdengar tangisnya. Namun tak lama kemudian terdengar ucapannya di sela suara tangisnya. 

"Maaf, Sahabat Tua! Aku tidak menyangka kalau akan begini ceritanya! Padahal aku tidak berbuat hal yang memalukan! Aku hanya berniat jalan-jalan. Tak ada maksud lain! Herannya orang-orang di sana itu tiba-tiba hendak membunuhku! Apa salahku...?! Apa dosaku...?!" 

"Sahabat muda. Ini bukan tempat dan waktu yang layak untuk membicarakan urusan salah dan dosa! Karena aku merasa orang yang ada di depan sana itu tidak kenal yang namanya salah dan dosa. Padahal seharusnya mereka maklum, putusnya nyawamu bukan jalan yang bisa menyelesaikan urusan yang sedang mereka hadapi..." 

Mendengar ucapan Gendeng Panuntun dan Lumba-lumba, Iblis Rangkap Jiwa segera berpaling pada Ratu Pemikat yang baru saja memberi usul dan belum sempat dijawabnya.
Sesaat Iblis Rangkap Jiwa pandangi raut wajah Ratu Pemikat. 

"Wajahnya berubah. Sikapnya lain. Hem..." batin Iblis Rangkap Jiwa lalu bertanya. "Kau mengenal manusia buta itu?" 

"Dialah Gendeng Panuntun! Kita harus cepat lanjutkan perjalanan! Jangan ladeni orang itu! Jika tidak, rencana yang sudah kita atur akan berantakan!" 

Iblis Rangkap Jiwa arahkan pandangannya pada Gendeng Panuntun. "Dugaanku tidak meleset" katanya dalam hati. Tapi mungkin karena selama ini hanya mendengar nama Gendeng Panuntun tanpa sekali pun pernah bertemu muka, maka laki-laki berkepala gundul ini Memperdengarkan tawa perlahan seraya berkata. 

"Apa yang bisa diperbuat manusia buta itu pada kita!?” 

"Kita tak perlu berdebat di sini! Nanti akan kuceritakan!" sahut Ratu Pemikat hendak berkelebat. 

Sepertinya kau sangat ketakutan sekali dengan manusia buta itu! Aku jadi penasaran!" desis Iblis Rangkap Jiwa. 

Ucapan Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan Ratu Pemikat tertahan. Perempuan ini urungkan niat dan berkata. "Dengar! Aku tahu benar siapa adanya Gendeng Panuntun! Walau kau memiliki kepandaian tinggi, aku masih ragu apakah kau mampu menghadapinya!"

Meski dadanya panas mendengar ucapan Ratu Pemikat, namun saat itu juga Iblis Rangkap Jiwa tersenyum dan berkata. "Ucapanmu membuatku ingin membuktikan kebenarannya!"

Iblis Rangkap Jiwa serta-merta gerakkan kedua tangannya terangkat ke atas. Karena maklum dari tindakan Gendeng Panuntun yang sanggup memangkas pukulannya dan pukulan Ni Luh Padmi, Iblis Rangkap Jiwa langsung kerahkan setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya. Namun sebelum kedua tangannya benar-benar lancarkan pukulan, Ratu Pemikat telah melompat dan tegak di hadapan Iblis Rangkap Jiwa sambil melotot tajam dan berucap. 

"Kalau kau benar-benar ingin buktikan ucapanku, silakan! Tapi aku tidak akan ikut campur tangan! Aku akan teruskan langkah sesuai rencana kita!" 

Tidak menunggu sambutan dari Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat menoleh pada Ni Luh Padmi yang sedari tadi diam dan hanya simak percakapan Iblis Rangkap Jiwa dengan Ratu Pemikat. 

"Kau bagaimana, Nek?! Ikut nasihatku atau hendak ikut-ikutan campur tangan urusan tak berguna ini?!" 

Ni Luh Padmi tidak segera menjawab pertanyaan orang. Nenek ini sebenarnya masih dilanda kebimbangan. Di satu sisi dia ingin menuruti usul Ratu Pemikat, namun di sisi lain dia ingin tahu lebih banyak soal Gendeng Panuntun. Karena si nenek telah buktikan kebenaran ucapan Gendeng Panuntun pada pertemuannya beberapa hari berselang. Dia juga ingin tahu lebih dalam soal Kitab Hitam. 

Kemunculan Gendeng Panuntun di sekitar Bukit Selamangleng bukan tidak mungkin masih ada hubungannya dengan kitab itu. Meski dari mulut Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat, si nenek telah tahu jika Kitab Hitam telah dimiliki Malaikat Penggali Kubur. Begitu ditunggu agak lama, Ni Luh Padmi belum juga memberi jawaban, Ratu Pemikat berujar. 

"Baik! Aku telah beri peringatan! Kalian jangan menyesal kalau terjadi apa-apa!" Habis berkata begitu, Ratu Pemikat berkelebat. 

"Tunggu!" tahan Ni Luh Padmi. "Aku tidak bermaksud ikut campur tangan urusan ini! Malah dengan pemuda perempuan itu sejak tadi aku enggan melibatkan diri! Tapi..." 

"Pengecut busuk!" Iblis Rangkap Jiwa membentak memotong ucapan Ni Luh Padmi dengan sentakkan kepalanya menghadap si nenek. Sepasang matanya membeliak besar-besar seolah hendak loncat keluar dari rongganya. 

"Kau bicara enggan terlibat! Nyatanya kau telah memotong pukulanku! Apa sebenarnya yang ada dalam benakmu?!" 

"Aku tak ingin urusan kita tertunda hanya gara-gara pemuda perempuan itu! Siapa tahu dia salah seorang utusan yang tengah menyelidik?! Kalau kita terlibat, apalagi sampai membunuhnya, langkah kita selanjutnya tidak akan mulus!" 

Iblis Rangkap Jiwa menyeringai dingin. "Alasanmu tidak masuk akal! Kau lihat sendiri. Mungkinkah pemuda macam dia seorang utusan?! Apalagi tugas yang diembannya pasti berhubungan dengan dunia persilatan! Seharusnya dia membekal ilmu! Tapi kau tahu sendiri, pemuda perempuan itu bukannya membekal ilmu, melainkan membekal mata untuk menangis!" 

"Kau jangan memandang orang dari apa yang terlihat di depan mata!" ucap Ni Luh Padmi membela diri. Nenek ini masih berpegang teguh pada dugaannya jika Lumba-lumba menyimpan ilmu walau saat Iblis Rangkap Jiwa lancarkan pukulan dia tidak membuat gerakan menangkis atau berkelebat selamatkan diri. 

"Hem... Jadi kau mengira pemuda itu membekal ilmu? Ilmu apa...?!" Iblis Rangkap Jiwa tertawa bergelak. Namun tiba-tiba dia renggut lenyap suara tawanya. Saat lain dia telah membentak. "Katakan dengan jujur. Siapa kau sebenarnya?!" 

Ni Luh Padmi terkesiap dengan pertanyaan Iblis Rangkap Jiwa. "Apa maksud ucapanmu?"

"Kau seolah mengenal pemuda perempuan itu! Kau juga memotong pukulan yang kulancarkan padanya! Jangan-jangan kau sendiri utusan yang sedang menyelidik itu...! Dan dia adalah gendakmu yang menyusul!" 

Tampang Ni Luh Padmi seketika berubah merah padam. Rahangnya terangkat dengan mata membelalak. Malah sempat menyeruak seruan tertahan dari mulutnya saking terkejutnya mendengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa. 

"Kau jangan menuduh tidak karuan!" bentak Ni Luh Padmi tak kalah kerasnya. Mungkin agar tidak dikira ciut nyalinya, si nenek angkat juga kedua tangannya. Malah nenek bertampang angker ini maju satu tindak. 

Iblis Rangkap Jiwa tak tinggal diam. Dia ikut bergerak maju satu tindak. Mata masing-masing orang berperang pandang. Mendapati Iblis Rangkap Jiwa dan Ni Luh Padmi hendak saling lancarkan pukulan, Ratu Pemikat yang hendak berkelebat pergi urungkan niat. 

"Bagaimanapun juga aku masih butuh tenaga mereka! Silakan mereka hendak saling bunuh asalkan urusan ini telah selesai!" Ratu Pemikat membatin, lalu berkata. 

"Kita telah bersahabat! Tidak ada gunanya saling serang! Lebih baik kita lanjutkan perjalanan kita. Kelak urusan dengan Lumba-lumba dan manusia buta itu pasti akan kita lanjutkan! Dia berdua tidak akan bisa lari jauh dari mata kita!" 

Seolah tak sabar, habis berkata Ratu Pemikat melompat ke arah Ni Luh Padmi seraya berbisik. "Jangan masukkan di hati apa yang baru diucapkan! Kita cepat tinggalkan tempat ini!" 

Ratu Pemikat tarik kedua tangan si nenek hingga luruh ke bawah. Meski kedua tangannya sudah luruh, namun sepasang mata si nenek ini tidak juga beranjak dari sepasang bola mata Iblis Rangkap Jiwa. Jelas kalau dadanya masih panas dan darahnya menggelegak. 

"Nek… Ada yang akan kukatakan padamu..." ujar Ratu Pemikat sambil menarik Ni Luh Padmi menjauh. 

"Aku sudah tahu apa yang akan kau katakan!" jawab si nenek. Meski tubuhnya ikut seretan tangan Ratu Pemikat, tapi kepala nenek ini tetap berpaling pada Iblis Rangkap Jiwa yang tetap tegak di tempatnya dengan mata juga sedang memandang ke arahnya. 

"Aku pernah sekali jumpa dengan manusia buta itu! Bahkan aku sempat bicara banyak dengannya!" lanjut Ni Luh Padmi. "Anehnya, semua ucapannya benar dan jadi kenyataan!"

Ratu Pemikat anggukkan kepala. "Syukur kalau kau telah tahu. Dengan begitu aku yakin kau akan ikuti saranku..." 

"Sebenarnya aku tidak akan ikut saranmu! Aku masih hendak menanyakan sesuatu padanya!" 

"Nek! Tunda dahulu rencanamu! Sekarang bukanlah saat yang baik untuk ajukan tanya! Percayalah, kelak kau akan jumpa lagi dengannya!" 

Ni Luh Padmi sentakkan kepalanya memandang pada Ratu Pemikat. Cekalan tangan Ratu Pemikat pada lengannya ditepiskan. Si nenek hentikan langkah seraya berkata. 

"Bagaimana kau bisa memastikan begitu?!" 

"Dia salah seorang yang hendak kita undang untuk menghadiri pertemuan yang kita susun..." 

"Tapi mengapa kau tidak mengatakan namanya waktu berunding tadi...?!" 

Ratu Pemikat terdiam. "Apakah aku harus berterus terang?" katanya dalam hati. Setelah terdiam agak lama akhirnya Ratu Pemikat berkata juga. 

"Aku tadinya merasa khawatir kalau Gendeng Panuntun hadir, urusan jadi berantakan tidak karuan! Kau tahu, selain pandai mengatakan apa yang hendak terjadi, dia juga berilmu sangat tinggi! Aku khawatir apa yang jadi tujuanmu dan maksudku akan terhalang gara-gara kemunculannya pada pertemuan kita nanti!" 

"Apakah dia sahabat Pendeta Sinting keparat itu?!" 

"Aku tidak tahu persis. Yang jelas, selama ini Gendeng Panuntun bersahabat dengan Pendekar 131! Padahal Pendekar 131 adalah murid Pendeta Sinting! Tidak tertutup kemungkinan terjalin juga persahabatan antara Gendeng Panuntun dengan Pendeta Sinting!" 

"Aku tidak peduli! Siapa pun yang menghalangi tindakanku, akan kulumat sekalian!" 

"Itu memang yang harus kau lakukan. Tapi..." Ucapan Ratu Pemikat terputus karena di belakang sana tiba-tiba terdengar suara bentakan. 

"Manusia buta! Kau telah ikut campur urusan Iblis Rangkap Jiwa! Itu adalah hal bodoh yang kau lakukan!" 

Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi sama berpaling ke arah Iblis Rangkap Jiwa. Laki-laki berkepala gundul ini ternyata telah melompat dan kini tegak hanya sejarak lima langkah di hadapan Gendeng Panuntun dengan kedua tangan siap kirimkan pukulan. 

"Aku sudah bilang. Bukannya aku ikut campur tangan. Aku hanya tidak tega mendengar suara tangisan..." enak saja Gendeng Panuntun menjawab. "Kalau itu kau anggap sebagai tindakan bodoh, harap maafkan tindakanku tadi..." 

Iblis Rangkap Jiwa tertawa mengekeh. "Itu adalah tindakan bodoh kedua kalinya yang kau lakukan!" 

"Bagaimana bisa begitu?!" tanya Gendeng Panuntun sambil arahkan wajahnya menghadap Ni Luh Padmi dan Ratu Pemikat. 

“Jawabannya akan kau lihat sendiri!" hardik Iblis Rangkap Jiwa. Saat itu juga sosoknya berkelebat ke depan Kedua tangannya bergerak lakukan hantaman ke arah kepala Gendeng Panuntun. 

"Celaka! Manusia iblis itu benar-benar cari gara-gara!!" gumam Ratu Pemikat. "Aku percaya Iblis Rangkap Jiwa memiliki kepandaian tinggi yang sulit dicari tandingannya. Tapi yang dihadapinya kali ini orang aneh. Selain berilmu tidak lebih rendah dari Iblis Rangkap Jiwa, dia juga memiliki ilmu yang jarang dimiliki orang lain..." 

"Bagaimana kau begitu tahu betul dengan manusia bermata buta itu?!" tanya Ni Luh Padmi meski dirinya sedikit banyak telah tahu pada pertemuannya beberapa hari berselang. 

"Kita lihat saja nanti..." ucap Ratu Pemikat seraya terus perhatikan tindakan Iblis Rangkap Jiwa. 

Di depan sana, sesaat Gendeng Panuntun tidak membuat gerakan apa-apa. Kakek bermata buta ini seolah tenang-tenang saja menghadapi pukulan yang kini mengarah pada kepalanya dan dilakukan oleh seorang tokoh yang memiliki ilmu tinggi. Sejengkal lagi kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa menghentak kepala Gendeng Panuntun, tiba-tiba si kakek membuat gerakan luar biasa hebat yang tidak diduga sama sekali oleh orang yang saat itu tengah melihat. 

***

DUA
GENDENG Panuntun bukannya gerakkan kepala yang kini terancam pukulan kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa untuk menghindar, justru kakek bermata buta ini sentakkan kepalanya ke arah kiri songsong tangan kiri Iblis Rangkap Jiwa. 

Bukkkk! 

Gerakan tidak terduga yang dilakukan Gendeng Panuntun membuat hantaman tangan kiri Iblis Rangkap Jiwa terpotong di tengah jalan sebelum mengenai sasaran. Hal ini sangat berpengaruh sekali pada Iblis Rangkap Jiwa. Karena sebenarnya sebuah pukulan akan lenyap kekuatannya jika pukulan itu dipotong terlebih dahulu sebelum mengenai sasaran. Apalagi jika pukulan itu dilancarkan oleh anggota badan yang saling berkaitan. 

Begitu halnya yang terjadi pada Iblis Rangkap Jiwa. Hingga begitu kepala Gendeng Panuntun menyongsong, tangan kiri Iblis Rangkap Jiwa terpental ke belakang. Tangan kanannya yang saat itu juga tengah lancarkan pukulan memang masih berkelebat angker. Namun pentalan tangan kirinya yang di songsong kepala Gendeng Panuntun membuat sosoknya sedikit tertarik ke belakang. Hingga sambaran tangan kanannya mau tak mau ikut juga tertarik ke belakang. Ini menjadikan tangan kanannya hanya menyambar udara kosong sejengkal di depan wajah Gendeng Panuntun! 

Iblis Rangkap Jiwa hanya sesaat terkesiap. Di kejap lain sosoknya telah kembali melesat ke depan. Kali ini rupanya dia tidak mau membuat kesalahan yang sama. Hingga jarak setengah depa, dia telah lancarkan pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi! 

Satu gelombang dahsyat membawa kabut hitam menderu cepat kearah Gendeng Panuntun. Gendeng Panuntun tampak kerjapkan sepasang Matanya yang putih. Bersamaan dengan itu tangan kanannya bergerak mengusap cermin di depan perutnya sambil tarik tubuh atasnya ke belakang, hingga cermin bulatnya menghadap lurus ke atas. 

Wuuuss! 

Dari cermin bulat di depan perut Gendeng Panuntun berkiblat satu cahaya putih. Pada saat yang sama mendadak deruan gelombang kabut hitam sentakan kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa seolah tertahan di udara. Lalu laksana kilat terdorong lurus keatas mengikuti lesatan cahaya putih yang mencuat dari cermin bulat Gendeng Panuntun! 

Blaar! Blaarrr! 

Kira-kira sepuluh tombak di atas udara, gelombang kabut hitam yang terdorong cahaya putih keluarkan suara ledakan dua kali berturut-turut. Gelombang kabut hitam dan cahaya putih ambyar bertabur dan lenyap di udara. 

Di bawah sana, Iblis Rangkap Jiwa terlihat terjajar sampai tiga langkah. Sepasang mata laki-laki berkepala gundul ini mendelik angker mendapati apa yang baru saja terjadi. Sementara di seberang sana, Gendeng Panuntun hanya bergoyang-goyang. 

"Sobatku Iblis Rangkap Jiwa. Percuma urusan tak berguna ini kita teruskan. Kurasa masih ada sesuatu lebih penting yang harus kau lakukan! Bukankah begitu...?" Sambil ajukan tanya, wajah Gendeng Panuntun bergerak menghadap ke arah Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi. 

"Orang buta itu telah tahu rencana kita!" desis Ratu Pemikat. "Kalau kita tidak segera meninggalkan tempat ini, kita akan mendapat celaka!" 

Sebenarnya apa yang diucapkan Ratu Pemikat jauh dari apa yang terpendam dalam benaknya. Karena sebenarnya perempuan ini khawatir kalau apa yang tengah direncanakan dengan diam-diam diketahui dan dibeberkan Gendeng Panuntun di hadapan Iblis Rangkap Jiwa dan Ni Luh Padmi. Kalau hal itu benar-benar jadi kenyataan, maka hilanglah apa yang menjadi impiannya. 

Ni Luh Padmi kembali dibuncah rasa bimbang. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Ucapan perempuan ini ada benarnya! Tapi sebenarnya ada yang perlu kutanyakan pada laki-laki buta itu!" 

"Ratu Pemikat...! Bukankah lebih baik kita selesaikan laki-laki buta itu sekarang juga? Dengan begitu pada pertemuan kelak apa yang akan kita kerjakan tidak terlalu berat!" 

Ratu Pemikat gelengkan kepala. "Dia bukan tandingan kita! Ada seseorang yang mungkin bisa melawannya! Itu pun tidak kujamin orang itu bakal bisa mengalahkannya! Tapi kita masih punya waktu banyak. Selang waktu itu akan kita rencanakan bagaimana cara melumpuhkan Gendeng Panuntun!" 

"Hem... Yang kau maksud Malaikat Penggali Kubur?!" 

"Benar! Pemuda itu kini membekal Kitab Hitam yang memiliki kekuatan luar biasa dahsyat! Malah demikian hebatnya kitab itu, hingga kita bertiga harus bertekuk lutut dan jadi pembantunya!" 

Kepala NI Luh Padmi mengangguk. Bukan setuju dengan ucapan Ratu Pemikat melainkan membatin. "Jadi kitab itu benar-benar luar biasa! Sebaiknya aku tidak buat urusan dengan orang lain dahulu sebelum Kitab Hitam berada di tanganku..." 

Setelah berpikir begitu, Ni Luh Padmi buka suara. "Lalu bagaimana dengan Iblis Rangkap Jiwa? Apakah akan kita tinggal sendirian di sini?!" 

"Itulah yang saat ini sedang ku pikirkan! Sebenarnya aku tidak ingin melihat dia celaka sebelum pertemuan itu berlangsung!"

Mendengar ucapan Ratu Pemikat membuat Ni Luh Padmi perdengarkan suara tawa perlahan. "Kau mengkhawatirkan jiwanya. Apakah kau benar-benar tertarik padanya?!" 

Tampang Ratu Pemikat sesaat tampak merah. Namun saat lain perempuan ini balik perdengarkan tawa sambil berucap. "Aku masih sanggup menggaet pemuda tampan! Kalau aku begitu khawatir dengan keselamatan Iblis Rangkap Jiwa semata-mata hanya karena tenaganya kubutuhkan saat pertemuan nanti! Jika semuanya sudah selesai, kedua tanganku pun tak segan mencabut nyawanya!" 

"Hai...! Ternyata kau memendam ganjalan juga dengan manusia gundul itu!" seru Ni Luh Padmi mendengar keterus terangan Ratu Pemikat. 

"Aku terpaksa berterus terang padamu, Nek! Tapi kalau hal itu kau bocorkan pada Iblis Rangkap Jiwa, aku pun tak keberatan membuatmu berkalang tanah!" 

Kini berbalik raut muka Ni Luh Padmi yang jadi merah padam menindih gejolak amarah mendengar ucapan Ratu Pemikat. Namun teringat akan keadaan dirinya dan juga urusan Kitab Hitam, nenek ini coba menindih hawa kemarahannya. 

"Kalian berbisik-bisik apa?!" mendadak satu suara mengejutkan Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi. Kedua perempuan ini segera berpaling ke arah datangnya suara yang ternyata keluar dari mulut Gendeng Panuntun. 

"Cepat ajak temanmu ini untuk pergi dari sini!" Gendeng Panuntun lanjutkan ucapannya. 

Belum sampai ada yang buka suara atau membuat gerakan lakukan ucapan Gendeng Panuntun, mendadak terdengar bentakan keras. "Aku tak akan pergi tanpa nyawamu putus!" Yang keluarkan bentakan bukan lain adalah Iblis Rangkap Jiwa. 

Habis membentak, Iblis Rangkap Jiwa hentakkan kedua kakinya. Sosoknya melesat laksana terbang ke arah Gendeng Panuntun. Kedua tangannya serentak lancarkan pukulan jarak jauh. Dan seolah ingin buktikan ucapannya, laki-laki berkepala gundul itu teruskan kelebatannya dengan kedua kaki membuat gerakan menendang. 

Gendeng Panuntun tengadah sambil menggumam tak jelas. Tangan kanannya kembali bergerak mengusap cermin bulatnya. Namun, tiba-tiba kakek bermata buta ini urungkan niat. Tangan kanannya ditarik pulang dan disentakkan ke tanah. 

Wuuttt...! 

Sosok besarnya melesat ke belakang. Saat itulah mendadak satu sinar kuning berkelebat membawa gelombang dahsyat dan hawa luar biasa panas! 

"Aku rasanya pernah mengenali pukulan yang baru saja dilancarkan pemuda yang sebutkan diri sebagai Lumba-lumba itu!" gumam Ratu Pemikat begitu matanya melihat bagaimana pemuda berperangai perempuan yang sebutkan diri Lumba-lumba tarik kedua tangannya dan sepasang matanya dan mendorong ke arah gelombang kabut hitam yang tengah dilancarkan Iblis Rangkap Jiwa pada Gendeng Panuntun. 

Ni Luh Padmi kernyitkan dahi. "Apa kau bilang? Kau pernah mengenali pukulan itu?!"

"Betul! Tapi..." Ratu Pemikat tidak lanjutkan ucapannya di mulut. Dia hanya membatin. "Apakah dua orang bisa memiliki pukulan sama?! Atau jangan-jangan dia!" 

Ni Luh Padmi sendiri seolah tidak menunggu jawaban Ratu Pemikat. Karena dia sendiri tampaknya sedang mengingat-ingat. "Hem... Rasanya aku juga pernah bertemu dengan orang yang memiliki pukulan sama dengan yang dilancarkan pemuda perempuan itu! Astaga...! Bukankah pukulan itu pernah dilancarkan oleh pemuda geblek murid Pendeta Sinting pada beberapa hari yang lalu? Bagaimana ini? Apakah dia juga muridnya Pendeta Sinting?!" 

Blammm! 

Di depan sana mendadak terdengar ledakan keras membuat tanah di sekitar tempat itu berguncang. Gelombang hitam berlesatan ke sana kemari bentrok dengan sinar kuning yang memang dilancarkan oleh Lumba-lumba. Iblis Rangkap Jiwa jadi naik pitam. Apalagi kini mengetahui kalau orang yang diduga tidak memiliki kepandaian apa-apa, tiba-tiba mampu memangkas pukulannya. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Lalu teruskan kelebatannya. Bukan mengarah pada Gendeng Panuntun yang telah berkelebat ke belakang hindarkan diri, namun lurus ke arah Lumba-lumba yang masih duduk berlutut.

"Hai...! Apa yang kau..." Hanya itu ucapan yang sempat terlontar dari mulut Lumba-lumba, karena saat itu tendangan kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa telah ada didepan hidungnya! 

Karena tak ada waktu lagi untuk menghindar, pada akhirnya Lumba-lumba harus menangkis tendangan orang dengan angkat kedua tangannya. 

Bukkk! Bukkk! 

Terdengar suara bentrokan dua kali. Namun rupanya Lumba-lumba tertipu, karena tendangan kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa hanya merupakan tipuan belaka. Serangan yang sesungguhnya justru melesat dari kedua tangannya saat tendangannya ditangkis Lumba- lumba! Lumba-lumba tampak melengak kaget melihat bagaimana kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa berkelebat laksana kilat menyambar ke arah kepalanya. 

"Mati aku!" teriak Lumba-lumba. Meski kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan tendangan Iblis Rangkap Jiwa cepat diangkat, namun sudah sangat terlambat untuk memangkas pukulan kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa. 

Saat itulah mendadak Gendeng Panuntun goyangkan pantatnya. Satu cahaya putih melesat dari cermin bulatnya. Karena terlalu bernafsu untuk membunuh Lumba- lumba, Iblis Rangkap Jiwa tidak menyadari kalau saat itu cahaya yang melesat dari cermin Gendeng Panuntun sedang berkelebat. Lelaki berkepala gundul ini baru sadar tatkala kedua tangannya terasa panas luar biasa dan kejap lain tangannya mental balik ke belakang! 

Saat yang sangat terbatas itu tidak disia-siakan olah Lumba-lumba. Kedua tangannya yang tadi hendak memangkas pukulan Iblis Rangkap Jiwa segera didorong ke arah Iblis Rangkap Jiwa. 

"Jahanam!" maki Iblis Rangkap Jiwa. Kedua tangan dan sosoknya hendak bergerak. Namun kali ini dia yang terlambat. Hingga sebelum laki-laki ini sempat membuat gerakan apa-apa, tubuhnya mencelat tersapu gelombang yang keluar dari dorongan kedua tangan Lumba-lumba. 

"Dugaanku tidak jauh meleset! Lumba-lumba memiliki ilmu..." ujar Ni Luh Padmi perlahan dengan pandangi sosok Iblis Rangkap Jiwa yang tampak terkapar di atas tanah dengan mulut keluarkan cairan darah.
Ratu Pemikat terkesima. Wajahnya berubah pucat. Kalau menghadapi Gendeng Panuntun sendirian saja dia sudah menduga tak bakal sanggup, bagaimana mungkin menghadapi Gendeng Panuntun dan seorang pemuda perempuan yang ternyata memiliki ilmu yang tidak bisa dipandang sepele. Berpikir sampai ke sana, Ratu Pemikat kembali menarik kedua tangan Ni Luh Padmi. 

"Nek! Kau masih sayang jiwamu? Kau masih inginkan nyawa Pendeta Sinting?!" 

Pertanyaan beruntun Ratu Pemikat membuat dahi Ni Luh Padmi berkerut. Namun sebelum si nenek tanyakan maksud ucapan Ratu Pemikat, perempuan bertubuh sintal ini telah jawab sendiri ucapannya. 

"Kau hanya akan sia-siakan nyawa kalau tetap berada di sini! Dan itu berarti bara dendammu tidak akan berlanjut!" 

"Lalu apakah kau tidak mengkhawatirkan Iblis Rangkap Jiwa lagi?!" 

"Dia telah lakukan apa yang dia mau. Berarti dia juga siap menanggung akibatnya! Aku tak akan pedulikan lagi jiwanya kalau hal itu akan korbankan nyawaku sendiri!" 

Habis berkata begitu, Ratu Pemikat lepaskan cekalannya pada tangan Ni Luh Padmi. Saat lain tanpa buka suara lagi, Ratu Pemikat berkelebat tinggalkan tem-pat itu. Ni Luh Padmi menoleh pulang balik ke arah berkelebatnya Ratu Pemikat dan ke arah sosok Iblis Rangkap Jiwa yang masih terkapar di atas tanah. 

"Hem... Benar juga ucapan perempuan itu! Jalanku masih panjang, aku juga tidak mau korbankan nyawa dengan sia-sia!" 

Si nenek kini hadapkan wajahnya pada Lumba- lumba dan Gendeng Panuntun. Lumba-lumba tampak bangkit lalu usap-usap sepasang matanya meski jelas tidak ada air mata yang menetes. Di sebelah belakang, Gendeng Panuntun tampak tengadahkan kepala lalu melangkah menghampiri Lumba-lumba. Anehnya, seraya melangkah, wajah si kakek menghadap lurus ke arah Ni Luh Padmi, membuat si nenek berdebar-debar. 

"Nek... Selamat jumpa lagi..." ujar Gendeng Panuntun begitu dekat dengan Lumba-lumba. "Bagaimana kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja..." 

"Sahabat tua... Terima kasih kau telah memberi bantuan padaku hingga nyawaku tetap tak kurang suatu apa!" kata Lumba-lumba. Seperti halnya Gendeng Panuntun, Lumba-lumba berucap dengan wajah menghadap lurus ke arah Ni Luh Padmi, membuat si nenek makin tambah tidak enak perasaan. 

"Sahabat tua! Kau tampaknya mengenal nenek cantik itu! Siapa gerangan dia...? Ucapanmu menunjukkan bahwa kau sudah sering kali jumpa dengannya. Apakah dia salah seorang sahabatmu?!" 

"Lebih dari sekadar sahabat..." ujar Gendeng Panuntun. 

"Jadi dia kekasihmu...?!" sahut Lumba-lumba. "Lebih dari sekadar kekasih..." 

"Waduh... Jadi apamu dia?!" kata Lumba-lumba sudah tak bisa berpikir lagi. 

"Dia bukan apa-apaku...!" jawab Gendeng Panuntun membuat Lumba-lumba jadi makin bingung. 

"Hem... Dikatakan sahabat, lebih. Disebut kekasih, lebih. Ditanya apanya, bukan apa-apanya!" gumam Lumba-lumba. "Ah... Ucapanmu menjadikan aku bingung!" 

"Sahabat muda! Kau tak usah bingung. Begitulah memang kenyataannya. Bukankah begitu, Nek?!" kata Gendeng Panuntun jawab gumaman Lumba-lumba sekaligus ajukan persetujuan pada Ni Luh Padmi. 

Yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya putar diri lalu berkelebat. 

"Nek...!" seru Gendeng Panuntun. "Kalau kau masih mau turutkan kataku, kau masih punya waktu dan kesempatan!"

Ni Luh Padmi gerakkan tubuh memutar dan urungkan niat berkelebat. Sejurus matanya memandang pada Lumba-lumba dan Gendeng Panuntun. "Meski ucapanmu tepat, jangan harap aku akan urungkan niat!" 

"Hem... Karena kau tertarik juga dengan kitab itu?" tanya Gendeng Panuntun. Kakek ini perdengarkan tawa dahulu sebelum akhirnya melanjutkan. "Jika aku jadi kau, pengalaman akan kujadikan pelajaran berharga. Saat ini kau telah terjerat, namun kau masih punya kesempatan untuk bebaskan diri. Dan kukira itulah satu-satunya jalan terbaik yang harus kau tempuh!" 

Mendengar ucapan Gendeng Panuntun, niat semula Ni Luh Padmi yang hendak menanyakan perihal Kitab Hitam jadi terlupa karena dadanya mulai dirasuki hawa kemarahan. Hingga si nenek segera membentak dengan suara keras.

"Kau jangan coba-coba mengguruiku! Aku punya seribu satu jalan! Dan aku tahu bagaimana bebaskan diri sekaligus tanpa sia-siakan kesempatan!" 

"Nek... Kalau aku jadi dirimu, aku akan urungkan niat. Karena selain hanya akan datangkan beban lebih parah, juga hanya akan sia-siakan nyawa..." 

"Betul!" sahut Lumba-lumba yang sejurus tadi hanya diam mendengarkan. "Kalau perlu, kau cepat-cepat saja cari pendamping hidup jika belum punya pendamping! Dengan begitu, sisa-sisa hari tuamu bisa terisi dengan keindahan. Apalagi yang jadi pendampingmu adalah seorang pemuda! Aku yakin, dengan modal kecantikanmu, tidak sulit bagimu menggaet hati seorang pemuda! Tapi ingat, aku tidak coba menggurui mu. Ini semua karena..." 

"Percuma kalian bicara!" kata Ni Luh Padmi menukas ucapan Lumba-lumba. Paras wajah nenek ini telah berubah merah padam. Mulutnya sunggingkan senyum seringai. "Aku tak akan urungkan langkah walau satu tindak! Aku juga tidak akan mundur meski harus berhadapan dengan setan sekali pun! Dan kalau kalian berdua manusia-manusia yang ingin bukti, datanglah ke Kedung Ombo pada purnama depan!" 

Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi pentangkan sepasang matanya. Tangan kanannya yang menggenggam tusuk konde besar berwarna hitam bergerak men- garah lurus pada Gendeng Panuntun dan Lumba-lumba. 

"Kau Dan kau! Akan buktikan sendiri. benar tidaknya semua ucapan kalian dan ucapanku!" 

Tanpa menunggu sahutan lagi dari mulut Gendeng Panuntun maupun Lumba-lumba, Ni Luh Padmi berkelebat. Namun sebelum benar-benar berkelebat tinggalkan tempat itu, mata si nenek sempat melirik sekilas pada Iblis Rangkap Jiwa yang ternyata telah bangkit terbungkuk-bungkuk seraya usap darah yang mengalir dari mulutnya. Sesaat setelah sosok Ni Luh Padmi lenyap, mendadak tempat itu dibuncah dengan suara bentakan keras. 

"Kalian boleh maju bersama-sama! Kalian boleh memilih bagian mana dari tubuhku yang kalian sukai! Ha Ha Ha...!" 

Gendeng Panuntun tidak bergeming dari tempatnya bahkan tidak gerakkan wajah menghadap ke arah sumber datangnya bentakan yang tidak lain diperdengarkan oleh Iblis Rangkap Jiwa. Lain halnya dengan Lumba-lumba. Begitu terdengar bentakan, kepala pe- muda berperangai perempuan ini langsung bergerak cepat menghadap ke arah Iblis Rangkap Jiwa. Paras wajah Lumba-lumba tampak berubah dengan kedua tangan bergerak pulang batik gemulai ke depan ke belakang pertanda kalau dadanya sedang dilanda gelisah. 

"Sahabat muda!" kata Gendeng Panuntun. "Kita harus tinggalkan tempat ini. Kurasa percuma saja kita ladeni ucapan manusia itu! Kita hanya akan sia-siakan tenaga!"

"Tapi... Dia tidak akan berdiam diri..." ujar Lumba-lumba. Sepasang matanya terus perhatikan Iblis Rangkap Jiwa yang mulai tampak melangkah perlahan. 

Gendeng Panuntun sesaat terdiam. Tapi di kejap lain kakek bermata putih ini goyangkan pantatnya dua kaliberturut-turut. Dua cahaya putih melesat laksana kilat yang menyambar ke arah hamparan tanah di depan sana. Tanah langsung bertabur ke udara sebelum keluarkan debuman membahana dan akibatkan getaran keras laksana ada gempa hebat. 

Iblis Rangkap Jiwa sekonyong-konyong hentikan langkah. Namun mungkin untuk buktikan ucapannya, laki-laki berkepala gundul ini sengaja tidak membuat gerakan apa-apa. Malah dengan sunggingkan senyum dingin, dia pentangkan kedua tangannya di atas pinggang kiri kanan dengan kedua kaki terkembang seakan menyongsong pukulan orang! Di lain pihak, begitu dua kilatan cahaya putih berkiblat ke depan, Gendeng Panuntun berujar pelan. 

"Kita pergi sekarang!" 

Lumba-lumba yang sejenak tampak terkesiap dengan apa yang baru saja dilakukan Gendeng Panuntun cepat berpaling. Tapi pemuda itu tersentak. Sosok Gendeng Panuntun ternyata sudah lenyap dari tempatnya semula.

"Memang sudah saatnya aku harus pergi. Seorang diri menghadapi manusia iblis itu hanya akan daktangkan malapetaka!" gumam Lumba-lumba. Lalu putar diri dan serta-merta jejakkan kaki berkelebat.

Di seberang sana, begitu dua cahaya putih menggebrak tanah dua jengkal di hadapan Iblis Rangkap Jiwa, laki-laki berkepala gundul ini perdengarkan tawa bergelak panjang. Namun tiba-tiba dia renggutkan suara tawanya. Tulang dahinya bergerak dengan rahang terangkat. Saat lain kedua kakinya bergerak silih berganti terangkat dan menghentak ke atas tanah. 

"Jahanam! Mereka menipuku! Menipuku!" teriak Iblis Rangkap Jiwa begitu sadar apa yang baru saja dilakukan lawan dari arah seberang sana. 

Pada awalnya Iblis Rangkap Jiwa memang perdengarkan tawa bergelak panjang begitu mendapati pukulan yang dilancarkan Gendeng Panuntun hanya menggebrak tanah dua jengkal di depannya. Namun begitu maklum bahwa pukulan itu memang sengaja dilancarkan ke tanah di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa naik pitam. Namun semuanya sudah terlambat. Karena ketika hamburan tanah sirna, sosok Gendeng Panuntun dan Lumba-lumba sudah tidak terlihat lagi! 

Iblis Rangkap Jiwa sejenak memandang liar berkeliling. "Hem... Aku tak dapat menentukan ke mana kedua laki-laki itu pergi. Yang pasti aku dapat menentukan ke mana kedua perempuan itu minggat! Aku harus segera menyusul!" 

Dengan hentakkan sekali lagi kaki kanannya saking jengkel, Iblis Rangkap Jiwa berlari cepat. Yang tertinggal hanyalah hamburan tanah ke udara akibat hentakan kakinya! 


***
TIGA
MESKI merasa yakin kalau arah yang diambil satu jurusan dengan Gendeng Panuntun, dan walau sudah kerahkan segenap tenaga luar dan dalam yang dimilikinya, namun Lumba-lumba merasa heran. Bukan saja dia tidak berhasil menyusul Gendeng Panuntun, namun dia menemui kegagalan menangkap kelebatan sosok kakek bermata putih itu.

Hingga mungkin merasa tak ada gunanya memaksakan diri, akhirnya pemuda berperangai perempuan ini hentikan larinya. Lumba-lumba putar kepalanya berkeliling lalu mendongak. Saat itu dia tidak tahu sedang berada di daerah mana. Yang diketahui jelas, saat itu suasana sudah gelap dan beberapa kerlip bintang sudah menghampar di pelataran langit. 

"Malaikat Penggali Kubur..." desis Lumba-lumba seraya tetap mendongak. "Tidak disangka sama sekali kalau pemuda itu yang akhirnya mendapatkan Kitab Hitam. Kurasa ucapan Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat tidak dusta! Tapi bagaimana pemuda itu tahu seluk beluk kitab itu...? Ah. Itu sudah terjadi! Tak ada gunanya dipikirkan lagi! Yang masih menjadi tanda tanya, bagaimana Ratu Pemikat, Iblis Rangkap Jiwa, dan nenek yang sebutkan diri Ni Luh Padmi bisa bergabung jadi satu?!

Lalu ucapan Ni Luh Padmi tentang undangannya ke Kedung Ombo pada purnama depan. Ada apa sebenarnya ini?! Undangan itu tentu bukan main-main! Sebenarnya aku hendak menanyakan perihal undangan itu pada Gendeng Panuntun. Tapi kakek itu rupanya sedang tidak mau ditanyai! Buktinya dia lenyap tanpa bekas laksana ditelan bumi. Hem... Titik terang telah kudapat! Aku harus segera bergerak!" 

Lumba-lumba angkat kedua tangannya. Kali ini gerakan kedua tangannya tidak lagi lemah gemulai. Tapi mendadak gerakan kedua tangan Lumba-lumba tertahan di udara. Kejap lain pemuda berperangai perempuan ini sunggingkan senyum dan terus gerakkan kedua tangannya. Namun gerakan kedua tangannya kembali berubah lemah gemulai. Malah kali ini tampak sengaja dipulang-balikkan ke depan ke belakang dengan pantat sedikit digoyang-goyang. Bersamaan itu dari mulutnya terdengar suara nyanyian. 

"Kelelawar sayapnya hitam. Terbang rendah di gelap malam. Kelelawar sayapnya hitam. Tanda hari beranjak malam. Kelelawar bulunya hitam. Sama hitam dengan bulu..." 

"Hik Hik Hik...!" satu suara cekikikan tiba-tiba terdengar, membuat Lumba-lumba kontan hentikan nyanyian. Anehnya begitu Lumba-lumba putuskan nyanyiannya, suara tawa cekikikan juga diputus! 

Belum sampai Lumba-lumba gerakkan kepala ber- paling. Satu sosok tubuh berkelebat. Dan di hadapan Lumba-lumba tahu-tahu telah tegak satu sosok tubuh dengan kedua tangan berkacak pinggang dan mata tak berkesip menusuk tajam. Lumba-lumba teruskan gerakan kedua tangannya pulang balik ke depan dengan lemah gemulai dan pantat bergoyang-goyang.

Pemuda ini hanya sekilas memandang ke arah orang yang tahu-tahu muncul yang ternyata adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita dengan hidung sedikit mancung dan rambut dikuncir tinggi. Gadis ini mengenakan jubah warna merah menyala. 

Di depan sana, si gadis berjubah merah dan tidak lain adalah Putri Sableng adanya pentangkan sepasang matanya. Wajahnya jelas membayangkan kegeraman. Entah apa yang membuat gadis itu tiba-tiba merasa geram. Yang pasti dan aneh, justru kejap lain gadis berjubah merah ini perdengarkan tawa cekikikan panjang. Tapi cuma sejurus. Saat lain Putri Sableng reng- gutkan suara tawanya, dan terdengarlah suara bentakannya. 

"Mengapa kau tidak menepati janji?" 

Sepasang mata Lumba-lumba mengerjap berulang kali. Malah kini kedua tangannya bergerak mengusap-usap sepasang matanya lalu dibeliakkan lebar-lebar dengan tangan kiri kanan menarik kulit di bawah mata kiri kanannya! 

"Apakah dia telah tahu...?!" Diam-diam Lumba- lumba membatin. Pemuda ini unjukkan tampang keheranan lalu buka mulut. 

"Rasanya kita..." 

"Jangan pura-pura pakai rasanya segala!" bentak Putri Sableng memutus ucapan Lumba-lumba. Membuat pemuda berperangai perempuan ini kancingkan mulut rapat. 

"Ayo jawab! Mengapa kau tidak tepati janji?!" 

"Aku tidak pernah mengucapkan janji apa-apa padamu! Kita baru kali ini jumpa! Jangan kau mengada-ada cari urusan!" Lumba-lumba balas membentak dengan tak kalah kerasnya. 

"Hem... Begitu?!" 

"Betul begitu!" jawab Lumba-lumba. Mendengar sahutan Lumba-lumba, bukannya membuat Putri Sableng tambah dongkol, sebaliknya gadis berjubah merah ini malah tertawa panjang seraya diam-diam membatin. "Kau masih juga tak mau mengaku! Baik..." 

"Lumba-lumba! Aku tanya padamu. Jika kau jawab jujur, kau akan selamat. Kalau tidak, aku akan te- ruskan urusan Iblis Rangkap Jiwa yang tertunda! Kau paham?!" 

Meski unjukkan rasa heran, namun saat lain justru Lumba-lumba buka mulut seraya tertawa pendek. "Aku Lumba-lumba! Bukan Limba-limba! Kau bicara pada orang yang salah! Jadi maaf saja aku tidak bisa melayanimu!" 

"Hem... Begitu...?!" 

"Benar. Begitu!" sahut Lumba-lumba sebelum Putri Sableng sempat teruskan ucapannya. 

"Kalau kau cari Limba-limba, aku bisa menunjukkan di mana dia berada!" 

"Sialan! Peduli setan kau Limba-limba atau Lumba-lumba! Yang pasti aku yakin kaulah orang yang harus jawab pertanyaanku!" 

"Hem.... Begitu?!" tanya Lumba-lumba. 

"Ya! Begitu!" jawab Putri Sableng menirukan sahutan Lumba-lumba. "Di mana beradanya seorang pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng?!" 

"Ah... Kalau itu yang kau tanyakan aku akan menjawab. Tapi harap katakan dahulu siapa gerangan kau adanya!" 

"Aku murid Pendeta Sinting! Tugasku membawa hidup atau mati pemuda itu!" 

"Hemm... Aku tanya siapa namamu! Bukan tanya kau murid siapa!" 

"Aku Malaikat Penggali Kubur!" Kata Putri Sableng. Tangan kanan gadis berparas cantik ini menunjuk dadanya. "Aku telah membekal Kitab Hitam! Jangan kau berani berucap dusta jika tidak ingin mati konyol! Kau dengar dan mengerti?!" 

"Jangkrik... Jangan-jangan dia telah tahu diriku dan sempat melihat apa yang tadi terjadi di bawah bukit..." ujar Lumba-lumba dalam hati. "Hem... Tak ada gunanya lagi samaranku ini..." 

Lumba-lumba tidak menyahut ucapan Putri Sableng yang sebutkan diri sebagai Malaikat Penggali Kubur. Sebaliknya dia balikkan tubuh. Tangan kanan kirinya bergerak terangkat melepas gelungan rambutnya yang tinggi. Tangannya kemudian bergerak sigap melepas kancing-kancing pakaian perempuan panjang yang dikenakannya. Saat lain Lumba-lumba gerakkan kedua tangannya. Pakaian panjang perempuan yang dikenakannya melorot jatuh. 

Di balik pakaian panjang itu kini tampaklah satu sosok tubuh kekar berbalut pakaian putih-putih dengan rambut sedikit panjang acak-acakan. Lumba-lumba ambil pakaian panjang yang tergeletak di bawahnya seraya meloncat. Dan masih tetap memunggungi Putri Sableng, Lumba-lumba gerakkan tangannya yang memegang pakaian pada wajahnya. 

Sementara di belakang sana, Putri Sableng mengawasi tindakan Lumba-lumba dengan tawa tertahan. Lumba-lumba tidak menunggu lama. Kejap lain juga dia bergerak balikkan tubuh. Dihadapan Putri Sableng kini tegak seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian putih-putih. Rambut agak acak-acakan sebatas bahu. Tangan kanannya terangkat dengan jari kelingking masuk ke lobang telinga! 

"Kau hendak teruskan tugasmu membawaku hidup atau mati menghadap Pendeta Sinting?!" tanya Lumba-lumba yang kini telah tanggalkan pakaian panjangnya dan berubah menjadi seorang pemuda tampan dan bukan lain adalah Pendekar 131. 

Putri Sableng tidak menjawab. Sebaliknya dia ajukan tanya. "Mengapa kau tidak tepati janjimu untuk menungguku ditempat yang telah kita tentukan? Kenapa, he?!" 

"Pada awalnya aku menunggumu. Namun sesuatu telah merubah niatku! Dan selanjutnya kau kurasa telah tahu apa yang terjadi!" 

"Jangan bicara ngawur! Siapa tahu apa yang telah terjadi?!" 

"Hem... Bukankah kau telah tahu kalau Kitab Hitam nyatanya telah jatuh ke tangan Malaikat Penggali Kubur? Itu pertanda jelas kalau selama ini kau selalu mengikuti ke mana aku pergi!" 

Putri Sableng tertawa panjang. "Kau masih juga bicara tak karuan! Siapa selalu mengikuti ke mana kau pergi?! Aku tahu hal itu justru dari orang lain!" 

"Coba katakan siapa orang itu?!" 

Putri Sableng gelengkan kepala. "Itu tidak penting! Yang jelas kita sekarang sudah tahu di mana gerangan adanya kitab itu! Aku sekarang tanya padamu. Apa yang ada dalam benakmu begitu tahu kitab itu telah jatuh ke tangan Malaikat Penggali Kubur?!" 

Pendekar 131 terdiam sesaat mendengar pertanyaan Putri Sableng. Tapi sesaat kemudian, murid Pendeta Sinting ini gelengkan kepala sambil berucap. "Aku belum tahu apa yang harus kulakukan sekarang! Yang jelas, aku telah mendapat undangan dari seorang nenek yang sebutkan diri Ni Luh Padmi. Aku menduga undangan itu masih ada hubungannya dengan Kitab Hitam dan Malaikat Penggali Kubur!" 

"Dugaan harus punya alasan. Apa alasanmu sampai menduga kalau undangan nenek itu ada hubun- gannya dengan Malaikat Penggali Kubur?!" 

"Pada pertemuan pertama kali, nenek itu jelas tidak tahu urusan Kitab Hitam.Dia datang dari jauh jelas bertujuan hanya untuk mencari guruku! Tapi pada pertemuan kedua kalinya, ada keanehan. Dia telah bergabung dengan Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa! Dari ucapan-ucapannya, jelas terbayang kalau dia sekarang paham benar tentang kitab itu dan tidak tertutup kemungkinan dia juga menginginkan kitab itu!" 

Putri Sableng sejenak mendengarkan dengan seksama. Namun tiba-tiba gadis cantik ini palingkan kepala dengan tangan kiri terangkat. Kejap lain dia berkelebat. Joko terpaksa palingkan kepala dengan dahi berkerut. Saat itulah dari seberang terdengar suara bentakan Putri Sableng. 

"Lancang benar kau berani mencuri dengar pembicaraan orang! Cepat keluar!" 

Maklum akan apa yang hendak terjadi, laksana terbang, murid Pendeta Sinting berkelebat dan tegak dua langkah di samping Putri Sableng dengan mata liar terpentang memandang berkeliling. Karena ditunggu agak lama tidak juga muncul seseorang, Joko sorongkan kepala seraya berbisik. 

"Kau yakin kalau memang ada orang disekitar tempat ini?!" 

Putri Sableng bukannya menjawab dengan buka suara, melainkan angkat tangan kanan kirinya. Lalu di sentakkan ke arah di sebelah kanannya. 

"Waduh... Tahan!" terdengar suara seruan dari arah mana tangan kanan kiri Putri Sableng hendak lancarkan pukulan. 

Lalu dari arah kegelapan di balik satu batang pohon muncul satu sosok tubuh yang melangkah terbungkuk-bungkuk. Ketegangan di wajah murid Pendeta Sinting sirna seketika. Di sebelahnya Putri Sableng turunkan kedua tangannya dengan sepasang mata memperhatikan tajam pada sosok yang baru muncul. 

"Siapa kau?! Jawab cepat!" bentak Putri Sableng. 

"Putri... Jangan..." Ucapan Joko terputus. Karena bersamaan itu Putri Sableng putar diri menghadap lalu membentak keras. 

"Ini urusanku! Jangan ikut bicara!" 

"Betul! Ini urusanku! Jangan ikut bicara!" mendadak orang yang baru muncul berkata seperti apa yang diucapkan Putri Sableng, membuat gadis berjubah merah ini berpaling dengan mata membelalak dan mulut terkancing. 

Orang yang baru muncul dari kegelapan memandang sejurus pada murid Pendeta Sinting. Lalu beralih pada Putri Sableng. Untuk beberapa lama orang ini memandangi si gadis dengan geleng-gelengkan kepala dan mulut menguncup. 

"Kalau kau tidak menjawab dan main-main, jangan menyesal!" hardik Putri Sableng. 

Kembali gadis ini angkat kedua tangannya. Di depan sana, orang yang baru muncul dan ternyata adalah seorang pemuda berparas tampan sunggingkan senyum. Sosok bagian atas tubuhnya bergerak sedikit membungkuk membuat sikap menjura. Pemuda yang ternyata tidak memiliki tangan ini lalu gerak-gerakkan kedua bahunya seraya berkata. 

"Bukannya aku tidak mau menjawab dan bukannya pula aku main-main. Aku hanya masih terkesima, bagaimana sahabatku itu bisa menggaetmu?! Padahal kalau dibanding dengan wajahku, siapapun akan mengatakan aku lebih tampan! Apa ini karena nasibku yang kurangberuntung?!" 

"Nasibmu bukan saja kurang beruntung! Tapi jelek!" sahut Putri Sableng. 

"Hai... Apa kau bilang? Nasibku bukan saja kurang beruntung, tapi jelek? Bagaimana bisa begitu?!" 

"Karena kau tidak cepat jawab pertanyaanku!" bentak Putri Sableng. 

"Waduh... Baik, baik, baik! Aku akan jawab pertanyaanmu. Apa tadi yang kau tanyakan?!"

"Dewa Orok! Cepat jawab! Jangan terus bergurau!" Teriak murid Pendeta Sinting sambil melangkah hendak mendekat. Namun langkah kaki Joko tertahan karena saat itu Putri Sableng melompat dan tegak memunggungi dihadapannya dengan mulut perdengarkan suara bentakan. 

"Kau telah dengar ucapanku! Jangan berani ikut campur! Ini urusanku!" 

"Gadis cantik...!" kata pemuda bertangan buntung yang tidak lain memang Dewa Orok adanya. "Aku... Aku... Aku... Aku adalah..." 

"Dia adalah Dewa Orok!" sahut murid Pendeta Sinting seakan tak sabar melihat Dewa Orok tidak segera sebutkan diri. 

"Ah... Betul!" ujar Dewa Orok timpali ucapan Pendekar131. 

Putri Sableng unjukkan tampang angker dengan mata tak berkesip pandangi Dewa Orok dari ujung rambut sampai ujung kaki. 

"Dia adalah sahabatku..." Joko lanjutkan ucapannya lalu menyisi dan melompat ke hadapan Dewa Orok Sejurus murid Pendeta Sinting perhatikan Dewa Orok "Ada yang tidak beres dengan dirinya..." gumam Joko lalu bertanya.

"Kulihat tampangmu kali ini lain. Adakah ini memang kau sengaja?!" 

Dewa Orok gerakkan kepala ke atas ke bawah pandangi dirinya sendiri. "Heran. Bagaimana kau bisa bilang tampangku lain?! Coba lihat sekali lagi! Jangan-jangan pandanganmu yang sekarang jadi lain!" 

Murid Pendeta Sinting turuti ucapan Dewa Orok. Sepasang matanya dibeliakkan pandangi sekujur tubuh pemuda di hadapannya. Sementara mendapati orang menuruti ucapannya, Dewa Orok sejurus tegak dengan bibir sunggingkan senyum. Lalu dia miringkan tubuh ke kanan kiri. Kejap lain dia balikkan tubuh dengan bahu digoyang-goyang. 

"Bagaimana?! Ada yang berubah...?!" tanya Dewa Orok sambil terus tegak membalik. 

Joko tidak menjawab, membuat Dewa Orok kembali putar tubuhnya menghadap murid Pendeta Sinting sambil terus senyum-senyum. "Mana dotmu?!" tanya Pendekar 131. 

Senyum di bibir Dewa Orok pupus. Tampangnya seketika berubah. Malah tanpa buka mulut lagi, pemuda bertangan buntung ini melangkah perlahan hendak tinggalkan tempat itu. 

"Tunggu! Hendak ke mana kau?!" tahan Joko seraya melompat dan tegak menghadang didepan Dewa Orok. 

Dewa Orok gelengkan kepalanya perlahan. "Aku tak tahu harus pergi ke mana. Yang pasti aku akan mencari barang yang kau tanyakan tadi!" 

"Hem... Apakah dotmu diambil orang?!" 

Dewa Orok anggukkan kepala dengan wajah tambah murung. Dia kembali hendak melangkah, tapi gerakannya tertahan tatkala Putri Sableng ikut melompat lalu tegak di samping Joko seraya buka mulut. 

"Kulihat wajahmu sangat murung. Apakah begitu berharganya dot mu itu?!" 

Dewa Orok arahkan pandangannya pada Putri Sableng. "Kau pernah bersuami?!" 

Pertanyaan Dewa Orok membuat Putri Sableng memberengut. Dewa Orok tidak pedulikan perubahan tampang si gadis. Malah dia lanjutkan pertanyaannya. "Kau pernah punya seorang kekasih?!" 

"Dia belum pernah bersuami. Dan kurasa dia juga belum punya seorang kekasih!" Yang memberi jawaban adalah murid Pendeta Sinting. 

"Sayang... Jika begitu aku tidak bisa menjawab pertanyaannya!" kata Dewa Orok sambil arahkan pandangannya pada jurusan lain. 

"Apa hubungan hilangnya dot mu dengan gadis ini pernah bersuami atau punya seorang kekasih?!" tanya Joko masih penasaran dengan jawaban Dewa Orok. 

"Bagaimana kalau seorang istri ditinggal sang suami. Bagaimana perasaan seseorang yang ditinggal kekasih hati yang dicintainya. itulah perasaanku saat ini! Itulah harga hilangnya dotku pada diriku..." 

"Tapi bukankah kau masih bisa cari dot lain?!" ujar Joko. 

Dewa Orok gelengkan kepala. "Dot lain memang banyak dan tak sulit mencarinya! Tapi apakah kau tega meninggalkan istri atau seorang kekasih untuk cari istri dan kekasih baru, walau hal itu tidak sulit?!"

Murid Pendeta Sinting angkat bahu. "Lalu apakah kau tahu siapa orangnya yang mengambil dotmu?" 

"Seorang perempuan berparas cantik bertubuh sintal berdada montok berpinggul besar bertutur ramah berkulit putih berhidung mancung, berbibir merah bermata bulat bergelar Ratu Pemikat!" kata Dewa Orok nyerocos hingga begitu ucapannya selesai, mulutnya megap-megap. 

Putri Sableng dan murid Pendeta Sinting sama tegak dengan kaki laksana dipacak dan wajah berubah tegang. 

"Bagaimana kau bisa terpikat dengan perempuan itu hingga dotmu pun tak bisa kau pertahankan?!" tanya murid Pendeta Sinting.

"Ceritanya panjang. Nanti kalau ada waktu akan kuceritakan pada kalian! Sekarang aku harus pergi dahulu..." 

Dewa Orok kembali melangkah. Namun baru saja mendapat empat langkah, pemuda bertangan buntung ini berpaling dan berkata. "Kalau kalian sempat bertemu dengan perempuan cantik itu, harap kalian tidak melibatkan diri! Sampaikan saja salamku padanya!" 

"Kalau kau tidak sempat bertemu dengan perempuan cantik itu, datanglah pada purnama depan ke Kedung Ombo!" seru Joko karena Dewa Orok sudah melangkah agak jauh.

Langkah kaki Dewa Orok terhenti. "Ini sebuah undangan untukku?!" kata Dewa Orok tanpa berpaling. 

"Terserah hendak kau katakan apa. Yang pasti firasatku mengatakan perempuan berparas cantik bertubuh sintal berdada montok berpinggul besar bertutur ramah berkulit putih berhidung mancung bermata bulat bergelar Ratu Pemikat itu akan ada disana!" 

"Ah... Terima kasih. Tapi kemungkinan besar aku tidak bisa menghadiri undangan itu..."

"Kau percaya bisa bertemu Ratu Pemikat sebelum purnama depan?!" tanya Joko. 

Dewa Orok gelengkan kepala. "Aku tidak bisa memastikan! Tapi sampai kapan pun aku akan mencarinya!" 

Dewa Orok bungkukkan sedikit tubuhnya meski saat itu dia berada tegak membelakangi orang, hingga pemuda bertangan buntung ini terlihat menunggangi murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng. Saat lain bahunya bergerak. Sosoknya berkelebat lenyap ditelan kegelapan di depan sana. Sesaat setelah sosok Dewa Orok lenyap, murid Pendeta Sinting berujar tanpa berpaling. 

"Menurutmu, apakah ucapan Dewa Orok tidak berdusta?!" 

Tidak terdengar suara jawaban. Joko tidak peduli, dia terus lanjutkan ucapannya. "Menurutmu, untuk apa Ratu Pemikat mengambil dot milik Dewa Orok?!" 

Karena tidak juga terdengar suara jawaban, murid Pendeta Sinting palingkan wajah. Dia tersentak sendiri. Ternyata Putri Sableng sudah tidak ada lagi di tempat itu! 

"Dasar sableng! Pergi tidak bilang-bilang..." gumam murid Pendeta Sinting seraya putar kepalanya berkeliling. Saat itulah sepasang matanya menangkap kelebatan satu sosok tubuh. Menduga jika orang itu adalah Putri Sableng, Joko cepat berkelebat. 

"Tunggu!" 

Orang yang berkelebat tidak pedulikan teriakan Joko. Malah makin percepat kelebatannya dan mengambil arah sama dengan Dewa Orok. 

"Bukan... Bukan gadis sableng itu!" desis Joko begitu dapat menangkap agak jelas sosok yang berkelebat cepat di depan sana.

Murid Pendeta Sinting lipat gandakan ilmu peringan tubuhnya agar dapat berkelebat menyusul. Tapi karena keadaan gelap dan Joko tidak mengetahui daerah sekitar tempat itu, pada akhirnya Joko kehilangan jejak. Namun dia masih dapat memastikan kalau orang yang berkelebat seakan menyusul Dewa Orok adalah orang perempuan yang mengenakan pakaian putih panjang. 


***
EMPAT
TATKALA malam hampir berujung dan memasuki satu kawasan dataran berbatu, Ratu Pemikat memperlambat larinya. Di sebelah belakang, Ni Luh Padmi yang berkelebat menyusul ikut perlambat larinya. Pada satu tempat, mendadak sontak Ratu Pemikat hentikan larinya dengan tangan kiri terangkat memberi isyarat pada Ni Luh Padmi. Meski tak tahu ada apa, tapi si nenek hentikan juga larinya dan tegak dua langkah dibelakang Ratu Pemikat. 

"Celaka!" Tiba-tiba Ratu Pemikat keluarkan suara dengan mata mementang besar memandang tak berkesip pada satu arah. 

NI Luh Padmi kerutkan dahi lalu melompat dan tegak sejajar dengan Ratu Pemikat. Sesaat nenek yang tangannya menggenggam tusuk konde besar berwarna hitam ini berpaling ke arah Ratu Pemikat. Lalu menoleh ke arah jurusan mana Ratu Pemikat kini sedang memandang. 

Sejarak enam langkah dari tempatnya berdiri, NI Luh Padmi melihat sebuah lobang menganga di atas tanah yang di bagian samping kanan kirinya tampak batu-batu besar. Di sekitar lobang, terlihat hamburan tanah malah sebagian menutup permukaan batu-batu yang ada di kanan kiri lobang. 

"Rasanya bukan perbuatan tangan manusia sembarangan! Dan waktunya belum lama berselang!" gumam si nenek. 

"Benar!" sahut Ratu Pemikat tanpa berpaling. "Tapi bagaimana dia bisa melakukan ini?” 

“Menurut ceritamu di puncak bukit, apakah di sini tempatnya pemuda buntung itu kau tanam?!" tanya Ni Luh Padmi. 

Ratu Pemikat tidak jawab pertanyaan si nenek. Perempuan bertubuh sintal ini melangkah mendekati lobang. Lalu memperhatikan berkeliling. "Mustahil!" 

"Apanya yang mustahil?!" ujar Ni Luh Padmi setelah kini melangkah dan berdiri disamping Ratu Pemikat. 

"Kau lihat. Daerah ini jauh dari keramaian. Lobang ini juga tidak terlihat kalau tidak dari jarak jauh. Lebih dari itu, pemuda bertangan buntung itu ku tanam dalam keadaan tertotok! Apakah tidak mustahil jika pemuda itu bisa lolos?!" 

"Hem... Bukankah kau tadi setuju dengan ucapanku kalau ini bukan perbuatan manusia sembarangan?! Aku yakin, bukan pemuda buntung itu yang melakukannya. Ada tangan lain yang lakukan ini!" 

"Keparat! Siapa bangsat yang lakukan ini?!" teriak Ratu Pemikat. Saking jengkelnya, kaki kanannya disentakkan ke tanah hingga tanah itu membentuk lobang dan salah satu batu di kanan lobang tampak bergetar. 

Getaran batu belum berhenti, mendadak satu sosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu di salah satu batu di sebelah kiri lobang tegak seseorang. Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi cepat angkat tangan masing-masing. Namun begitu melihat siapa adanya orang yang tegak di atas batu, serta-merta kedua perempuan ini sama-sama luruhkan tangan masing-masing. Ni Luh Padmi angkat kepalanya sejenak memandang orang di atas batu, lalu alihkan pandangan ke jurusan lain. Namun tidak demikian halnya dengan Ratu Pemikat. Perempuan ini buru-buru alihkan pandangan dengan wajah berubah. 

"Mana anjing buntung itu?!" tanya orang di atas batu yang ternyata bukan lain adalah Iblis Rangkap Jiwa. 

Saat di atas puncak Bukit Selamangleng, Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat, dan Ni Luh Padmi memang sepakat untuk menuju tempat di mana Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat menanam tubuh Dewa Orok. Mereka ingin buktikan ucapan Ratu Pemikat yang menduga jika Dewa Orok pasti sudah mampus. Atau kalaupun masih bertahan hidup, mereka akan memberi imbalan setimpal pada pemuda bertangan buntung itu, karena Dewa Orok telah memberikan keterangan palsu pada Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat. Dewa Orok mengatakan kalau Pendekar 131 berada di sebuah kuil di pantai timur. 

Namun saat Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat sampai di tempat yang dikatakannya, kedua orang ini tidak menemukan orang yang dicari. Namun perjalanan mereka bertiga rupanya terhalang. Karena di bawah bukit, mereka sempat berjumpa dengan seorang pemuda berperangai perempuan yang sebutkan diri Lumba-lumba yang ternyata adalah murid Pendeta Sinting yang sedang menyamar. 

Saat Iblis Rangkap Jiwa hendak menghabisi Lumba-lumba, mendadak muncul Gendeng Panuntun. Ratu Pemikat yang telah maklum dan paham benar siapa adanya Gendeng Panuntun segera saja berkelebat pergi. Ni Luh Padmi sejenak masih sempat berbincang malah si nenek masih utarakan undangannya pada purnama depan. Sementara Iblis Rangkap Jiwa masih hendak teruskan niatnya, namun Gendeng Panuntun dan Lumba-lumba keburu pergi. 

Karena sudah sepakat, maka tak sulit bagi Iblis Rangkap jiwa menduga ke mana Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi berkelebat mendahului. Hingga begitu Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi baru saja sampai di kawasan batu di mana tadinya Dewa Orok ditanam, Iblis Rangkap Jiwa sudah pula muncul di tempat itu. 

Begitu mendapati Dewa Orok tidak tampak batang hidungnya, malah tempat di mana pemuda bertangan buntung itu ditanam terlihat porak-poranda, Iblis Rangkap Jiwa naik pitam. Karena dengan lolosnya Dewa Orok, urusannya dengan Malaikat Penggali Kubur akan tambah sulit. 

"Jahanam! Mengapa tidak buka mulut menjawab! Mana anjing buntung itu?!" bentak Iblis Rangkap Jiwa dengan mata melotot pada Ratu Pemikat. 

Meski merasa bersalah dalam urusan ini, namun mendapati dirinya dibentak begitu rupa, Ratu Pemikat tidak tinggal diam. Perempuan bertubuh bahenol ini angkat kepalanya pandangi Iblis Rangkap Jiwa yang berkacak pinggang di atas batu. 

"Matamu tidak buta! Apa kau lihat aku membawa anjing buntung itu?!" kata Ratu Pemikat dengan suara tak kalah kerasnya. 

"Hem..." Iblis Rangkap Jiwa menyeringai sambil arahkan pandangannya ke tempat bekas lobang di mana tadi Dewa Orok ditanam. Lalu beralih pada Ratu Pemikat. Iblis Rangkap Jiwa angkat tangan kirinya. Telunjuknya lurus mengarah pada Ratu Pemikat. 

"Kau...! Ini gara-gara ulahmu yang memberi usul agar kau menunda urusan dengan anjing buntung itu! Sekarang kau lihat apa yang terjadi! Bukan saja dugaanmu meleset, tapi anjing buntung itu telah lolos dan pasti dalam keadaan hidup!" Iblis Rangkap Jiwa sejurus hentikan ucapannya. Kepalanya bergerak alihkan pandangan, "Kau harus bertanggung jawab!" 

Ratu Pemikat sesaat terdiam mendengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa. Ucapan Iblis Rangkap Jiwa memang tidak salah. Karena Ratu Pemikat yang memberi usul agar urusan dengan Dewa Orok sementara waktu ditunda. Namun Ratu Pemikat tidak mau begitu saja disalahkan. Perempuan berparas cantik ini segera angkat bicara. 

"Enak saja kau alihkan tanggung jawab pada orang lain! Saat itu aku memang yang memberi usul! Tapi kau setuju! Kalau tidak, mengapa kau biarkan anjing buntung itu tetap hidup, padahal membunuhnya saat itu semudah meludah ketanah!" 

"Keparat! Kau mulai pintar putar balik masalah!" 

Ratu Pemikat tertawa pendek meski diam-diam dada perempuan ini dibuncah perasaan gundah dan gelisah. Bagaimanapun juga Iblis Rangkap Jiwa bukanlah tandingannya. Kalau laki-laki berkepala gundul ini tidak segera reda hawa amarahnya, tidak tertutup kemungkinan nyawanya sendiri yang akan jadi korban. Karena dia tahu, dengan lolosnya Dewa Orok dari tangan Iblis Rangkap Jiwa, nyawa laki-laki ini berada di ujung tanduk. 

Karena tugas utama yang harus dijalankan adalah membunuh Dewa Orok. Jika gagal, si pemberi perintah yang bukan lain adalah Malaikat Penggali Kubur tidak akan mengampuni nyawa Iblis Rangkap Jiwa. (Tentang urusan Malaikat Penggali Ku- bur dengan Iblis Rangkap Jiwa silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Warisan Laknat) 

"Iblis Rangkap Jiwa...!" ujar Ratu Pemikat. "Semua sudah terjadi. Kau marah sampai langit terangkat dan laut terkikis, tak akan ada gunanya! Yang penting sekarang, bagaimana usaha kita untuk menemukan kembali pemuda bertangan buntung itu!" 

"Enak saja kau buka mulut! Kau tahu, tinggal sisa berapa hari purnama depan? Apakah kau bisa memastikan dapat menemukan pemuda buntung itu sebelum purnama? Padahal masih banyak yang harus kita lakukan! Dan kau juga tahu, jika sampai purnama depan aku tidak dapat selesaikan urusan dengan anjing buntung itu, maka..." Iblis Rangkap Jiwa tidak lanjutkan ucapannya. Kaki kanannya bergerak. 

Braakkk! 

Batu di mana dia tengah berdiri tegak hancur berantakan. Sosok Iblis Rangkap Jiwa sudah melompat terlebih dahulu sebelum batu itu hancur terkena hentakan kakinya. Dia kini tegak di atas batu sebelah kanan lobang. 

"Keparat benar! Kalau sudah begini, apa yang harus kulakukan?!" desis Iblis Rangkap Jiwa. Sepasang matanya kembali memandang pada Ratu Pemikat. Gejolak hawa amarahnya kini timbul kembali. 

"Gara-gara perempuan sundal itu, urusanku jadi berantakan! Hemmm... Dia harus bertanggung jawab!" 

"Ratu Pemikat! Untuk sementara rencana yang kita susun di puncak bukit terpaksa kita batalkan!" 

Ratu Pemikat sentakkan kepala berpaling pada Iblis Rangkap Jiwa. "Urusan dengan anjing buntung itu adalah urusan kecil! Ada urusan lebih besar yang harus kita lakukan! Apakah kau akan korbankan urusan besar hanya demi urusan dengan pemuda bertangan buntung itu?!" 

"Setan! Dengar! Urusan dengan anjing buntung itu lebih besar bagiku dibanding urusan pertemuan pada purnama depan! Karena itulah, nyawamu tidak akan kulepas kalau sampai urusan dengan anjing buntung itu tidak segera selesai!" 

Walau dadanya makin dibuncah dengan rasa gelisah dan gundah, namun Ratu Pemikat tak mau unjukkan tampang ketakutan. Dia tengadahkan kepala sambil berujar. 

"Lalu apa rencanamu sekarang?!" 

"Aku tak punya rencana apa-apa! Yang pasti, kau harus dapat temukan kembali manusia buntung itu! Hidup atau mati! Dan harus kau temukan sebelum purnama depan! Kalau kau gagal, nyawamu sebagai gantinya!" 

Ni Luh Padmi yang sedari tadi diam mendengarkan maju satu tindak. Kepalanya berpaling pada Iblis Rangkap Jiwa, lalu beralih pada Ratu Pemikat. Mulutnya terbuka perdengarkan suara. 

"Menurutku... Apa tidak lebih baik kita teruskan rencana sambil kita cari jejak pemuda bertangan buntung itu! Dengan begitu, tujuan kita masing-masing tidak sampai terbengkalai! Sisa waktu sampai purnama depan memang tidak lama, namun kurasa masih cukup untuk mengambil keputusan yang tepat!" 

Iblis Rangkap Jiwa menoleh pada si nenek. "Kau tahu apa urusan ini?!" 

Ni Luh Padmi rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Kepalanya menggeleng. "Aku memang tak tahu persis. Namun setidaknya aku bisa meraba. Bukankah dengan lolosnya pemuda bertangan buntung itu, jiwamu terancam oleh Malaikat Penggali Kubur?" 

Ni Luh Padmi tidak menunggu sahutan Iblis Rangkap Jiwa. Seraya alihkan pandangannya pada jurusan lain, si nenek lanjutkan ucapannya. "Menurut cerita kalian berdua, saat ini kurasa urusan dengan Pendekar 131 lebih utama bagi Malaikat Penggali Kubur dari pada urusan dengan pemuda bertangan buntung itu!" Ni Luh Padmi berpaling pada Ratu Pemikat. 

"Ratu Pemikat! Sesuai rencana, kau pergi ke arah Timur. Namun kau punya tugas ganda. Selain rencana yang kita sepakati, kau juga punya tugas mencari dan menemukan pemuda bertangan buntung itu. Kalaupun tidak berhasil kau temukan, kau harus atur bagaimana caranya Malaikat Penggali Kubur bisa menerima apa yang telah terjadi!

Ingat, bagaimanapun tingginya ilmu yang dimiliki Malaikat Penggali Kubur, tidak mungkin dia bisa hadapi beberapa orang tokoh yang hendak kita hadirkan pada malam purnama nanti! Percayalah. Setidaknya Malaikat Penggali Kubur masih butuh tenaga tambahan! Dan dia tidak akan bertindak bodoh membunuh Iblis Rangkap Jiwa hanya karena lolosnya pemuda buntung itu!" 

Mendapati ada benarnya ucapan si nenek, hawa kemarahan Iblis Rangkap Jiwa sedikit mereda. Namun laki-laki ini masih belum merasa tenang karena Ratu Pemikat belum menyahut ucapan Ni Luh Padmi. Sementara di lain pihak, mendengar ucapan Ni Luh Padmi, Ratu Pemikat merasa sedikit lega apalagi tatkala diliriknya Iblis Rangkap Jiwa tunjukkan tampang setuju dengan ucapan si nenek. Namun diam-diam perempuan cantik ini masih merasa ada ganjalan. Karena kalau dia gagal menemukan Dewa Orok dan harus mempertanggung jawabkan di hadapan Malaikat Penggali Kubur, dia tahu apa yang harus diterima. 

"Pemuda itu memang tampan dan kekar. Tapi dia memperlakukan aku laksana pelacur! Hem... Apa boleh buat... Dari pada harus cari urusan baru, ucapan nenek itu layak kuikuti..." 

Membatin begitu, setelah cukup lama tidak ada yang buka suara, Ratu Pemikat memecah kesunyian. "Baik! Urusan dengan pemuda bertangan buntung dihadapan Malaikat Penggali Kubur serahkan padaku! Sekarang kita teruskan rencana kita semula!" 

"Hem... Tapi jika kau memutar balik lidah di hadapan Malaikat Penggali Kubur, nyawamulah yang pertama kali ku cabut sebelum pertemuan purnama depan nanti berlangsung!" ancam Iblis Rangkap Jiwa. 

Ratu Pemikat seakan tidak mendengar ancaman Iblis Rangkap Jiwa. Dia arahkan pandangannya pada Ni Luh Padmi. "Nek... Kau ke arah barat. Dua hari sebelum purnama, kita jumpa di puncak Bukit Selamangleng!"

Tanpa menunggu jawaban orang, Ratu Pemikat berkelebat tinggalkan tempat itu. Ni Luh Padmi sesaat mengawasi kelebatan Ratu Pemikat. Tanpa berpaling pada Iblis Rangkap Jiwa, si nenek berujar. 

"Kau kearah selatan! Dan kita jumpa ditempat yang kita tentukan! Bukit Selamangleng dua hari sebelum purnama!" Seperti halnya Ratu Pemikat, tanpa menunggu jawaban orang, Ni Luh Padmi segera berkelebat tinggalkan tempat itu mengambil jurusan berlawanan dengan Ratu Pemikat. 

Berada sendirian, Iblis Rangkap Jiwa sejenak tampak menarik napas panjang. Walau telah mendapat kepastian dari Ratu Pemikat soal urusannya dengan Dewa Orok, namun laki-laki ini tampaknya belum bisa lenyapkan rasa gelisah. 

"Apakah mungkin Malaikat Penggali Kubur bisa menerima? Kalau tidak, bagaimana nanti dengan diriku? Ah... Ini gara-gara aku begitu mudah percaya rayuan perempuan itu! Kalau tidak, aku tidak akan harus bingung begini rupa! Tapi semua sudah telanjur! Kalaupun Malaikat Penggali Kubur tidak bisa menerima, apa harus dikata! Beratus tahun aku menunggu!

Aku tak mau penantian ku sia-sia! Malaikat Penggali Kubur boleh berilmu tinggi dengan membekal Kitab Hitam. Tapi aku tidak akan undur satu langkah! Kitab Hitam harus dapat kurebut! Purnama depan tidak lama lagi, sambil berjalan ke arah selatan, cukup bagiku merencanakan apa yang harus kuperbuat sebelum purnama berlangsung! Bahkan kalau bisa, Kitab Hitam harus sudah berada di tanganku sebelum purnama nanti!" 

Iblis Rangkap Jiwa sunggingkan senyum. Kaki kanannya bergerak sekali. Laksana terbang sosoknya berkelebat melewati dataran berbatu yang mulai terang karena bias sang surya telah muncul di hamparan langit sebelah timur. 


***
LIMA
KITA tinggalkan dahulu Iblis Rangkap Jiwa yang menuju arah selatan seperti apa yang sebelumnya menjadi kesepakatan antara dia, Ratu Pemikat, dan Ni Luh Padmi. Juga kita tinggalkan Ni Luh Padmi yang berkelebat ke arah barat. Kita ikuti kelebatan Ratu Pemikat yang menuju arah timur. 

Kira-kira seratus tombak dari kawasan dataran berbatu, Ratu Pemikat hentikan larinya. Saat itu suasana mulai terang. Ratu Pemikat dapatkan dirinya di sebuah pinggiran danau luas. Pemandangan di tempat itu sangat indah. Sejauh mata memandang, tampak alur berwarna hijau jajaran pohon dan tumbuhan yang melingkari danau. Tapi pemandangan itu tidak membuat Ratu Pemikat tertarik. Pikirannya masih kacau dan gelisah. Seraya tegak, sesekali perempuan ini menghela napas dalam dan panjang. 

"Apa yang harus kulakukan sekarang?! Menuruti kesepakatan pergi ke arah timur mencari jejak Pendekar 131? Ataukah aku harus tunda dahulu ke arah timur dan menemui Malaikat Penggali Kubur dahulu?"

Ratu Pemikat memandang ke arah tengah danau yang berair jernih. Lama perempuan ini tegak mematung. Tapi beberapa saat kemudian, kepalanya tengadah. 

"Sebaiknya aku menemui Malaikat Penggali Kubur dahulu!" Ratu Pemikat bergumam memutuskan. "Dengan jelasnya urusan Dewa Orok di mata Malaikat Penggali Kubur, setidaknya pertemuan pada purnama nanti tidak akan ada hal lain yang mengganjal! Aku tahu bagaimana mengatakan urusan Dewa Orok dengan Iblis Rangkap Jiwa pada Malaikat Penggali Kubur! Dan Kurasa dia masih berada di tempat yang dulu. Aku tahu apa resikonya menemui dia..." Dada perempuan ini bergerak turun naik dengan cepat. 

"Sayang... Seandainya dia berlaku sedikit lembut, aku akan melayaninya dengan senang hati. Tapi daripada harus dijamah laki-laki keparat gundul itu, lebih baik aku pasrah dengan pemuda itu, meski dia bersikap kasar..." 

Ratu Pemikat putar diri setengah lingkaran. Kejap lain perempuan ini telah berkelebat cepat. Saat matahari mulai condong ke arah barat, dan ketika memasuki kawasan sepi yang ditumbuhi ranggasan semak belukar tinggi, Ratu Pemikat sedikit memperlambat larinya. Dan perempuan ini baru hentikan langkahan kakinya saat sejarak delapan tombak dihadapannya tampak sebuah goa agak besar. 

"Mudah-mudahan dia masih berada disini..." Ratu Pemikat arahkan pandangannya berkeliling sebelum akhirnya memandang tak berkesip pada goa di depan sana. "Dia tak pernah mengatakan akan berada di mana sebelum purnama mendatang. Tapi tempat ini adalah terakhir kalinya dia ada bersamaku! Di tempat ini dia memperlakukan diriku laksana binatang rendah!" 

Ratu Pemikat berkata sendiri dalam hati. Ingat akan kejadian beberapa waktu yang lalu mau tak mau membuat tengkuk perempuan bertubuh bahenol ini merinding. 

"Apa dia akan berbuat sama?! Ah… Semua sudah kuputuskan! Apa yang nanti terjadi, aku harus siap! Ini adalah kesempatan bagiku. Kalau sampai aku tidak bisa menemuinya, aku bakal mendapat celaka...! Memperturutkan kata hati, ingin rasanya aku langsung membunuhnya saat dia lengah. Tapi selama Kitab Hitam masih berada ditangannya, apakah mungkin hal itu bisa kulakukan? Aku pernah mencobanya. Tapi… Bukan saja mengalami kegagalan, tapi membuat dia memperlakukan aku seperti barang mainan tak berguna! Hem... Aku harus dapat akal" 

Ratu Pemikat sipitkan sepasang matanya dengan dahi berkerut. Jelas kalau perempuan ini tengah memikirkan sesuatu. Namun belum sampai Ratu Pemikat dapat menemukan apa yang harus dilakukan, satu suara terdengar.

"Hem... Kau datang pada saat yang tepat! Berhari-hari aku sepi sendiri!" 

Satu sosok tubuh berkelebat keluar dari dalam goa. Dan tahu-tahu di hadapan Ratu Pemikat telah tegak seorang pemuda berwajah tampan mengenakan pakaian hitam. Sepasang matanya berkilat tajam. Rahangnya kokoh. Rambutnya panjang hitam lebat. 

"Malaikat Penggali Kubur!" desis Ratu Pemikat mengenali si pemuda. Perempuan ini tersentak ketika dia sadar kalau belum mendapatkan jalan apa yang harus diperbuatnya, apalagi begitu mendengar ucapan si pemuda yang bukan lain memang Malaikat Penggali Kubur adanya. Namun dalam keadaan begitu, Ratu Pemikat masih bisa merasa agak lega karena pada akhirnya dia dapat bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur. 

Malaikat Penggali Kubur pandangi sekujur tubuh perempuan di hadapannya dengan mata terpentang besar dan bibir sunggingkan senyum aneh. Yang dipandang hanya sekilas balas memandang sebelum akhirnya alihkan pandangan ke mulut goa dengan mulut terkancing. 

“Sebelum kau hangatkan hari-hari sepi ku, aku ingin tanya kau datang menemuiku jauh sebelum hari yang ku tentukan! Pasti kau membawa kabar! Katakan padaku!" 

"Sesuai perkataan mu, aku bertemu dengan Iblis Rangkap Jiwa. Dan tak lama kemudian muncul nenek bernama Ni Luh Padmi..." Sejenak Ratu Pemikat hentikan keterangannya. 

Malaikat Penggali Kubur mendongak. "Lanjutkan keteranganmu! Katakan apa yang kau lakukan bersama Iblis Rangkap Jiwa sebelum jumpa dengan nenek tua bangka itu! Karena selang waktunya beberapa hari! Apa kalian habiskan bersenang-senang berdua atau ada hal lain yang kalian kerjakan!" 

Tampang Ratu Pemikat berubah merah padam. Namun sadar dengan siapa kali ini berhadapan, Ratu Pemikat coba menindih perasaan lalu berkata. 

"Kami berdua berhasil menemukan seorang pemuda bertangan buntung bergelar Dewa Orok! Menurut yang kudengar dari iblis Rangkap Jiwa, kau menugaskan laki-laki itu untuk membunuh Dewa Orok! Betul?!" 

"Jangan ajukan tanya! Teruskan saja keteranganmu!" sentak Malaikat Penggali Kubur tetap dengan kepala tengadah. 

"Aku dan Iblis Rangkap Jiwa berhasil melumpuhkan Dewa Orok! Pemuda buntung itu kami tanam dalam keadaan tertotok pada satu tempat yang kami yakin tak mungkin diketahui orang!" 

"Kalian tidak membunuh Dewa Orok yang kau katakan pemuda buntung itu?!" 

Ratu Pemikat sesaat terdiam. Malaikat Penggali Kubur gerakkan kepala menghadap Ratu Pemikat. 

"Walau kami tidak membunuhnya, tapi kami yakin. pemuda itu akan mampus! Dewa Orok kami tanam dalam keadaan tertotok di tempat sepi! Bagaimanapun tinggi ilmu yang dimiliki, dia..." 

"Jahanam! Kalian bertindak sembrono!" bentak Malaikat Penggali Kubur memotong keterangan Ratu Pemikat. "Dia memang tidak akan bisa lolos, tapi kalau ada tangan lain yang menyelamatkannya?!" 

Dada Ratu Pemikat bergetar keras. Kepalanya tersentak laksana digaet tangan setan. Namun perempuan ini cepat sadar. Dia buru-buru tutupi rasa kejutnya dengan gelengkan kepala sambil cepat menyahut. 

"Meski sebenarnya aku tidak terlibat secara langsung urusan ini, namun aku tahu siapa Dewa Orok! Jadi kau tak usah khawatir! Aku dan Iblis Rangkap Jiwa telah memperhitungkan semuanya! Perhitungan kami tidak mungkin meleset!" 

"Apa yang kalian perhitungkan?!" 

"Dia tidak akan bertahan sampai satu hari!" 

"Hem... Begitu?! Apa kalian juga sudah berhitung, bagaimana kalau tangan penyelamat itu datang begitu kalian pergi?!" 

"Sudah kubilang. Tempat itu rasanya sulit dijangkau kaki manusia! Belum lagi kawasannya berbatu! Dan waktu kami tinggalkan, hari sudah menjelang malam!" ujar Ratu Pemikat dengan dada makin gelisah meski bibirnya sunggingkan senyum. 

Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur menatap lekat-lekat pada Ratu Pemikat dengan mulut terkancing rapat. Di pihak lain, dipandangi begitu rupa, perempuan bertubuh sintal jadi makin tidak enak. Malah diam-diam tengkuknya tambah dingin. 

"Apa yang dipikirkannya?!" membatin Ratu Pemikat. "Dia seolah tahu apa yang telah terjadi. Apakah dia sebenarnya telah..." 

"Ratu Pemikat!" kata Malaikat Penggali Kubur memutus kata hati Ratu Pemikat. "Kata-kata bukanlah sesuatu yang bermakna bagi Malaikat Penggali Kubur! Aku tak peduli kau sudah berhitung berapa kali tentang urusan Dewa Orok. Tapi ada sesuatu yang lebih daripada itu! Tunjukkan bukti kalau kalian telah melumpuhkan manusia itu!" 

Ucapan Malaikat Penggali Kubur membuat dada Ratu Pemikat mereda. Karena sebenarnya ucapan itulah yang ditunggu-tunggu. Hingga begitu Malaikat Penggali Kubur selesai dengan ucapannya, tangan kanan Ratu Pemikat bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Saat tangan itu kembali ditarik, tampaklah sebuah bundaran karet mirip dot bayi. Karena selama ini Malaikat Penggali Kubur belum pernah bertemu dengan Dewa Orok, membuat pemuda itu sempat beliakkan mata melihat apa yang ada di tangan kanan Ratu Pemikat. 

Ratu Pemikat melangkah maju. Bundaran karet segera diulurkan pada Malaikat Penggali Kubur. Namun perempuan ini merasa sedikit heran. Malaikat Penggali Kubur bukannya merasa gembira dan segera mengambil bundaran karet, sebaliknya memandang Ratu Pemikat dengan rahang sedikit mengembung.

"Kau jangan bercanda! Apa hubungan bundaran karet rongsokan itu dengan Dewa Orok?!" bentak Malaikat Penggali Kubur. 

Ratu Pemikat mengernyit. "Bagaimana ini? Apa benda ini belum membuatnya merasa yakin?!" 

"Kau belum jawab! Apa hubungan benda itu dengan Dewa Orok?!" untuk kedua kalinya Malaikat Penggali Kubur membentak. Malah kali ini sambil sentakkan tangan kanannya ke bawah. Hingga saat itu juga terdengar deruan keras. 

"Ah, jangan-jangan dia belum pernah jumpa dengan Dewa Orok! Buktinya dia tidak tahu benda ini..." akhirnya Ratu Pemikat dapat menarik kesimpulan. Lalu seraya tersenyum, dia angkat bicara. 

"Kau belum pernah bertemu dengan Dewa Orok...?" 

Malaikat Penggali Kubur tidak buka mulut menjawab. Hal ini membuat Ratu Pemikat tambah yakin akan kebenaran kesimpulannya. Hingga tanpa menunggu Malaikat Penggali Kubur buka mulut, dia berkata. 

"Dewa Orok adalah seorang pemuda berparas tampan. Dia tidak memiliki tangan alias buntung. Lebih dari itu, dia selalu mengulum bundaran karet mirip dot bayi. Itulah sebabnya mengapa dia bergelar Dewa Orok! Kau paham sekarang...?" 

Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Tangan kanannya bergerak ke depan. Tahu-tahu bundaran karut telah berada di tangannya. Untuk beberapa saat Malaikat Penggali Kubur perhatikan bundaran karet di tangannya. Kejap lain dia selinapkan bundaran karet ke balik pakaiannya.

"Sekarang aku ingin dengar bagaimana dengan tugasmu!" 

"Semua berjalan sesuai rencana yang kususun dengan iblis Rangkap Jiwa! Kau tinggal menunggu! Dua hari sebelum hari pertemuan berlangsung, kau akan mendapat kabar!" 

Wajah Malaikat Penggali Kubur berubah menyiratkan kegembiraan. "Bagus! Kapan pertemuan itu akan berlangsung?” 

“Seperti ucapanmu, pertemuan itu akan berlangsung pada purnama ini!" 

Mungkin saking gembiranya, Malaikat Penggali Kubur melompat ke depan. Tangan kanannya mencekal lengan Ratu Pemikat. "Kau telah bertemu dengan Pendekar 131?!" 

Meski tampak gemetar, tapi Ratu Pemikat akhirnya menjawab juga dengan suara dibuat tegar. "Itu telah menjadi tugas yang harus kulakukan! Kau tak perlu banyak bertanya dahulu. Yang jelas, purnama depan, kau akan bertemu dengan Pendekar 131! Malah tidak tertutup kemungkinan akan hadir pula beberapa tokoh golongan putih!" 

Malaikat Penggali Kubur lepaskan cekalannya padalengan Ratu Pemikat. Kepalanya mendongak. Lalu terdengar suara tawanya menggembor keras membahana."Bagus! Bagus! Tidak salah aku memilihmu sebagai pembantuku! Apa yang telah kau lakukan adalah sebuah pekerjaan luar biasa!" kata Malaikat Penggali Kubur begitu suara tawanya lenyap. Pemuda murid Bayu Baja ini kembali arahkan pandangannya pada Ratu Pemikat. Lalu bertanya. 

"Apa hanya untuk memberitahukan kabar gembira itu kau datang jauh sebelum waktunya?! Atau ada hal lain yang ingin kau sampaikan?!" 

"Seperti kukatakan tadi, beberapa hari setelah pertemuanku dengan Iblis Rangkap Jiwa, tiba-tiba muncul seorang nenek yang sebutkan diri Ni Luh Padmi..." Ratu Pemikat menatap tajam dahulu pada Malaikat Penggali Kubur sebelum melanjutkan. "Urusan purnama depan bukan urusan kecil. Aku tak mau usahaku berantakan! Aku harus hati-hati. Termasuk pada nenek itu. Apakah benar dia salah seorang yang juga kau beri tugas?!" 

"Aku senang mendengar ucapanmu. Berarti kau orang yang tidak mudah percaya! Tapi perihal nenek itu, kau tak usah menduga yang tidak-tidak! Dia memang salah seorang yang kubebani tugas!" 

Malaikat Penggali Kubur alihkan pandangan. "Tapi kalau dia bertindak macam-macam, kau kuberi kebebasan untuk membuatnya mampus terlebih dahulu! Bukan hanya tua bangka itu saja. Kau juga kuberi kewenangan untuk membunuh Iblis Rangkap Jiwa kalau kau rasa itu perlu!" 

"Hem... Manusia ini benar-benar licik! Dia ingin mencabut nyawa orang tanpa harus banyak bersusah payah!" membatin Ratu Pemikat. Lalu tersenyum dan berkata. 

"Menurutku... Tenaga kedua orang itu masih kau butuhkan! Kehadiran beberapa tokoh lain pada purnama depan tidak bisa dipandang enteng...!" 

Rahang Malaikat Penggali Kubur mendadak terangkat mengembung. Pelipis kanan kirinya bergerak gerak. Tangan kanannya terangkat mengepal. Saat bersamaan, mulutnya semburkan ucapan keras. 

"Kitab Hitam telah berada di tanganku! Berarti kekuatan dunia ada dalam genggamanku! Tanpa seorang pembantu pun, tanganku sanggup mengalirkan darah meski darah setan sekali pun!" 

Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur yang mengepal bergerak membuka keluarkan suara berkeretekan. Perlahan-lahan pemuda ini tarik sedikit tangannya ke perut. Lalu bergerak mengusap-usap. Saat bersamaan tubuhnya membalik memunggungi mulut goa. Terdengar deruan pelan tanpa adanya cahaya atau sinar yang berkiblat. Tidak juga terlihat adanya sambaran gelombang dahsyat. Namun saat itu juga ranggasan semak belukar laksana disapu gelombang luar biasa dahsyat. 

Semak belukar terabas rata hingga tanah di bawahnya ikut tersapu bertaburan ke udara. Beberapa pohon berderak dan langsung tumbang lalu ikut tersapu ke udara menjadi serpihan-serpihan! Tanah di tempat itu bergetar hebat laksana dilanda gelombang gempa! Malah di belakang sana, mulut goa longsor. Bahkan Ratu Pemikat harus kerahkan tenaga dalam kuasai diri agar sosoknya tidak terhuyung-huyung! 

Malaikat Penggali Kubur putar diri menghadap Ratu Pemikat. "Apa yang baru kau lihat akan dialami beberapa orang yang hadir purnama depan?" 

"Hem... Kitab itu benar-benar luar biasa..." kata Ratu Pemikat dalam hati. "Seandainya kitab itu..." 

"Masih ada yang hendak kau utarakan?!" tanya Malaikat Penggali Kubur. 

Ratu Pemikat tidak segera buka mulut. Perempuan ini sepertinya masih terkesima dengan apa yang baru saja disaksikan. Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. 

"Kalau memang tidak ada hal lain yang akan kau utarakan, rasanya sudah saatnya kau menghangatkan tubuhku!" 

Ratu Pemikat tersadar. Dia hendak melompat mundur. Namun tangan Malaikat Penggali Kubur bergerak mendahului. Hingga belum sampai Ratu Pemikat membuat gerakan, kedua tangan Malaikat Penggali Kubur sudah melingkar erat pada pinggangnya. Saat bersamaan, wajah pemuda itu sudah bergerak merunduk ke leher putih jenjangnya. Sejenak Ratu Pemikat terlibat meronta hendak lepaskan diri. Namun begitu wajah Malaikat Penggali Kubur terus ke bawah dan menelusup ke belahan dadanya, mau tak mau membuat perempuan bertubuh sintal ini menggeliat dan mulai dilanda gejolak. 

Apalagi pada saat yang sama, kedua tangan Malaikat Penggali Kubur sudah pula merambat ke pinggul. Hingga pada akhirnya Ratu Pemikat hanya diam pasrah. Malah tak lama kemudian dari mulutnya terdengar desahan panjang dengan mata setengah terpejam. Kedua tangannya pun mulai bergerak melingkar pada tengkuk si pemuda! 

Ratu Pemikat lupa bahwa dirinya punya ilmu 'Penyalur Suara' dan rangsangan yang dapat membuat orang tenggelam dalam gejolak dan mengatakan apa yang ditanyakannya. Bahkan Ratu Pemikat tidak ingat apa rencananya semula yang akan dilakukan kalau Malaikat Penggali Kubur terlena dalam gejolak nafsunya! 

Untuk beberapa lama, kedua orang itu tenggelam dalam gejolak masing-masing. Malaikat Penggali Kubur terus telusuri anggota tubuh di pelukannya dengan mata berkilat-kilat dan dada naik turun keras. Sementara Ratu Pemikat mulai membalas seraya mendesah panjang. 

Tiba-tiba kedua tangan Malaikat Penggali Kubur bergerak sekali. Ratu Pemikat tersentak kaget. Karena perempuan ini rasakan tubuhnya melayang ke udara Dan belum tahu apa yang akan dilakukan orang, tiba-tiba terdengar Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. Lalu berkata. 

"Ada tempat yang lebih bagus! Dan kau pasti tidak akan lupa tempat itu!" 

Ucapan Malaikat Penggali Kubur belum selesai, pemuda murid Bayu Bajra ini telah melesat ke atas menyongsong tubuh Ratu Pemikat. Saat turun kembali ke tanah, sosok Ratu Pemikat telah telentang dalam tadahan kedua tangannya! Malaikat Penggali Kubur sorongkan kepala mencium bibir Ratu Pemikat. Lalu seraya terus berpagutan, dia melangkah ke arah mulut goa. 

Baru saja kaki kanan Malaikat Penggali Kubur melewati mulut goa, mendadak terdengar suara orang batuk-batuk kecil beberapa kali. Jelas kalau suara batuk itu dibuat-buat. Malaikat Penggali Kubur hentikan gerakan kaki kirinya yang hendak melewati mulut goa. Wajahnya ditarik dari wajah Ratu Pemikat. Dan laksana disambar gelombang, kepala si pemuda menyentak berpaling ke belakang. 

Sesaat sepasang mata Malaikat Penggali Kubur membesar. Hawa amarah yang sesaat terpancar dari raut wajahnya sirna. Bibirnya kini sunggingkan senyum. Dan tanpa diduga sama sekali, kedua tangannya yang membawa sosok Ratu Pemikat disentakkan kedepan. Karena tidak tahu apa yang dilakukan orang dan tidak menyangka, Ratu Pemikat hanya diam saja. Yang ada dalam pikiran perempuan itu, Malaikat Penggali Kubur hanya akan berbuat sama seperti di luar tadi. 

Namun hingga sosoknya hampir terjerembab di atas tanah dan Malaikat Penggali Kubur tidak membuat gerakan apa-apa untuk menahan, Ratu Pemikat baru tersadar. Namun terlambat. Sebelum dia membuat gerakan untuk selamatkan diri dari menghantam lantai goa. sosoknya telah terkapar! 

Sambil berseru tertahan, Ratu Pemikat cepat bergerak bangkit. Namun sepasang matanya tidak lagi melihat Malaikat Penggali Kubur.
Dengan terus menyumpah habis-habisan, Ratu Pemikat melangkah ke mulut goa. Sepasang mata perempuan ini menyipit dengan dahi berkerut. Di luar sana terlihat Malaikat Penggali Kubur melangkah perlahan mendekati seorang laki-laki berusia lanjut yang tegak dengan kepala berpaling pada jurusan lain. 


***
ENAM
SEJARAK delapan langkah di hadapan orang, Malaikat Penggali Kubur hentikan langkah. Sesaat kepala pemuda ini menatap lurus ke arah orang di hadapannya yang masih tampak tegak dengan mata memandang pada jurusan lain. Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya ke jurusan mana orang dihadapannya memandang. Lalu pemuda ini bungkukkan sedikit tubuhnya. Saat itu juga terdengar suaranya. "Guru...!" 

Orang di hadapan Malaikat Penggali Kubur yang ternyata adalah seorang laki-laki berusia lanjut berambut putih panjang digeraikan menutupi bahu dan sebagian punggungnya sesaat menghela napas panjang. Kakek yang wajahnya telah dihias beberapa keriput dan bermata sayu serta mengenakan pakaian putih ini lalu gerakkan kepala sedikit. Sepasang matanya yang sayu melirik. Mulutnya membuka. 

"Gumara... Bersyukur kau masih mengenaliku..." 

Malaikat Penggali Kubur luruskan tubuh. Wajahnya berubah merah padam. Ucapan kakek berpakaian putih yang dipanggilnya guru membuat dadanya tidak enak. Namun Malaikat Penggali Kubur coba tutupi perasaan dengan sunggingkan senyum dan berkata. 

"Guru... sama sekali tidak kuduga kalau kau muncul di sini!" 

Kakek berpakaian putih yang bukan lain memang guru Malaikat Penggali Kubur yang dalam rimba persilatan dikenal dengan nama Bayu Bajra luruskan kepala menghadap Malaikat Penggali Kubur. 

"Gumara...! Kuharap kemunculanku yang katamu tidak kau duga sama sekali tidak mengganggumu..." kata sang guru dengan sebut nama asli Malaikat Penggali Kubur yang memang bernama Gumara. (Tentang Malaikat Penggali Kubur baca serial Joko Sableng dalam episode Malaikat Penggali Kubur") 

Ucapan Bayu Bajra makin membuat Malaikat Penggali Kubur sesak dadanya. Dia sebenarnya ingin berpaling ke arah mulut goa. Namun gerakannya tertahan ketika Bayu Bajra telah menyambung ucapannya. 

"Kalau kemunculanku mengganggu, kutunggu kau di..." 

Belum sampai sang guru lanjutkan ucapannya, Malaikat Penggali Kubur telah memotong. "Guru...! Kedatanganmu pasti dengan satu keperluan! Apa pun akan kusingkirkan untuk menghormatimu!" 

Bayu Bajra memandang lurus melewati pundak Malaikat Penggali Kubur ke arah mulut goa di mana Ratu Pemikat tampak berdiri tegak. Malaikat Penggali Kubur gerakkan kepala berputar dan ikut memandang ke mulut goa. Tapi cuma sejenak. Kejap lain pemuda ini telah hadapkan kembali wajahnya ke arah sang guru.

"Guru... Dia hanyalah seorang sahabat! Dan kuharap kau tidak menaruh..." 

Bayu Bajra angkat tangan kanannya membuat Malaikat Penggali Kubur putuskan ucapan. Sang guru anggukkan kepala perlahan. "Gumara... Jangan kau berprasangka yang bukan-bukan padaku. Kau sudah dewasa. Dan kukira kau masih ingat pada ucapanku sebelum kau kulepas untuk mengetahui dunia luar!" 

Malaikat Penggali Kubur kancingkan mulut tidak menyahut Bayu Bajra alihkan pandangannya pada sang murid. Untuk beberapa lama guru dan murid ini saling pandang dengan mulut sama terkancing namun hati sama-sama berkata sendiri. Bayu Bajra tampak menghela napas dengan berkata sendiri dalam hati. 

"Sifatnya tidak juga berubah. Kalau dia tampak hormat, mungkin hanya karena memandang aku pernah mengajarinya ilmu. Tapi... Untuk apa hal itu kusesali? Aku sudah memutuskan untuk mengangkatnya sebagai murid. Bahkan aku juga telah memutuskan untuk memberitahukan tentang mimpiku padanya. Apa dia benar-benar telah mendapatkan apa yang ku impikan itu? Lalu mengapa dia tidak muncul menemuiku...? Aku khawatir anak ini berpijak pada jalan yang salah. Tindak-tanduknya mengungkapkan seakan kekhawatiranku tidak jauh meleset. Hem..." 

Di lain pihak, diam-diam Malaikat Penggali Kubur juga sedang membatin. "Apa dia telah tahu kalau aku telah mendapatkan Kitab Hitam? Bagaimana dia tiba-tiba bisa muncul di sini? Hem... Hari ini aku tidak bernasib baik! Bagaimanapun juga dia pasti punya prasangka buruk padaku! Sialan betul! Gara-gara perempuan itu. Tapi apa hubungannya? Dia sudah mengatakan kalau aku sudah dewasa dan berhak menentukan jalan sendiri dan masa depan!" 

"Gumara..." kata Bayu Bajra pada akhirnya setelah agak lama keduanya saling berdiam diri. "Meski kau telah kulepas, namun sesungguhnya aku tetap mengkhawatirkan dirimu. Kau tahu, siang malam aku selalu memikirkanmu. Apalagi setelah kepergianmu terakhir kali untuk membuktikan benar tidaknya apa yang pernah menjadi mimpiku. Kalau kau tak merasa keberatan, mau kau ceritakan bagaimana dengan semua yang kau lakukan selama ini...?" 

"Terima kasih kalau kau memang terus mengkhawatirkan aku, Guru! Tapi mulai saat ini kuharap kau hilangkan rasa khawatir itu! Dan lebih dari itu aku juga berterima kasih padamu. Karena ternyata mimpimu bukan hanya sekadar kembang tidur!" 

Lalu Malaikat Penggali Kubur menceritakan tentang perjalanannya hingga sampai mendapatkan Kitab Hitam. Namun tentu saja Malaikat Penggali Kubur tak bodoh untuk menceritakan semuanya dengan apa adanya. Dia sengaja menyimpan apa yang dirasa kurang baik. (Lebih jelasnya tentang perjalanan Malaikat Penggali Kubur, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Warisan Laknat) 

Bayu Bajra angguk-anggukkan kepala begitu Malaikat Penggali Kubur mengakhiri ceritanya. "Hem... Aku merasa bersyukur mendengar ceritamu. Tapi ada yang lebih penting yang hendak kukatakan padamu, Gumara!" 

Malaikat Penggali Kubur sesaat tampak terkesiap. Dadanya berdebar keras. Dadanya dibuncah dengan berbagai duga dan tanya. 

"Gumara... Kau tak usah terlalu tegang begitu rupa! Aku hanya ingin mengatakan, bahwa kau harus mensyukuri apa yang telah kau peroleh. Kitab itu bukan benda sembarangan meski aku belum melihatnya. Dan membawa benda seperti itu bukanlah hal yang enak. Karena siapa pun juga mungkin ingin memilikinya! Untuk itulah kau harus berhati-hati! Bukan saja berhati-hati menjaga barang berharga itu, namun kau harus lebih hati-hati mempergunakannya! Karena sebagian manusia ada yang berhati-hati menjaga barang berharga, namun tidak berhati-hati mempergunakannya! Kau paham maksudku bukan..." 

Malaikat Penggali Kubur anggukkan kepala. Ketegangan di wajahnya perlahan-lahan sirna. "Guru... Aku akan memperhatikan ucapanmu!" 

Bayu Bajra tersenyum lebar. Sepasang matanya kembali beralih memandang kearah mulut goa. Namun kali ini si kakek sudah tidak lagi melihat Ratu Pemikat. "Gumara... Hatiku kini sudah bisa tenang. Dan kuharap kau tidak merubah ketenangan hatiku sampai nanti aku menutup mata! Kau tahu...? Apa yang selalu kuminta adalah hidup tenang sampai akhir hayat..." 

"Hem... Ucapan-ucapannya seolah dia tahu apa sesungguhnya yang terjadi! Apa dia punya firasat aku akan mengusik ketenangannya? Apa dikira aku masih hendak merepotkan dirinya? Hem... Dia tidak tahu. Dengan membekal Kitab Hitam, aku tidak butuh lagi uluran tangannya! Kitab Hitam mampu mengatasi segalanya!" Malaikat Penggali Kubur membatin dalam hati. Lalu berujar. 

"Guru tak usah cemas dan gelisah. Sejak saat ini, muridmu tidak akan lagi mengusik ketenanganmu! Tidak akan merepotkanmu!" 

Mendengar ucapan Gumara alias Malaikat Penggali Kubur, sang guru tertawa pelan sambil gelengkan kepala. "Kau jangan salah menangkap kata-kataku, Gumara... Aku maklum. Dengan membekal kitab sakti, kau pasti tidak butuh bantuan. Tapi bukan itu maksudku. Aku akan menjadi tidak tenang kalau kau masih sembunyikan sesuatu di balik semua ceritamu tadi..." 

"Jadi Guru masih menduga aku bercerita tidak jujur?! Masih menyangka aku tidak berterus terang dengan apa yang telah kujalani?!" 

Kembali Bayu Bajra gelengkan kepala. Masih sambil tersenyum kakek ini berkata. "Gumara... Kau satu satunya muridku. Adalah tidak pada tempatnya kalau aku tidak percaya pada semua ceritamu. Tapi jangan kau berharap aku bisa menjawab apa yang baru saja kau tanyakan. Karena jawabannya ada pada dirimu sendiri..." 

Habis berkata begitu, Bayu Bajra dongakkan kepala. Dan tanpa pedulikan Malaikat Penggali Kubur yang hendak buka mulut, si kakek berkata. "Gumara... Mungkin sudah saatnya aku harus meninggalkanmu! Aku dan kau tentu masih punya sesuatu yang harus dilakukan!" Bayu Bajra putar diri. 

"Guru...! Ada sesuatu yang harus kuberitahukan padamu!" seru Malaikat Penggali Kubur menahan gerakan gurunya. Dan tanpa menunggu pertanyaan sang guru, Malaikat Penggali Kubur sudah lanjutkan ucapannya. 

"Pada purnama depan, ada satu pertemuan besar! Kuharap Guru bisa hadir!" 

Bayu Bajra berpaling. "Gumara... Sejak mengangkatmu menjadi murid, aku sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari segala hal yang ada kaitannya dengan dunia persilatan! Dan tentu belum lenyap dari ingatanmu apa yang baru kuucapkan tadi. Aku ingin hidup tenang sampai menutup mata..." 

"Tapi... Kurasa ini adalah pertemuan yang akan membuatmu lebih tenang!" 

Bayu Bajra gelengkan kepala. "Dalam sejarah rimba persilatan, tak ada sebuah pertemuan yang telah di atur lebih dahulu yang tidak berakhir dengan aliran darah! itu sudah menjadi kepastian, Gumara! Jadi jangan berharap banyak aku bisa hadir nantinya! Bahkan kalau kau mau turuti nasihatku, urungkan niatmu untuk ikut terlibat dalam pertemuan itu!" 

Malaikat Penggali Kubur pandangi gurunya berlama-lama tanpa ucapkan sepatah kata. Yang dipandangi anggukkan kepala lalu berujar. 

"Gumara... Firasatku mengatakan, kitab yang ada padamu adalah sebuah kitab sakti yang sulit dicari tandingannya. Dengan begitu, tanpa kau unjuk diri dalam pertemuan itu, kuyakin kau masih akan menjadi orang yang disegani. Apalagi kalau kau tidak salah menggunakannya!" 

Habis berkata begitu, Bayu Bajra luruskan kepala ke depan. "Muridku... Dalam keadaan seperti saat ini, siapa pun juga yang menjadi dirimu pasti ingin unjuk diri agar diakui! Tapi percayalah. Keinginan yang menggoda dan menggiurkan itu sesungguhnya awal dari sebuah malapetaka! Dan sebenarnya, hal seperti itulah yang membuatku selalu gelisah dan tidak tenang. Tapi sudahlah... Semuanya terserah padamu. Kau pasti bisa memilih mana jalan yang terbaik dan patut kau lakukan! Aku harus pergi..." 

Malaikat Penggali Kubur pandangi kelebatan gurunya dengan mulut terkancing. Namun begitu sosok Bayu Bajra lenyap, pemuda ini mendengus keras sambil hentakkan kaki kanannya. 

"Persetan dengan segala ucapannya! Kitab Hitam telah berada di tangan! Impian sudah di depan mata! Hanya manusia tolol yang lepaskan hasil setelah dicari bertahun-tahun! Dan aku bukan manusia tolol!" 

"Siapa dia?!" satu suara merdu terdengar. 

Tanpa berpaling, Malaikat Penggali Kubur tahusiapa adanya orang. Dan tanpa gerakkan kepala puladia menjawab. "Orang tua tolol yang bicara sok pintar!" 

Orang yang tadi perdengarkan suara dan bukan lain adalah Ratu Pemikat, perdengarkan tawa perlahan. "Kau akan ikuti yang dikatakannya?!" 

"Aku tak akan bisa tidur nyenyak selama Pendekar 131 keparat itu masih bisa bernapas! Aku tak akan dapat makan enak selagi manusia bermata buta Gendeng Panuntun itu masih bisa buka mulut dan berjalan di atas bumi! Aku tak akan bisa melangkah tenang sebelum amanat maut dari Liang lahat kutuntaskan! Dan lebih baik mampus daripada hidup tanpa bisa menggenggam dunia persilatan!" 

"Kitab sakti telah berada di tanganmu. Apa yang kau inginkan pasti akan berhasil! Hem... Kalau boleh tanya, jikalau semua rencanamu berhasil, apa pertama-tama yang akan kaulakukan?!" 

Malaikat Penggali Kubur tidak menjawab. Dia putar tubuh. Dipandanginya sosok bahenol di hadapannya dengan bibir tersenyum. Lalu masih tanpa buka suara, sosoknya berkelebat dengan tangan bergerak. Ratu Pemikat menjerit. Namun laksana direnggut setan, jeritannya terputus. Karena saat itu juga Malaikat Penggali Kubur telah menyambar tubuhnya dengan mulut menutup rapat ke mulut si perempuan. 


***

TUJUH
MATAHARI baru saja merangkak ketika tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak bersahut-sahutan dari tengah kawasan semak belukar yang ditumbuhi ilalang merangas tinggi dan jajaran pohon rindang. Namun ada sedikit keanehan. Suara gelakan tawa itu terdengar dari tengah kawasan semak belukar, tapi dalam sekejap, laksana disapu gelombang dahsyat, suara gelakan tawa telah jauh berada di ujung kawasan yang berbatasan dengan jalan menuju sebuah dusun. Lalu ilalang tepat di ujung kawasan tampak bergerak menyibak di dua tempat. Saat lain, muncullah dua sosok tubuh! 

Meski jelas masih dapat dikenali kalau kedua orang yang baru muncul adalah dua orang laki-laki, namun orang tidak akan dapat mengenali siapa gerangan mereka adanya. Karena dua orang laki-laki ini sama membedaki raut wajah masing-masing dengan arang hitam. Malah rambut masing-masing orang juga diberi arang sebagian hingga rambutnya yang panjang awut-awutan berwarna dua. Hitam dan sebagian putih. Dari wajah keduanya yang tampak putih hanyalah bagian kiri kanan bola mata! Keduanya mengenakan pa- kaian putih-putih. 

Orang sebelah kanan melangkah terbungkuk- bungkuk dengan tongkat di tangan kiri. Sementara orang di sebelah kiri melangkah tersaruk-saruk. Anehnya, orang di sebelah kiri ini melangkah dengan mundur! Kepalanya tengadah sedangkan kedua tangannya berputar-putar ke belakang ke depan. Sekonyong-konyong orang yang melangkah mundur hentikan gelakan tawanya. Saat bersamaan, kakinya juga terhenti. Orang yang melangkah terbungkuk-bungkuk dan memegang tongkat mendadak juga hentikan langkah. Gelakannya serta-merta diputus pula. 

Orang yang melangkah mundur gerakkan tangan kirinya lurus ke arah orang yang memegang tongkat Saat bersamaan, orang yang memegang tongkat angkat tongkatnya dan ditunjukkan lurus ke arah orang yang tadi melangkah mundur. Sepi sejenak. Namun saat lain serentak kedua orang ini sama buka mulut perdengarkan tawa terbahak-bahak dengan tangan kiri dan tongkat menunjuk pada wajah orang dihadapannya masing-masing! Lalu masih dengan terbahak-bahak keduanya teruskan langkah! 

Yang satu terbungkuk-bungkuk dengan tongkat menunjuk pada wajah orang, sementara satunya tersaruk-saruk mundur dengan tangan kiri juga menunjuk pada wajah orang. Kira-kira lima belas tombak, kedua orang aneh itu hentikan langkah masing-masing. Masih dengan tunjukkan tangan kiri ke wajah orang di hadapannya, orang yang melangkah mundur buka suara. 

"Tahu begini yang harus kuperbuat, menyesal aku ikut terlibat! Mengerti harus begini yang kuhadapi, tak mungkin aku mau menyanggupi!" 

Mendengar ucapan orang yang bernada menyesal, orang yang memegang tongkat luruskan tubuh. Dengan tongkat masih lurus menunjuk orang dia angkat bicara. "Kuperingatkan kau! Sekali lagi kau berkata menyesal, aku tak segan membuat langkahmu tinggal sejengkal!" 

Mendengar ancaman orang, orang yang tadi melangkah mundur tertawa panjang. "Inilah dunia aneh orang gila Sudah ditolong tapi masih bicara ancaman segala! Kalau tidak memandang sahabat. Sudah kemarin kemarin aku minggat!" 

"Aku tahu..." ujar orang yang memegang tongkat. "Kau tak akan meninggalkanku meski berucap begitu. Karena kau menyimpan udang di balik batu!" 

Warna putih pada sebagian mata orang yang tadi melangkah mundur tampak bergerak-gerak dan kelopak matanya mementang, pertanda jika orang ini sedang melotot angker. Mulutnya komat-kamit sejenak. Lalu terdengar suaranya keras. 

"Sialan kau! Sudah mati-matian aku berusaha membantu. Tapi nyatanya kau bicara menuduh tak menentu! Coba katakan, udang apa yang kusimpan di balik batu! Agar hati ini tidak terus dihantui perasaan ini dan itu! Kalau kau tidak dapat beri jawaban, saat ini juga aku tega meninggalkanmu sendirian!" 

Orang yang memegang tongkat putar tongkat di tangannya ke udara berputar satu kali. Terdengar suara desingan halus. Rambut orang yang tadi melangkah mundur tampak berkibar-kibar laksana diterpa angin kencang. 

"Hem... Jadi kau ingin aku membongkar apa dalam benakmu?!" Orang yang memegang tongkat tertawa dahulu sebelum meneruskan. "Apa kau nanti tidak akan merasa malu bila benar-benar kukatakan? Harap hal itu kau pikirkan!" 

"Aku bukan orang gila seperti dugaan orang terhadapmu! Kalau akhir-akhir ini aku berbuat gila-gilaan seperti ini, itu hanya karena kasihan padamu! Jadi jangan menasihati ku dengan bermacam dalih! Itu akan menambah dadaku jadi mendidih!" 

Orang yang memegang tongkat buka kelopak sepasang matanya besar-besar. Mulutnya bergerak membuka. Namun saat lain, mendadak orang ini katupkan mulut rapat-rapat. Di hadapannya, orang yang tadi melangkah mundur mendongak dengan mulut komat-kamit menggumam tak jelas. 

"Ada pencuri!" mendesis orang yang memegang tongkat. 

"Betul! Ada pencuri! Dia ada di sebelah kiri! Tidak jauh dari tempat kita berdiri! Dia sengaja sembunyikan diri. Apa sebenarnya yang dia cari?!" menyahut orang yang tadi melangkah mundur. 

"Hai! Bukan satu, tapi dua orang!" orang yang memegang tongkat kembali mendesis. Kini kepalanya ikut-ikutan tengadah. Tongkat di tangan kirinya diangkat menunjuk ke langit. 

"Walah... Betul! Dua orang! Satunya lagi ada jauh di belakang! Aku mencium wanginya aroma kembang! Pasti satunya itu orang yang selalu diibaratkan dicari oleh kumbang! Dan kalau tindakannya menyimpang, orang selalu menyebutnya jalang!" 

"Perempuan!" kata orang yang memegang tongkat. "Tidak salah!" sahut orang yang tadi melangkah mundur. "Tapi yang ada di dekat kita berbau bengkarung. Pasti dia jenis orang yang punya burung! Hik Hik Hik...! Suruh dia unjuk muka. Agar nanti tidak terjadi malapetaka! Karena kita ini utusan dari neraka. Meski kita tidak gampang jatuhkan murka!" 

Orang yang pegang tongkat hujamkan tongkat di tangannya ke tanah. Meski terlihat pelan, tapi saat itu juga sekitar tempat itu terasa bergetar! "Anak manusia! Kau telah dengar ucapan. Cepat keluar!" 

Terdengar deheman. Lalu ilalang di sebelah kiri orang bertongkat bergerak-gerak. Dan terlihatlah satu sosok tubuh muncul dari ranggasan ilalang. Orang yang tadi melangkah mundur dan orang yang pegang tongkat terus tengadahkan kepala masing-masing seolah tidak pedulikan kemunculan orang yang kini telah tegak berdiri sejarak lima langkah di samping mereka. 

"Bagus! Sebut nama, gelar, asal, serta alasan!" kata orang yang tadi melangkah mundur. 

Orang yang baru keluar dari ranggasan ilalang sesaat kerjapkan mata pandangi satu persatu orang di sampingnya dengan mulut menguncup dan mata terbeliak. Orang yang pegang tongkat angkat tongkatnya dan ditunjukkan pada orang yang baru muncul dengan kepala tetap tengadah memandang langit. 

"Nama, gelar, asal, dan alasan! Katakan cepat!" 

"Hem... Yang kalian tanyakan nama asli? Nama palsu? Nama asal-asalan?" bertanya orang yang baru muncul seraya ikut-ikutan mendongak. 

Orang yang tadi melangkah mundur balikkan tubuh. Lalu mundur mendekati orang yang memegang tongkat dengan kepala tetap tengadah. Begitu tegak terjajar, orang ini berujar. "Yang enak mana? Nama asli, nama palsu atau nama asal-asalan?!" 

Orang pemegang tongkat mendengus pelan. "Sebutkan nama asli, gelar asli, asal asli, serta alasan asli!" 

"Ah... Ah... Sayang kalau itu yang kalian tanyakan..." 

"Sayang bagaimana?!" hardik orang yang tadi melangkah mundur. "Aku tidak punya nama asli, gelar asli, asal asli, dan alasan asli! Untuk semua yang kalian tanyakan, aku hanya punya yang asal-asalan! Bagaimana?!" 

"Jangan bicara sembarangan!" membentak orang pemegang tongkat. 

"Siapa bicara sembarangan?!" sahut orang yang baru muncul. 

"Jangan berani berucap dusta!" Kali ini yang membentak orang yang tadi melangkah mundur. 

"Siapa berucap dusta?!" jawab Orang yang baru muncul. 

Orang yang tadi melangkah mundur gerakkan kepalanya sedikit ke kanan namun masih tetap dalam posisi tengadah. Lalu berbisik. "Bagaimana ini? Apa kau yakin orang di hadapan kita itu manusia betulan?! Aku khawatir kalau manusia itu manusia asal-asalan!" 

"Jangan kau bicara asal-asalan! Kuyakin dia manusia betulan!" 

"Kalau begitu, urus dia! Aku akan urus yang berbau kembang!" ujar orang yang tadi melangkah mundur. Dia cepat gerakkan kaki untuk melangkah mundur. Namun gerakannya tertahan oleh tongkat orang yang saat itu juga dilintangkan menghalangi. 

"Kita sudah sepakat. Semua urusan kita hadapi bersama-sama! Jadi jangan kau mau enak sendiri! Urusan orang dihadapan kita, kita selesaikan dahulu. Lalu baru kita beralih pada urusan satunya!" 

Orang yang tadi melangkah mundur perdengarkan suara keluhan. Lalu enak saja dia letakkan pantatnya pada tongkat orang yang menghalangi gerakan kakinya. Lalu kakinya diangkat ongkang-ongkang. Orang yang pegang tongkat seakan tidak merasa, bahkan tongkatnya sama sekali tidak bergeming meski diduduki orang sambil ongkang-ongkang. 

Orang yang pegang tongkat yang diduduki orang yang tadi melangkah mundur angkat tangan kanannya menunjuk pada orang di hadapannya. "Kau tak mau katakan nama asli, gelar asli, asal asli, dan alasan asli. Aku tanya, suaramu kedengarannya menunjukkan kau seorang laki-laki. Apa kau memang laki-laki?!" 

"Hem... Benar! Aku laki-laki asli!" 

"Dari sentuhan, aku biasanya bisa menebak. Coba kau ulurkan tanganmu!" 

Orang yang diperintah sesaat pandangi orang dengan senyum seringai. Lalu tiba-tiba terdengar suara bentakannya. "Kalian jangan menghina!" 

"Apa kau bilang? Siapa menghina?! Aku hanya ingin tahu keaslianmu dengan menyentuh tanganmu!" 

Hening beberapa saat. Lalu orang yang duduk ongkang-ongkang kaki di atas tongkat berseru memecah kebisuan. "Bagaimana menurutmu? Apa dia laki-laki asli?!" 

"Hem... Rupanya kita kali ini berhadapan dengan laki-laki tidak asli!" 

"Ucapanmu masih bernada bimbang!" 

"Bagaimana tidak bimbang. Dia masih belum ulurkan tangan!" 

"Kalian manusia-manusia gila yang tidak punya perasaan! Bagaimana aku harus ulurkan tangan?! Aku tidak memiliki tangan!" 

Kepala masing-masing orang yang wajahnya dibedaki arang tebal hitam sama-sama bergerak saling menghadap meski masih dengan mendongak. "Lalu apa kau punya kaki?!" tanya si pemegang tongkat. 

"Kedua kakiku utuh!" 

"Burungmu juga masih utuh?!" Yang ajukan tanya adalah si orang yang melangkah mundur. 

"Edan!" maki orang yang ditanya. Namun orang ini tidak tunjukkan tampang marah. Malah seraya sunggingkan senyum, dia melangkah ke arah ranggasan ilalang. Kakinya bergerak menyambar. Saat kakinya balik, pada masing-masing jepitan jari kakinya tampak sebuah ilalang. 

Orang yang pada kanan kiri kakinya menjepit ilalang yang ternyata adalah seorang pemuda berparas tampan dan memang tidak memiliki tangan alias buntung ini sekali lagi membuat gerakan. Tahu-tahu sosoknya telah berada sejarak dua langkah di hadapan kedua orang yang wajahnya dibedaki arang hitam. Bukan hanya itu saja, ternyata pemuda bertangan buntung ini kini telah tegak dengan kedua kaki di atas dan kepala di bawah! 

Si pemuda bertangan buntung gerakkan kaki kirinya. Ilalang yang ada pada jepitan kakinya diarahkan pada lobang telinga orang yang duduk di atas tongkat. 

"Sialan! Hentikan! Aku geli! Urusan belum selesai kau sudah ajak bercanda!" kata orang yang duduk di atas tongkat menduga kalau yang lakukan adalah orang yang memegang tongkat. 

"Tutup mulutmu! Siapa mengajak kau bercanda?!" ujar si pemegang tongkat. 

Pemuda bertangan buntung arahkan kaki kanannya pada si pemegang tongkat. Lalu ilalang yang ada pada Jepitan jari kaki kanannya diarahkan pada lobang telinga orang. Karena sudah agak dongkol dituduh dan juga karena tersentak kaget, si pemegang tongkat ganti memaki sambil tarik tongkatnya yang diduduki orang. 

"Sialan kau! Tua bangka masih juga main-main seperti anak-anak!" 

Karena ditarik tanpa terlebih dahulu berkata, mau tak mau orang yang duduk di atas tongkatnya terkesiap. Sosoknya meluncur jatuh ke bawah. Namun sejengkal lagi pantatnya menghantam tanah, tiba-tiba kedua kaki orang ini bergerak lurus ke depan. Saat bersamaan, sekonyong-konyong luncuran sosoknya terhenti sejengkal di atas tanah dengan kaki berselonjor ke depan! 

Saat itulah, karena sosoknya kini berada di bawah, dan kepalanya tengadah, orang ini bisa melihat apa yang dilakukan si pemuda bertangan buntung. Anehnya orang ini bukannya marah atas tindakan si pemuda, melainkan segera perdengarkan ledakan tawa keras membahana! 

"Sialan! Permainanmu tidak lucu! Mengapa kau tertawa?!" hardik orang pemegang tongkat dengan kepala masih tetap tengadah.

"Apa dunia ini sudah terbalik? Atau mataku yang salah tangkap?!" ujar orang yang tadi melangkah mundur. 

"Kau bicara apa?!" tanya orang pemegang tongkat. "Langit tetap di atas, berarti dunia tidak terbalik!" 

"Tapi aku melihat burung orang itu terbalik! Betul! Terbalik menghadap ke atas! Lain dengan punya kita berdua! Aneh... Coba kau lorotkan tubuhmu ke bawah!" 

Si pemegang tongkat turuti ucapan orang. Perlahan-lahan dia lorotkan tubuh hingga duduk menggelosoh. Tiba-tiba orang ini berseru. 

"Walah... Ucapanmu benar! Ada orang punya burung terbalik menghadap keatas!Bagus juga ya...?" 

Si pemuda bertangan buntung dan bukan lain Dewa Orok adanya, bergerak satu kali. Wuttt! Kini sosoknya telah tegak dengan kaki di bawah kepala diatas. 

"Hai... Lihat! Burungnya bisa berputar-putar!" teriak orang yang tadi melangkah mundur. 

"Ah... Bukan berputar-putar, tapi jungkir balik!" ujar si pemegang tongkat. 

"Aneh... Aneh... Aneh..." gumam orang yang tadi melangkah mundur. 

"Benar. Aneh... Aneh... Aneh..." timpal si pemegang tongkat. 

Sambil terus tengadah, kedua orang berwajah hitam ini gelengkan kepala masing-masing. 

"Hai! Mengapa kita dibuat terlena dengan burung orang yang bisa jungkir balik. Bukankah kita punya urusan?!" kata orang yang tadi melangkah mundur Secepat kilat orang ini sentakkan kedua kakinya yang selonjor di atas udara ke tanah. Kejap lain sosoknya telah tegak dengan kepala lurus ke depan. Di sampingnya, si pemegang tongkat juga gerakkan tangan kiri yang memegang tongkat. Tubuhnya terangkat tegak. Untuk beberapa saat kedua orang berwajah hitam tatapi pemuda dihadapannya dengan seksama. Di seberang depan, Dewa Orok balas memandang silih berganti pada dua orang dihadapannya. 

"Mengapa kau sembunyi-sembunyi ikuti kami?!" Tiba-tiba orang pemegang tongkat sudah keluarkan bentakan 

"Itu urusanku! Yang pasti, aku tidak mengikuti kalian! Dan yang lebih pasti lagi, aku mencari seseorang!" kata Dewa Orok. 

Kedua orang berwajah hitam saling pandang sesaat. "Siapa yang kau cari?!" tanya orang yang tadi melangkah mundur. 

"Itu urusanku! Yang pasti bukan kalian! Dan yang lebih pasti lagi, harap kalian jangan mencari masalah denganku!" 

Kedua orang berwajah hitam kembali saling pandang. Lalu sama anggukkan kepala masing-masing. Si pemegang tongkat buka mulut. 

"Hari ini kau bernasib mujur, Bocah Sontoloyo! Karena alasanmu masuk akal!" 

"Dan yang pasti, urusan kita hampir sama! Mencari seseorang!" timpal orang yang tadi melangkah mundur. "Lebih pasti lagi, bukan kau orang yang kami cari!" 

Dewa Orok bungkukkan sedikit tubuhnya membuat gerakan seperti orang menjura hormat. "Terima kasih kalian mau mengerti!Aku harus segera pergi..." 

Kedua orang berwajah hitam tidak ada yang menyahut. Mereka berdua hanya melihat pada si pemuda. Dewa Orok sunggingkan senyum, lalu anggukkan kepala dan balikkan tubuh. Namun untuk beberapa saat pemuda itu tidak juga segera pergi. 

"Kau menunggu temanmu itu?!" tanya si pemegang tongkat. 

Dewa Orok gelengkan kepala. "Boleh aku tahu, siapa orang yang kalian cari?!" 

"Itu urusan kami! Jangan banyak bertanya-tanya!" jawab si pemegang tongkat. 

Dewa Orok tidak hiraukan ucapan orang. Sekali lagi dia buka mulut bertanya. "Orang yang kalian cari dari kalangan persilatan?!" 

"Kau dengar, itu urusan kami!" hardik si pemegang tongkat. 

Lagi-lagi Dewa Orok tidak hiraukan ucapan orang yang mulai agak jengkel. Dia kembali buka mulut. "Aku dengar berita, pada purnama depan akan ada satu pertemuan besar di Kedung Ombo! Kalau orang yang kalian cari dari kalangan orang persilatan, datang sajalah kalian ke tempat yang kukatakan tadi! Siapa tahu orang yang kalian cari muncul disana!" 

Habis berkata begitu, Dewa Orok berkelebat pergi. Sementara kedua orang berwajah hitam kembali saling berpandangan. 

"Aku mengenalnya!" kata orang pemegang tongkat. 

"Aku juga!" sahut orang yang tadi melangkah mundur. 

"Sepertinya ucapan pemuda itu tidak mengada-ada!" kata si pemegang tongkat. 

"Kau terlalu banyak pertimbangan! Jujur atau tidak, yang penting kita buktikan saja nanti! Sekarang kita masih punya urusan dengan si kembang yang tadi berada agak jauh di belakang bukan?!" 

Si pemegang tongkat angkat tangan kanannya "Kau cari arah sana, aku dari arah sini!"

Belum selesai ucapan si pemegang tongkat, orang yang tadi melangkah mundur sudah berkelebat. Hingga mau tak mau membuat orang pemegang tongkat segera pula ikut berkelebat mengambil arah berlawanan sambil mengomel. 

"Dasar tua bangka tak tahu diri! Kalau urusannya dengan perempuan, sudah menyelonong pergi tanpa diperintah" 

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba dari arah ilalang meranggas muncul sosok orang yang tadi melangkah mundur. Dia melangkah mundur dengan kepala tengadah. Mulutnya komat-kamit menggumam tak jelas. Dan tak lama kemudian, dari arah mana tadi si orang yang melangkah mundur keluar, muncul sosok yang membawa tongkat. Orang ini melangkah terbungkuk-bungkuk. 

"Kita kehilangan buruan!" ujar orang yang melangkah mundur seraya hentikan langkah.

Orang yang memegang tongkat tidak sambuti ucapan orang. Dia terus melangkah terbungkuk-bungkuk. Begitu dekat dengan orang satunya, dia berhenti dan berkata. "Persetan dengan perempuan yang hilang itu! Karena aku yakin dia bukan orang yang kita cari!" 

"Setan! Bagaimana kau bisa bilang begitu?!" 

"Karena kalau memang dia,tidak mungkin dia lari! Sebab sesungguhnya bukan kita yang mencari dia, tapi aku yang dicarinya!" 

"Hem... Tapi apakah kau menduga dia akan muncul pada pertemuan purnama depan seperti ucapan pemuda bertangan buntung tadi?!" 

Si pemegang tongkat sejurus tatapi orang di hadapannya. "Kita tak perlu banyak berpraduga. Yang penting, kita buktikan saja nanti!" 

"Kalau dia tidak muncul?!" tanya orang yang tadi melangkah mundur. 

"Kau hanya akan buang-buang pikiran kalau menduga-duga sesuatu yang belum terjadi!" 

Entah merasa dongkol dengan sahutan orang, orang yang melangkah mundur kibaskan tangan kanan kirinya. Lalu berucap. 

"Tapi perlu kau ingat! Aku menemanimu berbuat gila-gilaan ini hanya sampai purnama depan. Setelah itu silakan kau berbuat gila-gilaan sendiri!" 

Mendengar ucapan orang, si pemegang tongkat enteng saja menyahut. 

"Kau rupanya lupa. Tanpa aku berbuat gila-gilaan begini, orang sudah menuduh dan menduga aku orang gila dan sinting! Dan perlu juga kau ingat! Aku juga tidak butuh tenagamu setelah purnama nanti!" 

Habis berkata begitu, si pemegang tongkat gerakkan kakinya. Sosoknya pun mulai bergerak melangkah terbungkuk-bungkuk.
Orang yang tadi melangkah mundur sesaat bergumam, namun saat lain kakinya juga bergerak mundur. Saat itu juga sosoknya tersaruk-saruk mundur berjajar dengan si pemegang tongkat. 

Namun ada sedikit keanehan, meski keduanya tampak melangkah terbungkuk-bungkuk pelan serta satunya tersaruk-saruk mundur, dalam sesaat saja sosok keduanya sudah berada jauh di depan sana. Dan tak lama kemudian, terdengar kembali suara tawa bergelak bersahut-sahutan membuncah seantero kawasan yang banyak diranggasi ilalang serta semak belukar itu! 

***

DELAPAN
AGAK Jauh dari kawasan yang ditumbuhi ranggasan di mana dirinya sempat bertemu dengan dua orang laki-laki berwajah hitam bedakan arang, Dewa Orok memperlambat larinya. Kepalanya berputar dengan mata liar memandang berkeliling. Pada satu tempat yang banyak ditumbuhi beberapa pohon besar berdaun kering, tiba-tiba pemuda bertangan buntung ini jejakkan kedua kakinya keras-keras ke atas tanah. 

Laksana terbang, sosok Dewa Orok melesat ke salah satu pohon dan tahu-tahu sosoknya telah menggelantung pada salah satu dahan di kerapatan rindang dedaunan. Kedua kakinya di atas sementara kepalanya di bawah. Orang yang tidak memperhatikan dengan seksama, pasti tidak menyangka kalau yang menggelantung itu adalah manusia adanya. Selain tubuhnya sengaja dirapatkan ke batang pohon, rimbun dedaunan membantu dari pandangan orang. Sesaat sepasang mata Dewa Orok mengerjap. Lalu terpejam rapat. 

"Hem... Sudah sejak dari kawasan berbatu tempat aku ditanam orang, aku merasakan ada seseorang yang selalu mengikutiku!Dan aku makin yakin setelah mendengar ucapan dua orang berwajah setan hitam itu. Hem... Dua orang berwajah hitam... Siapa mereka adanya? Sikap dan gerak-geriknya sepertinya mereka telah mengenaliku! Siapa yang mereka cari?

Rupanya bukan aku saja yang berjalan mencari seseorang. Lalu siapa pula yang selalu mengikuti perjalananku ini? Kedua orang berwajah hitam kudengar sebut-sebut kata perempuan. Apa memang orang dibelakangku itu perempuan? Tapi... Tak mungkin dia perempuan! Untuk apa seorang perempuan mengikutiku? Aku pemuda yang tidak utuh lagi. Tapi jangan-jangan dia..."

Dewa Orok tidak lanjutkan gumamannya. Sepasang matanya dibuka lalu memperhatikan sekeliling di bawah sana. Mendadak sepasang matanya membesar tak berkesip memandang pada satu jurusan. 

"Sekarang ketahuan siapa adanya orang yang selalu mengikutiku! Mudah-mudahan benar dugaan kedua orang berwajah setan tadi. Seorang perempuan..." desis Dewa Orok berkata pada diri sendiri. Bibirnya tersenyum. Sepasang matanya makin dibeliakkan. 

Nun jauh pada jurusan mana Dewa Orok memandang, samar-samar terlihat satu sosok tubuh melangkah perlahan-lahan. Tiba-tiba orang itu hentikan langkah. Kepalanya memandang lurus ke depan. Saat yang sama kedua kakinya membuat gerakan. Mendadak sosoknya berkelebat laksana angin. Dan belum sempat Dewa Orok dapat menduga siapa adanya orang, tepat di bawah mana dia berada tahu-tahu telah tegak seseorang.

Dewa Orok sipitkan mata. Raut wajahnya berubah seketika. Entah tanpa sadar, dari mulutnya terdengar gumaman. "Dugaan kedua orang berwajah setan keliru! Dia bukan seorang perempuan! Tapi aku harus menemuinya..." 

Sekali membuat gerakan, sosok Dewa Orok meluncur turun sambil jungkir balik satu kali. Saat mendarat si pemuda telah tegak di hadapan orang dengan kepala di atas kaki dibawah. Dewa Orok bungkukkan tubuh menjura. "Guru…" 

Orang di hadapan Dewa Orok ternyata adalah seorang laki-laki bertubuh pendek berambut hitam lebat. Mukanya bulat dengan hidung agak besar. Tangan kanannya mempermainkan dua buah batu hitam yang dilempar-lemparkan silih berganti ke udara. Orang bertubuh pendek yang dipanggil Guru oleh Dewa Orok dan tidak lain memang guru si pemuda adanya yakni orang yang dikenal dengan gelar Cucu Dewa memandang sekilas pada si murid. Dua buah batu yang dilempar lemparkan serta-merta ditangkap, lalu mulutnya dibuka. Dan enak saja dua buah batu tadi disentakkan masuk ke dalam mulutnya! 

"Aku memahami kesulitan apa yang kau alami sekarang! Dengan pindahnya dot mu ke tangan orang lain, maka semua kekuatan ilmu silatmu musnah! Kau hanya dapat kerahkan ilmu peringan tubuh!" 

Dewa Orok angkat kepalanya memandang pada Cucu Dewa dengan mulut terkancing. Namun jelas kalau raut wajahnya menggambarkan jika ucapan yang baru saja didengar adalah benar adanya. 

Cucu Dewa menghela napas dalam. "Dalam hal ini, aku tak dapat membantu banyak. Satu-satunya jalan, kau harus dapatkan dotmu kembali! Siapa orang yang mengambilnya?!" 

"Seorang perempuan cantik bergelar Ratu Pemikat..." ujar Dewa Orok dengan wajah murung. 

"Ah... Perempuan! Cantik lagi!" gumam Cucu Dewa dengan gelengkan kepala perlahan. "Bagaimana sampai perempuan itu tahu?! Kau dirayunya? Atau jangan-jangan sengaja kau gadaikan dot mu dengan imbalan tertentu!" 

Dewa Orok kini yang gelengkan kepala. "Dot itu adalah nyawaku! Tak akan kugadai walau diberi imbalan apa pun!" 

"Hem... Lalu bagaimana bisa lepas dari mulutmu?!" 

Dewa Orok lalu ceritakan bagaimana sampai bundaran karet mirip dot bayi miliknya jatuh ke tangan Ratu Pemikat. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Muslihat Sang Ratu) 

"Tidak kuduga sama sekali kalau rahasia besar tentang kitab itu begitu cepat meluas..." desis Cucu Dewa begitu mendengar penuturan sang murid. "Sialnya, dalam keadaan seperti ini, kau harus mendapat kenyataan pahit! Dotmu hilang diambil orang. Padahal kau adalah orang yang, setidaknya punya hak pada kitab itu!" 

Cucu Dewa arahkan pandangannya menerawang jauh. Lalu mulutnya kembali membuka. "Mendengar semua penuturanmu. Aku hampir yakin kalau kitab itu kini telah jatuh ketangan orang. Celaka! Benar-benar celaka!" 

Cucu Dewa alihkan pandangan pada sang murid. "Sebelum mendengar penuturanmu, aku memang menyarankan kau harus dapatkan dotmu! Tapi kini kurasa hal itu sangat berbahaya bagimu! Apalagi nyawamu diincar orang! Sebaiknya untuk sementara ini kau berlindung pada satu tempat yang aman. Dan begitu keadaan reda, kau bisa mulai menyelidik mencari kembali!" 

"Guru... Bukannya aku tidak setuju dengan saranmu. Tapi kurasa hal itu nanti akan lebih mempersulit diriku!" 

"Kau punya alasan dengan ungkapanmu?" 

"Menurut seorang sahabat, pada purnama depan, akan ada sebuah pertemuan besar di Kedung Ombo! Aku khawatir, Ratu Pemikat akan muncul di sana. Dan kalau nantinya terjadi apa-apa di sana, lalu katakanlah Ratu Pemikat tewas, apakah itu tidak akan menambah kesulitan bagiku? Beruntung kalau dia bawa dotku. Kalau dia sebelumnya menyimpan pada satu tempat dan mendahului tewas, apa yang bisa kulakukan?!" 

"Hem... Ucapanmu sepertinya memberiku gambaran akan terjadi huru-hara besar!" 

"Firasat dan hubungan beberapa kejadian akhir-akhir ini membuatku berkesimpulan demikian! Apalagi kini muncul beberapa orang yang belum pernah kukenal malah mereka sengaja tidak ingin dikenali! Sifat dan tindakannya aneh-aneh namun aku yakin mereka bukan orang yang memiliki kepandaian rendah!" 

"Lalu apakah kau ingin hadir pula di sana?!" tanya Cucu Dewa setelah agak lama keduanya saling membisu. 

"Aku terpaksa akan muncul di sana kalau sampai purnama ini Ratu Pemikat tidak berhasil kutemukan. Tapi tujuanku semata-mata hanya untuk mengambil dotku! Lain tidak!" 

"Kalau itu jalan yang kau anggap baik, terserah! Tapi bagaimanapun juga kau harus lebih berhati-hati! Hindari terlibat urusan baru dengan orang lain..." 

Ucapan terakhir Cucu Dewa mengingatkan si pemuda akan keyakinannya pada orang yang selalu mengikuti langkahnya semenjak dari kawasan di mana dia ditanam oleh Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa. Hingga Dewa Orok buru-buru melompat mendekat ke arah gurunya seraya berbisik. 

"Guru... Apakah Guru selalu mengikutiku selama ini?!" 

"Aneh... Untuk apa aku mengikutimu?!" 

"Jadi..." Dewa Orok tidak lanjutkan ucapannya. Kepalanya berputar dengan mata memandang berkeliling. 

Cucu Dewa tampak tenang-tenang saja meski melihat muridnya gelisah. Malah dengan rangkapkan kedua tangan di muka dada, orang bertubuh pendek ini berujar. "Kau mencari perempuan itu?!" 

Putaran kepala Dewa Orok seketika berhenti. "Kau tahu...?!" 

"Tidak sebanyak yang kau ketahui. Tapi mungkin cukup membuatmu tidak gelisah dan cemas!" kata Cucu Dewa seraya tersenyum. Lalu mendahului berucap sebelum Dewa Orok ajukan tanya. 

"Dia bukan orang yang ingin cari urusan denganmu! Malah kurasa dia seperti akan melindungimu! Sayang..." 

"Sayang bagaimana?!" tanya Dewa Orok cepat begitu Cucu Dewa tidak segera lanjutkan ucapannya. 

"Dia telah pergi ke jurusan sana!" Cucu Dewa luruskan tangannya menunjuk pada satu arah. 

"Bagaimana kau tahu dia tidak ingin cari urusan denganku?!" 

“Aku sempat berbincang-bincang dengannya. Sayang cuma sekejap! Tapi hal itu telah membuatku gembira..." 

"Apakah karena dia muda dan cantik? Tubuhnya bagus?!" 

"Tubuhnya bagus, benar! Kalau muda dan berparas cantik aku tidak bisa memastikan! Namun bukan itu yang membuatku gembira seperti yang tadi kukatakan. Aku gembira karena dari ucapan-ucapannya, aku merasa dia mengharap sesuatu darimu! Dari itulah mengapa dia selalu mengikutimu!" 

Dewa Orok serta-merta tertawa panjang. Cucu Dewa pandangi muridnya dengan mata mendelik. Lalu berbicara dengan suara agak keras, membuat sang murid putuskan tawanya seketika. 

"Kau jangan mengira Yang Maha Kuasa tidak melimpahkan kasih dan sayangnya pada hati seseorang untuk memberi sebentuk perasaan padamu! Kau memang cacat, namun itu bukanlah satu penghalang bagi seseorang untuk berbagi kasih denganmu, kalau Yang Maha di Atas sana telah menentukan!" 

"Tapi... Perbincangan yang hanya sekejap, belum bisa dijadikan jaminan kalau dugaanmu benar. Apalagi ini berhubungan dengan perasaan perempuan. Yang menurut orang-orang tua dahulu sulit sekali dijajaki. Tapi, itu urusan nanti. Yang sekarang ingin kuketahui, bagaimana guru bisa mengatakan tubuhnya bagus benar! Tapi muda dan berparas cantik tidak bisa memastikan!" 

"Sekujur tubuhnya dibalut pakaian putih panjang dan jelas membentuk bagus! Namun ternyata bukan hanya tubuhnya yang dibungkus, tapi seluruh wajahnya juga diberi cadar putih dan hanya menyisakan kedua matanya. Itulah yang membuatku kesulitan memastikan muda dan paras cantiknya!" 

Dewa Orok tegak dengan tubuh sedikit bergetar. "Dugaanku tidak keliru. Ternyata memang perempuan itu..." gumamnya pelan. 

"Hem... Jadi kau telah mengenalnya?!" 

"Dialah yang telah menolongku dari perbuatan Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa! Hanya aku merasa menyesal..." 

"Menyesal bagaimana?!" 

"Dia tidak mau sebutkan siapa dirinya! Bahkan dia tidak mau sebutkan nama!" 

"Itulah satu kenyataan bahwa apa yang dilakukannya tanpa pamrih! Dan kurasa sulit dicari orang seperti dia pada saat-saat seperti sekarang ini! Aku berha-rap apa yang menjadi dugaanku tidak salah..." 

Cucu Dewa tampak dongakkan kepala setelah berkata. Lalu melanjutkan. "Semula aku ingin mengajakmu. Tapi mendengar semua ucapanmu tadi, terpaksa aku harus pergi sendirian. Kalau kapan-kapan kau jumpa lagi dengan perempuan bercadar putih itu, tolong sampaikan salam hormatku padanya. Dan katakan juga, kalau tidak keberatan, aku akan memanggilnya dengan Bidadari Cadar Putih! Nama bagus, bu-kan?" 

Tanpa menunggu sambutan dari sang murid, Cucu Dewa telah berkelebat tinggalkan tempat itu dengan pandangan penuh tanda tanya dari Dewa Orok. 


***
SEMBILAN
APA yang dikatakan Cucu Dewa benar adanya. Karena laki-laki bertubuh pendek ini memang sempat jumpa dengan perempuan yang mengenakan pakaian putih dan seluruh wajahnya ditutup pula dengan cadar yang juga berwarna putih. Perempuan ini tidak lain memang orang yang menolong Dewa Orok dari tindakan Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa yang menanam tubuh pemuda bertangan buntung itu dalam tanah dengan keadaantertotok. 

Entah apa yang dirasakan si perempuan bercadar putih, namun begitu Dewa Orok sempat sebut-sebut nama Joko, ada getaran aneh di dadanya. Hingga meski ia mengatakan harus pergi setelah memberi pertolongan, namun sebenarnya dia tidak begitu saja berlalu. Dia coba mengelabui Dewa Orok dengan hentakkan kuda tunggangannya keras-keras, hingga kuda tunggangannya itu berlari kencang. Padahal sebenarnya si perempuan bercadar sendiri tidak pergi jauh dari tempat di mana tadi dia menolong Dewa Orok. 

Secara diam-diam, si perempuan bercadar putih lalu mengikuti ke mana Dewa Orok melangkah. Dan perempuan bercadar putih ini sempat terkesiap tatkala tiba-tiba mendapati Dewa Orok jumpa dengan Joko. Dadanya berdebar keras. Kalau menuruti kata hati, ingin rasanya dia tunjukkan diri. Namun ada sesuatu yang membuatnya bertahan untuk terus sembunyi meski dengan hati makin bergejolak. Selain itu, ada hal lain yang membuat dia bertahan sembunyi yakni karena saat itu ada seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan jubah merah menyala di samping Joko Sableng. 

Begitu Dewa Orok berkelebat pergi meninggalkan murid Pendeta Sinting dan perempuan muda menge- nakan jubah merah, si perempuan bercadar kembali dilanda perasaan bimbang. Malah karena tenggelam dalam kebimbangan, hampir saja Joko memergokinya kalau dia tidak keburu berkelebat. Dan untung suasana gelap menolongnya. Hingga meski Joko sempat mengejar, namun dia pada akhirnya bisa meloloskan diri dan terus mengikuti langkah Dewa Orok. 

Pada awalnya, begitu si perempuan bercadar putih bisa lolos dari kejaran Joko Sableng, sebenarnya dia ingin sekali berbalik dan mengikuti murid Pendeta Sinting. Dada perempuan ini kembali dibuncah rasa ragu dan bimbang. Namun ingat akan dirinya dan gadis muda yang ada di samping Joko, pada akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti Dewa Orok. (Tentang pertemuan Dewa Orok dengan Joko Sableng silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Sekutu Iblis)

Si perempuan bercadar putih tidak tahu mengapa dia memutuskan mengikuti langkah Dewa Orok. Dia hanya memperturutkan perasaan. Dan begitu memasuki kawasan yang banyak ditumbuhi ilalang dan ranggasan semak belukar, dia menangkap suara tawa orang bersahut-sahutan. Dia sengaja tidak teruskan langkah untuk mengikuti Dewa Orok yang terus berlari seakan mengejar suara orang yang tertawa di tengah kawasan ranggasan semak belukar. 

Lalu dia menangkap bentakan-bentakan yang memberi pertanda jika Dewa Orok telah berhadapan dengan orang yang tadi perdengarkan tawa yang bukan lain adalah dua orang laki-laki yang wajahnya diberi bedak arang hitam. Saat dia menyimak ucapan-ucapan orang dari jauh tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu dihadapan perempuan bercadar putih telah tegak seorang laki-laki bertubuh pendek yang tidak lain adalah Cucu Dewa. 

Perempuan bercadar putih sempat terkesiap dengan kemunculan Cucu Dewa. Namun karena tidak mau orang tahu apa yang sedang dilakukannya, si perempuan bercadar putih segera saja hendak berkelebat pergi tanpa bicara sepatah kata. 

"Kuharap kau tidak menaruh curiga padaku! Aku tidak akan mempersoalkan apa yang sedang kau lakukan di sini. Aku hanya kebetulan lewat..." ujar Cucu Dewa membuat gerakan si perempuan bercadar putih tertahan. 

Sepasang bola mata si perempuan bercadar putih sesaat perhatikan orang dihadapannya. Tapi sejauh ini dia belum juga perdengarkan suara hingga Cucu Dewa kembali berucap. 

"Apa kau juga sedang kebetulan lewat...?" 

Si perempuan bercadar menjawab dengan anggukkan kepala. Sementara Cucu Dewa coba pandangi si perempuan seolah ingin mengetahui siapa adanya orang. 

"Boleh aku tahu. Hendak ke mana kau?!" 

Si perempuan bercadar putih tidak segera menjawab. Dan seakan tahu apa yang ada dalam benak orang, Cucu Dewa cepat-cepat sambungi ucapannya. "Sekali lagi kau tak usah menaruh curiga! Aku bertanya semata-mata hanya ingin tahu. Barangkali kita satu arah jalan..." 

Si perempuan bercadar putih masih juga kancingkan mulut tidak perdengarkan suara. Cucu Dewa tidak tinggal diam. Dia kembali buka mulut. 

"Kau tampaknya sedang dalam keadaan bimbang. Tubuhmu disini, tapi pikiranmu berada jauh… Pandangan matamu mengatakan hal itu! Benar?!" 

Pancingan Cucu Dewa kali ini tampaknya membawa hasil. Karena si perempuan bercadar putih segera perdengarkan suara sahutan. "Kau rupanya pandai juga menebak orang dari matanya. Mau sebutkan nama?" 

Cucu Dewa tertawa perlahan. "Apalah artinya sebuah nama. Lagi pula dengan keadaanmu begitu, kau pasti juga tidak ingin untuk dikenali! Betul bukan?! Dari itulah maka percuma saja aku sebutkan nama, karena kau tidak akan perkenalkan diri!" 

Mendengar ucapan Cucu Dewa, si perempuan bercadar putih mulai perdengarkan tawa meski ditahan. "Harap maafkan. Ini kulakukan bukan karena aku tidak mau dikenali. Tapi ada sesuatu yang mengharuskan aku begini! Dan ini kulakukan bukan karena ada hubungannya dengan orang lain, tapi semata-mata berkaitan dengan diriku sendiri..." 

"Aku maklum..." ujar Cucu Dewa. "Kadang kala seseorang memang dituntut untuk melakukan sesuatu yang membuat orang merasa curiga! Hem... Sekarang apakah kau mau mengatakan hendak ke mana?!" kata Cucu Dewa mengalihkan pembicaraan. 

Entah apa yang menyebabkan si perempuan berterus terang. Yang jelas perempuan bercadar putih segera menyahut. "Sebenarnya aku tak tahu akan ke mana..." 

Cucu Dewa arahkan pandangan pada jurusan dimana terdengar suara-suara bentakan. "Kau mengikuti pemuda bertangan buntung itu?!" 

"Aku hanya menuruti perasaan..." 

"Kau mengenal pemuda itu?!" 

Si perempuan bercadar putih gelengkan kepala, membuat Cucu Dewa sedikit kerutkan dahi sebelum akhirnya berkata pula. "Apa yang dikatakan perasaanmu hingga kau mengikutinya?!" 

"Aku tak tahu. Yang jelas aku menduga dia membutuhkan orang lain..." 

"Mau ikuti saranku...?!" tanya Cucu Dewa sambil menatap ke bola mata si perempuan. Meski nada bicaranya ajukan tanya, namun laki-laki bertubuh pendek ini tidak menunggu orang jawab pertanyaannya, karena saat itu juga dia telah menjawab ucapannya sendiri. "Tinggalkan pemuda itu. Kau perlu waktu untuk berpikir lama. Jangan tanya kenapa aku mengatakan demikian. Mungkin satu hari nanti kau akan temukan jawabannya sendiri..." 

"Sepertinya kau mengenal pemuda itu!" kata perempuan bercadar putih. 

"Dari saranku tadi, kurasa tak perlu lagi aku mengatakan mengenal atau tidak pemuda itu..." Cucu Dewa tiba-tiba arahkan pandangannya pada arah mana bentakan-bentakan jauh di depan sana terdengar. Bersamaan itu mendadak bentakan-bentakan di depan sana tidak lagi terdengar. 

"Aku mencium adanya bahaya. Aku harus segera pergi..." 

Cucu Dewa berpaling. Laki-laki bertubuh pendek ini tersentak. Ternyata si perempuan bercadar putih sudah tidak ada lagi ditempatnya. 

"Muridku... Mudah-mudahan perempuan tadi adalah karunia Yang Maha Pengasih untukmu..." desis Cucu Dewa seraya mendongak memandang langit. Saat bersamaan kakinya bergerak. Sosoknya berkelebat lenyap di antara ranggasan semak belukar dan ilalang. 

***
Berlari sejarak seratus tombak dari tempatnya semula, perempuan bercadar putih berhenti. Kepalanya sejenak berpaling ke kiri kanan. Ternyata dia mendapatkan diri sudah berada di luar kawasan semak belukar dan ilalang di mana tadi dia sempat berjumpa dengan Cucu Dewa. Perempuan bercadar putih melangkah lalu duduk di bawah sebuah pohon. 

Perlahan-lahan kepalanya di sandarkan pada batangan pohon di belakangnya dengan sedikit di tengadahkan. Sepasang matanya yang merupakan satu-satunya anggota wajahnya yang terlihat tampak memandang jauh bahkan melampaui rindang dedaunan pohon di mana dia berada. 

"Apa sebenarnya yang kucari dalam perjalananku ini? Mengapa aku tidak dapat berdamai dengan hatiku? Aku tahu... Sejak jumpa pertama dahulu aku merasakan keanehan dalam diriku, tapi saat itu aku masih punya harapan, meski untuk mencapai harapan itu harus ku langkahi beberapa halangan. Aku tak tahu. Mengapa aku begitu berani ambil risiko, walau untuk itu nyawaku lah yang harus kujadikan jaminan. Ah, itu saat-saat yang berlalu!

Kini tidak mungkin lagi aku menggantungkan harapan meski beberapa halangan telah pula berlalu. Aku bukan lagi yang dulu. Dan kurasa dia pun demikian juga. Tapi mengapa aku tidak dapat melupakannya? Padahal aku tahu, semuanya akan berakhir dengan perasaan kecewa kalau kupaksakan! Aku sadar. Mungkin dia diciptakan bukan untukku. Dia seorang pemuda tampan dan punya ilmu. Namanya juga dikenal dan harum. Tak heran jika banyak gadis yang coba mendekati dan mengerumuninya..." 

Perempuan bercadar putih katupkan sepasang matanya dengan menghela napas dalam. "Gadis berjubah merah. Dia memang cantik jelita. Mereka berdua tampak serasi dan pantas berdampingan. Tapi, mungkinkah gadis berjubah merah itu tidak punya maksud apa-apa?! Dari pembicaraan orang-orang yang sempat kudengar, aku merasa ada hal besar yang hendak terjadi! Apalagi pembicaraan yang menyebut-nyebut malam purnama. Jangan-jangan gadis berjubah merah itu..." 

Tiba-tiba perempuan bercadar putih tertawa sendiri. "Masih pantaskah aku menaruh rasa cemburu pada gadis yang berada disampingnya? Tapi... Aku tidak bisa menipu diri sendiri. Sepenggal hatiku telah terbawa olehnya sejak jumpa pertama itu! Dan apa pun yang terjadi nanti, aku akan tetap meletakkan hatiku padanya meski aku sadar, dia tidak mungkin tergapai oleh tanganku. Kedua tanganku sudah terlalu lemah untuk menggapainya. Sementara banyak tangan lentik dan kuat yang melingkari dirinya!" 

Si perempuan bercadar putih kembali buka kelopak matanya. Untuk kesekian kalinya dua pasang bola mata itu menerawang jauh memandang langit. "Hem... Cinta kadang bukan harus dengan memiliki. Lebih dari itu, cinta adalah milik siapa saja. Termasuk diriku yang mungkin tidak layak lagi. Hem... Saat ini aku hampir merasa yakin kalau dia sedang menghadapi satu urusan besar!" 

Si perempuan bercadar putih terlihat angkat tangan kanannya lalu menghitung. "Purnama tinggal sembilan hari lagi. Apa sebenarnya yang akan terjadi? Aku harus..." 

Perempuan bercadar putih serentak bangkit. Sesaat dia tampak hendak berkelebat. Namun satu perasaan yang muncul tiba-tiba membuat gerakannya tertahan. la tampak bimbang. Tanpa sadar sepasang mata perempuan bercadar putih memandang berkeliling. Anehnya yang terlihat olehnya saat itu adalah kabut putih tipis yang pada saat lain mendadak membentuk sosok-sosok gadis muda berparas jelita! 

Perempuan bercadar putih kerjapkan mata berulang kali. Lalu menarik napas panjang. "Aku terlalu di hantui perasaan sendiri. Aku harus dapat menerima kenyataan. Aku tidak pantas lagi mengharapkannya, tapi aku memang tidak mengharap imbalan apa-apa!Aku hanya ingin dia tahu,kalau dihatiku masih ada sebentuk perasaan yang tak mungkin dapat kulenyapkan sampai kapan pun! Dan demi perasaan itu, aku rela berbuat apa saja..." 

Kini kebimbangan dalam pandangan dan sikap perempuan bercadar putih sirna. Dia kembali hendak berkelebat. Namun kembali dia urungkan. Bukan karena munculnya perasaan, melainkan sepasang matanya menangkap satu sosok tubuh yang berlari cepat jauh di depan sana. 

"Dalam situasi seperti saat ini, siapa pun juga perlu mendapatkan kecurigaan!" gumam perempuan bercadar putih. Tanpa menunggu lama lagi, dia segera berlari ke arah mana tadi matanya menangkap seseorang. 

Tapi pada satu tempat, si perempuan bercadar putih kehilangan jejak orang yang diikuti. Karena dia belum tahu siapa adanya orang yang diikuti, juga karena dia tidak mau diketahui, maka si perempuan tidak berani bertindak tanpa perhitungan. Dengan sigap dia segera berkelebat lalu mendekam di balik dua batu yang saling berdekatan hingga bukan saja membuat sosoknya tidak kelihatan, namun dengan leluasa dia dapat melihat apa yang ada di hadapannya dari celah batu. 

Baru saja perempuan bercadar putih mendekam sembunyi, matanya menangkap satu sosok tubuh hen- tikan larinya dan tegak tidak jauh dari batu di mana dia mendekam. Sepasang mata perempuan bercadar sesaat memperhatikan tak berkesip pada orang yang tegak dengan kepala sedikit disorongkan ke depan seakan ingin memperjelas penglihatannya. Mendadak dua bola mata perempuan bercadar putih terbeliak besar-besar saat orang yang tegak tak jauh dari tempatnya sembunyi putar diri. 

Dia adalah seorang perempuan berwajah cantik. Mengenakan pakaian biru tipis yang di bagian dadanya dibuat rendah seolah ingin menunjukkan lembah belahan payudaranya yang membusung kencang. Bibirnya merah dan tampak sunggingkan senyum. 

"Bukankah dia... Ratu Pemikat!" gumam perempuan bercadar putih. Mungkin karena tersentak kaget mengenali adanya orang yang tegak, hampir saja dari mulut di balik cadarnya menyeruak suara seruan. Untung si perempuan cepat sadar apa yang kini sedang dilakukannya. Buru-buru si perempuan bercadar putih lebih rundukkan kepala dan tubuh. 

"Aku yakin. Perempuan ini bukan orang yang berkelebat kukejar. Karena dia muncul dari arah belakangku. Kalau dia orang yang kukejar, pasti dia sekarang tahu aku berada disini! Dan rupanya dia juga sedang mengejar orang. Tentu orang yang berkelebat tadi..." 

Diam-diam perempuan bercadar putih simpulkan peristiwa yang baru saja terjadi. Baru saja si perempuan bercadar membatin, tiba-tiba satu suara terdengar. 

"Mengapa diam di situ? Kau mengejarku, bukan?!" 

Perempuan bercadar laksana sirap darahnya. Jelas kalau suara yang baru terdengar adalah suara perempuan. Dadanya mulai sesak. Dan merasa orang sudah tahu keberadaannya, dia cepat angkat kepala. Namun kepala orang ini sesaat diam laksana dipacak. Sepasang matanya membesar memperhatikan dari celah batu. 

"Astaga! Bukan dia yang bersuara!" gumam perempuan bercadar putih dalam hati. Lalu perhatikan sosok perempuan berwajah cantik berpakaian biru tipis yang bukan lain memang Ratu Pemikat adanya. 

Saat itu Ratu Pemikat tampak tidak memandang ke arah batu di mana perempuan bercadar putih mendekam. Tapi ke satu jurusan dari mana tadi suara teguran terdengar. Inilah yang membuat perempuan bercadar putih tahu kalau suara teguran bukan keluar dari mulut Ratu Pemikat dan ditujukan padanya. Melainkan justru dari orang lain dan ditujukan pada Ratu Pemikat.

Sepasang mata perempuan bercadar putih kini be- ralih ke arah mana saat itu Ratu Pemikat juga sedang memandang. Untuk kesekian kalinya bola mata si perempuan putih membelalak, malah kali ini kalau tidak segera takupkan telapak tangan ke mulut, niscaya keberadaannya akan diketahui orang! Dari celah batu, si perempuan bercadar putih melihat seseorang yang membuat dadanya berdebar keras. Malah kalau tidak ingat keberadaan dirinya, segera saja ia hendak melompat keluar dan menghambur. 

"Tak kusangka... Suaranya tadi suara perempuan. Nyatanya dia... Rupanya dia tahu sedang diikuti orang. Atau Jangan-jangan keduanya pura-pura saling kejar padahal keduanya sudah saling sepakat untuk bertemu disini...?!" 

Perempuan bercadar putih menghela napas dalam. Sepasang matanya yang tadi memandang besar-besar, kini berubah sayu. Kegembiraan yang sesaat terpancar dari matanya mendadak lenyap laksana direnggut setan. 

"Ah... Nyatanya kau telah tahu kalau kukejar..." Ratu Pemikat buka suara seraya melangkah mendekati orang yang tegak di depan sana. Seorang pemuda berwajah tampan mengenakan pakaian putih-putih dengan rambut panjang sedikit acak-acakan. Pada kepalanya melingkar satu ikat kepala yang juga berwarna putih. Pemuda ini tegak memandang pada orang yang mendatanginya dengan mulut sunggingkan senyum serta tangan kiri terangkat dan jari kelingking masuk ke lobang telinganya! 

"Ah... Dugaanku rupanya tidak meleset. Sikap dan sambutannya menandakan mereka berdua sepertinya sengaja bertemu di sini. Tapi mengapa ini bisa terjadi...? Bukankah mereka pernah..." Si perempuan bercadar putih gelengkan kepalanya perlahan dengan mata terus memandang ke depan lewat celah batu. 

"Hem... Bisa saja mereka sekarang sudah berbaikan! Dan tidak tertutup kemungkinan pula mereka sedang terlibat cinta! Ah... Kenapa aku terus dihantui hal-hal itu? Peduli dia terlibat asmara dengan siapa saja. Aku hanya ingin dia tahu, kalau aku..." 

Perempuan bercadar putih putuskan kata hatinya. Karena saat itu pemuda berpakaian putih-putih dan tidak lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng angkat bicara. Kali ini jelas kalau suaranya suara laki-laki. 

"Jauh mengejarku, pasti ada sesuatu yang hendak kau sampaikan..." 

Ratu Pemikat hentikan langkah hanya sejarak tiga tombak dari murid Pendeta Sinting. Perempuan bertubuh bahenol ini sesaat tampak sunggingkan senyum seraya geliatkan tubuh, hingga pinggulnya yang mencuat kencang dan besar terlihat menggoda. 

"Kau tentunya ingat akan pertemuan kita beberapa waktu yang lalu. Kau tahu, sampai saat ini aku tidak bisa melupakan peristiwa itu! Aku selalu teringat pada belaianmu... Sentuhan-sentuhan tanganmu yang nakal... Rengkuhan dan cumbuanmu... Aku..." 

Murid Pendeta Sinting tarik jari tangan kirinya dan lobang telinga, lalu dilintangkan ke mulut. Kepalanya berputar dengan mata liar memandang berkeliling. Ratu Pemikat tersenyum dengan sebelah mata mengerdip. 

"Kau tak usah khawatir. Di sini hanya ada kita berdua. Seperti saat kita bertemu beberapa waktu yang lalu! Kurasa kau tentu masih mengingatnya..." 

Joko tidak menyambuti ucapan Ratu Pemikat Dia tetap memandang berkeliling dengan dada berdebar. Jelas wajahnya membayangkan ketakutan. Sementara di balik batu, dada perempuan bercadar laksana meledak. Sepasang matanya serentak memejam rapat! Ucapan Ratu Pemikat laksana ledakan petir didada dan telinganya. 

Pada awalnya perempuan bercadar putih masih bisa kuasai diri mendengar ucapan Ratu Pemikat. Dia menduga itu hanya ucapan perempuan yang tindakannya sudah banyak diketahui orang kalangan rimba persilatan. Dia juga menyangka ucapan Ratu Pemikat hanya mengada-ada. Karena yang diketahuinya selama ini, antara Ratu Pemikat dan Joko Sableng ada satu ganjalan besar yang tidak mungkin begitu mudah dilenyapkan. Kalaupun ganjalan itu sudah sirna, adalah terlalu cepat bagi mereka berdua jika sampai melakukan sesuatu yang tidak senonoh! 

Tapi begitu melihat Joko tidak membantah ucapan Ratu Pemikat malah lintangkan jari di mulut pertanda jelas kalau dia tidak mau orang lain mendengar, si perempuan bercadar putih seakan tidak tahan lagi. Dia sudah hendak keluar dari balik batu. Lalu mengeluarkan apa yang ada dalam benaknya! Tapi satu perasaan tiba-tiba muncul yang membuat perempuan bercadar putih segera bisa kuasai diri meski tubuhnya masih terlihat bergetar.

"Aku tidak berhak melarangnya berbuat apa pun dan dengan perempuan mana pun. Aku sekarang bukan lagi yang dulu yang setidaknya masih punya bekal untuk berharap! Yang kumiliki sekarang tinggal sekeping hati. Hanya sekeping hati inilah yang akan kuberikan padanya tanpa aku harus berharap sesuatu meski hanya ucapan harapan..." 

Perempuan bercadar coba tabahkan hati. Lalu perlahan-lahan kelopak matanya dibuka lagi dan dengan perlahan-lahan pula diarahkan pada jurusan mana Ratu Pemikat dan murid Pendeta Sinting berdiri berhadapan. Sementara di depan sana, untuk beberapa lama Pendekar 131 memandang lekat-lekat pada Ratu Pemikat.

"Aku memang tidak lupa, pernah bersama perempuan ini pada beberapa waktu yang lalu. Tapi apakah waktu itu aku memang sempat berbuat melampaui batas terhadapnya...? Saat itu seluruh pakaianku memang terlepas. Tapi anehnya... Mengapa aku tidak bisa mengingat apa sebenarnya yang telah terjadi...? Apa karena saat itu aku begitu tenggelam...?!" Murid Pendeta Sinting gelengkan kepalanya perlahan. 

"Aku harus hati-hati dengan perempuan ini! Aku masih tidak tahu pasti apa sebenarnya yang ada dalam pikirannya! Waktu pertama kali jumpa setelah peristiwa di Pulau Biru, dia menyatakan penyesalannya. Bahkan aku lantas terlibat cumbu rayu dengannya. Saat aku tersadar, perempuan ini telah tidak ada. Herannya dia tidak menyentuh pedangku. Padahal kalau dia mau, tidak sulit baginya mengambil dan membawanya pergi. Bahkan kalau dia menginginkan nyawaku, rasanya tidak ada halangan baginya untuk berbuat semaunya..." (Tentang pertemuan Ratu Pemikat den- gan Pendekar 131, baca serial Joko Sableng dalam episode Warisan Laknat)

"Yang ku herankan, saat kujumpai lagi dia telah bergabung dengan Iblis Rangkap Jiwa dan Ni Luh Padmi. Malah dari Dewa Orok, kudengar dia juga telah mengambil dot pemuda itu! Dia juga telah tahu kalau Kitab Hitam jatuh ke tangan Malaikat Penggali Kubur...!" 

Seperti diketahui, saat Pendekar 131 menyamar sebagai pemuda berperangai perempuan dan memperkenalkan diri sebagai Lumba-lumba untuk menyelidik, murid Pendeta Sinting berjumpa dengan Ratu Pemikat, Iblis Rangkap Jiwa, serta Ni Luh Padmi di bawah Bukit Selamangleng. 

"Hemm... Aku yakin di balik tindakannya selama ini, dia punya satu maksud tertentu! Bahkan pertemuan purnama depan mungkin saja adalah rencananya. Kalau dia tahu betul jika Malaikat Penggali Kubur telah mendapatkan Kitab Hitam, jangan-jangan pertemuan nanti masih ada kaitannya dengan Malaikat Penggali Kubur. Hem..." 

"Kau memikirkan sesuatu? Atau sedang mengenang apa yang pernah kita lakukan?!" Ratu Pemikat buka suara setelah agak lama murid Pendeta Sinting hanya terlihat tercenung tanpa buka suara. 

Pendekar 131 sunggingkan senyum. "Terus terang. Aku memang tidak bisa melupakan peristiwa itu. Sayang, setelah itu kau pergi begitu saja tanpa memberi tahu. Aku berusaha mencarimu. Tapi..." 

"Aku sekarang ada dihadapanmu..." potong Ratu Pemikat dengan busungkan dada. "Kalau kau masih ingin..." Ratu Pemikat menyela dengan tertawa nyaring merdu. Lalu lanjutkan. "Kau ingin sekarang...?!" 

Tangan kanan kiri Ratu Pemikat terangkat. Lalu mulai membuka kancing pakaiannya. Joko angkat tangan kanannya sambil gerak-gerakkan ke kiri kanan. Namun Ratu Pemikat tidak pedulikan gerakan tangan Joko yang memberi isyarat agar orang tidak lanjutkan tindakannya. Malah sambil tersenyum-senyum, Ratu Pemikat melangkah satu tindak. 

Meski tangan kanannya memberi isyarat agar Ratu Pemikat tidak lanjutkan tindakannya, namun begitu perempuan ini luruhkan kembali kedua tangannya, dan di hadapannya terpampang jelas dua payudara putih kencang yang bergerak turun naik menggoda, mau tak mau membuat murid Pendeta Sinting pentangkan matabesar-besar! 

Dari celah batu di belakang sana, meski Ratu Pemikat tegak membelakangi batu, namun gerakan dan pandangan mata murid Pendeta Sinting telah cukup membuat si perempuan bercadar putih maklum apa yang ada di depan hidung Pendekar 131. 

"Dasar perempuan jalang..." desis perempuan bercadar putih seraya menarik napas panjang. Perempuan ini tabahkan hati untuk tetap arahkan pandangannya ke depan meski dadanya makin bergelora antara muak, cemburu, dan geram. 

"Ratu..." terdengar suara murid Pendeta Sinting. Kali ini suaranya terdengar agak bergetar parau. "Aku mencarimu bukan untuk mengulangi peristiwa yang lalu. Aku.. aku ingin menanyakan sesuatu padamu..." 

Ratu Pemikat tidak coba menutupi dadanya yang terbuka. Malah dia sengaja menarik napas panjang hingga dadanya tampak makin membusung. "Kau ingin bersenang-senang dahulu atau ingin aku jawab pertanyaanmu dahulu?! Atau kau ingin aku menjawab sambil kita bersenang-senang seperti dulu...?!" 

"Terus terang. Setelah pertemuan kita beberapa waktu itu, aku pergi ke satu tempat. Dan ketika aku kemarin bertemu seorang sahabat..." 

"Jangan terlalu banyak berbasa-basi! Bukankah yang hendak kau katakan masih ada hubungannya dengan sebuah kitab?!" tukas Ratu Pemikat. 

"Ah... Betul!" kata Joko dengan mimik terperanjat. 

Ratu Pemikat sesaat memperhatikan perubahan pada wajah murid Pendeta Sinting dengan bibir tersenyum. “Pandai juga kau membuat sandiwara wajah..." gumamnya dalam hati. "Kau tidak tahu. Semua yang ada dalam otakmu sudah ku bongkar saat kita jumpa dahulu! Hik Hik Hik...! Membunuhmu saat ini tidak sulit bagiku.

Tapi itu tak akan kulakukan! Dengan membunuhmu, berarti aku berhadapan langsung dengan Malaikat Penggali Kubur. Pemuda keparat itu terlalu sulit ku taklukkan! Aku ingin kau yang berhadapan dengan Malaikat Penggali Kubur. Kuyakin, kau masih mampu menghadapi Malaikat Penggali Kubur. Setelah Kitab Hitam berada di tanganmu, saat itulah kematianmu tiba..." 

Setelah diam sesaat, Ratu Pemikat lalu buka mulut. "Aku memang telah mendengar ada sebuah kitab sakti. Tapi benar tidaknya kabar itu aku tidak tahu pasti. Yang jelas, saat ini telah muncul beberapa orang yang namanya pernah disegani dalam kancah dunia persilatan! Mereka sengaja hendak mencari kitab itu atau tidak, aku juga tidak tahu banyak! Apa kau menginginkan kitab itu juga?!" 

"Kalau kau saja berpendapat tidak tahu pasti, apa gunanya aku bersusah payah?" 

"Aku juga mendengar kalau pada purnama ini akan ada satu pertemuan besar di Kedung Ombo..." 

"Hem... Akhirnya dia mengatakan juga perihal pertemuan itu..." membatin Joko. 

Ratu Pemikat masih dengan tersenyum lanjutkan ucapannya. "Aku punya firasat, pertemuan itu ada kaitannya dengan kitab sakti yang dibicarakan orang. Kalau kau ingin tahu benar tidaknya kitab itu, tidak ada salahnya kau hadir di sana purnama ini..." 

"Kau akan hadir nanti...?!" tanya Pendekar 131. 

Ratu Pemikat gelengkan kepala. "Aku sudah bosan dengan segala hal yang berkaitan dengan dunia persilatan. Pengalaman di Pulau Biru telah membuatku berhitung diri. Tapi kalau kau mengajakku, aku tidak keberatan..." 

"Seperti halnya dirimu, aku juga sudah muak dengan hal-hal yang berhubungan dengan rimba persilatan. Itu hanya akan mendatangkan malapetaka! Kalau kau berminat silakan kau datang sendiri saja. Aku tidak tertarik!" 

Masih dengan senyum Ratu Pemikat anggukkan kepala. "Ah... Kalau orang sepertimu tidak tertarik, untuk apa aku berminat?" katanya meski diam-diam dalam hati dia berkata sendiri. "Kau menutupi apa sebenarnya yang ada dalam hatimu. Aku percaya kau pasti akan datang... Kitab Hitam adalah sebagai tugasmu untuk memusnahkannya! Dan kau pasti tidak akan sia-siakan kesempatan..." 

"Seperti juga ucapanmu," kata Ratu Pemikat menyambungi ucapannya. "Hal yang berhubungan dengan rimba persilatan hanya akan mendatangkan malapetaka. Bahkan sia-siakan waktu dan nyawa. Padahal ada hal lebih menarik yang bisa diperbuat dan tidak mendatangkan malapetaka, malah mendatangkan kenikmatan. Juga tidak perlu harus menunggu sampai bulan purnama, tapi sekarang juga bisa..." 

Habis berkata, Ratu Pemikat tengadahkan kepalanya sedikit seolah ingin tunjukkan lehernya yang jenjang dan putih. Dari mulutnya terdengar suara desahan panjang.

"Pendekar 131... Apalagi yang kau tunggu? Aku telah menjawab apa yang kau tanyakan. Sekarang saatnya kita bersenang-senang seperti dulu, bukan...?" 

Murid Pendeta Sinting tergagap meski sepasang matanya tetap mementang tak berkesip. Dan pemuda dari dusun Kampung Anyar ini tersedak tatkala mendadak Ratu Pemikat telah maju dan kedua tangannya langsung melingkar ke tengkuknya! 

***

SEPULUH
SEPASANG mata dari celah batu milik perempuan bercadar putih bergerak memejam seketika. Dari mulut di balik cadar putihnya terdengar gumaman tidak jelas. Saat yang sama, kepala bercadar putih ini bergerak berpaling. Lalu terdengar desisan.

"Apa yang harus kulakukan? Membiarkan perbuatan kotor ini terus berlangsung di depan mataku? Mereka memang berhak melakukan apa saja! Tapi aku juga punya hak untuk membela perasaan!" 

Sosok perempuan bercadar putih bergetar keras. Malah perlahan-lahan orang ini terlihat hendak bergerak bangkit. Namun tiba-tiba sosoknya kembali diam dan terlihat kembali merunduk. Saat bersamaan terdengar helaan napas panjang. 

"Ah... Untuk apa kau harus perturutkan perasaan? Aku tahu perasaannya padaku! Tapi itu dahulu. Sekarang mungkin bisa saja berubah setelah tahu diriku. Lalu apakah aku harus diam dengan semua ini? Berapa lama aku selalu merindukan untuk bertemu dan membagi cerita dengannya. Aku telah berjalan jauh untuk mencarinya.

Tapi begitu kutemukan, dirinya selalu berada dengan seorang perempuan cantik! Apa memang nasibku harus begini...? Seandainya Yang Maha Tinggi memperkenankan aku untuk memilih, aku memilih buta mata! Atau haruskah kedua mataku kubuat buta sendiri? Biar sepenggal hati ini tidak terjamah perasaan kotor? Biar sepenggal hati ini tetap putih bersih?" 

Perlahan-lahan sambil terus merunduk, kedua tangan perempuan bercadar terangkat lalu menutupi kedua mata dan wajahnya yang tertutup cadar. Saat yang sama, dari sela jari-jari tangan si perempuan tampak merembes cairan bening! 

Sementara di depan sana, Ratu Pemikat tarik kedua tangannya yang melingkar di tengkuk Pendekar 131. Hingga mau tak mau kepala Joko bergerak tertarik ke depan dan tepat menumbuk dua payudara putih sang Ratu.

Meski murid Pendeta Sinting pada mulanya berusaha agar tidak tergoda, namun begitu wajahnya tepat bersentuhan dengan payudara sang Ratu, darah pemuda ini menggelegak. Wajahnya terasa panas. Tu-buhnya sedikit bergetar. 

"Aku kali ini tidak membutuhkan lagi ilmu 'Penyaluran Suara'! Tidak ada yang perlu kukorek dari mulutnya!" Diam-diam Ratu Pemikat membatin. 

Seperti diketahui, Ratu Pemikat, memiliki ilmu yang bisa membuat orang terangsang dan tenggelam dalam gejolak. Lalu orang itu akan menjawab semua pertanyaannya tanpa sadar. Hal ini pernah diperbuat Ratu Pemikat pada murid Pendeta Sinting saat mereka bertemu pertama kalinya setelah peristiwa di Pulau Biru. Merasa si pemuda mulai dilanda gejolak, Ratu Pemikat tidak sia-siakan kesempatan. Dia mulai mengge- liat dengan perdengarkan desahan. Sementara kedua tangannya terus menekankan wajah Joko ke dadanya. 

"Dasar manusia-manusia binatang! Bercinta pun tak kenal tempat dan waktu!" 

Tiba-tiba terdengar satu bentakan keras. Saat bersamaan, satu deruan keras terdengar. Dan kejap lain, satu gelombang luar biasa dahsyat menghampar! Pendekar 131 dan Ratu Pemikat sama tersentak. Kepala murid Pendeta Sinting yang masih bersentuhan dengan dada Ratu Pemikat ditarik ke belakang.

Di pihak lain, Ratu Pemikat cepat pula lepaskan lingkaran kedua tangannya di tengkuk Joko. Hampir berbarengan kedua orang ini meloncat ke belakang. Gelombang menghantam tempat kosong di mana tadi murid Pendeta Sinting dan Ratu Pemikat berpelu- kan mesra. Laksana disentak setan, kepala Ratu Pemikat berpaling. Dari mulutnya terdengar bentakan keras. 

"Keparat! Kau cari mampus berani mengganggu kesenangan orang!" 

Kedua tangan Ratu Pemikat bergerak menyentak. Gelombang angin laksana topan prahara melesat ke satu jurusan di mana terlihat satu sosok tubuh tegak berdiri dengan kedua tangan merangkap di depan dada. 

"Ha Ha Ha...! Aku bukan saja akan mengganggu kesenangan mu, Perempuan Cabul! Tapi sekaligus mencabut kesenangan mu selama-lamanya!" 

Kedua tangan orang yang baru perdengarkan tawa dan suara bergerak. Satu gelombang kembali menghampar memangkas gelombang yang melesat dari Ratu Pemikat. 

Bummm! 

Terdengar ledakan keras. Tempat itu sesaat berguncang. Sosok Ratu Pemikat tampak bergoyang-goyang. Namun kejap lain terdiam setelah perempuan ini kerahkan tenaga dalam untuk kuasai diri. Sementara di depan sana, sosok orang yang baru saja memangkas pukulan Ratu Pemikat tetap diam tak bergeming. Malah kedua tangannya kini kembali merangkap di depan dada. 

Murid Pendeta Sinting sesaat tidak angkat kepalanya. Dadanya disesaki berbagai perasaan. Malu, khawatir, dan gelisah. Wajahnya tampak merah padam. Dia coba menduga-duga siapa adanya orang. Karena hatinya membisikkan kalau dia pernah mendengar suara orang. Itulah yang menyebabkan dia belum berani memandang siapa adanya orang. 

Sementara Ratu Pemikat segera beliakkan mata memandang tajam pada orang diseberang. Mendadak raut wajah Ratu Pemikat berubah. Mulutnya bergetar. Malah kalau tidak jaga diri, niscaya kakinya akan bergerak tersurut! Orang di seberang kembali perdengarkan tawa. Lalu berkata. 

"Ratu Pemikat! Matamu masih mengenaliku bukan?!" Tanpa menunggu jawaban, orang ini sentakkan kepalanya ke arah Pendekar 131 Joko Sableng. "Pendekar 131! Mengapa masih malu-malu? Angkat batok kepalamu. Lihat siapa yang datang hendak mencabut selembar nyawamu?!" 

Walau dengan muka masih merah padam, namun mendengar ucapan orang, dada pemuda ini mulai panas. Dia angkat kepalanya. Dari tempatnya tegak, murid Pendeta Sinting melihat satu sosok tubuh yang tidak dapat dikenali wajahnya karena wajah orang ini tertutup kain cadar berwarna hitam. Orang ini juga mengenakan jubah panjang hitam sebatas lutut. Rambutnya berwarna pirang keemasan bergerai menutupi sebagian pundak dan kain cadarnya. 

"Dewi Siluman!" desis Joko dengan mata terpentang besar. 

Kalau Ratu Pemikat dan murid Pendeta Sinting tersentak kaget, perempuan bercadar putih yang segera saja turunkan tangannya dari wajah begitu terdengar bentakan orang, tak kalah kagetnya. Sepasang matanya yang basah dan sembab sesaat tampak mengerjap beberapa kali. Lalu memandang tajam kedepan. 

"Dewi Siluman!" gumamnya mengenali siapa adanya orang yang berjubah panjang hitam dan mengenakan cadar yang juga berwarna hitam. "Bagaimana dia bisa tiba-tiba muncul di sini? Bukankah selama ini kabar beritanya tidak terdengar lagi? Ah... Agaknya keadaan akan gawat! Mudah-mudahan Joko segera dapat memutuskan pilihan apa yang terbaik harus dilakukan..." Si perempuan berca-dar putih berkata pelan. Dia lalu makin rundukkan tubuh hingga sejajar dengan tanah. Namun sepasang matanya lebih seksama memperhatikan. 

Orang berjubah panjang hitam dan bercadar hitam yang bukan lain memang Dewi Siluman, untuk kesekian kalinya tertawa panjang. Namun kali ini tiba-tiba tawanya mendadak diputus. Kepalanya bergerak silih berganti menghadap Ratu Pemikat dan murid Pendeta Sinting yang masih sama tegak dengan mulut terkancing. 

"Kau, Perempuan Cabul! Dan kau, Pendekar Jalang! Kalian kuberi kesempatan untuk lanjutkan permainan! Tapi ingat! Ini permainan terakhir kalian berdua! Setelah itu kalian berdua harus suka rela serahkan nyawa masing-masing!" 

Ratu Pemikat angkat kedua tangannya kancingkan pakaiannya yang terbuka. Dia sempat melirik sesaat pada murid Pendeta Sinting. Lalu memandang dingin pada Dewi Siluman. 

"Kuperingatkan kau!" ujar Ratu Pemikat sambil luruskan tangan menunjuk pada Dewi Siluman. "Jaga mulut usilmu! Dan cepat menyingkir dari sini!" 

Dewi Siluman tertawa lagi. "Kau malu permainanmu dilihat orang? Dasar manusia-manusia binatang! Buka mata kalian besar-besar! Sudah sejak tadi permainan kalian dilihat orang! Karena kalian sudah tenggelam dalam nafsu kotor, kalian pasti tidak merasa! Ha Ha Ha!” 

Baik Ratu Pemikat maupun Pendekar 131 serentak sama putar kepala berkeliling. Kalau Ratu Pemikat tidak tampakkan wajah berubah, tidak demikian halnya dengan Joko. Dada pemuda ini makin tidak enak. Rasa gelisah makin melanda. Dia khawatir kalau orang yang dimaksud Dewi Siluman adalah orang yang telah dikenalnya. Namun murid Pendeta Sinting agak lega tatkala sepasang matanya tidak melihat orang lain di tempat itu. 

Tapi rasa lega Joko tidak lama. Dewi Siluman arahkan kepala pada sebuah batu yang saling bersebelahan. Dia sesaat tidak buka mulut. Ratu Pemikat dan murid Pendeta Sinting sama-sama gerakkan kepala ke arah mana kepala Dewi Siluman kini menghadap. Dada Joko makin berdebar ketika Dewi Siluman perdengarkan suara. 

"Orang di balik batu! Mengapa kau malu perlihatkan diri?! Padahal kau tidak malu mengintip orang?!" 

Semua orang di situ mendengar suara orang bergumam. Joko makin pentangkan mata. Sementara Ratu Pemikat memandang dengan sinis. 

"Apa kau ingin aku memaksamu tunjukkan tampang?!" Dewi Siluman membentak ketika orang di balik batu hanya perdengarkan gumaman tanpa unjuk diri. 

Dewi Siluman buka rangkapan kedua tangannya. Namun belum sampai bergerak lebih jauh, dari balik batu perlahan-lahan terlihat orang bangkit berdiri dengan tubuh memunggungi ke arah semua orang yang kini memandang kearahnya. Murid Pendeta Sinting sesaat tengadah menduga duga siapa adanya orang yang mengenakan pakaian putih panjang dan tegak memunggungi di antara dua batu itu. Sementara Ratu Pemikat hanya memandang sekilas. Bibir perempuan bertubuh bahenol ini menyeringai. 

"Jahanam! Dia mencuri dengar pembicaraanku! Dia juga telah berlaku kurang ajar sengaja mengintipku!" Dada Ratu Pemikat dilanda perasaan geram. Mulutnya seketika membuka.

"Tunjukkan tampangmu! Katakan siapa kau?!" 

Dewi Siluman perdengarkan tawa pendek mendengar bentakan Ratu Pemikat. Lalu arahkan kepala pada Ratu Pemikat. "Soal siapa dia, itu urusan nanti! Itu pun kalau mungkin!" 

Tanpa palingkan muka menghadap Dewi Siluman, Ratu Pemikat berkata. "Siluman geblek! Giliranmu akan tiba! Sekarang biar kuselesaikan perempuan keparat itu!" 

"Siapa perempuan berpakaian putih itu? Apa dia mengenaliku...? Ah... Mengapa urusannya jadi begini tidak karuan?! Kalau dia memang kukenal, dan memang sudah sejak tadi berada di situ. Waduh, celaka" Diam-diam murid Pendeta Sinting terus berkata pada dirinya sendiri. Dia tidak tahu apa yang sekarang harus dilakukan. Hingga untuk beberapa lama dia hanya tegak termangu! 

Di lain pihak, seolah tidak sabar melihat orang masih juga tidak mau balikkan tubuh tunjukkan muka, Ratu Pemikat bergerak melompat. Namun Dewi Siluman tidak tinggal diam. Sebelum Ratu Pemikat sempat bergerak. Dia sentakkan tangan kirinya, membuat gerakan Ratu Pemikat tertahan oleh gelombang yang menderu dan menghampar di depannya 

“Perempuan cabul! Aku tidak akan tunggu giliran! Dia hanya perempuan tukang intip tidak berguna!" 

Sebenarnya Ratu Pemikat hendak alihkan perhatian Dewi Siluman pada murid Pendeta Sinting dan dia hendak menghadapi orang berpakaian putih panjang. Karena perempuan berwajah cantik ini maklum siapa adanya Dewi Siluman. Dan sesungguhnya pada awalnya Ratu Pemikat merasa sedikit kecut dengan kemunculan Dewi Siluman.

Namun karena di sampingnya ada murid Pendeta Sinting dan yakin kalau Joko tidak akan diam kalau Dewi Siluman berbuat yang tidak-tidak, maka perlahan-lahan rasa kecut Ratu Pemikat sirna. Bahkan kini dia merasa yakin. Hingga begitu mendengar ucapan Dewi Siluman, Ratu Pemikat berpaling. 

"Apa maumu sekarang?!" 

"Aku masih memberimu waktu untuk bermain- main terakhir kalinya dengan Pendekar Jalang itu! Hik Hik Hik...! Aku ingin lihat bagaimana permainan kalian!" 

"Ratu Pemikat..." Sebaiknya kita hindari pertumpahan darah! Untuk memecah perhatiannya, kau pergilah ke utara, dan aku akan ke selatan!" bisik Joko. 

"Tapi ucapan perempuan itu tak bisa didiamkan!" 

"Untuk apa pedulikan ucapan orang? Bukankah kau masih punya urusan lain?!" 

Dahi Ratu Pemikat berkerut. Dia berpaling memandang murid Pendeta Sinting dengan berbagai dugaan. "Heran. Kau sepertinya tahu lebih banyak tentang diriku daripada aku! Coba katakan apa urusan lain yang katamu masih kupunya?!" 

"Ah. Kau salah duga. Kau pasti lebih banyak tahu tentang dirimu daripada aku. Jadi bagaimana mungkin aku bisa katakan urusan apa itu! Bagaimana? Kau ke utara aku ke selatan! Cepat, jangan terlalu dipikir panjang!" 

"Mungkinkah dia tahu? Atau ucapannya hanya kebetulan? Ah... Peduli setan! Tapi ucapannya memang ada benarnya. Aku harus menghindar. Urusan besar masih belum selesai!" membatin Ratu Pemikat. Lalu kerdipkan mata memberi isyarat. 

Namun di depan sana, Dewi Siluman rupanya dapat menangkap apa yang hendak dilakukan Ratu Pemikat dan Pendekar 131. Hingga bersamaan dengan kerdipan mata Ratu Pemikat dan sebelum keduanya bergerak, Dewi Siluman telah berkelebat dan tahu-tahu telah tegak menghadang jalan Ratu Pemikat dengan tangan merangkap di depan dada. 

"Kalian tidak mau menggunakan waktu yang kuberikan? Apa kalian tidak menyesal karena permainan terakhir kalian terpenggal di tengah jalan?! Atau barangkali kalian hendak cari tempat yang berpemandangan indah? Coba katakan di mana?! Aku akan sabar menanti! Hik Hik Hik...!" 

Bukan hanya sampai di situ, kalau tadi Dewi Siluman sempat membentak pada orang berpakaian putih panjang di dekat batu, kini Dewi Siluman arahkan kepala pada perempuan berpakaian putih itu yang masih tegak memunggungi dan berkata. 

"Perempuan berpakaian putih di dekat batu! Bagaimana dengan kau? Apakah kau masih juga ingin melihat bagaimana permainan terakhir manusia-manusia ini?! Mereka tampaknya ingin mencari tempat lain yang indah! Apa kau ikut serta?!" 

Perempuan yang diajak bicara perlahan-lahan bergerak putar tubuh. Kini murid Pendeta Sinting bisa bernapas lega meski wajahnya tetap merah padam. Karena dia yakin betul baru pertama kali ini berjumpa dengan orang yang kini telah hadapkan wajah ke arahnya. Namun begitu masih ada pertanyaan yang belum juga bisa dijawab sendiri, dan malah membuatnya curiga. 

"Hemm... Perempuan berbaju putih itu juga sembu-lnyikan wajah di balik cadar! Jangan-jangan dia teman Dewi Siluman!" 

Perempuan bercadar putih sesaat hadapkan wajahnya lurus ke arah murid Pendeta Sinting. "Aku melihatnya dalam keadaan bimbang. Dia tidak dapat memutuskan apa yang harus diperbuat untuk lepas dari urusan ini! Padahal aku tahu pasti, urusan di depan sana begitu penting baginya! Hem..." 

"Dewi Siluman!" Perempuan bercadar putih perdengarkan suara. "Kau memberiku undangan bagus! Sayang, aku tidak punya kesempatan lagi. Dan harap kau ketahui, aku bukannya tukang intip! Aku telah berada di sini sebelum mereka muncul..." 

Cadar hitam Dewi Siluman tampak bergerak-gerak. Perempuan yang pernah terlibat bentrok dengan peristiwa di Pulau Biru ini sesaat terkejut mendapati orang mengenali dirinya. "Hem... Dia tahu namaku. Berarti setidaknya dia orang yang kukenal! Tapi rasanya... aku belum pernah bertemu dengannya!" 

"Rupanya kau telah mengenalku!" kata Dewi Siluman dengan suara agak garang. "Katakan siapa kau?!" 

Perempuan bercadar putih gerakkan kepala menggeleng. "Aku tidak ingin melihat orang terkejut. Lagi pula di antara kita tidak ada hubungan atau silang sengketa apa-apa. Jadi bukankah lebih baik kau tidak mengenaliku...?" 

"Baik! Aku tak akan memaksa tahu siapa kau adanya! Tapi ingat! Jangan kau berani melangkah dari tempatmu!" 

Habis berkata begitu, Dewi Siluman berpaling lagi ke arah Ratu Pemikat dan murid Pendeta Sinting. "Kalian telah sia-siakan tawaranku! Dengar. Tawaranku ku ubah jadi perintah!" bentak Dewi Siluman. 

Kepalanya kini menghadap ke arah Pendekar 131. "Pendekar 1311 Serahkan Pedang Tumpul 131 sebagai ganti nyawamu! Serahkan juga kedua kitab di tanganmu sebagai tebusan jiwa perempuan sundal mu itu!" 

Meski hatinya panas mendengar ucapan Dewi Siluman, namun karena tidak ingin membuat keributan dan urusan baru, murid Pendeta Sinting menekan gejolak hatinya. Malah dia buru-buru berseru ketika dilihatnya Ratu Pemikat angkat kedua tangannya hendak lepaskan pukulan. 

"Tahan! Tidak seharusnya urusan kecil ini diselesaikan dengan saling pukul" 

"Bagus!" ujar Dewi Siluman sambil tertawa panjang. "Ternyata kau seorang pendekar yang tahu harkat perempuan, meski perempuan cabul!" Kepala Dewi Siluman bergerak menghadap Ratu Pemikat. "Kau perempuan beruntung! Pendekarmu rela menebus jiwamu dengan barang yang ku kehendaki!" 

Kepala Dewi Siluman kini tengadah. Rangkapan kedua tangannya dibuka lalu sama diulurkan ke depan membuat sikap meminta. "Berikan tebusan itu!" 

Murid Pendeta Sinting dan Ratu Pemikat saling pandang. Sebenarnya Ratu Pemikat sudah tidak sabaran dan ingin menggebuk perempuan bercadar dan berjubah hitam di depannya itu. Namun Joko gelengkan kepala hingga perempuan berparas cantik itu mau tak mau tahan niatnya. Pendekar 131 kedipkan mata memberi isyarat pada Ratu Pemikat. Sesaat Ratu Pemikat terlihat ragu-ragu, namun begitu melihat Joko anggukkan kepala, Ratu Pemikat berkelebat. Saat yang sama, murid Pendeta Sinting juga gerakkan tubuh berkelebat. 

Namun sebelum kedua orang ini benar-benar berkelebat, satu sosok tubuh mendahului berkelebat laksana angin. Dan saat itu juga satu gelombang dahsyat menghampar. Orang yang berkelebat mendahului gerakan Ratu Pemikat dan Pendekar 131 bukanlah Dewi Siluman meski jelas pukulan yang dilancarkannya melesat deras ke arah murid Pendeta Sinting...! 

S E L E S A I
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar