Rahasia Istana Terlarang Jilid 32

JILID 32

“Kalau menurut pendapat pinto, rasanya Siauw thayhiap tak perlu mencari orang untuk menyaru sebagai dirimu….”

“Kenapa begitu?” tanya Soen Put shia.

“Kedengarannya memang tak masuk diakal, tetapi didalam kenyataan bukankah suatu persoalan yang menyulitkan, asalkan rencana kita susun dengan seksama dan bergelimpangan selama beberapa bulan, rasanya persoalan bisa teratasi dengan sendirinya!”

“Coba kau terangkan lebih terperinci!”

Boe Wie Tootiang melirik sekejap kearah Siauw Ling, lalu menjawab, “Pinto berpendapat demikian karena didasari oleh dua alasan….”

Ia merandek sejenak, setelah menyapu sekeliling tempat itu lanjutnya, “Setiap kali Siauw thayhiap menjumpai kesulitan ataupun mara bahaya, dia seorang diri dapat mengatasinya dan kita tak seorangpun yang sanggup membantu dia segala persoalan berhasil diatasi berkat kecerdasan serta ilmu silatnya.”

“Ehmmm!” Soen Put shia mengangguk tanda membenarkan.

“Seandaikan kita mencari seseorang untuk menyaru sebagai Siauw Ling, maka mau tak mau kita musti melindungi keselamatannya, bukankah tindakan ini berarti mengalihkan posisi kita yang diam menjadi bergerak?”

“Memang masuk diakal alasan itu.”

“Kalau kita mencari seseorang untuk menyaru sebagai Siauw Ling, maka segala sesuatunya harus dilakukan dengan tindakan sembunyi-sembunyi, bukankah hal ini justru malah melelahkan kita sendiri. Disamping itu kitapun tak akan mampu untuk menemukan seseorang yang betul-betul cocok untuk menyaru seperti Siauw Ling.”

“Seandainya Siauw Ling yang kita lindungi hanyalah sesuatu yang kosong belaka, lalu bagaimana caranya bagi kita untuk melindungi sesuatu yang kosong itu?”

“Urusan itu gampang sekali, pinto ambilkan satu contoh yang jelas, seandainya saja kita lindungi sebuah tandu kecil dan didalam tandu itu duduklah seorang yang menyaru sebagai Siauw Ling, bilamana ada orang bermaksud melakukan pembunuhan dan melepaskan senjata rahasia yang paling beracun kearah tandu itu semua. Andaikata orang yang duduk didalam tandu benar-benar adalah seorang yang menyaru sebagai Siauw Ling, bagaimana caranya kita untuk menyelamatkan dia? bukankah perbuatan itu justru sebaliknya malah mencelakai dirinya?”

Berbicara sampai disini Boe Wie Tootiang segera alihkan sinar matanya kearah Siauw Ling dan bertanya, “Siauw thayhiap, kau bermaksud kapan hendak berangkat?”

“Apakah Siauw thayhiap ada maksud membawa pembantu untuk melakukan perjalanan bersama?”

“Cayhe ingin membawa serta dua orang untuk berangkat bersama!”

“Apakah kau hendak membawa berdua?” sambil bertanya toosu tua dari partai Bu tong ini alihkan pandangannya kearah Tiong Chiu Siang ku.

“Sedikitpun tidak salah!”

Boe Wie Tootiang termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru berkata, “Kalau memang begitu terpaksa kita harus menggunakan cara ini saja….!”

“Tootiang apa akalmu itu?” tanya Sang Pat.

Dengan pandangan tajam Boe Wie Tootiang memperhatikan watak Tu Kioe, kemudian berkata, “Asal kita bisa menyaru sebagai Tu Kioe rasanya sudah lebih dari cukup, untung Tu heng selalu memakai topinya rendah-rendah hingga orang lain sulit untuk melihat wajah aslinya, asal orang itu bisa menirukan tingkah laku serta nada ucapan dari Tu thayhiap itu sudah lebih dari cukup!”

Situkang ramal dari Tang kay Suma kan mendadak menimbrung dari samping, “Tootiang, kalau cayhe menyaru sebagai Tu Kioe entah mirip atau tidak?”

“Itu lebih bagus lagi! kalau memang kau rela itu namanya pucuk dicinta ulam tiba.”

“Dengan kecerdasan tootiang keberanian Soen Loocianpwee ditambah pula bantuan dari Suma heng serta Ceng heng pastilah Shen Bok Hong berhasil dibuat pusing kepala dan tak bisa menduga apa yang telah terjadi” ujar Siauw Ling.

“Peristiwa ini merupakan kejadian yang boleh buat, pinto sekalian hanya berharap Siauw thayhiap bisa cepat-cepat masuk kedalam istana terlarang dan serta segera muncul kembali didalam dunia persilatan.”

Siauw Ling alihkan sinar matanya kearah Sang Pat, lalu bertanya, “Apakah kau bisa melanjutkan perjalanan kembali?”

“Kekuatan tubuhku sebagian besar telah pulih kembali seperti sedia kala, harap toako tak usah kuatir.”

“Kalau begitu cayhe segera akan mohon diri!” ujar Siauw Ling sambil menjura kepada para jago sekalian.

“Untuk memasuki istana terlarang kau pasti akan menjumpai banyak mara bahaya, harap saudara Siauw suka berhati-hati” pesan Soen Put shia.

“Cayhe pasti akan berusaha keras untuk memenuhi harapan kalian semua, terima kasih buat perhatian dari loocianpwee!”

Habis berkata bersama-sama sepasang pedagang dari Tiong Chiu ia segera berangkat.

Memandang bayangan punggung Siauw Ling sekalian yang menjauh, Soen Put shia menghela napas dan berkata, “Tootiang, meskipun ilmu silat yang dimiliki Siauw Ling amat lihay tapi sekarang ia telah menjadi pusat perhatian banyak orang. Shen Bok Hong dengan pelbagai akal muslihat akan berusaha untuk mencelakai dirinya, kekejian hatinya ini bagaimanapun juga harus diperhatikan dan dijaga, bagaimana seandainya aku sipengemis tua secara diam-diam menghantar mereka bertiga?”

Boe Wie Tootiang termenung berpikir sejenak, kemudian menyahut, “Sang Pat adalah seorang jago kawakan yang punya akal pintar dan pengalaman luas kalau dugaan pinto tidak salah maka perjalanan mereka pasti akan dilakukan dengan jalan menyamar, seandainya kita secara diam-diam menghantar serta melindungi mereka, bukankah hal ini justru malah memancing perhatian orang lalu untuk memperhatikan gerak gerik kita….” ia merandek sejenak, lalu tambahnya, “Mungkin saja Gak Siauw Cha bisa melindungi serta membantu mereka secara diam-diam.”

“Ehm, pendapat tootiang memang benar” Soen Put shia mengangguk. “Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Untuk sementara waktu kita tetap berdiam disini saja, sementara jejak kita semakin dirahasiakan, setelah berjumpa dengan empat pujangga besar dunia persilatan, kita baru membicarakan langkah-langkah selanjutnya.”

“Tidak salah, andaikata tootiang tidak mengungkapkan kembali, hampir saja aku sipengemis tua telah melupakan janji kita dengan keempat orang pujangga besar dari dunia persilatan itu.”

“Aaaai….” Boe Wie Tootiang menghela napas panjang. “Pertemuan dikuil keluarga Loo mungkin harus disertai dnegan perang mulut terlebih dahulu, moga-moga saja kita berhasil menaklukkan keempat orang pujangga besar tersebut.”

Dalam pada itu Siauw Ling dengan membawa Tiong Chiu Siang Ku dalam sekejap mata telah melakukan perjalanan sejauh puluhan li, tiba-tiba Sang Pat berhenti sambil berkata, “Toako, bagaimana kalau kita beristirahat lebih dulu?”

Siauw Ling mendongak dan memandang kedepan, sewaktu menjumpai sebuah hutan lebat disebelah kiri, ia segera melangkah kedalam hutan itu seraya menyahut, “Kenapa? apakah kau tak sanggup melanjutkan perjalanan?”

“Perjalanan menuju kegunung Boe Gie san kali ini jaraknya hampir mencapai ribuan li, sedikit banyak perjalanan kita ini bakal diawasi dan diketahui oleh mata-mata Shen Bok Hong. Andaikata kita bisa melanjutkan perjalanan dengan jalan menyaru, mungkin dapat mengurangi pelbagai macam kesulitan yang tidak diinginkan.”

“Ucapanmu memang benar, dalam melakukan perjalanan kita kali ini memang alangkah baiknya kalau dilewatkan dengan tenang tanpa gelombang. Kesulitan-kesulitan yang tidak perlu lebih baik bisa disingkirkan.”

Sang Pat termenung dan berpikir sejenak, kemudian baru berkata, “Toako lebih baik kau memakai kumis palsu saja dan menyaru sebagai seorang pemilik rumah penginapan, siauwte akan menyaru sebagai situkang keledai sedang Tu heng lebih tepat menyaru sebagai silelaki pemikul barang….”

Tiba-tiba terdengar Tu Kioe menghela napas panjang.

“Aaai….! kita telah melupakan satu persoalan!”

“Persoalan apa?”

“Kedua ekor anjing raksasa tersebut tidak sempat kita bawa serta!”

Setelah puluhan tahun kedua ekor anjing itu mengikuti diri Tiong Chiu Siang Ku, bukan saja timbul kecerdikan pada otak binatang-binatang itu, bahkan tanpa didasari telah terjalin hubungan yang erat antara manusia dengan anjing tersebut.

*****

“Boe Wie Tootiang berotak tajam dan cermat, aku rasa ia pasti bisa mengatur kedua ekor anjing kita sebaik-baiknya” hibur Sang Pat.

“Yaah…. semoga saja apa yang jie ko duga tidak bakal salah.”

Ketiga orang itu segera turun tangan menyaru diri sendiri, setelah wajah asli mereka terhapus sama sekali maka perjalanan menuju kegunung Boe Gie san pun segera dilanjutkan.

Sepanjang perjalanan Siauw Ling terus menerus menguatirkan perjanjian Gak Siauw Cha dengan Giok Siauw Lang Koen tiga bulan mendatang, meskipun ia sadar bahwa batas waktu tiga bulan sulit baginya untuk keluar dari istana terlarang dan berangkat kegunung Heng san, tapi dalam hatinya persoalan tersebut tiada hentinya berkecamuk terus, ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengejar waktu.

Suatu tengah hari, sampailah mereka dibawah kaki gunung Boe Gisa san.

Bukit yang memanjang hingga mencapai ribuan li terpentang dihadapan mereka, beberapa buak bukit tinggi menjulang ketengah awan. Setelah mempersiapkan rangsung berangkatlah ketiga orang itu memasuki daerah pedalaman.

Setelah melewati beberapa buah bukit, haripun telah menjadi gelap.

Sang Pat segera mencari sesuatu lembah yang terhindar dari hembusan angin untuk beristirahat, katanya, “Toako, kita harus memeriksa dahulu peta yang tercantum didalam kotak tersebut, sebab menurut apa yang siauwte degar, meskipun istana terlarang berada digunung Boe Gie san, tetapi tidak ada disekeliling puncak utama!”

Kiranya sepanjang perjalanan, demi keamanan dan keselamatan ketiga orang itu tak pernah membuka kotak kayu tersebut untuk diperiksa isinya.

Setelah Sang Pat mengusulkan, maka Siauw Lingpun mengambil keluar kotak kayu itu dari dalam sakunya. Setelah kotak dibuka tampaklah sebuah anak kunci tersebut dari emas dan panjangnya mencapai tiga coen terletak didalam kotak kayu itu.

Dibawah tindihan anak kunci emas terselip selembar kain putih yang ditaruh dengan rapinya.

Siauw Ling segera mengambil keluar kunci emas tersebut dan mengambil kain putih tadi, setelah dibentang terlihatlah diatas kain tadi terlukis seekor elang terbang sedang mementang sayap dan paruhnya yang kuat, lukisan itu nampak hidup dan hebat.

Dibawah burung elang terlukis seekor ular raksasa sedang mendongakkan kepalanya, lidah yang berwarna merah menjulur keluar hingga mencapai setengah depa panjangnya.

Walaupun lukisan burung elang bertarung melawan ular itu amat hidup dan indah sekali, namun sama sekali tiada sangkut pautnya dengan istana terlarang. kontan Siauw Ling mengerutkan dahinya, ia berpaling dan tampaklah Sang Pat serta Tu Kioe sedang memandang lukisan itu dengan mata terbelalak dan mulut melongo.

Lama sekali akhirnya terdengar Tu Kioe mendehem dan berkata, “Mungkin saja anak kunci ini adalah kunci yang palsu!”

“Tidak mungkin” bantah Siauw Ling. “Enci Gak telah memeriksannya dengan seksama, masa ia berikan kunci yang palsu kepadaku? hal ini harus disalahkan pada kita-kita yang kurang pengetahuan sehingga tak sanggup memecahkan teka teki diatas lukisan itu.”

Sedari dulu dalam hati kecilnya telah timbul rasa kagum dan menghormat yang tak terkirakan terhadap Gak Siauw Cha, maka ia tak ingin mendengar ada orang mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan dirinya.

Sang Pat segera mendehem dan menyambung, “Perkataan toako memang benar, lukisan ini mengandung arti yang sangat mendalam lebih baik kita pecahkan perlahan-lahan saja.”

“Anak kunci istana terlarang merupakan benda yang menyangkut mati hidup segenap umat Bulim dikolong langit” bisik Siauw Ling sambil pejamkan matanya rapat-rapat. “Sudah tentu lukisan ini tidak gampang untuk dipecahkan artinya.”

Sang Pat melirik sekejap kearah Tu Kioe kemudian bisiknya, “Kain putih itu sudah berubah warna jadi kuning, sudah pasti merupakan barang peninggalan jaman dulu, sayang kecerdasan kita terbatas tak sanggup memecahkan rahasia dibalik teka teki itu.”

“Jie ko toh merupakan seorang ahli didalam menilai intan permata serta mutiara dikolong langit sukar untuk dicarikan tandingannya….”

“Tapi sayang aku tak becus didalam menilai gambar lukisan” sambung Sang Pat sambil tertawa.

Mendadak Siauw Ling membuka matanya dan berseru, “Aaaah benar, lukisan ini pastilah menandakan sebuah bentuk gunung disekitar tempat ini, asalkan kita cocokan setiap bukit yang kita jumpai dengan lukisan ini, maka rasanya istana terlarang dapat kita temukan!”

“Tidak salah, dugaan toako memang sangat beralasan, mari kita perhatikan setiap bentuk bukit ditempat ini dengan lebih teliti.”

“Kecuali pendapat tadi, aku benar-benar tak bisa menemukan pendapat lain yang membuktikan sangkut pautnya gambar tersebut dengan istana terlarang.”

“Kalau tiada sangkut pautnya dengan istana terlarang, bukankah itu berati kalau kain serta gambar itu adalah barang palsu?” pikir Tu Kioe didalam hati.

Walaupun ia mempunyai pandangan demikian, tapi berhubung ucapannya tadi telah menggusarkan Siauw Ling, maka walaupun sekarang ia berpendapat demikian tetapi ucapan itu tak berani diuatarakan keluar.

“Toako, siauwte ada beberapa patah kata yang rasanya tidak pantas untuk diutarakan keluar, seandainya telah aku ucapkan nanti harap toako jangan salahkan atau marah” kata Sang Pat.

“Baik, katakanlah.”

“Gunung Boe Gie san panjangnya mencapai ribuan li, sekalipun betul disini terdapat sebuah tempat yang sesuai dan cocok dengan lukisan itu, tapi kita toh tak bisa menjelajahi seluruh gunung Boe Gie san secara rata tanpa ada yang kelewatan!”

Siauw Ling tertegun pikirnya, “Perkataan ini sedikitpun tidak salah, sekalipun diatas gunung Boe Gie san betul-betul terdapat tempat seperti ini, memang tak mungkin bagi kami untuk menjelajahi semua.”

“Siauwte mempunyai satu usul, walaupun bukan termasuk usul yang bagus tapi rasanya kauj lebih baik daripada mencari jarum ditengah samudra seperti apa yang akan kita lakukan.”

“Apakah pendapatmu itu?”

“Kita cari saja tukang penebang kayu atau pemburu dan tanyakan apakah disekitar tempat ini terdapat gunung dengan bentuk seperti itu, mungkin kita berhasil mendapatkan sedikit keterangan!”

Siauw Ling berpikir sebentar lalu mengangguk.

“Kalau memang kau tidak memperoleh cara yang lain, terpaksa kita harus berbuat begitu.”

“Toako beristirahatlah sebentar disini, siauwte akan pergi kesekitar tempat ini untuk mencari keterangan dari beberapa orang penebang kayu serta pemburu.”

“Baiklah, cepatlah pergi dan cepatlah kembali, jangan buat aku jadi kuatir dan gelisah.”

“Paling lama satu jam siauwte pasti sudah kembali lagi kesini” habis berkata ia segera berangkat, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

Tu Kioe bangkit berdiri, diam-diam ia meloncat naik keatas sebuah tonjolan batu karang lebih tiga tombak dari tempat semula, setelah melakukan penelitian yang tajam disekeliling tempat itu, diam-diam ia loncat turun kembali dan berjaga-jaga disuatu sudut jalan yang strategis letaknya.

Kiranya sebagai seorang jago yang andal banyak menelan asam garam, ia takut ada orang secara diam-diam menguntit datang, karena itu sikapnya jauh lebih berhati-hati.

Dengan termangu-mangu Siauw Ling memperhatikan elang terbang itu, sedang didalam hati pikirnya, “Andaikata enci Gak tidak berhasil membuktikan bahwa kunci emas ini benar-benar dapat digunakan untuk membuka pintu istana terlarang, tidak nanti ia serahkan kunci emas ini kepadaku. Ia percaya dengan kecerdikanku masih sanggup untuk memecahkan rahasia lukisan ini, bila aku sampai tak sanggup, bukan saja istana terlarang tak bisa dimasuki, bahkan enci Gak pun tak akan tertolong.”

Saking murung dan kesalnya, ia ambil peta tadi kemudian dibanting keatas tanah.

Tampaklah cakar burung elang yang terlukis kebawah itu mendadak bergeser dari tempatnya semula.

Satu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benak Siauw Ling, dia ambil kembali lukisan tadi kemudian mendorong cakar elang tadi kekiri.

Dengan digesernya lukisan tadi maka suatu kejadian anehpun segera muncul didepan mata, cakar elang tadi segera bergeser lebih jauh dari tempat semula.

Dibawah lukisan cakar burung elang tadi segera muncul pula selapis kain putih yang dapat digeser-geserkan.

Tampaklah dibawah kain putih pada lapisan kedua tertuliskan beberapa huruf kecil, “Puncak Eng yang Hong, selat Boan Coa kok.”

Penemuan secara mendadak ini seketika membuat Siauw Ling jadi terkejut bercampur girang, sambil mencekal lukisan tersebut teriaknya keras-keras, “Aku berhasil menemukannya…. aku berhasil menemukannya….”

Tu Kioe yang sedang berjaga-jaga dimulut selat jadi amat terperanjat sewaktu menjumpai Siauw Ling berteriak-teriak seperti orang gila, dengan cepat ia memburu kedepan sambil serunya, “Toako, kenapa kau?”

“Aku telah menemukan letak dari istana terlarang itu” sahut Siauw Ling dengan hati girang.

“Dimana?”

“Ini dibalik lukisan tersebut pada lapisan yang kedua.”

Tu Kioe segera memburu kedepan dan memeriksa dengan seksama, tampaklah lukisan tersebut masih tetap seperti sedia kala, sedikitpun tidak menunjukkan perubahan apapun juga, segera katanya, “Toako, kenapa siauwte sama sekali tidak ada sesuatu tanda apapun juga?”

“Oooow….! diatas lukisan burung elang ini masih ada alat rahasianya….!” sahut Siauw Ling sambil tersenyum, ia segera menggeserkan lukisan cakar burung elang itu.

“Puncak Eng Yang Hong selat Boan coa kok!” gumam Tu Kioe lirih.

“Tidak salah, asalkan kita cari letak puncak Eng Yang Hong selat Boen Coa Kok bukankah berarti istana terlarang segera akan ditemukan?”

“Toako, kecerdikanmu benar-benar melebihi orang lain ternyata didalam waktu singkat kau telah berhasil menemukan rahsia dari lukisan tersebut….!”

“Aaai, penemuan itu hanya bersifat secara tidak sengaja belaka, seandainya aku tidak membanting peta lukisan ini keatas tanah sehingga kertas diatas lukisan cakar burung elang itu bergeser dari tempatnya semula, tak nanti tadi berhasil kutemukan!”

“Itulah namanya Thian telah membantu diri toako untuk memasuki istana terlarang.”

“Tetapi puncak Eng Yang Hong itu terletak dimana?” bisik Siauw Ling kemudian dengan alis berkerut.

“Itu persoalan yang sangat gampang, asalkan tempatnya sudah diketahui tidak sulit bagi kita untuk mencari keterangan dari penduduk disekitar tempat ini.”

Sementara mereka masih bercakap-cakap, tampaklah Sang Pat sambil menggendong seorang kakek tua dengan langkah yang cepat sedang berlari mendatang.

Gerakan tubuhnya sangat cepat, dalam waktu singkat si sie poa emas itu sudah berada dihadapan Siauw Ling.

Kiranya Sang Pat telah menjumpai seorang pencari kayu yang telah lanjut usia, berhubung ia merasa langkah kakek itu terlalu lambat maka terpaksa dibopongnya orang tadi agar perjalanan bisa dilakukan dengan lebih cepat lagi.

Setelah menurunkan sipenebang kayu tua itu keatas tanah, Sang Pat berkata, “Orang tua ini sudah puluhan tahun lamanya berdiam digunung Boe Gie terhadap bentuk serta keadaan bukit disekitar tempat ini boleh dibilang hapal sekali, sengaja siauwte bawa dia datang kemari, agar bisa memeriksa lukisan tadi.”

Siauw Ling melirik sekejap kearah kakek tua itu, tampaklah rambut serta jenggotnya berwarna putih mulus, wajahnya penuh berkerut dan usianya diantara tujuh puluh tahun keatas, segera ia menegur, “Empek tua, apakah kau sudah lama berdiam digunung Boe Gie san ini….?”

Kakek tua itu mengangguk.

“Loolap sudah berada digunung Boe Gie san ini semenjak kecil, kalau dihitung-hitung aku sudah tujuh puluh tahun lebih berdiam disini.”

“Kalau begitu empek tua boleh dibilang sangat hapal sekali dengan daerah disekitar gunung Boe Gie san ini?”

“Seratus li disekitar tempat ini jangan dibilang bentuk bukitnya bahkan setiap pohon dan rumput yang tumbuh disinipun loohu sangat hapal.”

“Kalau begitu tolong tanya dimanakah letaknya puncak Eng Yang Hong….?”

“Puncak Eng Yang Hong…. puncak Eng Yang Hong….” gumam tukang kayu itu berulang kali, setengah harian lamanya ia mengulangi perkataan tersebut namun tidak terjawab juga.

“Dan selat Boan Coa Kok?” sambung Tu Kioe ketus.

Sekali lagi sipenebang kayu tua itu mengulangi perkataan tersebut beberapa kali, mendadak ia mendongak dan menjawab, “Loohu hanya tahu sebuah tempat yang bernama Bau Coa Kok selat selaksa ular, dan belum pernah mendengar disebutnya Boan Coa Kok!”

“Bau Coa Kok?”

“Tidak salah, selat itu amat dalam dan luas, ditengah selat hidup pelbagai macam ragam ular beracun, setelah memasuki selat itu akan terlihat berpuluh-puluh laksa ekor ular bergerak silih berganti hingga sulit bagi seseorang untuk berdiri disitu. Kendati seorang pawang ular yang bagaimana lihaypun tak akan berani memasuki selat selaksa ular tersebut.”

“Dibawah cakar burung elang itu terang-terangan ditulis selat Boan Coa Kok. Tentunya bukan Bau Coa Kok yang dimaksudkan” pikir Siauw Ling didalam hati.

“Loo tiang” terdengar Tu Kioe telah berkata dengan nada dingin. “Yang kami tanyakan bukan Bau Coa Kok tapi Boan Coa Kok!”

Suaranya yang dingin dan mempunyai ciri khas tertentu seketika membuat penebang kayu itu berdiri tertegun, setelah berpaling memandang sekejap kearah Tu Kioe ia segera menggeleng.

“Tidak tahu, loohu yang dibesarkan ditempat ini belum pernah mendengar ada tempat yang disebut Boan Coa Kok!”

“Puncak Eng Yang Hong selat Boan Coa Kok semestinya merupakan satu tempat yang sama, kalau kakek tua ini tidak tahu dimana letaknya puncak Eng Yang Hong, tentu saja tak akan tahu dimanakah selat Boan Coa Kok tersebut!”

“Tempat yang tidak diketahui loohu, mungkin jarang ada orang yang tahu!”

Sementara Siauw Ling hendak suruh Sang Pat untuk mengusir kakek tua itu, mendadak terdengar sipenebang kayu itu berseru keras, “Kau maksudkan puncak apa?”

“Puncak Eng Yang Hong…. Eng dari burung Hoei Eng burung elang terbang….”

“Suaranya sih sama tapi tulisannya nggak tepat, kembali loohu salah mendengar!”

Rasa girang yang baru muncul dalam hati Siauw Ling seketika padam kembali bagaikan diguyur dengan sebaskom air dingin, tanyanya, “Puncak apa yang kau maksudkan?”

“In Wan Hong, pundak tersebut dinamakan demikian sebab ada sepasang muda mudi yang saling bercintaan tapi tidak disetujui oleh orang tua kedua belah pihak, dengan paksa mereka dipisahkan. Tetapi cinta kasih kedua orang itu sudah demikian kokoh dan bersatu, hingga matipun mereka tak mau berpisah. Akhirnya mereka bersepakat untuk melarikan diri, siapa tahu rahasia ini diketahui oleh keluarga mereka dan pengejaran segera dilancarkan, dimana akhirnya kedua orang itu melarikan diri keatas puncak itu.”

“Kalau memang sepasang muda mudi itu telah saling jatuh cinta, kenapa orang tua kedua belah pihak sama-sama mau menghalangi dari tengah?”

“Marga kedua orang muda mudi itu sedari dulu telah saling bermusuhan dan permusuhan itu turun temurun hingga waktu itu bahkan kian lama kian bertambah tengah permusuhan dalam suatu pertempuran yang kemudian meletus banyak korban yang berjatuhan, karena itu para anggota dari masing-masing bersumpah tak akan saling berhubungan. Tak tahunya sepasang muda mudi yang saling jatuh cinta itu justru adalah putra putri masing-masing kepala marga, tentu saja orang tua mereka tidak menyetujui akan hubungan tersebut.”

Mendengar sampai disini Siauw Ling segera menghela napas panjang, katanya, “Bagaimana kemudian? kenapa kepuncak itu dapat berubah jadi puncak In Wang Hong?”

“Dibawah pengejaran masing-masing anggota marga, kedua orang muda mudi itu terjepit diatas puncak dan tak bisa meloloskan diri lagi, dalam keadaan terpaksa merekapun meloncat kedalam jurang untuk bunuh diri, meloncat kedalam jurang yang menganga sedalam ribuan tombak itu, sudah tentu mereka berdua tak dapat meloloskan diri lagi. Masing-masing anggota marga yang menyaksikan kejadian ini pada terharu dibuatnya, dengan jalan memutar mereka turun kedasar jurang untuk menemukan jenasah kedua orang itu, siapa tahu sudah setengah harian lamanya mereka mencari, bukan saja jenasahnya tidak ketemu bahkan sedikitpun tidak ada jejak yang menunjukkan hal tersebut, akhirnya orang-orang kedua marga itu jadi terharu dan menghapuskan dendam sakit hati mereka yang turun temurun, diatas puncak tadi didirikannya sebuah kuil yang bernama In Wang Bio. Sejak nama itu tersiar diluaran banyak orang yang datang berkunjung kedalam kuil itu untuk pasang hio, setiap muda mudi yang menginginkan pasangan mereka pasti datang kesitu untuk bersembahyang, konon sangat manjur sekali. Oleh karena itulah puncak itu mengikuti keadaannya berubah jadi puncak In Wang Hong!”

“Lootiang!” tiba-tiba Tu Kioe menukas dengan suara dingin. “Yang kami tanyakan adalah puncak Eng Yang Hong selat Boan Coa Kok, kami sama sekali tidak berniat untuk mendengarkan obrolan Lootiang mengenai asal mula puncak digunung Boe Gie san ini!”

Sekalipun ia berusaha agar suaranya kedengaran datar dan biasa, tapi nada dingin serta ketus yang merupakan ciri khasnya sulit untuk dilenyapkan, membuat orang merasa bergidik dan seram.

Buru-buru kakek tua itu menjawab, “Bukannya loohu sengaja banyak bicara, tetapi setelah cuwi sekalian menanyakan, dengan sendirinya loohu terpaksa harus menjawab!”

“Puncak Eng Yang Hong, puncak In Wang Hong selat Bau Coa Kok dan selat Boan Coa Kok meskipun suaranya sama tapi tulisannya berbeda, sudah jelas apa yang dikatakan sikakek tua ini bukanlah tempat yang dimaksudkan tulisan dibalik lukisan tersebut” pikir Siauw Ling didalam hati.

Rupanya Sang Pat dapat menebak isi hati si anak muda itu, tidak menunggu sampai Siauw Ling buka suara dia telah menyambung, “Gunung Boe Gie san panjang dan luasnya mencapai ribuan li, sekalipun lootiang ini sudah puluhan tahun lamanya berdiam disini, belum tentu ia hapal sama sekali setiap sudut tempat disini, biarlah siauwte menghantar dirinya pulang lebih dulu!”

Setelah membopong kakek tadi ia segera berlalu.

Sepeninggalnya kakek tadi, Siauw Ling melirik sekejap kearah Tu Kioe dan berkata, “Dibalik lukisan tersebut sudah tertera jelas tulisan itu, tentu saja tidak akan salah lagi.”

“Yang sangat kebetulan adalah terdapatnya persamaan antara puncak Eng Yang Hong serta In Wang Hong serta selat Boan Coa Kok dengan Bau Coa Kok, nada suaranya sama satu sama lainnya, andaikata didalam peta lukisan itu bukan tertulis jelas, kedengarannya memang sama dan sulit untuk dibedakan.”

“Aaaai…. kalau begini, rasanya usaha kita untuk mencari letak puncak Eng Yang Hong bukanlah suatu pekerjaan yang gampang.”

“Toako tak usah gelisah. Asal kita mencari dengan teliti suatu ketika tempat itu pasti berhasil ditemukan. Kalau kita tinjau lukisan peta serta makna dari namanya, aku rasa puncak Eng Yang Hong pastilah suatu bentuk bukit yang besar dan megah, asal orang yang pernah melihatnya sekejap pasti tak akan melupakannya. Asal kita perhatikan dan selidiki sepanjang jalan akhirnya tempat itu tentu bisa kita jumpai!”

Sementara pembicaraan masih berlangsung Sang Pat dengan langkah terburu-buru telah balik kembali, ia melirik sekejap kearah Siauw Ling, bibirnya seperti bergerak mau mengucapkan sesuatu tapi akhirnya dibatalkan.

Siauw Ling tahu dalam hatinya ingin sekali menanyakan persoalan yang dirasakan masih meragukan, maka sebelum saudara angkatnya buka suara ia telah menceritakan lebih dahulu kisah penemuannya atas rahasia lukisan peta itu.

“Toako!” Sang Pat pun berkata selesai mendengarkan kisah tersebut. “Aku mempunyai beberapa patah kata yang rasanya tak enak kalau tidak diutarakan keluar. Entah bolehkah aku untuk mengatakannya?”

“Antara kau dan aku adalah saudara sehidup semati, tentu saja setiap perkataan yang ingin diutarakan boleh dikatakan keluar, kau ada urusan apa? katakanlah?”

“Bulim, cianpwee yang meninggalkan anak kunci istana terlarang itu pastilah seorang manusia yang cerdik dan lihay aksinya, puluhan tahun lamanya entah sudah ada berapa banyak jago lihay yang ngotot hendak menemukan anak kunci istana terlarangpun tidak memperoleh hasil, sungguh tak nyana untuk memecahkan lukisan peta inipun harus mencurahkan banyak pikiran dan tenaga.”

“Ehmm, ucapanmu sedikitpun tidak salah.”

“Seandainya anak kunci istana terlarang yang diserahkan nona Gak kepada toako adalah barang yang asli dan bukan yang palsu, aku pikir dibalik persoalan ini pastilah mengandung maksud yang sangat mendalam.”

“Kenapa?”

“Orang yang meninggalkan anak kunci istana terlarang itu bukan saja mau menerangkan secara blak-blakan dan terus terang letak istana terlarang tersebut, bahkan melukiskan pula selembar peta sebagai petunjuk, apakah kita tak boleh menaruh curiga bahwa orang itu mempunyai maksud-maksud tertentu?”

Siauw Ling mengangguk membenarkan.

“Ehmm, memang masuk diakal, tetapi apa pula tujuannya….? ia berkata.

“Rupanya orang itu ada maksud untuk menguji kecerdikan orang yang berhasil memperoleh anak kunci istana terlarang itu seandainya kecerdikan orang tadi kurang maka walaupun anak kuncinya berhasil ditemukan tetapi sama saja tak dapat memasuki istana terlarang.”

“Sedikitpun tidak salah!”

“Kecerdikan toako sebenarnya jauh lebih hebat dari siapapun juga, tapi pada saat ini siauwte lihat bahwasanya mempunyai persoalan hati yang amat merisaukan hatimu, bahkan hati toako selalu diliputi kegelisahan serta rasa cemas, ingin sekali kau cepat-cepat memasuki istana terlarang tersebut.”

“Emangnya aku sangat menguatirkan keselamatan enci Gak ku” pikir pemuda she Siauw itu dalam hati. “Aku memang merasa cemas andaikata tak bisa memenuhi….”

Terdengar Sang Pat berkata lebih lanjut, “Seseorang apabila terlalu banyak kehilangan perhatian serta ketegangannya, maka itu berarti ada separuh kecerdikannya sudah terhapus, apalagi setelah sifat serakahnya muncul, boleh dibilang seluruh akal serta kecerdikannya bakal terhapus sama sekali. Toako sendiri apabila pada saat ini sanggup mengembalikan sedikit perhatian serta ketenanganmu dengan kecerdasan yang dimiliki toako masih bukan merupakan masalah yang sulit untuk memasuki pintu istana terlarang.”

Mendengar sampai disini Siauw Ling segera bangkit berdiri dan menjura kearah saudara angkatnya dengan wajah serius.

Terima kasih atas petunjuk serta nasehat saudara yang sangat berharga ini.”

Buru-buru Sang Pat jatuhkan diri berlutut keatas tanah.

“Pendapat siauwte yang teramat bodoh masih mengharapkan banyak petunjuk dari toako.”

“Aku orang she Siauw mempunyai kebajikan serta kehebatan apakah sehingga memperoleh cinta kasih yang demikian mendalam dari saudara berdua?”

Sang Pat bangkit berdiri dan menghela napas panjang.

“Sepasang pedagang dari tiong chiu pada masa yang lain hanya tahu mengumbar sifat serakah untuk mengumpulkan intan permata serta benda-benda berharga lainnya yang tak ternilai harganya. Kalau digunakan untuk berfoya-foya belum tentu habis seperseratus didalam seratus tahun, tapi kami masih juga serakah, seolah-olah sebelum semua harta kekayaan yang ada didalam dunia berhasil kami dapatkan hati belum merasa puas. Tetapi sejak berkenalan dengan diri toako, mendadak tersadarlah kami akan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan pada masa silam sekalipun harta kekayaan yang ada dikolong langit berhasil kami berdua dapatkan semua lalu apa gunanya? seratus tahun mendatang kamipun akan berubah jadi segumpal tanah yang terpendam diperut bumi, harta sebanyak itu tak nanti akan dibawa mati.”

“Kalau didengar dari ucapannya barusan, kekayaan yang berhasil dikumpulkan kedua orang ini pastilah tak ternilai harganya” pikir Siauw Ling didalam hati, segera tegurnya, “Saudaraku, sebetulnya sampai sebebrapa banyak sih harta kekayaan yang berhasil kalian kumpulkan?”

Sang Pat tersenyum.

“Kekayaanku bertumpuk-tumpuk sukar dihitung banyaknya, sehabis toako mengalahkan Shen Bok Hong nanti, siauwte pasti akan serahkan segenap kekayaan yang kami miliki kepada toako, agar toako bisa menggunakannya untuk kesejahteraan serta kebaikan umat manusia.”

“Ehmm, kalau memang saudara punya keinginan begitu, siauw heng pasti akan berusaha untuk memenuhi harapan itu.”

“Setiap perintah dari toako niscaya akan siauwte berdua laksanakan tanpa membantah” kata Sang Pat.

Setelah merandek sejenak, ujarnya kembali, “Pada saat ini persoalan paling penting yang harus kita laksanakan adalah berusaha untuk menemukan letak istana terlarang itu.”

Secara tiba-tiba Siauw Ling menyadari bahwa pengalaman serta pengetahuannya masih jauh tersisihkan bila dibandingkan dengan pengalaman Tiong chiu Siang Ku. Andaikata ia bermaksud untuk memasuki istana terlarang jelas tenaga serta pikiran kedua orang ini sangat dibutuhkan.

Berpikir sampai disitu ia lantas rentangkan kembali peta lukisan elang dan ular itu keatas tanah, lalu katanya, “Kemarilah kalian berdua mari kita bicarakan dan selidiki bersama lukisan peta ini!”

Dengan seksama Sang Pat memperlihatkan lukisan tadi, mendadak ia ambil peta itu dan dipandang dibawah sorot cahaya sang surya, beberapa saat kemudian baru ujarnya, “Menurut pendapat siauwte tak mungkin persoalan ini sedemikian gampangnya andaikata tulisan yang berada dibawah lukisan cakar burung elang itu adalah letak istana terlarang hal ini merupakan suatu kejadian yang tak terduga sama sekali.”

“Lalu bagaimanakah menurut pandanganmu?” tanya Siauw Ling.

“Kalau menurut pendapat siauwte andaikata dibalik lukisan itu tiada terkandung rahasia lain, maka tulisan itulah yang mempunyai maksud tertentu.”

Siauw Ling termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, mendadak ia berseru, “Saudaraku, coba kau undang datang kakek tua tadi!”

“Mau apa panggil ia datang kemari?”

“Kita harus tinjau dulu puncak In Wan Hong tersebut!”

“Kedua belah sisi puncak In Wan Hong merupakan tebang tebing yang terjal, satu sisi adalah selat selaksa ular sedang sisi yang lain adalah jurang dimana jenasah sepasang muda mudi itu berada.”

“Apa? jadi selat Bau Coe Kok letaknya berada dibawah puncak tebing In Wan Hong.”

“Tidak salah, siauwte telah menanyakannya dengan jelas!”

“Berapakah jaraknya dari sini hingga kepuncak tersebut?”

“Tidak sampai seratus li!”

“Bagus, tolong kau undang Loo tiang tadi agar bisa membawa jalan buat kita!”

“Tidak usah, siauwte telah menanyakan hingga jelas dan sudah hapal diluar kepala.”

“Perduli puncak In Wan Hong itu betul puncak Eng Yang Hong yang dimaksudkan atau bukan, sudah seharusnya kalau aku pergi menjenguknya lebih dahulu” pikir Siauw Ling didalam hati.

Berpikir demikian, ia lantas berkata, “Ayoh kita segera melakukan perjalanan, mungkin sebelum malam hari menjelang tiba nanti kita sudah tiba ditempat tujuan.”

“Siauwte akan membuka jalan!” kata Sang Pat dan segera berangkat terlebih dahulu.

Siauw Ling serta Tu Kioe dengan cepat menguntil dibelakang saudaranya itu.

Rupanya Sang Pat telah menanyakan keterangan mengenai jalan menuju kepuncak In Wan Hong dengan jelas, sepanjang perjalanan ia berlari dengan gesit dan cepatnya.

Kepandaian meringankan tubuh yang dimiliki ketiga orang itu termasuk kelas wahid dikolong langit, kendati jalan gunung amat terjadi licin, dan sudah dilalui tetapi bagi mereka bertiga bukankah merupakan suatu halangan yang menyulitkan.

Setelah melakukan perjalanan selama seharian, tatkala sang surya mulai condong kesebelah barat tibalah ketiga orang itu dibawah sebuah bukit tinggi.

Siauw Ling yang pernah menelan jamur berusia seribu tahun memiliki tenaga kweekang yang kuat dan hebat, sekalipun tengah harian harus berlari-lari ia masih belum merasakan kesulitan, sebaliknya bagi Tu Kioe serta Sang Pat setelah berlarian selama beberapa jam mendekati tebing dan bukit yang tinggi tanpa memperoleh kesempatan untuk beristirahat barang sedikit juga, ketika tiba dibawah tebing keringat telah membasahi seluruh tubuh mereka.

Seraya menuding puncak gunung yang terbentang didepan mata terdengar Sang Pat berkata, “Andaikata daya ingatanku tidak salah, disinilah letak puncak In Wan Hong tersebut.”

Dalam pada itu sang surya sudah makin condong kearah barat, sisa cahaya yang terpantul diangkasa menciptakan suatu pemandangan yang sangat indah dipandang.

Seberkas cahaya memancar dipuncak bukit tersebut, dengan ketajaman mata Siauw Ling secara lapat-lapat ia saksikan pantulan cahaya keemas-emasan dari puncak bukit tersebut, sepintas lalu pantulan cahaya tadi mirip sekali dengan sebuah kuil yang amat megah.

Terdengar Sang Pat berkata kembali, “Kuil tersebut adalah kuil In Wan Bio, menurut keterangan dari sipenebang kayu tua itu disaat bangunan kuil itu selesai dibangun, karena untuk memperingati kematian putranya yang mengenaskan, dari pihak keluarga sang pria telah menyumbangkan sebutir batu permata milik keluarganya untuk dipasangkan diatas atap kuil In Wan Bio tersebut. Oleh sebab itu setiap kali ada cahaya sang surya atau rembulan yang memancar keatas batu permata tadi, akan terhias tujuh buah cahaya berwarna yang sangat indah dipandang, bagi mereka yang tidak mengetahui sejarahnya seringkali mengatakan pantulan cahaya binglala itu adalah pemunculan sukma dari sepasang muda mudi itu, kabar bohong itu begitu tersiar maka pengunjung yang pasang hio didalam kuil itupun semakin ramai, setiap bulan tanggal satu atau tanggal lima belas kuil itu pasti banyak dikunjungi para peziarah yang datang dari ribuan li jauhnya untuk pasang hio disana, seringkali para tetamu menginap diluar kuil tadi.”

Mendadak Siauw Ling teringat kembali akan diri Giok Siauw Lang Koen serta Lan Giok Tong yang sangat mencintai Gak Siauw Cha, andaikata kuil In Wan Bio ini benar-benar sangat manjur, kemungkinan besar kedua orang itupun bisa mendatangi kuil tersebut untuk mohon berkah dan doa restu.

Tatkala Sang Pat menyaksikan saudara tuanya tetap membungkam tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia segera melanjutkan kembali ceritanya, “Menurut keterangan dari sipenebang kakek tua itu, orang yang pasang hio didalam kuil In Wan Bio ini kian lama kian bertambah banyak, seringkali ada orang yang bergadang didalam kuil tanpa suka meninggalkannya, oleh sebab itu banyak orang yang mendirikan tempat-tempat penginapan disekeliling kuil tadi untuk disiapkan bagi para pengunjung yang ingin menginap disana.”

“Kalau begitu marilah kita naik keatas melihat-lihat!”

“Kita sudah seharian penuh melakukan perjalanan, apabila bisa baik-baik beristirahat semalam diatas puncak In Wan Hong tersebut, tenaga semangat kita pasti akan pulih kembali.”

Rupanya ucapan itu belum selesai diutarakan, tapi mendadak ia membungkam dan segera melangkah kedepan untuk mendaki keatas puncak.

Siauw Ling serta Tu Kioe pun tidak mengucapkan sesuatu, mengikuti dibelakang Sang Pat mereka lanjutkan perjalanan kembali.

Puncak itu merupakan sebuah tonjolan bukit yang berdiri sendiri, tiga bagian disekelilingnya merupakan tebing dan jurang-jurang yang amat dalam, disitu hanya terdapat sebuah jalan saja yang menghubungkan kaki bukit dengan puncaknya.

Itu saat sang surya telah lenyap dari pandangan, sambil menyapu sekejap sekeliling tempat itu didalam hati Siauw Lingpun berpikir, “Seandainya diatas puncak yang tinggi ini terdapat jalan tembus yang lain, sepasang muda mudi itu niscaya tak akan terjun kedalam jurang, dan disinipun tak akan dibangun kuil In Wan Bio.”

Ketika memandang keatas tampaklah ditengah ruangan kuil In Wan Bio, cahaya lilin memancar cahayanya menerangi seluruh ruangan yang luas itu.

Bangunan kuil tadi tidak termasuk amat besar, kecuali ruang tengah yang luas tadi, dikedua belah sisinya masing-masing terdapat sebuah ruangan, seorang toojien berusia enam puluh tahun berdiri disisi sebuah patung arca dibawah meja sembahyangan berlutut seorang manusia berbaju hitam.

Seluruh puncak In Wan Hong tersebut luasnya hanya mencapai satu hektar lebih kecuali kuil In Wan Bio didirikan tepat ditengah puncak, sekelilingnya penuh dengan bangunan-bangunan rumah yang terbuat dari batu hijau serta beratap injuk. Cahaya lampu penerangan dimpat penjuru, dan bangunan rumah ini kelihatan jauh lebih besar beberapa kali daripada bangunan kuil itu sendiri.

Siauw Ling memperhatikan sekejap pemandangan disekeliling puncak, kemudian ujarnya, “Setelah kita tiba ditempat ini bagaimana kalau masuk kedalam kuil untuk melihat-lihat?”

Tanpa menanti jawaban dari Sang Pat ia segera mendahului berjalan masuk kedalam kuil In Wan Bio.

Sang Pat sambil busungkan perutnya yang gendut segera membawa jalan didepan.

Toojien penjaga kuil itu memandang sekejap kearah Sang Pat, lalu maju menyongsong kedatangan dan berkata sambil tertawa, “Toa toako, In Won Jie seng bukan terbatas dalam soal jodoh muda mudi saja, kalau kalian bermaksud mohon berkah dan rejeki malaikat jodoh berdua pasti akan mengabulkannya.”

Dari dalam sakunya Sang Pat ambil keluar selembar daun emas dan dilemparkan kedalam peti sokongan, kemudian tanpa memperdulikan toojien itu lagi ia awasi sepasang patung malaikat itu dengan seksama.

Patung malaikat didalam kuil In Wan Bio tidak jauh berbeda dengan kuil-kuil lain hanya saja disini patung yang dipuja adalah sepasang muda mudi.

Sang pemuda memakai celana sebatas lutut dan berkaki telanjang, wajahnya amat tampan. Sebaliknya sang gadis memakai gaun berwarna hijau dengan baju berwarna hijau pula.

Siauw Ling menganggukkan kepalanya berulang kali sambil memuji, “Patung-patung arca ini entah siapa yang ukir, bukan saja wajah dan potongannya hidup bahkan nampak menarik hati, sungguh luar biasa….”

Sejak toojien tadi menyaksikan sokongan yang diberi Sang Pat adalah selembar daun emas dan sikapnya amat royal, dengan tertawa dipaksakan ia segera menyahut, “Nama besar dari kuil In Wan Bio sudah terkenal hingga ribuan li jauhnya. Ciamsi, permohonan semuanya tepat tidak meleset, bila kalian bertiga ada persoalan utarakanlah keluar. In Wan Jie seng pasti akan melindungi kalian bertiga.”

Orang berbaju hitam yang sedang berlutut didepan meja sembahyangan, ketika mendengar pembicaraan beberapa orang itu mendadak bangun berdiri, kemudian setelah melirik sekejap kearah Siauw Ling dan Sang Pat ia segera mengundurkan diri dari situ.

Seandainya orang itu tidak berusaha ngeloyor pergi, mungkin Siauw Ling tidak akan memperhatikan dirinya dan ia bisa berlalu dari situ tanpa diperhatikan oleh siapapun tetapi justru karena sikapnya yang gugup dan tergopoh-gopoh inilah Siauw Ling segera berpaling dan bahkan Tiong Chiu Siang Kupun segera menaruh curiga dengan dirinya.

Dengan langkah sempoyongan Tu Kioe bergeser kearah belakang, dalam beberapa tindakan saja ia telah menghalangi jalan pergi simanusia berbaju hitam tadi.

Sungguh cepat gerakan tubuh manusia berbaju hitam itu, mendadak ia menghentikan gerakan tubuhnya dan bergeser tiga depa kesamping, setelah menghindari penghadangan dari Tu Kioe laksana kilat tubuhnya meluncur keluar kuil.

Agaknya Sang Pat telah bikin persiapan sedari permulaan tadi, melihat gerakan tubuhnya yang begitu cemas sehingga berhasil menghindari penghadangan dari Tu Kioe. Tangan kanannya dengan cepat disilangkan kedepan menutup jalan pergi manusia berbaju hitam itu.

Meskipun pintu kuil amat besar, tetapi setelah Tu Kioe menghadang ditengah pintu ditambah pula Sang Pat sambil busungkan perutnya melintangkan tangan kanannya kesamping, maka hampir boleh dibilang seluruh jalan perginya telah tertutup semua.

Bagi siorang berbaju hitam itu kecuali berhasil memaksa Sang Pat bergeser dari situ maka satu-satunya jalan baginya hanya menghentikan langkah kakinya.

Tampaklah orang itu menggerakkan tangan kanannya, jari tengah dan telunjuknya ditegangkan kemudian menotok kedepan mengancam urat nadi Sang Pat.

Melihat datangnya ancaman, Sang Pat menukuk pergelangan kanannya kebawah untuk meloloskan diri dari serangan itu, kelima jarinya berputar dan laksana kilat ia balas mencengkeram pergelangan kanan sigadis berbaju hitam itu.

“Cepat menyingkir dan beri jalan baginya!” mendadak terdengar Siauw Ling membentak keras.

Kiranya ia telah berhasil melihat jelas wajah orang itu yang bukan lain adalah sidara berwajah serius yang selain mengikuti diri Pat Chiu Sin Liong atau sinaga sakti berlengan delapan Toan Bok Ceng sewaktu ada dikota Koei Chiu tempo dulu, dengan munculnya sang dara itu disekitar sini dan berarti Toan Bok Ceng pun kemungkinan besar berada dipuncak In Wan Hong pula.

Dalam pada itu ketika Sang Pat mendengar suara bentakan dari Siauw Ling, ia segera bergeser kesamping untuk memberi jalan lewat bagi gadis berbaju hitam itu.

Dengan gerakan yang cepat dan sehat gadis berbaju hitam itu meloncat keluar dari ruangan kuil dan segera melarikan diri.

Cuaca telah gelap dan malam sudah menjelang tiba, setelah berada ditempat luaran bayangan tubuh gadis itu dalam waktu singkat telah lenyap ditelan kegelapan.

Sang Pat yang berdiri didepan pintu kuil dengan pandangan yang tajam memeriksa keadaan disekitar tempat itu, namun ia tidak berhasil mengetahui kemanakah gadis itu melarikan diri.

“Tak usah diperiksa lagi!” terdengar Siauw Ling berseru dengan suara rendah.

“Toako, apakah kau kenal dengan dirinya?” tanya Sang Pat sambil berpaling.

“Agaknya dia adalah sidara ayu yang selalu berada bersama-sama naga sakti berlengan delapan Toan Bok Ceng itu!”

“Aaaah, benar itu ucapan toako sedikitpun tidak salah, memang nona itulah orang tadi, tidak aneh kalau siauwte merasa seperti mengenal dengan raut wajahnya hanya tidak teringat aku pernah menjumpainya ditempat mana!”

“Budak itu selalu mengenakan pakaian berwarna hijau, kenapa hari ini ia memakai baju hitam?” sela Tu Kioe.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar