Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 23 : Kemisteriusan ilmu Lam-hay-bun

Jilid 23.

Ca Giok pun segera menyusup dan berdiri di sebelah ayahnya. Ketua marga Ca itu berpaling memandang puteranya.

“Mengapa engkau ke sini? Lekas pergi!” bentaknya lirih.

Ca Giok tertegun, tanyanya, “Kemana aku harus pergi?”

“Pulang ke rumah!”

Nyo Bun-giau yang berdiri tak jauh dari Ca Cu-jing segera tersenyum, “Tak usah kuatir, saudara Ca. Puteramu cukup cerdas dan dapat menjaga diri. Bukankah sayang kalau tak suruh dia ikut menyaksikan pengalaman yang jarang terdapat seperti ini?”

Ca Cu-jing serentak palingkan muka, dia membisiki puteranya, “Giok-ji, nanti apabila terjadi apa pun juga, jangan sekali-kali engkau gegabah ikut campur dan lekas engkau lari sembunyi di lereng puncak itu.”

Ca Giok mengiakan.

Saat itu Pengemis-sakti Cong To sudah makin dekat di muka makam. Hanya terpisah satu dua meter dari tempat si dara baju ungu.

Tiba-tiba Ih Thian-heng berpaling dan berkata kepada pemuda baju putih itu, “Saudara Siong, orang yang berpakaian compang camping itu adalah Pengemis-sakti Cong To yang termasyhur di dunia persilatan!”

Pemuda baju putih itu hanya tertawa hambar, sahutnya, “Nanti aku hendak minta pelajaran!”

Mendengar itu Leng Kong-siau melirik sejenak ke arah pemuda baju putih itu.

Lelaki berjubah kuning yang berdiri di sisi pemuda baju putih tertawa dingin dan membentak Leng Kong-siau, “Lihat apa engkau jahanam busuk!”

Rupanya ia baru kenal akan kata-kata makian itu maka waktu mengucapkan pun agak masih kaku.

Ong Kwan-tiong, tokoh Lam-hay-bun yang berpakaian indah, berpaling dan menyelutuk, “Eh, mengapa saudara ribut2 saja? Bukankah nanti banyak waktu untuk bertengkar?”

Berobahlah wajah lelaki jubah kuning tadi. Ketika ia hendak balas mendamprat, pemuda baju putih cepat mencegahnya, “Jangan bicara lagi!”

Tampak orang berjubah kuning itu amat garang perawakan dan sikapnya, tetapi terhadap pemuda baju putih ia amat mengindahkan dan takut.

Leng Kong-siau yang dimaki tadi sudah tentu tak terima. Sambil diam-diam kerahkan tenaga-dalam, ia berkata kepada Nyo Bun-giau dan Ting Yan-san, “Tahukah saudara, siapakah orang berjubah kuning itu?”

Nyo Bun-giau berpaling memandang sejenak lalu mengatakan bahwa orang itu adalah orang undangan dari Ih Thian-heng.

“Dia bermulut kasar, aku hendak memberinya sedikit pengajaran,” kata Leng Kong-siau.

Nyo Bun-giau tertawa hambar, “Harap bersabar dulu, saudara. Kalau tak kebetulan, kita akan berhadapan dengan orang Lam-hay-bun.”

Dengan ucapan itu Nyo Bun-giau hendak memberitahukan siasatnya. Kalau fihaknya tak dapat mengekang diri dan turun tangan, tentu akan bentrok dengan Ih Thian-heng. Tetapi kalau dapat bersabar dan tunggu sampai fihak lain yang bentrok dulu, tentulan fihaknya akan mendapat keuntungan. Setelah fihak yang bertempur ada yang bonyok, barulah ia dapat menyelesaikan mereka semua.

Ting Yan-san membenarkan Nyo Bun-giau, “Ya, memang saudara Nyo benar. Menilik gelagatnya, suasana hari ini tentu takkan selesai secara baik-baik. Walaupun yang datang amat banyak tetapi menurut kesimpulanku, hanya tiga kekuatan yang benar-benar harus diperhitungkan. Kesatu, Lam-hay-bun. Kedua rombongan Ih Thian-heng yang mengundang beberapa tokoh dan yang ketiga adalah kita sendiri. Jika kita yang habis dulu bentrok dengan Lam-hay-bun, tentu kita akan rugi dan Ih Thian-henglah yang untung.

Nyo Bun-giau pun cepat beringsut maju ke samping Leng Kong-siau. Ia tahu orang she Leng itu licin sekali. Nasehatnya yang didukung Ting Yan-san belum tentu dapat mencegah tindakannya.

Jika dalam urusan kecil tak dapat menahan diri, urusan besar tentu akan terbengkalai. Jangan hendaknya saudara Leng terlalu dipengaruhi oleh emosi. Siapa yang dapat menahan diri, dialah yang akan memperoleh keuntungan,” katanya menandaskan sekali lagi kepada Leng Kong-siau.

Leng Kong-siau menyanggupkan diri untuk menuruti permintaan kedua orang itu.

Pembicaraan ketiga orang itu dilakukan dengan ilmu Menyusup-suara. Oleh karena itu, lain orang tiada yang dapat mendengarkannya.

Saat itu Cong To yang sudah hampir dekat dengan tempat si dara baju ungu, tiba-tiba merasa dilanda oleh serangan angin yang kuat. Ia terkejut dan buru-buru loncat menghindar ke belakang.

Ternyata nenek Bwe-nio memandang pengemis itu dengan rambut bergetaran dan wajah murka. Tetapi nenek itu tak berkata apa-apa.

Dan ketika berpaling ke kanan kiri, Cong To melihat tokoh-tokoh Lam-hay-bun lainnya seperti lelaki pincang, si Bungkuk dan si Pendek, sama memandangnya dengan marah tetapi mereka pun tak berkata apa-apa.

Setelah memandang ke arah punggung si dara, barulah Cong To menyadari mengapa orang-orang Lam-hay-bun begitu memandangnya dengan marah.

Kiranya saat itu si dara baju ungu tengah menangis. Tetapi karena amat pelahan sekali sehingga tak kedengaran.

Nenek Bwe-nio dan lelaki kaki buntung itu, rupanya mengetahui keadaan si dara. Maka mereka tak berani membentak Cong To karena kuatir mengejutkan si dara baju ungu.

Semula Cong To mengira bahwa dugaannya benar. Tetapi pada lain saat timbullah pertanyaan dalam hatinya, “Jika benar dara itu sedang menangis, bukankah mereka dapat menggunakan kesempatan membentak aku supaya menghentikan tangisnya? Mengapa mereka malah membiarkan saja…?”

Cong To pasang telinga. Didengarnya tangis data itu seperti orang yang sedang meratapi nasib dan mencurahkan isi hatinya. Tetapi karena suaranya amat pelahan sekali sehingga sukar ditangkap dengan jelas.

Dan ada sesuatu yang istimewa. Tangis dara itu begitu memilukan sekali sehingga orang-orang yang mendengarnya pun ikut bersedih. Beberapa saat kemudian, Cong To sendiri pun ikut merasa rawan dan ingin menangis juga.

Lama kelamaan, samar2 dapat terdengar juga kata-kata tangis dara itu. “Engkau sudah mati meninggalkan diriku seorang diri. Untuk siapakah sang bunga mekar itu? Kepada siapakah kerinduan itu akan tercurah? Mempersembahkan hati duka kepada nisan….”

Tangis itu walaupun pelahan tetapi setiap patah kata dapat didengar jelas dan mengandung daya kuat mengikat hati orang.

Tanpa disadari, Cong To pun menitikkan beberapa airmata. Diam-diam ia menghela napas. “Entah kepada siapakah ia sedemikian menumpahkan hatinya!”

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap langkah orang. Dan ketika ia berpaling, ternyata si pemuda baju putih tadi berjalan menghampiri ke tempat pengemis itu sambil kebut-kebutkan kipas batu kumalanya.

Rupanya pemuda itu sengaja suruh orang mendengar jalannya maka langkahnyapun terdengar berat.

Nenek Bwe Nio segera berpaling dan deliki mata kepada pemuda baju putih itu. Tetapi pemuda itu tak menghiraukan. Dengan langkah bergoyang gontai, Ia tetap menghampiri ke belakang si dara.

Bwe Nio hendak bergerak menghalanginya. Tetapi ia kuatir akan mengganggu si dara yang tengah meratap itu. Sesaat ia tak tahu apa yang harus dilakukan.

Pemuda baju putih percepat langkahnya dan cepat sekali ia sudah lewat di sisi Cong To. Melihat tingkah laku pemuda itu, Cong To segera ulurkan tangan hendak mencengkeramnya. Ia gunakan kim Toa-kin-jiu. Ilmu untuk merebut senjata. Ia pikir, sekali pun pemuda itu memiliki ilmu kepandaian silat, tetapi tentu tak dapat menghindar karena tak menduga-duga.

Di luar dugaan, ujung baju si pemuda itupun tak kena dicengkeramnya. Cong To terkejut bukan kepalang. Pikirnya, “Seorang budak yang tak ternama, mengapa mampu menghindari cengkeramanku? Hm, dia tentu sakti!”

Dalam pada Cong To tertegun itu, si pemuda baju putih pun sudah tiba di belakang si dara baju ungu. Saat itu asal menjamahkan tangan, tentulah pemuda itu dapat menyingkap kain kerudung si dara.

Entah bagaimana tiba-tiba timbullah rasa iba Cong To terhadap dara itu. Ia anggap dara yang begitu halus perasaannya, barulah orang yang pantas dihormati. Melihat pemuda baju putih itu menghampiri ke belakang si dara, Cong To marah sekali.

“Berhentil”teriaknya marah,”berani bergerak, tentu pengemis tua akan membeset kulitmu!”

Ia loncat menerkam pemuda baju putih itu. Tetapi tepat pada saat itu, si pemuda baju putih pun mengisar diri dua langkah ke samping lalu berputar tubuh.

Ternyata pemuda baju putih itu menghindari beberapa taburan benda bersinar emas yang mengarah dirinya. Tetapi entah siapa yang melepaskan senjata rahasia itu.

Dara baju ungu itu tetap tenang sekali. Sekalipun sudah hentikan ratapannya tetapi tampaknya tak mengetahui apa yang terjadi di belakangnya. Ia tetap diam tak bergerak.

Ternyata nenek Bwe Nio sudah mendahului Cong To melesat ke belakang si dara. Yang penting melindungi dara itu baru kemudian menggerakkan tongkatnya untuk menutuk si pemuda baju putih.

Loncat-lesat dan pukul-tutuk itu, berlangsung hampir serempak cepat dan temponya.

Secepat berputar diri, pemuda baju putih itu hendak menegur siapa yang menyerang dengan senjara gelap tadi. Tetapi belum sempat membuka mulut, tongkat Bwe Nio sudah tiba. Dan saat itu, pukulan Cong To pun menyusul datang.

Pemuda baju putih itu tebarkan kipasnya lalu menghindar tiga langkah ke samping. Gesitnya bukan kepalang. Sekaligus ia menghindari tutukan tongkat Bwe Nio serta pukulan Cong To.

Dan saat itu dari empat penjuru hadirin serentak menyerbu mengepung makam.

Si Bungkuk, si Pendek dan si Kaki Buntung berturut-turut melesat ke samping Bwe Nio. Mereka berempat tegak berjajar melingkari si dara.

Setelah tutukannya luput, Bwe Nio menarik pulang tongkatnya. Matanya menatap lekat2 pada pemuda baju putih itu tetapi tak mau menyerangnya lagi.

Begitu pula Cong To. Sehabis memukul, ia tak mau menyerang lagi. Keadaan tenang kembali tetapi hanya suatu penundaan dari suatu bentrokan yang akan meledak.

Ih Thian-heng berpaling ke arah pemuda baju putih, lalu kerutkan alis. Rupanya ia tak senang akan tindakan pemuda itu mencari gara2. Tetapi tak enak hati untuk menegurnya. Kemudian ia berpaling kepada Cong To, katanya, “Apakah maksud saudara Cong mengganggu kekhidmatan suasana saat ini?”

Dengan licik, Ih Thian-heng memindahkan kesalahan itu kepada Cong To.

Pengemis-sakti Cong To juga seorang yang aneh dan keras kepala. Sesungguhnya ia dapat menyangkal tuduhan itu. Tetapi kebalikannya dengan tertawa dingin ia menyahut, “Pengemis tua mengacau di sini, engkau mau apa?”

Ih Thian-heng tersenyum, “Itu nanti orang Lam-hay-bun yang akan minta pertanggungan jawab kepada saudara. Aku sih tak punya hak apa-apa, hanya menyayangkan tindakan saudara itu.”

Tiba-tiba Nyo Bun giau menyelutuk, “Apabila saudara Ih kenal pada pemuda baju putih itu, harap saudara suka memperkenalkan kepada kami. Rasanya dalam dunia persilatan Tiong-goan belum pernah tampak tokoh muda semacam dia.”

Memang sesuai dengan tata kesopanan, ucapan Nyo Bun-giau yang minta dikenalkan dengan pemuda baju putih itu. Tetapi sesungguhnya diam-diam ia telah membantu Cong To.

Seluruh hadirin tahu jelas bahwa pemuda baju putih itu telah gegabah menghampiri ke tempat si dara. Tetapi sengaja Nyo Bun-giau bertanya lagi dengan melibatkan Ih Thian-heng sebagai kawan pemuda itu.

Pelahan-lahan Ih Thian-heng beralih memandang Nyo Bun-giau. Ia tersenyum;”Rupanya saudara Nyo lebih banyak menikmati kebahagiaan tinggal di rumah raja sehingga jarang keluar ke dunia persilatan. Maka tak heran kalau saudara tak banyak kenal orang!”

Jawaban menyindir itu diterima dengan tertawa oleh Nyo Bun-giau, serunya, “Aku memang sebagai katak dalam tempurung, mana bisa dibandingkan dengan saudara!”

Keduanya adalah rase tua yang licin dan licik. Sekalipun adu lidah tajam tetapi wajah mereka tetap mengulum senyum. Sedikitpun tak menampilkan kemarahan.

Saat itu Ong Kwan-tiong dengan membawa 12 pengawal bersenjata, menghampiri Ih Thian-heng, ditatapnya dingin2 jago dari Sin ciu itu, tegurnya, “Kenalkah saudara Ih kepada pemuda baju putih itu?”

Pertanyaan yang langsung dan terus terang itu membuat Ih Thian-heng sesaat tak dapat menjawab.

Ia tersenyum menyahut, “Tokoh-tokoh persilatan, aku memang banyak yang kenal….”

Ong Kwan-tiong melanjutkan dengan nada tawar, “Aku bertanya adakah saudara Ih kenal dengan pemuda itu?”

Ia alihkan pandangan ke arah pemuda baju putih.

Rupanya pemuda baju putih itu memang bermaksud supaya Ih Thian-heng mendapat kesulitan. Dia mengangkat kepala memandang ke langit tanpa berkata apa-apa. Seolah-olah tak mendengarkan tanya jawab Ong Kwan-tiong dengan Ih Tnian-heng.

Karena terpojok, Ih Thian-heng sukar untuk menghindar. Sambil mengelus jenggot, ia tertawa, “Kalau kenal lalu bagaimana?”

“Kalau saudara Ih sudah kenal padanya, lebih dulu aku harus minta maaf baru akan memberinya pelajaran. Tetapi jlka saudara Ih tak kenal, terpaksa hari ini aku membuka pantangan membunuh!”kata Ong Kwan-tiong dengan tandas.

Ih Thian-heng tersenyum, “Aku kenal….”ia berpaling ke arah pemuda baju putih itu dan tertawa nyaring, “Saudara Siong, silahkan kemari. Akan kuperkenalkan beberapa tokoh terkemuka dunia persilatan Tiong-goan pada saudara!”

Sambil berkipas-kipas, pemuda baju putih menghampiri dengan langkah bergoyang gontai.

Memang pemuda itu, kecuali Ih Thian-heng, tak ada yang kenal. Walaupun dadanya dihimpit kemarahan, tetapi Ong Kwan-tong tetap tenang, Hanya sinar matanya memang tak terhindar dari sinar kemarahan. Ia memandang lekat2 pada pemuda tak dikenal itu.

Sambil menunjuk kepada Ong Kwan-tiong, berkatalah Ih Thian heng;”Saudara Ong Kwan-tiong ini adalah murid pertama dari perguruan Lam-hay-bun….”

Walaupun mendendam kemarahan namun Ong Kwan-tiong tak mau meninggalkan kesopanan. Ia membungkukkan tubuh seraya memberi hormat. Tetapi di luar dugaan pemuda baju putih sombongnya bukan kepalang. Ia tetap menggoyang-goyangkan kipasnya tanpa berkata kata sepatah kata pun.

Ih Thian-heng kerutkan dahi. Menunjuk pemuda baju putih itu ia berkata, “Dan saudara adalah Hud Hua kongcu dari Kwan-gwa (luar perbatasan). Saudara berdua yang satu dari ujung utara dan yang satu dari ujung selatan. Sungguh tepat seperti yang dikata oleh pepatah, “Delapan penjuru dunia itu, satu adanya.”

Ong Kwan-tiong tertawa dingin, “Sudah belasan tahun aku tinggal di daerah Tiong-goan, tetapi selama ini belum pernah aku mendengar nama saudara.”

Selain sombong, pemuda baju putih itu amat tebal mukanya. Sindiran tajam dari Ong Kwan-tiong itu tak dapat memancing kemarahannya. Sambil berkipas-kipas, ia berkata pelahan-lahan, “Aku memang jarang keluar ke Tiong-goan. Maka sedikit sekali yang kenal padaku.”

Ong Kwan-tiong tiba-tiba maju selangkah, tegurnya dingin, “Tahukah Hud Hua kongcu, tempat apa disini ini?”

“Hutan belantara di puncak bukit. Sebuah tempat yang gersang. Apakah masih mempunyai lain nama lagi?”sahut pemuda itu.

“Aku tak kenal pada saudara, perlu apa saudara datang kemari!”bentak Ong Kwan-tiong dengan keras.

“Kudengar Lam-hay Ki-soh mempunyai seorang puteri yang teramat cantik jelita, bagaikan bidadari menjelma di dunia. Maka sengaja kuperlukan datang untuk membuktikan, yang mana lebih cantik dia atau isteriku?”sabut pemuda baju putih itu.

Saking marahnya gemetarlah tubuh Ong Kwan-tiong, “Sungguh seorang manusia yang tak punya mata! Masakan engkau berani mengucapkan kata-kata yang seliar itu!”

Hud Hua kongcu tertawa nyaring, “Di kalangan Air hitam dan Gunung putih, siapakah yang tak kenal akan namaku yang romantis. Bahwa aku sampai memerlukan datang, seharusnya dia berusaha untuk memikat, barulah tepat!”

Diam-diam Ong Kwan tiong sudah kerahkan tenaga dalam lalu berkata, “Manusia semacam engkau ini, hidup di dunia tiada guna apa-apa….”pelahan-lahan ia mengangkat tangan, siap hendak memukul.

Sekalipun gerakan mengangkat tangan itu amat pelahan, tetapi sekalian hadirin tahu bahwa pengerahan tenaga dalam itu benar-benar penuh sekali. Sekali dihantamkan, tentu bukan kepalang tanggung hasilnya.

“Harap saudara Ong berhenti dulu. Sukalah saudara mendengar sedikit kata-kata keteranganku,”tiba-tiba terdengar seseorang berkata. Dan ketika Ong Kwan-tiong berpaling ternyata yang berbicara itu adalah Ca Cu-jing, ketua marga Ca atau ayah dari Ca Cu-giok.

“Saudara hendak mewakilinya bicara?”tegur Ong Kwan-tiong.

Jago tua dari marga Ca itu batuk-batuk dua kali baru menyahut, “Nama dari Hud Hua kongcu ini, bukan saja saudara Ong sendiri, pun aku dan semua hadirin yang berada di sini memang belum pernah mendengar….”

Ia berhenti sejenak lalu berkata, “Orang yang sombOng, memang patut dibunuh. Masakan aku mau berbicara untuk membelanya. Hanya sebelum turun tangan apakah saudara Ong tak lebih baik menanyakan lebih dahulu, mengapa dia kenal bahwa sumoay saudara teramat cantik sekali?”

Diam-diam Ong Kwan-tiong membenarkan, “Ya, sumoay selama ini tinggal di luar lautan, jarang bertemu orang apalagi berkelana ke Tiong-goan pun baru yang pertama kali ini. Tetapi mengapa pemuda itu tahu kalau sumoay cantik jelita?”

Pada saat ia hendak menanyakan hal itu, tiba-tiba pemuda baju putih itu tertawa gelak-gelak, “Tak ada yang tak kuketahui, tak ada yang tak kudengar. Hal ini….”

Tiba-tiba terdengar seseorang menukas dengan tertawa dingin, “Tigabelas propinsi telah pengemis tua jelajahi, tak sedikit menjumpai manusia2 yang aneh dan sombong. Tetapi belum pernah selama ini pengemis tua malihat seorang manusia yang bermuka tebal. Baru hari ini pengemis tua mendapat pengalaman baru!”

Yang bicara itu bukan lain Pengemis-sakti Cong To. Dan ucapannya yang tajam benar tak dapat diterima oleh Hud Hoa kongcu. Sekonyong-konyong ia menggembor lalu menampar Cong To dengan kipas.

Gerakan pemuda itu hebat sekali. Ilmu kepandaiannya tak kalah dengan tokoh kelas satu Tiong-goan.

Cong To menghindar ke samping lalu balas menyerang sampai 8 kali. Suatu gerak serangan-berantai yang benar-benar mempesonakan. Memang sejak sama mempelajari isi kitab Tat-mo-cin-keng bersama Han Ping sewaktu terjeblus dalam lubang penjara air tempo hari, baik dalam ilmu pukulan maupun tenaga dalam, Cong To telah mempeloleh kemajuan yang mengejutkan orang.

Melihat gaya serangan Hud Hua kongcu sedemikian hebatnya, tahulah Cong To kalau pemuda itu mendasarkan kesombongannya karena kepandaian sakti. Tiba-tiba ia teringat akan seseorang. Maka ia segera melakukan serangan sekaligus 8 jurus. Dengan serangan kilat itu ia hendak memaksa lawan supaya mengunjukkan aliran ilmunya. Adakah pemuda ini benar-benar ajaran dari tokoh yang diduganya.

Tetapi pemuda itu melakukan gerakan yang aneh. Tubuhnya berputar-putar sangat cepat sambil beralih kedudukan kaki. Dan ternyata ia dapat menghindari ke 8 jurus serangan Cong To yang tak kalah derasnya dengan hujan mencurah itu.

Mereka bergerak dengan sebat dan terlalu cepat sekali sehingga tokoh-tokoh yang hadir tak sampai mengetahui jurus dan aliran kepandaian keduanya.

Diam-diam Ih Thian-heng kerutkan kening, membatin, “Rupanya beberapa tokoh terkemuka dalam dunia persilatan, masih belum padam ambisinya untuk merebut nama. Selain tidak bertambah loyo karena unsur tua, pengemis Cong To itu bahkan malah bertambah maju ilmu kepandaiannya Menilik kesimpulannya, tokoh dari It-kiong, Jikoh dan ketiga Marga itu tentu juga berusaha keras untuk meningkatkan ilmu kepandaiannya.”

Dalam pada itu, tampak Hud Hoa kongcu sudah melancarkan serangan pembalasan. Kipasnya menari-nari laksana sayap burung garuda yang menyambar lawan.

Sekalian hadirin tertegun. Mereka tak menyangka bahwa pemuda baju putih yang sombong itu ternyata memiliki kepandaian yang sakti.

Sambil menghindar dan balas menghantam, pikiran Cong To pun menimang-nimang, “Gerakan tubuh dan pukulannya tampaknya dari partai Tiang-pak-pay. Tetapi ada beberapa bagian yang lain. Jurusnya yang sama, kebanyakan sukar ditangkis. jika tempo hari aku tak mempelajari ilmu kitab Tat-mo-ih-kin-keng, hari ini aku pasti kalah.”

Memikir sampai di situ, diam-diam ia berterima kasih kepada Han Ping.

Cepat sekali kedua orang itu sudah bertempur sampai empat lima puluh jurus. Tetapi keadaannya masih tetap berimbang.

Perhatian seluruh hadirin mulai mencurah kepada pemuda baju putih itu. Mereka terkejut dan kagum akan kepandaiannya.

Sesungguhnya kerut wajah pemuda itu juga agak berobah. Rupanya ia pun terkejut karena pengemis tua dapat melayaninya sampai sekian lama.

Demikianlah pertempuran berjalan makin seru dan cepat. Masing-masing hendak merebut kesempatan untuk menguasai lawan. Dalam hati kecil kedua lawan itu, masing-masing mengakui bahwa baru pertama kali itu benar-benar bertemu dengan musuh yang setanding. Padahal menang kalahnya pertempuran saat itu, mempunyai akibat besar sekali. Maka keduanya pun makin ngotot sekali.

Tiba-tiba pemuda baju putih itu berseru, “Pengemis tua, engkau benar-benar tak bernama kosong. Sekarang cobalah engkau nikmati ilmu Tiga-kipas-pencabut nyawa ini!”

Cong To menjawab tertawa, “Apa yang engkau punyai, silahkan keluarkan semua!”

Tetapi walaupun mulut mengatakan begitu, diam-diam ia tak berani memandang rendah lawan. Dan ternyata serangan ilmu Tiga kipas-pencabut-nyawa itu memang bukan olah-olah hebatnya.

Cong To harus menghadapi dengan gerakan yang istimewa juga. Cepat ia merobah gaya gerakannya. Tangan kiri melancarkan pukulan Bintang-berputar-pindah, salah sebuah jurus istimewa dari perguruan Kim pay-bun. Tangan kanan bergerak menghantam dalam jurus Halilintar memancar-Se thian. Ilmu pukulan dalam pelajaran Tat mo-cin-keng.

kedua pukulan itu, yang satu bersifat keras dan penuh perobahan yang sukar diduga. Yang satu pelahan gerakannya tetapi mengandung tenaga-dalam yang hebat.

Sebelum Hud Hoa kongcu sempat mulai mengembangkan jurus Tiga-kipas-pencabut-nyawa, Cong To sudah hantamkan tangan kirinya ke kepala pemuda itu. Hud Hua Kongcu terpaksa menangkis dulu setelah itu baru memutar kipas untuk menutup dengan serangan Bintang-pindah alih dari Cong To. Dan serempak dengan itu, Hud Hua gunakan dua buah jarinya untuk menutuk jalandarah pergelangan tangan kanan si pengemis tua.

Hud-Hua kongcu memang hebat. Ia tahu bahwa jurus Halilintar memecah-langit-barat mengandung tenaga-dalam yang hebat. Bahkan mungkin jurus itu pun masih ada perobahan2 yang tak dapat diduga. Maka timbullah rencananya untuk mendahului menghindar gerakan lawan. Cepat ia gunakan jurus Melukis-naga-menutuk-mata, untuk mendahului menutuk pergelangan tangan lawan. Ia perhitungkan ancaman itu tentu akan memaksa pengemis tua menarik pulang pukulannya.

Memang perhitungan pemuda dari Kwan-gwa itu tepat sekali. Tetapi ia lupa bahwa pengemis Cong To yang dihadapinya itu sudah jauh berlainan dan beberapa bulan yang lalu. Sejak meyakinkan ilmu pelajaran dalam kitab Tat- mo-ih-kin-keng pengemis itu telah memperoleh kemajuan yang mengejutkan. Hud Hua kongcu kecele menilai kesaktian pengemis Cong To!”

Saat tutukan jari Hud Hua kongcu, Cong To hanya menekuk lengannya ke bawah sehingga pukulannya pun hanya menyurut mundur sedikit. Tetapi ia menyerempaki tekukan tangan itu dengan menghamburkan tenaga-dalam. Serangkum tenaga dalam yang tak mengeluarkan suara, segera melanda tubuh pemuda itu.

Hud Hua kongcu semula gembira karena tutukannya itu ia kira dapat memaksa lawan menarik tangannya mundur. Segera ia hendak melancarkan serangan jurus Tiga-kipas pencabut-nyawa. Tetapi belum sempat ia bergerak, tiba-tiba rasanya tubuhnya dilanda angin keras. Dalam terkejutnya, cepat-cepat ia kerahkan tenaga-dalam untuk bertahan. Tetapi terlambat. Seketika itu juga ia merasakan tubuhnya menggigil dan tanpa dapat dikuasainya lagi, ia terdorong mundur sampai tiga langkah.

Sekalian hadirin terbeliak kaget. Mereka benar-benar tak tahu jurus apakah yang digunakan Pengemis-sakti itu. Padahal jelas pengemis itu sama sekali tak bergerak memukul lawan. Mengapa pemuda lawannya tahu-tahu terpental ke belakang!

Kekalahan itu seketika menghapus kesombongan Hud Hua kongcu. Sambil melakukan pernapasan, ia menatap Pengemis-sakti Cong To, serunya, “Kepandaian saudara, benar-benar hebat. Kalau saudara mampu melayani Tiga-kipas pencabut-nyawa, aku segera mengajak anakbuahku pulang ke Kwan-gwa. Dalam tiga tahun takkan menginjak tanah Tiong-goan lagi!”

Cong To tertawa lepas, “Jangankan Tiga kipas, Sembilan kipas pun pengemis tua takkan mundur!”

Hud Hua kongcu tak mau berbantah. Selekas tebarkan kipas ia terus melangkah maju. Belum orangnya merapat, kipas sudah berputar-putar cepat sehingga tubuh pemuda itu seolah-olah terbungkus oleh bayangan sinar perak. Delapan penjuru empat kiblat, berhamburan sinar putih dengan deru angin keras, melanda Cong To.

Tiba-tiba terdengar pemuda baju putih itu menggembor keras. Gulungan sinar kipas itupun tiba-tiba menjadi satu, terus meluncur ke dada Cong To.

Perobahan itu bukan saja tak terduga-duga, pun merupakan suatu pengerahan tenaga untuk menutuk dada Cong To. Suatu serangan kilat dan mendadak yang sukar ditahan musuh.

Cong To terkejut sekali. Capat ia robah tangan kanannya dalam jurus Sungai-es-mulai-meleleh. Pukulannya dilancarkan dengan miring, menebas lengan kanan lawan.

Dia mendengar suara tertawa dingin dari Hud Hua kongcu. Tutukan kipasnya tiba-tiba berganti ditebarkan dan menghamburkan gulungan sinar perak lagi dari samping memapas dan atas menampar dan dari bawah menyapu. Gerakan yang penuh variasi dan sukar diduga-duga.

Cong To kembali terkejut dan cepat-cepat meloncat mundur. Tetapi betapapun cepatnya ia menghindar namun masih tetap terlambat. Kipas menampar bajunya dan baju pengemis yang sudah butut itu bertambah dengan sebuah hiasan lubang robekan yang memanjang.

Cong To menundukkan kepala memandang bajunya yang robek itu. Seketika berobahlah wajahnya. Ia mundur tiga langkah.

Tiba-tiba Nyo Bun-giau menyelutuk, “Ah, saudara Cong sudah menang lebih dulu. Menurut peraturan pertandingan dalam dunia persilatan, Hud Hua kongcu sudah harus kalah. Tetapi kalau dalam pertempuran mati-matian, itu lain lagi penilaiannya. Kalau sekali dua kali sampai lengah, itu sudah jamak.”

“Saudara Nyo memang benar,”Ca Cu-jing ikut berseru,”setiap orang memang mempunyai kekurangan dan kelebihan sendiri-sendiri. Kalau kebetulan kelebihan lawan itu justeru merupakan kelemahan kita, kita menderita sedikit kerugian, adalah sudah biasa. Memang sukar dihindari. Sedikit kesalahan itu, rasanya takkan sampai menghilangkan muka!”

Cong To tersenyum, “Ucapan kalian berdua memang bukan tak beralasan. Tetapi pengemis tua….”

Tiba-tiba Ih Thian-heng menyelutuk, “Ah, saudara Cong seorang ksatrya yang berjiwa besar. Selamanya tentu dapat membedakan mana budi mana dendam. Tak perlu kita kuatir apa-apa.”

Cong To tertegun, ujarnya, “Ah, soal itu pengemis tua benar-benar tak berani menerima….”

Nama Ih Thian-heng memang jauh lebih termasyhur dari tokoh-tokoh kedua lembah dan ketiga Marga. Di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan jago she Ih itu sampai memberi pujian tentulah mengandung maksud tertentu. Tetapi Cong To menganggap hal itu, tak ada apa-apanya.

Tiba-tiba Nyo Bun-giau batuk-batuk, serunya, “Ah, apakah ucapan saudara Ih itu tak terlalu menyolok? setiap orang dalam dunia persilatan, siapakah yang tak tahu bahwa saudara Cong To itu satu satunya orang yang menentang padamu.”

Berhenti sejenak, ia melanjutkan pula, “Adalah karena saudara dapat menutupi hal itu dengan baik maka tak sampailah teruwar keluar. Seluruh mata dan telinga umum dunia persilatan, termasuk kami dari Dua Lembah dan Tiga Marga, dapat terkelabui dan menaruh perindahan yang tinggi kepadamu….”

Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, “Bagaimana? Apakah sekarang kalian tak mengindahkan lagi kepadaku?”

“Engkau sendiri tak mau mempertimbangkan segala tingkah perbuatanmu. Apakah hal itu layak mendapat penghargaan orang?”sahut Nyo Bun-giau.

Seketika wajah Ih Thian-heng yang selalu berhias senyum itu tiba-tiba berobah dingin. Ditatapnya Nyo Bun-giau tajam2.”Kalau tak mau mengindahkan, lalu dapat berbuat apa terhadap diriku?”

Nyo Bun-giau tersenyum, “Hal itu, sukar dikata. Saudara telah menanam orang dalan setiap partai persilatan dan Dua Lembah serta Tiga Marga. Terhadap segala gerak gerik dunia persilatan, saudara tentu tahu jelas dan dapat memperhitungkan dengan tepat. Tetapi saudara pura-pura berlaku perwira dan budiman. Mengatur dan menyelesaikan kesukaran2 orang. Duduk bergoyang kaki menikmati sanjungan orang…”

Ih Thian-heng tertawa dingin, “Nyo Bun-giau, apakah engkau pernah melihat seorang Eng-hiong (orang gagah) marah?”

Dan sambil berkata itu, Ih Thian-heng melangkah ke tempat Nyo Bun-giau. Melihat sikap Ih Thian-heng yang penuh memancar sinar pembunuhan itu, mau tak mau gentarlah hati Nyo Bun-giau. Tiada seorang persilatan yang tahu sampai dimana kepandaian tingkat yang sesungguhnya dari Ih Thian-heng. Berpuluh tahun ini tak pernah ada orang yang bertempur mati-matian dengannya. Ih Thian-heng benar-benar merupakan seorang tokoh yang misterius. Baik ilmu kesaktiannya maupun sepak terjangnya!

Satu-satunya ciri khas yang termasyhur dari Ih Thian-heng itu ialah bahwa ia selalu berwajah seri dan mengulum tawa. Maka pada saat itu ketika Ih Thian-heng menarik seri tawanya dan memancarkan sinar pembunuhan, sikapnya memang mengerikan sekali.

Nyo Bun-giau pun diam-diam mengerahkan tenaga-dalam dan berpaling memandang Ca Cu-jing dan Leng Kong-siau di kanan kirinya.

Ca Cu jing dan Leng Kong-siau tahu apa maksud Nyo Bun-giau. Tentulah hendak minta bantuan.

Entah bagaimana, saat itu timbul suatu perasaan aneh dalam hati Leng Kong-siau maupun Ca Cu-jing. Semula mereka tak gentar kepada Ih Thian-heng. Tetapi entah bagaimana sesaat melihat wajah Ih Thian-heng yang memancar kemarahan, diam-diam kedua tokoh itupun tergetar hatinya.

Saat itu Ih Thian-heng melangkah pelahan-lahan dan berhenti di muka ketiga orang itu, serunya nyaring, “Nyo Bun-giau, majulah 3 langkah ke muka.”

Kata-kata itu amat berwibawa sekali. Seolah-olah mengandung suatu kekuatan yang tak dapat ditentang. Tanpa disadari Nyo Bun-giau pun menurut dan maju tiga langkah.

Tetapi orang she Nyo itu seorang tokoh yang banyak pengalaman. Selekas berdiri tegak. ia segera menyadari tindakannya yang keliru. Segera ia melambaikan tangan dan majulah Ca Cu-jing serta Leng Kong-siau. Kini ketiga tokoh itu tegak berjajar. Apabila Ih Thian-heng tetap hendak mengganas, mereka akan melawan bertiga. Setelah mengetahui sampai dimana kesaktian Ih Thianheng, barulah mereka akan menentukan siasat perlawanan.

Tampak Ih Thian-heng kerutkan alis dan berkatalah ia dengan nada berat, “Nyo Bun-giau, kusuruh engkau seorang maju tiga langkah. Dengar atau tidak? Mengapa engkau mengajak lain orang?”

Ditantang secara begitu sinis, seorang persilatan yang tak ternama sekalipun tentu tak dapat menahan kemarahannya. Apalagi seorang tokoh ternama seperti Nyo Bun-giau.

Tetapi ternyata orang she Nyo yang licik dan licin itu, pada waktu menghadapi ancaman maut, telah mengesampingkan gengsi dan nama. Sejenak merenung, ia berkata, “Saudara Ih tak perlu malu atau marah2. Sekalipun mau berkelahi, tetapi aku harus menyelesaikan kata-kataku tadi.”

Tiba-tiba Bwe Nio gentakkan tongkatnya dan berseru nyaring, “Dunia begini luas, kalau kalian hendak berkelahi, silahkan cari tempat dimana saja. Mengapa harus memilih tempat ini?”

Saat itu sebenarnya keadaan sudah gawat sekali. Ih Thian-heng sudah tak dapat dicegah lagi, kecuali terus berkelahi. Sedang Nyo Bun-giau walaupun tak mau, tetapi ia sudah terpojok. tak mungkin dapat mundur lagi.

Mendengar seruan nenek Bwe Nio itu, kedua tokoh itu seperti tersiram air dingin. Seketika tersadarlah mereka akan tujuan datang ke situ. Ialah hendak merebut Tusuk Kundai Kumala dan kotak pedang Pemutus Asmara. Barang siapa yang dapat menahan diri, tentu akan mendapat keuntungan.

Yang hadir dalam upacara pemakaman di situ, terbagi dalam tiga golongan Perguruan Lam-hay bun, Ih Thian-heng dan Nyo Bun-giau. Ketiga fihak, mempunyai kekuatan besar.

Tetapi fihak Ih Thian-heng dan Nyo Bun-giau, masing-masing mempunyai perhitungan yang sama. Mereka memperhitungkan untung ruginya kalau bertempur lebih dulu. Siapa yang bertempur lebih dulu, dia yang rugi. Oleh karenanya, kedua fihak itu sama mempertahankan diri dan berusaha untuk mengadu pihak yang lain dengan Lam-hay-bun lebih dulu.

Tetapi tadi cara Nyo Bun-giau membakar hati Ih Thian-heng tajam sekali sehingga menimbulkan kemarahan orang she Ih itu. Akibatnya, Nyo Bun-giau harus bentrok dengan Ih Thian-heng.

Andaikata nenek Bwe Nio tak campur mulut, pastilah kedua tokoh itu sukar untuk mundur.

Teriakan nenek itu telah menolong mereka. Seketika Ih Thian-heng tersadar dan reda amarahnya. Diam-diam ia menimang, “Sebenarnya aku harus dapat memenangkan suasana hari ini. Sayang dikacau Hud Hua kongcu. Tetapi memang kesediaan pemuda itu untuk membantu fihakku karena hendak menyaksikan kecantikan wajah dara baju ungu. Menilik gelagat, tempat ini sudah tak menguntungkan lagi. Lebih baik kuundurkan diri, kelak cari kesempatan untuk bergerak lagi!”

Maka berkatalah ia kepada Nyo Bun-giau, “Nyo Bun-giau, seumur hidup belum pernah aku marah kepada orang. Maka hatiku tak enak karena tadi aku tak dapat mengendalikan kemarahanku kepadamu…”

“Ah, akulah yang menyalahi saudara Ih karena bicara sembarangan saja ..”buru-buru Nyo Bun-giau menyambut.

Ih Thian-heng tertawa tawar, “Di dunia ini tiada seorang yang pernah menyalahi aku. Adakah saudara Nyo merasa kalau menyalahi aku?”

Nyo Bun giau tertegun. Sesaat ia tak dapat meraba kata-kata Ih Thian-heng yang sukar diraba maksudnya itu. Pada lain saat ia meminta penjelasan, “Apalah maksud saudara Ih?”

Ih Thian-heng tersenyum, “Dewasa ini belum pernah ada orang yang berani menyalahi aku….”— ia berputar tubuh lalu melambai kepada pemuda baju putih, “Saudara Siong, mari kita pergi!”katanya terus ayunkan langkah.

Setelah bertempur beberapa jurus dengan Cong To, barulah Hud Hua kongcu itu menyadari bahwa dunia persilatan Tiong-goan tak boleh dibuat main-main. Sikapnya yang congkak, menurun seketika. Tetapi dalam hati ia masih berat untuk meninggalkan si dara baju ungu. Maka ia hanya tegak termangu-mangu saja.

Sekonyong-koayong terdengar sebuah suara yang halus merdu, “Ih Thian-heng, jangan pergi. Aku hendak bertanya kepadamu!”

Karena Hud Hua kongcu tak mau diajak pergi, sebenarnya Ih Thian-heng marah. Tetapi ia tak dapat memaksa pemuda itu. Tetapi kalau meninggalkannya, ia merasa kehilangan seorang pembantu yang tangguh.

Panggilan si dara baju ungu itu dapat menyelamatkan kesukarannya. Segera ia berhenti dan berseru, “Apakah yang hendak nona pesan kepadaku?”

“Engkau berdiri terlalu jauh, datanglah lebih dekat. Aku hendak bertanya kepadamu!”seru si dara.

Ih Thian-heng kerutkan dahi. Terpaksa ia menurut perintah si dara. Ia berjalan di samping Hud Hua kongcu dan pemuda itu segera mengikuti di belakangnya. Ih Thian-heng berpaling dan deliki mata kepada pemuda itu tetapi tak dapat berbuat apa-apa.

Kira2 3 meter dari tempat si dara, barulah Ih Thian-heng berhenti Kemudian ia menanyakan pula apa maksud dara itu.

Dara baju ungu itu menghela napas, “Apakah engkau lupa akau perjanjian kita itu?”

Ih Thian-heng tertegun, pikirnya, “Mengapa ia hendak membicarakan rahasia itu di hadapan orang banyak?”

Cepat ia menyahut, “Nonalah yang lebih dulu tidak memenuhi janji, mengapa sekarang hendak mendamprat aku?”

“Dalam beberapa hari ini hatiku memang resah sehingga tak sempat memikirkan soal itu,”kata si dara.

“Adakah sekarang nona sudah tenang?”

“Sudah,”sahut si dara,”bahkan dalam sepanjang hidupku nanti takkan kacau lagi!”

“Ah, nona armat cerdas sekali. Segala tindakan nona memang sukar diduga orang.”

“Sudahlah, tak perlu omong yang tak berarti. Mari kita bicarakan soal2 yang penting,”kata si dara.

Tergetar hati Ih Thian-heng, pikirnya, “Huh apakah maksudmu? Hendak merundingkan siasat untuk menghadapi tokoh-tokoh dunia persilatan pada hal mereka sudah berada di hadapan situ. Bukankah itu sama artinya dengah memberitahu kepada mereka. Bukankah suruh meraka berjaga-jaga lebih dulu?”

Diam-diam Ih Thian-heng marah dan mendamprat dara baju ungu itu. Ia anggap dara itu hendak membuka rahasianya agar sekalian tokoh persilatan mengetahui siapa sesungguhnya Ih Thian-heng itu.

Namun dengan sikap setenang mungkin, Ih Thian-heng tetap tertawa, “Silahkan nona bicara, aku pasti mendengarkan dengan hormat!”

Karena wajah si dara itu tertutup oleh kain sutera warna hitam, maka tak dapatlah diketahui jelas bagaimana mimik wajah Hanya setelah sutera hitam itu bergetaran, terdengarlah dara itu berseru, “Dalam perjanjian kita itu, pertama ialah akan mengambil barang pusaka dalam makam tua. Pusaka2, Kupu2 Emas dan Tonggeret Kumala aku yang ambil, sedang emas permata menjadi bagianmu. Jika masih ada benda lainnya, kita nanti rundingkan lagi. Benar tidak?”

Ih Thian-heng batuk perlahan-lahan, sahutnya, “Apakah nona tak salah ingat?”

“Aku adalah manusia yang dapat mengingat paling tepat di dunia ini. Masakan salah?”

“Aku sudah tak ingat lagi,”kata Ih Thian-heng,”kalau nona dapat mengingat, tentulah takkan salah.”

Dari balik kerudung hitam terdengar gemerincing tertawa si dara.”Perjanjian yang kedua, entah engkau ingat atau tidak? Apakah perlu kuulangi juga?”

“Tak usahlah,”sahut Ih Thian-heng,”Perjanjian yang kedua itu dapat kuingat jelas!”

“Saudara Ih, apakah perjanjian kedua yang kalian adakan itu? Bolehkah kuikut mendengarkan?”tiba-tiba Hud Hua kongcu menyelutuk.

“Soal itu panjang sekali. Nanti saja akan kuceritakan semua kepada saudara,”sahut Ih Thian-heng.

Tiba-tiba dara baju ungu berbangkit dan menghampiri nenek Bwe Nio. Sandarkan kepala ke bahu nenek tua itu, si dara berkata, “Ih Thian-heng, siapakah pemuda baju putih itu?”

Sebelum Ih Thian-heng menyahut, pemuda baju putih ini pun sudah mendahului, “Aku tinggal di gunung Tiang-pek san. Ayahku terkenal di kalangan gunung hitam dan air putih….”

“Sudahlah, jangan bicara lagi!”tukas si dara,”apakah engkau hendak menghafalkan nama kakek moyangmu?”

Hud Hua kongcu terkesiap, serunya.”Lalu bagaimana aku harus mengatakan?”

Terdengar dara itu tertawa bergemerincing. Nadanya amat aneh. Tiada seorang pun yang tak terpikat hatinya. Hud Hua kongcu tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia lupa diri dan terus melangkah maju.

Tiba-tiba Ih Thian-heng maju mencekal lengan kanan pemuda itu, “Saudara Siong, mau kemana?”

“Nada suara ketawanya saja sudah cukup membuat orang kesengsem. Wajah dan warna kulitnya tentu lebih hebat lagi. Jika tak melihat wajahnya, bukankah aku akan kecewa seumur hidup?”

Wajah Ih Thian-heng agak berobah, katanya berbisik, “Saudara juga seorang keturunan keluarga tokoh silat yang ternama. Siapakah yang tak kenal akan nama ayah saudara sebagai datuk persilatan daerah Kwan-gwa? Adakah sedikit sikap untuk mengendalikan diri, saudara Siong tak tahu sama sekali?”

Melihat Ih Thian-heng mencengkeram lengan Hud Hua kongcu, lelaki jubah kuning cepat menghampiri dan membentaknya, “Lepaskan kongcu, apakah tak dapat engkau bicara dengan baik-baik!”

Saat itu si dara baju ungu sudah tak tertawa lagi. Perasaan sekalian hadirin serasa longgar lagi. Dalam pada itu diam-diam Nyo Bun-giau girang.”Bagus, bagus, si jubah kuning itu kasar dan berangasan sedang Hud Hua kongcu congkak dank tak tahu malu. Rasanya akan terjadi pertunjukan yang menarik.”

Ternyata cengkeraman Ih Thian-heng itu bukan sembarangan cengkeraman melainkan diserempaki dengan memijat jalandarah. Seketika itu Hud Hua kongcu baru tersadar dan cepat-cepat kerahkan tenaga-dalam. Tetapi secepat itu Ih Thian-heng sudah pindahkan tangannya ke jalan Beng-bun (belakang pusar). Dan kerahkan tenaga-dalam untuk menekan. Hal itu dimaksud sebagai suatu peringatan, kalau Hud Hua kongcu berani bertindak semaunya sendiri, Ih Thian-heng akan menghancurkan alat2 dalam tubuh pemuda itu.

Sesungguhnya, Hud Hua kongcu bukan orang jahat. Tetapi dia memang sudah terlanjur bermanja kecongkakan. Dengan mengandalkan pengaruh-ayahnya, ia malang melintang di daerah Kwantang. Ditambah pula karena ia sendiri memiliki kepandaian yang tinggi dan selama itu belum pernah ketemu lawan maka tingkah lakunya pun makin liar dan sombong.

Saat itu setelah dicengkeram Ih Thian-heng, barulah ia terkejut dan hendak memberi perlawanan. Namun sudah terlambat. Apa boleh buat, ia terpaksa menyerah dan pura-pura sikit.

Ih Thian-heng mengeluarkan sebutir pil, katanya tertawa, “Harap saudara Siong minum pil ini. Walaupun bukan obat dewa, tetapi pil ini dapat menyembuhkan segala penyakit.”

Tetapi Hud Hua kongcu sudah waspada. Ia gelengkan kepala, “Hanya sedikit tak enak badan, setelah beristirahat sebentar, tentu akan sembuh. Tak perlu minum obat.”

“Kita sebagai orang yang belajar silat, sebenarnya tahan akan perobahan hawa dingin maupun panas. Tetapi karena merasa sakit, tentulah agak berat. Baiklah saudara minum saja,”kata Ih Thian-heng sembari memperkeras cengkeramannya. Seketika Hud Hua kongcu rasakan jantungnya bergetar keras. Terpaksa ia menyambuti pil itu terus menelannya, “Terima kasih atas budi kebaikan, saudara!”

Ih Thian- heng tertawa hambar dan berpaling kepada si jubah kuning, “Kongcu-mu tak enak badan. Lekas bawalah ia beristirahat.”— diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam lalu tutukkan jarinya ke jalandarah darah Jiok-ti-hiat di lengan pemuda itu.

Tiba-tiba wajah Hud Hua kongcu berobah. Dua butir keringat menitik dari dahinya.

Si jubah kuning memang seorang yang jujur dan kasar. Mendengar Ih Thian-heng, ia anggap sungguh-sungguh. Dipandangnya wajah Hud Hua kongcu. Memang wajah kongcu itu mengucurkan keringat. Buru-buru ia berseru, “Kongcu, apakah engkau tak enak badan?”

Hud Hua kongcu hanya mendengus pelahan. Belum menyahut, Ih Thian-heng sudah cepat lepaskan cengkeramannya dan dipindahkan ke pinggang pemuda itu.

“Ah, karena tak enak badan, silahkan saudara Siong beristirahat dulu!”— diam-diam Ih Thian-heng pancarkan tenaga dalam. Seketika Hud Hua kongcu tergetar hatinya dan buru-buru menyahut, “Ah, memang aku merasa panas, mungkin terserang angin dingin!”

Ih Thian-heng tahu bahwa kepandaian pemuda itu amat tinggi. Pada waktu menutuk lengannya tadi, ia gunakan enam bagian tenaga-dalam. Dalam keadaan tak siap, sudah tentu Hud Hua kongcu tak dapat bertahan. Ia rasakan lengannya kesemutan, tulang2 berkisar, sakitnya bukan kepalang. Itulah sebabnya maka ia sampai mengucurkan keringat.

Ih Thian-heng tertawa, “Harap saudara Siong lekas jalankan pernapasan. Asal obat itu bekerja, tentu akan sembuh.”

“Terima kasih. Seumur hidup, aku pasti ingat dalam hati,”sahut Hud Hua kongcu.

“Ah, jangan sungkan dan harap saudara Siong lekas menyalurkan pernapasan,”Ih Thian-heng tertawa.

Hud Hua kongcu menurut. Ia segera duduk bersila dan mulai menyalurkan napas.

Tiba-tiba dari balik kain kerudung hitam, terdengar si dara baju ungu berseru, “Ih Thian-heng, engkau tertipu!”

“Apa?”Ih Thian-heng terbeliak.

“Hud Hua kongcu tak menelan pil pemberianmu tadi!”seru si dara.

“Tak mungkin!”Ih Thian-heng berpaling. Dilihatnya Hud Hua kongcu masih pejamkan mata.

“Jika tak percaya, suruh dia mengangakan mulut!”seru si dara pula.

Sahut Ih Thian-heng, “Selamanya aku selalu menaruh kepercayaan pada kawan. Bagaimana nona tahu kalau saudara Siong tidak menelan pil itu?”

“Kudengar dari ucapannya,” sahut si dara. “Dia tak sebodoh yang engkau kira. Dia memang sudah terbiasa bersikap congkak sehingga memandang rendah semua orang. Dan karenanya dia juga lengah. Setelah menderita dari engkau, dia sudah makin berlaku hati-hati!”

Sebagai seorang yang cerdik, cepat Ih Thian-heng menaruh kecurigaan. Ia berpaling ke arah Hud Hua kongcu, serunya, “Benarkah saudara Siong tak percaya kepadaku?”

Dengan tenang Hud Hua membuka mata, tertawa, “Aku sungguh kagum sekali kepada nona itu,” tiba-tiba ia berbangkit dan terus ludahkan pil tadi keluar.

Sekalipun amat marah tetapi wajah Ih Thian-heng tetap tenang. Ia menghela napas pelahan, “Mengapa saudara Siong tak percaya kepadaku….”

Hud Hua kongcu tertawa dingin, “Pada waktu meninggalkan rumah, ayah telah memberi dua buah pesan.”

“Apakah itu?” tanya Ih Thian-heng.

“Pertama, ayah mengatakan bahwa setiap tokoh persilatan Tiong-goan itu berhati licik, tidak dapat dipercaya!”

Ih Thian-heng mengelus jenggot, tertawa. “Ayah saudara memang amat mencintai puteranya. Ucapannya itu memang tak salah. Kaum persilatan memang susah diraba hatinya. Lalu bagaimana pesan yang kedua?”

“Pada waktu menderita luka, jangan sekali-kali mau menerima pemberian obat orang. Ayah bilang dalam dunia persilatan Tiong-goan terdapat gerombolan Lembah Setan yang pandai menggunakan obat bius. Sekali minum obat mereka seumur hidup tentu akan menjadi budak mereka.”

“Ah, hal itu tak boleh disama-ratakan,” bantah Ih Thian-heng, “pil yang kuberikan kepada saudara tadi, benar-benar obat yang mujarab sekali,” tiba-tiba ia maju dan menjemput pil yang disemburkan keluar oleh Hud Hua kongcu tadi, terus ditelannya.

Sekalian hadirin terbeliak. Pengemis-sakti Cong To menghela napas pelahan, serunya, “Apakah saudara Ih menelan pil itu?”

Ih Thian-heng hanya terseyum, tak menyahut.

Kembali si dara baju ungu berseru, “Ih Thian-heng, Hud Hua kongcu sudah membencimu.”

Sambil mengurut jenggot, Ih Thian-heng menyahut, “Apa yang kulakukan, adalah demi menjaga keselamatan diriku. Tentang orang suka atau tidak, itu bukan hakku untuk mengatasinya.”

Hud Hua kongcu tiba-tiba melangkah maju menghampiri si dara baju ungu. Kali ini Ih Thian heng tak mau merintangi lagi.

“Berhenti!”tiba-tiba Ong Kwan-tiong maju menghadang.

“Toa-suheng biarkanlah,” seru si dara.

Ong Kwan-tiong terkesiap, “Dia tak tahu aturan, mana boleh dekat pada sumoay?”

“Tak apa, harap toa suheng suka memberi jalan,” kata si dara.

Setelah bersangsi sejenak, Ong Kwan-tiong segera menyisih ke samping. Ia menghela napas pelahan, hendak bicara tetapi tak jadi. Namun dari kerut wajahnya dapatlah diketahui bahwa ia tak puas atas tindakan sumoaynya tetapi tak dapat berbuat apa-apa.

Setelah Hud Hua kongcu kurang dua meter dari tempat si dara, tiba-tiba nenek Bwe Nio gerakkan tongkatnya untuk menggurat tanah. Debu berhamburan menghalangi jalan Hud Hua kongcu.

“Berhenti di situ, lekas katakan apa yang engkau kehendaki!” bentak nenek itu.

Memandang ke muka, Hud Hua kongcu melihat dara itu dikawal oleh tiga orang yang bersikap bengis. Ketiga pengawal itu memandang berapi-api kepadanya. Jika ia berani berbuat sembarangan, mereka tentu akan menyerangnya.

“Engkau datang kemari, apa keperluan apa?” tegur si dara kepada Hud Hua kongcu. Nadanya lunak dan merdu, penuh keramahan.

Hud Hua kongcu serasa melayang semangatnya. Sikapnya yang congkak, lenyap seketika dan serta merta ia menjura memberi hormat, serunya, “Apakah dalam hidupku ini aku mempunyai keberuntungan untuk memandang wajah nona?”

Dari balik kain kerudung, terdengar suara tertawa gemerincing, “Hanya karena hendak melihat wajahku?”

“Selain itu, memang masih ada sebuah permohonan kepada nona,” kata Hud Hua kongcu.

“Bolehkah aku bertanya kepadamu dulu?” sahut si dara.

Hud Hua kongcu tertegun, serunya, “Baiklah, silahkan nona bertanya!”

“Selain hendak melihat wajahku. apa sajakah persetujuanmu dengan Ih Thian-heng datang kemari ini?” tanya si dara.

Tanpa banyak pikir menjawablah Hud Hoa kongcu, “Selain melihat wajah nona, aku akan membantunya mengambil pedang Pemutus-asmara dan Tusus Kundai Kumala dari nona.”

Pengakuan yang terus terang itu mau tak mau membuat Ih Tnian-heng meringis. Sekalipun dia seorang tokoh yang telah mengenyam pengalaman dari peristiwa2 besar, namun tak urung merah juga wajahnya saat itu.

Dalam keadaan tersudut di pojok, ia hanya batuk-batuk pelahan dan berkata, “Mungkin yang datang ke sini ini, kebanyakan tentu mempunyai tujuan.”

“Tak usah diterangkan!” tukas si dara, “sekalipun Hud Hua kongcu tak bilang, masakan aku tak dapat menduga!”

“Karena nonalah yang lebih dulu membocorkan perjanjian kita itu maka maafkanlah kalau aku bicara melanggar kepercayaan,” kata Ih Thian-heng.

Tiba-tiba Hud Hoa kongcu maju selangkah, serunya, “Sudah selesaikah pertanyaan nona?”

“Sudah!”

“Kedatanganku kemari, tujuan yang pertama-tama ialah hendak melihat wajah nona….”

Si dara tertawa, “Di hadapan sekian banyak orang sekalipun aku tak keberatan untuk mengunjukkan mukaku, tetapi tak sampai mukaku setebal itu!”

“Lalu maksud nona?” Hud Hua kongcu menegas.

“Nanti tengah malam, kita bertemu di puncak gunung sebelah muka itu. Kita nanti bercakap-cakap di bawah sinar rembulan, barulah menimbulkan suasana yang menggairahkan. Jika saat ini kubuka kain kerudungku, bukan hanya engkau seorang yang melihat. Bukankah akan merusak suasana?” kata si dara.

Kata-kata itu diucapkan dengan nada yang mesra serta merdu. Seketika perasaan Hud Hua kongcu melayang-layang. Berpaling memandang sekalian hadirin, ia berkata, “Baiklah, aku minta diri dulu sampai jumpa nanti tengah” – ia berputar tubuh terus angkat kaki.

Lelaki jubah kuning mengikuti di belakangnya.

Setelah Hud Hua kongcu pergi, nenek Bwe geleng-geleng kepala dan berbisik kepada si dara, “Nak, engkau bermain-main apa lagi? Mataku si nenek tua ini telah engkau tutupi!”

si dara sandarkan tubuhnya ke tubuh nenek Bwe dan membisiki ke dekat telinganya, “Bwe Nio, aku tertipu.”

“Siapa menipumu?” Bwe Nio terkesiap.

“Sudahlah tak perla kukatakan. Tiada gunanya. Sekalipun dia tak mati, akupun tak mau bertemu lagi,” kata si dara.

Sekalipun pelahan sekali si dara bicara, tetapi yang hadir di tempat situ adalah tokoh-tokoh persilatan sakti. Pendengaran mereka amat tajam sekali. Apalagi mereka memang mempunyai maksud untuk mencuri dengar. Maka pada saat si dara membisiki nenek Bwe, sekalian orang sama pasang telinga.

Ong Kwan-tiong mendengus. Tiba-tiba ia gerakkan kedua tangannya untuk menampar kian kemari. Tamparan itu dimaksud untuk menghapus gelombang suara si dara. Dan memang orange itu tak berhasil mencuri dengar pembicaraan si dara.

Rupanya nenek Bwe menyadari apa yang dimaksud si dara, “Nak, lebih baik kita lekas pulang ke Lam hay! Ayahmu serba bisa, mungkin dapat menyembuhkan….”

Tiba-tiba si dara tegakkan tubuh, tukasnya, “Tidak! aku tak mau pulang. Engkau pulang sendiri!”

Nenek Bwe terbentur batu. Ia menghela napas, “Hm, anak manja, apakah engkau benar-benar hendak menyiksa aku sampai mati?”

Dara itu tak menggubris nenek Bwe. Ia menghampiri Ih Thian-heng. Tetapi secepat itu Ong Kwan-tiong menghadangnya, “Kalau hendak bicara, baiklah sumoay menyampaikan dari sini saja…..”

Dara itu menghela napas, “Apakah engkau hendak mengurus aku? Apakah engkau merasa belum cukup mencelakai diriku? Lekas menyingkirlah!” Ong Kwan-tiong terkesiap. Dengan wajah merah terpaksa ia menyisih ke samping. Di hadapan Ih Thian-heng, dara itu berhenti, mengeluarkan kotak pedang Pemutus-asmara dan sejilid kitab.

“Kitab ini berisi petunjuk masuk ke dalam makam tua itu. Asal engkau menurut catatan yang kubuat dalam buku ini, tentu dapat masuk” katanya.

Ih Thian-heng terbeliak. Cepat ia menyambut terus memasukkannya ke dalam baju.

“Dengan begitu engkau tentu sudah lega bukan?”

Ih Thian-heng meringis. Tetapi ia tetap bersikap tenang dan paksakan diri tertawa, “Terima kasih atas budi kebaikan nona!”

Tiba-tiba dara itu berseru lantang, “Pusaka Tusuk Kundai Kumala dari Lam-hay-bun, kutaruh dalam makam baru ini. Siapa yang hendak mengambil, silahkanlah!”

Saat itu mata Nyo Bun-giau, Leng Kong-siau Ting Yan-san, Ca Cu-jing dan sekalian orang mencurah perhatian kepada Ih Thian-heng. Mereka tak tahu apa isi kitab itu. Tetapi yang jelas, kotak pedang Pemutus Asmara itu memang asli. Seketika timbul keinginan para hadirin untuk merebut benda itu.

Ih Thian-heng sejenak memandang ke sekeliling penjuru. Diam-diam ia berpikir, “Budak perempuan itu telah menyiarkan semua rahasia. Jika aku menyangkal, tentu akan ditertawakan orang.”

Secepat mendapat pikiran, iapun berkata, “Sudah tentu aku merasa amat bersyukur karena nona mau kembali menepati perjanjian itu. Entah kapankah kita akan berjumpa lagi?”

“Eh, engkau mau pergi?”

“Kupikir hendak minta diri dulu,” kata Ih Thian-heng.

“Apa engkau tak takut kalau orang lain akan merebut kotak pedang Pemutus Asmara itu….?”

“Seumur hidup, jarang aku berebutan dengan kaum persilatan. Tetapi bukan berarti aku seorang penakut. Tokoh persilatan yang menimbulkan rasa perindahanku, tidak banyak jumlahnya….”

Suatu ucapan yang congkak dan tekebur!

Ssi dara ganda tertawa, “Perlukah kusuruh orang mengawalmu?”

“Tak usah,” kata Ih Thian-heng terus berputar tubuh dan ayunkan langkah.

Nyo Bun-giau berpaling membisiki Ca Cu-jing lalu berseru nyaring, “Saudara Ih, harap berhenti dulu. Bagaimana kalau kita menjadi kawan?”

Ih Thian-heng, berpaling tertawa, “Saudara Nyo seorang, apakah tidak merasa lemah? Suruh mereka maju sekalian!”

Nyo Bun-giau tahu bahwa Ih Thian-heng hendak membikin panas hatinya agar Ca Cu-jing dan Leng Kong-siau ikut maju. Tetapi orang she Nyo itu juga seorang rase yang licin. Ia pura-pura tak mendengar. Bahkan malah tertawa meloroh, “Ho, baiklah, aku tentu menurut perintah saudara Ih….” — ia terpaling dan memanggil, “Saudara Ca, saudara Leng dan Saudara Ting, mari kita maju bersama.”

“Karena saudara Nyo mengundang, sudah tentu kami tak berani menolak!” Ca Cu-jing dan Leng Kong-siau serentak menyahut dan serempak maju.

Setelah beberapa tokoh itu tinggalkan tanah lapang, beberapa hadirin pun hendak ikut menyusup. Mereka berunding dengan berisik dan tampak hendak berangkat.

“Hai, kalian juga hendak pergi?” teriak si dara.

Di antara hadirin ada seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar. Mendengar kata-kata si dara itu, si tinggi besarpun berpaling menyahut, “Hai, apakah kami tak boleh pergi?”

Si dara tertawa melengking dan berseru, “Engkau benar. Kalian memang tak boleh pergi ..” — tiba-tiba ia mengangkat tangan dan berseru, “Tahanlah mereka!”

Rombongan penjaga baju hitam yang berdiri beberapa tombak dari tempat itu segera mengepung rombongan orang yang hendak pergi itu.

Diam-diam Cong To kerutkan kening, rupanya budak perempuan itu mempunyai maksud lain. Menilik gelagatnya, mungkin akan terjadi suatu pertempuran berdarah.”

Terdengar pula dara itu berkata kepada Ong Kwan-tiong, “Toa-suheng, harap menghitung mereka itu berjumlah berapa orang…”

Walaupun tak mengerti apa maksudnya, namun Ong Kwan-tiong melakukan perintah itu juga. Lalu melapor, “Semua masih 31 orang!”

“Pengemis tua itu sudah masuk dalam hitungan atau belum?” tanya si dara.

“Sudah!”

“Engkau, keluarlah!” seru si dara.

Cong To bersangsi sejenak lalu melangkah keluar dari kepungan, serunya, “Apakah maksud nona suruh pengemis tua keluar?”

“Cobalah engkau perintahkan orang-orang itu. Berapakah yang engkau kenal dan siapa-siapakah yang ilmu kepandaiannya paling baik sendri?”

“Tak peduli dia baik atau jahat, yang penting kukehendaki yang tinggi kepandaiannya!” kata dara itu pula.

Sejenak Cong To memandang ke sekalian orang-orang yang terkepung itu lalu berkata, “Mau apakah nona?”

“Engkau tak perlu tanya,” sahut si dara, “dan pilihkan buat aku 12 orang yang berkepandaian tinggi. Jika engkau tak dapat memilih, pilih saja beberapa orang!”

“Kalau nona tak mau menerangkan, maaf pengemis terpaksa tak dapat melakukan perintah!”

Tiba-tiba dara itu tertawa mengikik, “Engkau tak mau memilih, masakan aku tak punya akal? Hari ini akan kuperlihatan kepadamu sedikit ilmu kepandaian Lam-hay bun yang istimewa!”

“Apakah nona hendak membunuh semua tokoh-tokoh persilatan yang berada disini…..”

“Turun tangan membunuh orang, apanya yang harus dikagumi. Mana dapat menandingi ilmu istimewa dari Lam-hay-bun?”

Walaupun mulut tak berkata tetapi dalam hati, Cong To mendengus, “Huh, itu yang hendak kulihat!”

Tiba-tiba si dara mengambil tongkat nenek Bwe nio lalu meng-orat-oret di tanah. Berapa kejab kemudian, tampak sebuah lukisan yang indah sekali.

Sekalian hadirin kebanyakan pernah mendengar. Dalam pertempuran besar di gunung Hengsan dahulu, tokoh Lam-hay Ki-soh telah mendebat ilmu silat dari dunia persilatan Tiong-goan. Maka mendengar si dara hendak mempertunjukkan ilmu kepandaian istimewa Lam hay-bun, sekalian orang pun segera mencurahkan seluruh perhatian. Tetapi ketika melihat dara itu hanya menggurat sebuah lukisan, mereka heran dan memandang dara itu.

Dara itu tertawa pula, “Pengemis tua, di antara yang berada di sini, tentu engkaulah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Cobalah engkau kemari melihat-lihat gambar ini.”

Cong To melihat goresan ujung tongkat di tanah itu dengan seksama. Tetapi benar-benar ia tak tahu apa maksudnya. Mendengar perintah si dara, cepat ia melangkah maju seraya berkata, “Ho, memang sudah lama pengemis tua ingin menyaksilian ilmu kepandaian yang istimewa dari perguruan Lam-hay-bun!”

Ia berhenti lebih kurang satu setengah meter dari guratan di tanah itu lalu memandangnya lekat2.

“Tempatmu salah. Mungkin sukar untuk mengetahui dengan jelas!” seru si dara.

Cong To mendengus, “Huh, apakah melihat gam bar saja harus berdiri di tempat yang tertentu?”

“Benar” sahut si dara, “kalau tak percaya cobalah engkau melihat dari sebelah selatan!”

Walaupun hati enggan tetapi Cong To terpaksa menurut juga. si dara pun mengisar tubuh lalu gerakkan tongkat membuat sebuah lingkaran, katanya, “Engkau berdiri dalam lingkaran ini dan lihatlah!”

Wajah Cong To agak berobah, ujarnya, “Seumur hidup, baru kali ini pengemis tua diatur orang….” namun ia menurut perintah dan masuk ke dalam lingkaran.

Begitu memandang guratan di tanah itu, seketika perhatiannya melekat. Pengemis itu tampak terkesiap tercengang.

Cong To dikenal sebagai tokah sakti. Sudah tentu sikap Cong To itu menimbulkan keheranan sekalian orang. Merekapun segera mengisar langkah beralih ke samping gambar itu.

Si dara pun membuat belasan lingkaran di sekeliling gambar di tanah tadi. Serunya, “Menilik kepandaian kaian, tak mungkin kalian dapat menyelami rahasia gambar itu. Jika mau melihat, lihatlah dari dalam lingkaran ini!”

Memang sekalian orang tak percaya bahwa guratan di tanah itu mengandung hal yang istimewa. Tetapi kenyataan membuktikan bahwa seorang tokoh macam Cong To pun terpesona melihatnya.

Keinginan tahu mereka tak dapat dicegah lagi. Mendengar perintah si dara, mereka segera berhamburan melihat ke dalam lingkaran2 itu.

Dari dalam lingkaran itu mereka melihat bahwa di tengah guratan di tanah itu terdapat tulisan berbunyi, “Ilmu istimewa dari Lam-hay, menjentikkan jari menutuk jalandarah. Pikiran dan serangan bersatu, besar sekalilah kegunaannya!”

Memang corak daripada huruf2 itu melingkar-lingkar seperti kuntum bunga Teratai. Jika dilihat dari sudut yang salah, tentu sukar membacanya. Maka setelah masuk ke dalam lingkaran, barulah sekalian orang-orang itu dapat membaca jelas.

Kemudian mata sekalian orang itu menurun. Di bawah tulisan itu terdapat lukisan sebuah telapaktangan besar yang jari2nya separoh dijulurkan, separoh ditekuk. di sisi telapak tangan itu terdapat hurup. Ujung jari memancar tenaga-dalam.

Di bawah tulisan itu, tampak lukisan sebuah lengan dengan urat2 yang menonjol. Di sisi lengan itu terdapat beberapa huruf, berbunyi, “HAWA menyusup ke dalam Thay-yang-keng.”

Seperti orang bermimpi, tanpa disadari sekalian orang itupun segera mengerahkan hawa murni dalam tubuh mantle. Hawa itu dikerahkao masuk kedalam jalandatah Thay yang keng. Ah, tenaga murni mereka dapat dikerahkan masuk ke dalam ujung jari.

Mereka menyusur ke bawah lagi dan di situ tampak sebuah lukisan kepalan tangan di sisinya bertulis, “Kepalkan kelima jari pelahan-lahan.”

Karena kesengsem dengan ilmu yang aneh itu, tanpa sadar mereka menurut petunjuk gambar. Perlahan-lahan mereka sama mengepalkan tinju. Dan memandang ke bawah lagi, tanganpun menjulurkan dua buah jari, jari tengah dan jari telunjuk. Jari tengah ditindihkan ke jari telunjuk, dan di samping gambaran itu terdapat tulisan berbunyi, “Kerahkan semangat dan tenaga murni, tutup pernapasan, salurkan tenaga ke jari tengah dan telunjuk.”

Sekalian orang sudah terpikat oleh ilmu pelajaran dalam gambar itu. Maka tanpa disadari mereka pun segera menurut petunjuk itu. Menutup pernapasan lalu diam-diam kerahkan tenaga-murni.

Kemudian mereka menurutkan pandang mata ke bawah. Dan mereka hanya melihat 4 buah huruf, “Tutup rapat pernapasan”.

Lalu di bawahnya terdapat gambar sekuntum bunga Bwe-hoa dengan sampingnya terdapat tulisan. ‘Hitunglah kelopak bunga’.

Walaupun merasa bahwa menghitung kelopak bunga Bwe-hoa itu tiada gunanya, namun karena sudah menyadari bahwa apa yang ditunjukkan pada lukisan itu ternyata merupakan suatu ilmu kesaktian yang hebat, merekapun tak mau banyak berpikir lagi terus saja menurut untuk menghitung kelopak bunga.

Kelopak bunga itu dilukis amat ruwet. Walaupun tampaknya sederhana tetapi sukar juga untuk menghitungnya. Selesai menghitung, mereka rasakan dadanya sesak sekali. Ingin lekas2 menghembus napas.

Tetapi di bawah lukisan bunga itu terdapat tulisan: ‘Jangan mengeluarkan napas, atau sia2 latihan tadi.”

Orang yang berlatih, memang lebih tahan lama untuk menutup pernapasan. Melihat tulisan itu, terpaksa mereka paksakan diri untuk menahan napas. Lalu mereka memandang ke sebelahbawah lagi terdapat pula tulisan berbunyi: ‘Ulurkan pelahan-lahan lengan kiri.’

Sekalian orangpun menurut lagi. Mereka sama ulurkan lengan kiri ke sebelah kiri.

Dan memandang ke sebelah bawah lagi, terdapat sebuah lukisan, jari telunjuk dan jari tengah menjulur ke muka. Di sampingnya terdapat tulisan, “Setelah tenaga-murni terkumpul, pancarkanlah ke kiri.”

Saat itu dada sekalian orang sudah amat sesak sekali, hampir tak kuat menahan lebih lama. Bahkan kepalanya agak pening. Tetapi semangat dan perhatian mereka benar-benar terpikat oleh petunjuk itu sehingga lupa daratan. Mereka serempak menurut petunjuk dan jentikkan jari telunjuk dan jari tengah.

Garis lingkaran yang dibuat si dara itu, telah diatur menurut jarak yang tertentu. Sekalian orang yang menjulurkan lengan kiri, tepat seketika tiba di samping orang yang di sabelahnya. Dan gerakan tangan itu menggunakan sepenuh tenaga. Serentak terdengar suara bergedebukan dan tubuh2 yang rubuh. Dalam 34 orang itu, yang rubuh ada 32 orang. Hanya Pengemis-sakti Cong To dan seorang yang berdiri paling kanan, tidak rubuh.

Cong To tersenyum melihat lukisan2 itu. Baru setelah orang di sebelah rubuh ke arahnya, ia tersadar. Saat itu baru ia mengetahui kalau sekalian hadirin sama rubuh. Oleh karena seluruh semangat dan pikiran terpikat oleh gambar-gambar itu, sampai ia tak menyadari apa yang telah terjadi di sekelilingnya. Pengemis-sakti Cong To terlongong-longong…..

Begitu pula orang kedua yang tak rubuh itu, seorang lelaki pertengahan umur yang bertubuh tinggi besar, juga tercengang-cengang menyaksikan pemandangan saat itu.

Tiba-tiba terdengar si dara melengking tertawa, “Pengemis tua. bagaimana pendapatmu tentang ilmusilat perguruan Lam hay-bun?”

Pengemis tua itu menghela napas, serunya, “Nona memang seorang berbakat yang luar biasa. Pengemis tua sungguh kagum sekali!”

Si dara perlahan-lahan menghampiri, ujarnya, “Kaum imam dalam dunia persilatan Tionggoan, engkau termasuk seorang baik. Aku takkan menyulitkan engkau. Lekaslah engkau pergi!”

Sambil memandang kepada 32 jago2 silat yang rubuh di tanah itu, bertanyalah Cong To, “Entah hendak nona pengapakan mereka itu?”

“Engkau sendiri selamat, apakah belum cukup….?” si dara berhenti sejenak, lalu, “mereka datang kemari dengan membawa nafsu serakah. Ingin memperoleh kitab pusaka Lam-hay bun dan Tusuk Kundai Kumala Hendak kuberi sedikit hukuman. Biarlah mereka menjaga di sini selama tiga bulan!”

Tiba-tiba dara itu berpaling ke arah lelaki gagah yang tidak rubuh tadi, serunya, “Kuberi hukuman kepada mereka supaya menjaga makam ini selama tiga bulan, engkau menerima atau tidak?”

Rupanya lelaki itu gentar terhadap kecerdikan si nona, sahutnya tersipu, “Ini … ini….”

Dara baju ungu tertawa dingin, “Apa ini itu! Sekarang hanya tinggal dua pilihan. Silahkan engkau pilih. Menilik maksudmu yang mujur karena berdiri dalam garis lingkaran yang terdepan, maka kuanggap engkau sebagai pemimpin mereka. Jika ada yang tidak menurut perintah, bunuh sajalah. Sekarang silahkan engkau bicara selaku wakil mereka!”

“Dua pilihan yang mana?” tanya lelaki itu.

“Pertama, segera kuberi perintah untuk mencincang ke 32 orang itu. Sekalipun cara itu memang ganas, lebih rapi.”

“Yang kedua9”

“Yang kedua, akan kuikat kalian 33 orang ini dengan tali dari ulat sutera pada keliling makam ini. Karena dalam makam ini tersimpan mustika Tusuk Kundai Kumala dari Lam-hay-bun. tentulah banyak orang yang menginginkan. Kalau menjaga makam ini tetapi tak boleh mendekati makam. Tiga bulan kemudian aku akan melepaskan tali ikatan itu dan membebaskan kalian.”

Lelaki gagah itu tersenyum, serunya, “Ini, mungkin tiada orang yang akan menentang. Saat ini jiwa dari tiga puluhan orang itu berada dalam tangan nona….”

“Jangan memikirkan yang tidak2!” tiba-tiba dara itu menukas, “sampai tiba pada saatnya, menyesalpun tiada guna!”

Ia berpaling kepada nenek Bwe Nio, “ Pinjam tali ulat Thian-jan selama tiga bulan saja!”

Nenek Bwe agak meragu tetapi akhirnya ia mengambil sebuah kantong bersulam emas, diberikan pada si dara.

Cong To dan lelaki tinggi besar itu memandang lekat kepada si dara. Dara itu tengah mengambil segulung tali warna putih salju lalu diurai.

Cepat sekali gerakan tangan dara itu sehingga Cong To belum sempat melihat jelas, gulungan tali itu sudah terurai lalu dibuat menjadi 33 buah lingkaran. Setelah itu berpaling menyuruh si Bungkuk dan si Pendek, “Ikatlah leher mereka dengan Lingkaran tali ini….”

Si Bungkuk dan si Pendek segera melaksanakan perintah. Lingkaran tali ulat sutera itu diikat pada tubur ke 32 orang.

Tiba-tiba dara itu berseru nyaring, “Tariklah dari dua samping sekuat-kuatnya. Paling tidak harus menggunakan tenaga 100 kati!”

“Jangan nona!” tiba-tiba Cong To berseru gugup, “Bukankah dengan cara itu ke 32 orang itu akan mati semua?”

Si dara tertawa, “Jangan kuatir! Lingkaran tali kubuat sedemikan rupa sehingga tak sampai menjirat leher mereka. Pun tenaga tarikannya sudah kuperhitungkan. Kalau menggunakan 80 sampa 100 kati saja, barulah lingkaran itu akan menjadi ikatan mati. Dengan Leher diberi ikatan rantai tali, mereka tentu tak dapat bergerak leluasa. Sekalipun mempunyai ilmu menyurut tulang, pu tak mungkin mampu lolos. Tetapi kalau menggunakan tenaga 200 kati, lingkaran itu tentu akan menyurut kecil!”

Cong to menghela napas, “Mati hidup itu peristiwa besar, bukan mainan kanak-kanak. Sekali-kali nona tak boleh….”

“Tak apa!” tukas si dara, “kalau mereka sampai mati, akan kuganti jiwa!”

Tanpa banyak bicara si Bungkuk dan si Pendek terus melakukan perintah. Ketiganya memencar di kanan kiri lalu menarik tali dengan menggunakan tenaga 100 kati. Terdengar suara mendesis pelahan dan lingkaran tali itupun sama menyurut pada leher ke 32 orang itu.

Si dara berpaling kepada lelaki tinggi besar tadi dan berseru, “Lingkaran tali yang terakhir engkau boleh mengikatkan pada lehermu sendiri!”

Sejenak lelaki tinggi itu bersangsi tetapi akhirnya ia ulurkan tangan menyambuti tali terus dipasang di lehernya. Tanpa ditarik si Bungkuk dan si Pendek, ia terus mencarik lingkaran tali itu sendiri.

“Bagus, engkau benar-benar mengenal gelagat. Tali ulat sutera itu adalah salah satu Benda pusaka dari perguruan Lam-hay-bun. Jangan memandang rendah bahwa tali itu hanya sebesar dupa tetapi uletnya bukan alang kepalang. Tak mudah dipotong dengan sembarang pedang pusaka. Karena tali ini masih sisa panjang sekali maka sisanya itu akan kusuruh ikat pada tubuh mereka.”

Ia berpaling ke arah Ong Kwan-tiong dan lelaki kaki buntung, serunya, “Tolong suheng berdua membuka jalandarah mereka yang tertutuk itu!”

Kedua orang itu cepat loncat ke muka. Yang satu pakai tangan menampar, yang satu pakai kaki menyepak. Dalam beberapa kejab saja, ke 32 orang itu serempak tersadar dari pingsannya begitu merasakan lehernya terjirat tali, mereka terus hendak menariknya.

Sesunguhnya Pengemis-sakti Cong To itu memiliki hati nurani yang welas asih. Ia kuatir tarikan orang-orang itu bahkan akan mempererat ikatan tali. Buru-buru ia berseru menghentikan mereka.

Teriakan yang menggeledek dari pengemis tua itu mengejutkan sekalian orang. Merekapun berhenti.

Si dara baju ungu berseru nyaring, “Leher saudara berkalung tali ulat sutera. Kencangnya bukan kepalang. Tak mempan ditabas pedang. Kalau tak percaya. boleh mencobanya!”

Seketika ada beberapa orang yang mencabut senjatanya lalu merampas tali itu.

Senjata dari kaum persilatan, tentulah bukan senjata sembarang senjata. Walaupun bukan semua termasuk jenis pusaka, tetapi tentulah senjata mereka itu senjata pilihan yang amat tajam. Mampu untuk menabas batang pohon sebesar mangkuk.

Tetapi ketika ditabaskan kepada tali yang besarnya hanya seperti dupa, ternyata macet. Berpuluh-puluh tabasan pedang dan golok tajam, tak mampu memutuskan tali sutera itu!

Setelah orang-orang itu berhenti menabas, barulah si dara berseru, “Tali yang mengalung pada leher saudara itu, hanya tahan tarikan tenaga 200 kati. Kalau lebih dari itu, tali tentu akan menyurut kencang dan saudara-saudara pasti akan terjirat mati….”

Berhenti sejenak, ia berkata pula, “Ikatan yang kubuat itu, tiada orang ketiga di dunia yang mampu membuka. Jika nekat hendak membuka, sama dengan mencari kematian diri sendiri. Sekiranya tak percaya, silahkan mencobanya!”

Sekalian tokoh-tokoh persilatan itu sudah menyadari kelihaian si dara. Dan percobaan untuk menabas tali tadi, telah memberi bukti. Maka mau tak mau mereka percaya akan keterangan si dara.

Tampak kerudung hitam dara itu bergerak dan terdengarlah kata-katanya pula, “Sekarang kalian ke 33 orang itu, merupakan kawan sehidup-semati. Jika tali itu sampai tersambar orang lain dan orang itu menariknya dengan 200 kati, kalian beberapa orang tentu ada yang terjirat mati dan pasti akan mengganggu sekalian orang. Kalian merupakan sebuah kesatuan yang sehidup-semati. Dalam menghadapi gangguan orang luar, harus bersatu bantu membantu. Dan kalian harus menghilangkan rasa dendam satu dengan lain….”

Ucapannya itu lemah lembut nadanya dan dan penuh dengan perhatan. Sekalipun taruh kata dara itu bohong, tetapi karena cara membawakan kata-katanya begitu lembut, orang tentu sukar untuk tak percaya.

Kembali terdengar dara itu menghela napas panjang, katanya pula, “Saat ini ada sebuah masalah yang hendak memintakan bantuan kalian. Ialah hendak minta tolong kepada saudara-saudara untuk menjaga makam ini selama tiga bulan.

“Kalau dalam makam ini tersimpan Tusuk Kundai Kumla pusaka Lam-hay-bun. Sudah tentu akau berdatangan tokoh-tokoh persilatan lihay untuk berusaha mendapatkannya. Nah, saudara-saudara harus mengenyahkan mereka. Dan hendaknya saudara-saudara menyadari bahwa saudara-saudara sudah tambah dengan sebuah ilmu baru. Kalian sudah memiliki ilmu menutuk dengan jari dari jarak jauh. Cukup dengan ilmu itu saja, kalian sudah dapat menghadapi musuh yang tangguh. Jika kalian sungguh-sungguh mau bersatu dan serempak melakukan gerak tutukan jari itu, sekalipun tokoh-tokoh silat yang bagaimana saktinya, tetap tak mampu hendak maju selangkahpun juga….”

Kembali ia berhenti sejenak untuk menghela napas pelahan, lalu berkata, “Masih ada sebuah hal lagi. Aku hendak mengatakan dengan sejujurnya. Di antara kalian bila ada seseorang yang menderita luka parah atau binasa, harus cepat-cepat menabas kutung tubuhnya agar jangan sampai mengganggu kalian semua….”

Perintah yang kejam itu seolah-olah enak saja diucapkan si dara. Sehingga kedengarannya tak mengerikan. Tetapi jika direnungkan sungguh, perintah itu tentu menegakkan bulu roma.

Suasana hening lelap. Agaknya orang-orang itu tak tahu apa yang harus dikatakan. Mereka hanya memandang si dara.

Baju ungu yang dikenakan data itu, melekat pada tubuhnya yang langsing, pinggang ramping dan kulit yang putih seperti salju. Jari2nya runcing seperti duri landak, bahunya yang lempang bagai teraju. Tak dapat tidak, potongan tubuh begitu itu tentu dimiliki oleh seorang jelita yang amat rupawan sekali. Tetapi sayang, wajahnya tertutup oleh kain hiram sehingga tak dapat dinikmati kecantikannya.

Sekalipun tak dapat melihat wajahnya, namun seluruh tokoh persilatan yang berjumlah 33 orang itu sama mempunyai kesan bahwa dara baju ungu itu tentu seorang cantik jelita.

Kembali terdengar suara helaan napas pelahan dari mulut si dara yang terbungkus kerudung, “Waktu 3 bulan itu dalam kahidupan manusia tidaklah merupakan waktu yang berarti. Hanya dalam sekejap mata saja, kalian harus melewatkan hari-hari menjaga makam ini. Mungkin hal itu merupakan suatu istirahat pendek dalam kehidupan kalian. Cepat sekali waktu itu segeta akan berlalu….”

Tiba-tiba sebuah suara yang kasar dan gagah, menukas kata-kata si dara, “Waktu 3 bulan walaupun tidak lama tetapi habislah sudah riwayat hidup kami. Leher dijirat tali dan disuruh menjaga makam dari seorang yang tak terkenal sampai 3 bulan. Apabila peristiwa itu tersiar di luar, kami tentu tiada muka menegakkan kaki di dunia persilatan.”

Si dara tertawa melengking nyaring, “Kalau begitu, apakah nama dan peribadi itu benar-benar lebih penting dari jiwa? Kalau saudara-saudara memang beranggapan begitu, silahkan saja menempuh ajal kebinasaan.”

Sekalian orang tergetar hatinya dan serempak berpaling ke arah orang yang buka suara tadi. Mereka sama menyesali orang yang banyak mulut itu.

Si dara menghela napas rawan, ujarnya, “Aku tak mau memaksa kalian. Menjaga kuburan ini atau mati, terserah kalian hendak memilih.

Ia berhenti sampai lama untuk memberi kesempatan sekalian tokoh itu mengambil keputusan. Setelah itu baru ia berkata pula, “Jika memang tak mau menjaga makam ini, akupun tak berani memaksa. Silahkan kalian berdirilah!”

Tiada seorangpun yang tahu apa akibat dari kata-kata dara itu. Tetapi mereka menduga, kebanyakan tentu akan menyeramkan akibatnya.

Hanya orang yang buka suara itu, setelah memandang kian kemari lalu berbangkit pelahan-lahan. Mata sekalian orang tercurah kepada orang itu. Wajah mereka tampak tegang. Tetapi tak seorangpun tahu yang bakal terjadi.

Si dara baju ungu berbangkit lalu menghadap orang itu dan berdiri di mukanya, “Apakah engkau benar-benar tak takut mati?”

Pada waktu si dara mengayun langkah, nenek Bwe mengikuti lekat2 di belakang si dara. Walaupun kerut wajahnya cemas dan tampak tak setuju akan tindakan si dara, tetapi ia tak berani buka suara mencegahnya.

Wajah orang itu pucat lesi. Rupanya kematian telah terbayang di wajahnya. Tiba-tiba ia menghela napas panjang, serunya, “Berkelahi untuk menentukan siapa yang berhak hidup, bukanlah suatu peristiwa yang besar. Tetapi karena leherku terikat dan tak mempunyai kesempatan untuk melawan, maka akupun rela pejamkan mata menunggu ajal.”

Memang umumnya orang persilatan amat menjunjung gengsi dan nama. Walaupun jelas wajahnya menampilkan kecemasan maut namun mulut masih bersuara garang agar rasa takutnya tak diketahui orang.

Si dara tertawa, “Apakah engkau mempunyai anak isteri?”

Pertanyaan itu benar-benar di luar dugaan sehingga sekalian orang terpukau.

“Kalau punya lalu bagaimana?” sahut orang kasar itu.

“Jika engkau memang punya anak isteri, segera akan kubebaskan pulang!”

“Sungguh?” orang itu heran.

“Kapankah aku pernah bicara bohong…? tetapi…..”

“Tetapi bagaimana?”

“Engkau harus lebih dulu menjawab pertanyaanku tentang anak isterimu itu!”

Orang itu merenung sejenak. “Punya!”

“Berapa umur anak perempuanmu tahun ini?”

Sepintas pandang tanya jawab itu seperti dalam suasana kekeluargaan. Suatu hal yang benar-benar membuat sekalian orang heran.

Orang itu bersangsi sejenak, lalu berseru, “Puteriku? Tahun ini berumur 13 tahun!”

Tiba-tiba dara itu mengangkat tangan kanannya sehingga tali yang mengikat leher orang itu bergetar. Lalu berkata pelahan, “Lekas gunakan tenaga untuk membuka lingkaran tali pada lehermu!”

Orang itu menduga si dara hendak mempermainkan dirinya. Sekonyong-konyong ia menggembor keras, “Toh aku pasti….” — kata-kata itu diserempaki dengan menghantam ke arah kepala si nona.

Terdengar suara tertawa dingin dan nenek Bwe Nio yang berdiri di belakang si dara, secepat kilat segera julurkan tangan kananya menyongsong pukulan orang itu. Terdengar jeritan keras dan tubub orang itupun terhuyung-huyung dua langkah lalu jatuh terduduk.

Si dara berpaling kepada nenek Bwe Nio, “Lepaskan tali pada lehernya!”

Bwe Nio memandang dara baju ungu itu. Mau bicara tetapi tak jadi. Tetapi ia lakukan juga perintah si dara dan membuka tali ikatan leher orang itu.

Dan sebelum nenek Bwe sempat bertanya, si dara sudah mendahului, “Bwe Nio, urutlah uratnya yang engkau lukai itu supaya berjalan lancar lagi. Dan bebaskan dia!”

Terhadap tingkah laku si dara yang sebentar ganas sebentar baik itu. Nenek Bwe benar-benar bingung. Tetapi ia tak berani membangkang. Setelah menghela napas, ia menegas lagi, “Nak, apakah benar-benar engkau suruh aku membuka jalan darahnya!”

“Bwe Nio, harap jangan hanyak tanya dan lalukan permintaanku,” sahut si dara.

Bwe Nio tertegun lalu menampar jalandarah orang itu. Segera orang itu berbangkit dan tercengang memandang si dara, “Apakah nona sungguh-sungguh hendak membebaskan aku?”

si dara kibaskan tangan, “Sekarang engkau boleh pergi!”

Tiba-tiba orang itu menjura memberi hormat, serunya, “Budi yang kuterima hari ini, akan kuukir dalam hati. Kelak apabila memerlukan tenagaku, aku pasti akan membalas dengan sepenuh jiwa raga!”

“Pergilah lekas, jangan banyak omong!”

Orang itu tundukkan kepala. Setelah merenung beberapa jenak, ia mengangkat kepalanya lagi dan memandang ke sekeliling hadirin. Tiba-tiba ia tegakkan tubuh, serunya, “Harap nona suka memasang tali itu pada leherku lagi! Aku tak jadi pergi.”

“Itu kemauanmu sendiri, jangan sesalkan aku!”sahut si dara.

“Sudah tentu takkan menyesali nona!” kata orang itu.

Si dara pun segera mengambil tali dan memasangkan lagi di leher orang itu. Katanya sambil tertawa. “Kutahu engkau tentu akan suka tinggal di sini.”

Saat itu tiba-tiba Cong To teringat bahwa Han Ping masih bersembunyi di atas pohon. Segera ia memberi salam kepada dara itu, “Pengemis tua akan pamit!”

Dara itu amat sungkan kepada pengemis Cong To. Ia agak membungkukkan tubuh balas menghormat, “Maaf, tak dapat mengantar.”

Cong To segera ayunkan langkah dan menuju ke batang pohon di puncak gunung. Han Ping meluncur turun dari pohon, serunya, “Lo-cianpwe, mari kita omong2 di sini.”

Cong To menghampiri dan menghela napas pelahan, ujarnya, “Selama berkelana dalam dunia hingga sampai setua ini, belum pernah pengemis tua kagum terhadap orang. Tetapi pada saat umur pengemis tua sudah mendekati lubang kubur begini, barulah aku tunduk pada dua orang anakmuda.”

“Siapakah yang membuat lo cianpwe begitu kagum?” tanya Han Ping heran.

Cong To tertawa lebar, “Apakah engkau benar-benar tak tahu? Atau memang pura-pura tak tahu?”

“Sudah tentu tak tahu sungguh-sungguh!”

“Kedua orang itu saat ini berada dekat dari sini,” kata Cong To tertawa.

Han Ping memandang ke sekeliling. Sesaat ia seperti tersadar, tanyanya, “Apakah dara baju ungu dari Lam-hay-bun itu?”

“Keagungan dara itu, baru pertama kali ini pengemis tua bertema dengan orang yang seluar biasa itu. Benar-benar seorang insan yang luar biasa pintar. Setiap tindakannya, tiada seorang pun yang dapat menduga. Ai, pengemis tua tak dapat tidak tunduk padanya!”

Han Ping tertawa, “Kecuali cerdik, mulutnya juga lihay sekali. Bisa berkata, bisa mengomong rangkaian kata-kata yang membuat orang bungkam.”

Tiba-tiba Cong To memandang lekat pada wajah anakmuda itu, katanya, “Dan masih ada seorang anakmuda lagi yang pengemis tua kagumi. Tahukah engkau?”

Han Pirg merenung sejenak, katanya, “Apakah lo-cianpwe maksudkan puteri dari marga Siangkwan itu?”

Cong To gelengkan kepala tertawa, “Walau-pun kepandaian anak perempuan Siangkwan Ko itu tinggi tetapi rasanya hampir sudah mendekati puncak bakatnya. Apalagi dalam gemblengan seorang guru yang sakti, sudahlah wajar kalau memperoleh kemajuan besar!”

Han Ping tertawa menyengir, serunya, “Apa lo-cianpwe maksudkan diriku?”

Cong To tertawa gelak-gelak, “Benar! Atas kemajuan ilmu silatmu, aku benar-benar merasa heran sekali. Setiap hari, setiap bulan selalu bertambah hebat. Suatu hal yang menyimpang dari keadaan biasanya yang terdapat dalam belajar silat….”

Ia menghela napas pelahan lalu melanjutkan pula, “Pada waktu kita bersama dalam penjara air di Hian-bu-kiong, engkau telah memberi pengemis tua banyak sekali ilmu pelajaran silat secara lisan. Kesemuanya itu merupakan ilmu pelajaran yang paling dimimpikan oleh setiap orang persilatan…..”

Han Ping tersenyum, “Aku masih dapat mengingat banyak sekali. Sekiranya lo-cianpwe suka, akan kututurkan sampai habis….”

“Cukup, sudah cukup!” buru-buru Cong To berseru, “apa yang kudapat dalam penjara air itu, tak habis kugunakan seumur hidup.”

Pengemis sakti itu merenung beberapa saat. Tiba-tiba ia bertanya, “Ada sebuah hal yang pengemis tua tak mengerti.”

“Soal apa?” Han Ping terkejut.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar