Jilid 23
Jarum2 beracun itu halus bagaikan bulu kerbau, meskipun ada dua orang mati binasa tanpa diketahui oleh sebabnya namun orang2 yang berada disekitarnya sama sekali tidak mengerti apa sebabnya mereka bisa mati secara tiba2.
Siauw Ling benar2 naik pitam menyaksikan kekejian orang, dengan sorot mata bagaikan elang dia periksa setiap manusia yang berada disekitar situ, tapi sayang berhubung jumlah orang yang terlalu banyak sulit baginya untuk menemukan sang pembokong tersebut.
Dalam pada itu sepasang pedagang dari Tiong Chiu serta Ceng Yap Chin telah turun dari atas loteng menyaksikan jenasah dua orang yang mulai menghitam tadi, mereka kaget buru2 mereka loncat keluar dari rumah makan.
Pada saat ini kemarahan berkobar dalam dada Siauw Ling betul2 telah memuncak ia berdiri didepan pintu sambil menyapu kesana kemari dengan mata melotot, saking gusarnya hingga si anak muda itu lupa menyingkir dari sana.
“Toako, cepat menyingkir!” buru2 Sang Pat berseru sambil berlalu dari sisinya.
Siauw Ling tersentak kaget dan segera sadar akan keadaan disekelilingnya, teringat bahwasannya masih ada masalah besar yang harus diselesaikan ia segera berlalu mengikuti dibelakang Tiong Cho Siang Ku, pikirnya, “Cara Djen Bok Hong mengutus orang2nya untuk melancarkan serangan bokongan terhadap diriku betul2 tak diduga sebelumnya, dikemudian hari aku harus bertindak lebih hati2.”
Ceng Yap Chin mengikuti dari kurang lebih lima enam depa dibelakang Siauw Ling. Perhatiannnya dipusatkan pada empat penjuru dan diam2 ia melakukan perlindungan terhadap keselamatan si anak muda itu.
Hawa amarah yang berkobar dalam dada Siauw Ling belum juga padam, diam2 iapun waspada dan mepersiapkan diri asalkan orang membokong dirinya ditemukan maka dia siap menghajar orang itu tanpa ampun.
Setelah melewati dua buah jalan raya sampailah mereka disebuah perempatan jalan, tampaklah disepanjang tepi jalan penuh dengan penjual kaki lima yang menjajakan barang dagangannya kepada para pelewat.
Siauw Ling alihkan sinar mata kesekeliling sana, ia jumpai kira2 lima tombak disebelah kiri terdapat sebuah lorong yang agak sepi, pikirnya, “Melewati jalan yang ramai dan penuh sesak dengan orang, bahaya yang mengancam semakin besar, sebab ditempat yang seperti inilah serangan bokongan paling mudah dilancarkan.
Sementara ia ada maksud menyapa Sang Pat dengan ilmu menyampaikan suara, tiba2 tampaklah seorang pengemis setengah baya datang menghampiri dirinya sementara sepasang matanya mengawasi terus wajahnya tanpa berkedip.
Suatu ingatan berkelebat dalam benak si anak muda itu, kembali dia berpikir, “Sudah lama kudengar bahwasannya anak murid Kay pang tersebar luas diseluruh penjuru dunia, orang itu mengawasi terus diriku jangan2 dia telah mendapat perintah dari Soen put shia untuk menyampaikan pesan padaku.”
Belum habis ingatan tadi berkelebat dalam benaknya, pengemis setengah baya itu sudah tiba kurang lebih tiga empat depa dihadapannya, terdengar orang itu menegur lirih, “Apakah Siauw thayhiap?”
“Tidak salah, apakah Heng thay adalah anggota Kay pang….”
Belum habis dia berkata mendadak pengemis itu ayunkan sepasang tangannya, tangan kanan melepaskan segenggam jarum beracun sedangkan tangan kirinya mencabut keluar sebilah pisau belati dan langsung ditusukan kearah ulu hati si anak muda itu.
Didalam jarak yang sedemikian dekatnya serangan bokongan paling gampang memperoleh hasil, sebab kendati tusukan pisau belati itu dapat dihindari namun ancaman jarum beracun sukar dielakkan.
Untung Siauw Ling telah mempersiapkan diri setelah berulang kali mendapat serangan bokongan, meskipun dia bercakap2 dengan pengemis tadi namun kewaspadaannya sama sekali tidak dikendorkan, tatkala dilihatnya orang itu ayunkan sepasang telapaknya, ia segera mengirim satu pukulan dahsyat diikuti badannya berjumpalitan kebelakang dan bergeser tiga depa dari tempat semula.
Dalam keadaan yang amat terdesak tak mau Siauw Ling harus keluarkan gerakan jembatan gantung untuk meloloskan diri dari datangnya ancaman jarum beracun itu.
Ilmu silat yang dimiliki pengemis setengah baya itu tidak lemah, tatkala dilihatnya Siauw Ling menghindar kesamping dengan gerakan yang cepat kemudian mengirim satu pukulan dahsyat kearah dadanya, iapun segera mengigos dua langkah kesamping. Tangan kiri digetarkan pisau belati itu segera meluncur kearah si anak muda itu.
Kemudian ia putar badan dan melarikan diri kearah barat.
Terdengar beberapa jeritan ngeri berkumandang ditengah keramaian, empat lima orang sama2 roboh binasa terhajar jarum beracun itu.
Melihat ada beberapa orang jatuh korban karena termakan jarum beracun tersebut, kegusaran Siauw Ling yang tadi telah mereda kini berkobar kembali. Dengan cepat ia sambut datangnya bidikan pisau belati itu, kemudian ia loncat ketengah udara dan ayun pula senjata tadi kedepan.
Ilmu melepaskan senjata rahasia dari Liuw Sian Cu tersohor akan lihaynya, serangan yang dilancarkan Siauw Ling dalam keadaan gusar bida dibayangkan betapa hebatnya, mengiringi satu desiran tajam yang memekikkan telinga senjata tadi meluncur kearah depan.
Gerakan tubuh pengemis setengah baya itu cepat tapi serangan balasan dari Siauw Ling datangnya jauh lebih cepa lagi.
Sementara itu pengemis tadi tela berada kurang lebih dua tombak jauhnya, sewaktu ia tak mendengar suara kejaran dari si anak muda itu tanpa sadar pengemis itu telah berpaling kesamping.
Disaat ia menoleh itulah pisau belati tersebut telah menyambar tiba tampak cahaya putih berkelebat lewat, tidak sempat lagi baginya untuk menghindarkan diri dari pisau tersebut dengan telak telah menghujam diatas batok kepalanya dan amblas hingga tinggal gagangnya belaka.
Pengemis itu sungguh cekatan, sekalipun batok kepalanya sudah tertembus oleh pisau belati namun dia masih sanggup untuk mencabutnya keluar, kemudian setelah melihat beberapa tombak lagi ia baru roboh keatas tanah dan mati.
Suasana ditengah jalan itu segera berubah jadi gaduh, suara teriakan2 kaget berkumandang dimana2.
“Aduh celaka, ada orang mati terbunuh…. ada orang mati terbunuh….”
Suasana jadi kacau balau suara hirup pikuk menggema ditengah jalan, orang pada lari bersiuran mencari perlindungan….
Sang Pat cepat mendekati saudara angkatnya. Sambil menarik ujung baju si anak muda itu bisiknya, “Ayoh cepat menyingkir, ikutilah dibelakang siauwte!”
Dengan sedih Siauw Ling menghela napas tanpa mengucapkan sepatah katapun ia berlalu mengintil dibelakang sie poa emas.
Pada saat itu baik Sang Pat maupun Tu Kioe telah memahami situasi disekitar mereka dewasa ini, meskipun orang2 dari perkumpulan Pek Hoa San cung menyaru jadi pelbagai corak ragam manusia dan siap melancarkan serangan bokongan namun sasaran yang dituju hanyalah Siauw Ling seorang, diam2 mereka berdua telah berunding masak2, maka dengan memisahkan diri satu didepan yang lain dibelakang mereka dilindungi Siauw Ling mengundurkan diri dari situ.
Setelah membelok masuk kedalam sebuah gang yang sunyi, Sang Pat menyelinap kebalik pintu loteng yang tinggi dari sakunya dia ambil keluar sebuah topeng dan ujarnya sambil serahkan benda itu kepada Siauw Ling.
“Toako, cepat kenakan topeng kulit ini!”
Siauw Ling kenakan topeng tadi, sementara itu Tu Kioe telah mempersiapkan sebuah jubah hijau sambil dikenakan pada tubuh saudaranya iapun menambahkan, “Toako, setelah kau kenakan jubah ini maka tak akan mengetahui akan dirimu lagi.”
Siauw Ling terima pakaian tadi dan cepat2 dikenakan, sementara Ceng Yap Chin pun telah menyusul tiba, terdengar ia berkata dengan suara gelisah.
“Suasana dijalan raya sangat kacau, para petugas hukum sebentar lagi bakal tiba disana siauwte rasa tempat ini tak boleh ditinggali terlalu lama, mari kita cepat berlalu!”
Empat orang secara beruntun melewati beberapa buah gang yang sepi dan akhirnya muncul kembali dijalan besar lainnya.
“Lebih baik kita pura2 saling tidak kenal, tetapi jangan berpisah terlalu jauh” usul Sang Pat. “Dengan begitu kita bisa saling bantu membantu.”
Selanjutnya beberapa orang itu tidak mendapat serangan bokongan lagi, ketika dilihatnya waktu sudah tidak pagi maka Siauw Ling berjalan masuk kedalam sebuah rumah makan.
Ruangan rumah makan tidak terlalu luas, rupanya khusus digunakan untuk melayani kaum pedagang kecil dan pekerja besar apalagi waktu makan sudah lewat, yang berada didalam ruangan hanya tinggal tiga empat orang belaka.
Mereka berempat segera masuk kedalam kedai dan masing2 mengambil tempat duduk yang terpisah.
Kecuali beberapa macam sayur tiada masakan lain yang lebih lezat, terpaksa Siauw Ling sekalian pesan arak dan perlahan2 bersantap.
Baru saja sayur dan arak dihidangkan, dari luar kedai tiba2 muncul empat orang lelaki kekar.
Dalam kedai itu semuanya hanya ada tujuh buah meja, setelah Siauw Ling sekalian menempati empat buah meja ditambah pula sisanya tiga meja sudah diisi orang maka tak ada meja kosong lagi yang sedia.
Keadaan empat orang lelaki itu memakai pakaian ringkas semua, orang pertama menggembol senjata Giam Ong Pit, suatu senjata berbentul istimewa sedangkan sisanya tiga orang menggembol sebilah golok.
Siauw Ling dengan tajam memperhatikan keempat orang itu, ia jumpai pada pinggang masing2 orang tergantung sebuah kantung piauw, kantung itu menonjol tinggi sekali, siapapun yang melihat segera akan mengetahui isi kantung itu penuh sekali dengan senjata rahasia.
Tampak lelaki pertama bersenjatakan Giam Ong pit tadi langsung berjalan kearah Siauw Ling dan duduk dihadapannya.
Sedangkan sisanya bertiga masing2 duduk semeja dengan Sang Pat, Tu Kioe serta Ceng Yap Chin.
Baik Tiong Cho Siang Ku maupun Ceng Yang Chin telah menyaru semua dengan dandanan lain, dalam keadaan begini meskipun seseorang yang kenal dengan merekapun belum tentu mengetahui akan asal usulnya.
Dalam pada itu lelaki bersenjata Giam Ong Pit tadi sudah duduk dihadapan Siauw Ling, ia perhatikan sejenak wajah si anak muda itu kemudian secara tiba2 merampas poci arak yang berada dihadapannya, tanpa minta persetujuan dari sang pemiliknya lelaki itu angkat poci arak tersebut dan segera diteguk isinya.
Sungguh hebat takaran minum orang itu, bukan saja gerak geriknya cepat bahkan rakus dalam waktu singkat arak dalam poci tadi sudah disikatnya hingga tak terasa.
Dalam hati Siauw Ling merasa tidak senang dengan tingkah laku orang itu namun dia paksakan diri untuk bersabar.
Selesai menghabiskan isi poci arak tadi, lelaki tersebut mendorong balik poci kosong itu kehadapan Siauw Ling.
Pemuda kita mnghembuskan napas panjang. Ia tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Terdengar lelaki yang duduk semeja dengan Tu Kioe tiba2 berseru dengan suara lantang, “Sebentar lagi kalau terjadi suatu peristiwa diluar dugaan, harap cuwi sekalian tetap duduk tak berkutik dimejanya masing2. Dari pada nantinya mengalami nasib malang atau terluka parah diujung senjata!”
Siauw Ling terperanjat, pikirnya, “Dalam ruangan ini kecuali aku serta kedua orang saudaraku hanya ada Ceng Yap Chin serta dua orang kakek tua bongkok, apakah mereka sudah tahu akan asal usul dari kami berempat….”
Belum habis dia berpikir tiba2 pintu kedai dibuka orang, dan muncullah seorang kakek tua berjubah panjang.
Kakek itu memperhatikan sekejap sekeliling ruangan berjalan kehadapan Sang Pat katanya, “Bolehkah cayhe minta sedikit tempat duduk?”
Disekitar meja Sang Pat telah ditempati seorang lelaki bersenjata golok tunggal, kiri ditambah pula dengan kakek berjubah hijau itu maka jumlahnya berubah jadi tiga orang.
Sie poa emas Sang Pat sudah lama berkelana didalam dunia persilatan, membicarakan soal ilmu silatnya boleh dibilang jagoan nomor wahid dalam dunia kangouw, kecerdikan yang dimilikipun melebihi orang lain kendati ia merasa curiga atas kehadiran kedua orang itu namun ia tetap bersabar diri, hanya saja secara diam2 diperhatikan sekejap raut wajah kedua orang itu.
Tampak kakek berjubah hijau itu mempunyai sepasang kening yang menonjol tinggi keluar, jelas dia adalah seorang jagoan kweekang yang lihay, sedangkan lelaki bersenjata golok tadi meskipun jauh lebih kekar dan kuat tapi kalau dibandingkan dengan kakek berbaju hijau itu jelas masih terpaut jauh.
“Entah siapakah orang2 itu?” pikir Sang Pat dengan perasaan tercengang. “Tapi kalau ditinjau keadaan mereka, rupanya bukan sengaja ada maksud memusuhi kami.”
Diantara keempat orang rombongan Siauw Ling, Ceng Yap Chinlah yang mula2 tidak kuat menahan diri. Menyaksikan orang itu duduk seenaknya disitu tanpa permisi hatinya merasa amat mendongkol bercampur gusar, beberapa kali dia hendak mengumbar napsu tetapi ketika dilihatnya Siauw Ling sekalian tidak menunjukkan suatu gerakan apapun, terpaksa diapun bersabar diri.
Lewat beberapa saat kemudian lelaki bersenjata Giam Ong Pit itu tak sanggup mempertahankan diri, dia bangkit mendekati kakek berjubah hijau itu lalu menjura dengan penuh hormat, ajarnya, “Cungcu, aku lihat mereka tak akan datang!”
“Tidak mungkin” sahut kakek berjubah hijau itu seraya menggeleng. “Setelah mereka menjanjikan suatu pertemuan ditempat ini, tak mungkin orang2 itu ingkar janji, kita tunggu saja beberapa saat lagi!”
“Oooh, kiranya mereka ada janji dengan orang” pikir Siauw Ling didalam hati. “Cuma entah apa sebabnya mereka memilih tempat ini?”
Sang Pat sendiri dalam hatipun secara lapat2 merasa rada kenal dengan kakek dihadapannya, cuma untuk sesaat dia merasa lupa siapakah orang itu.
Karena ingin tahu tanpa sadar dia memperhatikan beberapa saat raut wajah kakek berjubah hijau itu.
“Hey, apanya yang bagus dipandang?” tegur lelaki disisinya sambil tertawa dingin.
Sang Pat terperanjat, buru2 ia melengos kesamping.
Tiba2 lelaki bersenjata Giam Ong Pit itu menaruh curiga, dipandangnya Sang Pat dengan dingin lalu tegurnya, “Siapa saudara?”
“Hamba cuma seorang kusir kereta!”
Tiba2 silelaki itu melancarkan sebuah serangan mencengkeram pergelangan Sang Pat.
Sie poa emas mengerti asal ia menghindar kesamping maka kedudukannya segera akan terbongkar, maka ia tetap tenang saja membiarkan pergelangannya dicengkeram orang.
“Jangan banyak bikin onar!” seru kakek berjubah hijau seraya ulapkan tangannya.
Lelaki bersenjata Giam Ong Pit itu rupanya menaruh rasa sangat hormat dan segera lepas tangan.
Bruk….! tiba2 pintu kedai didorong orang, seorang lelaki muda berusia dua puluh lima enam tahunan dengan memakai pakaian ringkas berwarna biru masuk kedalam ruangan.
Begitu melihat siapa yang datang Siauw Ling terperanjat segera pikirnya, “Akh….! ternyata Djen Bok Hong pun sudah tiba dikota Ooh Chioe! aku harus lebih waspada.”
Ternyata orang yang baru saja munculkan diri itu bukan lain adalah Tang Hiong Chang murid tertua dari Djen Bok Hong.
Begitu tiba dalam ruangan Tan Hiong Chang kerlingkan biji matanya menyapu sekejap sekeliling tempat itu, lalu menegur, “Apakah kau adalah Coe Loo Ya cu?”
Perlahan2 kakek berjubah hijau itu bangkit berdiri.
“Sedikitpun tidak salah, cayhe adalah Coen Boen Ciang dari kota Lok yang….”
“Sudah lama kudengar akan namamu sungguh beruntung kita bisa berjumpa muka pada hari ini.”
“Terima kasih, terima kasih, lalu bagaimana pula sebutan Heng thay?”
“Cayhe she Tan bernama Tan Hiong Chang disini ada selembar undangan harap Coe loocianpwee suka memeriksanya.”
Coen Boen Ciang menerima surat undangan itu, setelah dilihatnya sekejap ia berkata, “Bagaimana pula keadaannya dengan Djen Cungcu?”
“Bagus, tolong sampaikan kepada suhumu dan katakanlah kalau loolap akan mengetahui janji pada saatnya.”
“Lalu bagaimana pula dengan Chin, Yoe, Kho tiga orang loocianpwee? apakah merekapun akan memenuhi janji?”
“Tan heng tak usah kuatir!”
“Bagus, kalau begitu boanpwee akan segera mohon diri.”
“Silahkan, maaf kalau loolap tidak akan menghantar!”
Tidak lama setelah Tan Hiong Chang berlalu. Coen Boen Ciangpun bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan dengan langkah lebar.
Lelaki bersenjata golok itupun segera bangkit berdiri dan berlalu dari sana.
Arak dalam poci serta cawan Siauw Ling telah dihabiskan lelaki tadi, menanti beberapa orang itu berlalu ia baru panggil pelayan untuk mengganti poci serta cawannya.
ketika pelayan itu mengambil cawan arak tiba2 ia berseru, “Ooooh ada uangnya!”
Siauw Ling menoleh, sedikitpun tidak salah disisi cawan telah tertera sekeping uang perak, dia tahu bahwa uang itu tentunya lelaki tadi yang meninggalkannya disana, diam2 pikirnya, “Walaupun orang itu kelihatan goblok, rupanya dia bukan termasuk manusia yang suka minum tanpa membayar….”
Tampak Sang Pat mendongak dan bergumam seorang diri, “Coe, Chin, Yoe, kho mereka pastilah Bulim Su Tay Hian atau empat pujangga besar dari dunia persilatan.”
Siauw Ling bangkit berdiri menghampiri sisi saudara angkatnya, lalu bertanya, “Saudara Seng, apakah aku kenal dengan kakek berbaju hijau tadi?”
“Sudah lama kudengar akan nama besar dari Coe Boen Ciang yang berasal dari kota Lok yang, diantara Coe, Chin, Yoe, Kho, Coe Boen Cianglah yang bertindak sebagai pemimpin. Sungguh tak nyana Djen Bok Hong telah mencari gara2 dengan empat pujangga besar yang tak pernah mencampuri dunia persilatan ini.”
“Bagaimana dengan ilmu silat mereka?”
“Menurut kabar yang tersiar katanya ilmu silat yang dimiliki empat pujangga dunia persilatan sangat lihay, hanya saja disebabkan kehidupan mereka teramat sederhana dan tidak suka mengadakan hubungan dengan orang2 Bulim, tak mau bergelimpangan diantara pembunuhan dan tidak kemaruk nama dan pangkat jarang sekali ada orang yang mengetahui keadaan mereka sedalam2nya.”
“Mereka mengasingkan diri dari keramaian Bulim hal tersebut sebenarnya merupakan kebebasan mereka pribadi, tetapi kalau keempat orang itu memiliki ilmu silat lihay lagi pula mengetahui kalau dunia kangouw sedang dijelajahi iblis berambisi besar namun mereka tak mau juga tampil kedepan, perbuatan itu tidak bisa terhitung sebagai suatu tindakan seorang enghiong.”
“Ucapan toako tepat sekali.”
“Rupanya Djen Bok Hong telah muncul pula dikota Ooh Chioe” ujar Siauw Ling sambil bangkit berdiri. “Jejak kita sudah ketahuan, rasanya tiada berpaedah kalau kita lebih lama berdiam disini, ayoh kita pergi” selesai membereskan rekening dia lantas berlalu.
Waktu itu Siauw Ling mengenakan sebuah topeng kulit manusia yang berwarna hijau kekuning2an, pada pipi kanan terdapat sebuah bulu hitam yang panjang. Sepintas lalu wajahnya nampak jelek sekali.
Sang Pat berjalan berdampingan dengan Siauw Ling, sedangkan Tu Kioe bersama Ceng Yap Chin menggunakan kesempatan itu mereka meninjau keadaan situasi dikota Ooh Chioe dan diingat2nya didalam hati.
Menanti senja telah menjelang tiba, mereka berempat baru masuk kedalam sebuah kedai penjual tahu.
Dua orang anggota Bu tong pay telah menanti disitu. Siauw Ling sekalian segera melepaskan topeng dan mengganti saruan mereka.
Kali ini Ceng Yap Chin memakai jubah warna hijau dan berdandan sebagai seorang kongcunya yang perlente. Setelah wajahnya sedikit dimake up maka wajah aslinya segera tertutup.
Sang Pat memakai jubah panjang topi bundar, kemudian memakai pula mantel warna hitam. Wajahnya ditutupi topeng, dia berdandan jadi seorang pengusaha gedung hartawan.
Tu Kioe pun mengenakan topeng kulit berjanggut cabang tiga, menggantungkan golok dipinggang dan menyaru sebagai seorang pengawal.
Siauw Ling berdandan jadi seorang kacung kecil pengiring Ceng Yap Chin, dia pakai baju hijau, topi kecil dan mengenakan topeng berwajah kekanak2an.
Selesai keempat orang itu menyaru, seorang anggota Bu tong pay segera menjura dan berkata, “Ciangbunjien kami serta Soen loocianpwee telah berjanji perduli kejadian apapun yang telah berlangsung pada kentongan kelima semua orang harus sudah berkumpul disini.”
“Baik!” Siauw Ling mengangguk. “Kalian baik2lah melindungi tempat ini.”
Anggota Bu tong pay yang lain mendekati Ceng Yap Chin dan berbisik dengan suara lirih, “Susiok, kedudukanmu sekarang adalah putra kedua dari Jan Tay jien pembesar tinggi daerah kanglam yang bernama Jan Kie Cheng!”
“Baik, akan kuingat selalu” sahut Ceng Yap Chin sambil tersenyum, ia menoleh kearah Siauw Ling dan menambahkan, “Siauw thayhiap bagaimana kalau untuk sementara waktu siauwte panggilkan dengan nama Jan Leng?”
“Suatu nama yang sangat bagus?”
Begitulah meminjam kegelapan malam yang mencekam seluruh jagad, keempat orang itu keluar dari lorong terpencil dan menuju kejalan besar, dimana sebuah kereta berkerudung hitam telah disiapkan.
Seorang anggota Bu tong pay yang menyaru sebagai kusir loncat turun dari kereta menyongsong kedatangan mereka ujarnya, “Soen loocianpwee sedang menanti didalam kereta!”
Keempat orang itu segera naik kedalam kereta tampaklah Soen put shia telah memulihkan wajahnya dengan raut wajah asli. Pakaian yang dikenakanpun pakaian butut seorang pengemis.
“Loocianpwee, apakah kau berhasil menemukan anggota perkumpulanmu??” tanya Siauw Ling seraya menjura.
Soen put shia tersenyum.
“Aku sipengemis tua tidak terbiasa untuk menyaru jadi ini jadi itu, aku rasa lebih baik kugunakan wajahku yang asli saja….”
Ia merandek sejenak, kemudian terusnya, “Aku sipengemis tua telah berhasil menemukan beberapa orang pengemis cilik yang siap mendengarkan perintahku, cuma semua gerakan telah diatus oleh Boe Wie Tootiang. Aku sipengemis tua hanya ada sepatah kata hendak kusampaikan kepada kalian, setelah masuk kedalam gedung Jam kam Soe It janganlah kalian berlaku sungkan2 lagi. Menurut laporan dari anggota Kay pang, Djen Bok Hong telah tiba dikota Ooh Chioe bahkan jago lihay yang mengiringi dirinya sangat banyak, seandainya sampai terjadi pertempuran kalian harus turun tangan keji, telengas dan tidak kenal ampun….”
“Mungkin kami bisa berjumpa dengan Djen Bok Hong pada malam nanti???”
“Seandainya dia tahu kalau kau Siauw Ling akan pergi kesitu, kendati dia sedang menghadapi masalah yang bagaimana besarpun pasti akan disingkirkan untuk sementara waktu….”
Ia merandek sejenak, kemudian ujarnya lagi, “Katanya ilmu silat yang dimiliki perempuan2 dalam gedung Sam Kang Soe It sangat lihay semua, kalian harus berhati2, jangan sampai kamu terbokong oleh serangan mereka karena terbuai oleh rayuan maut mereka.”
“Loocianpwee tak usah kuatir!”
“Aku sipengemis tua beserta anggota Kay pang akan menyambut kalian diluar….” sinar matanya beralih keatas wajah Ceng Yap Chin dan menambahkan. “Suhengmu betul2 lihay dan berakal cerdik, buka saja sempurna rencananya tindak tanduknyapun amat cekatan, dia betul2 manusia yang berbakat.”
Sedang hati Ceng Yap Chin mendengar suhengnya dipuji orang, buru2 serunya, “Loocianpwee terlalu memuji!”
“Dengan dandanan aku sipengemis tua rasanya tidak pantas untuk ikut masuk kedalam sarang pelacuran, kita berpisah sampai disini dahulu….!” sepasang pundak bergerak dan ia sudah loncat keluar dari dalam kereta.
Sementara itu kereta sudah berlari kencang, putaran roda bergetar ditengah jalan yang ramai.
Siauw Ling segera berbisik kepada Ceng Yap Chin, “Kalau keadaan tidak terlalu mendesak lebih baik jangan turun tangan, agar supaya otak yang diutus Djen Bok Hong untuk mengatur semua rencana kejinya dikota Ooh Chioe tidak sampai keburu melarikan diri dari sini.”
Dalam pembicaraan itu mendadak kereta yang mereka tumpangi berhenti berlari, kiranya mereka sudah mendekati gedung Sam Kang Soe It.
Tu Kioe menyingkap horden mengintip keluar, tampaklah manusia yang berlalu lalang disitu amat penuh dan saling berdesak2an. Lampu lentera bergantungan dikedua belah sisi jalan, saking penuhnya lautan manusia yang ada disana hingga kereta mereka tak dapat bergerak lebih jauh.
Tu Kioe segera loncat turun dari atas kereta, bentaknya dengan suara gusar, “Hey, ayoh pinggir…. pinggir…. cepat menyingkir dari sini!”
Tangannya direntangkan kesamping, tujuh delapan orang disekelilingnya segera terdorong hingga mundur terhuyung2 kebelakang.
Meskipun dandanannya sederhana dan cuma memakai baju hijau topi hijau, tapi goloknya yang tersoren dipinggang serta gerak geriknya yang kasar dan buas membuat siapapun mengira kalau dia adalah tukang pukul bayaran.
Orang2 yang kena didorong Tu Kioe sebenarnya merasa sangat tidak puas, tetapi setelah menyaksikan dandanannya serta melihat pula kemegahan kereta kuda dibelakangnya, siapapun tidak berani buka suara, terpaksa mereka bersabar diri dan menyingkir kesamping.
Sang Pat segera menyingkap horden melangkah keluar lebih dulu. Disusul Siauw Ling serta Ceng Yap Chinpun turun meninggalkan kereta.
Dengan Tu Kioe sebagi pembuka jalan, mereka langsung masuk kedalam gedung Sam Kang Soe It dengan langkah lebar.
Gedung Sam Kang Soe It merupakan rumah pelacuran yang termegah dan paling tersohor dikota Ooh Chioe, bukan saja nona2 pelacur disitu pandai melayani para tetamu raut wajah merekapun rata2 cantik jelita, karena itu dalam rimba pelacuran gedung Sang Kang Soe Itlah yang paling banyak pengunjungnya.
Tingkat laku Ceng Yap Chin perlente dan agung, begitu melangkah masuk kedalam gedung Sam Kang Soe It, segera tampil dua orang pelayan menyambut kedatangannya.
Tu Kioe cepat2 menghadang didepan pelayan tadi, serunya ketus, “Hey, cepat menyingkir, jangan sampai mengejutkan Jie Kongcu!”
Kedua orang pelayan itu mengiakan dan segera berhenti.
Sang Pat yang berdandan sebagai pengurus rumah tangga segera tampil kedepan, dengan logat bangsawan dia berseru, “Sudah lama Jie Kongcu kami mendengar akan nama harum gedung Sam Kang Soe It, ini hari sengaja beliau datang kemari untuk melakukan peninjauan, bila ada ruang tamu yang terbaik cepat bawa Jie Kongcu kami merasa gembira dengan pelayanan kalian pasti ada uang persenan buat kalian.”
Sang Pat pandai menggunakan logat pelbagai daerah maupun tingkatan, ucapan yang dia utarakan benar2 kedengaran seperti sesungguhnya.
Diam2 Siauw Ling perhatikan sekejap dandanan kedua orang pelayan itu, dia lihat meskipun pakaiannya sederhana tapi raut wajahnya menunjukkan kesombongan dan sifat tak mau tunduk kepada siapapun, ketika mendengar perkataan Sang Pat barusan mereka cuma berdiri tertegun tanpa sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Jelas dalam gedung Sam Kang Soe It telah diadakan penjagaan yang ketat kedua orang pelayan tadi jelas merupakan penyaruan dari jago Bulim yang berkepandaian tinggi.
Kembali Tu Kioe mendengus dan berseru, “Hey, Su ya kami sedang berbicara dengan kalian, apakah kamu berdua tidak dengar?”
Kedua orang pelayan itu saling berpandangan sekejap, akhirnya orang yang ada disebelah kiri menjawab, “Bila hamba kurang hormat, harap Koan ya jangan marah….”
Ia tuding pintu kamar disebelah utara yang tertutup kain horden lalu katanya lagi, “Disebelah sana masih ada sebuah kamar kosong, silahkan cuwi Koan ya duduk dalam kamar itu, hamba segera akan menyiapkan nona untuk melayani cuwi sekalian.”
“Eeeei…. mana bisa, mana bisa” seru Sang Pat sambil geleng kepala. “Kalian anggap kongcu kami adalah manusia apa? mana boleh ia bersenang2 ditempat semacam itu?”
“Tempat apakah dibelakang gunung2an itu?” seru Tu Kioe sambil mendongak.
“Sana adalah halaman belakang, tapi malam ini sudah penuh….”
Kedua orang pelayan itu merupakan jago-jago yang tidak terbiasa dengan pekerjaan seperti itu mereka tahu apa yang harus dikerjakan dan hanya berdiri termangu2 disitu.
Ceng Yap Chin segera tertawa.
“Hmm…. hmmm…. rupanya gedung ini sudah tidak pingin dibuka lagi….”
“Jie kongcu, kau adalah putra bangsawan, tak usahlah marah2 dengan manusia rendah macam mereka besok pagi biarlah hamba yang menulis surat pengaduan dan dikirm kegedung pemerintahan kota Ooh Chioe. Hmm, kita saksikan saja pertunjukkan bagus ini.”
Pandai sekali dia bersandiwara, meskipun kedua orang pelayan gadungan itu adalah jago Bulim yang banyak pengaruh namun akhirnya terselimut juga. Mereka mengira benar2 telah bertemu dengan orang dari kalangan pemerintahan dengan kepala tertunduk buru2 kedua orang itu mengundurkan diri.
“Bagus sekali” pikir Ceng Yap Chin didalam hati. “Selama baru kali ini aku memasuki sarang pelacur. Kulihat kedua orang keparat itupun baru kali ini menyaru jadi pelayan, sedikitpun tidak pantas penyaruannya.”
Sementara berpikir demikian ia sudah bergerak mengintil dibelakang Tu Kioe.
Dari pembicaraan Sang Pat kemarin malam sepintas lalu Tu Kioe sudah dapat membayangkan keadaan dihalaman tersebut, maka dengan langkah lebar dia langsung menuju kepintu bulat dibelakang gunung2an, sambil menggendor pintu bentaknya, “Hey, lekas buka pintu!”
Ternyata pintu bulat itu terkunci rapat2.
Kreeek….! pintu terbuka dan muncul seorang lelaki setengah baya berbaju hijau menghadang didepan pintu, tegurnya dengan suara dingin, “Kau hendak mencari siapa?”
“Kurang ajar, sudah tentu mau cari lonte!”
Orang berbaju hijau itu memperhatikan sekejap diri Tu Kioe lalu menyahut, “Kamar dihalaman belakang sudah penuh, lebih baik besok kau kembali lagi!” sambil bicara ia mau tutup pintu lagi.
Sekali tendang Tu Kioe merentangkan kembali pintu tadi, serunya, “Kurang ajar, cepat kau usir tamu2 yang ada didalam, Jie kongcu kami sengaja datang kemari untuk cari kesenangan, kau berani mengganggu kegembiraannya?”
Orang berbaju hijau itu mau mengumbar hawa amarahnya, tapi pada saat itulah Ceng Yap Chin serta Siauw Ling telah menyusul datang.
Melihat kedua orang itu hampir saja terjadi bentrokan, buru2 Ceng Yap Chin berseru, “Orang ini sangat cepat membuka pintu buat kita, beri hadiah selembar daun emas untuknya.”
Sang Pat mengiakan dari sakunya dia ambil keluar selembar daun emas dan segera disodorkan ketangan orang itu.
“Ayoh cepat ucapkan terima kasih atas persen dari Jie kongcu!”
Orang berbaju hijau itu melirik sekejap daun emas ditangannya sementara dalam hati ia berpikir, “Kecuali keluarga raja atau keluarga bangsawan, tidak nanti akan memberi hadiah sebesar ini.”
Ceng Yap Chin kembali tersenyum dan berkata, “Simpan saja benda itu sebagai hadiah atas cepatnya kau bukakan pintu buat aku” tanpa menunggu lagi melangkah masuk kedalam.
Orang berbaju hijau itu ada maksud menghalangi, tetapi menyaksikan dandanan orang yang perlente dan agung, sedikitpun tidak mirip orang Bulim yang sedang menyaru, niat tadi akhirnya dibatalkan.
Dengan Tu Kioe sebagai pembawa jalan kembali mereka berjalan empat lima langkah jauhnya dan tiba disebuah tikungan, seorang lelaki setengah baya munculkan diri menghalangi perjalanan mereka.
“Koan ya apakah kau sudah pesan kamar?”
“Kami inginkan sebuah kamar yang paling bagus dan paling besar!”
Orang itu termenung sejenak, lalu katanya, “Hamba akan membawa jalan buat cuwi sekalian!”
Meminjam kesempatan itu Siauw Ling perhatikan sekejap sekeliling tempat itu, sedikitpun tidak salah suasana terasa terang benderang bagaikan disiang hari saja.
Pemandangan dihalaman belakang jauh berbeda dengan halaman depan, kalau pada halaman depan kamar yang tersedia terang benderang oleh cahaya lampu dan dihiasi dengan sebuah lampu lentera, suara nyanyian serta gelak tertawa menggema keluar dari balik tirai yang tertutup, sebaliknya kama2 halaman belakang mempunyai corak yang berbeda, lampu menerangi seluruh halaman sebaliknya serambi kamar tidak tampak sebuah lenterapun setiap kamar ditutup dengan tirai yang tebal tidak nampak cahaya lampu yang menyorot keluar suara gelak tertawapun hanya menggema keluar secara lapat2.
Jelas kamar dihalaman belakang telah dibangun dengan suatu perencanaan yang amat sempurna.
Lelaki setengah baya itu mebawa Siauw Ling sekalian melewati serambi kecil tadi hingga sampai pada ujungnya, disana dia buka sebuah kamar sambil berkata, “Silahkan cuwi sekalian duduk didalam kamar, hanya segera akan menyiapkan para nona untuk melayani cuwi semua.”
“Keparat ini membawa kami datang ketempat ini, mungkin dia tidak bermaksud baik.” pikir Tu Kioe. “Aku harus perhatikan gerak geriknya!”
Berpikir demikian dia lantas menegur, “Apakah didalam kamar ada orangnya?”
“Kalau ada orangnya, hamba tak akan membawa cuwi sekalian datang kemari!”
“Bagus, kau masuklah dan pasang lampu!”
Lelaki itu mengiakan dan segera masuk kedalam kamar.
Tu Kioe berdiri didepan pintu sambil diam2 mempersiapkan diri, ia tidak ingin menempuh bahaya masuk lebih dahulu kedalam kamar itu.
Tampak cahaya api berkelebat, ruangan itu segera terang benderang bermandikan cahaya.
Setelah lampu dipasang, Tu Kioe baru melangkah masuk kedalam.
Ruangan itu merupakan sebuah ruang tamu yang luasnya mencapai dua tombak persegi, empat penjuru dilapisi permadani berwarna merah tua, baik meja, kursi serta benda2 yang ada disitu kebanyakan merupakan benda yang mewah dan indah.
“Hamba segera akan mengundang beberapa orang nona buat cuwi Koan ya….!” kata lelaki itu kemudian.
“Tak usah tergesa2, kongcu kami adalah keturunan bangsawan. Cayhe sebagai petugas keamanan bagaimanapun juga harus bertindak hati2″ dengan cepat ia mengitari dahulu seluruh ruangan itu, kemudian baru berkata lagi, “Sekarang kau boleh pergi! cepat suruh mereka siapkan arak yang paling bagus serta nona yang paling bagus untuk melayani kongcu kami minum arak, kalau kongcunya kami ada minat mungkin saja bakal menginap disini, kalau sampai begitu kalian pasti akan mendapat rejeki.”
“Yaya sekalian bukankah berempat? kenapa cuma minta dua orang nona….?”
“Bagus!” batin Tu Kioe. “Kau hendak suruh mereka satu lawan satu….” tidak gampang.”
Diluar serunya ketus, “Kongcu kami berada disini, kau dilarang bicara tidak karuan.”
Lelaki setengah baya itu tidak bicara lagi dia segera putar badan dan berlalu.
Ceng yap Chin dengan membawa Siauw Ling segera masuk kedalam ruangan, sedangkan Sang Pat tetap tinggal diluar.
Bisik Siauw Ling setelah berada didalam ruangan, “Dari pintu depan hingga ruang tamu ini semuanya terdapat dua buah pintu yang besar dan tebal, bangunan semacam ini sama sekali tidak mirip dengan sebuah sarang pelacuran.”
“Siauwte telah periksa sekeliling ruangan ini paling sedikit dibalik tirai ada musuh yang bersembunyi.”
“Mengingat loteng Wang Hoa Loo diperkampungan Pek Hoa San cung pun telah dipasang alat jebakan yang berlapis2 seandainya gedung Sam Kang Soe It ini benar2 merupakan markas dari Djen Bok Hong, aku rasa dalam ruangan inipun telah diperlengkapi dengan alat jebakan, kalian harus lebih berhati2.”
Tiba2 terdengarsuara dehem Sang Pat berkumandang datang dari luar ruangan.
“Ooow, nona yang amat cantik!”
Meskipun ucapannya itu rendah namun dipancarkan dengan disertai hawa kweekang. Ceng Yap Chin yang ada didalam ruangan tersebut telah dapat mendengarnya dengan sangat jelas, buru2 dia ambil tempat duduk sedang Siauw Ling berdiri disisinya dan Tu Kioe berdiri serius dibalik tirai.
Terdengar suara langkah kaki berkumandang datang, tirai disingkap dan masuklah empat orang gadis berwajah cantik.
Gadis pertama memakai baju berwarna putih, diatas sanggulnya yang tinggi tertancap sebuah bunga merah, dandanannya sederhana dan pupurnya sangat tipis.
Gadis kedua memakai baju warna hijau pada pakaian bagian dadanya bersulamkan bunga teratai, dandanannyapun amat sederhana.
Sebaliknya gadis ketiga dan keempat berdandan sangat tebal dan menyolek, mereka memakai baju berwarna merah.
Seorang kacung berusia dua puluh tahunan dan berwajah bersih ikut masuk kedalam, setelah menjura katanya, “Keempat orang ini adalah empat medali emas dari gedung Sam Kang Soe It kami….”
“Hadiahkan selembar daun emas buat mereka!” seru Ceng Yap Chin sambil menuding dua gadis berdandan sederhana yang ada didepan.
Sementara itu Sang Pat telah berdiri dibelakang kacung cilik tadi, dari sakunya dia segera ambil keluar semebar daun emas dan diberikan kepada kacung tadi, katanya, “Terimalah persenan dari kongcu ya kami, tinggalkan dua orang nona yang ada didepan.”
Kacung itu tertegun, setelah menerima daun emas tersebut segera bisiknya kepada dua orang gadis berbaju merah itu, “Mari kita pergi!”
Dua orang nona berbaju merah itu memandang sekejap kearah Ceng Yap Chin lalu mencibirkan bibirnya yang kecil setelah itu baru berlalu mengintil dibelakang kacung tadi.
Sepeninggal mereka, Ceng Yap Chin baru menengok sekejap kearah kedua orang nona itu dan berkata, “Nona, silahkan duduk!”
Siauw Ling yang berdiri dibelakang Ceng Yap Chin diam2 memperhatikan gerak gerik kedua orang gadis itu, tampak mereka mengucapkan terima kasih dan segera ambil tempat duduknya masing2.
Sejak kecil Ceng Yap Chin dibesarkan digunung Bu tong san, belum bernah ia duduk berdampingan dengan kam gadis. Kini setelah berhadapan dengan dua orang gadis cantik, meskipun hanya berlagak sandiwara saja agar orang lain jangan menaruh curiga, namun untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus diucapkan.
Lewat beberapa saat kemudian ia baru teringat akan suatu pertanyaan, maka ujarnya, “Siapakah nama nona berdua?”
Nona berbaju putih tersenyum.
“Aku yang rendah bernama Pek Bwee sedang dia adalah Liok Hoo moay2!”
“Sudah lamakah nona bedua berdiam digedung Sam Kang Soe It ini….?”
“Nasib kami yang rendah sangat jelek tetapi baru tiga bulan kami terjerumus kedalam pekerjaan ini.”
Mendengar jawaban mereka lancar dan luwas, diam2 Ceng Yap Chin lantas berpikir, “Perempuan ini pandai sekali mengucapkan kata2 semacam itu, mungkin mereka bukan orang baik2….”
Sementara dia masih berpikir, sayur dan arak telah dihidangkan.
Kacung penghantar sayur itu melirik sekejap kearah Tu Kioe serta Sang Pat lalu bertanya lirih, “Apakah yaya berdua juga mau mencari nona untuk bersenang2?”
“Waaah…. sudah tua, tak berguna lagi.” sedang Tu Kioe menjawab ketus, “Berada didepa kongcu ya kau berani bicara tidak karuan, rupanya sudah bosan hidup.”
Kacung kecil itu menjulurkan lidahnya dan buru2 mengundurkan diri.
Pek Bwee segera mengambil poci arak dan memenuhi cawan Ceng Yap Chin dengan arak tanyanya halus, “Tolong tanya, Kongcu ya she apa?”
“Cayhe she Jan!”
“Sungguh beruntung aku yang rendah dapat bertemu Jan kongcu, kuhormati dirimu dengan secawan arak” kata Pek Bwee sambil memenuhi cawan sendiri dan diteguknya hingga habis.
Ceng Yap Chin tempelkan arak dibibirnya lalu dicium sebentar, setelah itu katanya, “Terima kasih atas penghormatan dari nona sayang cayhe tidak terbiasa minum arak.”
“Kalian kongcu memang tidak bisa minum arak, silahkan mencicipi sedikit sayur” kata Liok Hoo kemudian sambil mengambil sumpit didepan Ceng Yap Chin dan menjepit sepotong daging ayam, terusnya, “Kami kakak beradik berdua merasa amat berterima kasih sekali atas perhatian yang telah kongcu limpahkan kepada kami. Kalau memang kongcu tidak biasa minum arak aku yang rendah sekalian tentu saja tak akan memaksa, bagaimana kalau kami persilahkan kongcu mencicipi sedikit sayur?”
Daging ayam ditangannya segera diangsurkan kesisi bibir Ceng Yap Chin.
Jago muda dari partai Bu tong ini jadi serba salah, dia merasa sangsi untuk menerima suapan tersebut namun diapun merasa seandainya tidak diterima suapan tadi hal tersebut sedikit banyak sudah melanggar adat kesopanan. Sementara dia masih sangsi tiba2 sebuah tangan meluncur datang, dengan kedua jari tengah dan telunjuknya orang itu jepit sumpit ditangan Liok Hoo lalu tegurnya, “Kau anggap kongcu kami adalah manusia apa? kenapa nona bersikap begitu tak tahu diri?”
Ceng Yap Chin berpaling dilihatnya orang yang barusan turun tangan bukan lain adalah Siauw Ling. Dia lantas tersenyum dan membiarkan si anak muda itu bertindak lebih jauh.
Diam2 Siauw Ling salurkan hawa kweekangnya dengan melewati sepasang sumpit menyerang tubuh Liok Hoo.
Dan tingkah laku Pek Bwee serta Liok Hoo yang tidak mirip dengan perempuan pelacur pada umumnya, sejak semula Siauw Ling sudah menaruh curiga. Dia ada maksud menggunakan kesempatan itu hendak menjajal apakah kedua gadis tersebut memiliki ilmu silat atau tidak.