Rahasia Kunci Wasiat Bagian 01

Pada bulan kedelapan permulaan musim rontok air sungai Liang Kiang mengalir dengan perlahannya memenuhi danau Tiang Pek Auw di pinggiran dusun Tan Kwee Cung.

Malam hari semakin larut cuma terlihat bayangan rembulan memancarkan sinarnya di tengah kejernihan air telaga.

Pohon pohon Kwi Ci yang tumbuh di tepi telaga secara samar-samar menyebarkan bau harum yang semerbak….

Tiba-tiba suasana yang amat sunyi senyap itu dipecahkan oleh suara air yang memecahkan kesamping, tampak sebuah perahu dengan amat perlahannya berlayar dari arah sebelah timur.

Pada ujung perahu duduklah seorang lelaki tua yang memakai pakaian singsat dengan mengenakan sebuah topi yang terbuat dari bulu di atas kepalanya, di samping lelaki tua itu duduklah seorang perempuan cantik yang kira-kira berusia empat puluh tahunan memangku seorang bocah cilik yang baru berusia sebelas tahunan.

Angin malam yang amat dingin berhembus tak henti hentinya membuat keadaan terasa membeku, terlihatlah perempuan berusia pertengahan itu segera membuka mantel yang dikenakannya kemudian diselimutkan ke atas badannya bocah tersebut, jelas sekali kecintaan sang ibu kepada anak jauh mengalahkan segalanya.

Dengan perlahan kakek tua itu mengambil cawan air teh di atas sebuah meja kemudian meneguknya satu tegukan, lantas ujarnya kepada perempuan itu.

“Leng jie apa sudah tertidur?”“Ehmm… sudah!”Sahut perempuan cantik itu tersenyum kemudian tundukkan kepalanya memandang sekejap ke arah bocah yang sudah tertidur pulas di dalam pangkuannya Dengan perlahan si orang tua itu bangkit berdiri sambil mendongakkan kepalanya memandang sang rembulan yang memancarkan sinar terang jauh di tengah awang-awang dia menghela napas panjang.

“Heeeey…. sia-sia saja jasaku yang aku perbuat bagi negara selama tiga puluh tahun ini.

Suaranya berat dan amat sedih, secara samar-samar memperlihatkan keperihan hati dari seorang enghiong yang baru saja menemui kekecewaan.

“Eeeei malam sudah larut mari kita pulang saja!”potong perempuan berusia pertengahan itu sambil tersenyum, “nanti Ling jie akan kedinginan dan masuk angin….

“Si orang tua itu segera mengangguk, baru saja dia orang mau memerintahkan si tukang perahu untuk putar perahunya kembali tiba-tiba dari arah depan muncul sebuah perahu besar yang amat terang benderang berlayar dengan lajunya ke arah perahu mereka.

Agaknya perahu besar itu sudah kehilangan kemudinya, dengan mengikuti tiupan angin ia bergerak maju terus menubruk ke arah perahu yang ditumpangi sang kakek tua beserta anak istrinya itu.

Tukang perahu di atas perahu kecil itu agaknya adalah seorang yang berpengalaman luas, tanpa menanti perintah dari majikannya dia segera membanting kemudinya menghindar ke arah samping.

Sedangkan tukang perahu lainnya dengan terburu buru lari ke ujung perahu sambil goyang goyangkan tangannya membentak keras, “Hey kawan, matamu sudah kau taruh dimana??…”Walaupun dia sudah berteriak berulang kali suasana masih tetap sunyi senyap, tak terdengar suara balasan dari atas perahu besar tersebut.

Si tukang perahu itu menjadi cemas hatinya dengan cepat dia goyangkan galanya menutul ke arah perahu besar itu.

Waktu itu angin yang bertiup di tengah telaga sudah amat lemah sekali, begitu sang perahu besar terkena tutulan gala posisinya segera terpukul nyaring kesamping, pada saat yang bersamaan pula kedua perahu itu sudah saling berpapasan di samping.

Selama ini sang kakek tua itu masih tetap menggendong sepasang tangannya berdiri tenang terhadap peristiwa mengerikan yang baru saja akan terjadi dia orang sama sekali tidak tergentar hatinya air mukanya tetap tenang bagaikan jernihnya air telaga.

Silaki kasar yang melihat hampir-hampir saja perahu besar itu mau menubruk perahu yang ditumpanginya tak tertahan lagi segera berteriak kembali, “Hey! Masih adakah manusia yang hidup disana?”Biar dia sudah memaki dengan kata kata apapun dari atas perahu besar itu tetap tak terdengar suara sahutan.

Luas telaga Tiang Pek Auw ada ratusan hektar, di sekelilingnya penuh ditumbuhi alangalang yang lebat karena tutulan galah tadi yang membuat posisi perahu besar itu menjadi miring membuat perahu tersebut kini terjerumus ke dalam tumbuhan alang alang yang lebat.

Si orang tua yang selama ini berdiri di ujung perahu tanpa mengucapkan sepatah katapun ketika melihat tak terdengar adanya suara sahutan dari dalam perahu tak terasa hatinya merasa curiga juga, pikirnya, “Eeeh jika dari situasi perahu tersebut agaknya tidak ada orang yang mengemudikan apakah di atas perahu itu memangnya tak berpenghuni?”Tetapi jika dilihat dari suasana yang terang benderang jelas sekali ada manusia yang berdiam di dalam perahu itu, hatinya terasa semakin heran lagi… “Cepat geserkan perahu kita kesamping perahu besar itu!”perintahnya kepada si tukang perahu.

Agaknya si perempuan berusia pertengahan itu bermaksud hendak mencegah tapi akhirnya dia membatalkan kembali niatnya tersebut.

Si tukang perahu segera putar kemudi menggerakkan perahunya mendekati perahu besar yang sudah terjerumus ke dalam tumbuhan alang-alang itu dan akhirnya berhenti tepat di samping perahu tersebut.

Dengan perasaan penuh tanda tanya si orang tua itu memandang ke arah perahu yang terang benderang tersebut. Dia agak rahu ragu lalu berpikir pula beberapa waktu lamanya, akhirnya kepada si tukang perahu yang berdiri di ujung perahu perahu perintahnya, “Perahu ini sedikit mencurigakan coba kau naik ke atas perahu untuk lihatlihat sebentar!”Si tukang perahu segera bungkukkan badannya memberi hormat dan berlalu untuk melaksanakan perintah tersebut.

Sesudah meletakkan galahnya kesamping perahu dia mulai memanjat naik ke atas perahu misterius itu.

Si orang tua dengan menggendong tangan tetap berdiri di ujung perahu memandang sang rembulan yang ada di atas awang-awang, air mukanya sedikitpun tidak berubah.

Mendadak… suatu jeritan yang amat keras bergema dari atas perahu misterius itu disusul tubuh sang tukang perahu dengan terhuyung huyung berlari keluar dan meloncat ke tengah telaga.

Orang tua berjubah lebar itu mengerutkan alisnya, ujung bajunya dikebut dengan cepat meloncat naik ke atas perahu.

Si bocah cilik yang sedang tertidur dengan amat nyenyaknya di dalam pelukan perempuan berusia pertengahan itupun segera dibuat sadar kembali oleh jeritan yang amat keras tadi, dia segera bangkit berdiri dari pelukan ibunya.

Saat itu orang tua berjubah lebar tersebut sudah berada di atas perahu, dengan langkah perlahan dia mulai berjalan menuju ke dalam bilik.

Angin malam yang bertiup sepoi-sepoi secara samar-samar disertai bau amis darah yang memuakkan.

Dia segera menghentikan langkahnya.

“Adakah orang disana?”tanyanya dengan suara berat.

Sinar matanya yang amat tajam dengan perlahan berputar memandang keadaan di sekeliling tempat itu, mendadak pandangannya tertunduk dengan sebuah gagang pedang berwarna kuning yang bergoyang tertiup angin, ujung pedang tersebut sudah menancap di atas dada seorang berpakaian perlente sehingga tembus sampai dadanya! keadaannya sangat mengerikan sekali.

Di bawah sorotan sinar lilin yang bergoyang tertiup angin tampaklah orang berpakaian perlente itu bukan lain adalah seorang pemuda yang usianya masih amat muda sekali.

Wajahnya yang pucat pasi sukar untuk menutupi ketampanan mukanya yang menarik itu.

Dengan perlahan si orang tua itu menghela napas panjang kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke dalam bilik.

Di tengah sebuah ruangan perahu yang mewah sekali tampaklah suatu pemandangan yang sangat mengerikan, meja kursi berantakan darah segar berceceran memenuhi seluruh lantai. Tidak jauh di depan pintu ruangan itu terlentanglah mayat seorang lelaki berusia pertengahan yang batok kepalanya sudah hancur remuk.

Sekali lagi si orang tua itu menghela napas panjang gumamnya, “Sungguh menyeramkan pemandangan disini!”Pandangan matanya dengan perlahan berputar kembali, tidak jauh dari sebuah jendela yang terbentang lebar berdirilah seorang lelaki berjubah hitam yang kesepuluh jarinya dengan kencang-kencang tertancap ke dalam dinding papan.

Di dalam sekali pandang kelihatannya dia sedang memegang dinding tetapi sesudah dipandang lebih teliti lagi barulah diketahui kalau orang itu sudah lama binasa, badannya kaku cuma saja badannya tidak sampai rubuh karena kesepuluh jarinya dengan kencang terpantek di atas dinding.

Pada seluruh tubuh orang ini tidak terlihat tanda-tanda terluka, cuma saja dari hidung serta mulutnya mengeluarkan darah kental tak putus-putusnya.

Di bawah sorotan sinar lampu lilin terang benderang, tampaklah keadaan dari ketiga sosok mayat itu amat menyeramkan sekali membuat suasana begitu menakutkan… membuat hati bergidik bulu roma… pada berdiri.

Angin malam bertiup dengan perlahannya membawa hawa yang amat dingin serasa menusuk tulang walaupun nyali kakek tua itu amat besar tak urung merasa bergidik juga melihat suasana disana, dia menggelengkan kepalanya kemudian menghela napas panjang dengan perlahan mulai berjalan mengundurkan diri dari dalam ruangan.

Sekonyong-konyong dari pojokan ruangan perahu itu berkumandang suara rintihan yang amat lemah sekali.

Walaupun suar rintihan itu amat lemah tetapi di dalam pendengaran orang tua itu serasa guntur yang membelah bumi, saking terperanjatnya dia menghentikan badannya dan berdiri mematung beberapa saat lamanya disana.

Dengan perlahan dia putar badannya memandang ke seluruh ruangan dengan pandangan tajam dia berusaha mencari tahu dari mana suara rintihan tadi berasal.

Terasa olehnya keadaan dari ketiga sosok mayat itu semakin dilihat semakin menyeramkan. Tak tertahan lagi seluruh bulu kuduknya pada berdiri, baru saja dia hendak meninggalkan tempat itu. Sekali lagi suara rintihan tersebut berkumandang datang.

Si orang tua menjadi agak ragu-ragu, sebentar alisnya dikerutkan rapat-rapat lama sekali dia berdiri tertegun gumamnya kemudian, “Orang yang menanti saat sekaratnya ada di depan mataku. Bagaimana Loohu begitu tega tidak turun tangan memberi pertolongan??? Dia mengebutkan ujung jubahnya dan berjalan kembali ke dalam ruangan perahu itu.

Terlihatnya di tempat kegelapan dari pojok ruangan perahu itu tergeletak tubuh wanita berbaju biru, rambutnya yang panjang terurai awut-awutan dan seluruh tubuhnya bermandikan darah kini dia orang sudah setengah sekarat bersandar pada dinding papan itu.

“Melihat keadaan yang amat mengerikan itu tak terasa lagi perasaanku iba memenuhi hati si orang tua dia segera berlari keluar ruangan memanggil kedua orang tukang perahunya untuk membantu menggotong perempuan yang luka parah itu keluar dari ruangan.

Di bawah sorotan sinar lilin terlihatlah wajahnya amat pucat pasi. Sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat sedang perahu bajunya sudah basah kuyup oleh ceceran darah segar.

Tiba-tiba dia mulai menggerak-gerakkan kelopak matanya sedikit bergoyang disertai suara rintihan yang amat berat… Pada waktu tubuhnya sedikit berputar itulah tangannya secara tidak sengaja sudah menyamplok lampu minyak yang ada di pinggirnya.

Lengan yang sebenarnya sudah penuh dengan luka karena gerakannya yang memaksa ini membuat mulut luka mereka kembali, darah segar dengan derasnya mengucur keluar… Dengan menggigit kencang bibirnya dia paksakan diri menahan perasaan sakit yang amat sangat itu perlahan-lahan dia pejamkan matanya cuma peluh dengan derasnya mengucur keluar membasahi wajahnya yang pucat pasi itu.

Baru saja kedua orang tukang perahu itu berhasil menggotong tubuh si perempuan luka itu ke dalam perahu mereka. Mendadak dari dalam ruangan perahu besar itu mengepul asap yang amat tebal disertai jilatan api yang berkobar-kobar membakar seluruh barang yang ditemuinya, dengan adanya angin malam yang mulai memancar. Seperti mulai menjalan keseluruh tempat di dalam sekejap saja perahu besar itu sudah tenggelam di dalam lautan api.

“Cepat mendayung perahu, kita sedikit menjauh!”terdengar si kakek tua itu memberi perintah dengan nada berat sesudah memperhatikan sebentar lautan api itu.

Dengan tergesa-gesa kedua orang perahu itu meletakkan perempuan itu kemudian dengan sekian tenaga mendayung perahunya menyingkir dari sana.

Dengan perlahan perempuan berbaju biru itu membuka matanya melihat lautan api yang menghabiskan seluruh-seluruh perahu dia berusaha melegakan hatinya. Tapi dikarenakan luka yang dideritanya amat parah ditambah darah yang mengucur keluarpun amat banyak tak kuasa lagi dia jatuh tak sadarkan diri.

Ketika dia sadar dari pingsannya, didapat dirinya sudah berbaring di dalam kamar yang sangan indah sekali.

Di atas pembaringan kayu dimana dia berbaring terbentanglah kasur yang amat empuk di sekelilingnya tertutup dengan hordin sutera. Di atas meja tiolet terletaklah sebuah cermin yang sebesar dua depa, sedang pada samping kanan dekat pojokan ruangan tergantunglah sebuah lampu lentera yang cuma ada di dalam istana.

Sekali pandang saja dia sudah merasa kalau keluarga ini tentulah suatu keluarga yang kaya raya.

Tiba-tiba, hordin yang menutupi bilik pintu terbentang dan berjalanlah masuk seorang perempuan berusia pertengahan dengan dandanan amat sederhana, pada tubuhnya mengenakan baju berwarna hijau muda tetapi tidak menutupi kecantikan wajahnya.

“Aaaah! Kau sudah sadar?”ujar perempuan itu dengan wajah kaget, dengan perlahan dia berjalan mendekati pembaringan itu.

Terdengar perempuan berbaju biru itu menghela napas panjang.

“Heeey… terima kasih atas pertolongan nyonya, aku disini mengucapkan terima kasih dulu atas budi pertolongan kalian!”Selesai berbicara dia berusaha untuk meronta bangun.

Siapa tahu karena sedikit gerakannya ini membuat mulut lukanya tergelar sehingga terasalah sangat sakit sekali, tak kuasa lagi dia mengerutkan alisnya rapat-rapat.

“Beee! Seluruh badanmu penuh dengan luka bekas bacokan golok, lebih baik jangan bergerak dulu!”cegah perempuan berusia pertengahan itu sembari terburu-buru goyangkan tangannya.

“Hee! jikalau bukannya Hujien turun tangan menolong diriku mungkin nyawaku sudah habis sejak dari tadi. Budi yang amat besar ini aku orang tidak akan melupakan untuk selamnya, aku akan mengukir budi ini di dalam hatiku!”“Aduh, aduh, tidak usah berbicara perkataan begitu lagi!”Potong perempuan berusia pertengahan itu sambil gelengkan kepalanya berulang kali. “Angin dua awan siapa yang bisa menduga, bencana dan rejeki siapa yang bisa menolak?? di dalam hidupnya seorang manusia tentu ada beberapa kali memenuhi bencana. Kau boleh beristirahat dengan berlega hati, segala kebutuhan yang kau inginkan bolehlah kau minta dengan tanpa rikuriku, sekalipun kami bukanlah orang kaya tapi kiranya masih bisa untuk memenuhinya.

““Siapakah nama besar Hujien??”Sambung perempuan berbaju biru itu kemudian.

“Aku orang she Siauw…”“Oooh Siauw Hujien!”dengan perlahan Siauw Hujien gelengkan kepalanya.

“Jangan kau orang memanggil aku dengan sebutan itu, mungkin aku cuma lebih tua beberapa tahun saja dari usiamu, lebih baik kau panggil aku dengan sebutan cici saja.

“Perempuan berbaju biru itu termenung sebentar akhirnya dia menjawab, “Hujien begitu pandang tinggi diriku, mana aku orang berani menerimanya?”Dengan perasaan gusar dan bimbang perempuan berbaju biru itu terdiam pikirnya dalam hati, “Akan kuingat selalu atas kebaikan budi Siauw Hujien ini…”Tiba-tiba Siauw Hujien berkata dengan suara nada yang halus, “Heeey… luka Moaymoay amat parah sekali untuk sementara janganlah berbicara sembarangan, suamiku sudah berangkat ke dalam kota untuk belikan obat kuat kau.

“Perempuan berbaju biru itu benar-benar merasa terharu oleh kebaikan budi sang, perempuan berusia pertengahan itu. Titik-titik air mata tak kuasa lagi mengucur keluar membasahi pipinya.

“Kita belum saling mengenal tapi hujien mau berbuat begitu baik terhadap aku orang, budi kebaikan ini aku tidak akan melupakan untuk selama-lamanya.

“Perlahan-lahan sepasang matanya dipejamkan, dua titik air mata kembali menetes keluar dari ujung kelopaknya.

Tiba-tiba dia teringat kembali akan sesuatu peristiwa yang amat penting sekali, sepasang matanya yang baru saja dipejamkan mendadak dibentangkan lebar-lebar.

“Tolong tanya apakah perahu yang aku orang tumpangi masih berhenti ditengah-tengah?”“Heeey… sudah terbakar habis!”Seru Siauw Hujien sambil gelengkan kepalanya.

“Rejeki datang tidak berkawan, bencana pergi tidak sendirian jilatan api yang amat dahsyat itu bukan saat sudah membakar habis perahu besarmu, bahkan sampai tumbuhan alang-alang yang penuh tumbuh ditepi telaga juga ikut musnah. Yang paling kasihan lagi beberapa buah perahu nelayan yang sedang buang sauh disekitar tempat itu banyak rewel ikut terbakar musnah. Api itu sudah padam pada tengah malam tadi mungkin perahumu itu kini sudah terbakar ludas tak berbekas…”Mendengar berita itu perempuan berbaju biru itu cuma menggoyang-goyangkan biji matanya, dia tetap membungkam dalam seribu bahasa.

Siauw Hujien yang melihat perubahan wajah dia orang segera mengira sang perempuan sudah merasa sedih, atau kehilangan perahunya itu, lalu hiburnya, “Harta benda bisa dicari kembali tapi nyawa sukar untuk dicarikan gantinya, buat apa kau bersusah hati? lebih baik kau berdiam saja disini dengan tenang.

““Terima kasih atas kebaikan budi hujien,”segera ujarnya… “Pada tubuhmu terdapat sembilan tempat luka yang amat parah tetapi ternyata masih bisa mempertahankan nyawamu, hal ini sungguh berada diluar dugaan loohu.

““Terima kasih hujien sudah menolong nyawaku lolos dari bahaya kematian ini.

“Si orang tua gelengkan kepalanya seraya berkata dengan penuh semangat.

“Walaupun Loohu sedikit mengerti tentang ilmu obat-obatan tapi luka yang demikian parahnya benar-benar membuat aku merasa bingung sekali jika keadaanmu yang sampai saat ini masih bisa mempertahankan hidupmu kelihatan sekali tidak ada bahaya buat nyawamu. Menanti sesudah luka-luka ini menutup kembali dan beristirahat beberapa waktu lagi mungkin kesehatanmu akan pulih kembali seperti biasa.

“Sekali lagi Siauw Hujien memandangi luka bekas bacokan yang memenuhi tubuhnya itu, dengan sedih dia gelengkan kepalanya kemudian mengundurkan diri dari dalam kamarnya.

Air muka perempuan berbaju biru yang penuh diliputi oleh perasaan sakit pada saat ini terlintaslah suatu senyuman setelah itu dia baru pejamkan matanya tidur.

Ketika sadar kembali untuk kedua kalinya, hari sudah larut malam.

Di dalam ruangan yang sangat mewah itu selain hadir Siauw Hujien yang amat cantik kini sudah bertambah dengan seorang tua berjubah hijau yang sangat berwibawa sekali.

Di bawah tempat lilin itu terletaklah secawan obat yang masih mengepulkan uap panas.

Ketika si orang tua berwajah angker itu melihat perempuan berbaju biru itu sadar kembali dari pulasnya.

“Obat yang ada di atas meja itu sudah membuang banyak tenagaku untuk membuatnya, sesudah kau orang minum obat tersebut harap kau jangan memikirkan banyak urusan lagi. Baik-baiklah kau tidur satu malaman soal-soal yang lain biarlah besok pagi aku periksa kembali urat nadimu.

“Selesai berkata sambil membopong tangannya dengan perlahan dia berjalan keluar dari dalam ruangan.

Siauw Hujien segera mengambil cawan obat itu dan berjalan mendekati samping pembaringan.

“Suamiku jadi orang berhati dingin dan sikapnyapun amat kaku sekali harap moay-moay jangan sampai tersinggung oleh sikapnya yang tanpa sungkan-sungkan itu.

“Bisiknya dengan perlahan.

“Aaah Hujien bicara terlalu berlebihan!”bantah perempuan berbaju biru itu dengan cemas. “Budi pertolongan ini sudah sedalam sekalipun mati aku tetap akan membalasnya.

“Siauw Hujien segera tersenyum.

“Moay-moay tidak usah banyak bicara lagi ayo minum obat ini!”“Aku orang adalah seorang manusia gelandangan, mana berani berada di dalam satu tingkatan dengan Hujien, namaku adalah Im Kauw harap Hujien memanggil dengan sebutan namaku saja.

“Sekali lagi Siauw Hujien tersenyum.

“Walaupun moay-moay sudah terluka parah tapi sinar wajahmu masih amat cemerlang, jikalau dugaanku tidak salah tentu moay-moay bukanlah seorang sembarangan!”Dengan perlahan Im Kauw menghela napas panjang dia tidak banyak bicara lagi segera diterimanya mangkok obat itu dan diteguknya hingga habis.

Setelah mendapatkan perawatan selama beberapa hari lamanya akhirnya sebagian besar dari luka Im Kauw sudah menutup kembali sedang dia sendiripun sudah dapat turun dari tempat pembaringan.

Dari mulut Siauw Hujien dia sudah banyak mengetahui kisah yang telah dialami oleh mereka sekeluarga.

Sekiranya Siauw thay Hujien adalah seorang pembesar negeri yang bersifat jujur, tetapi diantara banyak pembesar curang banyak yang tidak suka padanya yang kemudian bersama-sama turun tangga mencelakai dirinya sehingga satu keluarga pada masuk dalam penjara.

Untung saja pada suatu malam mereka berhasil ditolong oleh seorang jagoan dari Badim yang membantu mereka meloloskan diri dari dalam penjara, sejak saat itu mereka mengasingkan diri di tempat sunyi. Setiap hari kecuali memancing ikan, menanam bunga dan menikmati keindahan alam mereka berdiam tak unjukkan diri.

Beberapa tahun kemudian akhirnya keluarga dikaruniai seorang anak lelaki.

“Heeeeeeeey… demikianlah untuk menghindarkan diri dari kejaran kaum pembesar laknat kami sekeluarga terpaksa mengasingkan diri di tempat itu……”Demikianlah Sauw Hujien mengakhiri kisahnya.

Satu bulan lewat dengan cepatnya, kini semua luka yang diderita Im Kauw pun sudah sembuh. Karena pergaulannya selama beberapa hari ini dengan Siauw Hujien membuat perhubungan persahabatan diantara mereka makin rapat. Tetapi selama ini juga dia orang tidak pernah menceritakan asal usulnya sendiri, bahkan terhadap perahunya yang sudah terbakar musnah itupun dia tidak pernah menganggapnya kembali, agaknya peristiwa itu sudah terlupakan sama sekali.

Jumlah anggota keluarga Siauw ini amat sedikit sekali, kecuali suami istri beserta anaknya cuma ada Siauw Hok itu pelayan tua yang sudah mengikuti keluarga Siauw berpuluh-puluh tahun lamanya serta seorang pelayan dan seorang budak perempuan.

Kiranya perahu berwarna putih yang ditumpangi Siauw thay Hujien tempo hari juga ikut terbakar oleh amukan api yang menghebat sedangkan kedua orang tukang perahunyapun sudah mengundurkan diri dari pekerjaan.

Kini di tengah halaman rumah yang amat luas kecuali seorang pelayan yang membersihkan lantai serta menyirami bunga tak ada orang lain yang muncul di tempat itu.

Karena sebab itulah suasana di tengah halaman sunyi dan tenang sekali.

Pada suatu hari setelah makan siang tiba-tiba Im Kauw berkata kepada Siauw Hujien, “Lukaku kini sudah sembuh benar-benar sedang setiap hari tidak punya pekerjaan rasanya amat senggang sekali. Baiknya putramu kirim kepadaku saja untuk aku kasih pelajaran ilmu surat, dengan demikian akupun bisa melenyapkan kemurungan hatiku ini…”Siauw Hujien termenung sebentar, akhirnya dia tertawa.

“Kalau memangnya moay-moay punya maksud begitu, aku takut malah sudah buang banyak tenagamu dengan percuma…”Im Kauw tahu dalam hatinya sedang ragu-ragu, karenanya dia tidak banyak mendesak lagi.

Pada keesokan harinya Siauw Hujien dengan membawa anaknya datang menyambangi dirinya kembali, walaupun Im Kauw sudah menolak beberapa kali akhirnya si bocah cilik itu menjalankan penghormatan juga kepadanya.

Sekalipun Siauw Thayjien sudah amat lama sekali mengasingkan diri dari dunia ramai tetapi terhadap peraturan rumah dia mempertahankan dengan kerasnya.

Walaupun dari mulut Siauw Hujien dia sudah mendengar kalau keluarga Siauw mempunyai seorang anak tunggal tetapi sejak dia sadar dari pingsannya hingga saat ini belum pernah bertemu muka sang bocah.

Menurut ingatannya sendiri Siauw Thayjien sendiripun, selama beberapa bulan ini cuma menjenguk satu kali saja, selama ini dia selalu ditemani oleh Siauw Hujien serta seorang budak-budak perempuan yang baru berusia delapan sembilan belas tahunan.

Setelah Siauw Hujien menyuruh anaknya memberi hormat kepada Im Kauw segera menarik tangannya sambil berkata dengan mesra.

“Moay-moay, bakat bocah ini sangat bagus ingatannyapun amat tajam sekali cuma sayang tubuhnya amat lemah harap Moay-moay mau sedikit memperhatikan dirinya…”“Cicikan harap berlega hati, aku bisa memperhatikan dirinya seperti kau memperhatikan dia orang.

“Tak tertahan lagi Siauw Hujien menghela napas panjang.

“Moay-moay, harap kau jangan salah paham atas maksud hatiku, jikalau kau orang mau pukul pukullah sesuka sesukamu, jika harus dimaki makilah sesuka hatimu, ada paparan yang mengatakan pisau jika tidak diasah tak akan tajam…”“Cici harap kau berlega hati,”sambung Im Kauw sambil melirik ke arah bocah tersebut.

“Aku lihat bakatnya amat bagus otaknyapun amat tajam pada kemudian hari kecerdasannya tidak akan di bawah suamimu!”“Heeeey… suamiku selalu kukuh pada pendirian sehingga sudah banyak membuat kesalahan kepada kaum pembesar. Terpaksa kami harus lari dan mengasingkan diri di tengah dusun Tad Kwee ini. Biar orang sudah sumpah untuk tidak akan mendidik anaknya menjadi seorang pembesar negeri, ilmu suart yang biasanya diajarkan kepada sang bocah tidak ada sebuahpun yang menyangkut soal negara. Nyangkut soal negara, jika bukannya syair sejak nyanyian perbintangan kitab suci dan kitab-kitab lainnya dia menyandarkan juga apa yang dia pikirkan pada waktu itu, sehingga seorang bocah yang baru berusia dua belas tahun sudah dibuatnya memiliki macam-macam ilmu pengetahuan yang aneh.

““Suamimu sedikitpun tidak salah,”ujar Im Kauw kemudian sambil tertawa. “Tidak perduli pada kemudian hari bocah ini mau menjabat sebagai pembesar negeri atau tidak ilmu-ilmu pengetahuan itu memang seharusnya diketahui.

“Siauw hujien pada saat itu agaknya sudah merasa waktunya telah cukup bercakap-cakap kepada puteranya lalu dia berpesan, “Ling jie kau harus baik-baik mendengar nasehat bibi Im.

“Dia segera putar badan meninggalkan tempat itu.

Im Kauw juga tidak menahan lebih lama. Dia segera menghantar Siauw hujien keluar pintu kemudian menutup pintu kamarnya.

Di dalam kamar buku itu kecuali terdapat seperangkat alat minum saja. Jendela di samping kamar tepat menghadap ke arah kebun bunga yang secara samar-samar memancarkan bau harum yang semerbak.

Dengan pandangan amat tajam Im Kauw memperhatikan bocah itu dari atas kepala hingga ke ujung kakinya, terlihatlah pada kulitnya yang berwarna kuning secara samarsamar mengandung warna hijau kebiru-biruan tak terasa lagi dia menghela napas panjang pikirnya, “Untung sekali bocah ini sudah bertamu dengan aku kalau tidak umurnya tidak akan lebih dari dua puluh.

“Lalu katanya, “Aku bernama Siauw Ling!”“Nama ini amat bagus sekali, semoga saja pada kemudian hari kau berhasil mencermelangkan nama keluargamu.

“Tapi Siauw Ling cepat-cepat gelengkan kepalanya.

“Tia pernah memeriksa urat nadiku, dia orang tua bilang usiaku tidak akan lebih dari dua puluh tahun asalkan aku berhasil sedikit belajar ilmu pengetahuan dua tahun kemudian dia mau membawa aku berpesiar kesemua tempat yang punya pemandangan indah sekalipun kemudian hari aku harus mati dalam usia muda juga tidak akan sampai merasa kecewa.

“Mendengar perkataan itu Im Kauw menjadi melengak. Tapi sebentar kemudian dia sudah tertawa.

“Perkataan ini apakah kau pernah memberitahukan kepada ibumu?”“Tidak! tia sudah berpesan wanti-wanti kepadaku untuk jangan sampai menceritakan urusan ini kepada ibu. Tia bilang kalau ibu tahu akan urusan ini, dia pasti akan menangis sedih.

“Sekali lagi Im Kauw tersenyum.

“Ling jie, kau takut mati tidak?”tanyanya “Tidak takut! Tia bilang mati hidup berada di tangan Thian, siapapun tidak akan bisa mengubahnya.

““Tetapi kematian adalah suatu pekerjaan berat seberat gunung Thay-san, ringan seringan bulu angsa… Walaupun mati hidup seseorang ada di tangan Thian, tetapi setiap orang harus memiliki keinginan untuk hidup lebih lama lagi.

“Dengan perlahan Siauw Ling tundukkan kepalanya, lalu ujarnya dengan sedih, “Aku tidak ingin melihat Tia merasa sedih karena aku…”Air muka Im Kauw seketika itu juga berubah amat serius. Sekilas hawa dingin yang amat kaku menyelimuti seluruh wajahnya lalu ujarnya sepatah demi sepatah, “Bocah bila kau orang mau mendengarkan omonganku maka kau tidak akan mati…”“Sungguh?”teriak Siauw Ling sambil membelalakan matanya.

“Hemm… cuma ada satu hal yang harus kau ingat. Apa yang kau pelajarkan kepadamu kau orang tidak boleh memberitahukan kepada ayah ibumu.

““Baiklah!”sahut Siauw Ling kemudian sesudah termenung sejenak.

Waktu berlalu dengan amat cepatnya, di dalam sekejap mata dua bulan sudah berlalu kembali.

Tidak ada seorangpun tahu ada yang sudah dikerjakan Im Kauw serta Siauw Ling yang bersembunyi di dalam kamar buku yang tertutup rapat itu selama dua bulan ini.

Tetapi ada satu hal yang membuat Siauw hujien merasa lega, tubuh Siauw Ling yang semula amat lemah kini sudah menjadi bertambah sehat sedang sinar kemerah-merahan pun mulai melampisi air mukanya.

Siauw thay cien yang hatinya amat tawar walaupun melihat puteranya Siauw Ling memperlihatkan perubahan yang amat cepat tapi dia tidak mau ambil berduli, sebaliknya Siauw hujien yang melihat puteranya semakin hari semakin sehat menjadi amat girang, dia mana mau tahu sebenarnya Siauw Ling sudah belajar apa dari diri Im Kauw.

Hari itu, bulan dua belas tanggal dua puluh tiga baru saja Siauw hujien selesai berdandan tampaklah olehnya Siauw Ling dengan tergesa-gesa berlari masuk ke dalam kamar sambil berteriak, “Mama… bibi Im sudah pergi!”“Apa?”Teriak Siauw Hujien terkejut.

“Bibi Im sudah pergi secara diam-diam dia orang cuma meninggalkan sepucuk suart buat kita.

“Dengan terburu-buru Siauw hujien menerima surat itu dan dibaca isinya, “Buat Siauw hujien yang baik!”“Budi pertolongan dari kalian sekeluarga terutama cinta kasih hujien kepadaku sebenarnya tidak’ah sepantasnya aku pergi tanpa pamit.

““Aku merasa amat sayang tidak bisa melanjutkan memberi pelajaran kepada Ling jie untuk membalas budi yang amat besar itu, tapi apa boleh buat. Siauw moay mempunyai urusan penting yang harus diselesaikan secepat mungkin.

““Sebetulnya Siauw moay mau berpamit kepada cici sekalian. Berhubung takut kalau cici menahan aku lebuh lama lagi terpaksa dengan meninggalkan sepucuk surat ini aku pergi secara diam-diam harap cici sekalian suka memaafkan kesalahan ini.

““Tapi cici jangan kuatir, budi yang amat besar ini pada suatu hari pasti akan kubalas.

“Selagi membaca surat ini Siauw Hujien segera berteriak, “Bagaimana ini bisa jadi? dia adalah seorang perempuan lemah apa lagi di tengah musim salju yang demikian derasnya.

“Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia yang berjalan masuk dengan tergesa-gesa Siauw Thay jin dengan menyingkap hordin sudah berjalan masuk kedalam.

Waktu itu dihari Siauw Hujien benar-benar merasa cemas sekali melihat suaminya berjalan masuk segera ujarnya dengan cepat, “Lho ya coba kau lihat, Im Kauw sudah meninggalkan tempat ini dengan hanya meninggalkan sepucuk surat saja.

““Tidak usah dilihat lagi! Di dalam hal ini tentu ada urusan,”ujar Siauw Thayjien sambil gelengkan kepalanya.

Dia segera menyambut surat itu kemudian disobek-sobek dan memasukkannya kembali ke dalam saku.

“Kau berbuat apa?”Teriak Siauw Hujien tertegun, “Surat ini tak bisa dia simpan lagi.

““Kenapa?”Siauw Thay jin menghela napas panjang.

“Kita harus berjaga-jaga terhadap peristiwa yang tidak diinginkan, urusan yang sudah berlalu biarkanlah berlalu kita tidak usah mengungkapnya kembali.

“Si orang tua yang berhati tawar ini sekalipun tidak tahu urusan yang sudah terjadi di dalam Bulim tetapi dia kurang punya pengalaman amat luas secara samar-samar sudah merasakan kalau urusan ini sedikit tidak beres.

Siauw Ling yang dengan termangu-mangu melihat tindak tanduk ayahnya mendadak tertawa ringan.

“Menurut pendapatku bibi Im pasti akan kembali lagi,”ujarnya perlahan. “Cepat atau lambat aku pasti bisa bertemu kembali dengan dia orang.

“Air muka Siauw Thay jin segera berubah membesi.

“Bocah cilik, tahu apa???”makinya.

Tetapi tidak perduli ayahnya bagaimana memaki dirinya di dalam hati bocahnya dia merasakan suatu keteguhan hatinya yang amat aneh sekali. Dia merasa Im Kauw tidak akan meninggalkan begitu saja, pada suatu hari dia tentu akan bertemu kembali dengan dirinya.

Usianya yang masih muda ini membuat apa yang sudah dirasakan mantap di dalam hatinya tidak akan diubah kembali untuk selamanya.

Mulai saat itu setiap hari dia terus menanti-nanti di depan pintu tidak perduli bagaimana dinginnya hawa saat itu dia tetap melototkan sepasang matanya memperhatikan jalan raya yang sudah memutih tertutup oleh salju.

Kadang kali Siauw Hujien menariknya ke dalam rumah tetapi begitu pengawasannya kendor dia lari kembali keluar, karenanya semua isi rumah sudah tau akan kebiasaannya ini sehingga tidak ada yang berani buka mulut mencegah.

Musim salju yang sangat dingin merupakan hari yang cepat berlalu, siang jauh lebih pendek dari malam harinya di dalam sekejap saja lima hari sudah berlalu dengan amat cepatnya.

Beberapa hari menjelang tahun baru seperti biasa dengan menggunakan mantel berbulu yang tebal memakai topi berbulu pula dia berdiri di depan pintu memandang salju nan putih yang menutupi seluruh permukaan.

Tiba-tiba terdengar suara helaan napas panjang berkumandang dari belakang tubuhnya disertai beberapa patah kata, “Majikan cilik pulang saja! Salju yang begitu tebal sudah menutupi permukaan tidak akan ada orang yang berani melakukan perjalan dalam waktu seperti ini.

“Siauw Ling segera menoleh. Entah sejak kapan Siauw Hok itu pelayan tuanya sudah berdiri di belakang tubuhnya. Tak heran lagi, dia mengerutkan alisnya rapat-rapat kemudian ujarnya dengan amat gusarnya, “Siapa yang suruh kau ikut campur dalam urusanku. Cepat pulang!”Mendadak sesosok bayangan manusia dengan menempuh tiupan angin serta hujan badai berlari mendatang. Hatinya menjadi amat girang sekali teriaknya, “Aaaah…. sudah datang, sudah datang, aku sudah menduga dari dulu bibi Im tidak akan meninggalkan aku….

.

!”Nada suaranya penuh disertai perasaannya yang amat girang.

Siauw Hok menjadi tertegun, diapun mengikuti arah pandangan majikan ciliknya memandang ke arah depan. Ternyata tidak salah dari antara tumpukan salju itu tampaklah sesosok bayang manusia berjalan mendatang. Jika dilihat dari potongan dadanya yang amamt ramping jelas sekali dia adalah seorang perempuan.

Di dalam musim yang demikian dinginnya setiap orang yang memakai pakaian tebalpun merasa kedinginan tetapi perempuan itu cuma memakai pakaian singsat yang amat tipis lagi pula compang camping di tengah tiupan angin yang amat dingin uung bajunya berkibar tak hentinya.

Bayangan manusia itu semakin lama semakin mendekat, saat itulah baru jelas terlihat kalau orang itu bukan lain adalah seorang gadis berbaju hijau yang baru berusia enam, tujuh belas tahunan rambutnya yang panjang terurai ke bawah wajahnya pucat menghijau, wajahnya di tengah tiupan angin taupan gemetar dengan amat kerasnya jelas sekali dia tak bisa menahan rasa dingin yang menyerang badannya.

Air muka Siang-Siang yang semula penuh diliputi oleh senyuman kegembiraan kini sudah lenyap kembali berganti dengan perasaannya yang amat kecewa, dia menghela napas panjang.

Baru saja tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu mendadak terdengar gadis itu menjerit keras, tubuhnya sudah terluyung-luyung maju dua langkah ke depan lalu rubuh ke atas permukaan salju.

Pemandangan pada saat itu amat menyedihkan sekali di atas permukaan salju yang begitu tebal di tengah tiupan angin yang dingin seorang perempuan muda berpakaian amat tipis menggeletak tak sadarkan diri di atas tanah.

Dengan amat sedihnya Siauw Ling menghela napas panjang.

“Sungguh kasihan bocah itu!”Walaupun pada nada suaranya mengandung penuh perasaan kasihan tetapi orangnya masih tetap berdiri di tempat semula sama sekali tidak bergerak.

Salju turun bagaikan bulu angsa di dalam sekejap mata itulah sebagian besar tubuh gadis berbaju hijau yang menggeletak di atas tanah sudah terpendam di dalam tumpukan salju.

Siauw Ling ragu-ragu sebentar akhirnya dengan langkah lebar dia berjalan mendekati tubuh sang gadis dan membersihkan salju yang menutupi sebagian besar tubuhnya itu.

“Hey, kau bangunlah!”teriaknya sembari menarik tangannya sigadis berbaju hijau itu.

“Biar aku bimbang kau masuk kerumah untuk menghindarkan diri dari amukan salju…”Melihat tingkah laku dari majikan mudanya dengan hati cemas Siauw Hok berjalan mendekat.

“Heeey… Thay Souw ya di tengah tiupan angin yang demikian dingin serta curahan salju yang demikian lebat mungkin dia orang sudah mati beku,”ujarnya cepat-cepat.

“Hmm! Sekalipun sudah mati kitapun seharusnya membantu dia orang menguburkan mayatnya.

““Tapi selama dua hari ini Loo-ya serta Hujien sedang murung hati!”seru Siauw Hok sembari tertawa pahit. “Bilamana mereka melihat kau orang menggotong nona ini kerumah mungkin Loo-ya dia orang…”“Loo-ya kenapa?”teriak Siauw Ling sambil melototkan matanya. “Tia bukanlah manusia berhati kejam yang tidak mau menolong orang di dalam keadaan susah. Cepat gotong nona ini ke dalam rumah, bila ada urusan aku yang menanggung semua!”Ketika dia dapat melihat wajah dari gadis ini dalam hatinya entah dikarena apa segera merasakan kalau wajahnya sangat dikenal olehnya, tanpa terasa lagi dari dalam hatinya timbul perasaan simpatik, oleh karenanya dengan kokoh dia ingin membawa sang nona kembali kerumah.

Dia orang yang sudah mengikuti sang majikan berpuluh-puluh tahun lamanya sudah mengenal benar-benar sifatnya sang Loo-ya, dia tau dalam beberapa hari ini Loo-ya maupun Hujien sedang dibuat murung oleh peristiwa Im Kauw dalam hati dia benarbenar tidak ingin ada urusan lagi yang mengganggu karenanya dengan diam-diam dia membawa tubuh gadis ke belakang rumah.

Siapa tahu baru saja sampai di tengah halaman justru pada saat itu telah bertemu dengan Siauw Hujien, tak kuasa lagi hatinya terasa tergetar amat keras, terpaksa ujarnya sambil bungkukkan diri memberi hormat.

“Nona ini dengan menempuh hujan salju sudah melakukan perjalanan mungkin karena tidak kuat menahan hawa dingin dia orang sudah rubuh tak sadarkan diri di atas permukaan salju, nanti biarlah aku orang beri beberapa stel pakaian kepadanya kemudian suruh dia melanjutkan perjalanan kembali.

“Dengan sinar mata penuh kasih sayang Siauw Hujien memandang beberapa kejap ke arah wajah sang gadis, mendadak dia menghela napas panjang.

“Bocah perempuan ini sungguh amat kasihan hawa demikian dingin dia cuma memakai baju begitu tipis… Heeeey! Biarlah dia orang menginap beberapa hari saja disini, sesudah hujan salju ini berhenti baru kita baik-baik lepaskan dia untuk melanjutkan perjalannya kembali.

“Terpaksa Siauw Hok menyahut sambil menganggukkan kepalanya berulang kali.

Pada saat yang bersamaan pula Siauw Ling tiba-tiba muncul dari mereka, sambil merangkul lengan Siauw Hujien ujarnya tertawa, “Dari tadi Lingjie sudah tahu kalau mama menyalahkan diriku…”Seharian ini hujan salju turun tak henti-hentinya membuat hawa semakin dingin, pada saat Siauw Ling menemani orang tuanya duduk menghangatkan tubuh dipinggir api unggun mendadak tampak banyangan manusia berkelebat gadis berbaju hijau itu dengan langkah perlahan berjalan masuk.

Sesudah beristirahat seharian penuh tenaganya kini pulih kembali. Di bawah sorotan sinar lilin tampaklah wajahnya yang memerah seperti buah apel dengan rambutnya yang hitam panjang terurai ke bawah, walaupun baju yang dipakai amat kasar tapi tidak menutupi kecantikan wajahnya yang sangat menggiurkan itu.

Dia menggibaskan salju yang melekat pada badannya kemudian berjalan masuk ke dalam ruangan. Dari kejauhan kepada Siauw Thayjien suami istri jatuhkan diri memberi hormat.

“Siauw li mengucapkan banyak terima kasih atas budi pertolongan aku orang…”“Heeey… nona silahkan bangun,”terdengar Siauw Thayjien menghela napas panjang.

“Terima kasih Loo-ya Hujien.

“Siauw Hujien yang amat menarik itu membuat hatinya betul-betul gembira.

“Bocah, kau kemarilah,”ujarnya sambil menggapai.

Gadis berbaju hijau itu menurut dan berdiri di samping Siauw Hujien tanyanya dengan suara lembut, “Entah Hujien punya petunjuk apa???”Semakin melihat Siauw Hujien semakin tertarik cepat-cepat dia menarik tangannya.

“Bocah, cepat duduklah, siapa namamu? Kenapa melakukan perjalanan seorang diri di tengah tiupan angin dan curahan hujan salju yang lebat ini?”“Siauw li she Gak bernama Siauw-cha kini menempuh perjalanan jauh sedang mencari buku yang entah sudah pergi kemana,”ujarnya sambil meneteskan air mata dengan amat derasnya. “Bilamana bukannya Loo-ya serta Hujien turun tangan menolong mungkin Siauw li sudah terkubur di bawah curahan hujan salju.

“Nada suaranya amat lembut bahkan mengabung kesedihan ditambah pula gerak-geriknya yang membuat orang lain merasa beriba hati membuat Siauw Hujien menghela napas panjang tak henti-hentinya.

Sebaiknya wajah Siauw Thay-jien tetap angker tanyanya dengan perlahan, “Jejak ibumu apakah nona sudah tahu?…”“Arah yang ditempuh itu adalah empat penjuru jauh di ujung langit dekat di depan mata.

““Ehmm….

. ehmmm…. nona sungguh patut dikasihani.

““Siauw li masih mengharapkan Loo-ya mau memberi nasehat kepadaku…”Siauw Ling yang sejak Gak Siauw-cha masuk ke dalam ruangan terus menerus memperhatikan wajahnya mendadak dia menyela, “Ooooooh…. Tia…. moay-moay ini mirip sekali dengan bibi Im.

““Bocah cilik jangan omong sembarangan!”Segera bentak Siauw Thayjien dengan keras.

Siauw Ling tidak berani berbicara lagi, cepat-cepat dia orang menutup mulutnya kembali.

Siauw Hujien yang mendengar perkataan puteranya secara diam-diam lalu memperhatikan lebih teliti wajah sang gadis, ternyata sedikitpun tidak salah wajahnya memang amat mirip sekali dengan Im Kauw, dia menjadi tertegun.

“Perkataan dari Ling jie sedikitpun tidak salah, nona Gak ini memang benar-benar ada tujuh bagian mirip dengan wajahnya Im Kauw.

““Heeeey… kalian bercakap-cakaplah dahulu! Aku mau kembali ke kamar buku,”ujarnya Siauw Thayjien perlahan lalu dengan perlahan bangkit berdiri dan berlalu dari sana.

Siauw Ling yang melihat ayahnya meninggalkan ruangan tak merasa lagi nyalinya semakin besar. Sambil memandang Gak Siauw-cha ujarnya, “Sayang sekali bibi Im sudah pergi pada enam, tujuh hari yang lalu. Heeeeey… jika kau seorang datang beberapa hari dan sebelumnya mungkin sekali kau langsung bisa bertemu dengan bibi Im ku itu, saat itu kau baru akan tahu kalau perkataanku sendiripun tidak salah.

“Dia berhenti sebentar, lalu sambungnya, “Tapi aku percaya pada suatu hari pasti akan kembali.

““Semoga saja perkataan dari kongcu sedikitpun tidak salah?”“Jika kau tidak ada tempat yang dituju lebih baik untuk sementara tinggal di rumahku ini dulu nanti sesudah bibi Im kembali lagi kau akan tahu perkataanku bukanlah bohong belaka.

““Heey. Jika kalian mau menerima, Siauw li mau menjadi budak untuk melayani Hujien serta kongcu.

““Tidak bisa, tidak bisa!”teriak Siauw Ling goyangkan tangannya berulang kali. “Aku sudah begini besarnya buat apa dijaga orang lain lagi, kau cukup melayani mama seorang saja.

“Dengan perlahan sinar mata Gak Siauw-cha menoleh ke arah Siauw Hujien kemudian jatuhkan diri berlutut.

“Terima kasih atas kemurahan hati Hujien mau menerima Siauw li disini,”ujarnya dengan perlahan.

“Jumlah keluarga kami amat sedikit sekali. Jikalau nona mau tinggal disini tentu saja aku merasa sangat gembira.

“Cuaca di dalam seharian saja sudah berubah kembali, awan tebal tersapu bersih berganti dengan munculnya sang surya memancarkan sinar terang memenuhi seluruh permukaan.

Suatu pagi yang memancarkan sinar terang memenuhi seluruh permukaan suatu pagi cerah muncul di depan mata.

Dengan memakai seperangkat baju Siauw Ling keluar dari dalam kamar sejak dia memperoleh cara bersemedi untuk belajar ilmu kwe kang dari Im Lauw bukan saja badannya yang lemah kini menjadi sehat bahkan secara tidak disadari olehnya dia sudah memperoleh sadar untuk belajar silat.

Sesampainya di tengah halaman terlihatlah olehnya Gak Siauw-cha yang memakai baju hijau itu sedang membersihkan tumpukan salju yang mengotori halaman dalam.

Gerak-geriknya amat lincah dan cepat sekali, di dalam sekejap mata tumpukan salju yang ada di tengah halaman sudah disapunya hingga amat bersih.

Dengan perlahan dia menoleh ke belakang. Ketika dilihatnya Siauw Ling berdiri disana dia segera tertawa.

“Kongcu, selamat pagi,”ujarnya sembari berjalan mendekati.

Di bawah sorotan sinar matahari tampaklah pipinya yang merah serta kulit tubuhnya yang putih bagaikan salju yang membuat wajahnya semakin kelihatan cantik dan menarik sekali.

Siauw Ling yang melihat lebih tegas lagi kalau wajah serta bentuk tubuhnya sangat mirip dengan diri bibi Im nya, dia dibuat tertegun kembali.

“Kongcu kenapa kau terus menerus memandangi diri budakmu?”tanyanya kemalumaluan ketika dilihatnya Siauw Ling memandang terus wajahnya dengan termangumangu.

“Heey, wajahmu mirip sekali dengan bibi Im; jika umurmu bertambah lagi beberapa tahun waktu itu tidak akan bisa membedakan lagi siapakah kau dan siapakah bibi Im.

“Air muka Gak Siauw segera berubah amat berat tetapi di dalam sekejap saja wajahnya kembali berubah tenang kemudian putar badannya dan berlalu dari sana.

Selama beberapa hari ini sejak pagi Siauw Ling sudah berlari ke depan pintu untuk menanti kembalinya diri bibi Im. Di dalam hati kecilnya dia terus menerus menganggap kalau Im Kauw pada suatu hari pasti akan kembali. Dia orang tidak mungkin mau meninggalkan dirinya.

Tetapi kini dia mulai merasakan hatinya kecewa wajah yang cantik dari Gak Siauw-cha serta suar tertawanya yang merdu walaupun tidak kalah dari Im Kauw tetapi semuanya itu tidak dapat menggantikan rasa cinta kasih yang diberikan Im Kauw kepadanya, di dalam hati kecilnya dia mulai merasa rindu dan murung.

Dengan pikiran kosong dia berjalan kembali ke dalam kamar bukunya.

Tempat ini sudah ada beberapa hari lamanya Siauw Ling masuk, barang-barang yang ada di dalam ruangan masih tetap seperti semula tapi Im kauw tetap tak ada kabar beritanya.

Di tempat inilah dia menerima kasih sayang dari Im Kauw, di tempat ini juga Im Kauw memberi pelajaran dasar ilmu kweekang tersebut tetapi dia tahu bahwa badannya yang semula lemah mendadak menjadi sehat sekali semuanya ini adalah pemberian dari Im Kauw. cinta kasih yang begitu besarnya ini sudah terukir dalam-dalam di dalam hatinya.

Saking sedih hatinya tak tahan lagi, perlahan-lahan mulai memejamkan matanya dan berlatih sesuai dengan petunjuk dari Im Kauw.

Entah lewat beberapa saat lamanya mendadak dia dibuat sadar oleh suara pecahnya barang di atas sana.

Cepat-cepat dia membuka mata, terlihatlah wajah Gak Siauw-cha berubah amat pucat.

Sepasang matanya yang jeli dengan termangu-mangu memperhatikan sesuatu di atas jendela sedang nampan cawan yang ada ditangannya sudah jatuh ke atas tanah sehingga hancur lebur.

Siauw Ling menjadi tertegun.

“Kau kenapa?”tanyanya.

Seperti baru saja sadar dari impian Gak Siauw-cha membereskan rambutnya yang terurai ke bawah, dengan perlahan dia putar badannya.

“Bibi Im yang hilang itu apakah dulu tinggal di kamar buku itu?”tanyanya tiba-tiba.

Walaupun dia berusaha untuk menyimpan golakan hatinya yang amat keras tak urung suaranya rada gemetar juga. Jelas sekali dia sedang merasa sangat sedih.

Walaupun Siauw Ling merasa beberapa patah katanya ini ditanyakan secara mendadak dia gelengkan kepalanya.

“Bibi Im tidak tinggal disini tapi di tempat inilah dia memberi pelajaran ilmu surat kepadaku!”“bagaimana sikap bibi Im terhadap dirimu?”“Sangat baik, maka aku selalu rindu kepadanya. Heee! Semoga saja dia bisa kembali secepatnya.

““Semoga saja demikian,”jawab Gak Siauw-cha kemudian dengan hati perih.

Segera dia punguti cawan yang pecah kemudian dengan sedih mengundurkan diri dari dalam kamar.

Siauw Ling yang jadi orang amat cerdik ketika melihat sikap dari Gak Siauw-cha amat aneh hatinya menjadi amat curiga, dengan diam-diam dia bangkit berdiri kemudian berjalan mendekati jendela tersebut dan memeriksanya dengan teliti.

Lama sekali dia mengadakan pemeriksaan tetapi sedikitpun tidak tampak hal-hal yang mencurigakan hatinya, saking murungnya dia segera membuka jendela itu.

Tampaklah seluruh kebun penuh dilapisi oleh salju nan putih, beberapa batang pohon Bwee tetap tumbuh diantara tumpukan salju dan menyiarkan bau harum yang semerbak.

Tiba-tiba sesosok bayangan manusia berkelebat kemudian dengan amat cepatnya bersembunyi dibalik pepohonan diantara tumpukan salju itu.

Hanya di dalam satu kali pandang saja sudah bisa melihat bayangan itu bukan lain adalah diri Gak Siauw-cha.

Perasaan ingin tahu segera meliputi hatinya dengan tergesa-gesa berlari keluar dan mengadakan pengejaran.

Tampaklah bekas-bekas telapak kaki yang tertinggal di atas salju dengan mengikuti bekas-bekas telapak kaki itu Siauw Ling mengadakan pengejaran terus.

Sesudah mengitari pepohonan yang lebat sampailah pada pojokan kebun itu, mendadak jejak kaki yang ada di atas permukaan salju lenyap tanpa bekas.

Siauw Ling segera menghentikan langkahnya terlihatlah langit biru yang bersih disertai sang surya yang memancarkan sinar terang menerangi seluruh permukaan tapi tak tampak apapun disana! kemana sebetulnya diri Gak Siauw-cha? Tak tertahan gumamnya seorang diri, “Sungguh aneh sekali, sebenarnya dia lari kemana?”Mendadak sinar matanya terbentur dengan sebuah lubang kecil seluas tiga depa yang ada di atas permukaan salju kurang lebih empat lima depa di samping badannya sekarang.

Itulah sebuah sumur kuno! menurut ingatan Siauw Ling itu sudah lama kering dan tidak pernah dipakai lagi.

Tempat itu merupakan pojokan kebun dari keluarga Siauw yang paling sepi, selain tukang kebun yang mengurasi kebun tersebut jarang sekali ada orang yang sampai di tempat itu.

Suatu keinginan yang amat aneh membuat diri Siauw Ling tanpa sadar sudah berjalan menuju ke arah sumur tersebut.

Tiba-tiba… suara tangisan yang menyayatkan hati berkumandang keluar dari dalam sumur.

Siauw Ling menjadi amat terperanjat. Cepat-cepat dia melongok melihat dasar sumur tersebut.

Di bawah sorotan sang surya terlihatlah secara samar-samar ada barang yang sedang bergerak pada dasar sumur itu.

Terlihatlah sesosok bayangan manusia sedang berjongkok dan menangis dengan sedihnya disana. Suara tangisan itu begitu menyedihkan membuat hati orang lain terasa sangat tidak enak.

Dengan seluruh kekuatan Siauw Ling berusaha memandang ke arah sumur. Lama sekali dia baru bisa melihat orang itu bukan lain adalah dari Gak Siauw-cha di depan tubuhnya terlihatlah sesosok manusia duduk bersila tak bergerak sedikitpun, terhadap suara tangisan dari Gak Siauw-cha ini, dia sama sekali tidak ambil perduli. Suara tangisan itu semakin lama semakin sedih, semakin lama semakin menyayatkan hati… Secara samar-samar di tengah suara tangisan itu terdengar seruan yang terputus-putus, “Ooooh… ibu putrimu… putrimu sudah datang terlambat… aku tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa bertamu lagi dengan kau, ooooh mama… Oooooh…”Saking terharunya Siauw Ling ikut menangis dua titik air mata menetes keluar membasahi pipinya, dengan perlahan dia angkat ujung bajunya untuk mengusap.

Siapa tahu sepasang tangannya yang tadi digunakan untuk menahan badannya di atas permukaan salju membuat tangannya itu menjadi kaku, baru saja dia angkat tangannya ke atas segera terasalah badannya menjadi berat tak kuasa lagi tubuhnya terpeleset masuk ke dalam sumur kering tersebut.

Di dalam keadaan amat gugup dengan ajak-ajakan Siauw Ling berusaha untuk merambat barang apa yang didapatinya di pinggiran sumur tersebut.

Pada saat yang amat kritis itulah mendadak Siauw Ling merasakan badannya tersebut tersedot oleh suatu tenaga hisapan yang amat lunak menahan badannya disusul bau harum semerbak yang menyerang hidungnya.

Ketika dia sadar apa yang sudah terjadi terlihatlah dirinya kini sudah ada di dalam pelukan Gak Siauw-cha, sepasang matanya yang jeli tetap tak henti-hentinya meneteskan air mata.

Dengan gugup Siauw Ling meloncat berdiri. Tiba-tiba sinar matanya terbentur dengan orang yang sedang bersila ini! Tubuhnya dengan cepat menubruk ke depan.

Tapi dengan cepat tubuhnya sudah tertahan oleh sebuah tangan halus yang melintang di depan dadanya.

“Kongcu, kau jangan sembrono, ibuku sudah meninggal dunia!”terdengarlah suara Gak Siauw-cha yang sedih berkumandang masuk ke dalam telinganya.

Siauw Ling cuma merasakan dadanya seperti dipukul dengan sebuah martil yang amat berat, darahnya bergolak amat keras sedang seluruh wajahnya berubah menjadi merah padam.

Perubahan yang amat mengejutkan ini benar-benar membuat Siauw Ling termangumangu.

Lama sekali dia baru berhasil menguasai hatinya.

“Bibi Im adalah ibumu??”Tanyanya sembari memandang sekejap ke arah Gak Siauwcha.

“Benar, dialah ibu kandungku!”Sahut Siauw-cha sembari melelehkan air mata.

Dengan perlahan Siauw Ling menoleh kembali ke arah diri Im Kauw, terlihatlah pada saat Im Kauw sedang duduk bersila dengan amat tenangnya wajahnya yang memerah serta pakaiannya yang rajin persis seperti orang hidup, hal ini membuat perasaan gusar meliputi hatinya.

“Kau orang jangan omong kosong!”makinya keras. “Kau kira aku seorang bocah cilik yang belum pernah melihat orang mati?? Bibi Im sering duduk bersemedi seperti ini, maka mungkin dia sudah meninggal??”“Kongcu mana kau orang tahu?”Sela Gak Siauw-cha sambil gelengkan kepalanya.

“Tenaga dalam ibuku amat tinggi bahkan diapun sudah menelan pil sakit untuk mempertahankan jenasahnya, karena itu badannya tidak akan rusak.

““Aku tidak percaya omonganmu, bibi Im masih segar bugar mana mungkin bisa mati di dalam sumur kering ini. Bibi Im… bibi Im…”Sekalipun dia sudah berteriak-teriak seberapa kali Im Kauw tetap berdiam diri tak menjawab.

Dengan adanya gangguan dari Siauw Ling ini kesadaran Gak Siauw-cha pun pulih beberapa bagian, jawabnya dengan sedih, “Untuk selamanya kau orang tidak akan memperoleh jawabnya Heeey! Kongcu kau yang dididik dalam ilmu surat saja tidak akan paham urusan yang sudah terjadi di dalam Bulim. Untuk memberi penjelasan yang sejelas-jelasnya kepadamu.

“Dia berhenti sebentar kemudian sambungnya, “Lebih baik kongcu bisa sedikit menenangkan pikiran, janganlah sampai mengejutkan orang-orang lain.

““Bibi Im apa benar-benar sudah meninggal?”Tanya Siauw Ling dengan pandangan penuh ragu dan curiga.

Dengan paksakan diri menahan kesedihan yang menyerang hatinya Gak Siauw-cha mengangguk.

“Benar! jika aku bisa datang beberapa hari lebih pagi mungkin masih sempat untuk bertemu muka dengan ibuku.

“Sekali lagi Siauw Ling mengalihkan pandangannya ke arah Im Kauw.

“Tapi bibi Im sedikitpun tidak mirip sudah mati!”Serunya ngotot dengan tidak percaya dia mengeluarkan tangannya mencoba memeriksa napas dari bibinya.

Tangannya ada rasa sedikit gemetar sedangkan air mukanya penuh perasaan terkejut bercampur curiga yang amat besar.

Gak Siauw-cha sendiripun tidak mencegah dirinya lagi cuma matanya dengan amat tajam memperhatikan tangannya yang mulai mendekati mayat ibunya. Dia takut Im Kauw akan rusak oleh sentuhan tersebut.

Dengan perlahan tangan Siauw Ling tersentuh dengan wajah Im kauw yang sudah dingin kaku bagaikan es itu. Saat itulah dia baru percaya kalau bibi Im nya memang benar-benar sudah binasa.

Sesudah melengak beberapa saatnya tak kuasa lagi dia menangis tersedu-sedu.

“Kongcu harap kau jangan menangis keras-keras hal ini tidak boleh sampai diketahui oleh orang-orang lain!”seru Gak Siauw-cha setengah berbisik.

“Bibi Im betul-betul sudah meninggal, aku mau memberitahukan hal ini kepada Tia serta Mama agar mereka bisa mengusahakan sesuatu upacara penguburan yang lebih bagus.

““Tidak bisa, tidak bisa jadi…”Cepat Gak Siauw-cha membantah. “Peristiwa ini tidak bisa mengejutkan orang tuamu aku tak mau mengirim mayat ibuku secara diam-diam.

““Kau mau membawanya kemana?”“Menurut surat wasiat ibumu dia minta mayatnya dipindahkan ke suatu tempat yang sudah ditentukan.

““Semakin dipikir pikiranku semakin linglung,”ujar Siauw Ling gelengkan kepalanya, “Bukankah bibi Im dalam keadaan baik-baik saja bagaimana secara mendadak dia bisa meninggal? Heeey, aku tahu bahwa bibi Im tidak akan seorang diri tapi aku sama sekali tidak menduga kalau dia bisa meninggal di dalam sumur ini!”“Di dalam surat wasiatnya ibuku sudah jelaskan kalau budi kebaikan kalian kepada dia orang tua amat besar sekali. Dia orang tua tidak ingin menyusahkan kalian dia minta aku secara diam-diam kirim jenasahnya ke suatu tempat yang aman.

““Dimana?”desak Siauw Ling dengan cepatnya.

“Kongcu tidak paham akan urusan dunia kangouw. Juga tidak kenal nama-nama dari jagoan Bulim sekalipun aku memberitahukan kepadamu kaupun tidak akan tahu.

““Lalu cici akan berangkat sekarang juga?”Gak Siauw-cha mengangguk.

Jilid 2 “Aku mau menghantarkan jenazah ibuku menuju ke tempat yang sudah ditujukan olehnya.

““Aku ikut pergi!”Tiba-tiba Siauw Ling berseru tanpa berpikir lagi.

“Tidak bisa! tidak bisa!”teriak Siauw-cha berseru kaget. “Perjalanan ini sangat jauh sekali apabila penuh dengan bahaya maut yang setiap saat bisa mengancam, kongcu kau orang tidak boleh ikut aku pergi menempuh bahaya.

“Siauw Ling tidak mau tahu, dengan ngotot dia menjerit-jerit, “Tidak, aku mau ikut, aku mau ikut… bibi Im sangat baik memperlakukan diriku, kini dia meninggal apakah tidak seharusnya aku ikut menghantarkan jenazahnya? Cici… aku tetap mau ikut… aku mau ikut…”Tak kuasa lagi Siauw Ling menangis tersedu-sedu.

“Terima kasih atas maksud baik dari kongcu budakmu disini mengucapkan banyak terima kasih.

“Begitu selesai dia berkata tanpa sungkan-sungkan lagi dia jatuhkan diri memberi hormat.

Siauw Ling menjadi cemas, dengan cepat diapun jatuhkan diri berlutut dihadapan jenazah Im Kauw, ujarnya, “Bibi Im memang aku seperti putra kandungnya sendiri dan amat sayang padaku tak kalah seperti ibu kandung sendiri…. nona kau boleh dikata adalah ciciku, heeey lain kali kau jangan memanggil aku dengan sebuta kongcu lagi.

““Lalu budakmu harus memanggil dengan sebutan apa?”Siauw Ling berpikir sebentar.

“Aku kecil beberapa tahun dari kau, baiknya kau panggil aku sebagai adik saja.

““Soal ini budakmu tidak berani.

““Apanya yang tidak berani? Kau boleh besar dari aku kau harus panggil aku dengan sebutan adik, hal ini merupakan peraturan yang sudah terbiasa.

“Melihat sikapnya yang tulus ikhlas dari Siauw Ling, Gak Siauw-cha tidak tega untuk menolaknya kembali, dia menghela napas panjang.

“Kalau kongcu berbicara begitu, baiklah aku menurut perintah saja.

“Sejenak suasana menjadi hening. Siauw Ling dongakkan kepalanya termenung sedang Gak Siauw-cha pun sedang memandang jenazah ibunya dengan amat sedih, mendadak suara dari Siauw Ling memecah kesunyian, “Cici, bawalah serta diriku!”“Adik cepatlah kau keluar dari sini, soal itu tidak bisa diambil secepatnya.

““Apa mungkin cici benci diriku?”“Siapa yang bilang? budi pertolongan dari orang tuamu terhadap diriku sudah membuat hatiku sangat berterima kasih!”“Lalu mengapa kau orang tidak mau membawa aku ikut serta dalam perjalanan ini?”“Perjalanan kali ini amat jauh sekali bahkan diliputi oleh suasana yang sangat membahayakan, apalagi kau adalah putra tunggal dari keluarga Siauw , jika aku membawa kau serta bukanlah kedua orang tuamu akan merasa cemas?”Dengan perlahan Siauw Ling bangkit berdiri dia pandang wajah Im Kauw yang masih segar itu dengan terpesona, lama sekali dia termenung.

“Dia bilang usiaku tidak akan lebih dari dua puluh tahun, dia orang tua tidak akan banyak mengurusi diriku, sedang ibuku sangat cinta padaku. Mungkin dia tidak akan rela membiarkan aku melakukan perjalanan seorang diri.

““Dia sering mempelajari ilmu meramal, ilmu obat-obatan, kitab suci, syair dan lain-lain bahkan dalam niatnya dia sudah bermaksud untuk membawa aku berpesiar kesemua tempat terkenal kini bilamana dia orang tahu kalau aku hendak ikut cici melakukan perjalanan jauh bukan saja tidak akan menghalangi ini aku mungkin akan mencarikan satu cara agar ibuku menjadi lega hati.

““Kalau begitu kau pulanglah dulu,”ujar Gak Siauw-cha kemudian sambil memandang cuaca. “Untuk berangkat akupun harus sedikit mengadakan persiapan,”berkata Gak Siauw-cha.

Diam-diam Siauw Ling berpikir di dalam hati, “Asalkan aku secara diam-diam memeriksa sumur tua ini dia tidak akan bisa membawa jenazah bibi Im berlalu secara diam-diam sepengetahuanku, waktu itu dia tidak akan lolos dari pengawasanku lagi.

“Dia segera mengangguk tanda setuju.

Tapi mendadak pada ingatannya berkelebat suatu ingatan, tinggi sumur itu ada satu kaki lebih sedangkan di sekeliling tempat itu tiada tempat untuk taruh kaki, bagaimana mereka bisa keluar dari sana? Dengan hati murung ujarnya, “Cici, jika ada orang yang menaruh tali di atas sumpa kita baru bisa keluar dari sumur ini.

“Walaupun dia adalah seorang bocah yang cerdik tapi tetap merupakan seorang bocah yang tidak tahu urusan Bulim, tentang hal-hal yang aneh dia orang sama sekali tidak mengerti.

Mendengar perkataan tersebut Siauw-cha segera tertawa.

“Kau pejamkan matamu. Aku bisa hantar kau ke atas!”Siauw Ling menjadi ragu-ragu, dinding sumur yang demikian tingginya bagaimana bisa dipanjati? mungkin kecuali mempunyai sayap tidak akan bisa lolos lagi dari sana walaupun begitu dia orang tidak mau banyak tanya. Segera dia tutup matanya.

Kiranya di dalam hati kecil dia sudah ambil keputusan untuk melihat dengan cara bagaimana Siauw-cha hendak mengantar tubuhnya keluar dari sumur setinggi tiga kaki ini.

“Adik Ling hati-hatilah?”terdengar Siauw-cha sudah berseru.

Sepasang tangannya ditekankan ke bawah ketika Siauw Ling kemudian serunya kembali dengan perlahan, “Jangan takut!”Siauw Ling cuma terasakan segulung angin kencang yang amat keras mengalir keluar dari kedua ketiaknya membuat seluruh tubuhnya terangkat sama sekali ke atas! Di dalam sekejap saja dia merasakan hawa dingin dari salju di depan sumur, kiranya dia orang sudah berada di atas permukaan tanah kembali.

Gak Siauw-cha pun ikut melayang tubuh Siauw Ling, “Adik Ling kau takut?”tanyanya perlahan.

“Sedikit takut, cuma sekarang sudah tidak.

“Perlahan-lahan sinar matanya berhenti di atas wajah Siauw-cha ujarnya dengan serius, “Bibi Im sangat baik memperlakukan diriku, hatiku sampai kini terus menerus masih merindukan dirinya, tapi kini bibi Im sudah meninggal aku harus menghantarkan jenazah ke tempat tujuan perjanjian diantara kita baiknya diputuskan demikian saja, “Cici! kau jangan menipu aku, kau tidak boleh berangkat seorang diri!”Gak Siauw-cha menjadi melengak.

“Bilamana adik Ling sungguh-sungguh mau ikut aku pergi, bukankah akan membuat orang tuamu merasa kuatir?”“Tidak, sesudah jenazah bibi Im dikubur aku akan segera pulang, nanti malam pada kentongan ketiga aku akan pergi cari kau.

“Setelah itu barulah Siauw Ling putar badannya meninggalkan tempat tanpa menoleh lagi.

Gak Siauw-cha yang melihat bayangan punggung Siauw Ling lenyap dibalik pepohonan, hatinya benar-benar merasa terharu pikirnya, “Pada waktu dia pergi sekali menolehpun tidak, hal itu membuktikan kalau dia benar-benar percaya padaku, walaupun di dalam surat wasiatnya ibu memesan kepadaku agar aku menjaganya baik-baik tetapi sama sekali tidak pernah mengatakan bolehkah aku membawa dia keluar rumah, keluarga Siauw begitu baiknya terhadap aku orang, aku sendiri juga tidaklah seharusnya meninggalkan Siauw Ling begitu saja. Hey jika aku benar-benar membawa dia pergi bukankah hal ini membuat kedua orang tuanya bersedih hati?”Semakin berpikir hatinya semakin kacau tak terasa lagi dia menghela napas panjang.

Sekembalinya di dalam kamar dengan tergesa-gesa Siauw Ling menulis sepucuk surat buat ayah ibunya, kemudian membereskan sedikit pakaian yang dibungkus ke dalam sebuah buntalan dan disembunyikan di bawah pembaringan. Walaupun dia belum pernah melakukan perjalanan jauh tetapi dia sering mendengar ayahnya menceritakan bagaimana waktu hendak mengadakan perjalanan.

Dia mengharapkan sang surya cepat lenyap di arah barat, dia mengharapkan malam hari cepat menjelang. Teringat akan perjalanannya kali ini entah sampai kapan baru kembali, sampai kapan baru bisa bertemu kembali dengan ayah ibunya. Hatinya serasa amat sedih, tapi mengingat dia akan melihat pemandangan-pemandangan indah yang belum pernah ditemuinya, hatinyapun merasa amat gembira.

Saking banyaknya pikiran yang berputar di dalam otaknya tak terasa lagi Siauw Ling sudah tertidur pulas.

Mendadak dia dikejutkan oleh suara panggilan yang amat perlahan sekali di pinggir tubuhnya, “Adik Ling, cepat bangun!”Siauw Ling menjadi terkejut, cepat-cepat dia melompat bangun dari atas pembaringan dan menyambar buntalan yang disembunyikan di bawah pembaringannya.

Tidak salah lagi, Gak Siauw-cha sudah ada disana dan sedang berdiri dengan tenangnya.

Dia orang segera menerima buntalan dari Siauw Ling dan katanya, “Adik Ling, mari aku bawa kau pergi dari sini!”Dengan memeluk pinggangnya dia segera melayangkan badannya meninggalkan tempat itu. Siauw Ling yang melihat kepandaiannya amat tinggi seperti seekor burung saja hatinya semakin kagum lagi, pikirnya, “Pada suatu hari aku harus bisa berlatih ilmu seperti cici ini.

“Gerakan tubuh Gak Siauw-cha amat cepat sekali, dalam sekejap mata dia sudah berada di tengah pegunungan yang sunyi.

Malam ini merupakan suatu malam yang amat gelap, semua permukaan tanah cuma terlihat salju yang amat putih, angin dingin bertiup amat kencangnya membuat setiap orang merasa menggigil.

Siauw Ling yang kedinginan tak terasa lagi sudah menyusupkan kepalanya ke dalam pangkuan Gak Siauw-cha.

Mendadak Gak Siauw-cha menghentikan larinya.

. . 0 “SIAUW LING, kau naiklah ke dalam kereta,”ujarnya halus.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar