Po Kiam Kim Tjee Jilid 21

Jilid 21

"BELUM pernah aku dengar Lie Bouw Pek punya sobat semacam dia ini" kemudian Siu Lian bersangsi. "Apa tidak bisa jadi orang ini konconya penjahat, yang sedang tipu aku, supaya aku kena dijebak? Apa bisa jadi orang kenalkan aku dan sengaja atur tipu daya ini, supaya ditengah jalan mereka bisa cegat aku? Tapi apa aku perduli? Aku tidak takut! Dulu ayah jerih terhadap Thio Giok Kin, toh akhirnya aku bisa usir ia! Orang sohorkan Biauw Cin San punya piauw liehay terapi ia binasa ditanganku! Apa bisa jadi ada orang2 jahat yang melebihi jahat dan liehaynya Thio Giok Kin dan Biauw Cin San?"

Siu Lian maju dengan hati tidak keder barang sedikit. Sekalipun diantara salyu, kaki kuda masih menerbitkan suara. Dan diatas sela siangtoo dari si nona kasi dengar suara karena saling beradu.

Disekitarnya melulu salyu putih melesak yang tertampak.

Malah si nona sendiri telah mandi salyu. Beberapa desa telah dilalui, Siu Lian tidak lihat rumah  orang darimana molos cahaya terang dari lampu atau pelita, malah suara anjingpun tidak kedengaran.

Sekarang tidak lagi tertampak kaki kudanya si kate gemuk, karena salyu yang baru turun telah menutupi itu. Maka Siu Lian mesti jalan sejalannya saja....

Sekarang nona ini merasakan benar bagaimana sengsara ia ini.

Lagi beberapa lie dilewatkan, lantas sang fajar datang. Dijurusan timur Batara Surya mulai muncul dengan samar2. Empat puluh lie telah dilalui, dan sementara itu sang perut kembali minta makan. Rupanya hawa dingin membikin mesin didalam perut bekerja lebih gencar!

Yang hebat bagi Siu Lian, ia rasai kakinya seperti beku.

Maka beruntung sekali sekarang salju sudah berhenti turun.

Lagi beberapa lie lantas mata hari kelihatan tedas disebelah timur.

Disebelah depan sudah tertampak orang2 yang berjalan, antaranya ada yang memikul barang.

Siu Lian turun dari kudanya, ia keprikkan pakaiannya. Kuda itu yang menghembuskan hawa putih dari mulutnya, telah mandi keringat.

Selagi kudanya mengaso, Siu Lan buka saputangannya, yang dipakai membungkus kepalanya, untuk menyeka mukanya, kemudian ia pakai pula akan bungkus rambutnya.

Tidak lama ia naik pula atas kudanya, yang ia kasi jalan, sampai disuatu tempat yang ramai sekali.

Ditepi jalan ada penjual teh, Siu Lian turun dari kudanya dan beli teh untuk bikin hangat perutnya. Baru saja ia, minum secawan, ia telah rasai tubuhnya hangat dan segar. Ketika hendak minum pula, tiba-tiba ia lihat seorang anak muda sedang keluar dari rumah penginapan disebelah timur, tangannya menuntun seekor kuda baru hitam mulus, sedang dipanggung binatang tunggangan itu ada buntalan kecil dan sebatang pedang. Pemuda itu memakai celana pendek dari sutera hijau dan kepalanya ditutup dengan peci. Siu Lian telah lihat sebelah mukanya, tetapi ia sudah terperanjat!

"Lie Toako ! Lie Toako !" segera ia memanggil. Hampir ia lari memburu, kalau si tukang teh tidak tegor ia untuk pembayaran hingga ia mesti rogoh sakunya dulu untuk lakukan pembayaran. Tetapi sementara itu ia terus memandang kejurusan si anak muda.

Pemuda itu seperti dengar orang memanggil ia, ia menoleh kesekelilingnya, temponya tidak dengar lagi panggilan. ia loncat naik atas kudanya dan berangkat menuju keselatan.

Bukan main ibuknya Siu Lian, ia lemparkan uangnya, ia loncat naik atas kudanya buat menyusul ia telah keluar dari pasar, tetapi penunggang kuda didepan, yang kudanya jempolan, telah terpisah dari ia jauhnya kira2 setengah lie, hingga ia jadi tambah ibuk. Ia keprak kudanya, berulang-ulang ia berteriak "Lie Toako ! Lie Toako ! Lie Bouw Pek !"

Tetapi Lie Bouw Pek, yalah pemuda itu, telah congklang terus dengan kudanya, ia rupanya tidak dengar suara itu dan ia berjalan dengan tidak pernah menoleh kebelakang.

Ibuk, berduka dan berkuatir, itulah perasaannya Siu Lian ketika itu. Malah ia sedikit mendongkol. Ia sangka Bouw Pek berpura2 tidak meudengar.

Memang sebenarnya Bouw Pek tidak dapat lihat nona kita Ia juga sedang kasi kudanya lari dengan pikirannya bekerja, hingga ia tidak pcidulikan segala apa disekitarnya.

Disebelah depan tertampak tiga penunggang kuda lagi mendatangi, pakaian mereka mirip dengan hamba2 negeri, tiba2 silah satu dari ketiga orang itu menunjuk sambil berkata

: "Lihat, lihat, dia jatuh!"

Bouw Pek menoleh, justeru ia nampak jatuhnya orang dari atas kuda. Diarak mereka satu sama lain kira selepasan panah.

"Ia orang perempuan!" kata si hamba tadi.

Orang perempuan itu telah merayap bangun. Tapi ketika Bouw Pek dapat tampak siapa adanya orang perempuan itu. ia terperanjat karena ia segera kenalkan Siu Lian. Ia menjadi heran sekali dan berkuatir, tidak tempo lagi ia putar kudanya dan memburu.

Siu Lian telah rubuh karena kudanya terpeleset, hingga ia jadi limbung dan jatuh. la tidak mendapat luka dan bisa bangun pula dengan cepat. Justeru ia bangun, ia lihat Bouw Pek datang, segera ia hunus sepasang goloknya, ia unjuk roman beringas.

"Orang she Lie, tidak perlu kau perdulikan aku lagi!" ia membentak. "Adalah yang dulu ayahku pesan ketika ia mau menutup mata supaya kita menjadi engko dan adik, tetapi sekarang. "

Nona Jie menjadi seperti kalap, sebab ia mendongkol bukan main, karena ia sangka tadi Bouw Pek sudah tidak perdulikan dia.......

"Sudah di Pakkhia kau tidak perdulikan aku, juga disini. " ia

kata pula, seras tarik kudanya. Ia seperti hendak menangis. "Aku telah susul kau, berulang2 aku teriaki kau, tetapi kau berpura2 tuli.... Beginilah sifatmu ! Baik, baiklah kita tidak usah kenal lagi satu pada lain!. "

Siu Lian masukkan goloknya kedalam serangka, ia loncat naik atas kudanya dan balik kekota raja.

Bouw Pek menjadi bingung, karena ia tidak ketahui yang sinona telah keliru menyangka. Tapi karena orang mau pergi, ia lekas menghampirkan akan lintangkan diri dihadapan kudanya sinona.

"Sabar, nona," ia berkata. "Mestinya kau telah salah mengerti. Mari dengar keteranganku "

Siu Lian rabah gagang senjatanya.

"Apa, kau berani rintangi aku?" ia tanya sambil bersenyum ewah "Apa kau ingin aku turun tangan? Aku tidak takut! "

Sampai disitu tiga penunggang kuda yang tadi telah sampai.

"Sudah, sudah," satu diantaranya menyelak. "Jangan gusar, nona, ada urusan boleh didamaikan secara baik. " "Sudah, lauwko," kata yang lain pada Bouw Pek "memang biasanya suami-isteri berselisihan, tetapi janganlah lakukan itu ditengah jalan besar, orang nanti tertawakan, malu. "

Bouw Pek melengak, sedang Siu Lian sudah jalankan kudanya. Dua2 mereka menjadi jengah dan malu sendirinya. Tapi Bouw Pek kemudian susul nona itu.

"Nona Jie tunggu dulu" ia memanggil-manggil. "Tunugu sebentar aku hendak bicara sedikit! "

Siu Lian seperti tidak dengar itu. ia kasi kudanya jalan terus Ia sangat mendongkol.

Sia sia Bouw Pek memanggil, malah si nona larikan kudanya semakin keras

"Terang ia salah mengerti" pikir ia. "Mana aku tahu ia susul aku? Akupun tidak dengar panggilannya... Ia rupanya gusar karena kudanya terpeleset dan ia turut jatuh la beradat keras sekali, la bilang ia tidak mau kenal aku lagi, itupun tidak ada halangannya, cuma ia telah salah mengerti. "

Pemuda ini menghela napas.

"Sudahlah," akhirnya ia kata, "biar ia pergi, akupun hendak pulang "

Ia tahan kudanya dan putar arahnya kejurusannya sendiri.

Siu Lian tidak perdulikan Bouw Pek dan jalan terus dengan tidak mau menoleh. Ia salah mengerti dan mendongkol bukan main Ketika sudah melalui enam atau tujuh lie dan selagi menoleh tidak lihat si anak muda, ia jadi menyesal mendadakan.

"Buat apa aku susul ia malam2, dengan terjang salyu yang dingin?" demikian ia kata pada diiinya sendiri. "Bukankah aku

butuhkan keterangannya? Taruh kata ia tidak mau memperdulikan aku, aku toh mesti tanya juga ia Sekarang? Kenapa aku mesti turutkan adatku? Apa benar Bouw Pek tidak sudi gubris aku lagi?"

Siu Lian putar kudanya dan kasi lari balik. Tentu saja ia tidak berhasil susul Bouw Pek, kuda siapa bisa lari keras...

Tiba2 nona ini jadi mendongkol lagi. "Apa benar aku mesti mengandal pada orang lain?" ia tanya dirinya. "Apa aku sendiri tidak mampu cari Beng Su Ciauw? Dulu masih ada ayah dan ibu, dalam banyak hal aku senantiasa dicegah, aku tidak boleh sembarangan muncul dimuka umum. Sekarang? Membunuh orang aku berani, apa lagi yang aku mesti takuti? Kenapa aku tidak mau andalkan sepasang golokku akan mengembara dikalangan Sungai Telaga?"

Pikiran ini telah dijadikan pedoman oleh nona Jie, ia bisa ambil putusan tetap.

"Sekarang aku mesti pergi ke Hong touw koan, ke Jie-sie- tin, akan sambangi kuburan ayahku," demikian rencananya "Dari sana aku mesti pulang ke kielok akan cari Sun Ceng Lee dan yang lain. Aku mesti cari uang guna angkut pulang layonya ayah dan ibu...

Dengan pikiran yang tenang Siu Lian bisa kasi kudanya jalan pelahan2.

Matahari Sudah naik tinggi dan salyu telah mulai lumer,  tapi jalanan jadi lebih becek dan licin. maka itu si nona mesti berlaku hati kendalikan kudanya.

Jalan kira2 lima lie, ia sampai disuatu tempat dimana ada rumah penginapan, ia lalu singgah akan minta kamar untuk mengaso. Ia telah buka sepatunya dan rapikan pakaiannya, sepatunya ia tukar. Ia telah minta nasi akan tangsal perutnya, setelah itu ia rebahkan diri. Ia bisa tidur pulas. Ketika ia mendusin, waktu itu sudah jam tiga. Ia lekas cuci muka, minum teh panas, hingga ia rasai tubuhnya jadi segar dan sehat betul.

"Aku telah berlaku terlalu menuruti hati" kata ia dalam hatinya, kapan ia ingat lelakonnya tadi pagi. "Tidak seharusnya aku berlaku demikian keras dan kasar terhadap Lie Bouw Pek. Ia telah susul aku, kenapa aku tidak gubris padanya, hingga ia ngeloyor pergi? Orang tadinya berlaku baik padaku, ia telah menolong banyak, sekarang aku perlakukan ia begini rupa, aku tidak berbudi. " Ia berbangkit seraya menghela napas. Ia pergi keluar akan lihat jalanan, buat dapat tahu ia bisa lanjutkan perjalanannya atau tidak. Ia dapat kenyataan salyu sudah lumer semuanya akan tetapi jalanan penuh air dan lumpur.

Rumah penginapan iiu penuh tamu yang mundar-mandir dan terbitkan suara ramai

Mereka agaknya juga perhatikan nona kita, yang berada sendirian dan rupanya menyebabkan terbitnya rasa heran mereka.

Dengan tidak perdulikan orang banyak, dengan unjuk sikap sopan, Siu Lian berdiri didepan pintu akan perhatikan jalanan. Adalah sukar akan lanjutkan perjalanan, meski benar ada sejumlah kereta yang berlalu-lintas, begitupun orang? yang berjalan kaki. Matahari juga sudah doyong kebarat, tandanya sang waktu sudah jauh lewat tengah hari.

"Terpaksa aku mesti bermalam disini dan besok aku baru bisa teruskan perjalanan," pikir ia akhirnya. Ia tidak berdiri lama, ia masuk kedalam dan balik kekamarnya.

Justeru itu dari hotel didepan keluar empat pemuda, yang dengan mata alap2 mengimpleng nona kita, hingga Siu Lian jengah. Tapi karena ia anggap mereka bukan orang baik2, ia tidak ambil perduli, ia masuk terus.

Didalam kamarnya Siu Lian duduk dengan masgul. Ia berada sendirian dan tidak kerjakan apa juga. Dengan saputangan ia gosok senjatanya dikedua belahnya, hingga goiok itu jadi makin mengkilap.

Mukanya nona ini menjadi guram, apabila ia awasi goloknya itu. Ia teringat kepada ayahnya, bagaimana ayah itu telah ajarkan ia silat dan ilmu menggunakan golok.

Waktu itu tuan rumah datang akan menanyakan tamu mau dahar atau tidak.

"Sebentar lagi" sahut Siu Lian. malam ini aku hendak tinggal disini dan besok aku hendak melanjutkan  perjalananku. Apa namanya tempat ini? Berapa jauhnya tempat ini ke Jie-sie-tin di Bong-touw-koan?" "Disini Tok ciu, nona," sahut tuan rumah, "Sayang aku tidak tahu berapa jauhnya Bong-touw-koan dari sini, barangkali lagi lima atau enam perhentian..."

Tuan rumah tampaknya heran melihat golok yang tajam dari tamunya.

"Sudahlah" kala, nona kita, yang bisa duga hati orang, "kalau sebentar aku hendak dahar, aku nanti minta."

Sambil menyahut "Baik, baik," tuan rumah itu undurkan diri dengan segera.

"Seorang perempuan melakukan perjalanan, benar ia kalah leluasa daripada orang lelaki" pikir Siu Lian sekeluarnya tuan rumah. Lantas ia simpan rapi siangtoonya.

Sore itu ia minta nasi siang2, setelah dahar ia tutup pintu kamarnya, kemudian dengan padamkan api ia naik tidur, la dapat pulas, kendati ia berdaya2.

Esoknya pagi cuaca terang dan jalanan tidak becek lagi, Siu Lian dandan dan siap. ia telah panggil tuan rumah untuk lakukan pembayaran sambil berbareng minta kudanya disediakan. Maka juga ketika ia keluar kudanya sudah menantikan. Dengan tuntun kuda itu ia pergi keluar pekarangan, disini ia loncat naik atas kudanya itu dan mulai lagi dengan perjalanannya keselatan Matahari pagi teduh, langit penuh dengan awan putih dan angin utarapun tidak menyampok keras, hanya hawanya dingin. Sisa salyu masih sedikit dan telah beku pula. Dari rumah2 penduduk terdengar ramainya suara ayam jago berkokok. Diatas cabang2 yang disepanjang tepi jalan masih ada menyangsang sisa salyu.

Jalanan ramai dengan orang2 yang berjalan kaki, naik kereta atau menunggang kuda, dengan mereka yang memikul barang Umumnya sesuatu orang awasi nona Jie selagi lewat atau datang dekat pada mereka.

Siu Lian tetap pakai baju dan celana hijau yang pas betul, kepalanya dibungkus dengan saputangan. Ia memakai sepatu yang solnya terbikin dari tembaga. Goloknya tergantung disamping sela. Ia pandai menunggang kuda dengan tubuh yang tetap. Dengan cara dandannya itu, dengan romannya yang menarik, tidak heran ia menarik perhatiannya banyak orang. lapun jalan sendirian.

Setelah melalui ttga puluh lie Siu Lian sudah keluar dari daerah Tok ciu. Waktu itu sudah setengah hari, dari pagi ia belum dahar kuwe atau nasi, maka ia merasa lapar. Ia mampir disebuah dusun akan cari warung nasi. la masuk kedalam setelah minta kudanya dikasi makan"

Warung nasi itu kecil tetapi tamunya banyak, suaranya ramai sedang perapian menambah hawa jadi makin panas. Kau arak dan bawang telah teraduk menjadi satu. Tidak ada tempat yang kosong. Disitu pun tidak ada orang perempuan lain kecuali seorang nyonya dengan boci, yang numprah ditanah. Kebanyakan tamu adayah tukang2 kereta. Maka terpaksa ia keluar pula, dengan banyak mata ditujukan pada dirinya, dengan ada juga yang tertawa?.

"Toaso, ruangan itu sesak, baik kau pergi kesana, dikamar timur," kata tuan rumah yang datang menghampirkan.

Juga tempat yang diunjuk ini tidak memuaskan, meja terbikin dari batu, tapi sebab kepaksa Siu Lian cari tempat duduk juga.

"Lekas bawakan aku semangkok mie" ia kata, "aku duduk disini saja."

"Baik, toaso. Apa kau tidak merasa dingin ?"

Nona kita tidak puas yang ia dipanggil "toaso", tetapi ia tidak bisa marah.

"Pergi lekas ambilkan aku mie" ia kata dengan tidak sabar.

Tuan rumah berlalu dan Siu Lian duduk. Dari sini ia bisa melihat keluar, keyalan besar dimana banyak orang dan  kereta lewat pergi datang.

Baru saja tuan rumah kembali dengan mie, atau didepan warung nasi berhenti empat penunggang kuda, semuanya berpakaian ringkas

"Disini saja !" kata seorang pada tiga kawannya, tetapi sembari kata begitu, dengan mata jelalatan ia awasi nona kita.

Siu Lian lantas keralkan mereka, itu ada lain orang2 yang kemarin ini awasi ia dari hotel didepan rumah penginapannya. "Apa mereka sedang kuntit aku ?" ia jadi curiga. Ia lihat buntalan panjang", dari dalam mana nongol senjata tajam. "Mereka orang2 biasa dari kalangan kangouw atau konco2nya Biauw Cin San dan Thio Giok Kin... Bisa jadi mereka kandung maksud tidak baik terhadap aku. Tapi apa aku perduli" Seorang diri Siu Lian jadi bersenyum sendiri.

"Biarlah, aku nanti lihat kepandaian mereka!" pikir ia, yang terus dahar mienya.

Empat oiang itu melengak-longok kedalam.

"Terlalu banyak orang!" mereka kata satu pada lain.

"Baik kita dahar diluar saja!" kata yang satu. Dan lagi2 ia incar Siu Lan.

"Hawa diluar dingin sekali, aku tidak tahan." kata satu lagi. "Coba kita lihat warung lain!"

Mereka tuntun kuda mereka, satu antaranya tarik kuda sinona.

"Hei, itu kudaku" Siu Lian menegor. Ia lihat perbuatan orang itu. "Apa kau mau?"

Orang itu, seorang pemuda dengan mata sebelah dan ada tai lalatnya yang besar, memang mau bikin sinona bicara. Ketika ditegor, ia balik mengawasi dengan air muka cengar- cengir.

"Benar, aku salah !" kata ia dengan laga dibikin2. "Aku tahu kuda ini kudamu, enso! "

Lantas tiga kawannya tertawa berkakakan.

Mukanya Siu Lian mendiadi merah, ia gusar. Kembali orang panggil ia "enso"!

"Orang2 kurang ajar, kau berani main gila?" ia menegor. Ia berbangkit sambil sembat cambuknya dan maju menghampirkan, tahu2 cambuknya itu sudah bekerja, hingga muka sipemuda jadi balan !"

"Kurang ajar !" kata seorang pemuda lain, yang mukanya hitam, seraya sambar cambuknya si nona. "Perempuan katak, kau berani serang saudaraku?"

Sembari kata begitu ia ulur tangannya akan jambak pundak orang. Siu Lian betot cambuknya dengan dua tangan, berbareng sebelah kakinya melayang mengenai perut orang, maka pemuda itu segera jatuh terguling ketanah yang berlumpur.

"Ha !" berseru si tiga kawan.

Siu Lian loncat pada kudanya akan sambar siangtoo, yang ia terus hunus, hingga cahayanya berkilauan.

Tiga orang itu kaget, mereka lari minggir dengan  tinggalkan kuda mereka.

Si muka hitam, yang berlepotan lumpur, merayap bangun, tetapi ketika ia lihat si nona cabut golok, bahna kaget ia jatuh pula numprah ditanah.

Sampai disitu keluar banyak orang, yang datang memisahkan.

Siu Lian simpan goloknya, ia bayar uang mie, kemudian dengan tidak kata apa2 ia loncat naik atas kudanya.

"Kenapa diluaran banyak orang tak keruan seperti mereka ini?" pikir ia disepanjang jalan. "Sungguh jarang pemuda sebagai Lie Bouw Pek, yang gagah dan sopan. "

Kembali nona ini sesalkan diri karena sikapnya kemarin terhadap pemuda kita.

Selagi ia jalan terus, tiba2 Siu Lian dengar riuhnya suara kaki kuda disebelah belakangnya, apabila ia menoleh ia lihat empat pemuda tadi dengan kuda dilarikan keras mendatangi kejurusannya. Mereka itu agaknya sedang mengejar. Si muka hitam, yang berlepotan lumpur berada didepan.

Sesaat saja, Siu Lian hendak cabut goloknya dan bersiap, tetapi kapan ia ingat tempat itu masih dekat tempat ramai, ia robah pikiran.

"Kalau nanti orang banyak datang mereka bisa jadi akan tertawakan aku...

Karena berpikir demikian ia lantas larikan keras kudanya, hingga sisa salyu dan lumpur muncrat serabutan, hingga orang2 ditepi jalan mesti lekas2 menyingkir.

Empat penunggang kuda dibelakang juga telah kasi larat kuda mereka, selagi mereka, mendatangi dekat lantas terdengar suara cacian mereka. Terang mereka hendak kejar nona kita.

Dengan tahan sabar Siu Lian larikan kudanya sampai kira2 empat atau lima lie, setelah berada ditempat sepi, dimana tidak ada orang yang berlalu lintas, ia tahan kudanya. iapun siap dengan goloknya.

"Kau orang kejar aku, apa kau orang mau" ia segera menegor, "Apakah kau orang sudah tidak sayang jiwa?"

Empat orang itu hunus senjata, kuda mereka larat, tetapi kapan mereka lihat si nona siap, tiba2 mereka tahan kudanya dan mundur sedikit. Si muka hitam nampaknya lebih berani.

"He !" ia menegor. "Kau seorang perempuan, kau bawa senjata, kau jalan sendirian, kau mestinya bukan orang baik2! Apa kau bikin?"

"Itulah bukan urusanmu! Aku punya urusanku sendiri, yang aku tidak perlu beritahukan kepada kau orang segaa kurcaci cilik ! Sudah jangan banyak omong. Kalau kau orang tidak senang, hayolah maju, aku nanti melayani. Tapi kau orang mesti ketahui, siapa terluka ia jangan menyesal! Andaikata kau orang sayang jiwamu dan tidak ingin golokku melukai kau orang hingga bercucuran darah, baik mundur dan pergi. Jikalau kau orang kejar pula aku dan memaki, ingat, aku nanti bikin kau tidak dapat hidup lebih lama lagi"

Sembari kata begitu Siu Lian mengawasi dengan tajam, siangtoonya sudah sedia.

Empat orang itu mundurkan lagi kuda mereka, tidak ada satu yang berani maju kemudian si mata satu ngoce dalam bahasa rahasia, maksudnya ialah: "Nona ini sendirian saja, tapi ia begini kosen, boleh jadi ia berkepandaian tinggi, kita tidak boleh sembarangan, nanti kita ketemu batu..."

Setelah itu, ia angkat kedua tangannya, unjuk hormat pada nona kita.

"Enso apa yang kau bilang, kami sudah mengerti" ia kata "Kau kosen, kau tidak pandang mata pada kami berempat, baik, kami tidak mau tarik panjang! Dua-tiga lie dan sini, disebelah timur, ada desa Lauw-kee-cun, ketuanya adalah Lauw Cit ya. Cit-ya gemar ilmu silat, ia ternama di kalangan kang-ouw, maka apa kau berani ikut kami pergi ketemu ia?"

Siu Lan mengerti bahwa orang ini hendak adu dombakan ia, tetapi ia tidak takut, ia penyaya Lauw Cit-ya itu mestinya seorang cabang atas atau buaya darat besar, ia tertawa dingin.

"Tidak perduli orang macam apa, Tentu boleh perintah datang kemari!" ia kata "Aku nanti menunggu disini Buat suruh aku pergi mengunjungi, itulah tidak bisa!"

Mendengar demikian empat orang itu menerima baik, malah mereka agaknya lantas mau berlalu. Tapi Siu Lian tidak mau ijinkan mereka pergi semua. Nona kita pikir:

"Kalau mereka kabur, percuma saja aku dijemur disini.

Kenapa aku begitu tolol?"

Maka ia majukan kudanya akan tahan salah satu dari mereka. Ia memang mendongkol.

"Tidak bisa kau orang pergi semua!" ia kata "Kau orang mesti tinggalkan suatu apa selaku barang tanggungan!"

Ia segera maju dan serang si mata satu.

Orang ini tidak mampu bikin perlawanan baru satu kali menangkis, ia sudah mundur, tetapi karena didesak terus, ia miringkan tubuhnya dan jatuh ketanah, apa celaka, ia kena tindih goloknya sendiri, hingga ia menjerit!

Tiga kawannya menjadi gusar, mereka loncat turun dari kuda mereka dan maju menyerang Siu Lian. Nona kita mendahului loncat turun dari kudanya akan sambut serangan, baru segebrakan saja ia sudah rangsak mereka bertiga! Sebagai kesudahan, tiga orang itu ketakutan, mereka mundur dan loncat naik atas kuda mereka masing2 dan terus kabur.

Siu Lian tidak mengejar, ia hanya hampirkan si mata sebelah yang meringkuk ditanah becek. Menuruti kemendongkolnnya ia ingin bacok pemuda kurang ajar itu,  tapi karena memikir mereka tidak bermusuhan, ia tidak boleh sembarangan ambil jiwa orang. "Aku mau pergi sekarang" ia kata pada musuh peryundang itu, yang ia tuding "kalau mereka datang, kau boleh suruh mereka susul aku diselatan, aku tidak takut !"

Kendati sedang merintih, si mata satu paksakan menyahut "Ya."

Siu Lian simpan goloknya, cemplak kudanya yang dilarikan congklang menuju ke selatan.

Simaia satu terus meringkuk sambil merintih, ia ditolong dan digotong kepinggir jalan oleh beberapa orang yang lewat dan direbahkan dibawah pohon. Kudanya yang telah kabur jauh, ada yang tuntun kembali padanya.

Belum terlalu lama sang tiga kawan telah kembali, bersama seorang yang mereka namakan Lauw Cit-ya atau Lauw Iyit Thay-swee, siapapun diiringi oleh enam orang, yang semuanya bawa senjata, tetapi mereka ini semuanya pada jalan kaki, sedang si Cit-ya menunggang kuda.

"Mana perempuan yang bersenjata siangtoo itu?" tanya Cit ya pada si mata satu "Kemana ia sudah pergi?"

"Ia pergi kejurusan selatan." sahut si mata satu "Ia bilang ia boleh disusul, ia tidak takut!... Aduh, aduh!"

Mukanya Lauw Cit-ya yang memangnya merah, jadi merah padam.

"Kurang ajar, ia menghina aku!" ia menjerit "Gendong ia pulang" ia perintah satu orangnya, kemudian dengan ajak si tiga penunggang kuda dan lima orangnya, ia kasi kudanya lari kearah selatan.

Sementara itu Siu Lian telah kasih kudanya jalan dengan tenang, ia tidak pikirkan lagi si mata satu, tetapi jalan belum ada empat lie, ia dengar suara kaki kuda dibelakangnya, apabila ia menoleh ia lihat beberapa penunggang kuda sedang mendatangi.

"Tentu orang susul aku" pikir ia, yang segera putar balik kudanya.

Penunggang kuda yang didepan bermuka merah dan tubuhnya besar. Mengetahui bahwa ia mesti lakukan pertempuran, ia loncat turun dari kudanya, yang ia tuntun kepinggir, kemudian ia siapkan sepasang goloknya.

Lekas sekali empat penunggang kuda telah datang dekat. "Semua turun!" membentak nona kita, yang papaki orang

itu.

Lauw Cit tahan kudanya, ia merasa heran karena keberanian nona kita.

"Kau siapa, she apa?" ia tanya dengan buka matanya lebar2.

"Jangan tanya aku!" Siu Lian jawab. "Hayo turun, mari kita bertempur!"

Lauw Cit ketahui, bahwa apabila seorang perempuan besar nyalinya, kepandaiannya juga mesti tinggi, apapula ia lihat sikapnya nona ini gagah. Meski begitu ia tidak mau kalah gertak, maka ia bersenyum ewah.

"Aku Lauw Cit-ya!" ia kata dengan cara jumawa "Sudah dua puluh tahun lebih aku malang melintang dikalangan Sungai Telaga, aku telah ketemukan bukan sedikit orang gagah, tetapi sudah sekian lama aku robah cara hidupku, aku tidak mau berebutan pengaruh lagi dengan orang, terutama dengan anak2 muda, apapula dalam urusan2 yang tidak ada artinya. Maka aku heran kau, satu bocah yang masih bau deringo, berani banyak tingkah dthadapanku malah kau berani lukai satu saudaraku! Bagaimana aku bisa diam peluk tangan saja? sebagai orang lebih tua, aku harus kasi pelajaran padamu ! Sekarang kasi tahu padaku, pada siapa kau belajar ilmu golok?"

Siu Lian tidak sabar dengan oceannya orang itu.

"Tidak ada perlunya akan kau ajukan pertanyaanmu kepadaku! Kau orang telah susul aku, kalau benar kau orang mau serang aku, hayolah maju semua, berbareng!"

Meski berkata demikian, Siu Lian toh lompat maju, akan mendului serang kudanya Lauw Cit.

Dato itu mundurkan kudanya, mukanya kembali menjadi merah padam. "Budak kutang ajar!" ia menjerit, "Cit-ya bicara dengan baik, kenapa kau tidak mau mengerti?" ia menoleh pada kawan2nya. "Kau orang mundur, sendirian aku nanti layani bocah bau deringo ini"

Ia cabut goloknya, begitu lekas sudah loncat turun ia terus nembacok!

Siu Lian ingin uji tenaga orang, sambil berkelit ia tangkis golok dengan tangan kirinya, atas mana ia rasai tangannya itu sesemutan, sementara si Dato rasai tangannya bergetar, hingga keduanya lantas loncat mundur.

Sekarang nona Jie tahu bagaimana ia harus bersikap, kapan ia menyerang pula ia selalu gunai tangan kanannya, tangan kirinya dipakai untuk serangan2 yang berbahaya.

"Cara menyerang yang busuk !" kala Lauw Cit Thay-swee, yang bisa duga maksud orang. Ia tertawa menyindir. Kemudian iapun balas menyerang secara hebat! la bisa gerakkan kaki tangannya dengan sebat, tubuhnya gesit sekali. Sekian lama Siu Lian melayani, ia tidak bisa cari lowongan, oleh karena ini jadi ketahui yang si Dato ini punya kepandaian yang berarti. Maka ia lantas berlaku hati2 dan gerakannya

diubah.

Tiga puluh jurus telah lewat, setelah mana Lauw Cit menjadi heran.

"Eh, budak perempuan, kau benar liehay!" ia berseru bahna kagumnya.

Sampai disiiu tiga pemuda hunus golok mereka hendak membantu, tetapi belum sampai mereka turun tangan, lantas mereka lihat goloknya Lauw Cit Thayswee sekarang telah diatas angin dan Siu Lian mundur setindak dengan setindak. Menampak demikian, mereka jadi kegirangan, hingga mereka urung maju. Sambil tepuk2 tangan, mereka bersorak: "Lihat, lihat! Cit-ya pasti akan rubuhkan dia!"

Mereka belum rapatkan mulut, atau perobahan telah terjadi. Di luar dugaan sepasang golok dari si nona telah bergerak merangsak. Hingga sekarang si Dato yang kena didesak, napasnya sengal2! "Kurang ajar !" kata Lauw Cit dalam hatinya, ketika ia berdongkol seraya menyabet dengan goloknya akan bikin rubuh lawan itu, yang ia tidak pandang enteng lagi sebagaimana semula. Ia mesti gunai tipu ini rebut kemenangan, untuk jaga nama baiknya.

Tapi Siu Lian tidak kena diakali, ia lihat gerakan itu, ia bisa duga maksud lawan. Selagi golok menyambar, ia gunai tangan kirinya menangkis, sedang tangan kanannya dengan berbareng membabat kejurusan pinggangnya si Dato.

Kagetnya Lauw Cit tak kepalang, ia loncat mundur, tetapi sudab kasip, ia kalah sebat, karena baru saja ia angkat tubuhnya atau paha kirinya tertusuk golok, hingga sambil menjerit ia lemparkan golok dan dengan kedua tanganya ia tekap pahanya yang terluka, sedang mukanya menjadi merah biru dan pucat.

Tiga pemuda itu kaget, mereka lantas meluruk akan kepung nona kita.

Sedikitpun Siu Lian tidak menjadi jerih, ia sambut mereka itu dengan gagah tidak perduli mereka nekat dan rangsekan hebat. Belum ada sepuluh jurus ia telah rubuhkan satu musuh, hingga ia sekarang hanya melayani dua orang,

Lauw Cit karena sakitnya lukanya, tidak bisa berdiri lama, dengan meringis2 ia jatuhkan dirinya, duduk numprah ditanah yang becek. Oleh karena sangat menahan sakit, keringatnya dijidat sampai turun menetes. Meski demikian ia bisa lihat jalannya pertempuran, hingga ia lalu berteriak tetiak:

"Kurang ajar ! Aku telah terluka, buat apa kau orang melawan lebih jauh ? Hayo lekas berhenti"

Teriakan itu ada hasilnya, dua pemuda itu lantas lompat mundur dan berhenti berkelahi atas teriakannya si Dato. Mereka menghampirkan buat coba angkat bangun Dato ini, paha siapa masih saja mengucurkan darah, sedang pakaiannya cupruk

dengan darah dan lumpur. Kedua tangannya juga berlumuran darah. Dalam keadaan menyedihkan itu Lauw Cit-ya masih berani unjuk kemurkaannya.

"Kau benar pandai, aku menyerah kalah !" kata ia dengan sengit, dengan kemudian ia mendelik. Sekarang kasilah tahu she dan nama kau!"

Siu Lian telah rebut kemenangan, ia merasa puas sekali, dengan sebelah tangan mencekal sepasang goloknya, ia bersenyum menghadapi pecundang itu.

"Kau ingin ketahui she dan namaku?" ia balik menanya. Ia bersangsi sebentar, karena tadinya ia niat umpatkan nama ia niat Tapi sekejap kemudian ia pikir lagi, apa halangannya akan bentahukan she dan namanya : ia toh sebatang kara dan akan merantau tak berketentuan Maka ia segera teruskan : "Aku Jie Siu Lian! Tentang ilmu dari sepasang golokku ini ! kalau kau dengar, jangan kau kaget! Aku belajar ilmu golok dari ayahku, kau punya Tiat-cie-tiauw Jie Looya!"

Setelah kata itu, dengan tidak tunggu apa lagi, ia putar tubuhnya menghampirkan kudanya keatas mana ia loncat naik, kapan ia sudah cantel goloknya ia ambil cambuk sebagai gantinya, dan kapan ia telah pecut kudanya itu, sambil menoleh dengan bersenyum, ia pandang Lauw cit, yang lagi dipepayang oleh dua anak muda. .

Kembali ia menuju keselatan.

Hari itu noni Jie sampai didalam daerah Teng bin-koan, ia cari hotel untuk beimalam. Hawa udara dibantu oleh sang angin, adalah dingin, maka didalam k«marnya ia minta jongos nyalakan perapian, ia duduk didekat situ untuk membikin hangat dirinya.

Ia merasa puas akan pertempurannya dengan Lauw Cit. "Mestinya ia satu okpa" ia pikir. "Ilmu goloknya liehay,

tentu ia seorang ternama dalam kalangan Kangouw. Ia telah tanyakan namaku, rupanya ia berniat mencari balas. Selanjutnya aku mesti berhati-hati. Thio Giok Kin dan persaudaraan Ho adalah musuh2 lama dan yang baru adalah Biauw Cin San dan Lauw cit ini." Memikir lebih jauh, Siu Lian menjadi berduka. Ia tidak bisa lupakan nasibnya ayah dan ibunya, layon siapa masih ada di kampung lain Dengan lenyapnya Beng Su Ciauw, dengan  salah mengertinya terhadap Bouw Pek, ia benar2 merasa hidup tersendiri. Difihak lain iapun ingat budinya Siauw Hong dan nyonya.

"Aku sebatang kara sendirian, benar susah....." akhirnya ia sadar.

DIKAMAR2 lain sekalian tamu sedang asyik pasang omong dengan sesamanya mereka nampaknya merdeka dan gembira, beda daripada nona kita, yang bersendirian saja. Sekalian tamu itu kebanyakan adalah orang2 dagang.

"Kalau aku seorang lelaki, tidak nanti aku ijinkan Lie Bouw Pek menjagoi " pikir ia, yang jadi ngelamun.

Justeru itu tuan rumah bertindak masuk. "Ada apa?" Siu Lian tanya.

"Nona toh nona Jie?" tuan rumah itu tanya.

"Ya, aku orang she Jie" sahut Siu Lian seraya turun dari pembaringannya, matanya memandang dengan tajam. "Ada apa ?"

"Diluar ada tamu she Su, yang ingin ketemu nona."

Sioe Lian heran, karena ia tidak ingat kenalan dengan she itu. Ia mau keluar, tetapi si orang she Su itu, yang berdiri didekat jendelanya dan telah dapat lihat ia, sudah mendahului bertindak masuk.

"Nona Jie, hari ini kau kena dibikin mendongkol!" kata ia dengan tiba2.

Orang ini bicara dengan lidah Shoa say, tubuhnya kate dan gemuk, hingga nampaknya sukar ia bongkokkan tubuh akan menjura pada nona kita.

Segera juga Siu Lian kenali si kate gemuk, yang ia ketemukan ditengah jalan. Karena orang berlaku hormat, ia juga berlaku manis.

"Silaukan duduk" ia mengundang. "Ada apa, tuan ?

Silahkan bicara." Orang she Su itu duduk. Dari tarikan napasnya ia seperti habis lakukan perjalanan jauh.

Setelah besarkan lampu, tuan rumah undurkan diri.

Siu Lian pandang tamunya, yang pakai celana biru dengan baju tebal yang pendek, jidatnya penuh keringat, karena orang tidak mau lantas bicara, ia jadi kurang sabaran

"Kau cari aku, ada urusan apa?" ia segera menegor. Ia tadinya mau tegaskan, apa dia ini yang dihotel mencari Lie Bouw Pek, tapi tamunya sudah mendahului berkata:

"Banyak yang aku hendak beritahukan nona" ia kata, "tetapi Lie Bouw Pek telah larang aku bicara pada nona. "

Sekejap saja air mukanya Siu Lian berobah. Ia berbangkit, matanya dibuka lebar.

"Apa? Jadi Lie Bouw Pek dustakan aku?" ia tanya.

"Sabar nona" orang she Su itu kata seraya usapkan tangannya. "Sabar nona dan dengarkan aku bicara dengan pelahan"

Su Poan cu demikian si kate dan gemuk ini sudah lantas perkenalkan diri dengan beritahukan siapa adanya ia bagaimana persobatannya dengan Bouw Pek, yang ia telah bantu, bagaimana ia kabur dari kota raja karena membunuh Poan Louw Sam dan Cie Sielong, hingga ia mesti tinggalkan warung araknya dan sekarang mesti hidup pula dalam perantauan

Siu Lian tahu Pa san coa Su Kian, yang namanya terkenal dikalangan kang ouw, maka sekarang berhadapan dengan si Ular Gunung, ia menjadi heran juga. Tapi pcnuturannya tamu ini tidak mengenai dirinya, ia pikir buat minta ketegasan. Selama ia pikir demikian, Su Poan-cu sudah bicara pula, sekarang dengan sebut2 Siauw Jie.

"Nona tahu, Siauw Jie itu adalah putera kedua dari Beng Loo-piauwtauw dari Soan hoa-hu" ia terangkan. "Ia adalah Beng Su Ciauw, tunangan nona sendiri"

Siu Lian tertarik berbareng heran, sampai ia bungkam. "Beng Su Ciauw telah tinggalkan Pakkhia" Su Poan-cu

terangkan lebih jauh. "Ditengah jalan, di Kho-yang, ia bertemu dengan rombongan dari Biauw Cin San dan Thio Giok Kin, karena bertempur, ia telah mendapat luka parah. Berhubung itu" aku telah pergi ke Pakkhia mencari Lie Bouw Pek, yang terus datang menengoki. Beng Su ciauw, karena lukanya itu, menutup mata didepan Bouw Pek. Mayatnya telah dikubur dtluar kota Khoyang"

Nyata Su Poan-cu bicara secara polos, ia tuturkan semua yang ia tahu, malah tidak perduli si nona suka dengar atau tidak, senang atau tidak senang, iapun kasi tahu pesanannya Beng Su Ciauw, yang anjurkan Bouw Pek nikah sinona.

Siu Lian melengak, ia tercengang bahna herannya. Baru sekarang ia ketahui semua Beng Su Ciauw meninggalkan Pakkhia dan Lie Bouw Pek hendak menyingkir dari ia. Pantas yang Tek Siauw Hong hendak sembunyikan segala hal terhadap dia.

Tapi sekarang, kendati ia ketahui semua itu, pikirannya Siu Lian kusut bukan main. Warta itu terlalu hebat baginya. Jadi nyata yang Beng Su Ciauw telah menutup mata, dalam cara yang sangat menyedihkan! Kenapa datangnya keterangan justeru ia lagi hadapi kesulitan?

Siu Lian duduk dipembaringannya, kepalanya pusing, air matanya mengembeng. la berdiam lama juga, baru ia bisa tetapkan sedikit hatinya.

"Kiranya duduknya bal begini rupa" akhirnya ia bilang. "Lie Bouw Pek dan Beng Su Ciauw adalah orang gagah dan Tek Ngoya orang budiman, melainkan aku, aku seorang perempuan, yang boleh dipedayakan!.... Dasar aku seorang perempuan.... Ya, aku mesti kagumi mereka semua!..."

Mau tidak mau, nona ini menangis sesenggukan. Ia gagah, tetapi ia tetap seorang perempuan, yang hatinya mudah tersinggung.

Suara riuh dikamar lain lantas berhenti, mereka itu merasa heran, antaranya ada yang ingin tahu telah terjadi apa.

Su Poan cu berdiri seperti patung otaknya bekerja. Tuan rumah, dengan alasan menyuguhkan teh, datang masuk.

Siu Lian susut air matanya, ia berhenti menangis.

Sesaat tuan rumah mengawasi si nona dan si kate gemuk itu.

"Bagaimana dengan kudamu, tuan?" tanya tuan rumah pada tamunya.

Su Poan cu menoleh, baru sekarang ia ketahui maksudnya tuan rumah.

"Bawa kudaku keistal dan berikan makanan" kata Pa san- coa. "Tolong kau sediakan kamar untuk aku"

Sambil menyahut "Baik" tuan rumah undurkan diri.

Su Poan-cu awasi si nona, ia sekarang merasa menyesal yang tadi ia sudah bicara secara polos sekali, hingga si nona telah merasakan pukulan hebat pada batinnya. Se karang ia tidak tahu bagaimana harus menghibur.

Kecuali Siu Lian, yang masih sesenggukan, kamar itu sunyi, karena keduanya diam saja Adalah setelah berselang lama juga sinona berhenti menangis karena ia anggap percuma saja ia menangis, ia turun dari pembaringan, ia lepas air matanya.

"Terima kasih buat kebaikanmu tuan," kata ia pada si Ular Gunung. "Kalau kau tidak berikan keteranganmu ini padaku, sampai aku menutup mata, tentu aku tetap berada dalam kegelapan"

"Jangan mengucap terimakasih, nona," kata Su Kian, yang merasa likat kaiena si nona berlaku demikian manis kepadanya. Ia menjura. "Aku sendiri ketahui ini belakangan, sesudah Beng Su Ciauw menutup mata. Kalau waktu bertemu di Tokciu aku. ketahui Siauw Jie adalah tunangan nona, niscaya aku cegah ia terjang bahaya, tidak nanti aku kasi ia bantu Lie Bouw Pek secara mati2an. "

Siu Lian manggut, ia menghela napas.

"Sesudah Beng Jie-ya dikubur, Lie Bouw PeK kembali kekota raja," Su Poan-cu berkata pula. "Ia tidak ijinkan aku turut ia, boleh jadi ia kuatir aku ketemu nona dan nanti ceritakan itu. Tapi aku ini sahabat yang jiatsim, aku kuatirkan keselamatannya Lie Pouw Pek yang sendirian saja tidak akan sanggup layani Biauw Cin San sekalian, yang berjumlah besar. Dengan ajak kawanku, akupun kembali ke kota. Sesampainya di Pakkhia aku tidak masuk kedalam kota, kendati demikian, aku ketahui yang Biauw Cin San binasa ditangan nona dan Thio Giok Kin sekalian telah diusir oleh pembesar negeri. Lie Bouw Pek sampai dikota satu hari lebih dahulu daripada aku, lantas dihari kedua ia berangkat pula meninggalkan kota itu. ia pergi selagi turun salyu besar. Waktu itu aku berniat cari kau, nona, guna berikan keteranganku, tetapi sebagai orang yang melanggar undang2 negeri aku takut masuk kedalam kota, aku tidak mau rembet Tek Ngoya. Begitulah aku kirim orang buat cari nona, buat minta nona Keluar kota, apa mau sebelumnya orangku itu kembali, aku lihat nona sendirian berangkat dari Pakkhia. Aku duga bahwa nona hendak susul Lie Bouw Pek. Dimana Bouw Pek telah berangkat satu hari lebih dahulu, ia tentu berada puluhan lie didepan nona, maka hari itu dihotel aku sengaja omong keras-keras menanyakan hal dia, maksudku adalah supaya nona dengar dan tahu Lie Bouw Pek sudah lewat, supaya malam2 juga nona susul dia. Kalau nona bisa candak Bouw Pek, andai kata rohnya Siauw Jie mendapat tahu tentu juga merasa girang "

Mukanya Siu L;an jadi merah berbareng berduka. Ia jengah sendirinya, yang si kate gemuk ini ketahui urusannya dengan jelas.

Tadinya nona kita hendak bicara, tetapi Su Kian telah dahului ia:

"Untuk bicara terus terang, seyara jujur" demikian katanya, "disebelah adat raya yang keras dan luar biasa, Lie Boaw Pek adalah seorang baik. Boegeenya juga iiehay, dikalangan kang ouw sukar buat tandmgannya. Maka setelah Beng Jie ya menutup mata, kalau nona menikah pada Bouw Pek, tidaklah kau terhina...

Bicara sebenarnya, nona, sebabnya kenapa aku mau keluarkan tenaga dan otak membantu Lie Bouw Pek, tidak lain adalah agar ia menikah dengan nona yang setimbal. " "Cukup!" Siu Lian memotong, apabila ia dengar orang mulutnya ngaco-belo

"Ya, ya nona" Su Poan cu manggut2, tapi diam2 ia bersenyum. Baik, aku nanti oraoag urusan lain.....

Siu Lian mengawasi sahabat yang jiat sim ini.

"Malam itu nona, aku sebenarnya hendak susul kau untuk lihat pertemuan kau dengan Lie Bouw Pek" Pa-san-coa lanjutkan omongannya. "Diluar dugaanku, aku nampak halangan, yaitu kudaku terpeleset jatuh hingga aku turut rubuh, dan kudaku itu bengkak kakinya. Karena ini aku jadi tidak tahu nona dapat susul Bouw Pek atau tidak. Tapi tengah hari barulah aku sampai di Lauw-kee-cun, dfsana aku kunjungi sahabat baikku, Lauw Cit ya. Aku lacur, sahabatku itu telah mendapat luka. Ketika aku minta keterangan, nyata ia, karena main gila terhadap nona, sudah dapatkan bagiannya itu. Aku tidak kata apa2 pada Lauw cit ya, hanya aku pamitan dan lantas menyusul kemari. Syukur disini aku bisa cari nona."

"Terima kasih," kata Siu Lian, "terima kasih

Nona ini tidak omong banyak, pikirannya masih ruwet.

Su Poan-cu bisa mengerti kesukaran hati si nona, iapun lihat nona itu tidak sabaran ia tidak mau menganggu.

"Sekarang kau baik mengaso, malam ini aku juga nginap disini, nona," kata ia kemudian. "Maka kalau ada urusan, besok kita nanti omongkan pula. Andai kata nona perlu apa2, kasi tahulah kepadaku, aku bersedia untuk bekerja gunamu. Percaya pada Su Poan-cu, ia akan membantu dengan sungguh!"

"Siu Lian bersyukur, ia manggut.

"Terima kasih" ia kaia. "Lain kali aku nahti minta bantuanmu!"

Su Poan-cu bersenyum, ia manggut pada si nona, lantas berlalu akan pergi kekamarnya.

Seperginya si Ular Gunung Siu Lian bating2 kaki, lembah air matanya turun.

"Nasibku benar buruk" kata ia dalam hatinya. "Dengan susah payah aku cari tunanganku, siapa tahu ia binasa ditangannya Bianw Cin San, benar aku bisa bunuh Biauw Cin San tetapi ia telah menutup mata, apa artinya itu bagiku? Aku telah berbuat keliru terhadap Lie Bouw Pek. Ia tentu sangat berduka karena kematiannya Soe Ciauw, ia tidak membuka rahasia padaku rupanya ia kuatir aku bersusah hati. Iapun tentu masgul karena kehilafanku... Coba Beng Su Ciauw seorang busuk, aku tentu bisa menikah pada Bouw Pek... Sekarang?"

Siu Lian merasakan seperti ada tangan gaib, yang permainkan ia bertiga Soe Ciauw dan Bouw Pek. Kalau tidak, kenapa perkara jadi demikian kusut? Hampir ia putus asa, baiknya ia kena rebah sepasang goloknya.

"Ayah didik aku sebagai wanita jantan mustahil sekarang, setelah berada sendirian, aku jadi tidak berdaya?" demikian ia pikir "Tidak, aku mesti unjuk semangatku!"

Nona Jie kunci pintu kamar dan padamkan api, lantas ia naik kepembaringan. Ia tidak bisa lantas pulas, masih saja ada pikiran yang mengganggu ia. Ia ambil putusan akan tidak perdultkan Beng Su Ciauw yang sudah menutup mata dan Lie Bouw Pek yang telah tinggalkan ia, ia mau andalkan goloknya, guna angkat derajatnya.

Adalah setelah ambil putusannya itu baru ia bisa pulas.

Besoknya pagi, ketika baru saja sadar, Siu Lian sudah panggil jongos.

"Lekas sediakan kudaku" ia kata. Ia sendiri lantas dandan.

Su Poan-cu tidur dikamar sebelah, ia dengar suaranya si nona, ia turun dari pembaringannya dan lari menghampirkan.

"Apa nona sudah bangun?" ia tanya dari luar jendela. "Su Toaya diluar?" Siu Lian jawab. "Silahkan masuk"

Soe Poan-cu buka pintu dan masuk, ia lihat kamar masih gelap, tetapi ia dapatkan nona itu sudah siap berikut buntalannya.

"Bagaimana, nona? Apa kau hendak berangkat sekarang juga?" ia tanya.

"Benar, toako, aku hendak berangkat Sekarang!" sahut nona Jie. Suaranya sekarang beda jauh daripada kemarinnya. "Syukur kau berikan keteranganmu kepadaku, Su Toako. kalau tidak, aku tentu masih berada dalam kegelapan, Lie Bouw Pek adalah saudaraku yang berbudi, bugeenya juga aku kagumi, tetapi karena duduknya perkara sedemikian rupa, aku tidak ingin bertemu pula dengan ia! Dengan ini aku juga minta kau jangan pikir pula hal yang bukan2!"

Su Poan-cu bingung bahna heran. Ia mengerti nona ini tidak mau lagi orang sebut hal jodohnya dengan Bouw Pek. la heran yang si nona jauh lebih aneh dari pada si orang she Lie itu....

"Kalau begitu, kita benar tidak usah capekan diri lagi akan rekoki jodoh mereka" pikir si Ular Gunung. "Daya upaya kita tidak akan ada hasilnya dan melulu akan bikin kalap nona ini.- Mana aku sanggup meladeni kalau ia hunus goloknya yang dipakai membunuh Biauw Cin San dan melukai Lauw Cit-ya "

Karena berpikir begini, sembari tertawa ia kata :

"Benar nona. benar urusanmu kami tidak boleh campur tahu lagi, cuma..." Dan ia unjuk sikap menghormat sekali, "aku ingin ketahui, seperginya dari sini, nona sebenarnya menuju kemana?"

"Paling dulu aku mau pergi ke Jie sie lin, di Bong ouw koan, akan tengok kuburan ayah, buat sekalian pindahkan layonnya ke Kielok" sahut nona Jie, Kemudian aku niat bawa pulang juga layon ibuku dari Soanhoa-hu."

"Kau benar nona" Su Poan-cu manggut-manggut "Bagaimana dengan kuburannya Beng Jie-siauwya di Khoyang, apa nona tidak niat sambangi?"

Ditanya begitu, air matanya si nona mau molos keluar, tapi ia lekas-lekas keraskan hati.

"Aku niat tengok" ia menyahut, "kemudian aku mau beri kabar pada keluarga Beng supaya mereka pindahkan layonnya ke Soanhoa Kami ditunangkan sedari kecil atas kahendak orangtua kami, tetapi sampai sebegitu jauh aku belum pernah lihat atau ketemu Beng Su Ciauw, kendati demikian, selanjutnya aku tidak mau menikah. Tapi aku hendak terangkan padamu, aku sekarang anaknya keluarga Jie dan bukan nona mantunya keluarga Beng!"

Meski ia mengucap demikian, Siu Lian mesti bukan main keraskan hati.

Kalau waktu itu kamar tidak masih gelap, Su Poan-cu tentu dapat lihat muka sinona merah dan air mata meleleh....

Pa san-coa menghela napas. Ia merasa pasti, bahwa si nona benar tidak akan menikah, hingga sakit rindu dari Lie Bouw

Pek tentulah sukar dapat disembuhkan......

Ia sudah kenal adatnya, ia tidak mau banyak omong. "Tetapi nona," kata ia yang putar soal, "aku rasa kau harus

perhatikan suatu urusan lain. Kim-khio Thio Giok Kin masih belum pergi jauh, aku dengar ia berdiam di Poteng-hu dirumahnya Hek-houw To Hong si Harimau Hitam. Kesana Oey Kie Pok sering kirim orangnya, entah apa yang didamaikan, atau apa yang mereka sedang atur. Sekarang nona mau pergi ke Bongtouw, itu artinya nona akan lewat di Poteng. Siapa tahu jikalau mereka tidak ganggu nona...

"Kalau mereka berada di Poteng, inilah lebih baik lagi" Siu Lian kata "aku nanti cari mereka itu guna tempur mereka! Mereka adalah musuhku, jikalau mereka tidak desak ayah, tak mungkin sekarang aku jadi terlunta2 begini "

"Kepandaiannya Thio Giok Kin tidak berarti," Su Poan-cu terangkan pula, "tetapi lain halnya dengan Hek-houw To  Hong. Ia muridnya Kim-too Phang Bouw dari Ciam ciu, ia gunai siangtoo, kabarnya kepandaiannya tidak dibawah gurunya, maka baiklah nona berhati2. Ia tinggal disebelah barat kota, ia buka dua piauw tiam, maka itu ia punya beberapa tukang pukul juga"

Tapi Siu Lian tersenyum tawar.

"Kau baik sekali, Su toako, aku berterima kasih pada kau"  ia kata. "Semua, apa yang toako bilang, aku akan ingat baik baik. Sekarang silahkan kau pergi, lain kali kita akan bertemu pula !" Su Poan-cu ketahui adat keras nona itu, maka itu ia tidak mau memberi nasehat agar si nona ambil jalan mutar. Ia angkat tangannya seraya berkata :

"Baik2 dijalan, nona! Sampai kita bertemu pula !" Ia bertindak keluar dan kembali kekamarnya.

Sambil bilang "sampai ketemu pula!" Siu Lian awasi orang pergi, kemudian ia panggil tuan rumah akan bikin  perhitungan, setelah itu ia bertindak keluar. Dari jongos ia sambuti kudanya, yang ia tuntun kudanya. yang ia tuntun sampai dipintu perkarangan. Ia lihat sedikit sinar terang ditimur ia dapatkan salyu belum lumer dan angin meniup keras, tetapi karena ia sudah ambil putusannya ia loncat naik atas kudanya, binatang mana ia kasi jalan dengan lekas. Ia ingin, pertama hindarkan hawa dingin, kedua hari itu juga biar sampai di Poteng. Ia ingin dapat bunuh Thio Giok Kin guna balas sakit hatinya.

Perjalanan pagi adalah suatu penderitaan, tetapi Siu Lian tidak hiraukan itu. Ketika mendekati tengah hari, baru ia kasi kudanya jalan pelahan2, akan akhirnya singgah disebuah dusun, dimana ia cari rumah pondokan. Ia minta barang makanan, sambil bersantap ia hilangkan lelah Sehabis dahar, kembali ia lanjutkan perjalanannya.

Angin utara meniup keras dan dingin, rambutnya nona Jie tersampok2 menjadi kusut, sapu tangannya sampai jatuh dua kali.

Dimana ia lewat, Siu Lian dapatkan orang selalu perhatikan ia, hingga kadang2 ia mendongkol.

Oleh karena sang kuda dikasi lari keras, pada jam lima lewat lohor Siu Lian telah sampai di Poteng. Ia masuk dipintu kota utara dan segera cari hotel.

Waktu itu adalah musim dingin, pada jam lima cuaca sudah menjadi seperti magrib dan gelap. Didalam kamarnya, Siu Lian minta api. Ia minta lekas disediakan air untuk cuci  muka Ketika ia masuk kepekarangan hotel, orang banyak telah perhatikan ia, yang pakai pakaian sedang menunggang kuda dan membawa golok, rambulnya kusut, mukanya berlepotan air salyu yang bercampur demi basah, coba orang tidak lihat sepatunya yang mungil, orang bisa sangka ia lelaki.

Adalah setelah cuci muka dan rapikan pakaiannya, baru tuan rumah menjadi kagum karena tamunya itu kecuali muda pun elok.

"Apakah nona mau dahar sekarang?" "Ya Lekasan sedikit" Siu Lian naik ke pembaringan dimana goloknya ia lempar.

Tuan rumah undurkan diri dengan merasa heran, karena ia tidak bisa duga, tamunya ini sebenarnya orang dari golongan mana.

Siu Lian buka sepatunya, ia duduk mengaso, sampai ia rasai tubuhnya mulai segar pula la merasakan bagaimana sengsaranya orang melakukan perjalanan seorang diri, dengan menunggang kuda, diwaktu angin besar dan salyu turun.

Tidak lama tuan rumah muncul pula, dibelakang ia ikut seorang lain, yang pakai baju kapas abu, yang tertutup mantel.

"Inilah tuan Thio, kepala kampung kita" kata tuan rumah yang memperkenalkan.

Siu Lian mengawasi, ia merasa tidak puas.

"Kau kepala kampung, ada urusan apa kau datang kemari?" ia tanya. "Aku toh tidak undang kau?"

Ketua kampung itu uruti kumisnya, ia bawa lagak seperti pembesar negeri yang berpangkat tinggi. Ia tidak kelihatan tak senang, malah ia bersenyum, tetapi waktu buka mulutnya ia kata dengan tedas : "Oleh karena aku dengar kabar kau bawa golok, aku sengaja datang untuk mendengar keteranganmu : Kau ini datang darimana dan hendak pergi kemana? Apa kerjaan suamimu?"

Siu Lian gusar melihat sikap dan mendengar omongan yang tidak pantas itu. Memang ia sedang mendongkol.

"Kau tidak perlu tanya aku!" ia membentak. "Lekas pergi!"

Sekarang barulah si kepala kampung ibuk

"Eh, eh," kata ia, "kau seorang perempuan, kenapa datangi kau omong begini kasar?" Ia delikan matanya dan tangannya agaknya hendak menjambak.

Siu Lian pakai sepatunya dengan cepat dan ia turun dari pembaringan.

"Kalau hanya kepala kampung, bukannya tiekoan atau tiehu, kenapa kau sembarangan menghina orang?" ia tegor. "Pengaruh apa kau andalkan he?"

Sembari kata begitu, nona kita cabut cambuknya dari dalam buntelan.

Tuan rumah tidak ingin terbit onar dihotelnya, ia lekas maju seraya memberi hormat sambil menjura pada tamunya itu.

"Jangan gusar dulu nona" ia berkata dengan hormat "Memang kebiasaannya ditempat kita ini, kalau kita kedatangan tamu, piauwsu atau cinteng, kalau bawa senjata tajam, kepala kampung mesti tanya padanya, untuk catat namanya dan

lain2. "

"Tapi aku belum pernah denpar di Poteng hu ada aturan semayara ini!" Siu Lian membentak.

"Ini adalah aturan baru, yang diadakan belum lama" kata pula tuan rumah sambil tertawa. "Dikota barat ada Kong Thay Piauw-kiok, ketuanya To Toaya, ia kuatir dikota ini ada orang2 pengembara yang terbitkan onar, maka itu ia minta kepala kampung bikin penilikan dan catatan. Tidak ada apa2, nona, tolong kau beritahukan she dan namamu. "

Si kepala kampung, yang lihat sikap orang begitu garang, sudah lantas tukar haluan.

"Aku juga lagi lakukan permintaannya To Toaya," ia bilang "andaikata kau tidak senang, kau boleh lampiaskan itu pada To Toaya sendiri. "

Siu Lian tambah gusar karena saban2 dengar disebutnya To Toaya.

"Siapa itu To Toaya?" ia tanya. "Apa ia bukannya Hek-houw To Hong? Kebetulan sekali, aku memang datang ke Poteng ini untuk tempur dia. Pergi kau orang mengasi kabar supaya ia datang kemari! Hayo pergi!" Sembari kata begitu, Siu Lian angkat cambuknya, ia tolak pinggang.

"Mestinya To Hong itu seorang okpa"

nona kita pikir. "Ia seorang kangouw tidak ternama, kenapa ia bisa perintah2 kepala kampung? Sekarang ia berkawan dengan Thio Giok Kin sekalian, rupanya ia anggap tidak nanti ada otang yang berani ganggu ia. "

Kepala kampung itu jadi malu sekali.

"Aku lagi sial ia kata, "tidak keruan, seorang perempuan muda berani berlaku kurang ajar terhadap aku.... Karena ia berani maki To Toaya, baiklah, aku nanti sampaikan ini kepadanya"

Sembari kata begitu ia ngeloyor keluar, tuan rumah ikuti ia Tapi tidak lama kemudian tuan rumah ini balik dengan bawa barang makanan.

"Nona, tadi kau omong terlalu banyak" ia kata sambil sajikan barang makanannya itu. Ketika ia menyambung omongannya suaranya perlahan sekali, tanda bahwa ia berkuatir. kuatir orang dengar perkataannya : "Si orang she Thio barusan adalah Thio Jie Huncu, asalnya buaya darat disini, tetapi sekarang ia telah menjadi kepala kampung. Sudah begitu, ia telah berkonco dengau Hek-houw To Hong, pengaruhnya jadi makin besar. Begitupun rumah penginapan kita ini setiap hari dimestikan menunjang ia serenceng uang, kalau tidak kita tidak berusaha!"

Siu Lian mendongkol dan gusar mendengar keterangan itu hingga dengan cambuknya ia sabat meja.

"Terang mereka kawanan okpa bukan?" ia kata dengan nyaring.

"Kenapa bukan nona ?" sahut tuan rumah. "Harap nona bicara pelahan mereka itu punya banyak kuping dan mata kalau mereka dapat dengar perkataan nona, jangan harap kau nanti bisa berlalu dari sini. "

"Kenapa begitu?" tanya nona kita, yang tetap gusar. "Apakah yang mesti ditakuti dari To Hong?" "Kalau begitu, kau belum ketahui nona," kata tuan rumah dengan pelahan sekali. "Hek-houw To Hong adalah hartawan paling besar disini, sudah begitu ia telah belajar silat pada Kim-too Phang Bouw dari Cim-ciu, maka siangtoonya liehay bukan main. Lebih daripada itu, Thio Toa congkoan dari Cie- kim-shia adalah ayah angkatnya. Maka itu dikalangan pembesar negeri, pengaruhnya besar sekali. Sekarang ini toko2 besar dikota Poteng kebanyakan adalah kepunyaannya, sedang dirumahnya sendiri ia buka piauw-kiok memakai nama Kong Thay Piauw-kiok dengan beberapa puluh piauwsu. Sebenarnya To Hong tidak hidup dengan andalkan piauw- kioknya itu, dengan itu ia melulu mencari persahabatan. To Hong sendiri juga tidak terlalu menghina atau membikin orang susah, yang hebat sepak terjangnya adalah orang2nya yang sungguh tak boleh dibuat permainan. Mereka ini umpama kata tidak ada yang mereka tidak berani lakukan...

Siu Lian menjadi gusar sekali.

"Baru saja pada bulan yang lalu To Hong telah kedatangan serombongan jagoan yang menjadi sahabatnya" tuan rumah melanjutkan penuturannya, tetap dengan suara pelahan "Mereka itu adalah piauwtauw yang sengaja diundang dari Holam, katanya diantaranya ada Biauw Cin San dan Kim-khio Thio Gtok Kin. Buat beberapa hari mereka berdiam dirumahnya To Hong, disini mereka bikin banyak kacau, lantas mereka berangkat ke Pakkhia. Katanya di Pakkhia mereka telah ketemu batunya, kabarnya Biauw Cin San mati di bunuh orang. Boleh jadi Thio Giok Kin juga turut jatuh pamornya. Ketika peti matinya Biauw Cin San diangkut lewat di sini, To Hong telah menyambut dengan bikin sembahyang dijalan besar. Aku dengar peti matinya Biauw Cin San sudah diangkut terus, tetapi Thio Giok Kin masih berdiam disini"

Selagi tuan rumah bicara Siu Lian bersenyum sindir berulang2, hingga tuan rumah itu menjadi heran.

"Aku tidak takut mereka itu !" kata nona Jie dengan gagah. "Baiklah aku beritahukan kepada kau, aku datang kemari justeru perlunya hendak tempur mereka itu Tegasnya, aku datang dengan sengaja! Sekarang aku hendak makan, silahkan kau undurkan diri" ia tambahkan.

Tuan rumah itu bingung sebentar, lantas berlalu.

Siu Lian duduk pula dipembaringannya bukannya ia bersantap, melainkan ia awaskan lampu dengan otaknya melayang2

"Tuan rumah bicara begini jelas, rupanya benar mereka itu pernah bikin kacau disini" demikian otaknya bekerja. "Sayang, selagi mereka datang ke Pakkhia, Lie Bouw Pek kebetulan tidak ada. Sejak datang dari Lamkiong, belum cukup satu tahun, Bouw Pek sudah rubuhkan banyak jago, ia telah kenal banyak sahabat, tapi karena ia tidak ada di Pakkhia, pastilah ia ditertawai oleh rombongannya Biauw Cin San. Tetapi aku bikin Thio Giok Kin keok, aku telah talangkan orang lain!. "

Ingat ini, hatinya Siu Lian jadi bertambah besar, hingga ia bangga sendiri akan kepandaiannya.

"Apa aku melebihi Bouw Pek?" tanya ia pada dirinya sendiri. Ia jadi sangsi. Ia ingat waktu piebu, dan bagaimana Bouw Pek telah bantu ayahnya pukul mundur Ho Kiam Go sekalian. "Maka kalau Biauw Cin San semua ketemu Bouw Pek, tidak bisa tidak, mereka semua mesti jadi pecundang. Bouw Pek berlalu dari kota raja karena urusannya Beng Su Ciauw, kalau tidak, pasti ia bisa hadapi rombongan Biauw Cin San itu...

Kenapa ditengah jalan aku turuti hatiku dan marahi dia?. "

Ingat ini, nona Jie jadi masgul.

Sebelum nona ini sempat ngelamun lebih jauh, tiba2 kupingnya dengar suara riuh diruangan depan, hingga ia jadi tertarik dan segera pasang kuping, matanya pun memandang keluar.

Suara riuh datangnya dari omongan dan tindakan kaki dari banyak orang.

"Dikamar mana? Dikamar mana?" demikian ia dengar berulang2.

"Itu, dikamar sebelah timur!" terdengar suaranya si kepala kampung she Thio. Sekarang Siu Lian ketahui orang datang cari ia, maka ia turun dari pembaringan sambil sembat siangtoonya, dengan bawa itu ia buka pintu dan loncat keluar. Dengan begitu ia segera berhadapan dengan enam orang, yang bawa dua lentera.

"Apakah kau orang cari aku?" ia menegor, seraya lintangkan goloknya. "Yang mana Hek-houw To-hong? Yang mana ada Thio Giok Kin? Lekas maju ! Kecuali mereka berdua, yang lain2 jangan maju, nanti cari mampus secara kecewa!"

Biar ia bersikap gagah dan keraskan suaranya, suaranya itu tetap nyaring-halus. Dua orang segera tertawakan ia.

"Oh, adikku, kau benar liehay!" kata mereka sambil mengejek.

Siu Lian tidak tunggu orang tutup rapat mulutnya, ia  lompat maju seraya menyerang dua orang itu. Atas itu, dua orang itu menangis dengan golok mereka.

Si Thio kepala kampung begitu kaget, hingga ia menjerit dan jatuh terguling sendirinya, hingga dua kawannya segera gusur ia kepinggir.

Siu Lian menyerang pula.

"Tahan dulu!" kata dua orang itu seraya menangkis. "Beritahukan namamu !"

Tetapi Siu Lian tidak mau bicara, ia terus menyerang

Dua orang itu kewalahan, malah repot juga, karena kendati mereka melawan, mereka bingung sebab serangan2 cepat dan liehay dari si nona, mata mereka jadi seperti kabur. Belum beberapa jurus, terpaksa mereka lari keluar.

"Lekas lari!" Lekas lari !" berteriak seorang lain, yang tidak turut berkelahi.

Siu Lian memburu, ia bacok pundak lawan, seperti babi geguwikan orang itu rubuh dan lenteranya jauh ketanah! Syukur buat ia kawannya bisa seret dia pergi, sedang si nona tidak mengejar lebih jauh.

Sambil bersenyum ewah sebab puasnya, Siu Lian balik kembali kekamarnya. Ia duga orang2 tadi adalah orang2 To Hong, maka sebentar tentu To Hong sendiri yang datang, barangkali bersama Thio Giok Kin Sekalian.

"Aku nanti tunggu, mereka Aku mau lihat, apa mereka hendak bikin?. "

Ketika itu tuan rumah datang masuk sambil berlari2, mukanya pucat.

"Jangan takut, tabahkan hatimu" Siu Lian mendahului berkata dengan hiburannya. "Aku telah terbitkan onar, aku akan tanggung jawab, tidak nanti aku rembet2 kau

Hatinya tuan rumah itu menjadi lega apabila ia dengar perkataan itu.

"Jikalau nona kata begitu, aku minta nona jangan pergi dulu" kata ia, "aku minta nona suka tunggu mereka yang pasti akan datang pula. Dengan sebenarnya, aku tidak sanggup hadapi To Toaya "

"To Toaya apa?" berseru Siu Lian. "Besok aku nanti kutungi kepalanya To Hong untuk kasi kau orang lihat!"

Siu Lian lemparkan goloknya kepcmbaringan, sampai tuan rumah kaget.

"Tolong panaskan semua barang makanan itu" kemudian si nona kata.

Tuan rumah berlalu dengan bawa makanan yang hendak dipanaskan, ia nampaknya masgul.

Siu Lian duduk menantikan hatinya girang berbareng mendongkol. Ketika sebentar kemudian tuan rumah datang pula, ia tanya berapa jauh letaknya rumahnya To Hong.

"Tidak seberapa jauh nona" tuan rumah jawab. "Ia tinggal disebelah barat, dari sini cuma lima atau enam lie. Tapi orang2nya terbesar disemua jalan dan gang, dimana saja orang bisa ketemu mereka itu. Yang tadi datang kebetulan sedang minum kemari. Aku percaya sebentar lagi To Hong akan datang sendiri "

Siu Lian tertawa.

"Biarlah ia datang! Kalau malam ini ia tidak datang sendiri, besok pagi aku nanti satroni dia! Aku sekarang berada di Poteng untuk tempur Thio Giok Kin, guna mencari balas. Maka sekarang aku sekalian mau singkirkan bahaya disini!"

Sehabis kata begitu, karena sudah lapar Siu Lian lantas duduk bersantap, sedang tuan rumah, yang masih sedikit bingung, lantas keluar.

Nona Jie dahar dengan cepat setelah cukup ia naik kepembaringan dan duduk numprah seperti orang lagi bersemedhi. Ia pasang kuping, ia mau tunggu kalau2 To Hong datang, la menunggu sampai jam tiga, tidak ada orang yang datang, ia lalu tertawa sendirinya.

"Apa benar mereka tak punya guna, hingga mereka takut datang pula? Apa bisa jadi Thio Giok Kin menduga pada aku dan sebab ketahui kegagahanku, ia tidak berani cari aku? Kenapa aku begitu bodoh mesti bangun seantero malam, akan dengan sia sia menantikan mereka? Kalau besok pagi mereka tidak datang, aku satroni mereka!"

Lantas Siu Lian kunci pintu dan padamkan api, ia rebahkan diri dengan siangtoo disampingnya. Bahna lelah dan hati puas, ia bisa tidur pulas. Seterusnyapun tidak ada gangguan baginya. esoknya pagi ia mendusin karena ramainya suara ayam bercukuk.

Begitu ingat kejadian semalam, Siu Lian tetapkan apa yang ia ucapkan. Ia buka pintu dan minta tuan rumah sediakan air untuk cuci muka dan bersihkan tubuh. Kemudian ia lakukan pembayaran seraya kata:

"Lekas siapkan kudaku, aku mau pergi cari To Hong, supaya tidak usah sampai kejadian ia mengadu biru disini"

Tuan rumah girang mendengar itu, sedang ia memang harap2 si nona lekas berlalu dari hotelnya Ia pergi sambil berlari-lari, akan sediakan kuda itu.

Siu Lan dandan dengan cepat, dengan cepat juga ia bungkus buntelan, maka sebentar kemudian ia sudah keluar sambil tenteng golok dan pauwhoknya. Rambutnya ia bungkus dengan sapu tangan hitam. Selagi nona ini tuntun kudanya keluar dari pekarangan hotel, angin yang berhawa dingin sekali meniup2. Ditimur matahari

bafu saja hendak muncul. Dijatan besar belum banyak kelihatan orang berlalu lintas.

Baru saja Siu Lian mau loncat naik atas kudanya, atau jauh dibelakangnya ia dengar orang teriaki dia : "Eh orang she Jie" Maka ia segera menoleh.

Dijarak sepanahan jauhnya, ada seorang penunggang kuda: kudanya berbulu merah, penunggangnya masih muda, mukanya bundar, matanya besar, alisnya gomplok, hingga romannya kelihatan bengis. Bajunya berwarna biru, begitupun celananya. Dibelakang pemuda itu ada tiga orang dengan dandanan seperti khungteng, satu diantara nya membawa sebatang tumbak panjang yang dihias dengan runce sutera kuning emas.

Setelah mengawasi sekian lama, Siu Lian merasa ia seperti kenali anak muda itu, hanya ia lupa dimana ia pernah ketemu atau lihat dia itu. Ia menunggu sambil siap dengan senjatanya, sebelah tangannya pegangi les kudanya.

"Apakah kau Kim-khio Thio Giok Kin?" ia menegor, apabila orang itu sudah datang dekat.

Anak muda itu melototkan matanya dan bersenyum sindir. "Kau sengaja datang cari Thio Toaya kenapa kau tidak

kenali aku ?" ia tanya dengan jumawa. "Mari Kalau kau punya nyali, mari turut aku Disini jalan besar, tempat yang ramai aku Thio Giok Kin malu akan layani seorang perempuan!....

Sembari kata begitu ia putar balik kudanya, tampangnya unjuk senyuman.

Sioe Lian mendongkol sekali.

"Jangan tekebur!" ia kata. "Kemana juga kau pergi aku tidak takut! Hari ini aku mesti kutungi batang lehermu, akan ambil kepalamu untuk dipakai menyembahyangi ayahku!"

Lantas ia loncat naik atas kudanya dan Kasi kuda itu berjalan membuntuti pemuda itu. Thio Giok Kin kasi kudanya jalan dengan pelahan kendati, begitu tiga orangnya mesti bertindak cepat mengikuti. Ketika ia lihat si nona sudah datang dekat, ia menoleh seraya unjuk pula senyuman tawar.

"Jie Siu Lian, sakit hati kita dalam sekali laksana lautan" demikian katanya, suaranya menyalakan kesungguhannya. "Pada tujuh tahun yang lalu, mertuaku lelaki lelah binasa dibunuh oleh ayahmu, sedang istriku belum lama ini sudah terluka ditangan kau. Hebat adalah kebinasaannya engku Biauw Cin San ditangan kau ! Maka, Jie Siu Lian, sekarang baik kita jangan saling damprat lagi ! Mari kita maju lebih jauh beberapa tindak, akan cari tempat dimana kita bisa adu jiwa!"

Siu Lian juga sangat mendongkol.

"Baik!" ia menjawab dengan tidak kurang sengitnya "Hari ini aku mesti bikin pembalasan untuk ayahku!"

Mereka menuju langsung kebarat. Belum ada setengah lie mereka lelah sampai disebidang tegalan tegalan yang sepi, karena diempal penjuru tiada kedapatan rumah orang dan orang yang berlalu-lintaspun tak ada. Salyu seperti menabur tegalan itu.

Dengan tiba2 Thio Giok Kin sambuti tumbaknya, akan dengan mendadak putar tubuhnya dan tikam Siu Lian! Ia tidak berkata atau membeti tanda lagi.

Kuda nona Jie, yang dikasi jalan sedikit cepat akan susul siTumbak Emas itu, membikin si nona telah datang dekat pada musuhnya, maka itu serangan secara curang itu bikin ia kaget bukan main, justeru ia sendiri belum bersiap dan senjatanya masih tercantel disela kuda. Syukur ia tabah, matanya celi, gerakannya sebat, dalam kagetnya ia egos diri sambil berbareng ulur kedua tangannya, dengan begitu selagi ujung tumbak lewat disamping tubuhnya tangannya bisa samber ujung tumbak dibagian yang tak tajam.

"Inilah caranya satu laki2 ?" ia segera menegor dengan ejekannya "Kau hendak celakai aku dengan bokonganmu? Ha!" Dengan sebenarnya Thio Giok Kin hendak curangi si nona, oleh karena ia jerih terhadap sepasang goloknya yang liehay, ia ingin dengan sekali tikam saja musuh itu rubuh atau binasa, siapa tahu si nona benar2 liehay dan tumbaknya kena dipegang! Tidak ada jalan lain, ia gentak tumbaknya dengan mendadak, dengari pakai tenaganya. Ia tidak percaya si nona, kendati pandai silat, tenaganya besar. Tetapi kembali dugaannya keliru. Pertama kali menggentak ia gagal, kedua kali ia membetot tidak ada hasilnya, sebab si nona terus menyekal ujung tumbaknya itu dengan keras. Sesudah beberapa kali mencoba dengan sia-sia, akhirnya ia jadi ibuk, hingga ia memaki.

"Oh, perempuan celaka" ia menjerit dengan berulang2.

Adalah pada saat itu tiga konconya Giok Kin telah hunus senjata mereka akan maju membantu.

Siu Lian mengerti babaya, dengan terus pegangi tumbaknya Kim-khio ia tidak akan dapatkan faedah suatu apa, maka justeru ia tampak gerakannya tiga orang itu, dengan cepat ia lepaskan sebelah tangannya, yang mana ia langsungkan pakai menyabut goloknya, setelah itu ia loncat turun dari kudanya dan bacok kuda lawannya !

Thio Giok Kin dapat lihat gerakannya si nona, ia jepit kudanya buat bikin kuda itu berjingkrak dan lompat maju akan menyingkir dari bacokan itu, berbareng dengan mana lagi sekali ia larik tumbaknya dengan sekuat tenaga. Ini kali ia berhasil melepaskan tumbaknya, karena Siu Lian, yang tidak ingin dibetot kuda sudah lepaskan cekalannya.

Setelah dapat pulang senjatanya, Thio Giok Kin loncat turun dari kudanya, dengan tumbaknya itu ia maju menyerang pula akan desak musuhnya.

"He, perempuan hina tukang bergelandangan, apa kau kira kau punya Thio Toaya benar2 jerih terhadap kau?" ia mendamprat.

Siu Lian juga berlaku sebat. Selagi musuhnya mundur, ia sudah loncat kesamping kudanya, akan cabut goloknya yang kedua, kemudian ia maju sedikit sambil lihat tanah yang banyak salyunya. Justeru itu Giok Kin maju menyerang, ia juga lantas maju akan tangkis ujung tumbak sambil balas menyerang! Ia bisa berlaku begini karena ia bersenjata didua dua tangan.

Ketiga konconya Thio Giok Kin batal maju, malah sebaliknya mereka menyingkir kepinggir. Kedua kuda, rupanya karena kaget, sudah lantas kabur....

Pertempuran sudah lantas terjadi secara seru. Dengan tumbaknya yang panjang Thio Giok Kin menyerang secara bengis, saban2 ia berdaya akan ketok terlepas golok lawannya. Dengan senjata panjang, ia dapat ketika lebih baik. Ia ingin betul akan segera tumbak mati musuhnya ini.

Difihak lain Siu Lian telah unjuk kepandaiannya mainkan siang-too. Nona ini tahu yang musuhnya diatas angin, dari itu ia memikir akan lebih dulu papas jeriji tangan lawan yang mencekal gagang tumbak. Ia mengerti, asal jeriji tangan musuh terluka, ia bisa lantas rebut kemenangan. Maka itu ia bukannya mundur, melainkan mendesak.

Dua-puluh jurus telah lewat, bukannya mendiadi lelah. Siu Lian sebaliknya merangsak makin seru, kedua goloknya berkeredepan berkilau2

Thio Giok Kin terpaksa mundur karena desakan musuhnya, terutama ia kuatir ujung tumbaknya nanti kena dipapas kutung. Satu kali, setelah mundur dua tiga tindak, hingga ia dapat ketika akan perbaiki diri, mendadak ia maju pula dengan tikaman, pada tenggorokan yang diulangi terus kekaki!

Itu adalah semacam tipu serangan yang liehay sekali.

Siu Lian menangkis dengan keras akan bikin terpental tumbak musuh, dengan begitu ia bisa loloskan diri dari tipu musuh itu. Karena ini ia merangsak makin keras lagi

Thio Giok Kin kecele karena gagalnya serangan itu, justeru begitu si nona desak ia, maka baru saja beberapa jurus pula hatinya jadi goncang, hingga sekarang ia jadi keteter.

Tiga konconya Giok Kin bisa lihat yang si Tumbak Emas menghadapi bahaya, meski jerih mereka toh mesti maju, akan berikan bantuan mereka. Tapi mereka bisa lantas legakan diri, karena mereka boleh tidak usah tempuh bahaya Sebab disaat mereka hendak paksa maju, tiba2 mereka lihat  mendatanginya belasan penunggang kuda dari jurusan barat. Mereka itu semua bawa senjata. Mereka girang, sebab mereka kenali kawan sendiri.

"Bagus, bagus !" mereka segera berteriak-teriak "To Toaya datang!"

Siu Lian dengar seruan kegirangan itu, ia pun bisa melirik pada bala bantuan musuh, tetapi ia tidak ambil perduli, ia terus desak Thio Giok Kin. Ia mengharap bisa rubuhkan si Tumbak Emas, agar ia bisa berbalik layani musuh yang baru datang itu. Tapi maksudnya ini tak tercapai, karena To Hong keburu sampai.

"Tahan ! Tahan !" si Harimau Hitam lantas serukan berulang2.

Menggunai ketika yang baik itu, dengan tumbaknya Thio Giok Kin tahan goloknya si nona, atas mana Siu Lian terpaksa hentikan serangannya. Dengan siap sedia, ia memandang bergantian pada To Hong dan si Tumbak Emas itu, terutama akan lihat tegas orang she To itu.

Hek-houw To Hong masih muda, usianya agaknya baru dua puluh-tiga atau duapuluh-empat tahun, mukanya benar2 hitam sekali. Tubuhnya kate dan kecil tetapi gagah, sedang pakaiannya dari bahan yang bagus dan mahal.

"Apakah kau Hek-houw To Hong?" siu Lian kemudian menegor.

To Hong awasi nona itu dengan dua pikiran sendiri ia: ia tertarik oleh keelokannya si nona, dipihak lain ia mendongkol sebab pertanyaan kaku itu. Ia loncat turun dari kudanya, menghampirkan nona Jie, lalu angkat kedua tangannya akan mengunjuk hormat, sementara pada mukanya ia perlihatkan senyuman jumawa.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar