Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 28 : Ketua lembah Raja Setan

Jilid 28

Han Ping cepat berpaling ke muka lagi. Diam-diam ia bersyukur dalam hati, “Sungguh berbahaya. Jika aku berpaling ke belakang melihatnya, dia tentu mempunyai alasan untuk mengatakan bahwa karena aku sudah melihat wajahnya maka perjanjian tiga hari itupun tak berlaku lagi dan dengan demikian dia dapat membunuh aku!”

Orang aneh yang di belakangnya itu menunggu sampai beberapa saat, tiba-tiba angkat kaki pelahan-lahan dan pergi.

Han Ping tak berani berpaling melihatnya. Hanya dari langkah kakinya ia dapat menduga bahwa orang itu sudah jauh dari tempatnya.

Walaupun soal itu tampaknya sederhana sekali tetapi memerlukan suatu kesabaran besar untuk menindas keinginan hati. Sekali ia mau berpaling, tentulah ia dapat mengenali siapakah orang itu. Tetapi demi keselamatan Kim Loji, dia terpaksa menekan perasaannya.

Ia tengadahkan kapala menghela napas panjang lalu melakukan pernapasan lagi. Setelah memulangkan semangat, ia mulai mengurut tubuh Kim Loji.

Berselang beberapa waktu, tiba-tiba ia rasakan pancaran tenaga-dalamnya macet. Ia terkejut dan hentikan pengurutannya. Pikirnya, “Selama sehari semalam ini tenaga-dalamku tak pernah berhenti. Mengapa sekarang tiba-tiba macet?”

Serentak berpikir bagitu, ia rasakan tubuhnya lemas dan lapar sekali. Kembali ia berpaling memandang ke arah dua piring besar. Pikirnya, “Kalau makanan dalam kedua piring besar itu tak kehujanan, aku tentu tak sampai menderita kelaparan.”

Ia merasa kemacetan tenaganya itu karena lapar. Dan saat itu ia baru menyadari bahwa sudah dua hari satu malam ia tak makan, Dan makin teringat, makin terasa laparnya itu. Kalau tak segera mendapat makanan, bukan saja ia tentu tak dapat melanjutkan memberi pertolongan tenaga dalam kepada paman Kim, pun ia sendiri tentu tak tahan lagi.

Tak disadarinya, ia meneguk air liur dan menghela napas panjang, “Masih kurang dua hari dua malam lagi, apakah aku kuat bertahan?”

Tiba-tiba dari belakang menjulur sebuah besi porselin putih dan terdengar suara lembut berseru, “Engkau tentu lapar sekal. Lekas makanlah separoh ayam ini.”

Han Ping memandang basi porselen itu. Selain separo ikan ayam pun masih ada dua biji bakpao, sekerat daging wangi. Tetapi pada saat ia hendak menjemputnya tiba-tiba teringatlah ia akan sebuah hal dan iapun menghela napas, “Budi kebaikan saudara, aku hanya dapat menghaturkan terima kasih saja.”

“Engkau tak lapar?” tanya orang itu heran.

“Lapar sekali,” sahut Han Ping, “tetapi kedua tanganku ini tak dapat kulepaskan dari jalan darah di tubuh pamanku. Maka terpaksa tak dapat mengambil makanan itu.

Agaknya orang itu marah sekali. Dengan mendengus dingin ia terus menarik kembali baki porselen itu.

Han Ping menelan air liur lagi. Ia kertak gigi dan pejamkan sepasang mata, berusaha keras untuk menindas rasa laparnya. Iapun segera empos semangat tetapi rasa lapar menyerang hebat sekali sehingga sukar untuk mengerahkan tenaga-murni.

Seperminum teh lamanya, tiba-tiba ia mencium bau daging yang harum. Ketika membuka mata dilihatnya sepotong paha ayam tengah melekat pada bibirnya. Dan dari belakangpun terdengar suara yang ramah, “Baiklah, biarlah kumakankan kepadamu.”

Karena laparnya, tanpa berkata apa-apa, Han Ping pun membuka mulut dan cepat melahapnya habis.

Orang yang di belakang itu tertawa, “Apakah engkau lapar sudah lama? Engkau makan seperti serigala kelaparan.” – Kemudian ia menyodorkan bakpao dengan ikan ayam.

Setelah makan separo ayam dan dua buah bakpao, rasa panas yang menyerang perutnya itu mulai mereda. Ia kesutkan mulutnya pada ujung baju seraya berkata, “Sekalipun dua hari lagi engkau hendak membunuhku, tetapi budimu memberi makan pada hari ini, aku tetap merasa berterima kasih sekali.”

Orang di belakang itu diam saja. Sampai beberapa jenak baru kedengaran menghela napas rawan lalu ayunkan langkah.

Mendengar langkah kaki orang itu amat sarat, Han Ping menduga hati orang itu tentu sedang dilanda pikiran yang berat….

Hanya sejenak memikirkan soal itu, Han Ping terus menghapus segala pikiran dan mulai mengerahkan tenaga-murni untuk menyaiurkan tenaga dalamnya mengobati paman Kim.

Pada saat ia berhenti lagi tiba-tiba pada ubun-ubun kepalanya bertambah sebuah beban. Dan ketika menengadah memandang ke atas, ternyata sebuah topi rumput telah menutup kepalanya. Rupanya untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari dan hujan.

Cepat sekali tiga hari telah lewat. Han Ping mempunyai topi untuk mencegah panas dan hujan dan ada pula orang yang mengantarkan makanan agar tenaganya tetap kuat. Berkat bantuan itulah maka akhirnya ia berhasil menyelesaikan pertolongan kepada Kim loji.

Orang yang mengantar makanan itu rupanya makin lama makin memperhatikan diri pemuda itu. Hal itu dapat ditilik dari jenis makanan yang dihidangkan setiap harinya tentu pilihan dan lezat rasanya.

Hari keempat pagi sekali, Han Ping dapatkan beberapa jalandarah Kim loji sudah mulai melancar lagi. Lukanya hampir sembuh. Sudah tentu ia amat girang, sekali. Serunya berbisik, “Paman, sekarang silahkan paman membuka mata melihat-lihat.”

Hampir tiga hari lamanya Kim loji dalam keadaan limbung tak ingat diri. Ada kalanya ia seperti kehilangan kesadaran pikirannya dan tidur pulas. Dan ketika bangun pun tak tahu apa yang telah terjadi. Tetapi ia tetapi ingat bahwa ia tak boleh membuka mata. Selama dalam penderitaan itu, banyak sekali hal2 yang membayang di benaknya. Maka gelagapanlah ia ketika mendengar perintah Han Ping supaya membuka mata itu. Pelahan-lahan ia segera membuka kelopak matanya.

Dengan wajah mengulum senyum, berkatalah Han Ping, “Cobalah paman mencoba bernapas agar dapat diketahui apakah jalan darah paman yang terluka itu sudah lancar kembali atau belum.”

Kim loji melakukan perintah. Ah, ternyata jalan darahnya sudah lancar lagi. Tiba-tiba ia berbangkit dan mencekal lengan Han Ping, beberapa airmata menitik turun dari pelapuknya, “Ah, nak, engkau menderita sekali….”

Selama hidup belum pernah Kim loji memiliki rasa tegang dan terharu seperti saat itu. Luapan hatinya seperti menyumbat tenggorokan sehingga tak dapat berkata apa-apa. Tak tahu ia bagaimana harus mulai bicara….”

Han Ping tengadahkan kepada menghela napas. Ia berusaha untuk menekan perasaannya, “Karena mengobati paman maka tenagaku telah habis. Dan perlu beristirahat selama beberapa hari. Aku hendak mohon paman supaya membelikan obat untukku.”

Teringat bahwa janji-matinya kepada orang yang tak diketahui itu hanya tiga hari dan hari itu sudah tiba, maka ia harus mencari akal untuk memergikan Kim loji dari situ. Karena kalau tidak, pamannya itu tentu akan menghalangi pembunuhan itu.

Kim loji serentak menyahut, “Tahukah apa ramuannya? Aku tentu segera membelikannya.”

Han Ping tertawa hambar. Sembarangan saja ia mengatakan beberapa macam obat. Dia pernah melihat si dara baju ungu menulis resep untuk mengobati luka Ting Ling. Samar2 ia masih ingat satu dua macam dan mengatakan kepada Kim loji.

Walaupun tak mengerti tentang obat2an, tetapi pengalaman Kim loji dalam dunia persilatan amat luas sekali. Dia terkesiap kaget ketika Han Ping mengatakan obat2 yang termasuk dalam resep si dara baju ungu. la segera mencatatnya dalam hati dan berkata, “Ping-ji, tunggulah aku di sini….”

Sambil memandang ke langit, ia berkata pula, “Sebelum malam hari, aku tentu sudah kembali ke sini.”

Han Ping hanya tersenyum, katanya, “Ah, tak perlu paman bergegas-gegas. Aku hanya kehilangan tenaga-murni saja. Luka paman baru sembuh, jangan berjalan cepat-cepat. Jika malam ini tak dapat datang ke mari, besok pagipun tak mengapa.”

Rupanya Kim loji ngotot hendak mengobati Han Ping, serunya, “Betapapun juga, malam ini aku tentu dapat kembali ke sini.”

Tanpa menunggu pernyataan Han Ping, Kim loji terus Iari kencang. Memandang bayangan pamannya, tiba-tiba timbullah rasa rawan dalam hati Han Ping, serunya pelahan, “Sampai jumpa paman. Pada saat engkau kembali membawa obat, kepalaku tentu sudah terpisah dari tubuhku.”

Dia berkata dengan suara yang amat lirih sekali. Tetapi entah bagaimana, Kim loji seperti kena stroom dan tiba-tiba berhenti, berpaling ke belakang. Sudah tentu Han Ping terkejut sekali. Ia kira pamannya tentu mendengar kata-katanya tadi.

Tampak Kim loji mengangkat lengannya yang tinggal sebelah itu dan berseru, “Jangan pergi kemana-mana. Sebelum hari gelap, aku tentu sudah kembali.”

Habis berseru Kim loji terus gunakan ilmu lari-cepat. Setelah lenyap dari pandangan, Han Pingpun berbangkit perlahan-lahan. Ia melangkah keluar dari gerumbul rumput. Dilihatnya rumput menguning kering, daun2 gugur bertebaran di tanah. Suasana diselimuti dengan hawa kematian.

Tiga penjuru arah dikelilingi gunung. Hanya di sebelah barat yang merupakan hutan lebat. Merupakan sebuah tempat yang tak pernah dijelajahi manusia. Segerumbul rumput setinggi orang, tampak merimbun pada jarak setombak jauhnya. Rupanya tanah itu agak subur karena masih terdapat rumput2 yang hijau.

Hati Han Ping saat itu seperti gelombang air sungai Tiang-kiang. Bergolak dan beralun hebat. Pelahan-lahan ia menghampiri gerumbul rumput dan berkata seorang diri, “Ah, tempat ini baik sekali untuk kuburanku.”

Dia berdiri termangu-mangu lalu kembali ke tempat alang2 semula tadi, duduk bersila bersemedhi mengheningkan cipta.

Tetapi ia gagal. Berbagai pikiran melalu lalang di benaknya. Segala kesukaran dan penderitaan selama ini akhirnya hanya berakhir dengin kematian. Tetapi suatu kematian yang tak dapat dilawan dengan kegagahan. Karena pikiran kacau, ia tak dapat menenteramkan pemusatan hatinya.

Tiba-tiba terdengar derap langkah yang berat berjalan pesat dan berhenti di sampingnya. Han Ping menduga tentulah orang yang membuat janjinya kepadanya itu. Diam-diam ia pasrah, “Ah, karena aku sudah rela menyerahkan nyawa, tak perlu kuharus melihat tampang mukanya lagi.”

Dengan keputusan itu tanpa membuka mata ia terus berseru, “Silahkan turun tangan!”

Sederhana sekali kata-kata itu tetapi penuh me ngandung luapan perasaan hatinya. Dendam sakit hati yang belum terhimpas, kawan2 yang tak sempat ditemuinya dan segala suka duka pengalamannya selama ini, telah campur aduk memenuhi benaknya…. . hampir saja ia tak kuasa menahan diri untuk berteriak menumpahkan isi hatinya. Karena sejak itu toh ia takkan berada di dunia lagi.

Tiba-tiba orang itu hentikan langkah lalu pelahan-lahan menghampiri ke arahnya. Diam-diam Han Ping mencurahkan perhatiannya. Dari langkah kaki, mudah-mudahan ia dapat menduga siapakah orang itu.

Tetapi pada lain saat diam-diam ia menertawakan dirinya sendiri dan hati budi manusia. Ia heran mengapa selalu terjadi pertentangan antara akal budi yang luas dan perasaan hati yang pasrah. Bahkan sampai pada detik2 kematian, ia masih mengandung perasaan2 itu.

Dalam saat2 itulah ia makin menyelami akan arti jiwa dan perasaan hati manusia.

Langkah kaki pendatang itu makin dekat dan akhirnya berhenti di mukanya. Han Ping diam-diam menghela napas dan berkata pelahan, “Saat ini waktu perjanjian tiga hari sudah tiba. Silahkan engkau turun tangan aku…. takkan mati dengan penasaran.”

Tiba-tiba ia teringat bahwa pengorbanan itu adalah karena menolong seorang keluarga satu2nya yang dimiliki dalam dunia Mi. Secercah senyuman mengulum di bibir pemuda itu.

Angin musim rontok berhembus. Dan pendatang yang berada di hadapannya itu berseru kaget, “Turun tangan? Turun tangan bagaimana?”

Han Ping tersenyum dan berkata pelahan, “Karena sudah berjanji dalam waktu tiga hari, maka sekalipun engkau cincang tubuhku. aku takkan mendendam kepadamu. Saat ini aku sudah tak menghiraukan soal kematian lagi. Silahkan engkau lekas saja mulai agar jangan menyiksa diriku begitu lama!”

Nada kata Han Ping begitu tulus dan tak mengandung ketakutan sama sekali. Pendatang itu diam-diam merasa kagum dan menghela napas.

Tiba-tiba terdengar pula orang itu berkata dengan suara parau yang tersendat-sendat, “Tuan…. . apakah yang engkau katakan itu…. . aku benar-benar tak mengerti.”

Serentak tergetarlah hati Han Ping, serunya dengan nada heran, “Siapakah saudara ini?”

Walaupun bertanya begitu namun Han Ping tetap tak membuka mata. Tiba-tiba orang bersuara parau itu berteriak, “Hai…. . kiranya tuan ini ……”

Orang itu hendak mengatakan bahwa Han Ping seorang buta tetapi sungkan. Maka cepat-cepat ia menjawab pertanyaan Han Ping tadi, “Aku bernama Tio Tiong, ada orang yang menamakan diriku Tio It-ya. Jika tuan hendak memberi pesan apa-apa, silahkan. Aku masih mempunyai cukup tenaga untuk melakukan. Jika suruh aku turun tangan , sungguh kebenaran sekali. Tetapi kalau suruh aku mengasah otak, itu….” ia tertawa mengekeh dan berhenti berkata.

Pikiran Han Ping bergolak tak keruan. Tak tahu ia apakah pendatang itu hendak mengolok dirinya atau memang tak mempunyai hubungan peristiwa yang menimpa dirinya. Akhirnya ia tak kuasa lagi untuk tak membuka mata.

Ketika memandang ke muka, tampak seorang lelaki berumur 30-an tahun, memikul kayu bakar. Dan pada pinggangnya terselip sebatang kapak besar, dua kali besarnya dari kapak yang biasa digunakan tukang penebang pohon. Kini sadarlah Han Ping bahwa orang itu hanya orang yang kebetulan lalu di tempat itu.

Tio Tiong melonjak kaget dan menyurut mundur dua langkah lalu letakkan pikulannya. Bermula ia kira Han Ping seorang buta. Tak tahunya ternyata bisa melihat bahkan matanya memancarkan sinar berkilat-kilat tajam sekali.

Han Ping kerutkan dahi dan tertawa hambar, katanya, “Benarkah engkau ini tukang pencari kayu yang sedang lewat di sini?”

Tio Tiong batuk-batuk lalu menyahut, “Benar! Aku menuntut penghidupan sebagai pencari kayu di hutan sudah hampir 10 tahun lamanya.”

“Apakah tiap hari engkau lalu di sini?”

“Tidak, sudah sebulan Iebih aku tak jalan di sini.”

Han Ping menghela napas pelahan, ujarnya, “Kalau begitu engkau tentu tak tahu….” kata Han Ping kepada orang itu dan dirinya.

Tio Tiong tertawa, “Ah, tuan seorang terpelajar, apa yang tuan ucapkan sudah tentu aku tak mengerti.” — Habis berkata ia terus memikul pikulannya dan hendak angkat kaki.

Melihat kayu yang dipikulnya itu tak kurang dari 200 kati beratnya tetapi tampaknya dengan mudah sekali orang itu memanggulnya, Han Ping berseru memuji, “Ah, tenagamu sungguh hebat sekali!”

Kali ini Tio Tiong dapat mengerti kata-kata Han Ping. la merekah tertawa, “Tadi telah kukatakan bahwa aku ini seperti kerbau liar. Kecuali menebang kayu, lain-lain pekerjaan aku tak mampu melakukan.”

Tergerak hati Han Ping, tegurnya, “Engkau tinggal dengan siapa di rumah?”

“Kecuali ibuku dan aku, tiada lain orang lagi.”

Han Ping tertawa rawan, “Ah, engkau sungguh beruntung karena masih mempunyai ibu yang merawatmu….” — ia merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan dua biji uang emas, katanya, “Ambil dan pakailah.”

Seumur hidup Tio Tiong belum pernah melihat uang emas dan sekian banyak uang perak tercengang dan memandang uang emas itu dengan agak gemetar. Dia benar-benar terpesona melihat sekian banyak uang emas itu.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia menghela napas, serunya, “Aku belum mengerjakan sesuatu untuk tuan, mana bisa menerima sekian banyak hadiah. Taruh kata aku bekerja padamu selama 10 tahun, pun tak perlu mendapat upah sekian banyak.”

Kepolosan dan kesederhanaan pemuda itu membangkitkan perasaan nurani Han Ping, pikirnya, “Jika aku tak menunaikan tugas membalas sakit hati, kalau aku masih mempunyai ayah bunda, rela aku hidup sebagai dia, menuntut kehidupan yang sederhana….” — Han Ping menghela napas, ujarnya, “Uang ini bagiku sudah tiada gunanya lagi….”

Sepasang mata Tio Tiong terbeliak lebar, serunya, “Aneh, mengapa uang emas tak berguna? Uang sekian banyak itu dapat dibelikan kerbau dan sawah atau kuda dan kereta. Suatu kekayaan yang dapat dibuat mencari isteri, Ya, pendek kata dapat dibuat apa saja. Mengapa tuan katakan tak berguna?”

Han Ping tertawa tawar, “Aku segera akan mati. Ambillah yang ini dan belikan sebuah peti mati untukku. Besok engkau datang lagi ke mari untuk mengurus mayatku dan tanamlah di bawah gerumbul rumput itu. Kelebihannya, belikan saja sawah, kuda, kerbau dan isteri. Rawatlah ibumu sampai masa hari tuanya.”

Dengan tangan gemetar, Tio Tiong menerima uang itu, katanya, “Akan kubawa pulang dulu uang ini dan akan kutanyakan bagaimana pendapat ibuku” — ternyata pemuda yang jujur dan sederhana ternyata tertarik juga akan harta benda. Diam-diam Han Ping tersenyum. Rupanya ia makin mengenal lebih dalam tentang hati manusia. Pelahan-lahan ia pejamkan mata.

Pada saat menghadapi kematian, segala kenangan akan berhamburan melalu lalang. Setelah menderita kegoncangan perasaan, akhirnva hati Han Pingpun tenang sekali. Pelahan-lahan ia menyalurkan pernapasan.

Dalam hari2 biasa, sukar orang untuk membersihkan pikirannya dari segala ingatan dan kenangan. Tetapi saat itu Han Ping benar-benar tetah memasrahkan diri dalam kehampaan. Hatinya sepi ,dari segala rangsangan nafsu dan Keinginan, kenangan dan ingatan.

Tak berapa lama ia rasakan dari perutnya meluap serangkum hawa-mumi yang bergolak keras. Kalau biasanya mengalami hal semacam itu, ia tentu segera hentikan penyaluran papas. Tetapi saat itu ia sudah tak menghiraukan jiwanya lagi. Diam-diam ia memikir, “Ya, benar, racun yang diberikan orang itu tentu sudah mulai bekerja.”

Iapun melanjutkan penyaluran napasnya.

Ia merasakan hawa murni yang meluap itu, menembus ke-12 lapis urat dan jalan darah lalu menuju ke bagian seng-si-hian-kwan. Darah dalam sekujur tubahnya, pun ikut bergerak mengikuti hawa-murni itu. Darah yang bergolak naik turun, membuat perasaannya tak enak dan hati tak tenang.

Tiba-tiba saat itu terdengar derap langkah kaki orang lagi. Dan detik itu Han Ping sedang mengalami godokan hawa-murni dan darah yang bergolak dan membinal. Keadaannya menyerupai seekor burung bangau yang kelabakan dalam sangkar dan hendak menerobos ke luar. Topi rumput yang dikenakannya. pun sudah berlubang besar. Dia sedang berjuang keras untuk menghamburkan kesemuanya itu ke luar, tetapi lubang yang hendak ditembusnya itu terlalu kecil. Dia tak dapat menembusnya.

Sekalipun ia merasa bahwa pendatang ita menghampiri ke tempatnya tetapi ia tak dapat memperhatikannya. Dan memang ia tak mau mengacuhkan siapa pendatang itu. Karena pikirnya, toh akhirnya ia tentu harus mati

Tiba-tiba tenaga-murni dan darah itu melanda ke atas dan benaknya seolah-olah bergetar keras. Perasaan dan kegelisahan hatinya lenyap tiba-tiba. Sebagai gantinya ia merasa seperti dibuai-buai dan ringan sekali tubuhnya.

Tepat pada saat itu, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya dicekal orang dan serentak terdengar suara seseorang yang belum dikenalnya, “Bagus, menjelajah ke seluruh pelosok dunia, akhirnya tanpa banyak susah payah telah kuketemukan.”

Merasa bahwa nada orang itu tak mengandung arti yang baik, mendadak Han Ping membuka mata. Dilihatnya seorang paderi tinggi besar sedang gunakan tangan kiri untuk mencekal pergelangan tangan kanannya dan tertawa nyaring.

Setelah mengamati orang itu, tiba-tiba Han Ping teringat. Paderi itu adalah Hui Ko taysu, salah satu dari kedua orang paderi tingkat Hui dari Siau-lim-si yang masih hidup.

Hui Ko taysu tertawa meringkik seperti naga, sembada sekali dengan perawakannya yang tinggi besar. Nadanya berkumandang memenuhi gunung.

Rupanya paderi itu gembira sekali, maka ia begitu tegang dan tertawa meringkik sampai beberapa saat baru berhenti.

“Akhirnya engkau dapat kuketemukan juga, ha, ha. Aku telah mencarimu di seluruh penjuru dunia,” katanya dengan dingin.

Tetapi Han Ping tenang sekali. Setitikpun ia tak gentar dan tertawa tawar, “Karena sudah menemukan aku, kiranya lo-siansu tak perlu begitu gembira sekali!”

Dahi paderi itu meluap hawa pembunuhan, serunya, “Jangan berlagak pura-pura, lekas serahkan!”

“Serahkan apa?” tanya Han Ping.

“Pedang Pemutus Asmara!”

Diam-diam Han Ping membatin, “Aku sudah hampir mati, menyimpan pedang pusaka pun tiada gunanya. Pedang itu kuambil dari Siau-lim-si baik kukembalikan kepada mereka lagi, daripada jatuh ke tangan orang lain.”

Dengan keputusan itu ia segera memasukkan tangannya ke dalam baju dan meraba pedang pusaka itu, ujarnya, “Terimalah!”

Paderi Hui Ko cepat menyambuti lalu memasukkan ke dalam baju, katanya, “Kotaknya?”

“Hilang!”

Seketika wajah paderi itu berobah memberingas, serunya, “Sekalipun pedang ini tajamnya bukan kepalang tetapi kotak pedang itu jauh lebih berharga dari pedang ini. Saat itu nyawamu berada dalam tanganku. Apabila mati, orang tentu takkan dapat berbuat suatu apa. Menyimpan kotak pedangpun tiada gunanya. Harap suka menimbang lagi semasak-masaknya.”

Han Ping tengadahkan kepala dan tertawa ringan, “Soal mati dan hidup, aku sudah tak menghiraukan lagi. Apabila lo-siansu hendak menggertak dengan ancaman itu, rasanya lo-siansu salah hitung….”

Ia berhenti sejenak untuk tersenyum lalu berkata pula, “Tetapi pedang itu memang sebuah pusaka yang jarang terdapat dalam dunia Mengembalikan kepada gereja Siau-lim, memang sudah selayaknya. Mengenai kotak pedang itu, saat ini berada pada dara baju ungu dari Lam-hay-bun. Silahkan lo-siansu meminta kepadanya!”

Hui Ko tersenyum, “Pedang berada di tanganmu, mengapa kotaknya pada lain orang. Bagaimana aku dapat percaya keteranganmu itu?”

Han Ping berseru lantang, “Apa yang kukatakan memang sungguh2. Tetapi kalau engkau tak percaya, akupun tak dapat berbuat apa-apa. Hui Gong dan Hui In kedua lo-cianpwe, adalah paderi yang luhur pribadi. Aneh, mengapa beda sekali dengan engkau yang begitu tamak. Sesama kaum perguruan dan sama-sama mengabdikan diri dalam pertapaan mengapa beda sekali sifatnya? Kukembalikan pedang pusaka itu kepadamu adalah semata-mata karena memandang muka Hui Gong dan Hui lo-cianpwe. Hm, enggan benar aku berurusan dengan engkau!” — habis berkata ia terus pejamkan mata lagi.

Hui Koh memandang wajah pemuda itu tampak serius. Sedikitpun tak memantulkan rasa takut mati. Diam-diam paderi itu tergetar hatinya, pikirnya, “Anak yang masih begitu muda sekali mengapa memandang kematian seperti pulang ke rumah saja.”

Entah bagaimana Hui Ko merasa malu dan menyesal. Pelahan-lahan ia lepaskan cekalannya.

Han Pingpun tenang sekali membuka mata dan tertawa hambar, serunya, “Bahwa kotak pedang Pemutus Asmara berada di tangan dara dari perguruan Lam-hay-bun, seluruh kaum persilatan dari wilayah Kanglam — Kangpak tahu semua. Mereka menduga kedatangan dara Lam-hay-bun ke daerah Tiong-goan itu tak lain karena hendak mengejar kotak itu. Kukira lo-siansupun tentu sudah mendengar berita itu! Saat itu tokoh2 dari Dua Lembah dan Tiga Marga, telah terkocok dalam lomba perebutan kotak mendapatkan kotak pedang, itu dari tangan si dara baju ungu. Lo-siansu tentu juga akan mencari kotak itu maka silahkan saja lekas2 kesana. Kalau terlambat, dikuatirkan akan terjadi perobahan. Mungkin akan sudah jatuh di tangan orang lain.”

“Dimanakah sekarang dara baju ungu itu?” tanya Hui Ko.

“Pada waktu kutinggalkan, mereka masih berada di makam tunggal. Saat ini pergi kemana, akupun tak tahu. Tetapi la bermarkas di desa Bik Li-san di gunung Long-san. Nab, apa yang kuketahui sudah kukatakan semua. Kalau lo-siansu pergi, silahkan.”

Hui Ko kerutkan sepasang alis, berkata, “Ada sebuah soal yang terkandung dalam hatiku, entah apakah pantas kutanyakan?”

“Silahkan mengatakan sajalah?”

“Engkau berada di sini ini menunggu siapa?”

“Kematian!”sahut Han Ping.

“Apa? Menunggu mati?” Hui Ko terbeliak kaget.

“Benar, aku memang sedang menunggu kematian.” Han Ping berhenti sejenak lalu berkata, “Jika tidak menunggu kematian, pedang Pemutus Asmara itu tentu takkan kuserahkan kepadamu! Walaupun pedang itu milik Siau-lim-si, tetapi karena kalah bertaruh maka Hui Gong lo-cianpwe telah menyerahkannya kepadaku. Bila aku masih dapat hidup di dunia, aku tentu akan menjaga pedang pusaka itu sebaik-baiknya!”

“Tetapi saat ini engkau toh belum mati mengapa engkau rela melepaskan pedang itu?”

Han Ping tertawa, “Aku akan segera mati, aku takkan hidup lama lagi! Paling lama hanya sampai besok matahari terbenam. Mungkin dalam beberapa saat ini.”

“Walaupun tak faham akan ilmu perbintangan tetapi melihat seri wajahmu, tak seperti orang yang menderita luka parah. Juga bukan terkena racun ganas. Tetapi mengapa tak henti2nya engkau mengatakan akan mati saja?”

Han Ping tertawa, “Soal di dunia, memang banyak yang terjadi di luar dugaan orang. Aku tak suka mengatakan hal itu kepada lain orang, losiansu -….” — belum habis ia berkata, tiba-tiba terdengar suara orang menggerung hebat, “Menyingkirlah!”

Telinga Hui Ko tajam sekali. Serempak pada saat mulut Han Ping berteriak supaya menyingkir, paderi itu sudah menangkap sambaran golok menabas. Sekali kedua bahu paderi itu bergoncang, orangnya pun sudah berkisar semeter. Wut…. . . secepat kilat menyambar muka selarik sinar putih berkelebat di samping telinga Han Ping.

Tanpa berpaling muka, Hui Ko membentak penyerang itu, “Siapakah yang berani menyerang aku secara pengecut itu?”

Terdengar suara tertawa melengking tinggi dan teriakan, “Cobalah engkau rasakan ilmu Hujan-mencurah yang kumainkan ini!”

Kembali serangkum sinar putih berkelebat. Sasarannya sungguh aneh. Tidak langsung menyerang Hui Ko, melainkan tunggu setelah paderi ita berdiri tegak, tiba-tiba ditabur sinar kemilau seluas dua meter.

Bahu Hui Ko sedikit bergetar dan tiba-tiba tubuhnya miring. Jubahnya yang bergerombyongan itu sepintas pandang menyerupai kupu2 yang beterbangan, melonjak-lonjak ke atas. Gerakan dan sikapnya tenang sekali. Namun hamburan sinar pedang itu tak mampu mendekatinya.

Matahari makin panas. Tetapi sinar pedang penyerang itu jauh lebih dahsyat dari sinar matahari. Dengan sambaran angin yang mendesis-desis, pedang itu membabat kaki Hui Ko dan melanda ke arah Han Ping.

Han Ping tetap duduk seperti patung. Setitik-pun ia tak jeri melihat sinar pedang pembawa maut itu. Pada saat masih terpisah setengah meter, tiba-tiba sinar perak itu lenyap dan menyambar lewat di sisinya. Angin yang tajam menghambur bajunya.

Ternyata saat itu Hui Ko sedang melambung ke atas. Ketika melihat ketenangan Han Ping. la pun melayang turun lagi ke bumi dan tiba-tiba mengagumi ketenangan pemuda itu. “Kalau benar dia harus mati hari ini. sungguh suatu kerugian benar bagi dunia persilatan.”

Sesempit-sempit pikirannya, namun ketika melihat kelapangan dada dan ketenangan pemuda itu, tanpa disadari ia tunduk dalam hati.

Pada saat paderi itu masih menimang-nimang, sekonyong-konyong dari belakang terdengar suara orang tertawa dingin. Hui Ko kerutkan alis dan berseru, “Setelah Hujan-mencurah-dari-langit, Ialu bagaimana lagi?”

Suara orang di belakang yang bernada seperti suara wanita itu, sepatah demi sepatah berseru, “Masih ada Bintang-mengalir!”

Kata itu diserempaki dengan sambaran angin dari belakang.

Karena menjaga gengsi tadi Hui Ko tak mau berpaling. Tetapi saat itu ia benar-benar terkejut mendengar kata-kata orang di belakang itu dan taburan senjatanya yang menghamburkan angin tajam. Mau tak mau ia berputar tubuh dan terkejut melihat segumpal sinar perak, lurus menyerang kepadanya.

Gumpalan sinar perak itu mengumpul satu, tipis tetapi tidak buyar, lalu daripada gumpalan sinar yang tercipta dari jurus Hujan-mencurah-dari-langit tadi. Gumpalan sinar perak kali ini mengandung perbawa yang membuat hati orang tegang.

Seketika Hui Ko tergetar hatinya. Tanpa menunggu sinar perak itu melanda dirinya, cepat ia berputar tubuh, dan melesat dua tiga meter jauhnya.

Baru ia bergerak, tiba-tiba terdengar bunyi mendering dan sebersit sinar perak yang melayang di atas kepalanya itu mendadak meluncur cepat sekaii. Tring, tring, tiga bersit sinar perak, yang bermula menyerang lurus ke muka tiba-tiba pun berhamburan membujur ke samping. Dan kemudian terdengar pula berdering-dering suara tajam. Serentetan sinar perak itu mengumpul jadi satu dalam bentuk gumpalan-gumpalan sinar yang berhamburan keempat penjuru. Bagaikan hujan mencurah, sinar itu menghambur ke tubuh Han Ping yang duduk tenang laksana sebuah karang.

Rentetan bunyi mendering itu, tak ubah seperti lonceng kematian yang dicanangkan oleh malaekat Elmaut. Belum senjata itu tiba-tiba, orang tentu sudah patah nyalinya.

Han Ping membuka mata dan mencurahkan pandang matanya ke arah sebersit benda bersinar yang berada di tengah gumpalan sinar perak itu.

Sedikitpun ia tak mau mengacuhkan pada lingkaran sinar perak yang berhamburan di empat penjuru itu.

Pada saat Hui Ko loncat menghindar ke samping tadi, ia masih sempat memandang ke arah Han Ping. Dilihatnya benda bersinar yang melayang paling depan, saat itu sudah tiba pada jalan darah berbahaya di dada Han Ping.

Dalam detik2 yang berbahaya itu, tiba-tiba Han Ping ulurkan tangan kanannya. Sekali jarinya menutuk pelahan, terdengar suara mendering dan benda bersinar itupun tersiak ke samping. Dan secepat itu, dengan masih dalam keadaan duduk, tubuh pemuda itu melambung ke udara. Gumpalan sinar perak yang berhamburan tadi, pun melimpah angin kosong.

“Keberanian yang luar biasa… ilmu yang hebat….!” Hui Ko menghamburkan pujian pelahan.

Pun ketika masih dalam sikap duduk dan meluncur turun ke tanah, Han Ping tertawa tawar, serunya, “Ah, lo-cianpwe keliwat memuji!”

Tetapi paderi itu tak menjawab apa-apa. Pandangan matanya diarahkan ke gerumbul rumput yang terpisah setombak lebih jauhnya seraya berseru nyaring, “Jurus Hujan-mencurah-dari-Iangit dan Bintang-bintang-mengalir, sudah kuterima. Entah apakah masih ada lain jurus yang lebih lihay lagi?”

Dari balik gerumbul rumput segera terdengar suara melengking, “Berkisarlah lima langkah ke kiri dan cobalah pula jurus ilmu Sam-goan-lian-te serta Thian-hui-bong ini!”

Wajah Hui Ko berobah seketika. Serunya, “Untuk menerima kedua ilmu kepandaianmu itu, aku tak keberatan. Tetapi lebih dulu dapatkah kuketahui siapakah gerangan nona ini?”

Seketika dari balik gerumbul rumput itu muncul seorang gadis berpakaian hitam. Punggungnya menyanggul sepasang pedang. Dengan langkah palahan ia menghampiri ke muka.

Han Ping terkesiap. Rasanya ia pernah kenal dengan nona itu tetapi sesaat ia lupa entah di mana.

Tampak bola mata nona itu berkeliaran sejenak lalu mencurah ke arah Han Ping dan tertawa, serunya, “Keberanianmu sungguh membuat orang kagum sekali!” – Kemudian ia alihkan pandang matanya kepada Hui Ko, serunya, “Apakah engkau ini salah seorang paderi dari gereja Siau-lim-si?”

“Aku adalah Hui Ko dari Siau-lim-si.”

Dalam dunia, orang yang mampu menghindar dari taburan ilmu Hujan-mencurah-dari-langit dan Bintang-mengalir-pindah, sedikit sekali. Ilmu kepandaianmu hebat sekali, paderi tua. Maka kuduga engkau tentu dari gereja itu,” seru nona itu.

Hui Ko melihat nona itu berpakaian baju hitam dan wajahnya amat cantik yang berumur di antara 20-an tahun tetapi dapat menggunakan ilmu kepandaian yang begitu hebat, tentulah bukan seorang nona sembarangan Maka segera ia berkata dengan serius. “Entah siapakah nama nona yang mulia?”

Setelah menyaksikan betapa kepandaian Han Ping menghadapi serangan dahsyat dari nona itu, kecongkakan Hui Ko mulai menurun. Andaikata ia jadi Han Ping, tentulah ia tak mudah bersikap begitu pasrah seperti anak muda itu.

Tampak nona baju hitam itu tertawa tawar, “Aku bernama Siangkwan Wan-ceng….”

Han Ping tergetar hatinya. Tiba-tiba ia teringat kalau pernah bertempur dan menderita luka dari nona itu. la menyelutuk, “Aku berjanji padamu dalam waktu tiga tahun. Mungkin aku tak dapat menetapi janji itu. Maka lebih dulu aku menghaturkan maaf.”

Siangkwan Wan-ceng tertawa, “Tak apa, peristiwa yang lampau, tak perlu dipikir lagi.”

Sahut Han Ping dengan hambar, “Modal dari seorang lelaki ialah kepercayaan dan budi luhur. Karena sudah ada janji, sudah tentu tetap kuingat. Tetapi hari ini adalah hari kematianku .. ..”

“Apabila engkau tak mati?” tukas Siangkwan Wan-ceng.

“Sudah tentu aku akan menetapi janji itu!”

Siangkwan Wan-ceng tertawa, “Tetapi sayang engkau akan mati!”

Han Ping menengadah memandang ke gumpalan awan yang berarak di langit. Diam-diam ia berpikir, “Saat ini sudah hampir petang tetapi orang yang berjanji padaku itu masih belum datang. Apakah ia lupa? Atau mungkin karena sudah suruhaku minum racun tensu tak dapat hidup lebih lama dari tiga hari?”

Karena teringat akan kematian, ia tak mau memperhatikan apa yang terjadi pada saat itu.

Angin berhembus menderu. Ketika memandang ke muka dilihatnya Siangkwan Wan-ceng sudah mulai bertempur dengan Hui Ko. Keduanya bertempur dengan jurus2 yang mengejutkan. Setiap pukulan dan jurus, tentu menerbitkan tenaga angin yang dahsyat.

Beberapa saat kemudian, Han Ping mendadak melibat di samping gerumbul rumptut yang tinggi itu, tegak seorang berbaju putih. Han Ping memiliki mata yang tajam sekali tetapi tak dapat melihat jelas orang itu kecuali hanya pakaiannya saja yang berwarna putih. la memandang dengan seksama lagi beberapa saat. Tiba-tiba tergetarlah hatinya.

Tiada sesuatu yang menyakiti pandang mata pada diri orang itu. Tetapi dari kepala sampai ke kaki dan sekujur tubuhnya. tak tampak tanda-tanda dari orang yang hidup. Wajahnya seperti diliputi lapisan kerudung hawa yang berwarna biru sehingga sukar diletahui bagaimana jeleknya, tetapi sekujur tuhuhnya tak mirip dengan manusia hidup. Mukanya seperti diselubungi lapisan asap hijau sehingga tak tampak bagaimana kerut wajahnya. Sebuah wajah yang menimbulkan rasa seram pada orang.

Han Ping menghela napas panjang, pikirnya, “Aih, masakan di dunia terdapat manusia seperti mayat hidup begini….”

Tiba-tiba orang baju putih itu merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah benda. Matanya herputar-putar seperti memperhitungkan jarak antara dirinya dengan Siangkwan Wan-ceng dan Hui Ko taysu yang sedang bertempur itu.

Melihat itu Han Ping kuatir dan cepat berseru keras, “Hai, sudahlah, jangan kalian berkelahi lagi!”

Siangkwan Wan-ceng bergeliat menghindari serangan Hui Ko taysu dan melesat ke samping Han Ping. Dengan tersenyum ia menegur, “Mengapa? Apakah engkau kuatir aku tak dapat mengalahkannya?”

“Bukan,” sahut Han Ping.

Setelah bertempur, barulah Hui Ko taysu menyadari bahwa nona itu bukan olah-olah hebatnya Jurus-jurus yang dimainkan amat aneh dan sukar diduga. Begitupun tenaga-dalam nona itu Iaksana sumber air yang tak henti-hentinya mengalir. Benar-benar suatu hal yang belum pernah dijumpainya seumur hidup. Jika akan diteruskan bertempur, tentu dalam seratus duaratus jurus belum dapat ditentukan kalah menangnya. Maka begitu mendengar teriakan Han Ping, iapun segera hentikan serangannya.

Sejenak nona itu keliarkan biji matanya lalu berseru, “Apakah takut kalau aku melukainya?”

Han Ping gelengkan kepala, “Jika kalian berdua bertempur, kalah atau memang itu memang sudah wajar, akupun tak perlu mengurus hal itu.”

“Eh, begini salah begitu keliru, lalu bagaimana? Apakah memang mulutmu terasa gatal?” lengking Siangkwan Wan-ceng.

Han Ping kerutkan alis, sahutnya, “Cobalah kalian berputar tubuh dan lihat di tepi gerumbul rumput itu. Setelah itu kalau man mendamprat aku, boleh2 saja.”

Siangkwan Wan-ceng berpaling ke belakang dan serentak tertegunlah nona itu, serunya, “Uh, mereka itu orang atau setan?”

Karena melihat perwujutan dari orang baju putih yang ternyata banyak jumlahnya, Siangkwan Wan-ceng melengking. Tetapi pada lain saat cepat ia hentikan kata-katanya. Sebagai seorang pendekar wanita, tak seharusnya ia jeri terhadap bangsa setan.

Han Ping keliarkan mata memandang. Diam-diam ia terkesiap juga, “Anehl Mengapa dalam sekejab saja mereka sudah berjumlah sekian banyak?”

Ternyata memang di samping gerumbul rumput itu telah tegak sederet orang baju putih sebanyak lima orang. Baju mereka dari kain belacu dan wajah berwarna kebiru-biruan. Sukar untuk mengenal wajah mereka.

Hui Ko pun tergetar melihat kemunculan kelima orang baju putih. Tetapi oleh karena umurnya tua, maka paderi itupun agak Iebih tenang. Diam-diam ia mengingat akan kawanan baju putih, termasuk golongan apa dalam dunia persilatan.

Tak berapa lama, wajah Siangkwan Wan-cengpun tenang kembali. Ia memiliki ilmu kepandaian tinggi dan nyali besar. Maka tertawalah ia dengan nada dingin, “Aku tak percaya di bawah sinar matahari, benar-benar terdapat setan….” — ia berpaling kepada Han Ping, serunya, “Engkau punya nyali atau tidak, mari kita menghampiri mereka!”

Han Ping gelengkan kepala, “Aku akan menunggu orang disini. Sebelum dia datang, aku takkan tinggalkan tempat ini.”

Siangkwan Wan-ceng meletus tertawa, “Siapa yang engkau tunggu?”

Tiba-tiba hati Han Ping tergetar, sahutnya, “Aku telah berjanji pada orang!”

“Orang itu takkan datang!”

“Bagaimana engkau tahu?” Han Ping heran. “Kalau datang tentu sudah datang. Sekarang sudah lohor, tentu dia tak datanglah!”

“Ya,” sahut Siangkwan Wan-ceng, “bahkan sejak kecil kita berangkat bersama-sama dan seperti bayangan yang tak pernah berpisah.”

Serentak tergetarlah hati Han Ping dan berseru dengan tegang, “Apakah bukan nona sendiri?”

Siangkwan Wan-ceng tertawa mengikik, serunya, “Ah, tak berani…… tak berani….”

Han Ping menghela napas pelahan, “Entah kapankah racun itu akan mulai bekerja?”

Siangkwan Wan-ceng memandang ke langit, tertawa, “Segera….harus tunggu sampai matahari turun gunung, sinarnya redup.”

Han Ping tersenyum, “Kalau begitu aku masih mempunyai waktu dua tiga jam lagi.”

Berkata Siangkwan Wan-ceng dengan nada lembut, “Kalau karena sudah lama, obat itu hilang dayanya, maka engkau tentu takkan mati.”

“Lembah Raja-setan?” tiba-tiba Hui Ko taysu berteriak.

Serentak terdengar serangkum tertawa panjang yang seseram burung kukuk beluk berbunyi di tengah malam.

“Raja dari Lembah-setan telah tiba!” tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi menyusup tertawa seram itu.

Seruan itu diulang panjang sampai seperminuman teh lamanya. Nadanya masih berkumandang memenuhi gunung dan lembah.

“Orang-orang lembah Raja-setan benar-benar memang tak punya bau manusia.”

Dari balik gerumbul rumput, melesat ke luar dua orang berpakaian hitam memakai topi putih, pinggangnya bersabuk sabut tali rami.

Kedua orang itu mirip dengan mayat hidup. Waktu berjalan, kedua kaki lurus dan melonjak-lonjak. Sepasang tangannya menjulai ke bawah, matanya mendelik tak berkedip. Sungguh tak menyerupai manusia.

Hui Ko taysu merangkap sepasang tangan ke dada dan berseru “omitohud”. Doa puji segera berkumandang menyusup suara tertawa seram tadi.

Diam-diam Han Ping menghela napas, pikirnya, “Ting Ling dan Ting Hong dibesarkan dalam lingkungan manusia2 seperti itu. Sudah tentu keduanya terlumur sikap yang begitu dingin. Tetapi setelah kedua nona itu kenal dan bergaul dengannya, pelahan-lahan sikap merekapun berobah. Terutama Ting Hong, sungguh beruntung sekali dapat keluar dari lingkungan manusia2 setan itu….”

Pada saat itu kedua orang bertopi putih sudah berhenti melonjak. Dan suara tertawa seram memanjang itupun ikut berhenti juga.

Dari balik gerumbul rumput tinggi, muncul pula seorang lelaki bertubuh pendek, berpakaian hitam. Kepalanya besar, mata bundar dan mulut lebar. Walaupun pendek tetapi waktu berjalan sikapnya amat sombong.

Hui Ko taysu berpaling kepada Han Ping, “Dunia persilatan mengatakan bahwa marga Ting dari Lembah Raja-setan itu, bentuknya aneh. Mungkin dia adalah Ting Ko, ketua Lembah Raja-setan itu.”

“Apakah lo-siansu tak kenal pada ketua lembah Raja-setan?” tanya Han Ping.

“Ting Ko memang jarang le luar ke dunia persilatan. Walaupun sudah lama kudengar namanya tetapi belum pernah melihat orangnya!” kata Hui Ko taysu.

Siangkwan Wan-ceng tiba-tiba teringat sebuah hal penting. Katanya dengan berbisik kepada Han Ping, “Ting Ko dari lembah Raja-setan memiiiki ilmu tenaga-dalam Hian-im-khi-keng. Ilmu itu telah diyakinkan mencapai taraf yang sukar diduga orang. Pula dia faham tentang meramu obat bius. Harap engkau berhati-hati.”

Saat itu Ting Ko berjalan di tengah kedua orang bertopi putih tadi. Selalu dikawal oleh beberapa anakbuah lembah Raja-setan. Mereka berhenti di tempat Han Ping dan kedua kawannya.

Sekonyong-konyong Han Ping menutulkan tubuh dan melangkah maju menyongsong mereka. Siangkwan Wan-ceng hendak menyambar tubuh Han Ping tetapi luput. Ia terus melesat dan melayang ke depan Han Ping, “Berhenti!” serunya seraya hadangkan tangannya.

Han Ping agak terkesiap tetapi ia menurut dan berhenti. Diam-diam ia berpikir, “Budak perempuan ini benar-benar congkak sekali. Dia tak mau tahu dengan alasan apa ia berani menghadang aku.”

Dalam pada itu orang aneh berjubah hitam itupun lambaikan tangan. Kedua pengawalnyapun segera berhenti.

Siangkwan Wan-ceng tak memberi kesempatan Han Ping membuka mulut, cepat ia mendahului berseru, “Apakah engkau Ting Kau dari Lembah Raja-setan?”

Orang yang kepalanya besar dan mata bundar itu berkilat-kilat memandangnya dan tertawa seram, “Siapakah engkau? Mengapa engkau berani berkata begitu kepadaku?”

Siangkwan Wan-ceng tertawa, “Bagaimana? Kalau tak kumakimu saja, berarti aku sudah bersikap sungkan kepadamu!”

Orang aneh berjubah hitam itu tertawa dingin, “Ringkus!”

Pengawal di sebelah kiri segera mengiakan. Secepat kilat ia ulurkan tangan mencengkeram Siangkwan Wan-ceng.

Siangkwan Wan ceng terbeliak ketika melihat jari tetapak tangan orang itu berwarna merah ungu. la mendengus dingin, “Tangan kotor!” — seraya melesat ke samping.

Serangannya luput, tiba-tiba orang itu loncat menyerbu. Sepasang tangan diangkat laku dikatupkan ke bawah.

Dalam pada itu diam-diam Han Ping menimang dalam hati, “Beberapa kali aku telah bertemu dengan rejeki luar biasa. Kesemuanya itu membuat terbentuknya ilmu sakti pada diriku. Dendam sakit hati orangtuaku belum terhimpas dan akupun sudah mati di sini. Mungkin saat ini merupakan kesempatan terakhir bagiku untuk mengembangkan kepandaianku….”

Pikiran itu telah membangunkan semangatnya dan seketika berseru keraslah ia, “Nona Siangkwan, biarlah aku yang menghadapinya!”

Ia empos semangat lalu dengan menggunakan jurus Tali emas-mengikat-naga untuk menyambar lengan kanan orang aneh bertopi putih itu.

Saat itu Siangkwan Wan-ceng sudah loncat dua kali untuk menghindari serangan orang. Dan secepat kilat ia sudah mencabut sepasang pedang yang terselip di punggungnya.

Tiba-tiba Hui Ko taysu berteriak tertahan, “Dua belas ilmu cengkeraman Kim-liong-jiu-hwat adalah ilmu simpanan dari Siau-lim-si yang tak pernah diwariskan….”

Orang baju hitam dengan topi putih itu walaupun tubuhnya kaku tetapi gerakannya amat cepat sekali. Sebelum serangannya kedua menumbuk tubuh si nona, tiba-tiba ia sudah loncat dua meter ke samping untuk menghindari pukulan Han Ping.

“lnilah duabelas ilmu Kim-liong-jiu-hwat dari kuil kalian?!” seru Han Ping seraya maju, mengangkat tangan dan menampar Ting Kau.

Pengawal di sebelah kanan Ting Kau tiba-tiba menyelinap ke muka ketua Lembah Raja setan itu dan menangkis dengan kedua tangannya. Serentak Han Ping rasakan serangkum tenaga-gelap yang luar biasa kuatnya, menyelak pukulannya. Diam-diam pemuda itu tergetar dalam hati, “Ah, tak kira kalau dia memiliki tenaga-dalam yang sedemikian kuatnya!”

Setelah dapat menghalau pukulan Han Ping, orang itu ulurkan kelima jarinya untuk mencengkeram kepala Han Ping.

Diam-diam Han Ping terkejut dalam hati, “Kedua manusia bertopi putih ini, waktu berjalan tampak kaku sekali. Begitu pula sepasang tangannya berbeda dengan orang kebanyakan. Entah ilmu apakah yang diyakinkan mereka. Baiklah kucobanya untuk menangkis….” — setelah berpikir begitu ia terus mengangkat tangan kanan.

Han Ping hanya merasa kalau dirinya tentu mati. Maka ia tak peduli lagi ilmu apakah yang dimiliki orang itu. Ketika saling beradu, serentak ia merasakan tangan orang itu amat dingin sekali, ia terkejut, “Eh, mengapa tangannya begini dingin sekali?”

Pada saat ia terkesiap itu, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya sudah dicengkeram lawan. Tetapi Han Ping pada saat itu bukanlah Han Ping beberapa bulan yang lalu. Hawa murni yang disalurkan oleh mendiang Hui Gong taysu sebagian besar sudah diresapkan ke dalam urat nadinya. Dengan begitu tenaga dalamnyapun maju sekali. Begitu jalandarahnya tercengkeram, ia segera mengempos hawa-murni disalurkan ke lengan kanan. Seketika lengannya berobah sekeras baja.

Semula orang bertopi putih itu girang sekali karena dapat mencengkeram tangan Han Ping. Maka tertawalah ia dengan nyaring dan berseru, “Ilmu kepandaian seperti kutu kayu, berani jual kesombongan….” — tiba-tiba ia hentikan ejekannya karena saat itu tangan Han Ping berobah keras sekali dan menghamburkan tenaga yang menyiak longgar cengkeramannya.

Serentak berhentikah tertawanya, mulutnya yang menganga lebar itupun terkatup seketika. Wajahnya menyeringai seperti monyet membau terasi.

Orang bertopi putih yang menyerang Siang-kwars Wan-ceng itupun tiba-tiba berputar tubuh lalu menghantam Han Ping.

Setelah tangannya terbebas dari cengkeraman, tangan Han Pingpun sudah leluasa bergerak lagi. Mendengar angin menyambar dari belakang cepat ia berputar tubuh dan menghantam.

Pemuda itu tak mengetahui sampai dimana tingkat kepandaiannya saat itu. Ia tak menyadari bahwa ia sudah mencapai pada tataran ‘menangkap harimau’. Karena mengira kalau lengannya kanan masih dipegang orang, maka dalam menghantamkan serangan dari belakang tadi, ia telah gunakan tenaga penuh.

Krak…. . . terdengar benturan keras. Penyerang dari belakang itu mengerang tertahan dan tubuhnya mencelat ke atas lalu jatuh ke tanah. Sepasang tangannya menjulai lurus, orangnyapun tak berkutik lagi.

Diam-diam Han Ping menghela napas, “Ah, dunia benar-benar penuh dengan tokoh2 sakti. Kedua orang itu, hanya pengawal dari ketua lembah Raja-setan, tetapi mereka mampu menerima pukulan yang kulambari dengan tenaga penuh. Bahkan mereka diam tak bergerak di tempatnya, setapakpun tak tersurut mundur .. .”

Tiba-tiba orang itu mengacungkan kedua tangannya ke atas dan mendadak mulutnya muntah darah, bluk…. rubuh ke tanah.

Dugaan Han Ping ternyata salah. Pukulannya tadi memang tampaknya tiada mengunjuk perbawa yang dahsyat. Tetapi mengandung tenaga-dalam yang luar biasa. Begitu mengenai orang memang tak cepat mengunjuk reaksi apa-apa. Tetapi beberapa saat kemudian orang itu tentu muntah darah dan rubuh karena alat2 dalam dadanya, hancur berantakan. Sekalipun orang yang memiliki ilmu Thiatpoh-san atau ilmu kebal, tetap tak mampu bertahan.

Pukulan yang luar biasa itu membuat ketua lembah Raja-setan dan Siangkwan Wan-ceng terkesima.

Tiba-tiba Hui Ko taysu berseru pelahan, “Ah, pukulan Panca, pukulan yang tak boleh diyakinkan….”

Rupanya paderi itu tak kuasa mengendalikan perasaannya lagi.

Melihat peristiwa itu, orang bertopi putih yang satunya, terlongong berdiri ketakutan.

Han Ping sendiripun terkejut atas hasil pukulannya itu. Dipandangnya orang yang rubuh ke tanah itu lalu berputar ke belakang dan membentak pelahan, “Lepaskan tanganmu!”

Orang bertopi yang mencengkeram lengan anak muda itu, agaknya tersadar oleh bentakan Han Ping. Cepat ia mengangkat tangan dan meninju dada pemuda itu.

Han Ping menangkis dengan jurus Lima gunung-mengurung-naga. Gerakan tangan itu berhasil mencengkeram lengan orang.

“Lepaskan!” bentak Han Ping pula. Dan orang itu seperti kena pengaruh. Ia menurut untuk melepaskan cengkeramannya.

Kiranya sewaktu Han Ping berhasil mencengeram lengan lawan, ia memijit dengan sedikit menambah tenaga. Orang itu rasakan separoh tubuhnya kesemutan dan terpaksa lepaskan cengkeramannya.

Saat itu Han Ping seperti dirangsang oleh hawa pembunuhan. Ia hendak menghantam orang itu tetapi akhirnya ia lepaskan juga cengkeramannya seraya berkata, “Engkau bukan tandinganku. Aku hendak menempur Ting Kau ketua lembah Raja-setan!”

Sejak keluar dari perguruan, ia sering mendengar orang mengagungkan kebesaran nama Ting Kau ketua lembah Raja-setan. Maka ia memutusIan. sebelum mati ia hendak mengajak berkelahi tokoh lembah Raja-setan yang termasyhur itu. Dengan demikian ia dapat menggunakan hidupnya yang tak berapa lama itu untuk kepentingan dunia persilatan.

Ia anggap pertempuran kali itu adalah pertempuran terakhir kali yang ia dapat lakukan, maka ia segera bersiap menghadapi lawan berat itu.

Ting Kau berdiri di depannya pada jarak setombak jauhnya. Orang bertopi putih yang dilepaskan Han Ping itu, tak segera angkat kaki melainkan masih tetap tegak berdiri di tempatnya tak bergerak, seperti seorang yang terluka.

Ting Ko tertawa seram, “Ho, apakah engkau sungguh2 hendak bertempur dengan aku? Beritahukan namamu lebih dulu!”

Han Ping tertawa nyaring, “Aku Ji Han Ping!”

Tiba-tiba orang berbaju hitam yang tak bergerak itu membuka mata. Secepat kilat tangan kanannya menggurat ke tangan kanan Han Ping.

“Huh, engkau mau cari mati?” Han Ping membentak marah seraya membalikkan tangan menghantarnnya. Duk…. tinjunya tepat mendarat ke dada prang itu. Terdengar jeritan ngeri dan rubuh. Dan orang itu terjungkal ke belakang. Tetapi tangan kirinya masih sempat mencakar lengan kiri Han Ping. Han Ping rasakan tangannya agak sakit. Ketika memeriksa, ternyata lengan kirinya terdapat gurat darah bekas kuku orang tadi. Karena lukanya tak seberapa, iapun tak menghiraukan.

Mendadak Ting Ko mengisar maju, serunya. “Ji Han Ping tiada mempunyai nama dalam dunia persilatan. Tetapi merupakan salah seorang tokoh sakti yang pernah kujumpai selama ini. Orang yang mampu menghantam mati pengawalku, memang jarang sekali. Menilik bukti2 itu, engkau cukup berharga untuk bertempur dengan aku!”

Sambil memandang ke arah kedua orang baju hitam yang menggeletak di tanah itu, Han Ping berkata, “Ah, sungguh beruntung sekali aku dapat menemani!”

“Hati-hatilah” teriak Ting Ko sambil tertawa nyaring dan memukul pelahan-lahan.

Han Ping cepat menghindar ke samping seraya menghantam dengan jurus Lima-jari-memetik-senar. Dalam beberapa bulan karena bertempur dengan tokoh2 kelas satu, ia dapat menarik pelajaran dan tambah pengalaman. Ia tahu kemasyhuran nama ketua lembah Raja-setan itu. Walaupun gerak pukulannya pelahan tetapi tentu mengandung serangan maut. Jika tidak suatu gerak memancing tentulah dalam pukulan itu disertai dengan tenaga-dalam yang hebat. Maka ia cepat mengirim serangan dari samping untuk menindas tenaga lawan. Setelah itu iapun menghindar untuk mengatur langkah selanjutnya.

Apa yang diperhitungkan memang tak salah. Ketika kedua pukulan saling beradu, ternyata pukulan ketua Lembah Raja-setan itu mengandung tenaga dalam membal. Han Ping rasakan pukulannya seperti membentur sebuah aliran yang memancur ke bawah. Dalam kelunakan tenaga lawan itu mengandung tenaga-membal yang kuat.

Ting Ko tertawa dingin lalu menyusuli sebuah hantaman lagi dengan tangan kiri.

Setelah mengetahui jenis pukulan orang, Han Ping makin berhati-hati. Sambil tegak berdiri iapun lontarkan sebuah hantaman, kali ini ia gunakan delapan bagian tenaga.

Dan kakinyapun melangkah pada bentuk segitiga Jelas dia berketetapan untuk menyambut pukulan raja Lembah Setan itu.

Pada saat kedua pukulan tenaga dalam saling berbentur, anginpun berputar putar menimbulkan hawa dingin. Bagaikan taburan pukul-besi menyusup tenaga dalam yang melindungi tubuh Han Ping. Seketika pemuda itu rasakan tubuhnya mengigil kedinginan dan pada lain saat tubuhnya berlumuran dengan bintik2 kecil sebesar mata ayam. Ia terkejut dan cepat-cepat loncat menghindar ke samping.

Sepasang mata raja dari Lembah Setan itu berkilat-kilat tajam dan membentak keras, “Cobalah engkau sambuti sebuah pukulanku lagi!” – secepat kilat tangan kanannya mendorong ke muka.

Serangan Ting Ko kali ini jauh bedanya dengan yang tadi, Angin pukulannya jauh lebih dahsyat. Han Ping tak gentar. la dorongkan kedua tangannya untuk menyongsong.

Sesosok bayangan berkelebat. Tubuh Ting Ko yang pendek secepat kilat melesat bersama dengan datangnya pukulan.

Dua kali menerima pukulan raja dari Lembah Raja-setan itu, hati Han Ping tergetar. Di luar kehendaknya, ia menyurut mundur tiga langkah.

Tetapi dari samping, terdengar Ting Ko tertawa dingin dan sebelah tangannya yang besarpun segera mencengkeram bahu pemuda itu.

Gerak yang luar biasa cepatnya itu benar-benar membuat Han Ping kelabakan. Dalam gugup, ia mengendap ke bawah dan rubuh menyentuh tanah, tiba-tiba ia berputar diri terus bergeliatan dua meter ke samping.

“Dalam-mega-membalik-tubuh yang bagus!” dengus Ting Ko seraya menyerempaki maju. Sebelum tubuh Han Ping dapat berdiri tegak, pukulan tangan kanan dari raja Lembah Setan itu sudah melanda beberapa dim di sampingnya.

Tiada lain pilihan bagi Han Ping. Kalan tidak menerima pukulan tentu harus adu kekerasan. Han Ping memilih jalan yang kedua. Cepat balikkan tangan kanan dan menyambut pukulan ketua Lembah Raja-setan itu.

Tetapi Ting Ko seorang tokoh yang licin dan julig. Bermula ia tak ‘mengisi’ pukulannya itu dengan tenaga dalam, begitu beradu pukulan dengan tangan lawan, barulah ia pancarkan tenaga-dalam Han- im-khi-kang. Maksudnya, ia hendak menghancurkan urat2 jantung pemuda itu.

Menerima tenaga-membal dari Ting Ko, Han Ping tersurut mundur sampai empat langkah. Tubuhnya terhuyung-huyung dan langkahnya sempoyongan.

“Sinar kunang2 mengapa berani beradu dengan sinar rembulan? Nih, terimalah sebuah pukulan lagi!” dengan Ting Ko seraya maju memburu dan menghantam dada lawan dengan tangan kanan.

Saat itu Han ping rasakan dirinya seperti terbenam dalam genangan salju dingin. Dinginnya sampai menggigit ke tulang-tulang. Dan pada saat itu pula ia melihat Ting Ko menyerangnya lagi. Seketika bangunlah semangat pemuda itu. Dengan menggembor keras, ia menangkis lagi. Kali ini ia gunakan tenaga penuh. Tetapi gerak pukulannya itu sama sekali tak menerbitkan suara desir angin. Ia gunakan pukulan sakti Pancha ciang-hwat.

Pada saat untuk yang keempat kalinya mereka adu pukulan, ternyata tidak seperti yang tadi, kali ini sama sekali tak rriengeluarkan suara apa-apa.

Tiba-tiba Ting Ko mendengus tertahan tubulanya yang pendek menyurut mundur sampai dua meter. Tetapi kali ini bukan saja tak apa-apa bahkan Han Ping memburu maju menyerang lagi dengan tangan kiri dan jari kanan.

Saat itu kecongkakan Ting Ko, seperti lenyap dihembus angin. Matanya membelalak lebar2, wajahnva mengerut serius. Jelas ia tak berani memandang rendah pada pemuda itu lagi.

Pertempuran berlangsung makin dahsyat. Ke dua fihak sama-sama hendak merebut kemenangan dengan serangan kilat. jurus2 yang digunakan, jarang sekali tampak di dunia persilatan.

Siangkwan Wan-ceng dan Hui Ko taysu terkesiap dan mencurahkan perhatian untuk mengikuti.

Tiba-tiba bibir Han Ping bergerak-gerak, Dan mengalunlah dendang lagu dari mulutnya. Wajahnya yang mengikuti dendang itu berobah serius. Serangannya yang cepat pun tiba-tiba berobah pelahan.

Siangkwan Wan-ceng amat gelisah, Pikirnya, “Eh, mengapa dalam menghadapi pertempuran maut begitu genting, seharusnya ia dapat melancarkan serangan kilat untuk merebut kemenangan tetapi tiba-tiba dia malah menyanyi….”

Ketika berpaling, nona itu melihat Hui Ko taysu membelalakkan mata dan pelahan-lahan mengisar kaki. Tampaknya ia makin terbenam dalam perhatian.

Tiba-tiba Ting Ko bersuit nyaring dan secepat kilat lepaskan sebuah hantaman lalu tergopoh-gopoh berputar tubuh dan lari. Han Ping tak mau mengejar. Ia memandang dengan terlongong pada ketua lembah Raja setan itu. Dendang nyanyiannya pun terhenti.

Seorang baju putih yang berada di gerumbul rumput tak jauh dari tempat pertempuran itu, pun segera angkat kaki mengikuti Ting Ko.

Memandang ke arah orang baju hitam bertopi putih yang mati menggeletak di tanah, Han Ping menghela napas panjang. Kemudian ia memandang ke arah barat bisiknya, “Ah, matahari segera akan silam ke balik gunung….”

Siangkwan Wan-ceng menghampiri, serunya, “Apakah engkau benar-benar takut mati?”

Han Ping tertawa hambar, “Mengingat bahwa di dunia ini masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan, memang saat itu tidak tepat waktunya kalau aku mati.”

Tiba-tiba Hui Ko taysu menghampiri. Sambil menggeliat-geliatkan pedang Pemutus Asmara yang berkilau-kilauan ditingkah sinar matahari senja kala, ujarnya, “Pedang ini lebih baik untuk sementara waktu engkau yang menjaga!”

Han Ping gelengkan kepala tertawa, “Pedang itu berasal dari Siau-lim-si, sudah selayaknya kalau kembali pada Siau-lim-si lagi. Lebih baik lo-siansu yang menyimpannya saja!”

Kata-kata Han Ping itu penuh mengandung nada keputus-asaan dari seorang yang sudah hampir mati.

Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng ulurkan tangan dan tertawa, “Mana, serahkan padakulah! Biar kuwakilinya untuk menjaga pedang itu!”

Tetapi Hui Ko taysu menarik pulang tangannya, “Apakah engkau tak merasa terlalu tamak?. Cepat ia membalikkan pedang dan disohorkan kepada Han Ping, serunya, “Huh, kepandaianmu berharga untuk menggunakan pedang ini. sampai ketemu lagi.” – habis berkata ia terus berputar tubuh dan melangkah pergi,

Sambil memandang bayangan paderi itu, diam-diam Han Ping heran, “Aneh, dia begitu bernafsu sekali untuk memburu pedang ini sampai ke seluruh penjuru dunia. Tetapi mengapa setelah mendapatkan dia malah mengembalikan lagi kepadaku.

Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng ulurkan tangannya pula seraya tertawa, “Karena dia tak mau, serahkan saja kepadaku!”

Sahut Han Ping dengan nada serius, “Pedang ini adalah pusaka Siau-lim-si, aku tak dapat menyerahkan kepadamu. Tetapi aku dapat tak minta kembali kepadamu.”

Kata-kata itu berarti bahwa karena sudah berjanji. Siangkwan Wan-ceng boleh membunuhnya. Dengan begitu ia tentu tak dapat meminta kembali pedang itu dari tangan si nona.

Siangkwan Wan-ceng keliarkan mata memandang keempat penjuru. Setelah tak melihat seorangpun, tiba-tiba nona itu tersipu-sipu malu dan tundukkan kepala, “Hm, kepandaianmu jauh sekali majunya dengan dulu. Saat ini aku merasa tak dapat menandingimu. Janji yang engkau berikan kepadaku itu, kuhapus saja!”

“Apapun yang nona putuskan, aku tentu menurut,” kata Han Ping. Tiba-tiba ia teringat sesuatu lalumengajak nona itu, “Maukah nona menuju kesana?”

“Baik, seharusnya aku menurut perintahmu,” sahut Siangkwan Wan-ceng.

“Tunggu dulu!” seru Han Ping seraya lari ke gerumbul rumput dan setelah menulis beberapa huruf, ia segera lari menuju ke arah timur.

Siangkwan Wan-cengpun mengikutinya. Tampaknya Han Ping lari tanpa tujuan tertentu. Ketika tiba di kaki gunung, terdengar gemuruh air terjun dari atas gunung mengalir ke bawah, lalu berhenti di sebuah kolam. Kolam itu dinaungi oleh pohon siang. Tertarik akan ketenangan alam disitu, Han Ping berhenti lalu duduk pejamkan mata.

Melihat pemuda itu sama sekali tak mengacuhkan dirinya, marahlah Siangkwan Wan-ceng. Ia palingkan muka tak mau memandang Han Ping.

Lama sekali keduanya diam. Akhirnya Siangkwan Wan-cenglah yang tak tahan, tegurnya lebih dulu, “Mengapa engkau tak bicara?”

Tampak bibir Han Ping agak gemetar, sahutnya dingin, “Lebih baik engkau pergi, perlu apa engkau tinggal di sini?”

Seumur hidup Siangkwan Wan-ceng belum pernah menerima hinaan semacam itu. Serentak ia melonjak bangun dan berseru marah! “Engkau yang suruh aku kesini, hm, siapa yang kepingin ikut padamu?”

Tiba-tiba Han Ping membuka mata. Melihat cakrawala sudah berwarna kuning emas, pertanda datangnya magrib, ia menghela napas pelahan dari ber-kata-kata seorang diri, “Paman Kim tentu segera kembali. Mudah-mudahan dia jangan sampai menyusul kemari.”

Pemuda itu seperti kehilangan kesadaran pikirannya. Ia lupa bahwa Siangkwan Wan-ceng berada disitu. Maka sama sekali nona itu tak dihiraukan.

Sikap Han Ping yang begitu tak acuh itu, benar-benar membuat Siangkwan Wan-ceng makin penasaran sekali. Saking marahnya ia terus mencabut pedang dan ditusukkan ke dada Han Ping.

Tetapi rupanya Han Ping seperti tak merasa sama sekali. Walaupun ujung pedang si nona sudah menembus bajunya, namun ia tetap duduk pejamkan mata. Sedikitpun tidak bergerak.

Siangkwan Wan-ceng cepat menarik pulang pedangnya. Karena tak dapat menumpahkan amarahnya, airmatanyapun berderai-derai turun.

Bermula ia mengira bahwa Han Ping tentu akan bangun dan berkelahi. Atau pemuda itu tentu akan memberi penjelasan untuk meminta kembali pedang pusaka Pemutus Asmara. Sekurang-kurangnya pemuda itu tentu akan membuka mulut untuk membujuk atau mendampratnya. Tetapi ternyata tidak. Han Ping tetap membisu dan tak menghiraukan segala apa.

Siangkwan Wan ceng benar-benar terkejut melihat gerak tingkah pemuda itu. Sesungguhnya jika mau, Han Ping tentu dapat membunuhnya. Tetapi nyatanya pemuda itu diam saja seperti patung. Saking jengkelnya, Siangkwan Wan-ceng menangis sendiri.

Pelahan-lahan Han Ping membuka mata dan tertawa hambar, “Apa yang engkau tangiskan?”

Siangkwan Wan-ceng membanting pedang ke tanah lalu membesut airmatanya dengan ujung baju dan melengking marah, “Aku senang menangis, apa pedulimu? Lekas ambil pedang pusaka itu di tanah. Akan kuberimu kesempatan untuk menang. Kali ini kalau tiada yang mati, tidak boleh berhenti.”

Memandang pedang pusaka itu, Han Ping berkata, “Pada saat aku menderita lapar sekali, engkau telah mengantar makanan. Topi untuk melindungi kepalaku dari panas dan hujan itu tentulah engkau yang memberi….”

“Jangan mengungkat hal itu lagi!” tukas Siangkwan Wan-ceng.

Han Ping tersenyum, ia melanjutkan pula, “Tetapi aku sudah meluluskan untuk tak meminta kembali pedang sebagai terima kasihku. Dengan begitu, budi dan dendam antara kita pun sudah selesai….”

“Siapa sudi akan pedangmu itu!” lengking Siangkwan Wan-ceng lalu mencabut pedang Pemutus Asmara terus dilontarkan. Pedang itu berkilat-kilat laksana sebuah meteor dan hinggap masuk ke dalam sebuah batu karang hingga hanya tinggal tangkainya saja yang masih kelihatan.

Rupanya nona itu masih belum puas. Ia mencabut pedangnya sendiri lalu mencongkel pedang Pemutus Asmara di tanah terus dilontarkan ke arah Han Ping, “Sambutilah!”

Han Ping menyambuti pedang tetapi terus diletakkan di samping, serunya, “Janji bertempur dengan pedang, nona katakan sendiri sudah hapus!”

Wajah Siangkwan Wan-ceng berobah-robah, pucat lalu gelap. Jelas nona itu sedang menahan hawa kemarahan yang meluap-luap. Dengan mata berkilat-kilat ia memandang Han Ping. serunya, “Aku tak mau membunuh seorang yang duduk mematung seperti menunggu kematian. Jika engkau tak mau bertempur, pakailah pedang itu untuk bunuh diri!”

Agaknya saat itu Han Ping tersinggung oleh kata-kata si nona. Serentak ia berdiri dan mencekal pedang.

Siangkwan Wan-ceng tertawa dingin, “Bagus, begitulah baru sikap seorang lelaki!”

Habis berkata ia terus gunakan jurus Naga berjalan-lurus, menyerang Han Ping. Serangan itu merupakan hamburan dari kemarahannya. Maka hebatnya bukan alang kepalang.

Han Ping melangkah ke samping tiga tindak, lemparkan pedang ke tanah lalu membusungkan dada ke muka dan tertawa ramah, “Aku sudah hampir mati, tiada mempunyai selera untuk mencari kemenangan lagi.”

Siangkwan Wan-ceng cepat menarik pulang pedangnya dan membentak, “Ngaco belo….”

“Engkau tak percaya omonganku?” teriak Han Ping dengan wajah berobah, “memang aku tak dapat memaksamu percaya. Tetapi aku paling benci bicara bohong!” — habis berkata ia pejamkan mata lalu duduk bersila di tanah lagi.

Siangkwan Wan-ceng tertegun. Ia melangkah pelahan-lahan. Dilihatnya wajah Han-Ping berselaput cahaya biru. Ah, pertanda itu terkena racun yang sudah mendalam. Seketika nona itu seperti seorang yang terkena pukulan keras. Tring… pedangnya jatuh ke tanah dan pelahan-lahan ia berlutut ke tanah, serunya, “Bagaimana hal itu dapat terjadi?”

Dengan wajah mengerut serius, Han Ping menjawab dingin, “Lekas pungutlah pedang Pemutus Asmara itu! Dengan suka rela aku telah meminum pil darimu yang beracun itu. Tetapi setitikpun aku tak membencimu….”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, “Saat ini aku sedang gunakan tenaga-dalam melawan racun itu….” — wajahnya mengerut serius lalu sambil tersenyum Han Ping melanjutkan, “Aku bukanlah pemuda seperti yang engkau bayangkan dalam hatimu. Aku tak mau bertempur dengan engkau, adalah karena aku merasa berterima kasih sekali kepadamu. Dalam saat2 aku menderita kelaparan, apabila tak engkau antari makanan, sekalipun tak menelan pil beracun itu, tentu aku sudah mati. Ah, apabila saat itu aku mati, tentu akan menyeret juga paman Kim-ku ke liang kubur…!”

Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng melengking, “Hai, pil yang kuberikan kepadamu itu bukan pil beracun, mengapa engkau terkena racun? Ah, sungguh membuat aku gugup setengah mati….”

Sekonyong-konyong Han Ping membuka mata. Dipandangnya Siangkwan Wan-ceng dengan tajam. Tampak mata si nona yang berlinang airmata itu mengandung rasa kasih yang cemas. Nona yang malang melintang di dunia persilatan daerah barat dan utara itu, saat itu tiba-tiba berobah seperti seekor domba yang jinak.

Dan terdengarlah mulut nona itu berkata dengan nada setengah terisak setengah menyesali nasibnya, “Sejak aku mengerti urusan dunia, tak ada orang yang berani menghina diriku. Ayah bunda memanjakan aku dengan cinta kasih dan guruku menyayangi aku dengan melimpahkan budi dan ilmu. Dalam lingkungan itulah aku hidup sampai berangkat dewasa….”

“Ah, engkau sungguh beruntung,” tukas Han Ping dengan senyum rawan.

Sambil mengusap airmata dengan lengan baju, nona itu berkata pula, “Kuingat selama ini aku belum pernah mengucurkan airmata…. ..”

“Kami kaum pria, apabila menghadapi peristiwa yang menyakitkan hati, di tempat yang tak diketahui orang, juga sering menangis. Maka kalau anak perempuan menangis, itu juga bukan suatu hal yang memalukan!”

Memang sebesar itu Han Ping tak pernah bergaul dengan para gadis, maka ia tak tahu isi hati seorang gadis. Kata-kata yang sebenarnya dimaksud hendak menghibur pun kedengarannya kaku dan menusuk perasaan.

Siangkwan Wan-ceng tertegun. Ia menghela napas, “Ah, sejak turun gunung dan malang melintang di daerah barat dan timur, selama ini aku belum pernah bertemu dengan musuh yang setanding. Tetapi ketika di terowongan rahasia milik Ih Thian-heng tempo hari, aku telah bertempur dan sama-sama menderita kekalahan. Sejak hari itu, aku benci sekali kepadamu. Entah berapa kali aku bersumpah dalam hati untuk membunuhmu…”

“Ah, pikiran anak perempuan benar-benar sempit,” selutuk Han Ping, “Kita Berdua sudah sama-sama menderita luka, masakan engkau masih mendendam kepadaku?”

“Maka ketika bertemu dengan engkau,” kata Siangkwan Wan-ceng tanpa menghiraukan gangguan Han Ping, “aku memang benar sudah mengambil putusan untuk membunuhmu….”

Han Ping tertawa hambar, “Seharusnya sekarang engkau gembira karena aku tetap akan mati di tanganmu. Tetapi bagiku, dalam saat2 kematian ini, aku tetap tak membencimu. Untuk membunuh jiwa seseorang, tidaklah sukar. Tetapi untuk melenyapkan hati seseorang yang tidak membencimu, bukanlah mudah!”

“Tetapi aku, aku…. sudah tak bermaksud hendak membunuhmu lagi. Entah… entah aku tiba-tiba mengetahui bahwa hatiku sebenarnya tak sungguh2 membencimu.”

“Tetapi diam-diam engkau sudah bersumpah berulang kali hendak membunuh aku, apakah itu bukan karena engkau sungguh2 membenciku?”

Siangkwan Wan-ceng tertawa hambar, “Akupun tak mengerti. Pokoknya, hal itu memang tak sesungguhnya. Pil beracun yang kuberikan kepadamu itu, sebenarnya adalah pil manjur pengobat luka, buatan ayahku sendiri. Bukan saja takkan mematikan engkau, bahkan kebalikannya akan menambah daya tenaga pada dirimu. Tetapi mengapa engkau terkena racun sesungguhnya….”

Nona itu mengicupkan sepasang matanya yang bundar. Dua butir airmata menitik turun laksana mutiara terlepas dari ikatannya. Kemudian berkata pula, “Memang benar-benar engkau terkena racun. Wajahmu memantulkan warna yang menyatakan bahwa racun itu sudah menyusup ke dalam isi dadamu. Engkau benar-benar tak dapat hidup.” — mata nona itu memancarkan sinar beriba-iba penuh harap.

Han Ping tersenyum, serunya, “Ya, memang benar, aku tak dapat hidup lama di dunia ini.” – ia menengadah memandang ke langit, katanya, “Hari sudah hampir malam seharusnya engkau tinggalkan tempat ini!”

Siangkwan Wan-ceng mengharap dalam jawaban Han Ping akan menemukan seutas harapan tetapi ternyata jawaban pemuda itu amat mengecewakan. Pemuda itu seperti sudah merelakan jiwanya. sehingga membuat orang putus asa.

Siangkwan Wan-ceng juga seorang gadis yang punya keangkuhan. Tetapi entah bagaimana, saat itu ia bersikap lunak dan lembut, katanya dengan suara pelahan, “Apakah engkau benar-benar suruh aku pergi?”

“Aku segera mati, kalau engkau tinggal di sini, apakah engkau bersedia untuk mengurus mayatku?”tanya Han Ping.

Siangkwan Wan-ceng tertawa, “Baiklah, tak peduli bagaimana engkau hendak mengejek aku, aku tetap akan menurut padamu….” — ia terus berbangkit pelahan-lahan lalu ayunkan langkah.

Sambil memandang bayangan nona itu, Han Ping berkata seorang diri, “Ah, hati wanita memang paling sukar dimengerti. Dia memaksa aku minum pil beracun, di saat aku menghadapi kematian dia berbalik begini baik sekali kepadaku….”

Tak berapa lama, Siangkwan Wan-ceng muncul kembali dengan membawa seikat ranting2 kering. Terpisah dari Han Ping dua tiga meter jauhnya, ia membuat api unggun. Karena api itu maka sekeliling tempat di situ menjadi terang.

Kemudian nona itu menghampiri ke sisi Han Ping lalu duduk di bahu kiri pemuda itu seraya tertawa, “Bagaimana engkau rasakan sekarang? Kalau saat ini kubunuhmu, engkau tentu tiada mempunyai daya perlawanan?”

Han Ping tersenyum, “Sekali pun tenaga perlawanan itu masih ada, tetapi akupun sudah tak ingin melawan lagi.”

Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng menghela napas rawan, “Seorang yang sudah tak memiliki gairah hidup, sekalipun tersedia pil mujijat yang dapat merebut jiwanya dari cengkeraman maut pun sia2. Meskipun racun itu sudah mendalam di tubuhmu engkau belum tiba pada tingkat yang tak dapat ditolong. Asal hatimu bangkit berjuang mempertahankan hidup, pengobatannya tentu tak sukar.”

Han Ping hanya tersenyum hambar, “Benar, aku memang merasa kalau racun itu sudah menyusup dalam2. Tetapi kalau mengatakan bahwa malam ini nyawaku tentu amblas, ah, itu belum tentu.”

“Lalu mengapa engkau mengatakan tentu akan mati?” tanya si nona.

“Jika engkau suka sedikit cepat tinggalkan tempat ini, mungkin aku tak mati.”

Mendengar jawaban itu seketika wajah Siangwan Wan-ceng berobah. Plak…. ia ayunkan tangannya menampar muka Han Ping. Pipi anakmuda itu seketika membekas lima buah jari.

Siangkwan sudah berusaha sekerasnya untuk bersikap lembut dan menindas perangainya. Tetapi serta mendengar ucapan Han Ping yang menyakitkan hati itu, ia tak dapat menahan luapan amarahnya.

Han Ping membuka mata memandang sejenak kepada gadis itu lalu tertawa tawar, “Pukulan yang bagus!”

Tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng melengking terus rubuhkan kepala ke dada Han Ping dan menangis terisak-isak seraya berbisik, “Aku sebenarnya tak bermaksud memukulmu tetapi aku tak dapat menahan luapan hatiku.”

“Engkau memukul bagus sekali. Waktunya amat tepat. Dalam keadaan seperti sekarang in seharusnya engkau memukul lagi beberapa kali kepadaku. Aku takkan membalasmu,” kata Han Ping.

“Jika engkau mau memukul aku, tentu aku tak sampai begini marah,” kata si nona.

Han Ping tertawa, “Pada saat hendak mati kata-kata orang itu tentu baik. Hatiku saat ini tenang sekali.”

Siangkwan Wan-ceng menghela napas pelahan, pikirnya, “Ah, mengapa dia begitu pasrah dan sama sekali tak punya gairah hidup lagi? Tentu sukar pertolongannya.”

Satu perasaan duka merayap di hati nona itu, ia melolos baju luarnya yang hitam lalu dikerudungkan ke badan Han Ping seraya berkata, “Matilah dengan tenang! Aku akan menunggu di sampingmu. Aku dapat mengangkut jenazahmu ke gunung marga Siangkwan di Kanglam. Memilih sebuah tempat yang tenang dan indah alamnya, lalu menguburmu di situ…. . “

Han Ping gelengkan kepala, “Jangan, pada saat ini aku merasa racun sudah bekerja, aku segera akan loncat terjun ke dalam lembah karang agar tubuhku hancur lebur dan menjadi makanan binatang buas.”

Jawab Siangkwan Wan-ceng, “Aku sungguh2 tak memberi pil beracun. Tetapi engkau benar-benar terkena racun. Sebelum mati, seharusnya engkau menyelidiki siapakah yang mencelakai dirimu itu. Apakah paderi tua itu atau si raja lembah Setan Ting Ko.”

Tiba-tiba Han Ping tersadar. Ia ingat pada saat menghantam mati kedua pengawal Ting Ko, lengannya telah tergurat oleh kuku jari salah seorang pengawal. Cepat ia menundukkan kepala memeriksa. Dilihatnya luka pada lengannya itu hanya tinggal bekas berwarna putih.

“Jika orang berbaju hitam itu yang menyusupkan racun ke tubuhku, luka pada lenganku ini tentu akan membusuk. Dan tak mungkin racun akan bekerja sedemikian cepatnya Ah, tak mungkin dia ……” pikir Han Ping.

“Siapa itu?” tiba-tiba Siangkwan Wan-ceng melengking marah.

Han Pingpun cepat berpaling. Tampak di belakang api unggun itu sesosok tubuh yang tinggi besar. Tetapi tak jelas wajahnya.

Sekonyong-konyong dari lain arah terdengar suara seseorang tertawa dingin, “Jangankan engkau ternyata hanya bersembunyi di bawah karang gunung sini, Sekalipun engkau bersembunyi di ujung dunia, aku tentu dapat mencarimu!”

Nada suara itu melengking tinggi, jelas dari seorang wanitu.

Han Ping merasa kenal dengan nada suara itu. Tetapi ia lupa2 ingat. Dengan dingin ia berpaling memandangnya. Tampak sosok2 bayangan berkelebat di bawah sinar bulan. Dengan tertawa hambar, kembali ia pejamkan mata.

Siangkwan Wan-ceng keliarkan mata. Tiba-tiba ia menggeliat bangun dan secepat kilat terus lari ke samping batu besar. Mencabut pedang Pemutas Asmara lalu cepat-cepat loncat pula ke samping Han Ping. Sambil menjungkirkan ujung pedang ia berkata kepada Han Ping, “Lekas terima pedang ini!’

Bibir pemuda itu bergerak, menyambuti pedang lalu ditaruh lagi di mukanya.

Siangkwan Wan-cengpun mencabut sepasang pedang di tanah lalu berteriak dingin, “Hai, siapakah engkau? Lekas beritahukan namamu kalau tidak, jangan salahkan aku berlaku ganas!”

Dari arah barat terdengar suara orang tertawa nyaring. “Ho, besar sekali mulutmu, budak perempuan!”

Han Ping berbisik, “Sebelum mereka mendekat, harap nona lekas pergi. Kita sudah terkepung!”

Siangkwan Wan-ceng tertawa melengking, sahutnya dengan lembut, “Tak apa, apakah engkau sungguh tak dapat bertempur!”

Han Ping belalakkan kedua mata tetapi secepat itu pula ia mengatupkan lagi, katanya, “Mungkin aku sudah tak dapat berbuat apa-apa, lekaslah engkau pergi!”

Sambil membereskan rambutnya yang terurai tens angin malam, ia tertawa, “Kalau begitu, aku makin tak boleh tinggalkan engkau!”

“Kenapa?” kata Han Ping heran.

“Aku akan berada di sini melindungi engkau!”

Tiba-tiba dari arah utara terdengar suara orang menghela napas, “Ah, mungkin engkau juga tak dapat melindungi dirimu sendiri!”

Nada suaranya bening seperti lonceng pagi. Han Ping cepat membuka mata dan mengetahui siapa yang datang itu.

Dari belakang api unggun sesosok tubuh tinggi besar pelahan-lahan melangkah maju dan tak berapa lamapun sudah tiba di muka api unggun.

Dari pancaran api unggun dapatlah diketahui perwujudan orang itu. Mukanya persegi, telinga besar, rambut janggutnya menjulai sampai ke dada. Ah, dia tak lain adalah Ong Kwan-tiong, kepala desa Bik-lo-san-cung, toa suheng dari dara si baju ungu Lam-hay-bun. Sikapnya serius sekali. Sepasang alisnya mengerut sinar kedukaan. Tetapi gerak geriknya amat tenang. Dengan langkah yang sarat ia menghampiri api unggun.

Setelah terpisah dua meter, Siangkwan Wan-ceng tiba-tiba memungut pedangnya dan membentak dingin, “Berhenti maju selangkah lagi, aka terpaksa akan gerakkan pedangku!”

Dengan pandangan dingin, Ong Kwan-tiong memandang ke arah nona itu dan berteriak sarat, “Ji Han Ping, bukalah matamu!”

Pelahan-lahan Han Ping membuka mata dan menatap wajah Ong Kwan-tiong lalu bertanya dengan khidmat, “Ada urusan apa?”

Ong Kwan-tiong tertawa dingin, “Di dunia ada berapa orang Ji Han Ping?”

Menyahut Han Ping dengan tertawa hambar, “Menurut sepengetahuanku. hanya ada seorang?”

“Tetapi aku pernah melihat ada dua….” kata Ong Kwan-tiong, ia berhenti sejenak lalu lanjutkan, “Sayang Ji Han Ping yang satunya sudah mati!”

Mendengar itu Siangkwan Wan-ceng tertegun. Ia berpaling memandang Han Ping dengan mataberkicup-kicup. Seolah-olah hendak menembus isi hati Han Ping. Pembicaraan itu benar-benar menimbulkan perhatian besar pada Siangkwan Wan-ceng.

Han Ping tersenyum, “Jika dalam dunia ini terdapat dua orang Ji Han Ping, mungkin seorang yang masih hidup itu pun tak lama tentu akan mati juga!”

“Bagus! Bagus!” seru Ong Kwan-tiong, “seorang yang dapat mengetahui hari kematiannya, adalah orang yang paling pandai!”

Siangkwan Wan-ceng memandang Han Ping dengan seksama. Tetapi ia dapatkan Han Ping yang di hadapannya saat itu, tetap sama dengan Han Ping yang dilihatnya pertama kali dulu, pernah membenci pemuda itu dalam hati. Maka membuat kesan yang mendalam sekali akan tampang mukanya. Dan Han Ping yang dilihatnya saat itu, memang sama dengan Han Ping yang berada dalam kenangannya.

Sambil menggerakkan pedang, ia menuding Ong Kwan-tiong dan membentaknya dingin, “Engkau itu orang gila! Jangan ngaco belo!”

Tiba-tiba dari belakang terdengar Han Ping berkata, “Dia tak mempunyai hubungan apa-apa dengan engkau. Lebih baik jangan cari perkara dengannya!”

Siangkwan Wan-ceng berpaling. Di belakang ada jarak setombak jauhnya, tampak berdiri seorang wanita tua berambut putih, tangannya mencekal sebatang tongkat bambu. Wajahnya menampil kerut hawa pembunuhan. Matanya menatap lekat kepada dirinya. Siangkwan Wan-ceng bercekat dalam hati. Pada lain saat meluaplah amarahnya ia bolang-balingkan pedang seraya berteriak marah, “Engkau melihat apa?”

Belum nenek berambut putih itu menjawab, tiba-tiba dari belakang melesat keluar seorang wanita berkerudung kain sutera hitam seraya menyelutuk, “Melihat sampai dimana kecerdasanmu sebagai manusia….”

Siangkwan Wan-ceng makin marah, “Kalau sudah mengetahui lalu mau apa?”

Sekali ayunkan tangan, nona itu segera taburkan dua buah benda berkilat-kilat .. . .
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar