Rahasia Istana Terlarang Jilid 34

JILID 34

“Aaah, terlalu berbahaya” seru Sang Pat setelah tertegun.

“Siauw heng telah mengambil keputusan bulat, rasanya kalian berdua tak usah menasehati diriku lagi, aku segera akan mengambil tali jerami itu!”

Habis berkata ia segera putar badan berlalu.

Dari air muka Siauw Ling kukuh dan serius, sepasang pedangan dari Tiong chiu mengerti bahwa keputusannya telah bulat dan tak mungkin dirubah kembali, terpaksa ia membungkam dalam seribu bahasa.

Gerakan tubuh Siauw Ling amat cepat, tidak selang beberapa saat kemudian ia telah muncul kembali sambil membawa dua ikat tali jerami yang sangat panjang, setelah meletakkan tali itu ketanah ia menyapu sekejap kearah kedua orang saudaranya, kemudian berkata, “Kalian menurut pendapat siauw heng, panjang tali jerami ini rasanya cukup untuk mencapai kedasar lembah!”

“Toako!” sela Sang Pat. “Dewasa ini kau adalah pemimpin dari kaum patriot didalam dunia persilatan, tidak pantas kalau kau menempuh bahaya bagi suatu masalah yang tidak berguna, bagaimana kalau siauatwe saja yang mewakili diri toako?”

Sambil tertawa Siauw Ling segera menggelengkan kepalanya.

“Saudaraku, kau terlalu gemuk, mungkin tali itu tak kuat menahan berat badanmu.”

“Bagaimana kalau aku saja?” Tu Kioe menawarkan jasa baiknya.

“Tak usah, lebih baik siauwte saja yang menengok sendiri!”

Seraya berkata si anak muda itu segera melepaskan ikat tali jerami tersebut.

Sang Pat melirik sekejap kearah Tu Kioe dan akhirnya ia berkata, “Kalau memang toako telah mengambil keputusan, siauwte tidak akan menghalangi niatmu lebih lanjut.”

Rupanya Siauw Ling sudah amat gelisah setelah mengikat tali jerami tadi keatas pinggang sendiri serunya, “Ditengah lembah yang luas suara manusia akan memantul balik, bila siauw heng membutuhkan bantuan kalian berdua untuk turun kebawah, maka aku akan bersuit tiga kali sebagai tanda.”

Tidak menanti jawaban dari Sang Pat serta Tu Kioe lagi ia segera melayang turun kedasar lembah.

Sang Pat segera memegang ujung tali dan perlahan-lahan mengerek turun kebawah. Disamping itu diapun memeriksa tali tersebut dengan seksama, bila menjumpai bagian yang kurang kuat ia menyambangnya kembali dengan sempurna, tingkah lakunya cermat dan pekerjaannya teliti.

Dalam pada itu sambil mengempos tenaga dan mengenakan sarung tangan kulit ular saktinya Siauw Ling merambat turun kedasar lembah, ia jumpai dinding tebing sangat curam dan sebagian besar dipenuhi oleh lumut, hatinya jadi terkejut bercampur terkesiap, pikirnya, “Dinding tebing ini begitu licin dan curam, meskipun seseorang memiliki ilmu meringankan tubuh yang bagaimana dahsyatpun tak nanti bisa digunakan secara sempurna.”

Belum habis ia berpikir, mendadak kaki kanannya menyentuh segumpal benda yang empuk dan lunak.

Sebagai seorang jago kangouw yang sudah banyak pengalaman, begitu menyentuh sesuatu benda ia segera menyadari bahwa yang disentuh bukanlah dahan atau ranting pohon. Laksana kilat tangannya mencekal tali erat-erat dan meloncat kembali tiga depa ketengah udara.

Sang Pat lebih pengalaman dari siapapun ketika merasakan uluran talinya mendadak mengencang, ia tahu bahwa si anak muda itu pasti telah mengalami perubahan yang tak terduga, uluran talipun segera dihentikan.

Setelah tubuhnya melayang kembali beberapa depa ketengah udara, Siauw Ling baru sempat melongok kebawah, ia saksikan seseorang sedang duduk bersila diatas sebuah batu tonjolan yang amat besar.

Penemuan diluar dugaan ini sangat menggetarkan hati Siauw Ling, setelah tertegun beberapa saat lamanya ia segera menegur, “Siapakah kau?”

Siapa tahu kendati pertanyaan itu telah diulangi beberapa kali, sedikitpun tidak mendengar suara sahutan.

Siauw Ling merasa semakin tercengang pikirnya, “Jangan-jangan orang sudah mati? tapi kalau ditinjau dari sikapnya yang sedang duduk bersila, tidak mungkin dia sudah mati.”

Karena curiga maka diapun segera menegur, “Sebetulnya kau adalah manusia hidup atau sudah mati?”

Ucapan ini ternyata manjur sekali, orang yang sedang duduk bersila itu dengan cepat menunjukkan reaksinya. Dengan nada penuh kegusaran teriaknya, “Kalau loohu sudah modar, tidak nanti aku masih duduk bersila ditempat ini.”

“Kalau kau orang hidup kenapa tak mau menyahut sekalipun aku sudah bertanya beberapa kali?” pikir Siauw Ling didalam hati. “Dasar manusia ini memang radaan konyol….”

Iapun lantas bertanya, “Mau apa saudara berada disini?”

Setelah mengutarakan sepatah kata tadi ternyata orang itu tidak berbicara lagi.

Siauw Ling segera mengerutkan dahinya, ia berpikir, “Orang ini lari ketempat yang tidak dekat langit jauh dari bumi duduk bersila diatas batu tonjolan, andaikata tidak memiliki ilmu yang lihay sulit untuk melakukannya, apalagi keberanian orang ini sudah cukup untuk dikagumi….”

Ia mendehem dan berkata lagi, “Cayhe ingin meminjam batu tonjolan dimana kau sedang bersila itu untuk beristirahat sejenak, apakah heng thay suka menginjinkan?”

“Batu ini bukan milik pribadiku, mau istirahat atau tidak itu urusan pribadimu, apa sangkut pautnya dengan diriku?”

“Enak amat jawaban orang ini….” pikir Siauw Ling didalam hati, sambil diam-diam mengerahkan tenaga untuk menjaga diri dari serangan bokongan, perlahan-lahan ia merogot turun kebawah.

Luas tonjolan batu cadas itu cuma empat depa dan berdiri diantara tebing-tebing yang curam, orang itu duduk bersila ditengah dan menduduki hampir dua depa luasnya, disebelah sisi kiri dan kanan masing-masing tinggal tanah luang seluas satu depa, seandainya ia melancarkan serangan secara tiba-tiba jelas sukar dihadapi karena itu dengan sangat hati-hati si anak muda itu melayang turun kebawah, setelah kakinya berdiri mantap diatas batu karang barulah ia melepaskan cekalannya pada sang tali.

Setelah berhasil berdiri tegak si anak muda itu baru sempat memperhatikan orang tadi, dia lihat orang itu pejamkan matanya rapat-rapat, dadanya naik turun dan napasnya tersengkal-sengkal rupanya ia sedang menyembuhkan luka dalam yang sedang diderita, pemuda kita jadi keheranan pikirnya, “Kenapa orang ini bisa lari kemari hanya untuk menyembuhkan luka dalamnya saja?”

Ia segera berkata, “Sahabat, apakah kau sedang mengerahkan tenaga dalam untuk menyembuhkan lukamu?”

Dalam pada itu bintang bertaburan diangkasa, raut wajah orang itu dapat terlihat dengan amat jelas.

Tampaklah orang itu punya wajah yang lebar, telinga yang besar, jenggot panjang dibawah janggut dan memakai ikat kepala berwarna hijau, keadaannya nampak gagah sekali.

Rupanya ia sedang berada disaat yang paling kritis, sejak Siauw Ling melayang turun keatas batu cadas orang itu sama sekali tak pernah membuka matanya untuk memandang kearahnya.

Mendadak sekujur tubuh lelaki kekar itu mulai gemetar keras keringat dingin mengucur keluar tiada hentinya membasahi seluruh tubuhnya.

Menyaksikan keadaan itu, Siauw Ling sadar bahwa orang itu sedang berada dalam keadaan kritis, hawa murni didalam tubuhnya gagal untuk menembusi urat penting yang terluka itu. Maka ia segera tempelkan tangan kanannya keatas tubuh orang itu sambil ujarnya, “Cayhe tidak tahu kalau heng thay sedang merawat lukamu ditempat ini, dan sekarang terbukti bahwa karena gangguanku membuat kau jadi gagal untuk menembusi nadi penting, karena itu sudah sewajarnya kalau kubantu dirimu sebagai tanda minta maaf dari diri cayhe.”

Telapak tangannya segera ditempelkan keatas dada lelaki tadi dan hawa murnipun disalurkan keluar.

Sebagai seorang jago dengan tenaga kweekangnya yang amat sempurna, begitu hawa murninya menerjang isi perut orang tadi, nadi penting yang tersumbat didalam tubuhnya pun segera berhasil ditembusi.

Tampaklah sekujur tubuh sang lelaki yang gemetar keras tadi kian lama kian berkurang dan keringatpun semakin menipis.

Siauw Ling tahu bahwa jalan darahnya yang terluka telah tembus dan saat yang kritispun telah dilampaui, perlahan-lahan ia tarik kembali tangan kanannya.

“Saudara, terima kasih atas bantuanmu.”

“Tak usah” tampik Siauw Ling sambil tersenyum. “Andaikata cayhe tidak datang menganggu mungkin sedari tadi heng thay telah berhasil menyembuhkan lukamu dan tak usah menerima bantuan dari cayhe lagi.”

Walaupun belum lama ia menerjunkan diri kedalam dunia persilatan, tetapi pengetahuannya amat luas, ia tahu banyak orang Bulim yang ingin menang sendiri. Oleh karena itu bukan saja ia menampik pujian orang bahkan malah menghibur ornag itu dengan kata-kata merendah.

Dengan mata melotot bulat lelaki itu memperhatikan pemuda kita dari atas hingga kebawah, kemudian ujarnya, “Mau apa kau datang kemari?”

“Eeeei…. sebelum aku bertanya ia malah mengajukan pertanyaan lebih dahulu” pikir Siauw Ling.

Terpaksa ia menjawab, “Oooh, cayhe? karena menemukan sesuatu yang mencurigakan didasar lembah dan timbul perasaan ingin tahuku, maka aku hendak pergi kedasar lembah sana untuk melakukan penyelidikan.”

“Kawan, aku turun kebawah dengan tali berarti diatas puncak masih ada rekan-rekanmu yang menunggu?” kata lelaki itu lagi setelah melirik sekejap kearah tali yang bergelantungan dari atas.

“Tidak salah, dan saudara apa juga seorang diri?”

“Dua orang, cuma sekarang tinggal aku seorang diri.”

“Lalu dimanakah sahabatmu itu?”

“Sudah mati!”

“Lali jenasahnya?”

“Terbuang didasar lembah, seandainya mereka tahu kalau aku masih hidup niscaya cayhe tidak akan dibiarkan lolos dari sini.”

“Kalau ditinjau dari keadaan jelas didasar lembah benar-benar tersembunyi jago Bulim yang sangat lihay” pikir Siauw Ling didalam hati kecilnya. “Aku harus mencari akal untuk mengorek keterangan dari mulut orang ini, rupanya tidak sedikit yang dia ketahui.”

Ia lantas bertanya, “Heng thay, kau she apa?”

“Cayhe Toan Boen Seng!” jawab silelaki itu setelah termenung sebentar.

Siauw Ling menjura. “Ooooh…. kiranya Toan heng!”

“Tolong tanya siapa saudara?” tanya lelaki itu sambil membalas hormat.

“Cayhe Siauw Ling!”

“Apa? kau adalah Siauw thayhiap yang nama besarnya telah menggetarkan seluruh dunia persilatan?”

“Tidak berani, cayhe Siauw Ling!”

“Siauw thayhiap, kedudukanmu terhormat dan agung, tapi sekarang ternyata kau sudi merendahkan diri untuk mengunjungi gunung yang terpencil, mungkinkah kaupun sedang mencari letak istana terlarang?”

Ucapan ini segera menggerakkan hati Siauw Ling.

“Sedikitpun tidak salah” segera sahutnya. “Darimana Toan heng bisa mengetahui maksud tujuanku?”

“Sejak Siauw thayhiap bertarung sengit didalam perkampungan Pek Hoa San cung, menghancurkan barisan Ngo Liong Tin, melawan Shen Bok Hong, seluruh umat Bulim telah ikut bangkit untuk menentang kelaliman, setiap orang memuji kehebatanmu menghormati kegagahanmu, dan situasipun mengalami perubahan amat besar, seandainya kau bukan lagi mencari letak istana terlarang, mana mungkin Siauw thayhiap menyingkirkan masalah besar itu tanpa diurusi.”

“Ucapannya memang tidak salah” pikir pemuda kita. “Tetapi begitu buka mulut kau telah menebak bahwa aku sedang mencari letak istana terlarang bahkan ucapannya begitu yakin, sedikitpun tiada tanda-tanda sedang menyelidiki…. jelas ada sesuatu yang tidak beres dibalik kejadian ini…. aku harus mengorek keterangan dari mulutnya.”

Suatu ingatan cerdik berkelebat dalam benaknya, ia segera tersenyum dan menegur, “Toan heng, bagus sekali! ternyata kau berhasil datang kemari satu langkah lebih cepat dari siauwte.”

“Tidak, ada orang yang jauh lebih cepat beberapa hari dari kita!” sahut Toan Boen Seng seraya gelengkan kepalanya.

Mendengar jawaban itu Siauw Ling merasa amat terperanjat.

“Apa?” serunya tertahan.

“Ada orang yang tiba disini beberapa hari lebih pagi dari kita.”

“Jangan-jangan letak puncak Eng Yang Hong setelah Boan Coa Kok berada disekitar tempat ini” si anak muda itu segera berpikir. “Apakah In Wan Hong adalah persamaan arti dari pada Eng Yang Hong?”

Berpikir demikian ia lantas berkata, “Menurut apa yang cayhe ketahui anak kunci istana terlarang belum pernah munculkan diri didalam dunia persilatan, dari mana orang bisa tahu kalau istana terlarang terletak disini?”

“Dan Siauw thayhiap sendiri bagaimana bisa tahu pula istana terlarang berada disini?” Toan Boen Seng balik bertanya sambil tertawa.

“Sungguh tajam lidah orang ini dan sungguh cerdas pikirannya….” batin Siauw Ling, setelah termangu sejenak ia menyahut, “Cayhe mendapat petunjuk dari seorang kenamaan untuk berangkat kemari….!”

“Nah itulah dia orang itu bisa memberi petunjuk kepada Siauw thayhiap untuk datang kemari mencari istana terlarang, tentu saja diapun bisa memberi petunjuk pula kepada orang lain untuk datang kemari, siauwte pun merupakan salah seorang yang datang kemari karena memperoleh petunjuk orang pandai.”

“Bagus!” batin si anak muda itu lagi. “Aku hanya mengarang satu alasan sekenanya belaka, sungguh tak disangka benar-benar ada kejadian nyata seprti ini.”

Ia mendehem ringan dan berkata, “Toan heng, apakah kau dapat memberitahukan kepada siauwte, atas petunjuk dari siapakah kau bisa datang kemari?”

“Kalau orang lain yang bertanya cayhe tak akan menjawab, tetapi Siauw thayhiap yang mengajukan pertanyaan ini, mau tak mau cayhe harus mengatakannya juga.”

Ia mendongak memandang keangkasa dan termenung sejenak, lalu sambungnya, “Cayhe dan seorang saudara angkatku pada tiga hari berselang disebuah selokan gunung kurang lebih sepuluh li dari sini telah menolong seorang yang menderita luka parah, pada saat itu orang tadi sudah sekarat dan tinggal menanti ajalnya tiba. Cayhe serta saudaraku itu gagal menyelamatkan jiwanya kendati kami usahakan untuk menolong dengan menggunakan pelbagai obat mujarab disaat pikirannya jernih itulah….”

“Orang itu memberitahukan kepada kalian bahwa istana terlarang terletak disini?”

“Tidak salah, setelah mengucapkan kata-kata itu diapun menghembuskan napasnya yang terakhir….”

“Apa yang dia katakan?”

Mendadak dengan sepasang mata melotot bulat Toan Boen Seng menatap wajah Siauw Ling tajam-tajam, kemudian serunya, “Sebenarnya kau adalah Siauw thayhiap atau bukan?”

“Seorang lelaki sejati tidak akan meminjam nama orang lain, cayhe betul-betul adalah Siauw Ling!”

“Kalau kau betul-betul adalah Siauw Ling tentu saja cayhe akan mengatakannya terus terang orang itu bilang bahwa istana terlarang terletak dibawah puncak In Wan Hong.”

“Apa yang dikatakan orang itu lagi?”

“Selesai mengucapkan kata-kata tersebut, orang itu menghembuskan napasnya yang penghabisan.”

Siauw Ling termenung sejenak, lalu katanya lagi, “Apakah kalian berdua sudah mendengar dengan jelas? haruslah diketahui terpaut kata-kata sedikit saja bisa mengakibatkan salah tempat yang mungkin terpisah ribuan li, misalnya saja orang itu mengatakan puncak Eng Yang Hong, suara sama tapi tulisan berbeda.”

“Tak bakal salah” Toan Boen Seng gelengkan kepalanya berulang kali. “Cayhe dan Gie te ku telah mendengar dengan amat jelasnya, waktu itu kami masih rada kurang percaya, setelah kami mengubur jenasah orang itu mendadak terpikir oleh kami, apa salahnya kalau datang kebawah puncak In Wan Hong untuk melakukan penyelidikan.”

“Darimana kau bisa tahu kalau letaknya berada ditengah lembah bukit ini….?”

“Setibanya diatas puncak In Wan Hong, kami melakukan pemeriksaan yang seksama disekitar tempat ini, namun sedikitpun tidak berhasil menemukan hal-hal yang mencurigakan hati, hingga tengah malam tiba mendadak kami temukan kerlipan cahaya hijau muncul dari dasar lembah, seandainya tiada ucapan orang itu cayhe berdua tidak nanti akan menaruh curiga sampai kesitu, tapi setelah mendengar ucapan orang tadi, dan didalam hatipun sudah ada persiapan maka setelah menjumpai kerlipan cahaya hijau tersebut, rasa curiga dalam hati kamipun segera timbul. Menunggu setelah fajar menyingsing kami segera mencari jalan untuk turun kedasar lembah.”

“Setibanya didasar lembah apakah kalian berdua segera terbokong oleh tangan-tangan keji?”

“Tidak, lembah curam itu panjangnya mencapai puluhan li sedang untuk menuruni lembah itupun harus melalui perjalanan sejauh puluhan li pula. Kami harus menghamburkan waktu selama hampir satu hari untuk menuruni lembah ini, ketika mengikuti jalan gunung dan tiba didasar puncak In Wan Hong. Senja telah menjelang tiba, suasana dalam lembah gelap gulita dan susah untuk melihat jelas pemandangan didalam lembah tersebut.”

“Jadi kejadian itu berlangsung malam ini.”

“Betul pada malam ini juga.”

“Setengah hari sudah aku bercakap-cakap dengan orang ini namun pokok pembicaraan belum juga disinggung” pikir Siauw Ling dalam hati. “Dewasa ini waktu sangat berharga bagaikan emas, aku tak boleh terlalu banyak membicarakan persoalan yang tak berguna….”

Berpikir demikian ia lantas bertanya, “Secara bagaimana saudara yang datang bersama Toa heng itu menemui ajalnya.”

“Mungkin dia menemui ajalnya diujung senjata rahasia yang sangat beracun. Aku hanya mendengar jeritan ngerinya yang menyayatkan hati, ketika aku memburu disana ia telah menemui ajalnya.”

“Apakah Toa heng berhasil menjumpai raut wajah pihak musuh?”

“Waktu itu suasana didalam lembah gelap gulita. Pemandangan didepan sangat kabur dan tidak jelas, tatkala siauwte sedang memperhatikan jenasah saudara angkatku itu. Mendadak punggungku termakan oleh sebuah pukulan yang amat dahsyat. Untung cayhe melatih ilmu Teng cu Koen Goan Khiekang lagipula berada dalam keadaan siap siaga maka dari itu meskipun terkena hantaman dahsyat aku masih sanggup mempertahankan diri, sambil meloncat untuk menyingkir kesamping aku menoleh kebelakang tapi tidak nampak bayangan musuh berada disitu.”

“Mungkin mereka menyembunyikan diri ditempat kegelapan?”

“Mungkin saja begitu! tetapi hantaman itu cukup mantap dan berat. Cayhe sadar bahwa aku tidak memiliki kemampuan untuk bertarung lagi, setelah kujumpai pihak lawan tak berani unjukkan diri maka kesempatan baik itu segera kugunakan untuk melarikan diri.”

Siauw Ling melongok kebawah, dia lihat dibawah batu tonjolan itu merupakan tebing curam yang sangat terjal, sekalipun seorang jago lihay yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling lihaypun tak mungkin bisa mencapai tonjolan batu itu apalagi Toan Boen Seng yang sedang menderita luka parah.

Rupanya Toan Boen Seng berhasil menebak keraguan hati si anak muda itu, tidak menanti ia ajukan pertanyaan dia sudah mendahului, “Kalau manusia belum ditakdirkan mati, dalam keadaan apapun ia akan temui jalan hidup, disaat cayhe buru-buru melarikan diri itulah terpaksa dengan menempuh mara bahaya aku mendaki keatas puncak bukit itu.”

“Waktu itu aku mengempos segenap kekuatan yang kumiliki untuk melompat naik keatas dan ternyata berhasil kulampaui ketinggian empat lima tombak. Kendati begitu segenap kekuatan tubuhku telah habis lagi pula puncak tebing kian lama kian meninggi dan curam. Jangan dikata cayhe, sekalipun seseorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh sepuluh kali lipat lebih lihay dari akupun tak nanti bisa mencapai atas puncak. Untung dimana cayhe berada waktu itu adalah suatu tempat dengan rerumputan yang tumbuh sangat lebat, terpaksa untuk sementara waktu aku bersembunyi dibalik rerumputan, baru saja cayhe sembunyikan badan dua rentetan sorot cahaya lampu yang tajam menerangi sekeliling tebing curam itu. Kurang lebih seperminum teh kemudian cahaya lampu tadi baru lenyap tak berbekas.”

“Secara bagaimana Toan heng bisa tiba diatas tebing ini?”

“Dimana cayhe berada waktu itu hanya bisa digunakan untuk menghindar sementara waktu mara bahaya setiap saat masih mungkin mengancam datang, disaat yang serba bingung itulah mendadak tanganku secara tidak sengaja menyentuh sebuah gelang besi yang besar, diatas gedung pintu sebenarnya masih ada sebuah gembokan besi, mungkin karena bagaimana tahu gembokan tadi sudah terlepas. Disini dinding batu ternyata merupakan sebuah pintu besar yang terbuat dari batu karang.”

“Apakah pintu batu itu merupakan bangunan hasil karya manusia?”

“Tentu saja! Kalau buatan alam diatas dinding batu tak akan dipasang gelang besi.”

“Apa yang kau jumpai dibalik pintu batu itu?”

“Sebuah anak tangga terbuat dari batu cadas yang langsung menghubungkan tebing tersebut dengan tempat ini. Setelah cayhe tiba disini aku tak sanggup untuk mendaki lebih jauh maka apa boleh buat terpaksa aku harus duduk semedhi disini lebih-lebih dahulu untuk menyembuhkan luka dalamku.”

“Apakah dibelakang tebing batu ini juga merupakan sebuah pintu hidup?”

Toan Boen Seng mengangguk.

“Asal Siauw thayhiap mendorongnya kearah belakang pintu batu itu segera akan bergeser kedalam.”

“Bagaimana keadaan luka sekarang?”

“Setelah mengatur pernapasan beberapa waktu, kendati belum sembuh seratus persen rasanya tidak akan berubah jadi buruk!”

“Kalau begitu silahkan Toan heng dengan meminjam tali ini mendaki keatas puncak bila bertemu dengan kedua orang saudaraku diatas puncak nanti ceritakanlah terus terang kepada mereka apa yang kau telah alami.”

“Bagaimana dengan Siauw thayhiap sendiri? apakah kau masih menggunakan tali ini lagi?”

“Tidak!” sahut Siauw Ling. Ia segera ikatkan tali jerami itu keatas pinggang Toan Boen Seng. Pesannya: “Setelah bertemu dengan kedua orang saudaraku diatas puncak nanti, janganlah kau membohongi mereka!”

Si anak muda itu segera menggerakkan tali jerami tai, dan tali itupun perlahan-lahan ditarik keatas.

Toan Boen Seng sendiri setelah pinggangnya diikat dengan tali, ia gunakan tangannya untuk bantu mendaki, sedikit demi sedikit badannya tertarik naik keatas puncak.

Dalam pada itu Siauw Ling sendiri setelah melihat Toan Boen Seng meninggalkan permukaan batu tonjolan tadi segera mendorong dinding tebing dibelakangnya.

Sedikitpun tidak salah, dibelakang dinding tebing itu merupakan sebuah pintu besar, begitu didorong pintu tadi segera terbuka.

Sesudah melakukan perjalanan selama beberapa waktu dalam dunia kangouw, pengalaman Siauw Ling telah memperoleh kemajuan pesat. Setelah mendorong dinding batu tadi ia tidak langsung masuk kedalam sebaliknya dengan seksama diperiksanya sekeliling pintu batu itu.

Ketajaman matanya luar biasa, walaupun berada ditengah kegelapan tapi setiap benda yang ada disekitar sana dapat terlihat dengan jelasnya.

Gua itu merupakan sebuah gua alam yang mendapat perbaikan dengan tenaga manusia, pintu batu yang ada didepan sangat tebal lagi kuat, diatas gelang besi masih nampak bekas gembokan yang sudah karatan dan patah seandainya bukan dimakan tahun sehingga hancur mungkin pintu batu sebesar ini sulit untuk dibuka.

Satu ingatan cerdik dengan cepat berkelebat didalam benaknya, pelbagai kecurigaan berkecamuk dalam hatinya, ia berpikir, “Walaupun gua ini merupakan sebuah gua alam, tapi jelas telah mendapat perbaikan yang amat besar dari tenaga manusia, kenapa orang itu harus mengerahkan kekuatan yang demikian besar, kekayaan yang begitu banyak untuk membangun sebuah terowongan batu yang besar dan kuat ditengah lembah bukit yang terpencil dan gersang….? jelas ia mempunyai maksud-maksud tertentu atau mungkin tempat ini benar-benar ada sangkut pautnya dengan istana terlarang….”

Sambil berpikir ia menuruni anak tangga dan berjalan kedalam lorong, ia rasakan bangunan terowongan itu amat lebar dan besar untuk dilalui sangat lega dan leluasa, jelas pembangunan ini dilakukan secara besar-besaran.

Mendadak undak-undakan batu itu membelok kebawah dan kemudian berubah jadi jalan datar.

Siauw Ling tahu bahwa ia telah tiba dimulut keluar terowongan itu, tangannya segera mendorong kearah didinding. Sedikitpun tidak salah selapis dinding batu segera terbentang lebar, kerlipan cahaya bintang tampak berkilauan diangkasa.

Dari keterangan Toan Boen Seng yang jelas pemuda ini telah mengetahui keadaan disekitar sana, dia tahu diluar pintu batu merupakan semak belukar yang lebar, maka setelah membuka pintu batu ia segera meloncat kearah depan.

Tinggi rerumputan diluar pintu goa sebatas pinggang, berada disekeliling bukit serta tebing yang terjal. Rerumputan disana terasa nyaman dan ideal untuk bersembunyi.

Dalam hati Siauw Ling memuji tiada hentinya, ia berpikir, “Orang itu pandai sekali memiliki tempat yang amat strategis letaknya, setelah membuka pintu batu diluaran ditanami rerumputan yang dapat menutupi incaran orang, setiap tempat kebesaran alam dimanfaatkan sebaik-baiknya, ia betul-betul seorang arsitek yang lihay.”

Setelah menutup kembali pintu batu itu, ia sembunyikan diri kedalam rerumputan dan melongok kebawah.

Waktu itu fajar hampir menyingsing, dengan ketajaman mata Siauw Ling secara lapat-lapat ia dapat menyaksikan pemandangan didasar lembah.

Lama sekali si anak muda itu memperhatikan keadaan disekeliling sana, ketika dilihatnya tiada gerakan apapun dan siap meloncat turun kebawah lembah, mendadak terdengar suara manusia berkumandang datang, “Kita tak usah menunggu lagi, aku rasa ia tak akan berhasil mendaki naik keatas puncak tebing ini, mungkin saja pada saat ini jiwanya sudah melayang.”

“Perkataanmu sedikitpun tidak salah” suara yang lain menyahut. “Kita sudah melepaskan banyak sekali senjata rahasia kearah rerumputan tersebut, andaikata orang itu bersembunyi dibalik semak belukar, semestinya ia sudah terluka oleh serangan senjata rahasia beracun itu.”

“Yang dimaksudkan kedua orang itu pastilah Toan Boen Seng” pikir Siauw Ling didalam hati. “Andaikata secara gegabah aku masuki lembah tersebut, niscaya jejakku akan diketahui oleh mereka berdua. Sungguh aneh…. kenapa didalam lembah ini bisa terdapat begitu banyak jago Bulim yang berdiam disini?”

Terdengar suara langkah manusia berkumandang datang dan makin lama semakin menjauh, jelas kedua orang itu tidak sabar menunggu lebih jauh dan segera berlalu.

Siauw Ling menanti beberapa saat lagi disana kemudian baru kerahkan ilmu cecaknya untuk merayap turun kebawah lewat dinding tebing yang curam.

Jarak antara semak belukar dengan dinding tebing hanya terpaut empat lima tombak jauhnya. Dalam waktu singkat ia sudah tiba didasar lembah tersebut.

Setelah mengetahui bahwa didasar lembah terdapat banyak sekali jago-jago Bulim, gerak gerik Siauw Ling tentu saja jauh lebih berhati-hati. Melewati daerah terjal yang penuh dengan tonjolan batu-batu aneh kendati sangat tidak leluasa tapi untuk menyembunyikan diri merupakan daerah yang sangat bagus.

Sepanjang perjalanan si anak muda itu bergerak dengan sangat hati-hati, matanya memperhatikan empat penjuru sedang telinga dipasang baik-baik memeriksa delapan arah, kurang lebih puluhan tombak telah dilalui tetapi tiada sesosok bayangan manusiapun yang ditemukan olehnya. Cahaya lampu berwana hijau yang kelihatan dari atas puncakpun sekarang tak pernah muncul kembali, seolah-olah orang-orang itu secara mendadak lenyap tak berbekas.

Berjalan seorang diri ditengah lembah yang gersang, si anak muda itu merasakan suatu perasaan yang aneh dan menyendiri.

Puluhan tombak kembali sudah dilewati tetapi jejak musuh belum juga ditemukan, mendadak dari tempat kejauhan terdengar aliran air bergema datang.

Ternyata ia telah berjalan mendekati selokan yang lebar.

Luas selokan itu mencapai beberapa depa dan menempel dibawah dinding tebing, sebuah sumber mata air muncul dari tengah dinding dan memuntahkan airnya kearah selokan. Yang lebih aneh lagi walaupun air itu memancar sangat deras tetapi kecil dan tipis seakan-akan hasil karya dari seseorang.

Siauw Ling memperhatikan sekejap kearah sumber mata air itu, kemudian pikirnya didalam hati, “Kalau ditinjau dari kekuatan memancar sumber mata air itu, semestinya mempunyai kekuatan bagaikan deruan air terjun yang maha dahsyat, kenapa air yang menyembur keluar tipis dan lembut? apakah gelora air yang amat dahsyat itu telah terbendung oleh kekuatan alam yang lain sehingga air yang terpancur amat lembut….”

Sementara itu masih membatin, tiba-tiba terdengar pembicaraan manusia berkumandang datang, “Setiap tempat didasar lembah ini merupakan tempat yang indah cuma sayang mata air yang memancur keluar terlalu sedikit, sehingga setiap kali membutuhkan air kita musti cari keselokan ini.”

Laksana kilat Siauw Ling berkelebat kesamping dan menyembunyikan diri kebelakang sebuah batu besar, dari situ ia mengintip keluar.

Tampaklah dua orang lelaki berpakaian ringkas secara beriring munculkan diri ditempat itu.

Orang yang berjalan dipaling depan terdengar sedang berkata, “Menurut apa yang siauwte dengar, katanya didalam lembah ini sebetulnya terdapat aliran air yang sangat besar, tetapi oleh seorang arsitek kenamaan aliran air yang amat deras itu berhasil dipaksa masuk kedalam lambung bukit dan tidak membiarkannya mengalir keluar, sebaliknya ditempat lain sengaja ia membuka sebuah sumber mata air baru….”

“Sungguhkah ceritamu?” seru orang yang ada dibelakang.

“Benar atau tidak cayhe tidak berani memastikan, tetapi kalau ditinjau dari daya kekuatan memancar dari sumber mata air itu, cerita tersebut memang boleh dipercaya.”

Sementara bercakap-cakap kedua orang itu sudah tiba ditepi selokan tersebut.

Ditangan masing-masing orang membawa sebuah gentong kayu. Setelah mengambil air mereka balik kembali ketempat semula.

Siauw Ling yang bersembunyi dibelakang batu besar dapat mengikuti gerak gerik orang itu dengan jelas, dalam hati pikirnya, “Rupanya didalam lembah ini berdiam jago Bulim dalam jumlah besar, tetapi yang aneh ternyata aku tidak tahu mereka berdiam dimana, seandainya sekarang juga kutangkap kedua orang itu, usaha ini tidak akan mengalami kesulitan besar…. tapi kalau diingat ditengah malam buta mereka datang untuk mengambil air, jelas air itu sangat dibutuhkan. Bila kedua orang itu lama tidak kembali pihak lawan pasti akan menaruh curiga….”

Sementara otaknya masih berputar, kedua orang lelaki berbaju hitam tadi telah pergi menjauh.

Dengan ketajaman mata Siauw Ling berharap bisa memperhatikan jalan pergi kedua orang itu, tetapi malam sangat gelap setelah kedua orang itu berada kurang lebih empat tombak jauhnya, bayangan tubuh mereka sudah kelihatan samar sekali.

Meski belum lama ia terjun kedunia kangouw, pengalamannya menghadapi saat-saat geting sudah amat luas, karena itu menghadapi setiap peristiwa ia dapat bersikap tenang dan sabar.

Setelah berpikir keras beberapa saat lamanya, pemuda itu akhirnya mengambil keputusan untuk duduk bersemedhi lebih dahulu. Menanti fajar telah menyingsing nanti ia baru mengambil keputusan untuk melakukan pemeriksaan disekeliling lembah.

Fajar telah menyingsing cahaya sang surya yang berwarna keemas-emasan mengusir kegelapan yang mencekam seluruh jagad, sinar yang terang merangkak naik lewat tebing yang tinggi dan menyorot permukaan air selokan.

Seberkas cahaya memancar diatas sumber mata air membiaskan cahaya hijau yang tajam diatas permukaan air itu.

Perlahan-lahan Siauw Ling bangkit berdiri sinar matanya berputar memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu. Terasalah suasana sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun. Sesosok bayangan manusiapun tidak nampak muncul disana.

Mendadak…. sinar matanya yang sedang dialihkan kearah permukaan air selokan telah menemukan sesuatu…. pantulan cahaya diatas permukaan air telah membiaskan suatu pemandangan yang aneh. Pemandangan seekor burung elang sedang mementangkan sayapnya hendak menubruk ular aneh yang melingkar dibawah.

Gelombang air yang menggoncangkan permukaan menciptakan pemandangan fatamogana yang melukiskan seolah-olah ular yang melingkar dibawah sedang bergerak-gerak sedangkan burung elang diatasnya seperti lagi menggerakkan sayapnya.

Penemuan yang tak terduga ini menggirangkan hati Siauw Ling. Suatu perasaan tegang yang aneh menyelimuti seluruh benaknya, membuat dia tanpa sadar bergumam seorang diri, “Puncak Eng Yang Hong selat Boan Coa Kok, kiranya merupakan pembiasan yang muncul diatas permukaan air!”

Ia sudah melupakan akan posisi yang berbahaya. Ia lupa kalau mara bahaya sedang mengancam disekelilingnya, dengan langkah cepat ia lari kearah selokan tersebut.

Ketika ia tundukkan kepala dan memandang kearah permukaan air itu, dua gumpal bayangan hitam saja yang tertampak olehnya, lukisan elang terbang dan ular melingkar secara mendadak lenyap tak berbekas.

Ia mendongak keatas, tampaklah cahaya sang surya menampak dari kejauhan. Diatas sebuah puncak tebing secara lapat-lapat nampak munculnya dua buah tonjolan batu yang satu besar dan yang lainnya kecil.

“Apa yang sebenarnya terjadi….??” pikir Siauw Ling dengan perasaan tercengang. “Terang-terangan aku melihat munculnya lukisan burung elang dan ular melingkar diatas permukaan air, kenapa secara tiba-tiba bisa lenyap tak berbekas?”

Sementara dia hendak mengundurkan diri kebelakang batu besar agar dari situ bisa diperhatikan lebih cermat lagi, tiba-tiba bahu belakangnya terasa amat sakit seolah-olah tertusuk oleh sebatang jarum.

Pengalaman memberitahukan kepadanya bahwa ia sudah terbokong ditangan orang. Bahwa senjata tersebut merupakan senjata rahasia yang sangat beracun.

Diam-diam hawa murninya segera disalurkan untuk menutup jalan darah diatas bahu kirinya, kemudian tegurnya, “Siapa kau? kenapa kau bokong diri cayhe?”

Bila dibicarakan dari kepandaian silat yang dimiliki Siauw Ling saat ini, sekalipun sebatang senjata rahasia yang amat lembut dan kecilpun tidak nanti akan berhasil melukai dirinya, tetapi justru disebabkan seluruh perhatian serta konsentrasinya telah terhisap oleh penemuannya yang secara tak tersangka itu, mengakibatkan ketajaman pendengarannya sama sekali terseumbat.

Terdengar serentetan suara sahutan yang ketus dan dingin berkumandang datang, “Siapa kau? kenapa kau datangi lembah kematian ini seorang diri?”

Berdasarkan arah datangnya suara itu Siauw Ling berhasil mengetahui letak persembunyian orang itu, mendadak ia putar badan.

Terlihatlah seorang kakek kurus pendek yang berjenggot putih dengan sikap angker berdiri kurang lebih satu tombak dihadapannya.

Tidak menanti sampai Siauw Ling buka suara, kakek itu berkata kembali dengan nada dingin, “Kau sudah terkena jarum penembus tulang Coe Boe Tauw Kut Ciam ku yang lihay, diujung jarum telah kupolesi racun keji yang amat dahsyat. Bilamana kau berani bergerak sekehendak hatimu, itu berarti hanya akan mempercepat bekerjanya daya racun dalam tubuhmu atau dengan perkataan lain, jiwamu akan semakin cepat meninggalkan raganya.”

Dengan sorot mata yang tajam Siauw Ling memperhatikan sikakek tua itu dengan seksama, ia merasa belum pernah kenal dengan orang ini, maka segera ujarnya, “Jarum beracun milik saudara belum tentu benar-benar mencabut selembar jiwa cayhe….!”

Kakek kurus pendek beramput putih itu tertawa dingin, “Jarum beracun milik loohu itu sudah kurendam dengan tujuh macam jenis racun yang paling dahsyat, sekalipun seorang yang memiliki ilmu silat sangat lihaypun tidak nanti bila memusnahkan racun tersebut kecuali loohu sendiri. Lagipula setelah terkena jarum tersebut dalam tempo satu jam pil penawar tadi harus dimakan, kalau sudah lewat satu jam, kendati loohu suka menghadiahkan obat mujarab itupun juga percuma saja sebab daya kekuatan obat penawar itu tidak akan berhasil memusnahkan racun tersebut. Kendati nama jarum tersebut milik loohu kusebut Coe Boe Tauw Kut Ciam atau siang tak akan sampai sore dan cuma bertahan dua belas jam belaka, tetapi didalam kenyataannya mati hidup hanya tergantung didalam satu jam pertama.”

Siauw Ling tidak buka suara, sementara dalam hati kecilnya diam-diam ia berbisik, “Oooooh…. Siauw Ling…. Siauw Ling…. enci Gak telah menitipkan mati hidupnya kepadamu…. dalam keadaan dan saat seperti ini kau tidak boleh mati….”

Walaupun semangat jantannya hebat dan tidak takut menghadapi kematian, tetapi setelah pikirannya dibebani oleh persoalan yang belum diselesaikan, semangat gagahnya jauh berkurang. Ia sadar bahwa pada saat ini hanya ada dua jalan yang terbuka baginya. Pertama, turun tangan secara mendadak dengan kecepatan yang berada diluar dugaan ia hajar mati kakek itu atau kedua, mohon memberi obat penawar dari kakek itu….

Agaknya sikakek kurus pendek berjenggot putih inipun merupakan seseorang yang amat cerdik, setelah menyaksikan biji mata lawannya berputar, ia segera menegur dengan suara dingin, “Kalau kau benar-benar tidak takut mati silahkan segera turun tangan untuk mencoba-coba masih ada beberapa bagiankah harapanmu untuk hidup selamat!”

Siauw Ling sendiripun tidak berani bergebrak secara gegabah. Dari sorot matanya yang tajam serta jalan darah Tay Yang Hiat diatas keningnya yang menonjol besar pemuda itu sadar bahwa lawannya juga merupakan seornag jago lihay yang amat sempurna tenaga dalamnya, dalam hati ia lantas berpikir, “Kalau ditinjau dari ilmu silat yang dimiliki orang ini jelas ia bukan termasuk manusia sembarangan, andaikata seranganku menemui kegagalan maka sulitlah bagiku untuk menemukan kesempatan lain guna membinasakan dirinya. Aku terpaksa harus menggunakan akal serta kecerdikan untuk menghadapi manusia ini….”

Berpikir demikian, ia lantas berkata, “Antara cayhe dengan dirimu toh tak pernah terikat dendam sakit hati apapun juga mengapa kau bersikap demikian kasar terhadap diriku? kenapa kau turun tangan keji membokong diriku?”

“Heeeh…. heeeh…. heeeh…. hal ini harus ditanyakan kepada dirimu mengapa datang kelembah ini!” sahut sikakek kurus pendek berambut putih itu sambil tertawa dingin.

Perlahan-lahan Siauw Ling alihkan sinar matanya menyapu sekejap sekeliling tempat itu, melihat kecuali sikakek tua itu tiada orang lain yang ikut hadir disana hatinya merasa rada lega. Sesaat kemudian ia segera melangkah maju satu tindak kedepan.

“Puncak bukit dengan lembah yang dalam ini toh merupakan tempat umum yang boleh disinggahi oleh siapapun juga, kenapa cayhe tidak boleh datang kemari?’

“Hmmm! kau datang darimana dan mau apa datang kemari?”

“Sudah lama cayhe mengagumi akan nama puncak In Wan Hong, karena itu sengaja aku datang berkunjung kemari….” sahut Siauw Ling sambil melangkah maju setindak lagi kedepan.

“Kenapa kau masuki lembah ini?”

“Kecuali rasa ingin tahu, tiada maksud lain apapun yang terkandung didalam hatiku.”

“Kau bisa memasuki selat gunung ini tanpa diketahui oleh siapapun, hal ini cukup membuat loohu merasa amat kagum atas kelihayanmu….” seru kakek berambut putih itu.

Setelah merandek sejenak terusnya, “Dikedua belah sisi selat ini telah kusiapkan jago-jago lihay yang setiap saat melakukan penjagaan, meskipun seekor burungpun sulit untuk terbang lewati tempat ini tanpa diketahui oleh kami, tetapi kau bisa memasuki daerah terlarang tanpa diketahui siapapun, hal ini jelas membuktikan kalau ilmu silatmu hebat juga!”

Siauw Ling tidak berkata-kata, cuma hatinya segera bergerak, pikirnya, “Kalau didengar ucapannya barusan, rupanya sekitar telaga kecil ini merupakan pusat daerah operasi mereka….”

Karena punya pendapat demikian, iapun berkata, “Cayhe sedang berjalan-jalan cari angin, siapa tahu telah tersesat masuk kesini…. harap saudara suka memaafkan….”

“Kalau dibilang kau menyusup kedalam lembah ini mungkin masalahnya bisa dipercayai” seru kakek tua dengan sikap tertegun. “Apakah sepanjang perjalananmu memasuki selat ini tiada seorangpun yang munculkan diri untuk menghalangi jalan pergimu?”

Siauw Ling tahu apa saat ini dia harus berusaha untuk memecahkan perhatian orang ini dengan begitu, ia baru memperoleh kesempatan untuk melancarkan serangan bokongan yang jitu dan tepat. Maka segera ujarnya kembali dengan suara lantang, “Beruntung sekali sepanjang perjalanan hingga tiba ditempat ini tak seorangpun yang muncul untuk menghalangi jalan pergi cayhe…. dan beruntung pula ternyata tak seorangpun yang menghalangi kepergianku….”

“Apa maksud perkataanmu itu?”

“Andaikata cayhe menjumpai orang yang menghalangi perjalananku hingga tak dapat masuk kedalam selat ini, itu berarti aku tak dapat menikmati alam dan merupakan suatu ketidak beruntungan, sebaliknya kalau ada orang menghalangi cayhe hingga aku tak bisa masuk kedalam selat ini. Maka saat ini aku tak akan terkena bokonganmu, bukankah hal itu merupakan suatu keberuntungan?”

Menggunakan kesempatan dikala masih berbicara, perlahan-lahan badannya maju kedepan sehingga jaraknya dengan sikakek tua itu bertambah dekat.

Rupanya kakek berambut putih itu menyadari akan bahaya, ia tarik napas panjang-panjang dan meloncat mundur delapan depa kebelakang, serunya, “Berhenti!”

“Loo tiang, apakah kau merasa amat takut?” tanya Siauw Ling sambil tertawa hambar.

“Takut sih tidak, tetapi loohu tidak ingin menempuh bahaya sehingga kena dibokong olehmu!”

“Kalau memang loo tiang tidak jeri kepadaku, mengapa kau begitu ketakutan terhadap diri cayhe?” ejek Siauw Ling sambil tertawa hambar.

“Kau dapat mengelindup masuk kedalam selat ini dibawah penjagaan kami yang amat ketat, hal ini menunjukkan bahwa kau sangat lihay. Serangan balasan yang dilancarkan oleh seseorang yang mendekati kematiannya merupakan himpunan tenaga yang bukan berasal dari kekuatan sendiri, sekalipun loohu tidak jeri terhadap dirimu, rasanya akupun tak usah menyambut seranganmu dengan keras lawan keras.”

Diam-diam Siauw Ling tertawa getir, pikirnya, “Sikakek tua ini bukan saja memiliki ilmu silat yang sangat lihay, otaknyapun cerdas dan banyak akal. Andaikata saudara Sang ku itu berada disini mungkin saja aku dapat merundingkan suatu akal untuk menghadapinya, sedangkan aku berada seorang diri mungkin sulit untuk menghadapi dirinya.”

Dalam pada itu sikakek berambut putih tadi telah mengerutkan sepasang alisnya dan berkata, “Racun yang berada diujung jarum itu segera akan bereaksi, bagaimanakah perasaanmu?”

Kiranya ketika menyaksikan Siauw Ling setelah terkena jarum beracun tetapi hingga saat itu belum nampak juga racun tersebut menunjukkan daya reaksinya dalam hati merasa terperanjat bercampur heran.

Ia mana tahu kalau Siauw Ling pernah makan jarum batu berusia seribu tahun, kekuatan tubuhnya dalam melawan reaksi racun jauh lebih ampuh dari orang lain, ditambah pula ia mempelajari tenaga dalam tingkat tinggi hal itu membuat hawa khiekangnya secara otomatis telah menutup seluruh jalan darah yang ada, semenjak bahu kirinya terkena racun hawa murninya bekerja lebih aktif dan menekan racun itu untuk bereaksi lebih lambat.

Namun bagaimanapun juga jarum Coa Boe Tan Kut ciam tersebut mengandung racun yang amat keji, sekalipun Siauw Ling mempelajari tenaga dalam tingkat tinggi, tetapi itupun hanya bisa memperlambat daya kerjanya racun itu, setelah dibendung agak lama hawa racun keji terasalah mulai menjalar naik keatas.

Sadarlah hatinya bahwa mara bahaya telah mengancam keselamatannya, andaikata dalam keadaan dan saat seperti itu tiada bala bantuan yang tiba, maka satu-satunya harapan baginya untuk hidup adalah mengandalkan ketenagan serta kecerdasannya untuk berusaha menaklukkan sikakek itu kemudian memaksakan untuk menyerahkan obat penawar.

Siapa tahu sikakek berambut putih itu sangat licik dan banyak curiga, setiap detik ia selalu waspada dan siap menghadapi segala kemungkinan, hal ini membuat Siauw Ling kehilangan banyak kesempatan untuk merobohkan dirinya.

Dalam pada itu racun yang mengeram dalam tubuhnya mulai kambuh dan bekerja, ia tak bisa mengulur waktu lebih jauh lagi tatkala tubuhnya siap menerjang kedepan dengan nekad, mendadak terlihat sekujur badan kakek berambut putih itu gemetar keras, air mukanya berubah hebat….

Agaknya secara tiba-tiba ia terkena sebuah bokongan yang sangat telak….

Kendati begitu sikap kakek berambut putih itu masih tetap tenang dan kalem, sambil mengelus jenggotnya ia menegur, “Siapa disitu?”

“Aku!” sebuah jawaban yang lirih tapi nyaring berkumandang datang.

“Senjata rahasia apa yang telah kau pergunakan?”

“Peng Pok Ciam dari laut Pok hay!”

Dari tanya jawab itu Siauw Ling segera mengetahui siapakah yang telah datang, segera serunya, “Peng jie!”

Tampak bayangan manusia berkelebat lewat, kurang lebih dari dua tombak disisi mereka loncat keluar seorang gadis berpakaian ringkas berwarja biru, dialah Pek li peng.

Dengan cepat gadis she Pek li itu berjalan menghampiri pemuda kita, tanyanya sambil tersenyum, “Baik-baiklah kau toako?”

“Aku telah terkena jarum Coe Boe Tauw Kut Ciam miliknya.”

Pek li Peng mengangguk tanda mengerti, ia berjalan menuju kebelakang tubuh kakek itu bisiknya lirih, “Aku tahu bahwa didalam selat ini terdapat banyak orang, tetapi kalau kau berani memanggil teman-temanmu, maka saat ini juga akan kucabut selembar jiwamu.”

“Peng jie, kenapa kau datang kemari?” tanya Siauw Ling.

Pek li Peng tersenyum.

“Aku akan mencarikan dulu obat penawar bagi toako, kemudian kita baru bercakap-cakap lagi….”

“Seandainya kau adalah seorang ahli didalam menggunakan racun, seharusnya bisa merasakan pula bukan akan kedahsyatan racun keji yang kupoleskan diujung senjata rahasia Peng Pok Ciam tersebut?”

“Sekalipun loohu bakal mati karena keracunan, kalianpun tak akan lolos dari sini dalam keadaan selamat.”

Mendadak Pek li Peng mengeluarkan jari tangannya dan mencekal urat nadi diatas pergelangan tangan kakek tua itu, bisiknya, “Kau tak boleh mati, mari kita bicara dibelakang batu sana.”

Kakek tua berjenggot putih itu tidak menyangka kalau dirina bakal diserang secara mendadak, setelah urat nadi pergelangan kanannya tercekal terpaksa ia harus mengikuti berjalan kebelakang sebuah batu besar.

Siauw Ling memeriksa dahulu daerah disekitar sana, ketika merasa yakin bahwa disekitar situ tak ada orang ia baru menyusul dari belakang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar