Rahasia Istana Terlarang Jilid 13

JILID 13

“Demi menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan aku hendak menotok beberapa buah jalan darahmu, agar kau tidak memiliki kemampuan untuk melawan, dengan demikian seandainya kau punya maksud untuk mencelakai dirinya, akupun masih punya kesempatan untuk turun tangan menghalangi!”

“Baiklah! cepat kau turun tangan!” seraya berkata nyonya cantik dari wilayah Biauw ini pejamkan mata dan berdiri sambil bertolak pinggang.

Tangan kiri Cheng Yap cing bergerak cepat menotok dua buah jalan darah penting ditubuh Kiem Hoa Hujien, setelah itu ia baru menyingkir kesamping.

“Sekarang kau boleh mendekati pembaringan untuk diperiksa keadaan lukanya, tapi lebih baik janganlah kau sentuh tubuhnya.”

Dengan pandangan dingin Kiem Hoa Hujien memandang sekejap kearah Cheng Yap cing, kemudian perlahan-lahan mendekati pembaringan. Ditatapnya wajah Siauw Ling dengan seksama kemudian ia berbisik, “Lukanya parah sekali!”

“Ehmm, lukanya memang sangat parah.”

“Pak Thian Coencu!”

“Ilmu pukulan Hian peng ciang yang diyakininya memang sangat lihay sekali, kecuali obat penawar buatannya sendiri, dikolong langit tiada obat lain yang bisa menolong….”

“Soal ini tak perlu kau risaukan, suhengku pandai sekali dalam ilmu pertabiban, aku rasa dia pasti mempunyai cara untuk mengusir hawa dingin tersebut dari dalam tubuhnya!”

Kiem Hoa Hujien tertawa dingin.

“Sayang kemampuan suhengmu masih terbatas sekali….” perlahan-lahan ia mundur lima langkah kebelakang dan melanjutkan. “Cepat bebaskan jalan darahku, aku hendak pergi mencari Pak thian Coen cu untuk mencarikan obat penawar baginya.”

Ucapan ini membuat Cheng Yap cing seketika jadi berdiri tertegun, ia bebaskan jalan darah ditubuh Kiem Hoa Hujien lalu berkata, “Ilmu silat yang dimiliki Pak thian Coen cu sangat lihay, kau hendak mencari obat bagi Siauw Ling, bukankah ini berarti mengantar diri sendiri kemulut harimau?”

“Heeh…. heh…. heh…. aku rasa persoalan ini tiada sangkut pautnya denganmu.”

Cheng Yap cing melengak, untuk beberapa saat lamanya ia tak bisa mengucapkan sepatah katapun.

“Baik-baik jaga dirinya dan tunggu kabarku, seandainya sampai besok pagi kentongan kedua aku belum kembali, tak usah kalian tunggu diriku” seraya berkata Kiem Hoa Hujien berjalan keluar.

“Tunggu sebentar!”

Dalam pada itu Kiem Hoa Hujien sudah berada didepan pintu, mendengar seruan tersebut ia berhenti dan berpaling.

“Ada urusan apa lagi?”

“Tadi aku dengar ada tanda bahaya, apakah tanda tersebut ada hubungannya dengan dirimu?”

“Shen Bok Hong memimpin langsung jago-jago lihay menyerbu kemari, mungkin pertempuran sedang berkobar pada saat ini.”

“Cayhe masih ada satu persoalan yang belum paham.”

“Saat ini setiap detik waktuku berharga, mau tanya cepatlah utarakan!”

“Dari mana kau bisa tahu kalau Siauw Ling sedang merawat lukanya ditempat ini.”

“Ketika kalian bertempur melawan Pak thian Coen cu tadi, aku telah mengintai dari balik kegelapan.”

“Jadi kalau begitu Shen Bok Hong pun tahu akan peristiwa ini?”

“Seandainya pada saat ini Shen Bok Hong tahu bahwa Siauw Ling berada disini sejak tadi ia sudah muncul disini.”

Tidak menanti Cheng Yap cing melanjutkan kata-katanya, ia enjotkan badan melayang keatas atap rumah, dalam sekejap saja ia telah lenyap ditelan kegelapan.

Memandang bayangan tubuh Kiem Hoa Hujien yang menjauh, Cheng Yap cing menghela napas. Perlahan-lahan ia berjalan kembali kesisi pembaringan Siauw Ling.

Walaupun ia tak berani mempercayai seratus persen apa yang diucapkan Kiem Hoa Hujien barusan, namun teringat kemungkinan besar pada saat ini suhennya sedang bertempur melawan Shen Bok Hong, hatinya terasa gelisah. Ingin sekali ia memburu keluar untuk membantu suhengnya, tapi iapun merasa tidak tega meninggalkan Siauw Ling seorang diri. Untuk beberapa saat ia jadi terdiam dan tidak mengerti apa yang harus dilakukan.

Waktu sedetik demi sedetik lewat dengan lambatnya, Cheng Yap cing yang penuh diliputi kegelisahan merasakan duduk tak enak berdiripun tidak enak.

Dikala pikirannya sudah kacau dan hati semakin kebat kebit itulah, tiba-tiba dari luar ruangan berkumandang datang suara langkah kaki dari seseorang.

Sejak tadi Cheng Yap cing sudah waspada cepat ia tiup lilin hingga padam kemungkinan cabut keluar pedangnya dan bersembunyi dibalik pintu.

“Bagaimana dengan keadaan luka Siauw Ling?” terdengar suara Soen Put shia masuk dari luar ruangan.

“Keadaan seperti sedia kala!”

Sesosok bayangan manusia menyambar lewat, Soen Put shia dengan gagah telah berdiri didalam ruangan.

Cheng Yap cing segera masukkan kembali pedangnya kedalam sarung, menyulut lilin dan bertanya, “Loocianpwee, kau telah berjumpa dengan Shen Bok Hong?”

“Kau telah saling berjumpa?”

“Dimanakah suhengku pada saat ini?”

“Suhengmu telah menyebrangi telaga, saat ini mungkin telah bergabung dengan para jago” sembari berkata pengemis tua ini mendekati pembaringan Siauw Ling dan memandang wajah si anak muda itu.

“Apakah loocianpwee telah bergebrak, tidak nanti aku sipengemis tua bisa datang kemari dalam keadaan segar bugar.”

Cheng Yap cing jadi tertegun.

“Bukankah Shen Bok Hong sengaja datang kemari untuk mencari kita semua? setelah saling berjumpa mengapa kalian tidak saling bertarung?”

“Aku sipengemis tuapun merasa tercengang mungkin kita orang memang belum saatnya untuk modar!”

“Sebenarnya apa yang telah terjadi?”

Soen Put shia meraba dahulu kening Siauw Ling, setelah itu ia baru menyahut, “Tatkala aku sipengemis tua serta suhengmu tiba ditepi telaga, Shen Bok Hong sekalian telah berada ditempat itu, dalam beberapa patah kata saja aku berdua telah dikepung oleh mereka, rupanya kedua belah pihak sudah tak dapat menghindarkan diri dari suatu pertempuran. Pada saat yang kritis itulah tiba-tiba terdengar irama musik yang aneh berkumandang, secara mendadak Shen Bok Hong memerintahkan anak buahnya untuk buyar dan pergi dari situ. Kejadiannya memang sederhana sekali namun aku sipengemis tua belum paham juga sampai kini sebenarnya apa yang telah terjadi.”

“Aai…. kalau begitu irama musik itulah yang telah membantu kita.”

“Soal ini aku sipengemis tua tidak mengerti, aku rasa suhengmupun setali tiga uang….”

Ia merandek sejenak, lalu katanya lagi, “Apakah disini telah terjadi suatu peristiwa?”

“Kiem Hoa Hujien telah berkunjung kesini.”

“Kiem Hoa Hujien telah datang kemari?” tanya Soen Put shia terkesima.

“Tidak salah!”

“Dari mana dia bisa tahu kalau kau serta Siauw Ling berada disini?”

“Ketika Siauw Ling bertempur melawan Pak thian Coen cu tadi, ia telah mengintai dari samping!”

“Jadi ia menguntit kita sampai disini?”

“Mungkin demikian adanya.”

“Diseluruh saku perempuan siluman itu banyak tersimpan makhluk-makhluk beracun apakah ia meraba tubuh Siauw Ling?”

“Ada cayhe disini, tentu saja aku tidak akan membiarkan dia meraba tubuh Siauw Ling!”

Dengan sinar mata tajam Soen Put shia menatap wajah Cheng Yap cing lama sekali ia baru bertanya, “Kiem Hoa Hujien bukanlah manusia yang gampang menuruti perintah orang, mana ia sudi mendengarkan perkataanmu?”

“Mula-mula cayhe totok lebih dahulu jalan darah diatas sepasang lengannya setelah itu kubiarkan dia mendekati pembaringan Siauw Ling. Dalam keadaan begini seandainya dia ada maksud jahat, aku bisa mencabut jiwanya tanpa mengalami kesulitan.”

“Kemudian?”

“Setelah ia memandang Siauw Ling beberapa saat, aku bebaskan kembali jalan darahnya dan biarkan ia pergi.”

“Apa yang ia ucapkan sebelum meninggalkan tempat ini?”

“Katanya dia mau pergi mencari obat penawar bagi Siauw Ling, dia minta kita tunggu disini, apabila besok malam kentongan kedua itu belum datang juga, maka kita tak usah menunggu lagi.”

“Kemana ia pergi mencari obat penawar itu?”

“Katanya dia mau pergi mencari Pak thian Coen cu.”

“Meskipun ilmu silat yang dimiliki Kiem Hoa Hujien tidak jelek, aku rasa dia masih bukan tandingan dari Pak thian Coen cu.”

“Aaaai…. namun tatkala mengucapkan kata-kata tersebut nadanya keras dan tegas, rupanya ia bukan lagi berbohong….”

Setelah merandek sejenak, tambahnya, “Yang cayhe tidak pahami hingga kini adalah, apa sebabnya manusia semacam Kiem Hoa Hujien bisa menaruh rasa begitu kuatir terhadap keselamatan diri Siauw Ling.”

Sepasang alis Soen Put shia berkerut.

“Kalau kau tanyakan persoalan itu kepada aku sipengemis tua, maka pertanyaanmu itu akan sia-sia saja.”

“Loocianpwee, tinggallah disini untuk menjaga Siauw Ling, boanpwee akan pergi menjenguk suhengku sebentar.”

“Pergilah! tapi menurut pandangan aku sipengemis tua, agaknya Siauw Ling tak dapat mempertahankan diri hingga lebih dari kentongan kedua besok malam. Sewaktu kau berjumpa dengan suhengmu nanti katakanlah kepadanya, suruh dia cepat-cepat kemari untuk memberikan pertolongan seadanya.”

“Akan boanpwee ingat pesan-pesan dari cianpwee!” sehabis menjura, jago muda dari Butong pay ini segera berlalu dari ruangan.

Sepeninggal Cheng Yap cing, pengemis Soen ambil sebuah kursi dan duduk dipembaringan Siauw Ling. Memandang pemuda she Siauw berbaring tak berkutik, hatinya merasa amat sedih, diam-diam pikirnya, “Seandainya aku pengemis tua tidak menasehati dirinya, saat ini mungkin dia serta Tiong Chiu Siang Ku masih tetap tinggal diatas perahu panca warnanya Su Hay Koen cu, dengan sendirinya iapun tidak akan mengalami bencana seperti hari ini….”

Ia merasa bahwasanya peristiwa yang terjadi kali ini semuanya timbul karena dia. Hal ini membuat hati pengemis tua ini semakin sedih.

Malam yang kelam berlangsung lama sekali, berada dalam keadaan yang tidak tenang inilah Soen Put shia melwatkan malam panjang itu.

Keesokan harinya ketika fajar menyingsing, kakek tua she Lie muncul menghantarkan hidangan pagi yang lezat.

Dalam pada itu anggota badan Siauw Ling kian lama kian bertambah dingin, ia selalu berada dalam keadaan tidak sadar. Kecuali ada sedikit napas yang sangat lemah, keadaannya tidak berbeda dengan orang mati.

Soen Put shia semakin gelisah, bagitu tak tenang hatinya sampai-sampai tak sesuap nasipun yang tega ditelan kedalam perut.

Menanti tengah hari sudah lewat, barulah tampak Boe Wie Tootiang muncul disitu dengan tergesa-gesa, ditangannya toosu tua itu membawa dua bungkus obat pengusir hawa dingin.

Soen Put shia masuk kedapur sendiri untuk memasak obat-obatan tadi, kemudian membawanya kedalam ruangan.

Ketika itu seluruh wajah Siauw Ling yang tampan telah berubah jadi hijau membesi, seluruh tubuhnya kaku tak berkutik.

Untuk menuangkan obat yang telah dimasak itu kedalam perut Siauw Ling, baik Boe Wie Tootiang maupun Soen Put shia harus membuang banyak pikiran serta tenaga.

Rupanya pengemis tua ini menaruh harapan yang sangat besar atas obat pengusir hawa dingin dari Boe Wie Tootiang, maka dari itu setelah ia mencekokkan obat tadi kedalam perut Siauw Ling, sepasang matanya dengan tajam menatap pemuda itu tak berkedip.

Siapa sangka walaupun Siauw Ling telah menelan obat tersebut namun keadaannya bagaikan batu yang tenggelam didasar samudra, satu jam sudah lewat tanpa menunjukkan reaksi ataupun perubahan apapun.

Kontan Soen Put shia kerutkan sepasang dahinya.

“Tootiang, kau tidak salah menggunakan obat?” tegurnya.

“Setelah membuka resep pinto telah melakukan pemeriksaan sendiri terhadap bahan obat-obatan tersebut. Semua obat yang telah tersedia tak ada yang salah, pinto rasa resep itu tidak salah lagi.”

“Kalau kau memang tidak salah menggunakan obat, kenapa setelah Siauw Ling menelan obat tersebut, tubuhnya sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun?”

Boe Wie Tootiang tertawa jengah.

“Mungkin hal ini dikarenakan ilmu pertabiban pinto yang kurang mahir, sehingga dalam membuka resep tidak tepat.”

“Aaai, kalau begitu rupanya kita harus menunggu hasil dari Kiem Hoa Hujien.”

Rupanya dari mulut Cheng Yap cing, toosu tua dari Bu tong pay ini telah mendengar peristiwa kemarin malam, dan sambungnya, “Seandainya Kiem Hoa Hujien benar-benar berhasil mendapatkan obat penawar racun hawa dingin tersebut dari tangan Pak thian Coen cu, peristiwa ini benar-benar merupakan suatu keberuntungan bagi kita.”

“Umpama ia tak berhasil?”

“Soal ini, soal ini….!”

Soen Put shia tertawa dingin.

“Seandainya Kiem Hoa Hujien tak berhasil mendapatkan obat penawar racun hawa dingin dari Pak Thian Coen cu, terpaksa kita harus saksikan Siauw Ling mati didepan mata kita bukankah begitu?”

oooo0oooo

“Diam-diam pinto telah melakukan pemeriksaan terhadap tanda-tanda penyakit Siauw thayhiap, agaknya luka yang ia derita memang amat parah. Seandainya Kiem Hoa Hujien tidak berhasil mendapatkan obat penawar dari Pak thian Coen cu, pinto sendiripun tak tahu bagaimana harus menyembuhkan luka dari Siauw thayhiap.”

“Siapakah Pak thian Coen cu rasanya kita semua telah mengerti” kata Soen Put shia kembali setelah termenung sejenak. “Sekalipun ilmu silat yang dimiliki Kiem Hoa Hujien lebih lihay lagipun belum tentu bisa dapatkan obat penawar tersebut, mati hidup ada ditangan Thian. Soal ini aku sipengemis tua tak dapat menyalahkan siapapun juga, namun ada satu persoalan ingin sekali kutanyakan pada diri tootiang.”

“Selama pinto sanggup melaksanakan aku pasti berusaha dengan sekuat tenaga.”

“Kecuali Kiem Hoa Hujien berhasil dapatkan obat penawar untuk menyembuhkan luka dari Siauw Ling, mungkinkah masih ada jalan lain yang bisa kita tempuh?”

“Hingga kini pinto masih belum berhasil mendapatkan obat mujarab lain yang bisa mengusir hawa dingin dari tubuh Siauw thayhiap.”

“Maksud aku sipengemis tua, apakah dikolong langit dewasa ini masih ada tabib sakti lain yang bisa menyembuhkan luka Siauw Ling tanpa menggunakan obat penawar dari pak thian Coen cu?”

“Menurut apa yang pinto ketahui, dalam dunia persilatan dewasa ini hanya siraja obat bertangan keji seorang yang memiliki kepandaian ilmu pertabiban sakti, dan pinto rasa cuma dia seorang saja yang bisa menyembuhkan luka Siauw Ling tanpa menggunakan obat penawar dari Pak thian Coen cu….”

Ia merandek sejenak kemudian sambungnya, “Maksud pinto, harap loocianpwee suka bersabar untuk menunggu beberapa saat lagi, tunggu saja sampai janji nanti malam. Seandainya Kiem Hoa Hujien tidak berhasil kita baru cari akal lain untuk menolong jiwa Siauw thayhiap.”

“Jangan dikata Kiem Hoa Hujien bukan tandingan dari Pak Thian Coen cu, sekalipun ia berhasil mendapatkan obat penawar itupun belum tentu datang menepati janji.”

“Kalau dalam persoalan ini pandangan pinto jauh berbeda dengan pandangan loocianpwee. Seandainya Kiem Hoa Hujien berhasil mendapatkan obat penawar itu dia pasti akan datang menepati janji, sebaliknya umpama kata ia tak berhasil mendapatkan obat penawar itu, asal ia tidak mati ditangan Pak thian Coen cu, perempuan itu pasti akan datang menepati janji.”

“Darimana kau bisa tahu?”

“Andaikata Kiem Hoa Hujien ada maksud hendak membinasakan Siauw Ling, apa sebabnya ia buang kesempatan yang paling baik atau paling sedikit ia bisa melaporkan kejadian ini kepada Shen Bok Hong sehingga gembong iblis itu dapat kirim jago-jagonya kemari.”

Soen Put shia termenung beberapa saat kemudian berkata, “Jadi maksud tootiang, kita baru bikin keputusan setelah kentongan kedua nanti malam?”

“Berbicara dari situasi yang kita hadapi sekarang, rasanya itulah satu-satunya jalan yang paling tepat.”

Memandang Siauw Ling yang menggeletak diatas pembaringan, Soen Put shia menghela napas panjang.

“Baiklah! kita tunggu saja sampai kentongan kedua nanti malam.”

Waktu dalam penantian berlalu bagaikan merangkak. Soen Put shia semakin gelisah dibuatnya, ia berjalan mondar mandir dalam ruangan, sebentar-sebentar tiada hentinya ia berhanti disisi pembaringan Siauw Ling untuk meraba jidatnya, meraba dadanya untuk memeriksa napas begitu gelisah seakan-akan duduk diatas jarum.

Boe Wie Tootiang sendiri, meski dalam hati ikut gelisah namun ia berhasil menguasai diri. Sepanjang hari toosu tua ini duduk bersila sambil pejamkan mata, tak sepatah katapun yang diutarakan keluar.

Dengan susah payah akhirnya malam haripun menjelang tiba, Boe Wie Tootiang pun bangun berdiri untuk menyulut lampu lilin.

Dalam pada itu napas Siauw Ling kian lama berubah jadi makin lemah, rupanya setiap saat ada kemungkinan berhenti berdetak.

Memandang cahaya lilin diatas meja, Soen Put shia menghela napas sedih.

“Tootiang menurut pandanganmu apakah Siauw Ling melewatkan malam ini dengan selamat?”

Boe Wie Tootiang tidak menjawab, ia cekal nadi Siauw Ling dan didengarkan dengan seksama, terasa denyutan nadi si anak muda itu sebentar kedengaran dan sebentar lagi lenyap. Ia sadar bahwa jika Siauw Ling tak bisa dipertahankan hingga keesokkan harinya, dapat hidup sampai kentongan ketigapun sudah termasuk beruntung.

Satu-satunya harapan bagi Siauw Ling untuk melanjutkan hidup pada saat ini adalah menanti kembalinya Kiem Hoa Hujien, kecuali perempuan itu berhasil mendapatkan obat penawar dari Pak thian Coen cu rasanya tiada harapan lain yang bisa dilegakan lagi.

Sekalipun begitu Boe Wie Tootiang tidak ingin mengutarakan keluar, ia sadar seandainya kenyataan tersebut dikatakan maka peristiwa itu pasti akan mendatangkan rasa sedih serta gusar yang tak terhingga bagi Soen Put shia, maka ia sengaja berlagak tenang, ujarnya sambil tertawa hambar, “Tenaga kweekang yang dimiliki Siauw thayhiap amat sempurna, walaupun luka yang ia derita sangat parah, namun ia masih sanggup mempertahankan diri hingga dua tiga hari lagi.”

“Sungguhlah perkataan dari tootiang itu?? atau mungkin kau sengaja sedang menghibur hati aku sipengemis tua??” seru Soen Put shia setelah termenung sejenak.

“Apa yang pinto ucapkan adalah kata-kata yang sebenarnya, kecuali pinto sudah salah memeriksa denyutan nadi dari Siauw Ling.”

Ucapan terakhir itu sengaja ia utarakan guna berjaga-jaga segala akibat dikemudian hari, seumpama kata Kiem Hoa Hujien tak dapat datang sebelum kentongan kedua dan Siauw Ling keburu sudah meninggal, maka ia akan mengakui kejadian tersebut sebagai keteledorannya sewaktu memeriksa denyutan nadi si anak muda itu.

Waktu berlalu dalam suasana yang menyedihkan, Boe Wie Tootiang serta Soen Put shia merasakan dadanya seperti ditindihi dengan baja seberat ribuan kati, siapapun tidak mengeluarkan perkataan barang sepatahpun.

Mendekati kentongan kedua malam itu, suasana masih tetap sunyi senyap, Soen Put shia merasakan hatinya amat sedih, begitu pedih hatinya memikirkan nasib Siauw Ling sehingga ia tak sadar bahwa kentongan kedua telah tiba.

Sebaliknya Boe Wie Tootiang yang masih sanggup mempertahankan diri mengerti akan hal itu, ia bangun berdiri dengan hati sangat gelisah, berjalan keluar ruangan ia berdiri termangu-mangu.

Terasa malam itu begitu sunyi, tak nampak sesosok bayangan manusiapun ada disitu apalagi bayangan dari Kiem Hoa Hujien sambil menghela napas sedih pikirnya, “Habislah sudah, meskipun ia berhasil mendapatkan obat penawar, jika kedatangannya terlambat setengah jam lagi, jiwa Siauw Ling pasti sudah melayang…. kendati ada obat dewapun percuma….”

Sementara ia masih berdiri melamun, tiba-tiba dari tempat kejauhan berkumandang datang suara teriakan seseorang, suara itu merdu dan lantang jelas suara seorang gadis.

Tatkala didengarnya dengan seksama, ia dengar suara itu seakan-akan sedang memanggil nama Siauw Ling.

Ditengah malam yang sunyi, suara itu kedengaran berkumandang datang dari kejauhan, paling sedikit ada dua li dari sana.

Suatu ingatan berkelebat dalam benak Boe Wie Tootiang, ia segera berpaling sambil berpesan, “Loocianpwee, baik-baik menjaga Siauw Ling, pinto akan pergi sebentar….!”

Tidak menanti Soen Put shia menjawab, tubuhnya sudah melompat keluar dari ruangan dan bergerak kearah mana berasalnya suara tersebut.

Suara panggilan Siauw Ling itu tiada hentinya berkumandang datang, Boe Wie Tootiang terpaksa harus kerahkan segenap tenaganya untuk menyusul kesana.

Ilmu meringankan tubuhnya amat sempurna, toosu itu bergerak laksana hembusan angin malam, dalam sekejap mata dua tiga li telah dilalui.

Dibawah sorotan cahaya bintang yang redup, tampaklah seorang gadis berbaju ringkas warna hitam dan menyoren sebilah pedang dipunggung sedang berdiri ditepi jala sambil memanggil nama Siauw Ling.

Rupanya gadis itu menyadari bahwasanya ada seseorang berjalan mendekati dirinya, ia berhenti memanggil dan menegur, “Siapa???”

Diam-diam Boe Wie Tootiang pun merasa terperanjat setelah menyaksikan ketajaman pendengaran gadis itu, pikirnya, “Siapakah gadis ini??? begitu tajam pendengarannya.”

Berjalan mengitari sebuah pohon besar, perlahan-lahan toosu tua itu munculkan diri.

“Pinto adalah Boe Wie Tootiang dari Bu tong pay!”

“Apa maksudmu datang kemari? aku bukan sedang memanggil dirimu!” tegurnya dingin, sepasang biji mata yang bening menatap Boe Wie Tootiang tajam-tajam.

Meski nadanya dingin dan hambar namun masih menunjukkan kepolosan hatinya.

“Orang yang nona panggil bukankah Siauw Ling?”

“Tidak salah! tahukah kau sekarang dia berada dimana??”

“Siapakah nona? mengapa datang mencari Siauw Ling??”

“Kau tahu tidak dia berada dimana?” bentak gadis itu marah.

Boe Wie Tootiang mengangguk.

“Seandainya aku tidak tahu Siauw Ling berada dimana, tidak nanti pinto datang kemari.”

“Cepat bawa aku menemui dirinya.”

“Kalau nona tidak sudi menyebutkan nama serta kedudukanmu, pinto tidak akan membawa nona pergi menemui dirinya.”

“Aku bernama Liok Kian Thay, cukup bukan? cepat bawa aku pergi menjumpai dia.”

“Liok Kian Thay? belum pernah kudengar orang menyebutkan namamu!”

“Kau tidak tahu akan diriku, tapi tahu bukan akan nama ayahku!”

“Siapakah ayahmu?”

“Ayahku adalah Pak Thian Coen cu!”

Ucapan ini membuat Boe Wie Tootiang tertegun.

“Ooouw…. kiranya kau adalah putri istana es. Maaf…. maaf….”

“Semuanya telah kukatakan padamu, ayoh cepat bawa aku pergi menjumpai Siauw Ling. Ilmu telapak salju ayahku amat keji dan sangat beracun, kalau terlambat lagi mungkin dia tak tertolong lagi.”

Dalam hati Boe Wie Tootiang diam-diam berpikir, “Pada saat ini napas Siauw Ling sudah lemah, diapun telah berada diambang kematian. Perduli perkataan gadis ini benar atau tidak, bawa saja dia kesitu, siapa tahu kalau ia benar-benar mau menolong….”

Maka segera katanya, “Pinto akan membawa jalan buat nona!” tanpa banyak bicara ia putar badan dan berlalu.

Liok Kian thay dengan cepat menyusul dari belakang, sambil lari tiada hentinya ia suruh Boe Wie Tootiang berjalan lebih cepat.

Dalam sekejap mata mereka berdua telah kembali kedalam ruangan, waktu itu Soen Put shia sedang membopong tubuh Siauw Ling dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya ditempelkan keatas jalan darah Ming Boe hiat si anak muda itu, agaknya ia sedang salurkan hawa murninya untuk menolong Siauw Ling.

Ketika menyaksikan Boe Wie Tootiang kembali kedalam ruangan, pengemis tua itu mendongak sambil berseru, “Kau telah membohongi aku sipengemis tua!”

Sebelum toosu tua itu sempat menjawab, Liok Kian thay dengan langkah terburu-buru telah lari kedepan pembaringan, hardilnya, “Lepaskan dia!”

Jari tangan laksana sebuah tombak langsung menotok jalan darah diatas pergelangan kanan Soen Put shia.

Pengemis tua itu angkat tangan kanannya menghindar, lalu meloncat bangun sambil mengirim sebuah babatan, sementara matanya beralih keatas wajah Boe Wie Tootiang sambil bertanya, “Tootiang siapakah nona ini?”

“Dia adalah putri kesayangan dari Pak thian Coen cu, kedatangannya kemari untuk menolong jiwa Siauw Ling. Harap loocianpwee suka menyingkir kesamping!”

Dalam pada itu Liok Kian thay tidak mengucapkan sepatah katapun, dengan tangan kanannya ia sambut serangan dari pengemis tua itu dengan keras lawan keras sedang tangan kirinya merogoh saku ambil keluar sebutir pil dan dijejalkan kedalam mulut Siauw Ling.

Sungguh dahsyat tenaga pukulan dari Soen Put shia, gadis she Liok itu seketika dipaksa mundur dua langkah kebelakang, dengan adanya kejadian itu pil yang ada ditangan kirinyapun tak sanggup dijejalkan kedalam mulut Siauw Ling.

Rupanya peristiwa ini membangkitkan hawa gusar dalam hati digadis tersebut, sebuah tendangan tiba-tiba dilepaskan mengancam lambung Soen Put shia.

Pengemis tua itu loncat keatas meninggalkan pembaringan, lalu melayang turun disudut ruangan.

“Kalau jiwanya sampai terancam, aku akan cabut jiwa kalian berdua sebagai gantinya!” teriak Liok Kian thay gusar.

Tangan kanannya memayang tubuh Siauw Ling, sedang pil ditangan kirinya secepat kilat dijejalkan kedalam mulut Siauw Ling.

Begitu pil tadi masuk kedalam mulut segera lumer setelah bercampur dengan air ludah. Tanpa mengalami kesulitan apa-apa hancuran pil tadi masuk kedalam perut.

Selama ini dengan sepasang mata yang tajam Boe Wie Tootiang memperhatikan terus perubahan diatas wajah Siauw Ling, disamping menyaksikan reaksi dari obat tersebut iapun mengawasi setiap gerak gerik dari Liok Kian thay.

Sebaliknya Soen Put shia mencurahkan seluruh perhatiannya keatas tubuh Siauw Ling.

Pil emas itu benar-benar sangat mujarab, tidak selang beberapa saat kemudian tiba-tiba Siauw Ling menggerakkan sepasang tangannya.

Menyakiskan Siauw Ling benar-benar telah sadar Boe Wie Tootiang merasa amat girang.

“Nona Liok, obatmu benar-benar mujarab sekali!” serunya.

Sedangkan Soen Put shia berdiri tertegun.

“Siapakah nona ini?” ia bertanya lirih.

“Bukankah sejak tadi telah pinto terangkan bahwa dia adalah putri dari Pak thian Coen cu?”

“Apa shenya?”

“Gadis ini mengaku she Liok bernama Kian Thay?”

“Lalu Pak thian Coen cu sendiri she apa?”

“Menurut apa yang aku ketahui, Pak thian Coen cu mengaku dirinya she Pek li, mana mungkin putrinya jadi she Liok.”

“Sungguhkah begitu?” tanya Boe Wie Tootiang terperanjat.

“Tentu saja sungguh, sejak kapan aku pengemis tua pernah bicara bohong….”

Ia cekal tangan Boe Wie Tootiang erat-erat dan menambahkan, “Perduli dia she Thio atau she Ong, perduli apa dia adalah putrinya Pak Thian Coen cu atau iblis dari selatan, yang pokok dewasa ini kita kuatirkan keselamatan Siauw Ling. Asal dia berhasil menyembuhkan luka dari diri Siauw Ling itu yang cukup parah.”

“Benar ucapan loocianpwee tepat sekali.”

Sementara itu Siauw Ling yang berbaring diatas pembaringan mendadak menggerakkan lengannya sambil berseru, “Aduuuh…. dingin…. dingin sekali!” seraya menggeliat ia bangun duduk.

“Saudara Siauw, kau sembuh bukan?” teriaknya Soen Put shia kegirangan.

Dibawah sorotan cahaya lampu tampak wajah Siauw Ling masih kelihatan pucat pias bagaikan mayat, sepasang matanya sayu tak bersinar. Ketika mendengar teguran tersebut ia berpaling dan memandang sekejap kearah pengemis tua itu.

“Boanpwee sudah rada baikan….” sinar matanya beralih keatas wajah Boe Wie Tootiang lalu menambahkan, “Terima kasih atas budi pertolongan dari tootiang!”

Meski badannya belum sembuh seratus persen, namun kesadarannya telah pulih kembali seperti sedia kala.

“Bukan aku yang menolong kau adalah nona ini yang telah menyembuhkan penyakitmu” baru Boe Wie Tootiang berseru.

Siauw Ling segera berpaling dan memandang sekejap kearah gadis yang berdiri dihadapannya.

“Siapakah nona? cayhe dengan dirimu tidak pernah saling mengenal, mengapa kau datang kemari untuk menolong diriku.”

Semula Boe Wie Tootiang mengira gadis ini adalah putri dari Pak thian Coen cu cuma dikarenakan ia tak suka menerangkan nama yang sebenarnya maka gadis itu tetap mengaku sebagai Liok Kian thay. Tapi setelah menyaksikan Siauw Ling sendiri yang tidak kenal, ia baru tahu bahwa gadis itu benar-benar datang dengan menyaru, suatu igatan berkelebat dalam benaknya, sembari diam-diam mengepos tenaga, lambat-lambat ia mendekati pembaringan Siauw Ling.

“Siauw thayhiap” serunya. “Perhatikanlah dengan seksama, nona ini adalah putri kesayangan dari Pak thian Coen cu!”

Dengan pandangan tajam Siauw Ling memperhatikan wajah gadis itu, lama sekali ia baru menggeleng.

“Bukan, dia bukan putri kesayangan dari Pak thian Coen cu!”

Tidak menanti gadis itu membantah, buru-buru Boe Wie Tootiang menyambung kembali, “Dia bernama Liok Kian thay!”

“Waah…. waah…. semakin tidak benar lagi. Putri Pak thian Coen cu bernama Pek li Peng sejak kapan ia ganti she jadi she Liok?”

Pada saat itulah Boe Wie Tootiang telah berada disisi Liok Kian thay, tiba-tiba ia ayun tangannya mencengkeram jalan darah diatas pembaringan kanan gadis she Liok itu kemudian tegurnya, “Siapakah nona? apa maksudmu menyaru sebagai putri kesayangan dari Pak thian Coen cu?”

Liok Kian thay sama sekali tak kelihatan gentar, dengan tenang ia tersenyum.

“Lepaskan diriku!” katanya.

“Silahkan nona mundur lima langkah, pinto akan segera lepaska diri nona!”

“Apakah tootiang takut aku melukai dirinya?” jengek Liok Kian thay sambil memandang sekejap wajah Siauw Ling.

“Tidak salah. Jarak antara nona dengan Siauw thayhiap terlalu dekat. Seandainya kau turun tangan secara mendadak, pinto tidak akan sempat turun tangan menolong.”

“Seandainya aku hendak mencelakai jiwanya tidak nanti aku datang kemari untuk menyembuhkan lukanya.”

“meskipun ucapan nona tidak salah, tapi sebelum asal usul nona dibikin terang sungguh membuat hati kita jadi ragu. Lebih baik mundurlah lima langkah kebelakang.”

Liok Kian thay dipaksa apa boleh buat, terpaksa ia mundur lima tindak.

“sekarang kau boleh lepaskan diriku?”

Boe Wie Tootiang menurut dan benar-benar lepaskan cengkeramannya pada pergelangan tangan kanan Liok Kian thay.

“Walaupun nona datang kemari pakai nama palsu, tapi pinto tetap merasa berterima kasih sekali atas budi pertolonganmu terhadap diri Siauw thayhiap.”

Luas ruangan itu tak seberapa, setelah Liok Kian thay mundur lima tindak kebelakang maka ia telah berada didepan pintu.

“Siauw siangkong, benarkah kau tidak kenal dengan budak?” ia menegur.

Kembali Siauw Ling menatap wajah gadis she Liok itu tajam-tajam, lama sekali kembali ia menggeleng.

“Tidak kenal!”

“Siauw siangkong tentu kenal sama enci Hiang Soat bukan?”

“Kenal, dia adalah dayang kepercayaan dari nona Pek li, cahye pernah beberapa kali berjumpa dengan dirinya.”

“Secara diam-diam Hiang Soat dengan mengikuti nona telah pergi mencari jejak siangkong sebetulnya budakpun ingin ikut tapi nona paksa aku untuk tetap tinggal disisi looya sekalian mencari berita tentang dirimu. Rupanya dalam hati nona telah tahu, kepergiannya mencari diri siangkong pasti akan menggusarkan hati looya, maka sebelum berangkat nona telah serahkan dua botol obat mujarab bikinan looya sendiri kepada budak, agar setiap saat budak dapat menggunakan obat tersebut untuk menolong napas panjang.”

“Nona pernah berpesan kepada budak untuk perhatikan gerak gerik looya, seandainya ia berhasil temukan diri Siauw siangkong dan melukai dirimu, maka nona perintahkan budak untuk datang mengantarkan obat pemusnah.”

“Dari mana nona bisa tahu kalau cayhe terluka?”

“Tengah hari tadi pasukan pengawal istana es berhasil menawan seorang wanita yang bernama Kiem Hoa Hujien, katanya ia hendak mencuri pil bikinan looya, budak mendengar kabar itu segera teringat akan diri siangkong, maka aku segera pergi menanyakan persoalan ini kepada Kiem Hoa Hujien ini….”

“Mula-mula ia tak mau bicara” dayang itu melanjutkan. “Ketika kentongan pertama telah tiba dan aku menengok dirinya lagi. ia baru suka menceritakan kisah untuk menolong dirimu. Tentu saja budak jadi sangat terperanjat, sungguh tak nyana pesan nona sebelum pergi kini jadi kenyataan….”

“Oouw kiranya begitu, sungguh tak nyana kejadian ini bisa berlangsung begini!”

“Budak lantas bertanya kepadanya, sekarang siangkong ada dimana?” terdengar Liok Kian thay menyambung.

“Kiem Hoa Hujien tentu beritahu kepadamu bukan?” Boe Wie Tootiang menyela.

“Sedikitpun tidak salah!”

“Setelah diberitahu, mengapa nona tidak langsung datang kemari?”

“Baru saja Kiem Hoa Hujien bicara sampai tengah jalan, kebetulan majikan kami utus orang untuk memeriksa dirinya, maka terpaksa budak harus menyembunyikan diri.”

Ia menghembuskan napas panjang dan melanjutkan, “Waktu itu tengah malam sudah lewat, budak tak bisa menunggu sampai dia kembali lagi, maka terpaksa aku ikuti arah yang diberitahukan kepadaku untuk mencari sendiri. Siapa sangka aku tak berhasil menemukan diri siangkong saking cemasnya lalu budak meneriakkan nama siangkong.”

Ia sapu sekejap wajah Boe Wie Tootiang. “Tootiang ini munculkan diri dan paksa aku sebutkan namaku. Berhubung situasi yang memaksa maka apa boleh buat, terpaksa aku menyaru jadi nona.”

“Lok Kian thay apakah namamu yang sebenarnya?”

“Budak bernama Kian thay, Liok memang she budak yang sebenarnya!”

“Ada orang datang!” tiba-tiba Soen Put shia berseru sambil memadamkan lilin.

Terdengar ujung baju tersampok angin bergema diluar ruangan, rupanya ada seseorang sedang meloncati pagar tembok.

Diam-diam pengemis tua itu menghimpun tenaga dalamnya mempersiapkan diri. Belum sempat ia membentak terdengar suara seorang perempuan berkumandang datang, “Bagaimana keadaan luka Siauw Ling? apakah ada perubahan?”

“Aaah Kiem Hoa Hujien telah datang” ujar Boe Wie Tootiang sambil cepat-cepat membuka pintu.

Tampaknya Kiem Hoa Hujien dengan sepasang tangan menekan dada serta lambungnya perlahan-lahan berjalan masuk.

Soen Put shia segera memasang lampu tampaklah Kiem Hoa Hujien sambil menggigit bibir menahan sakit. rambut urap-urapan tidak karuan melangkah masuk dengan gerakan yang sangat berat. jelas ia sudah menderita luka yang amat parah.

Tampaklah Kiem Hoa Hujien angkat kepalanya memandang sekejap Liok Kian thay yang berada didepan pembaringan Siauw Ling, lalu berseru, “Oouw…. kau sudah tiba disini?”

Liok Kian thay mengangguk, belum sempat ia menyahut Kiem Hoa Hujien sudah tak sanggup berdiri lagi, ia jatuh tertunduk keatas tanah.

Buru-buru Liok Kian thay memburu kemuka dan memayang bangun tubuh perempuan itu.

“Parahkah lukamu?”

“Ehm, sudah kau berikan obat penawar itu kepadanya?”

“Obat itu sudah ia telan, keadaannya berangsur mulai membaik!”

“Oouw…. nona Kian thay, terima kasih atas pertolonganmu! seandainya aku harus mengejar sendiri kemari, mungkin kedatanganku sudah terlambat!”

“Hujien! bagaimana keadaan lukamu?” dengan rasa haru Siauw Ling bangun berdiri dan turun dari pembaringan.

“Tidak mengapa, aku tidak bakal mati….” diiringi tertawa getir yang mengenaskan, tiba-tiba ia muntah darah segar.

Liok Kian thay segera ambil keluar sapu tangan membersihkan nona darah yang ada diujung bibir Kiem Hoa Hujien.

“Kau terluka ditangan looya kami?” tanyanya lirih.

“Bukan….”

“Nona Liok! luka dalam yang ia derita parah sekali, jangan terlalu banyak berbicara, lebih baik jangan ditanya dulu!” buru-buru Boe Wie Tootiang memperingatkan.

Dari dalam sakunya ia ambil keluar sebuah botol porselen dan ambil keluar dua butir pil, sambungnya, “Nona Liok, tolong berikan kedua butir pil ini kepadanya!”

Dengan cepat Liok Kian thay menerima pil tadi, tapi sebelum ia masukkan obat itu kedalam mulut Kiem Hoa Hujien, perempuan berhati baja ini sudah menyambut sendiri pil tadi dimasukkan kedalam mulut dan ditelan.

“Cuma menelan dua butir pil saja, aku masih belum membutuhkan pelayanan orang lain” katanya sambil tertawa.

“Hujien! berkat obat penawar yang dihantar nona Liok kepadaku, keadaan lukaku sudah berangsur mulai sembuh, bagaimana kalau Hujien naik keatas pembaringan dan beristirahat sejenak?”

Meski sedang menderita luka parah, namun kekerasan hatinya masih seperti keadaan semula, ia tersenyum dan menyela, “Orang lain menyebut aku sebagai Kiem Hoa Hujien, apakah kaupun menyebut aku dengan panggilan itu juga?”

“Lalu apa harus memanggil dengan panggilan apa?”

“Panggil saja aku enci, bukankah selama ini aku selalu memanggil kau dengan saudara cilik?”

Siauw Ling termenung sejenak, akhirnya ia mengangguk.

“Baiklah! cici, bagaimana kalau kau beristirahat sejenak diatas pembaringan?”

Kiem Hoa Hujien tersenyum dan bangun berdiri, tubuhnya sempoyongan seolah-olah hendak roboh keatas tanah. Buru-buru Liok Kian thay datang memayang namun bantuan dayang itu dengan cepat ditampik, dengan langkah masih terhoyong-hoyong ia hampiri pembaringan dan duduk bersila disana.

Siauw Ling yang menyaksikan keadaan Kiem Hoa Hujien, dimana perempuan itu dengan pertaruhkan nyawanya telah mengusahakan obat penawar baginya sehingga menderita luka parah, dalam hati merasa sangat tidak tenang, dihampirinya perempuan itu lalu berkata, “Cici, Boe Wie Tootiang sangat lihay dalam ilmu pertabiban. Bagaimana kalau aku mintakan pertolongannya untuk memeriksa kedalam luka cici??”

Ia mengerti kekerasan hati Kiem Hoa Hujien, maka untuk menjaga agar Boe Wie Tootiang tidak ditolak mentah-mentah dalam memeriksakan nadinya nanti, tak bertanya lebih dahulu.

“Tak usah” Kiem Hoa Hujien segera menggeleng. “Bagaimana keadaan lukaku, didalam hati aku mengerti dengan jelas, asal beristirahat semalam saja kekuatanku akan pulih kembali seperti sedia kala.”

Bibir Boe Wie Tootiang bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu, namun akhirnya batlkan niat tersebut.

Semula Soen Put shia mempunyai perasaan antipatik terhadap perempuan dari wilayah Biauw ini, tapi sekarang pandangannya telah berubah, ia mendehem perlahan lalu berkata, “Ilmu pertabiban yang dimiliki Boe Wie Tootiang meski belum dapat menandingi kepandaian siraja obat keji, namun diapun termasuk tabib sakti dalam dunia persilatan dewasa ini. Nona! mengapa kau berkeras kepala dan tidak membiarkan ia periksakan nadimu??”

“Ucapan Soen loocianpwee sedikitpun tidak salah” Siauw Ling menyambung dari samping. “Cici,,ebih baik biarkanlah Boe Wie Tootiang memeriksa denyut nadimu.”

“Benarkah kau takut aku mati?”

“Untuk menolong jiwa Siauw Ling, cici telah menderita luka dalam yang begitu parah peristiwa ini membuat aku Siauw Ling merasa amat tidak tentram.”

“Baiklah, agar hatimu jadi tenang aku akan merepotkan sebentar diri tootiang?”

Perlahan-lahan Boe Wie Tootiang berjalan menghampiri perempuan itu, jari telunjuk dan jari tengahnya ditempelkan keatas nadi sebelah kiri lama sekali ia baru berkata, “Luka yang nona derita seharusnya tidak begitu parah, tapi dikarenakan setelah kau terluka lalu tidak baik-baik bersemedi dan harus melakukan perjalanan cepat pula, maka keadaan luka yang ringan itu jadi parah sekali.”

“Ehmmm, sungguh hebat permainanmu!” puji Kiem Hoa Hujien sambil tersenyum.

“Apakah masih ada harapan untuk ditolongnya?” Siauw Ling menyela.

“Pada saat ini darahnya sudah menyerang isi perut, untuk menjadi baik kembali seperti sedia kala nona harus banyak beristirahat.”

“Berapa lama harus dibutuhkan untuk menyembuhkan lukaku itu? sebab aku tak bisa terlalu lama berada disini.”

“Paling banyak tujuh hari, dan paling sedikit lima.”

“Ah, tidak bisa, lebih baik tak usah diperiksa lagi. Besok tengah hari aku sudah harus tinggalkan tempat ini.”

“Bukannya pinto sengaja menakut-nakuti dirimu, apabila nona tidak beristirahat sebagaimana mestinya bahkan hendak melakukan perjalanan lagi, maka keadaan lukamu akan berubah makin parah. Kalau sampai jadi begini keadaannya sekalipun Hoa Tuo hidup kembalipun belum tentu bisa menolong jiwa nona!”

Kiem Hoa Hujien tersenyum.

“Sebaliknya kalau aku tetap tinggal disini lima hari sekalipun tabib sakti paling kenamaan yang ada dikolong langit dewasa ini kau kumpulkan semua disinipun belum tentu bisa menolong jiwaku.”

Ia berhenti sejenak untuk ganti napas lalu tambahnya, “Justru karena aku ingin hidup beberapa waktu lagi, maka terpaksa aku harus buru-buru tinggalkan tempat ini.”

“Mengapa?” tanya Siauw Ling heran.

“Kau pingin tahu?”

“Sedikitpun tidak salah!”

“Urusan telah jadi begini, tiada halangan kuberitahukan kepadamu, Shen Bok Hong telah meracuni tubuhku secara diam-diam setiap sepuluh hari aku harus mendapatkan sebutir pil pemusnahnya untuk memperpanjang waktu bekerjanya racun tersebut, tiga hari kemudian adalah saat aku mendapatkan obat penawar itu sebab kalau tidak racun itu akan mulai bekerja dan nyawaku pasti melayang!”

“Sudah terjadi peristiwa semacam ini?”

“Kau anggap aku sedang membohongi dirimu? jangan dibilang aku, setiap orang penting yang ada didalam perkampungan Pek Hoa San cung sebagian besar keadaannya tak berbeda dengan diriku. Semakin lihay ilmu silat yang dimiliki semakin lihay pula racun yang dicekokkan kedalam tubuhnya. Menurut berita yang kudengar katanya obat racun itu adalah karya siraja obat bertangan keji, lihaynya luar biasa. Kecuali Shen Bok Hong seorang diri yang memiliki obat penawar tersebut, dikolong langit boleh dibilang tiada obat yang bisa menolong aku lagi.”

“Oow…. Shen Bok Hong benar-benar manusia keji berhati binatang” seru Siauw Ling. “Kalau memang obat itu dibuat oleh siraja obat bertangan keji, seharusnya Tok chiu yok ong tahu akan bahan obat penawarnya.”

“Sayang sekali Tok chiu Yok ong sudah tak ada disini” sambung Soen Put shia.

“Sekalipun dia berada disini, belum tentu obat penawar itu bisa dibuat seketika itu juga” bicara sampai disini, perempuan ini kelihatan lelah sekali, ia segera pejamkan matanya dan tertidur pulas.

Boe Wie Tootiang segera memberi tanda kepada Siauw Ling agar jangan mengganggu dirinya. perlahan-lahanmereka mengundurkan diri dari ruangan tersebut.

Siauw Ling tahu toosu ini tentu ada urusan hendak disampaikan kepadanya, maka iapun ikut keluar.

Setibanya diluar ruangan, Boe Wie Tootiang berbisik lirih, “Siauw thayhiap, benarkah kau hendak menolong jiwanya?”

“Tentu saja aku harus menyelamatkan jiwanya.”

“Kalau kau ingin menolong jiwanya, kita harus menempuh bahaya.”

“Bagaimana maksudmu?”

“Luka yang ia derita sebetulnya tidak begitu serius, cuma disebabkan ia kurang beristirahat setelah terluka ditambah pula harus melakukan perjalanan jauh, maka darahnya membeku kedalam isi perut. Bukan pinto snegaja menyombongkan diri, pinto yakin didalam tiga hari sanggup membuyarkan darahnya yang membeku didalam isi perut, dalam lima hari pulihkan kembali kesehatannya seperti semula. namun persoalannya yang paling memusingkan kepala saat ini bukanlah luka yang ia derita, melainkan racun Shen Bok Hong yang mengeram didalam tubuhnya.”

“Apakah tootiang mempunyai cara untuk memusnahkan racun itu?”

“Pinto tidak tahu racun keji apakah yang digunakan Shen Bok Hong untuk mencelakai Kiem Hoa Hujien, sekalipun tahu tidak mungkin bagiku untuk mempersiapkan obat pemusnah itu dalam tiga lima hari.”

“Jadi maksud tootiang lebih baik membiarkan dia kembali keperkampungan Pek Hoa San cung sesuai dengan waktunya?”

“Sekalipun besok siang ia bisa tinggalkan tempat ini dan tiba diperkampungan Pek Hoa San cung tepat pada saatnya, namun perjalanan sejauh ratusan li ini suda cukup untuk mencabut selembar jiwanya!”

“Aaai…. bicara pulang pergi tootiang belum berhasil juga menemukan suatu cara yang tepat.”

“Cara sih ada satu, cuma sukakah Siauw heng menerimanya?”

“Apa caramu itu?”

“Pinto akan memusnahkan ilmu silatnya dengan tusukan jarum emas….”

“Sekalipun ilmu silatnya dipunahkan, aku rasa jiwanya sama saja akan tetap melayang.”

“Pinto mempunyai satu cara menghilangkan racun dengan cara yang paling keji, yaitu musnahkan dahulu ilmu silatnya kemudian masukan tubuhnya kedalam kukusan dan mengukus racun yang mengeram dalam tubuhnya dengan cuka kwalitas nomor satu.”

“Racunnya pasti hilang?”

“Seandainya pinto tidak punya keyakinan tidak nanti kutawarkan cara ini kepadamu.”

“Setelah racun yang mengeram dalam tubuhnya lenyap, apakah ilmu silatnya bisa pulih kembali seperti sedia kala?”

“Tidak bisa” toosu tua itu segera menggeleng. “Selama ia masih hidup dikolong langit tak mungkin lagi ilmu silatnya pulih seperti sedia kala.”

“Tidak ada cara lain?”

“Pinto tidak mempunyai cara lain lagi kecuali cara tersebut.”

Siauw Ling termenung sejenak, kemudian baru berkata, “Urusan ini menyangkut masa depan seseorang, cayhe tidak berani mengambil keputusan secara gegabah.”

“Memang lebih baik Siauw thayhiap rundingkan dahulu masalah ini dengan Kiem Hoa Hujien, biar dia sendiri yang menentukan pilihannya.”

“Aaaai…. aku rasa dewasa ini memang cuma jalan ini saja yang bisa ditempuh!” seraya menghela napas panjang, pemuda itu masuk kembali kedalam ruangan.

Kiem Hoa Hujien duduk bersandar diatas pembaringan, sepasang matanya melotot besar namun air mukanya menunjukkan keletihan hebat.

Rupanya perempuan itu berusaha untuk mempertahankan kesadarannya menyaksikan Siauw Ling berjalan masuk ia lantas tersenyum dan menegur, “Apa yang sedang kalian bicarakan?”

“membicarakan keadaan luka dari cici.”

“Sudahlah tak usah dibicarakan lagi, besok siang aku harus tinggalkan tempat ini atau kecuali Boe Wie Tootiang sanggup menyembuhkan lukaku sebelum tengah hari besok?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar