Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 27 : Han Ping dengan suka rela meminum racun

Jilid 27.

Nyo Bun-giau tersenyum, “Kuhaturkan selamat kepadamu, saudara Ca!”

“Musuh masih mengepung kita. hidup dan mati belum dapat diketahui, mengapa saudara Nyo berkelakar memberi selamat?

Belum Nyo Bun-giau menjawab, dara baju ungupun sudah kedengaran berkata pula kepada Ca Giok, “Jangan kuatir, sekalipun yang diberikan Ih Thian-heng kepadamu itu racun sungguh-sungguh, aku tentu dapat menyembuhkanmu.”

“Ilmu pengobatan nona, aku sudah mengetahui sendiri. Memang benar dapat menghidupkan orang yang sudah meregang jiwa,” kata Ca Giok.

Dara baju ungu tertawa melengking, “Kepercayaan yang engkau tumpahkan kepadaku itu, benar-benar membuat aku gembira sekali. Dalam kitab pusaka perguruan Lam-hay-bun, selalu berisi ilmu pelajaran silat yang sakti, juga terdapat bermacam2 ilmu pengobatan. Apa yang kuketahui hanya sedikit sekali. Kelak kita dapat mempelajari kitab itu tiap malam dan sama-sama meyakinkannya agar kelak engkau menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Dan aku akan menjadi ahli obat nomor satu di dunia. Engkau yang membunuh orang, aku yang menyelamatkan umat manusia. Kita sama-sama berkelana di dunia persilatan.”

Hampir Ca Giok tak percaya apa yang didengarnya. Telinganya seperti mendengar dewi kahyangan mendendang lagu merdu, begitu tegang sekali perasaan pemuda, itu hingga tubuhnya mandi keringat. Dengan napas terengah kecil ia berkata, “Ucapanmu…. itu . .. . apakah … sungguh…. sungguh!”

Karena amat tegang sekali, mulut Ca Giok sampai tercekat tak dapat bicara lancar.

Dara baju ungu itu ulurkan tangan memegang sebelah lengan Ca Giok, serunya, “Setiap patah kata-kataku itu keluar dari hati nuraniku. Di hadapan sekian hanyak tokoh, kuperlakukan engkau begini rupa, masakan engkau masih tak percaya?”

“Apakah aku bukan bermimpi?” tanya Ca Cok pula.

“Di bawah sinar matahari musim rontok yang terang benderang. masakan engkau bermimpi? Mari kita pergi, jangan berada di tempat yang begini belantara!” dengan langkah gontai dara itu segera berjalan pelahan-lahan.

Entah girang entah kaget, tetapi Ca Giok benar seperti bermimpi. Ia mengikuti berjalan di samping dara itu seperti sebuah patung yang bernyawa.

Nyo Bun-giau gentakkan kaki ke tanah, serunya, “Mempunyai seorang putera seperti putera saudara Ca, alangkah bahagianya. Putera saudara Ca itu benar-benar membuat hatiku iri!”

Ca Cu-jing tersenyum, “Mungkin bukan puteraku itu yang saudara Nyo maksudkan melainkan kitab pusaka Lam-hay-bun.”

“Ah, masakan aku mengandung hati begitu dengki. Belum sempat aku menghaturkan selamat kepada putera saudara, masakan aku iri kepadanya?”

Tiba-tiba Ca Cu-jing menghela napas, “Perobahan keadaan yang begini mendadak, kukuatir bukan berarti suatu kebahagiaan tetapi malah suatu malapetaka bagi puteraku.”

Setelah menarik tangan Ca Giok berjalan sampai dua tiga tombak jauhnya, barulah peruuda itu tersadar. Katanya berbisik, “Ayahku masih dalam kepungan musuh. Kalau aku mengikut nona, hatiku sungguh tak enak.”

Sambil berpaling, dara buju ungu itu berkata, “Apakah engkau tak dapat memanggilnya ikut kemari?”

Ca Giokpun berpaling. Dari tempatnya yang terpisah begitu jauh ia memberi hormat kepada ayahnya seraya berseru, “Ayah!”

Ca Cu- jing kerutkan alis, menyahut, “Ada urusan apa?” – sambil berseru iapun melangkah menghampiri. Melihat itu Nyo Bun-giau pun segera ikut di belakangnya.

Tiba-tiba kawanan Baju Hitam yang mengepung di sekeliling penjuru, mengangkat tabung emas dan ditujukan kepada Ca Cu jing dan Nyo Bun- giau.

“Mau apa kalian?” bentak Ca Cu jing seraya berhenti.

Ca Giok tegang sekali. Ia berpaling ke arah dara baju ungu, katanya, “Ayahku telah dirintangi anakbuah Ih Thian-heng.”

Dara baju ungu serentak mengangkat tangan memberi isyarat kepada Ih Thian-heng, “Ih Thian-heng, suruh orang-orang itu mengundurkan diri, maukah?”

Ih Thian-heng melangkah maju dan tersenyum berkata, “Aku selalu menurut perintah nona.”

Lalu ia bertepuk tangan dua kali dan berseru nyaring, “Sebelum mendadapat perintahku, tak boleh bertindak sendiri. Siapa melanggar, hukum mati!”

Mendengar itu kawanan Baju Hitam yang sudah mengangkat tabung emas tadi, sama menurunkannya lagi dan menyurut mundur.

Leng Kong-siau yang masih duduk di samping merawat lukanya, tiba-tiba berdiri dan lari ke belakang Nyo Bun-giau.

Melihat beberapa orang itu sudah berusaha meloloskan diri, Ting Ling segera berbisik kepada pamannya, “Apakah paman dapat bergerak?”

Saat itu tubuh Ting Yan-san terbenam dalam pasir dan rambut kepalanyapun terbakar habis. Wajahnya yang tirus seperti muka kuda penuh dengan noda2 terbakar.

Luka2 itu apabila lalu orang yang menderita, tentu sudah mati. Tetapi berkat kepandaiannya yang tinggi, Ting Yan-san dapat mengerahkan tenaga-dalam untuk bertahan. Sekalipun lukanya amat berat, ia tetap dapat bertahan tak sampai pingsan. Ia tetap mempunyai kemauan keras untuk hidup.

Mendengar pertanyaan anak kemanakannya itu, serentak ia melonjak bangun, serunya, “Lukaku ini belum sampai dapat mencabut nyawa pamanmu.”

Ting Ling memandang keadaan pamannya. Dilihatnya pakaian pamannya itu sudah sembilan bagian terbakar. Tubuhnya berlumur benjol2 putih bernanah. Boleh dikata sekujur tubuhnya sudah tak ada daging yang masih utuh lagi. Karena ngeri, Ting Ling palingkan muka dia menangis, “Luka paman begitu parah sekali….”

“Mengapa engkau menangis!” bentak Ting Yan-san seraya ayunkan langkah.

Nyo Bun-giau, Ca Cu-jing dan Leng Kong-siau berpaling ke belakang. Demi melihat keadaan luka Ting Yan-san yang begitu mengerikan, menggigillah hati mereka,

Dalam pada itu timbullah rasa heran yang tak dapat dimengerti oleh Han Ping, mengapa si jelita dara baju ungu bersikap begitu mesra kepada Ca Giok. Entah bagaimana hati Han Ping merasa iri dan panas. Dia tak tahu perasaan yang dikandung hatinya itu suatu kebencian atau cinta. Karena selama hidup ia belum pernah dihinggapi perasaan semacam itu.

Sedang Ih Thian-heng hanya tegak berdiri dengan sikap yang lenggang sekali.

Dara baju ungu berjalan di muka dan Ca Giok mengikuti di belakang lalu Ca Cu-jing. Nyo Bun-giau dan Leng Kong-siau. Sedang Ting Yan-san mengikuti di belakang pada jarak satu tombak jauhnya. Sekalipun ia berjalan dengan tegakkan kepala dan kembungkan dada, tetapi langkah kakinya jelas tampak tertatih-tatih. Suatu kenyataan kalau ia hanya paksakan diri pura-pura dapat bertahan lukanya yang parah itu.

Melihat satu demi satu tokoh-tokoh itu angkat kaki tinggalkan tempat itu, begitu Ca Cu-jing lewat di sampingnya, tiba-tiba Ih Thian-heng julurkan tangan manghantamnya, “Apakah saudara Ca hendak membawa anakbuahku pergi semua?”

Kiranya Ca Cu-jing masih menyeret seorang Baju Hitam. Cepat ia lepaskan orang itu dengan diserempaki oleh tutukan untuk membuka jalandarahnya yang tertutuk.

Pada saat itu Pengemis-sakti Cong To pun lari menghampiri. Semula dia bertempur lawan Ih Thian-heng. Tetapi Ih Thian-heng memakai barisan Thian kong-tin untuk mendesak Ca Cu-jing. Nyo Bun giau dan lain-lain, lalu ia membiarkan Hud Hoa Kongcu dan tiga bocah baju putih mengurung Cong To. Rencana Ih Thian heng, lebih dulu hendak menundukkan Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau, setelah itu baru akan menyelesaikan Cong To dan Han Ping.

Adakah ia nanti akan membunuh kedua orang itu atau akan menggunakannya, tetap akan ia laksanakan dengan tegas. Ia merasa bahwa kedok mukanya sebagai seorang ksatrya utama saat itu sudah terbuka dan dlketahui oleh tokoh-tokoh persilatan. Maka ia tak mau kepalang tanggung dan hendak menghancurkan mereka atau menguasainya.

Hampir sejam lamanya ia merancang rencana, ia yakin perkembangan tentu akan mengunjuk ke arah penentuan.

Siapa tahu rencananya yang bagus itu, ternyata berantakan. Kepandaian Han Ping jauh di luar perhitungannya. Pada saat ia hendak membujuk Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau supaya takluk, pemuda itu telah menyerangnya sehingga situasi telah berobah.

Dan kemunculan si dara baju ungupun di luar dugaannya sama sekali.

Semangat Ih Thian-heng seperti tenggelam dalam lautan. Ia melihat situasi berbalik tak menguntungkan dirinya. Jika ia tak maumemandang muka si dara baju ungu, tentulah fihak Lam-hay-bun akan membantu musuh. Dan sekali Lam-hay-bun membantu musuh, Ih Thian-heng tiada harapan menang lagi. Ia cukup memahami kecerdasan dara itu. Jika dara itu berani memasuki barisan Thian-kong-tin, tentulah ia sudah mempunyai pegangan untuk menghadapi barisan itu.

Dengan perhitungan yang tepat, Ih Thian-hengpun cepat mengambil keputusan untuk menuruti permintaan dara itu. Dengan tindakan itu, mungkin ia masih mempunyai harapan untuk kerja-sama dengan Lam-hay-bun. Maka ia memutuskan, mengundurkan diri untuk memelihara kekuatan daripada maju tetapi menderita kerusakan.

Setelah dapat menerobos ke luar dari kepungan Hud Hoa kongcu dan ketiga bocah baju putih, Pengemis-sakti Cong To pun segera bergegas menyusul Ting Yan-san yang ke luar dari daerah kuburan itu. Melihat keadaan Ting Yan-san yang begitu mengerikan, mau tak mau hati pengemis tua itu ikut ngeri juga. Ia menghela napas.

“Yah,” kata Ting Ling seraya menghampiri Cong To, “nasehatkanlah Ji siangkong supaya ikut kita ke luar. Saat ini bukan saat untuk mengunjuk kegagahan.”

Sebagai seorang tokoh yang kenyang akan pengalaman dunia persilatan, memang Cong To dapat memperhitungkan situasi saat itu. Apabila si dara buju ungu dapat mengajak sekalian orang ke luar dari kepungan, Ih Thian-heng tentu akan menumpahkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi Han Ping dan ia.

Maka ia setuju akan anjuran Ting Ling, serunya kepada Han Ping, “Mari kita pergi, hari masih panjang. Kelak masih ada kesempatan untuk mambalas dendam. Tak perlu terburu-buru harus melakukannya sekarang juga!”

“Aku hendak membawa paman Kim ke luar,” sahut Han Ping yang selalu memikirkan keselamatan Kim Loji. Dengan dua kali loncatan, tibalah ia di tempat Kim Loji. Dilihatnya Kim Loji pejamkan mata, wajahnya lesi tetapi tak terdapat setitik noda darahpun pada tubuhnya.

Han Ping terkejut dan buru-buru menjamah dada pamannya, ternyata masih bernapas. Cepat ia mendukung pamannya itu. Dengan lintangkan pedang, ia segera melangkah maju.

Saat itu si dara baju ungu dan rombongan Nyo Bun-giau, sudah mencapai 10 tombak jauhnya. Hanya Pengemis-sakti Cong To yang masih tetap tinggal di tempatnya, menunggu Han Ping.

Pada saat Han Ping lewat di sampingnya, tiba-tiba Ih Thian-heng ulurkan tangan kiri pura-pura menghadang, “Engkoh kecil, apakah tak mau tinggal sebentar lagi?”

Han Ping sabetkan pedangnya dan memaksa Ih Thian-heng menyurut mundur. Sedang Cong To pun cepat loncat menghampiri seraya tertawa dingin, “Ih Thian-heng, apakah engkau yakin dapat menahan pengemis tua dan Han Ping?”

Berkata Han Ping dengan nada gagah, “Hidupku sekarang ini hanya bertujuan untuk membalas sakit hati orangtuaku. Asal dapat membunuh musuh itu, sekalipun aku mati tercincang, tetap tak menyesal. Harap lo-cianpwe suka menolong untuk membawa pamanku ini ke luar dari tempat berbahaya ini dan carikan seorang tabib pandai untuk mengobati lukanya. Kemudian minta pada paman supaya menyembahyangi arwah ayahbundaku dan menuturkan tentang peristiwa yang kulakukan dalam menuntut dendam itu. Atas bantuan lo-cianpwe, aku merasa berterima kasih tak terhingga,” ia terus sodorkan tubuh Kim Loji kepada Cong To. Sejenak merenung, akhirnya Cong To menyambutinya juga. Rupanya pengemis tua itu telah memperhitungkan dengan masak. Secara tiba tiba ia menaruh kepercayaan penuh terhadap Han Ping. Asal pemuda itu bertempur satu lawan satu dengan Ih Thian-heng, ia percaya tentu akan menang.

Tetapi kebalikannya, saat itu Ih Thian-heng merasa cemas.

Sambil getarkan pedang Pemutus Asmara, berserulah Han Ping, “Ih Thian-heng, kiranya engkau tentu sudah tahu siapa diriku ini. Tak perlu kuterangkan panjang lebar lagi. Dengan telingaku sendiri, kudengar engkau mengatakan kalau engkaulah yang membunuh ayahbundaku. Aku dengan mata kepada sendiri kusaksikan engkau telah membunuh guruku. Lekas hunus senjatamu!”

Habis berkata Han Ping terus pasang kuda2 dengan lintangkan pedang ke muka dada.

Melihat sikap Han Ping, tiba-tiba tergetarlah nyali Ih Thian-heng. pikirnya, “Entah dan mana anak itu mendapat kepandaian yang begitu hebat. Ia telah menguasai ilmupedang sakti.”

Dengan dua kali loncatan, Cong To yang mendukung Kim Loji tiba di tempat Ting Ling, “Budak setan!” serunya.

“Yah….,”Ting Ling berpaling menyahut.

“Panggullah orang ini….” tiba-tiba Cong To berkata dengan bisik2, “Tunggulah di biara tempat aku pernah bertempur dengan Han Ping tempo hari.”

Walaupun lengan nona itu terluka tetapi ia tetap melakukan perintah ayah angkatnya dan menyambut tubuh Kim Loji.

Setelah itu Cong To lalu loncat melambung ke udara. Ia menyambar sebatang dahan pohon siong lalu berjalan menghampiri ke tempat Han Ping.

Saat itu tiba-tiba si dara baju ungu hentikan langkah dan berkata kepada Ca Giok, “Bagaimana kalau kita berhenti dulu untuk menyaksikan keramaian itu?”

Ca Giok hanya mengiakan saja. Ia benar-benar terbuai oleh sikap si dara yang begitu mesra kepadanya. Tiba-tiba ia rasakan tangannya ditekan si dara dan dibawa kembali ke dalam lingkungan tanah pekuburan lagi.

Nyo Bun-giau, Ca Cu jing dan lain-lain karena sudah keluar dari kepungan kawanan Baju Hitam, nyali merekapun besar lagi. Mereka hentikan langkah dan hendak menyaksikan apa yang akan terjadi di lapangan kuburan itu.

Hanya Leng Kong siau dan Ting Yan san yang tanpa berpaling muka lagi tetap lanjutkan berjalan pergi.

Keduanya menderita luka parah dan harus cepat-cepat tinggalkan tempat itu baru dapat berusaha untuk mencari obat.

Ting Ling ikut di belakang Ting Yan-san, pada saat lewat di samping si dara baju ungu, tiba-tiba mendengar dara baju ungu itu berkata, “Orang ini berbahaya sekali keadaannya. Racun sudah menyusup ke dalam hati. Tiga jam kemudian apabila tak lekas diobati, tentu akan mati!”

Ting Yan-san melirik ke arah dara baju ungu itu, hendak bicara tetapi tak jadi.

Tiba-tiba baju ungu itu tertawa, “Apa yang engkau pandang? Dalam dunia, hanya aku seorang yang dapat menolongmu. Dan lagi harus menggunakan tusuk kundai Kumala itu baru dapat menolongmu.”

Agaknya Ting Yan san menyadari bahwa lukanya tiada tertolong lagi. Maka beberapa kali ia batuk-batuk lalu berbisik kepada Ting Ling, “Leng ji, lekas engkau pulang ke lembah. Aku sudah tiada harapan lagi. Sekalipun ada harapan, tetapi keadaan diriku yang begini, rasanya tak dapat kutahan lagi.”

Habis berkata Ting Yan san berputar diri lalu berjalan menuju ke timur.

Ting Ling berpaling memandang si dara baju ungu, dilihatnya dara itu berjalan sambil sandarkan kepalanya ke bahu Ca Giok. Tiba-tiba tergerak hatinya. Diam-diam ia menimang, “Sekalipun dara ini seorang gadis yang pilihan dan tak mau terikat akan adat istiadat umum, tetapi tak seharusnya dia begitu rupa menonjolkan diri, tanpa malu2 bertingkah begitu mesra di hadapan sekian banyak orang. Kemungkinan ia tentu mempunyai maksud lain.”

Secepat menduga begitu, Ting Lingpun segera berseru nyaring, “Harap nona berhenti dulu, aku yang rendah hendak mohon petunjuk.”

Dara baju ungu itu ternyata mau berhenti juga dan berpaling, “Nona Ting hendak mempunyai urusan apa dengan aku?”

“Pamanku rela menderita luka terbakar yang amat parah. Di dunia ini kiranya hanya nona seorang yang dapat mengobatinya. Entah apakah nona sudi bermurah hati untuk memberi pertolongan kepada pamanku yang sedang menderita itu?”

“Apakah engkau minta aku untuk menolongnya?”

Dara baju ungu itu tertawa mengikik, “Jika kululuskan untuk menolongnya, entah dengan cara bagaimana nona hendak berterima kasih kepadaku?”

“Segala apa yang nona perintahkan, asal tenagaku mampu, tentu akan kulakukan,” sahut Ting Ling.

“Sayang sedikit sekali bantuan yang kuperlukan dari lain orang,” kata si dara baju ungu, “begini sajalah. Soal itu kita catat dalam hati dulu. Kelak apabila aku memerlukan bantuanmu, baru aku bilang. Setuju?”

Karena memikirkan luka pamannya yang begitu parah, maka tanpa banyak sangsi lagi Ting Ling segera menyatakan setuju.

Dara baju ungu itu tiba-tiba berpaling kepada kepada induk semangnya, “Bwe-nio, tutuplah jalandarah orang itu dengan ilmu tutukan perguruan Lam-hay-bun lalu berikan sebutir pil mujijad padanya, jangan sampai hawa murni dalam tubuhnya lenyap!”

Bwe Nio terkesiap, “Apa? Engkau sungguh-sungguh hendak menolongnya?”

Si dara mengangguk pelahan, “Bwe Nio, adakah saat ini engkau masih sampai hati untuk menentang kehendak hatiku?” – Nadanya penuh haru keramahan sehingga membuat hati orang rawan.

Tiba-tiba Bwe Nio mengangkat lengan kiri dan menutup mukanya dengan jubah lengannya itu, “Nak, terserah engkau hendak berbuat apa aku tentu akan berusaba sekuat mungkin untuk menolong.”

Nenek itu terus loncat ke samping Ting Yan-san lalu angkat tangan menamparnya.

Sekalipun paksakan diri berjalan dengan kerahkan seluruh tenaga-dalam, namun tetap ia rasakan tubuhnya sakit bukan kepalang. Rasanya seperti dicacah-cacah pisau. Saking sakitnya ia hampir tak tahan lagi dan terus hendak bunuh diri dengan menghantam batok kepalanya sendiri. Sekonyong-konyong ia rasakan serangkum angin menampar tubuhnya. Seketika ia rasakan beberapa jalan darahnya kesemutan dan pingsanlah ia.

Bwe Nio segera mengeluarkan sebutir pil lalu disusupkan ke mulut orang itu.

Dara baju ungu tiba-tiba melambai, “Au Bungkuk, angkutlah orang itu keluar hutan dan serahkan pada orang supaya dirawat.”

Seorang bungkuk segera menghampiri dan terus memanggul tubuh Ting Yan-san dibawa lari.

Ting Ling menghela napas pelahan, serunya, “Terima kasih atas budi pertolongan nona. Kelak pasti kubalas budimu itu. Karena saat ini nona tak memerlukan aku maka akupun hendak mohon diri.”

“Jangan pergi!” tiba-tiba dara baju ungu berkata, “engkau harus di sini merawat lukanya. Aku sudah meluluskan permintaanmu untuk menyembuhkan lukanya yang terbakar itu, tetapi aku tak dapat melakukan perawatannya.”

Ting Ling memandang Kim Loji yang masih didukungnya. Ia menghela napas kehilangan faham.

Saat itu anakbuah Ih Thian-heng sudah berkumpul dan mengepung Han Ping serta Cong To.

“Saudara Ca,” bisik Nyo Bun-giau, “rupanya kali ini pemuda she Ji itu pasti bertempur sungguh dengan Ih Thian-heng. Entah siapa yang menang dan yang kalah, tetapi suatu keuntungan bagi fihak kita. Hanya sayang masih ada rombongan orang Lam-hay-bun. Sekalipun kita dapat mengambil ikan yang sudah menggelepar di tanah itu tetapipun kita tak dapat bergerak leluasa.”

Sahut Ca Cu jing, “Keadaan saat ini memang rumit sekali. Sukar diduga bagaimana perobahannya nanti. Tiada lain jalan kecuali harus bertindak melihat gelagat.”

Tiba-tiba Han Ping berseru keras, “Harap saudara-saudara menyingkir lebih jauh agar jangan sampai aku salah melukai….”

“Kalian menyingkir semua, paling sedikit dua tombak jauhnya,” Ih Thian-heng ikut berseru dengan nada dingin. Kemudian ia tertawa nyaring, serunya pula, “Dalam dunia persilatan dewasa ini, memang banyak jago yang menggunakan pedang. Tetapi yang mampu menunggang pedang untuk melukai musuh, rasanya hanya seorang dua orang saja. Hari ini kalian boleh menyaksikannya….” sengaja ia nyaringkan suaranya agar sekalian orang dapat mendengar.

Cong To tertegun. Segera ia bertanya bisik2 kepada Han Ping, “Apakah engkau pernah belajar ilmu naik pedang itu?”

Han Ping tertawa hambar, “Belum, tetapi pernah orang memberi pelajaran itu kepadaku. Jika Ih Thian-heng tak mengatakan, aku tentu tak tahu kalau kepandaLn itu disebut ilmu naik pedang.”

Sambil lintangkan barang pohon siong, Cong To memandang ke sekeliling dan tertawa, “Bagus, dalam pertempuran hari ini, entah engkau mati atau beruntung masih hidup tetapi kegaranganmu akan jatuh dalam dunia perslatan. Selama 60 tahun tiada seorangpun yang berumur seperti engkau, mampu mempunyai ilmu yang setaraf dengan engkau!”

Ucapan itu merupakan suatu anjuran kepada Han Ping. Ia tegakkan alis dan busungkan dada. Sambil tengadahkan kepala bersuit panjang, ia berkata, “Ah, lo cianpwe keliwat memuji. Mungkin dalam pertempuran nanti aku mati di tangan musuh dan dendam sakit hati itu akan kubawa ke liang kubur. Tetapi kuyakin, Ih Thian-hengpun harus membayar mahal juga….”

Tiba-tiba ia menghela napas pelahan, ujarnya pula, “Ada sebuah urusan yang hendak kumohon bantuan pada lo-cianpwe. Entah apakah lo-cianpwe sudi meluluskan?”

“Bilanglah,” kata Cong To, “asal pengemis tua dapat melakukan, pasti tak menolak!”

Mata Han Ping berkilat-kilat memandang Ting Ling, ujarnya, “Harap lo cianpwe suka membawa puteri angkat lo-cianpwe itu tinggalkan tempat ini agar hatiku tenang bertempur dengan musuh!”

Cong To tertawa, “Dalam hidup pengemis tua ini, boleh dikata telah mengenal seluruh tokoh dalam dunia persilatan. Tetapi setelah setua ini bertemu dengan engkau, seorang yang lupa pada persahabatan….”

Han Ping tertawa tawar, “Aku belum pernah meyakinkan ilmu pedang. Tetapi mengandalkan ingatanku, aku akan mencoba untuk bertempur dengan lawan. Kalah menang, sudah dapat diperhitungkan. Nama lo-cianpwe amat harum dalam dunia persilatan, tak selayaknya menewani aku dalam pertempuran ini.”

Rupanya Ih Thian-heng tergerak hatinya mendengar kegagahan Han Ping dan kejujuran Cong To. Ia tersenyum berseru, “Terus terang, akupun tak yakin tentu dapat mengalahkan engkau. Tetapi aku sudah pernah meyakinkan ilmupedang Kita saling mempunyai harapan setengah-tengah untuk kalah atau menang. Jika engkau masih ada pesan lain, pertempuran ini dapat kita pertangguhkan lain hari. Kita tentukan saja harinya!”

Tiba-tiba Ting Ling melangkah ke samping pengemis tua. Melihat itu Cong To menegurnya, “Mengapa engkau ke mari?”

Ting Ling tertawa, “Karena ayah di sini, akupun tetap menemani di sini juga.”

Melihat Kim Loji yang didukung nona itu makin lemah napasnya, tergeraklah hati Han Ping. Ia segera menghampiri.

Ting Lingpun segera menyerahkan Kim Loji kepada pemuda itu, “Pamanku menderita luka parah sekali. Aku harus merawatnya dan terpaksa tinggal di sini.”

Menyambuti tubuh Kim Loji, Han Ping berkata, “Terima kasih atas bantuan nona. lain hari tentu akan kubalas.”

Sambil memutar pedang Pemutus Asmara, pemuda itu berseru keras, “Siapa menyingkir, selamat. Siapa menghadang, binasa!” — ia terus menerobos menerjang ke luar dari kepungan.

Yang diarah yalah justeru yang dijaga Hud Hoa kongcu. Pemuda itu walaupun tidak tolol, tetapi karena sejak kecil dimanjakan di bawah lindungan ayahnya, maka dalam pergaulan di kalangan Hitam atau Putih, ia selalu membawa sikap yang congkak.

Melihat Han Ping hendak menerjang ke arah tempatnya, marahlah Hud Hoa kongcu itu. Cepat ia menyongsong sebuah hantaman.

Han Ping tebarkan pedang pusaka dalam lingkaran sinar dingin.

Cret!… Ujung lengan baju Hud Hoa kongcu terpapas dan cepat-cepat ia mengangkat bahunya kanan untuk menyambut pukulan kongcu itu.

Karena termakan pukulan Hud Hoa kongcu, Han Ping yang melambung di udara itupun meluncur jatuh ke tanah. Cong To terkejut dan terus hendak menghampiri untuk memberi pertolongan.

Tetapi alangkah kejutnya ketika saat itu ia mendengar Hud Hoa kongcu menjerit keras dan tiba-tiba menyurut mundur sampai beberapa langkah.

Cong To terkesiap dan hentikan langkah. Sebagai seorang tokoh yang berpengalaman luas, tahulah ia bahwa Hud Hoa kongcu telah termakan tenaga-membal yang dipancarkan oleh tubuh Han Ping.

Melihat itu diam-diam Ih Thian-heng bercekat dalam hati, “Tenaga-membal semacam itu, kecuali ilmu Hian-bun-kong-gi, hanya Pancha-siang-kang dari aliran kaum agama yang mampu memiliki daya sedemikian hebatnya…..”

Tengah ia menimang, tiba-tiba terdengar deru sambaran tongkat. Keempat orangtua yang mengawal di belakang Hud Hoa kongcu, tiba-tiba serempak maju menerjang dengan tongkatnya.

Han Ping kerutkan alis. Ia murka sekali.

Bukannya mundur tetapi ia malah maju menerjang keempat orangtua itu. Dengan jurus Thian-ho no-sia, ia taburkan pedang untuk melindungi diri. Tring, tring, tring, keempat batang tongkat itu terbabat kutung.

Semangat Han Ping makin menyala. Ia balikkan pedang untuk menabas. Walaupun pedang Pemutus Asmara itu hanya pandak tetapi pedang pusaka itu memancarkan sinar kebiru-biruan yang mencapai sampai beberapa meter jauhnya. Pada waktu dimainkan, anginnya dapat menyerang musuh.

Keempat pengawal tua itu setitikpun tak mengira bahwa dalam satu gebrak saja, senjata mereka sudah terpapas kutung. Mereka agak tertegun dan tahu2 angin pedang Pemutus Asmara sudah melanda mereka. Mereka terkejut dan cepat-cepat loncat mundur.

Han Ping makin beringas. Kembali ia lancarkan serangan pedang pusaka itu memancar sampai beberapa meter jauhnya sehingga orang-orang yang berada di sekeliling, sama berhamburan mundur dan memberi sebuah jalan. Kesempatan itu tak di-sia2-kan Han Ping untuk menerobos keluar dari kepungan dan terus lari.

Menyaksikan kegagahan Han Ping. tiba-tiba si dara baju ungu menghela napas .. . . Helaan napas itu bernada rawan sekali sehingga Ca Giok yang berdiri di sampingnya tergerak juga hatinya.

Selagi suara helaan napas itu masih mengiang di telinga, dari kerudung kain hitam yang berlapis-lapis menutup wajah dara itu, tiba-tiba terdengar mulutnya berseru marah, “Oh It-su, lekas tahan dial”

Oh It-su terkejut sekali. Han Ping lari sepesat anakpanah lepas dari busur. Bagaimana mungkin ia mampu mengejarnya. Namun ia tak berani membantah perintah dara baju ungu itu.

“Hai, berhenti!” didahului oleh teriakan keras ia terus loncat mengejar. Teriakan itu dilambari dengan seluruh tenaga-dalam yang dimilikinya. Nadanya bagai petir meletus di angkasa.

Saat itu Han Ping sudah berada tujuh delapan tombak jauhnya. Tiba-tiba ia terkejut mendengar teriakan menggeledek itu dan hentik an larinya. Baru ia berputar tubuh untuk melihat siapa yang berteriak keras itu. Oh It-su si orang pendek sudah melayang tiba di hadapannya.

Rupanya si bungkuk itu sudah cukup faham akan kepandaian Han Ping, ia tak berani memandang rendah dan cepat-cepat mencabut senjatanya, sebatang Kim-pit atau pena-emas.

“Mau apa engkau?” tegur Han Ping.

Oh It-su sudah kuncup nyalinya akan kegagahan Han Ping. Maka sambil bersiap dengan kim-pit ia berseru, “Aku mendapat perintah untuk meminta pelajaran barang beberapa jurus dari saudara!”

“Siapa yang memerintahkan engkau?”

Oh It- su tersenyum, “Sudah tentu nona kami.”

“O, si dara baju ungu itukah?” Han Ping menegas.

Sahut Oh It-su dengan hormat, “Puteri dari Lam hay Sin-soh, kedudukannya tinggi sekali. Bagaimana engkau berani sembarangan mengomong?”

Han Ping tertegun. Sambil menengadah memandang awan putih di langit, ia berkata seorang diri, “Perlu apa ia merintangi aku?”

Tiba-tiba hatinya terasa sendu. Ia rasakan seluruh manusia di dunia ini seperti jauh dari dirinya. Ayahbundanya, gurunya dan Hui Gong taysu, manusia yang telah melimpahkan budi sebesar gunung kepadanya, satu demi satu telah pergi meninggalkannya….

Ia merasa dirinya sudah sebatang kara, tak seorang manusia di dunia yang tahu akan perasaan hatinya. Ting Ling telah menyerahkan kembali Kim Loji di saat ia sedang siap melakukan pertempuran terakhir dengan Ih Thian-heng. Ia merasa manusia2 yang mengelilinginya itu pada saat yang menentukan bahaya, semuanya berbalik muka, memutuskan ikatan hubungan dan tinggalkan dia berjuang seorang diri….

Han Ping tenggelam dalam lautan penderitaan. Penderitaan dari seorang ksatrya yang merasa sepi, sunyi dan seorang diri, kelahirannya yang menyedihkan, riwayat hidupnya yang merawankan, makin membuat perasaannya beku dan perasa sekali. Jauh lebih sentimentil dari orang biasa.

Karena tercengkam oleh badai prahara dalam hatinya, Han Ping seperti patung tak bernyawa. Apabila saat itu Oh It-su mau menyerangnya sungguh-sungguh, tak boleh tidak, Han Ping tentu akan rubuh. Tetapi orang pendek itu merasa heran juga,

“Dalam pertempuran, mati dan hidup hanya tergantung pada kesempatan yang hanya sehelai rambut besarnya. Apakah yang engkau pikirkan?”

Han Ping gelagapan. Matanya segera mencurah pada Oh It-su, serunya, “Jika engkau hendak menantang aku berkelahi, mudah sekali. Tunggu setelah kutanya kepadanya, nanti kita bertempur lagi!”

Oh It-su terbeliak, “Engkau hendak bertanya kepada siapa?”

“Kepada dara baju ungu itu. Aku merasa tak punya dendam permusuhan suatu apa kepa-danya tetapi mengapa ia suruh engkau menghadang aku?”

Habis berkata ia terus melangkah menghampiri si dara jelita.

Oh It-su sempat memperhatikan betapa sunyi dan rawan senyum yang dikulum Han Ping ketika berbicara kepadanya tadi. Tampak pemuda itu seperti kehilangan sesuatu dalam dirinya.

Oh It-su juga mempunyai riwayat hidup yang cukup hebat. Dahulu ketika masih malang melintang di daerah sungai Kanglam utara dan selatan, berpuluh-puluh tahun ia telah menghadapi musuh2 yang tangguh. Si bungkuk Au dan sipendek Oh, telah diagungkan orang persilatan sebagai tokoh aneh yang sukar dihadapi.

Tetapi di puncak tangga kemasyhurannya itu, Oh It-su si pendek, pun menderita apa yang disebut perasaan Sunyi hati dari seorang ksatrya. Maka dapatlah ia memahami pancaran senyum dari Han Ping tadi. Ia terkecoh hatinya dan tanpa disadarinya, ia segera menyisth tiga langkah ke samping untuk memberi jalan kepada pemuda itu,

Dengan busungkan dada dan tegakkan kepala, Han Ping melangkah dengan langkah lebar. Di bawah pandang berpuluh mata, ia tampak makin gagah, makin berwibawa dan makin mengesankan…..

Banyaklah kawan maupun lawan yang surut nyalinya melihat keberanian pemuda itu. Tetapi hanya sedikit orang yang pantang mundur itu, bersemayam suatu hati yang dirundung kesepian dan kepatahan serta kehampaan hidup…….

Tiada seorangpun yang tahu, apakah dara baju ungu yang mukanya ditutup dengan berlapis kain kerudung hitam, itupun memandang Han Ping juga. Yang nyata dara itu tetap bersikap tenang sekali. Setenang batu karang di tengah gelombang lautan

Sepasang alis Han Ping yang mengerut marah dan sikapnya yang gagah perwira itu membuat orang-orang yang hendak dilaluinya, sama menyingkir memberi jalan.

Namun si dara baju ungu tetap tegak di tempatnya. Sedikitpun tak mau berkisar. Angin musim rontok berhembus meniup pakaiannya yang berwarna ungu. Warna yang digemarinya….

Han Ping tiba dua meter di hadapan dara itu. Sepasang matanya yang tajam berkilat-kilat memandang dara itu. Seolah-olah hendak menembus lapisan sutera hitam gang menutup wajah si dara. Untuk mengetahui bagaimana kerut wajahnya. Girangkah atau marah?

Bwe Nio si nenek berambut putih, berdiri kira2 tiga meter dari data itu. Ia sudah siap kerahkan tenaga- dalam dan mencekal tongkatnya erat2. Apabila Han Ping mengadakan gerakan yang membahayakan dara itu, Bwe Nio tentu akan segera menerjangnya.

Saat itu seluruh orang yang berada di lapangan kuburan, mencurahkan pandang matanya ke arah Han Ping dan si dara baju ungu.

Sekalipun pertempurannya dengan Ih Thian-heng tadi dilakukan dengan tergesa- gesa dia belum ada penyelesaiannya. Tetapi kegagahan dari Han Ping telah merebut had sekalian tokoh. Walaupun secara terang-terangan mereka belum pernah membicarakan diri pemuda itu namun dalam hati mereka mengakui bahwa gerak gerik pemuda itu mempunyai pengaruh besar atas perobahan dalam kancah dunia persilatan. Bahkan akan membawa akibat yang besar.

Kecantikan dari si dara baju ungu itu, setiap orang yang pernah melihat, tentu masih terbayang-bayang. Kecerdikan dara itu, setiap orang yang pernah bicara padanya, tentu merasa takluk dan kagum. Saat itu si dara berdiri tenang seperti patung.

Demikian kedua pemuda dan pemudi yang paling menarik perhatian seluruh tokoh di tempat itu, saling berhadapan. Sampai sepeminum teh lamanya, mareka tetap tak buka suara.

Sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring.

Au bungkuk yang mengantar Ting Yan-san tadi berlari-lari mendatangi.

“Hai, Bungkuk! Mengapa engkau ribut2 seperti orang gila!” bentak Oh pendek.

“Ho, orang cebol, apa engkau berhak mengurus aku?” Au bungkuk balas membentak.

Sekalian terkejut dan berpaling ke arah kedua orang yang bertengkar itu. Adalah pada saat sekalian orang terkecoh perhatian kepada kedua orang Bungkuk dan Pendek itu, tiba-tiba si dara baju ungu membuka mulut menegur Han Ping, “Mengapa engkau memandang aku begitu rupa? Lekas pergi!”

Han Ping tiba-tiba gentakkan pedang Pemutus Asmara yang masih diregang di tangan, serunya, “Siapakah yang engkau maki?”

Sekalian orang kembali berpaling dan curahkan perhatian ke arah kedua muda mudi itu.

Si Bungkuk dan si Pendekpun berhenti setori. Keduanya segera menghampiri ke tempat si dara berhadapan dengan Han Ping.

Dengan nada gemerincing laksana kelinting, dara baju ungu itu melengking, “Engkau berani membunuh aku?”

Han Ping tertegun. Ia turunkan pedang pusaka dan tertawa dingin, “Seorang lelaki takkan berkelahi dengan anak perempuan Akupun segan bertanya padamu.”

Habis berkata, ia terus berputar tubuh dan melangkah pergi.

Tiba-tiba dara itu menyurut mundur dua langkah. Tubuhnya gemetar dan rubuh di dada Ca Giok lalu berseru pelahan, “Bwe Nio bunuhlah…. dia….”

Nadanya gemetar. Kata-kata itu seperti telah menggunakan seluruh tenaganya. Dan habis berkata ia terus pingsan di dada Ca Giok.

Nenek Bwe Nio segera gentakkan tongkat daa memekik, “Tahan dia!”

Sambil mengiakan si Bungkuk dan si Pendek terus menyerbu Han Ping. Sedangkan nenek Bwe Nio segera menghampiri si dara dan bertanya, “Nak, bagaimana engkau?”- ia meraba dada dara itu. Wajahnya tampak gelisah.

Si Pendek Oh It-su taburkan kim pit dalam jurus Burung-hong-anggukkan-kepala. Kim-pit berhamburan menjadi beribu sinar yang menabur tubuh Han Ping.

Han Ping tak gugup menghadapi serangan kedua tokoh itu. Dengan tangan kiri ia mainkan pedang Pemutus Asmara untuk menahan serangan kim-pit. Sedang sebelah kakinya ia gerakkan untuk menendang Au Bungkuk, serunya, “Aku tak bermusuhan dengan kalian berdua maka tak mau berkelahi dengan kamu….”

Au Bungkuk membentak, “Berkelahi adu kepandaian, yang kuat menang, yang lemah hancur. Mana ada alasan mau atau tak mau, suka atau tak suka?”

Sekali kedua tangannya bergerak, maka empat buah serangan segera melancar seperti hujan mencurah.

Pun dari samping, sipendek Oh It-su menyerang dengan Dua serangan dari dua jago lihay yang serempak dilancarkan dari dua jurusan itu, memaksa Han Ping harus mundur tiga langkah.

Melihat itu Pengemis-sakti Cong To cepat bergegas lari menghampiri hendak membantu seraya berteriak mendamprat, “Hai, kalian berdua tokoh Bungkuk dan Pendek yang termasyhur di dunia persilatan! Apakah kalian tak malu mengeroyok seorang anakmuda yang tak ternama?”

Si Bungkuk berhenti serentak dan memandang Cong To dengan beringas, “Jika engkau tak terima, silahkan maju sekali!”

Han Ping berpaling ke arah Cong To, serunya, “Lo-cianpwe, harap menyingkir, jangan mencampuri urusanku!”

“Apa?” Cong To terkesiap.

“Keadaan saat ini, sudah kupertimbangkan dari segala sudut. Orang-orang Lam-hay-bun sudah tanpa alasan apa-apa, memaksa mengajak aku berkelahi. Lo-cianpwe jangan sampai ikut terlibat diriku menghadapi musuh tangguh ini!” sahut Han Ping dengan nada rawan.

Tanpa menunggu penyahutan Cong To, Han Ping terus berseru kepada kedua lawannya, “Pedang dan golok tidak bermata, harap kalian berhati-hati!” — cepat ia loncat dan hamburkan pedang Pemutus Asmara, menyerang si Bungkuk dan si Pendak.

Jurus permainan pedang yang istimewa itu, memaksa si Bungkuk dan si Pendek mundur selangkah. Diam-diam si Bungkuk tergetar dalam hati, pikirnya, “Benar-benar jurus ilmupedang yang belum pernah kuketahui seumur hidup!”

Au Bungkuk memang pernah bertempur satu kali dengan Han Ping. Ia tahu pemuda itu memang lihay dan sukar dihadapi. Apalagi saat itu tambah senjata sebuah pedang pusaka yang hebat. Pemuda itu benar-benar laksana seekor harimau yang tumbuh sayap. Jika pemuda itu mendahului kesempatan untuk menyerang lebih dulu, ia pasti akan terdesak.

Au Bungkuk cepat menggembor keras lalu lontarkan sebuah hantaman yang dahsyat. Sebuah gelombang angin yang mengandung tenaga hebat, segera melanda Han Ping,

Han Ping terkejut. Ia kuatir gelombang tenaga itu akan melukai pamannya Kim Loji yang didukung di punggungnya. Maka iapun cepat kerahkan tenaga-dalam dan tusukkan ujung pedang untuk menyongsong. Gerakan itu menimbulkan angin tajam yang memancar ke muka.

Begitu angin pedang dan angin pukulan saling berbentur. Au Bungkuk segera menyadari bahaya yang mengancamnya. Ia rasakan angin pancaran pedang itu seperti sebuah palu besi yang tajam membelah angin pukulannya, lalu terus menusuk dirinya. Au bungkuk terkejut. Cepat ia tarik pulang pukulannya dan loncat menyingkir.

Dalam saat itu, dari sipendek. Oh It-su menusuk dari samping kiri. Tetapi Han Ping yang mendapat hati karena dapat mengundurkan si Bungkuk, cepat balikkan tangan, membabat kim-pit dengan pedangnya.

Babatan pedang itu bukan melainkan cepat sekali, pun merupakan suatu gerakan yang di luar dugaan. Si Bungkuk hendak menarik kembali kimpit dan loncat mundur, sudah tak keburu lagi. Sekali sinar kebiru-biruan berkilat, terdengarlah dering senjata beradu dan kim-pit yang dibanggakan si Bungkuk itu, kutung menjadi dua….

Oh It-su mendengus dingin. Cepat ia taburkan kim-pitnya yang kutung itu ke arah Han Ping. Tring, tetapi Han Pingpun sudah siap menangkis dengan pedangnya. Kutungan kim-pit itu terhantam jatub ke tanah.

Hanya dua jurus ketiga orang itu bertempur. Namun pertempuran itu sudah merupakan suatu pertempuran maut.

Saat itu si dara baju ungupun sudah siuman. Setelah diurut urut oleh nenek Bwe Nio, dara itu dapat menghela napas dan tersadar. Ia segera bangun pe-lahan2. Dari sutera hitam yang berlapis-lapis menutup wajahnya itu, mengucur beberapa titik darah. Jatuh di tubuh Ca Giok dan pada pakaiannya si dara sendiri.

Pada saat si dara pingsan dan rubuh di dadanya, Ca Giok seperti terpagut aliran listrik. Semangatnya seperti melayang layang merana. Pikirannya membayangkan kecantikan yang gemilang dan wajah dara yang rubuh dipelukannya itu. Sedang hidungnyapun terbaur hawa harum yang semerbak.

Dadanya direbahi seorang bidadari, perasaan Ca Giok tak keruan rasanya. Tak tahu ia, girang atau takut. Beberapa kali ia gunakan telunjuk jarinya untuk menyingkap ujung sutera hitam yang menutup wajah dara ayu itu, ingin ia menikmati kecantikan dara yang termasyhur itu. Tetapi demi melihat betapa serius dan beringas wajah nenek Bwe Nio dalam usahanya untuk menyadarkan si dara, hati Ca Giokpun kuncup juga. Ia tak berani bertindak melanggar batas.

Baru setelah dara itu sadar dan menitikkan beberapa tetes darah, tergeraklah hati Ca Giok. Pikirannya yang limbung tadi, pun tersadar juga.

“Apakah engkau terluka? Apakah Ji Han Ping melukaimu dengan tenaga dalam?” buru-buru ia bertanya.

Ia cukup tahu kesaktian Han Ping. Pemuda itu dapat gunakan kepandaiannya untuk melukai si dara, apabila mau.

Dara baju ungu itu gelengkan kepala, “Tidak jika dia mau turun tangan, mungkin aku sudah….” tiba-tiba ia hentikan kata-kata karena merasa telah kelepasan omong. Memandang ke muka, ternyata Han Ping sudah berhasil meloloskan diri.

Kiranya dalam jurus itu, si Bungkuk dan si Pendek menyadari betapa lihay pemuda yang akan ditangkapnya itu. Apalagi pemuda itu memegang sebatang pedang pusaka. Pada saat keduanya tertegun bagaikan angin meniup, Han Ping segera menyelinap di tengah kedua orang itu dan tahu2 sudah berada empat lima tombak jauhnya.

Melihat Han Ping sudah lolos, Cong To berbisik kepada Ting Ling, “Kitapun seharusnya juga pergi.” — pengemis itu terus melesat. Dalam beberapa loncatan ia sudah lenyap ke arah timur.

Ting Ling menyadari bahwa kepandaiannya, meringankan-tubuh tak sehebat Han Ping dan Cong To. Apabila ada salah seorang ditempat itu yani hendak menghalanginya, tentu mudah sekali. Maka ia tak mau mencontoh tindakan kedua orang itu melainkan berjalan biasa.

Dalam pada itu nenek Bwe Nio menghampiri si Bungkuk dan si Pendek, serunya dingin, “Biasanya kalian amat angkuh dan tak memandang kepada orang. Tetapi walaupun maju berdua kalian tak mampu meringkus seorang anakmuda yang masih hijau. Sungguh seperti menusuk mata kita orang Lam-hay-bun!”

Kata-kata itu, cukup berat. Wajah si Bungkuk dan si Pendek merah padam karena malu. Mereka tundukkan kepala tak berani memandang nenek Bwe Nio,

Dara baju ungu pun menghampiri. Ia menghela napas, tukasnya, “Bwe Nio. tak bisa mendamprat mereka berdua. Kepandaian orang itu memang tak dapat mereka kalahkan. Dan lagi dia mempunyai sebatang pedang pusaka, ibarat macan tambah sayap. Orangnyapun sudah lolos jauh, memaki mereka berdua, pun tiada dapat menolong keadaan.”

Bwe Nio gentakkan tongkatnya ke tanah, “Lain kali kalau berjumpa dengan dia, aku harus turun tangan sendiri agar dia tak sampai mampu mengejek kita.”

“Ilmu kepandaiannya memang aneh sekali. Setiap kali bertemu, dia tentu lebih maju hebat. Aneh, betapapun cerdasnya seseorang namun tak mungkin dalam waktu sesingkat itu dapat mencapai kemajuan yang begitu pesat!” kata dara baju ungu.

“Benar, memang mengherankan!”gumam Bwe Nio.

Ih Thian-hengpun menghampiri. Tetapi Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau tetap berdiri di tempatnya. Ke dua orang itu takut kalau terjebak lagi dalam barisan Thian-kong-tin, maka mereka tak mau gegabah bergerak. Keduanya mengawasi kawanan Baju Hitam itu dari jauh. Asal kawanan Baju Hitam itu bergerak, merekapun akan bergerak menurut gelagat.

Ting Ling yang menyadari kalau tak mampu meloloskan diri bahkan dengan langkah lebar ia malah maju menghampiri juga.

Ca Giok tetap mengikuti di belakang dara baju ungu. Setapakpun tak mau berpisah, si dara melangkah maju, iapun melangkah maju.

Menyaksikan pertempuran tadi, kecongkakan Hud Hoa kongcu menurun beberapa derajat. Dia berdiam diri, tegak berjajar dengan keempat orang tua dan enam bocah, anakbuah Ih Thian heng.

Setiba di hadapan dara baju ungu, Ih Thian-hengpun segera memberi hormat, ujarnya dengan tertawa, “Segala pesan nona, telah kukerjakan semua. Entah apakah perjanjian kerjasama kita itu apa masih berlaku?”

“Saat itu dan detik ini, perjanjian itu sudah tentu masih berlaku. Tetapi isi daripada perjanjian itu, terpaksa harus ada perobahan.”

“Silahkan nona mengatakan,” kata Ih Thian-heng, “asal menurut cengli (nalar), sekalipun menderita kerugian, aku tetap akan menerimanya.”

“Engkau mendesak hal itu, tak lain tentu karena ingin lekas2 masuk ke dalam makam kuno setelah memasuki….”

“Ah, nona terlalu banyak pertimbangan,” Ih Thian-heng tersenyum menukas.

“Tak perlu engkau gunakan banyak siasat terhadap aku. Dalam makam kuno itu kecuali dilengkapi dengan pekakas2 rahasia, pun masih ada lain-lain alat terpendam.”

“Alat terpendam apa?” tanya Ih Thian-heng.

“Telah kuteliti gurat2 gambar pada kotak pedang Pemutus Asmara itu, kudapatkan ada beberapa tempat yang aneh. Seharusnva disitu terdapat alat perkakasnya tetapi ternyata tidak ada. Hal itu berbeda dengan lain-lain kelengkapan. Tetapi akupun tak berdaya untuk memecahkan persoalan itu. Aku harus datang sendiri ke tempat itu baru dapat mengetahui perkakas penggeraknya.”

Ih Thian heng memandang ke empat penjuru lalu berkata, “Menurut perhitungan nona, masuk ke dalam makam dan memecahkan segala macam alat rahasia di situ lalu mencapai pusat tempatnya, kira2 makan waktu berapa lama?”

“Jika jalannya lancar, dalam 12 jam tentu sudah dapat keluar dari makam kuno itu….”

“Jika tidak lancar?” desak Ih Thian-heng.

“Itu sukar dikata,” jawab dara baju ungu, “tiga mungkin lima hari. Sukar ditentukan. Tetapi tak sampai tujuh hari.”

“Jika nona suka, bagaimana kalau malam ini kita masuk ke makam itu? Menurut perhitunganku, dalam tiga hari ini tentu tak ada tokoh persilatan yang datang kemari. Kecuali mereka yang mendengar berita dan sedang dalam perjalanan menuju ke tempat ini….”

Dara baju ungu cepat menukas dengan gelengkan kepala. “Membagi rata semua benda pusaka dalam makam tua, itu saat nanti setelah berhasil keluar dari makam. Tetapi dalam memasuki makam, sukar ditentukan mati atau hidup. Taruh kata beruntung masih hidup, pun dikuatirkan saat itu engkau sudah tak mau mendengar perintahku lagi.”

Ih Thian-heng tertawa, “Selama ini aku hanya menyaksikan dan mengagumi keadaan nona. Jika disebut mendengar perintah, eh, kemungkinan dapat menyinggung perasaan.”

Dara itu pelahan-lahan ulurkan tangan, menjamah pundak Ca Giok lalu tertawa mengikik, “Engkau begitu tergesa-gesa hendak masuk ke dalam makam tua agar lekas mendapatkan pusaka disitu, tak tentu mempunyai dua maksud…..”

Ih Thian-heng tertawa, “Entah dua macam maksud yang bagaimana? Harap nona suka memberi petunjuk.”

Dara baju ungu berpaling dan berbisik kepada Ca Giok, “Suruh ayahmu dan Nyo Bun-giau mari.”

Sejenak meragu, Ca Giok terus bergegas lalu serunya, “Ya, paman Nyo, harap datang kemari.”

Ca Cu-jing kerutkan alis, “Mengapa Nona baju ungu hendak membuka rahasia maksud Ih Thian-heng mau masuk ke dalam makam.”

“Harap ayah dan paman suka menjadi saksi.”

Nyo Bun-giau keliarkan mata memandang ke-empat penjuru. Dilihatnya keempat orangtua dan ke enam bocah baju putih serta kawanan Baju hitam masih berada di tempatnya. Diam-diam hati Nyo Bun-giau longgar, ia tertawa menyambut undangan Ca Giok, “Urusan itu menyangkut dunia persilatan, baiklah, mari kita ke sana mendengarkan.”

Ia berhenti sejenak lalu berpaling tertawa kepada Ca Giok dan berkata bisik2, “Engkau harus hati-hati menjaga jangan sampai bunga cantik itu jatuh di tangan orang lain. Selain memperoleh seorang isteri yang cantik jelita, dengan mendapat dukungan dari perguruan Lam-hay-bun, marga Ca pasti akan menguasai dunia persilatan. Aku yang menjadi paman, sudah puas kalau menjadi pembantu marga Ca menguasai daerah Kanglam.”

“Aku seorang persilatan yang kasar, tak mungkin terpilih dalam pintu gerbang yang indah,” jawab Ca Giok.

Nyo Bun-giau tertawa, “Soal ini, engkau tak perlu kuatir. Jelas di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan, ia bersikap begitu mesra kepadamu. Sudah tentu ia telah menjatuhkan pilihan hatinya dengan sungguh-sungguh.”

“Lam-hay-to sebuah pulau di seberang lautan, rakyatnya mungkin tak mengerti adat istiadat orang Tiong-goan,” masih Ca Cu-jing membantah.

Nyo Bun-giau tertawa. “Ia cerdas dan cantik luar biasa. Pengetahuannya dalam ilmu sastra luas sekali. Tak mungkin ia tak mengerti tentang pergaulan wanita dan pria.”

Mendengar bantahan Nyo Bun-giau itu, Ca Giok memberi hormat, “Dalam hal ini mohon paman Nyo suka memberi bantuan yang berharga.”

Nyo Bun-giau tertawa, “Dalam dunia persilatan, nona mana yang engkau penuju, pamanmu ini tentu akan meminangnya. Tetapi terhadap nona yang itu, aku benar-benar tak berdaya. Gagal atau berhasil, seluruhnya tergantung padamu sendiri.”

Dalam bercakap-cakap itu, merekapun sudah tak jauh dari tempat si dara baju ungu dan Ih Thian-heng.

Nyo Bun-giau batuk-batuk pelahan lalu memberi hormat, “Nona memanggil kami, entah hendak memberi petunjuk apa?”

Dara baju ungu menyahut, “Sengaja hendak mendatangkan dua orang untuk menjadi saksi.”

“Menjadi saksi soal apa?” tanya Ca Cu jing.

Dara baju ungu pelahan-lahan mengisar ke samping Ca Giok lalu berseru nyaring, “Ih Thian-heng, kedua maksud yang engkau kandung dalam hati itu yalah, Kesatu, hendak mencari ilmu pelajaran silat yang ditinggalkan oleh Ko Tok lojin dalam makam tua itu. Setelah berhasil meyakinkan ilmu sakti itu, engkau hendak bercita-cita menguasai dunia persilatan….”

Ih Thian-heng tertawa, “Saat ini, siapakah yang yakin tahu tentang diri Ko Tok lojin itu, yang konon dikabarkan telah mencatat seluruh ilmu kepandaiannya dalam makam tua. Selama ini kau selalu mengagumi kecerdasan nona. Tetapi ucapan nona kali ini, benar-benar seperti orang menubruk bayangan kosong.”

Dara baju ungu tertawa, “Sekalipun dalam makam itu benar-benar tak terdapat kitab peninggalan Ko Tok Lojin, tetapi engkaupun dapat membuat sebuab kitab palsu untuk mengelabui dunia. Tujuanmu agar engkau benar-benar dianggap telah memperoleh ilmu kesaktian agar orang-orang jeri dan tunduk padamu.”

Ih Thian-heng mengusap jenggot tertawa keras. “Benar atau salahnya tebakan itu bukan soal. Tetapi bahwa nona dapat merangkai suatu pandangan yang begitu luar biasa dan tak dapat dicapai pikiran orang biasa, aku menaruh rasa kagum yang tak terhingga!”

“Tujuan yang kedua,” demikian dara itu melanjutkan pula, “benar-benar amat ganas dan tentu mengejutkan orang yang mendengar. Maka lebih baik tak kukatakan saja.”

Seketika wajah Ih Thian-heng berobah tetapi cepat pula ia tenang lagi, bahkan tertawa, “Silahkan nona mengatakan seluruhnya!”

“Jika engkau tetap menghendaki supaya aku mengatakan maka janganlah engkau menyesali diriku karena telah menelanjangi isi hatimu yang ganas itu,” seru si dara.

“Ah, nona terlalu memuji,” Ih Thian-heng tertawa, “aku merasa tak mampu mencapai kesan2 yang nona simpulkan itu.”

Seru si dara, “Engkau hendak pinjam makam tua yang penuh dengan alat2 rahasia itu untuk melenyapkan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi.”

Nyo Bun-giau menghela napas panjang serunya, “Sungguh cara yang bagus sekali. Setiap orang memang tahu bahwa dalam makam kuno itu telah diperlengkapi dengan beberapa macam perkakas rahasia yang berbahaya. Orang yang berani masuk, sembilanpuluh persen tentu mati. Tetapi orangpun sesungguhnya tak sabar untuk mengetahui keadaan makam itu. Asal menerima undangan, mereka tentu akan datang.”

Sekonyong-konyong Ih Thian-heng memberi hormat kepada dara baju ungu, serunya, “Manerima petunjuk yang berharga, semua rintangan menjadi terbuka. Kecerdikan nona benar-benar melampaui orang. Hanya sayang….” – pelahan-lahan ia alihkan pandang matanya ke arah Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau. Pada kerut dahinya, memancar hawa pembunuhan.

“Hanya sayangnya terdengar olehku dan saudara Ca?” Nyo Bun-giau menyelutuk.

Ih Thian-heng tertawa hambar, “Rahasia ini memang tak kuinginkan sampai bocor di luar maka terpaksa harus kulenyapkan kalian berdua!”

“Sekalipun rencana saudara Ih itu tepat, tetapi mungkin pelaksanaannya tak seperti yang engkau kehendaki. Walaupun Ting Yan-san terluka parah tetapi belum mati. Fihak Lembah Raja-setan tentu takkan tinggal diam. Leng Kong-siau adalah adik dari ketua Lembah-racun. Tak nanti ketua Lembah Seribu-racun tinggal diam saja adiknya dilukai orang begitu rupa….”

Ih Thian heng menyelutuk tertawa, “Kecuali Lembah Seribu-racun dan Lembah Raja-setan, pun masih ada kalian marga Nyo dan marga Ca….”

Tiba-tiba tubuh si dara menjorok ke muka. Ia tekan dahinya dengan tangan dan berseru, “Ih, kepalaku sakit sekali. Bwe Nio bawalah aku ke dalam tandu!”

Nenek berambut putih itupun cepat memondongnya dan dimasukkan ke dalam tandu lalu menutup kain tendanya.

Ca Giok tergopoh-gopoh lari menghampiri dan berseru, “Apakah sakit kepalamu itu berat sekali?”

Dari dalam tandu itu terdengar suara penyahutan yang lemah dari si dara, “Engkau harus sabar menunggu, aku hendak pergi dulu….”

Setiap angin berhembus. Ca Giok rasakan, musim rontok akan segera habis dan mulailah musim dingin datang. Karena diam-diam ia rasakan bahunya tiba-tiba terasa dingin.

Ia terlongong-longong memandang tandu itu makin lama makin jauh, meninggalkan bayangan yang memanjang dari tandu yang menyongsong ke arah matahari terbenam.

Datang secara tiba-tiba, pergipun dengan mendadak. Ca Giok seperti terbuai di antara kenyataan dan impian.

Lama sekali baru kedengaran ia menghela napas, pikirnya, “Jika benar-benar ia jatuh hati kepadaku, mengapa ia bersikap begitu memandang enteng diriku? Mau pergi terus pergi, datangpun terus datang. Adakah ia tak tahu perasaan hatiku? Tak tahu bahwa aku tentu menderita? Namun kalau ia tak sungguh-sungguh mencintai aku, mengapa ia bersikap begitu rupa terhadap diriku….”

Sebenarnya Ca Giok seorang pemuda yang cerdas. Maka dalam keadaan remuk rendam seperti itu, ia masih dapat mengadakan analisa terhadap dirinya. Namun betapa dingin pikirannya untuk menyelami sikap si dara yang jinak2 merpati itu, tetap ia bingung memikirkannya. Tak tahu bagaimana hati dara jelita itu kepadanya.

Ih Thian-heng mengurut-urut jenggotnya sambil keliarkan matanya memandang Ca Giok. Tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak, “Adakah saudara Ca masih merenungkan dara ayu yang kecantikannya tiada tandingannya di dunia itu?”

Ca Giok tertegun.

Kembali Ih Thian-heng tertawa nyaring dan berseru, “Apakah saudara Ca sedang merangkai dugaan adakah dara itu mempunyai hati atau tidak kepada saudara?”

Ih Thian heng menghela napas dan gelengkan kepala, “Sungguh atau pura-pura, cinta atau benci, memang sukar untuk ditujukan kepadamu.”

Jantung Ca Giok mendebur keras dan wajahnya pun berobah-robah warna. Dan habis berkata Ih Thian-hengpun berputar diri lalu melangkah pergi. Ia menghampiri Nyo Bun-giau. Dengan mengulum senyum yang sukar ditafsirkan, berkatalah ia pelahan-lahan, “Tentang isi hatimu saat ini saudara Nyo….heh, heh, engkau tentu sedang menimang dalam hati. Adakah hari ini engkau dapat tinggalkan tempat ini dengan masih hidup atau tidak.”

Tergetar hati Nyo Bun giau. Namun menyahutlah ia dengan nada tawar, “Benarkah begitu?”

Sejenak memandang ke sekeliling, segera ia menyadari suasana saat itu Kawanan Baju Hitam dan ketiga orangtua serta keenam bocah baju putih semua berada di tempat yang jauh. Dalam waktu singkat, tak mungkin mereka dapat menghampiri. Maka tenanglah hati Nyo Bun-giau. Ia yakin kalau hanya Ih Thian-beng seorang, tentu sukar untuk mengalahkan dirinya.

Ih Thian-heng tersenyum, “Saat ini anakbuahku berada pada jarak 30 tombak, dengan kecepatan kaki mereka, tak mungkin dalam waktu beberapa kejab mereka dapat datang dengan segera kalau kupanggil ke mari. Oleh karena itu, tak perlulah saudara Nyo gelisah dan boleh yakin bahwa dengan tenagaku seorang diri, tentu tak mampu menahan kalian berdua. Benar bukan?”

Karena dibuka isi hatinya, Nyo Bun-giau yang sudah berusaha untuk bersikap setenang mungkin, mau tak mau, berobah juga warna mukanya. Serunya dingin, “Pandangan saudara Ih, benar-benar membuat aku kagum sekali. Hanya bagiku yang tolol ini, belum dapat meraih pemikiran yang begitu jauh.”

Ih Thian-heng menengadah ke langit dan tertawa, “Walaupun tak tahu akan kepandaian orang tetapi untuk menduga apa yang terkandung dalam hati saudara Nyo, rasanya tentu takkan menyimpang jauh.”

Tiba-tiba Ih Thian-heng mengakhiri tertawanya dengan sebuah pukulan.

Nyo Bun-giau terkesiap. Setiap angin dahsyat menderu lewat di sisinya. Tenaga pukulannya sedemikian dahsyatnya, membuatnya terkejut sekali. Belum pernah seumur hidup ia melihat suatu pukulan yang begitu hebat perbawanya.

Berpaling ke belakang, dilihatnya gerumbul rumput dan pasir berhamburan keempat penjuru Bahkan batang pohon jati tua yang tumbuh di situ ikut berguncang-guncang.

Dalam pada itu terdengarlah sebuah suara dengus tertahan. Dan Ca Cu-jing yang mengisar langkah hendak maju ke muka, cepat-cepat harus menyurut mundur tiga langkah lagi.

Diam-diam Nyo Bun-giau tergetar hatinya. Ia menyadari bahwa pukulan yang dilepaskan Ih Thian- hen tadi, barulah benar-benar menggunakan tenaga dalam yang sesungguhnya.

Ih Thian-hengpun tertawa, “Apakah saudara Ca merasa dapat menyambuti pukulanku tadi? Jika saudara yakin mampu menyambuti, maka kupersilahkan saudara bertindak bebas.”

Wajah Ca Cu-jingpun berobah. Tanpa bicara apa-apa ia melangkah kembali ke tempatnya tadi. Jelas ia tak dapat menjawab pertanyaan Ih Thian-heng itu.

Sekali berputar tubuh, Nyo Bun-giaupun segera melesat ke samping Ca Cu jing dan berdiri di sampingnya.

Dengan mata berkilat-kilat, Ih Thian-heng memandang kedua orang lalu berseru dingin, “Apakah saudara berdua hendak mencoba pukulanku?”

Nyo Bun-giau tengadahkan kepala menghela napas, sahutnya, “Bila saudara Ih memang tetap hendak mendesak, kamipun terpaksa akan berusaha untuk menjaga diri.”

Suatu ucapan yang menyatakan kepasrahan.

Dengan wajah mengerut serius, Ih Thian heng melangkah maju dua langkah, katanya, “Saudara berdua adalah tokoh yang faham akan suasana dunia persilatan. Aku hendak bicara beberapa patah kepada saudara, entah apakah saudara berdua suka mendengarkannya?”

Sahut Ca Cu-jing, “Seorang jantan lebih baik mati daripada dihina. Sekalipun kami berdua terjerat dalam kepungan anakbuah saudara yang ketat, tetapi rasanya kamipun tak rela menerima hinaan.”

Ih Thian-heng tertawa, “Harap saudara jangan kuatir. Aku tak bermaksud hendak menekan orang….”

Tiba-tiba ia mengurut jenggot dan menghela napas, ujarnya, “Kekuatan fihak Lam-hay-bun, telah menyusup dalam2 di daerah Tiong-goan. Dengan kecantikan yang gilang gemilang dan ilmu silat yang luar biasa anehnya, dara baju ungu itu telah mempermainkan kita kaum persilatan dunia Tiong-goan. Yang lucu adalah kaum persilatan dunia Tiong-goan sendiri. Mereka seperti keenakan tidur pulas. Sama sekali tak mempunyai kewaspadaan….”

Nyo Bun-giau kerutkan dahi, katanya, “Bukankah saudara Ih telah bersekutu dengan Lam-hay-bun. Lebih dulu hendak mendapatkan pusaka dalam makam tua itu lalu merencanakan untuk membagi kekuasaan. Tetapi mengapa sekarang tiba-tiba saudara hendak berpaling haluan?”

Jawab Ih Thian-heng hambar, “Jika aku sungguh-sungguh hendak berserikat dengan budak baju ungu itu, mungkin saat ini saudara berdua kalau tidak sudah menjadi mayat yang terkapar di tanah, tentu sudah terikat dengan berhias luka parah.”

Walaupun ucapan Ih Thian-heng itu menyinggung perasaan, tetapi Ca Cu-jing dan Nyo Bun-giau mau tak mau harus merenungkan dengan seksama. Mereka menyadari bahwa apa yang dikatakan Ih Thian-heng itu memang benar. Tak perlu fihak Lam-hay-bun turun tangan; cukup anakbuah Ih Thian-heng saja, tentu sudah cukup untuk mencelakai mereka berdua.

Nyo Bun- giau saling bertukar pandang dengan Ca Cu jing. Keduanya sama-sama diam.

Sejenak merenung, Ih Thian heng berkata pula, “Aku bicara dengan terus terang. Apabila menyinggung perasaan saudara berdua, harap suka memaafkan…..”

“Kurasa aku dengan saudara Nyo tentu masih pertimbangan yang sehat. Harap saudara Ih katakan,” sahut Ca Cu-jing.

Kata Ih Thian-heng, “Seribu patah kata sesungguhnya hanya sepatah intinya. Kaum persilatan dunia Tiong-goan, jika tak lekas sadar untuk bersatu, tentu lambat laun akan dikuasai oleh budak baju ungu dan Lam-hay-bun iru. Tanpa menggunakan kekerasan dan mengucurkan darah, ia dapat mengadu domba antara satu tokoh dengan lain tokoh dunia persilatan Tiong-goan ini.”

Ca Cu-jing merenungkan sampai beberapa saat, baru in membuka mulut, “Ucapan saudara Ih memang tak salah tetapi hal itu menyangkut seluruh dunia persilatan. Bukan aku dan saudara Nyo berdua yang mampu memutuskan.”

Walaupun ia sudah mendengar dan dapat menduga ucapan Ih Thian-heng tadi, namun ia tak mau mendahului membuka mulut. Maka sengaja ia pura-pura tak mengerti.

Ih Thian-heng tersenyum, “Dalam saat dan soal seperti ini, sudah bukan saatnya untuk menjaga gengsi. Karena saudara berdua pura-pura tak mengerti, aku terpaksa akan mengatakan dengan jelas!”

Merahlah muka Nyo Bun-giau dan Ca Cu-jing karena isi hatinya dibuka oleh Ih Thian-heng.

Ih Thian-heng tertawa hambar, serunya, “Saat ini kekuatan fihak Lam-hay-bun belum berkembang jauh di dunia persilatan Tiong-goan. Menurut hematku, dalam perguruan Lam-hay-bun itu yang dapat digolongkan jago2 tingkat ko jiu (kelas satu), hanya enam tujuh orang saja. Apabila saudara berdua mau menghapus segala prasangka dan suka bersekutu dengan aku. Tentu tak sukar untuk menghadapi mereka.”

Ca Cu-jing tertawa gelak-gelak. serunya, “Ucapan saudara Ih memang tepat sekali. Hanya soal menghapus prasangka itu, mudah diucap tetapi sukar dilakukan.”

“Kalau begitu kalian tak suka bekerjasama dengan aku?” Ih Thian-heng menegas.

“Bukan aku dan saudara Ca tak suka bekerjasama dengan saudara Ih. Tetapi karena siasat hati saudara Ih itu keliwat mendalam sekali sehingga kami sukar untuk menaruh kepercayaan,” kata Nyo Bun-giau.

“Entah dengan cara bagaimana saudara berdua baru dapat percaya kepadaku?” tanya Ih Thian-heng.

“Soal itu sukar dijelaskan,” kata Ca Cu-jing.

“Aku punya suatu cara, yang dapat membuktikan bahwa saudara Ih benar-benar mendendam permusuhan dengan Lam-hay-bun?” kata Nyo Bun-giau.

“Aku senang mendengarkannya,” kata Ih Thian-heng.

“Saat ini dara baju ungu itu tentu belum jauh,” kata Nyo Bun-giau, “mari kita kejar. Jika saudara Ih mau menyerang mereka lebih dulu, aku dan saudara Ca tentu akan turun tangan.”

Ih Thian-heng tertawa, “Adakah saudara berdua yakin bahwa kekuatan kita bertiga mampu untuk mengalahkan mereka?”

Jawab Ca Cu-jing, “Menurut hematku, di antara tokoh Lam hay-bun yang paling sukar dihadapi, ialah sinenek tua beramhut putih itu. Selain dia, yang lainnya tak perlu dikuatirkan.”

“Pendapatku beda dengan saudara Ca,” kata Ih Thian-heng.

“Aku girang sekali mendengar pendapat saudara Ih,” kata Ca Cu jing.

Ih Thian-heng menghela napas, “Yang kukuatirkan bahkan si dara baju ungu itu. Selain luar biasa cerdas dan cantiknya, pun setiap patah ucapannya sukar sekali ditafsirkan maksudnya.”

“Baju ungu itu?” seru Ca Cu-jing.

“Putera saudaralah yang bertugas untuk menghadapinya,” Nyo Bun-giau tertawa.

Berkata Ih Thian-heng, “Menghadapi Lam-hay-bun, selain dengan ilmu kepandaian silat, pun harus dengan rencana yang cermat baru dapat bertindak. Apabila saudara berdua suka bersama-sama mempersiapkan rencana itu, silahkan saudara beristirahat ke dalam gubukku. Sambil menikmati hidangan dan minuman, kita dapat menggunakan kesempatan untuk merancang rencana menghadap fihak Lam-hay-bun.”

“Kebaikan saudara Ih, kami sungguh berterima kasih sekali. Tetapi lebih baik jangan mengganggu saudara,” kata Nyo Bun-giau.

Ih Thian-heng, cepat memberi hormat, serunya, “Biarlah aku yang menjadi penunjuk jalan,” ia terus berputar tubuh dan melangkah lebih dulu.

Ca Cu-jing melirik. Dilihatnya keempat orang tua dan keenam bocah baju putih serta kawanan Baju Hitam, sudah mengundurkan diri semua.

Maka timbullah nyalinya. Segera ia menggandeng tangan Ting Ling terus diajak berjalan mengikuti di belakang Ih Thian-heng.

Kira2 berjalan empat lima li, tibalah mereka di sebuah rimba pohon bambu. Menunjuk ke arah rimba bambu itu, Ih Thian-heng berseru tertawa, “Itu!ah pondok kami,” – ia membungkukkan tubuh selaku menghormat kedatangan kedua tetamu itu.

ooo000ooo

Sementara itu Han Ping yang masih mendukung Kim Loji, lari sampai belasan li jauhnya. Saat itu ia berpaling. Setelah melihat tiada orang yang mengejar barulah ia berhenti.

Pe-lahan2 ia letakkan tubuh pamannya ke tanah. Dipanggilnya dengan nada rawan, “Paman, paman.”

Kim Loji yang napasnva sudah terengah-engah itu, pelahan-lahan membuka mata. Sinar matanya sudah pudar. Namun dengan paksakan tersenyum rawan, ia berkata, “Nak, dudukkanlah aku. Aku hendak menyampaikan beberapa patah kata penting kepadamu.”

Han Ping gelengkan kepala tertawa sedih, katanya, “Luka paman amat parah sekali. Saat ini tak baik kalau banyak bicara. Lebih baik paman beristirahat merawat luka.”

Kim Loji tertawa hampa, “Nak, tak usah engkau gelisah. Kecuali ayahmu, dalam dunia dewasa ini, yang tahu akan rahasia Ih Thian-heng hanyalah aku seorang. Oleh karena itu dia harus membunuh aku baru akan merasa puas. Maka tadi dia telah melakukan penganiayaan yang berat. Selagi aku masih ada napas untuk bicara, hendak kusampaikan kepadamu beberapa hal yang penting. Engkaupun tahu bagaimana kematian ayahmu yang mengenaskan itu.”

“Soal itu paman ketika sudah memberitahukan kepadaku. Dan lagi akupun sudah mendengar mulut Ih Thian-heng mengatakan sendiri. Walaupun di dalam hal itu masih ada beberapa hal yang belum jelas tetapi tak apa. Jelas Ih Thian-heng itulah pembunuhnya!”

“Ai,” Kim Loji menghela napas, “separoh tubuhku saat ini sudah mati-rasa. Kecuali Ih Thian-heng yang mungkin masih mempunyai cara untuk menolong aku, mungkin di dunia ini tiada seorangpun yaug mampu merebut kembali jiwaku dari cengkeraman maut.” – Kembali ia menghela napas dan pelahan-lahan mengatupkan mata. Seolah-olah pembicaraannya itu telah menghabiskan seluruh sisa tenaganya.

Melihat pamannya mengatupkan mata dan wajahnyapun diam seperti orang mati, terkejutlah Han Ping. Pikirnya, “Rupanya ia sudah bertekad untuk mati. Sekalipun memberinya obat mujijat, juga tak berguna. Maka yang harus kuberinya adalah anjuran supaya ia masih ingin hidup, setelah itu baru kuusahakan cara pertolongannya….”

Setelah mendapat pikiran begitu, ia segera berkata, “Sekalipun ilmu tutukan Ih Thian-heng itu amat ganas, tetapi jika mengatakan tiada orang yang mampu membuka jalandarahnya yang tertutuk itu, rasanya berlebih-lebihan….”

Sambil masih meram, Kim Loji geleng-geleng kepala, katanya, “Tak usah engkau bersusah payah aku sudah tiada harapan lagi!” – nadanya amat lemah, tiada nyala hidup lagi.

Tiba-tiba hati Han Ping serasa tersayat. Ia merasa semua orang di dunia telah meninggalkan dia. Hatinya terangsang dan beberapa butir airmata menitik turun dari pelupuknya.

“Paman, apakah engkau sungguh-sungguh hendak meninggalkan aku?” – katanya dengan nada yang keluar dari hati nuraninya. Penuh keharuan, penuh kehampaan.

Tiba-tiba mata Kim Loji terbuka dan matanya pun memancar sinar berkilat. Ia menghela napas, serunya, “Ilmu tutukan dari Ih Thian heng yang istimewa itu, bukan saja lain orang sukar untuk membukanya, pun ganasnya bukan kepalang. Seluruh uratnadi dalam tubuh, pelahan-lahan akan mengeras dan akhirnya mati, karena darah tak dapat berjalan lagi. Derita kesakitannya, sukar dilukiskan lagi. Nak, sekalipun aku sanggup untuk menahan penderitaan itu, tetapi karena tiada orang yang mampu menolong, akhirnya tetap sama saja.”

“Biarlah aku yang mencobanya. Yang ku-minta paman harus mempunyai semangat untuk hidup agar usahaku dapat berhasil,” kata Han Ping.

Pada waktu belakangan ini, Han Ping telah mencapai kemajuan pesat dalam ilmu peyakinannya. Isi pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng telah difahami dan dipelajari sungguh-sungguh. Ia teringat bahwa dalam kitab itu terdapat pelajaran apa yang disebut Ih kin-si cui atau Menggerakkan-urat-untuk mencuci-sumsum. Kemungkinan pelajaran itu dapat digunakan untuk menolong Kim Loji.

Kelopak mata Kim Loji bergerak-gerak dan mulutnya meluncur kata, “Baiklah, silahkan engkau mencobanya!”

Hatinya tergerak mendengar ucapan Han Ping tadi. Dan seketika semangatnya untuk hiduppun menyala kembali. Ia gelorakan semangatnya untuk bertahan hidup.

Melihat kesediaan pamannya itu, semangat Han Pingpun mulai timbul lagi. Dipeluknya sang paman lalu dibawa ke sebuah tempat yang aman. Di situ ia segera kerahkan tenaga-dalam untuk mengurut tubuh pamannya.

Sambil diam-diam menghafal isi kitab, ia mulai menyalurkan tenaga-murninya ke dalam tulang2 Kim Loji melalui pengurutannya itu. Dua jam kemudian, sekujur tubuhnya mandi keringat, kepalanyapun pening. Adalah pada saat kepalanya pening itu, ia dapat menyelami arti dari perkataan dalam pelajaran kitab itu.

Segera ia mengangkat muka dan menghela napas panjang. Seketika ia rasakan semangatnya yang letih itu hilang. Dan ketika merenungkan pelajaran kitab itu lagi, semangatnya mulai menggelora.

Kiranya isi pelajaran kitab pusaka itu walaupun dapat menyembuhkan luka Kim Loji, tetapi harus dilakukan selama 36 jam berturut-turut tanpa berhenti mengurutnya. Memang boleh juga kalau hendak beristirahat sebentar tetapi kedua tangannya tak boleh lepas dari tubuh si penderita sakit.

Han Ping menyadari hal itu. Ia tak sanggup melakukan pengurutan selama 36 jam tanpa berhenti. Apalagi selama 36 jam itu ia tak dapat berbuat apa-apa apabila ada musuh yang tiba-tiba muncul dan menyerangnya, Dan musuh itu, tak perlu yang berilmu cukup tinggi, orang yang tak mengertipun mampu membunuhnya juga…..

Kim Loji yang masih pejamkan mata, tiba-tiba membuka matanya dan memandang Han Ping yang kepalanya basah kuyup keringat. Diam-diam ia menghela napas, ujarnya, “Ah, nak, engkau letih sekali….”

Tergetar hati Han Ping dan menyahutlah ia dengan semangat menyala, “Aku sudah mendapatkan cara menyembuhkan jalan darah paman yang terluka.”

“Nak, engkau amat susah payah….”

Han Ping mengunjuk senyum gembira, katanya, “Tetapi waktunya memang agak panjang. Kuharap paman suka bersabar.”

“Soal itu tak perlu engkau kuatir. Aku ingin menyaksikan dengan tanganmu sendiri engkau dapat membunuh Ih Thian-heng untuk membalas sakit hati toako dan toasoh, baru aku dapat mati dengan tenteram.”

Kuatir pamannya tahu kalau ia lelah, buru-buru ia menyanggapi, “Pada saat menjalankan pengobatan ini, paman harus meram, jangan melihat.”

Kim Loji tersenyum, “Baiklah, tetapi kuharap engkau jangan sampai kehabisan tenaga,” – ia terus pejamkan mata.

Han Ping mengamatinya. Dilihatnya wajah pamannya itu menampilkan seri cahaya yang tenang. Suatu tanda bahwa paman itu menaruh kepercayaan besar akan usaha Han Ping.

Han Ping tengadahkan kepala, menghela napas panjang. Diam-diam ia timbul suatu rasa tanggung jawab. Katanya dalam hati, “Han Ping, Han Ping. Di dunia engkau hanya punya seorang paman itu. Betapapun susah payahnya, engkau harus berusaha menolongnya, sekalipun harus mati, janganlah engkau sayang jiwamu….”

Seketika bangkitlah semangat Han Ping. Ia tambahkan tenaganya dan mulai mengurut tubuh Kim Loji.

Tubuhnya basah kuyup seperti mandi keringat. Semangatnyapun lelah sekali. Sambil mengurut tak henti2nya ia mengingat pelajaran dalam kitab pusaka itu.

Entah selang berapa lama, akhirnya Han Ping rasakan sekujur tubuhnya dingin dan tiba-tiba pikirannya yang hampir limbung itupun terang kembali.

Memandang ke atas, dilihatnya langit berkabut awan hitam. Entah kapan, ternyata hujan turun deras.

Tiba-tiba terdengar Kim Loji berkata dengan suara lemah, “Ping-ji, apakah sekarang hujan?”

“Benar! Tetapi luka paman, masih harus berapa waktu lagi. Sekalipun turun hujan, kita tak boleh bergerak,” kata Han Ping.

“Ah, nak, apakah tak menyusahkan engkau?”

“Aku hanya menyesal karena kepandaianku rendah sehingga tak dapat menolong paman dalam waktu yang cepat….”

“Masih berapa lama lagikah baru dapat mnyembuhkan urat yang terluka itu?” tanya Kim Loji.

Diam-diam Han Ping menimang. Jika ia memberitahu terus terang, mungkin akan menimbulkan kesulitan. Maka baiklah ia membohonginya saja, “Mungkin dalam 12 jam lagilah.”

Kim Loji menghela napas tak mau bicara lagi.

Han Ping menunduk, ia mengusap peluhnya dengan ujung baju Ketika ia mengangkat muka lagi, tiba-tiba ia rasakan lehernya dingin. Ia rasakan hawa dingin itu bukan seperti air hujan. Diam-diam ia tergetar hatinya. Rasa lelah, lenyap seketika. Dan serempak dengan itu ia rasakan lehernya sakit. Beberapa tetes darah mengucur jatuh ke tanah.

Saat itu ia menyadari bahwa sebatang senjata tajam, telah melekat pada lehernya, bahkan telah mengupas kulit kepalanya. Namun ia tak gugup dan hanya batuk-batuk kecil lalu gunakan ilmu Menyusup suara, menegur, “Siapakah engkau….”

Tiba-tiba ia kuatir orang itu akan menjawab sehingga mengejutkan Kim Loji. Maka buru-buru ia menyusuli kata, “Gunakan ilmu Menyusup-suara untuk menjawab pertanyaanku, agar jangan membikin kaget orang sakit.”

Orang yang di belakangnya itu benar-benar gunakan ilmu Menyusup suara dan menyahut dingin, “Dapatkah engkau menebak aku ini siapa?”

Han Ping seperti tak asing dengan nada suara itu. Tetapi sesaat ia lupa siapa. Saat itu ia sudah letih sekali. Sekalipun tak menggunakan pedang dilekatkan pada lehernya, iapun sudah tiada mampu melawan lagi. Maka iapun menghela napas pelahan, ujarnya, “Suaranya aku tak asing. Tetapi sesaat aku tak ingat lagi. Entah apakah aku boleh berpaling ke belakang untuk melihatmu?”

Orang di belakang itu tertawa ringan, “Engkau ingin mati dengan gamblang, itupun bukan permintaan yang berlebih-lebihan. Silahkan engkau berpaling ke belakang!”

Han Ping terus akan berpaling tetapi pada saat itu timbullah pikirannya, “Jika aku berpaling melihat mukanya, dia tentu segera membunuh aku…..”

Maka ia meragu. Hampir seperminuman teh lamanya, orang di belakang itu rupanya tak sabar lagi, serunya, “Mengapa engkau tak berpaling melihat aku?”

“Kalau aku berpaling melihatmu, bukankah engkau segera segera membunuhku?” jawab Han Ping.

Orang itu menyahut dingin, “Sudah tentu! Kalau tak kubunuh, bukankah akan merupakan bahaya di kemudian hari?”

“Kalau aku tak berpaling melihatmu, apakah engkau mau memperpanjang kematianku itu sampai tiga hari lagi?”

Rupanya orang itu merasa aneh, “Apa? Memberi perpanjangan waktu sampai tiga hari?”

“Benar,” kata Han Ping. “kasihlah aku waktu tiga hari 1agi. Setelah tiga hari, aku tentu akan menyerahkan diri, takkan melawan!”

“Mengapa?” tanya orang itu heran.

“Kalau sekarang engkau membunuhku, pamanku yang terluka ini tentu akan ikut mati. Dengan begitu berarti engkau membunuh dua jiwa. Maka berilah aku kelonggaran waktu sampai tiga hari. Biar kusembuhkan luka pamanku ini dulu, baru nanti engkau bunuh. Bukankah hal itu sama?”

“Bagaimana aku dapat mempercayaimu?”

“Janji seorang lelaki, sampai matipun tentu akan ditepati!”

Orang itu merenung sejenak, berkata, “Begini sajalah! Aku membawa semacam racun. Setelah minum, dalam waktu tiga hari baru bekerja. Minumlah racun itu baru akan dapat percaya.”

“Baik, berikanlah racun itu!” kata Han Ping.

Dari belakang menjulur sebuah tangan yang putih mulus. Dua buah jarinya menjepit dua butir pil merah.

Han Ping kerutkan alis, pikirnya, “Kulit orang ini putih seperti kumala dan jari2nyapun runcing. Rupanya tentu bukan orang lelaki. Apakah dia seorang anak perempuan?”

Ia menyambuti pil itu. Pada saat bendak ditelan, tiba-tiba ia mempunyai lain pikirannya, tanyanya, “Setelah minum racun ini, apakah mempengaruhi ilmu kepandaianku?”

Orang itu tertawa, “Tiga hari kemudian, begitu racun bekerja, engkau tentu mati. Tiada obatnya lagi. Tetapi selama tiga thari itu, kepapdaianmu tak kurang suatu apa.”

“Aku percaya omonganmu!” kata Han Ping terus menelannya,”sekarang silahkan engkau pergi atau sembunyi di tempat yang gelap untuk mengawasi gerak-gerikku.”

Orang itu merenung beberapa saat, menghela napas, “Ucapanmu, patah demi patah, membuat orang mau tak mau harus percaya. Engkau benar-benar seorang ksatrya yang dapat dipercaya!”

Terdengar derap langkah yang makin lama makin jauh dan makin tak terdengar.

Setelah menelan pil racun itu, diam-diam hati Han Ping merasa rawan. Teringat akan dendam sakit hati ayahbundanya, pesan yang diperintahkan Hui Gong taysu, semua belum dapat dilaksanakannya. Tetapi kini ia harus mati dalam tiga hari nanti. Mungkin kematiannya itu tiada seorangpun yang tahu. Bahkan siapa yang memaksanya menelan pil beracun itu, ia tak sempat melihat rupanya.

Dia menghela napas pelahan. Matanya mencurah pada muka Kim Loji. Dilihatnya sepasang alis pamannya mengerut dan wajahnya menampil kerut wajah kesakitan. Tetapi mulut Kim Loji tetap mengulum senyum. Jelas pamannya itu menaruh kepercayaan besar bahwa ia tentu dapat menyembuhkannya. Kerut wajah dan senyum Kim Loji memantulkan isi hatinya, bahwa saat itu ia benar sudah menyala keinginannya hidup.

Han Ping timbul semangatnya. Beberapa kali ia menghela napas lalu pejamkan mata, menghapus segala keresahan hati dan satukan pikirannya untuk melakukan pernapasan.

Setelah menerima tendangan dari Thian Hian totiang, Ia malah mendapat keuntungan besar. Jalandarah Seng-si-hian-kwannya telah terbuka. Sekalipun bagian Jin dan Tok, belum terbuka. Tetapi ia sudah dapat menyalurkan tenaga-murninya sampai pada titik-jalandarah yang sukar disaluri tenaga murni.

Tadi dalam menyalurkan tenaga-dalam untuk mengobati Kim Loji, karena pikirannya masih resah, ia belum dapat mencurahkan seluruh tenaga murni. Tetapi kini setelah ia dapat menghapus semua kesulitan dan keresahan pikirannya, konsentrasinyapun lebih terarah. Seketika ia rasakan tenaga murninya menyalur lancar dari tenaga dalampun berhamburan keluar.

Kiranya setelah menyadari bahwa dalam waktu tiga hari ia tentu mati, maka iapun segera menghapus pikiran untuk melakukan balas dendam. Ia kerahkan seluruh semangat dan perhatian untuk menolong Kim Loji.

Angin dan hujan makin deras. Butir2 airpun mencurah bagai mutiara. Tenaga murni Han Ping tak putus-putusnya mengalir, tenaga dalamnya memancar gencar. Dan saat itu iapun sudah mencapai pada tingkat kehampaan. Pikirannya hanya dipusatkan untuk menyembuhkan Kim Loji. Curahan hujan yang deras itu sama sekali tak dihiraukannya.

Entah selang berapa lama, akhirnya hujanpun berhenti. Awan hitam berarak buyar. Matahari sore pun mulai memancar lagi. Cakrawala memancar cahaya kekuning-kuningan emas.

Tiba-tiba dari belakang terdengar suara helaan napas orang, “Hari akan malam lagi. Apakah engkau tak mau beristirahat?”

Han Ping mengangkat muka memandang langit sahutnya, “Apakah sudah berjalan sehari semalam?”

“Ya, sudah sehari semalam. Makanan yang kuantar untukmu, sama sekali tak engkau jamah sehingga tumpah ruah dilanda hujan!” sahut orang itu.

Han Ping memandang ke samping. ternyata didekatnya terdapat sebuah piring besar tetapi sudah kosong. Tentu tumpah didera hujan.

Ia lanjutkan mengeliarkan mata ke belakang tetapi sinar matanya tertumbuk pada ujung pakaian waina hitam, hatinya tersirap kaget….
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar