Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 18 : Duel

Jilid 18
Han Ping dan Ih Seng heran melihat perubahan wajah dan sikap Kim Loji. Tetapi belum sempat bertanya, Kim Loji sudah mengajak Han Ping berjalan lagi.

Melihat wajah paman gurunya itu mengunjuk kerut ketakutan, Han Ping tak berani bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti berjalan di belakangnya.

Ih Seng seorang persilatan yang banyak pengalaman. Ia duga Kim Loji tentu menyimpan sesuatu. Ia memandang ke seluruh dan ah . . . . benarlah. Pada tanah rumput yang terpisah empat lima tombak jauhnya, tampak sebuah piagam yang berkilat-kilat memancarkan cahaya perak. Kecuali itu, tiada terdapat apa-apa lagi.

Ketika berpaling ke muka, Kim Loji dan Han Ping sudah jauh beberapa tombak di muka. Seketika timbul pikirannya untuk melihat piagam itu.

Cepat ia berbalik tubuh dan loncat ke tempat piagam itu. Dalam dua kali loncatan saja, ia sudah tiba di sebelah benda itu. Ketika mengamati, ternyata piagam perak itu terdapat ukiran gambar sebatang tulang putih. Diangkatnya piagam itu, ah, berat juga. Rupanya terbuat daripada bahan perak murni.

Saat itu Kim Loji dan Han Ping sudah berjalan belasan tombak jauhnya. Ih Seng tak sempat memeriksa lebih teliti lagi. Cepat ia masukkan piagam itu ke dalam saku lalu bergegas menyusul kedua orang itu.

Tetapi ternyata Kim Loji berjalan makin pesat. Dia tak pernah berpaling ke belakang walaupun sebentar saja. Sikapnya seperti orang yang dikejar setan. Terpaksa Han Ping dan Ih Seng mengikutinya saja.

Tak berapa lama, tibalah mereka di tepi sebuah hutan. Pada saat itu Ih Seng segera mengeluarkan piagam perak tadi dan bertanya kepada Kim Loji : "Bukankah Kim locianpwe melihat benda ini ?"

Piagam itu kecil bentuknya. Kecuali ukiran tulang putih, tak ada lain-lain hal yang istimewa. Tetapi begitu melihat benda itu, seketika berubahlah wajah Kim Loji. Dahinya mengucurkan keringat dingin.

Sudah tentu Han Ping heran. Meminta benda itu dari Ih Seng, ia berkata : "Apakah yang istimewa dengan benda ini sehingga paman ketakutan ?"

Sambil menatap piagam kecil itu, Kim Loji menyahut : "Balik dan periksalah piagam itu !"

Han Ping menurut. Di balik piagam itu terdapat dua baris kata, berbunyi :

Piagam pencabut nyawa

Siapa melihat, mati.

Kecuali tulisan itu tak ada lain-lain tanda yang mencurigakan lagi.

Tiba-tiba Ih Seng tertawa : "Uh, sungguh heran. Adakah kalian juga terkena peraturan itu ? Ah, hanya Ih Thian Heng yang tahu. Kusaksikan sendiri, dalam waktu semalam saja ia sudah cepat menyebarkan 6 buah piagam. Sebelum terang tanah, tiada seorangpun dari keenam orang itu dapat lolos dari peraturan piagam. Masuk ke dalam sarang ular dan digigit mati oleh ular beracun . . . ."

"Ji siangkong, lepaskan. Itu, itu . . . . piagam beracun !" tiba-tiba Ih Seng memekik keras.

"Paman," bisik Han Ping, "apakah yang engkau pikirkan ?"

Kim Loji hentikan langkah lalu berputar tubuh perlahan-lahan. Ketika memandang wajah pamannya itu kejut Han Ping bukan kepalang.

Wajah Kim Loji tampak berwarna biru gelap, keringat membanjir deras. Rupanya seperti orang yang menderita kekagetan hebat.

"Kim Locianpwe, mengapa engkau ?" seru Ih Seng.

Kim Loji mengambil saputangan, mengusap peluhnya : "Anak Ping, aku hanya dapat hidup sampai setengah hari saja ! Nanti sebelum malam tiba, aku tentu sudah mati secara mengenaskan sekali."

"Mengapa ?" Han Ping terkejut.

Perlahan-lahan Kim Loji berpaling memandang empat penjuru lalu duduk. Ia pejamkan mata bersemedhi. Tak herapa lama wajahnya agak merah. Ujarnya : "Karena kupernah melihat piagam maut dari Ih Thian Heng itu. Barang siapa melihat, tentu akan mati !"

"Masakan begitu ?"

Kim Loji tertawa hambar, ujarnya : "Piagam maut itu selalu dibawa oleh Ih Thian Heng. Kecuali dia, tak boleh lain orang menjamah piagam itu. Sekali piagam itu muncul tentu ada orang yang mati. Dalam waktu 4 jam. Orang yang melihat piagam itu akan mati terputus tubuh atau segera menerima kematian digigit kawanan ular beracun. Hukuman itu tiada yang melebihi ganasnya !"

Diam-diam Han Ping menimang. Ia heran mengapa orang yang selalu menghias kulum senyum di bibir dapat melakukan hukuman yang begitu ganas.

Han Ping cepat berputar tubuh dan mengamati diri Ih Seng. Ah . . . . ternyata tangan kiri Ih yang mencekal piagam tadi, mulai menguap hitam.

"Anak Ping dan saudara Ih, lekas salurkan tenaga murni untuk menutup seluruh jalan darah dalam tubuhmu. Jangan sampai racun menjalar ke dalam tubuhmu . . . ."

Sekonyong-konyong dari dalam hutan, terdengar suara orang berseru dengan dingin : "Ah, sayang sudah terlambat. Piagam perak itu memang dilumuri racun yang tiada bandingan keganasannya. Sekali menjamah piagam, racun segera melekat pada tubuh. Jika ingin selamat, lekas kutungilah lengan yang digunakan mengambil piagam tadi !"

Ketika menunduk dan memeriksa, Ih Seng dapatkan lengan kirinya menghamburkan asap hitam, yang merayap ke atas. Kejutnya bukan kepalang.Bburu-buru ia kerahkan tenaga dalam untuk menutup jalan darah lengannya itu. Sambil mencabut pedang, ia membentak : "Hai, siapakah yang main sembunyi seperti setan itu ?"

Han Ping lain lagi tindakan. Cepat ia sabitkan piagam itu ke arah orang yang berseru dari dalam hutan itu. Habis melontar, cepat ia menerjang ke dalam hutan.

Piagam itu melayang ke arah semak belukar yang lebat, terus lenyap. Serempak itu Han Pingpun tiba. Sebelum kaki menginjak tanah, ia lepaskan sebuah hantaman ke arah semak itu.

Pukulan pemuda itu dapat menyiak semak belukar. Ia percaya orang yang bersembunyi dalam semak itu pasti terpaksa keluar. Bila orang yang tak diketahui itu muncul keluar, ia akan berusaha meringkusnya dan memaksanya supaya memberi obat penawar racun untuk Ih Seng.

Tetapi ternyata tiada seperti yang diharap. setelah tersiak ke samping, semak rumput itu pun mengatup lagi. Tetapi orang yang berseru tadi tak kelihatan batang hidungnya.

Semak rumput itu selain amat lebat juga rumputnya tumbuh setinggi orang. Sampai dua tiga tombak Han Ping menyusup ke dalam semak, tetap orang tadi tak tampak. Diam-diam ia heran, pikirnya : "Jelas orang yang bicara tadi, berasal dalam semak ini. Masakan aku salah dengar ? Dan karena semak ini amat lebat sekali, setiap orang melakukan gerakan, walaupun memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, tetap tentu menerbitkan suara. Tetapi aneh sekali. Mengapa orang itu lenyap tak berbekas . . . ."

Tiba-tiba ia mendengar pada jarak dua tombak di sebelah kiri, bunyi gerakan rumput kering yang cukup keras. Cepat ia menggerung seraya apungkan tubuh ke udara. Di tengah udara ia berputar tubuh lalu melayang ke arah tempat itu.

Cepat sekali Han Ping bergerak. Ia tiba selagi semak rumput itu masih bergerak-gerak. Tetapi aneh benar. Disitupun Han Ping tak melihat barang seorang manusiapun juga. Seketika meluaplah amarahnya.

"Main sembunyi seperti tikus, bukankah laku seorang lelaki !" teriaknya seraya gerakkan sepasang tinju.

Dess . . . . deru angin pukulan itu berhamburan memenuhi empat penjuru. Memang tenaga saktinya sekarang, sudah mencapai tataran yang tinggi. Ranting dan daun-daun berhamburan keempat penjuru.

Setelah melepaskan 20 pukulan, barulah ia berhenti. Rumput-rumput kering seluas setombak, telah bersih semua sehingga terbuka sebuah tanah kosong. Namun orang itu tetap tak kelihatan.

Pada saat ia terbenam dalam keheranan, tiba-tiba ia mendengar suara mendesah tertahan. Ia tersentak kaget, pikirnya : "Celaka ! Mereka telah gunakan siasat untuk memikat aku kemari dan kemudian turun tangan kedua orang itu . . . ."

Cepat ia loncat keluar. Ketika keluar dari gerumbul semak, astaga ! Kim Loji dan Ih Seng lenyap !

"Paman !" teriaknya segera memburu ke tempat Kim Loji beristirahat tadi.

Ah . . . . Ih Seng menggeletak di tanah. Matanya menutup, pedang perak dan kipas besi terkapar di sisinya. Tetapi Kim Loji tak tampak.

Ketika memeriksa, nyatalah Ih Seng ditutuk jalan darahnya. Buru-buru ia menolongnya.

Ih Seng menghela napas panjang, ujarnya : "Kim locianpwe dibawa orang, lekaslah siangkong mengejarnya !"

"Ke arah mana ?"

"Ke utara . . . . dari arah kita datang tadi !"

"Kalau begitu tentu kembali ke gedung Ih Thian Heng lagi . . . ." sekali loncat, Han Ping terus lari ke utara. Kira-kira dua li jauhnya, tiba-tiba ia mendapat pikiran. Ia hentikan larinya lalu loncat ke atas sebatang pohon besar. Dengan bergelantungan pada dahan, ia ayunkan diri ke atas puncak.

Saat itu matahari sedang bersinar terang benderang. Dan dari ketinggian puncak pohon itu dapatlah ia melihat jelas keseluruh penjuru. Tak jauh di jalanan sebelah barat, tampak sebuah kereta tengah meluncur. Kecuali kereta itu, tak ada lain benda lagi.

Cepat ia melayang turun ke bumi lagi. Pikirnya : "Empat penjuru daerah ini terdapat banyak gerumbul rumput yang lebat dan dapat dipergunakan bersembunyi. Jika dia bersembunyi, tentu sukar mencarinya . . . ."

Saat itu barulah ia menyadari bahwa di dunia memang terdapat banyak hal yang sulit. Hal yang tak selalu dapat dipecahkan dengan mengandal kepandaian ilmu silat saja.

Ketika berpaling ke belakang, dilihatnya Ih Seng tengah berjalan mendatangi dengan langkah terhuyung-huyung.

Buru-buru ia menyongsongnya : "Apakah lukamu amat parah ?"

Ih Seng menggeleng : "Memang saat ini darah masih belum lancar tetapi mungkin sehari saja tentu sudah baik. Apakah siangkong sudah melihat jejak Kim locianpwe ?"

"Belum !"

Ih Seng merenung beberapa saat, ujarnya : "Urusan sudah sampai begini, terburu-burupun tiada gunanya. Sekeliling tempat di sini penuh dengan gerumbul rumput. Mereka dapat menyembunyikan diri dengan leluasa dan sukar dicari. Rasanya hanya menuju kembali ke gedung itu untuk mendapatkan Ih Thian Heng."

Sambil memandang ke langit, Han Ping berkata seorang diri : "Jika ia berada di sini tentu dapat memikirkan daya."

"Siapakah yang siangkong maksudkan ?" tanya Ih Seng.

"Nona Ting Ling dari Lembah Raja setan itu. Dia cerdas dan cermat. Banyak akal dan dapat memperhitungkan sesuatu dengan tepat."

Mendengar itu diam-diam Ih Seng penasaran. Masakan dia seorang tokoh yang kenyang berkecimpung dalam dunia persilatan, kalah dengan seorang anak perempuan saja ?

Segera ia berdiam diri memutar otak. Tetapi kecerdasan itu memang pembawaan otak sejak dilahirkan. Umur dan pengalaman walaupun menambah luasnya pengetahuan, tetap tak dapat membantu mengembangkan kecerdasan. Oleh karenanya, walaupun sudah berpikir sampai setengah hari, dia tetap belum mampu menemukan daya upaya.

Karena sampai sekian lama menunggu, Han Ping tak sabar dan segera menegurnya : "Saudara Ih, bagaimanakah orang yang menyerang itu ?"

Ih Seng tertegun. Wajahnya merah kemalu-maluan, sahutnya : "Belum sempat kulihat, orang itu sudah mendahului menutuk jalan darahku. Yang dapat kuketahui hanya dua sosok bayangan berpakaian biru, menyanggul golok . . . ."

Kata Han Ping dengan tegas : "Harap saudara Ih mencari tempat beristirahat yang sepi untuk merawat luka. Besok siang kita bertemu lagi di sini. Jika aku tak datang, berarti terjadi sesuatu. Harap saudara Ih pulang dan lanjutkan memegang kedudukan pemimpin kaum Rimba Hijau di daerah saudara !"

"Bagaimana mungkin ? Aku sudah memutuskan untuk ikut kepadamu . . . ."

Han Ping menghela napas : "Engkau ikut pergipun tak dapat membantu kerepotanku. Kebalikannya bahkan merepotkan aku untuk melindungimu. Rasanya lebih baik engkau pulang saja . . . ." - ia terus berputar tubuh dan melangkah menuju ke arah gedung.

Ih Seng lekas cepat mengejar untuk meminta anak muda itu berhenti dulu. Han Ping menurut dan minta Ih Seng lekas mengatakan maksudnya.

"Aku hendak mencari tempat bersembunyi di luar gedung menunggu siangkong !" katanya.

Setelah merenung sejenak, Han Ping menyetujui : "Baiklah, jika sampai matahari silam aku belum keluar, tak perlu engkau menunggu lagi !"

"Jika siangkong sampai mendapat kecelakaan dalam gedung itu, aku hendak menyiarkan kepada seluruh kaum persilatan tentang kejahatan Ih Thian Heng. Kemudian aku hendak mengadu jiwa !"

Han Ping mengeluarkan pedang Pemutus asmara. Ia menghunus batang pedang dan menyerahkan sarung kepada Ih Seng.

"Peta yang terdapat pada sarung pedang itu, merupakan rahasia dari harta karun yang tersimpan dalam makam tua itu. Jika aku kalah, sarung pedang itu tentu akan diambil Ih Thian Heng. Harta karun dalam makam tentu akan jatuh ke tangannya. Simpanlah sarung pedang itu. Jika sampai terjadi sesuatu pada diriku, serahkanlah sarung pedang itu kepada Pengemis sakti Cong To dan ceritakan semua pengalaman yang kita jumpai dalam makam tua itu. Mintalah kepadanya supaya mengambil harta di dalam makam tua . . . ."- Han Ping berhenti sejenak lalu membolang balingkan pedang pusaka Pemutus asmara seraya berseru : "Pedang, pedang Pemutus asmara ! Walaupun tajammu tiada taranya tetapi dunia menganggapmu sebagai benda terkutuk. Semoga kali ini engkau dapat membantu aku untuk membalaskan sakit hati ayah bundaku . . . ."

Pedang itu memancarkan cahaya berkilat dan angin dingin yang menegakkan bulu roma. Ih Seng terpaksa mundur sampai tiga langkah.

Ketika melihat anak muda itu mainkan pedang, Ih Seng terkejut heran. Yang dimainkan Han Ping itu ternyata suatu gerak ilmu pedang yang luar biasa hebatnya. Ih Seng terlongong-longong memandangnya.

Han Ping hentikan pedangnya. Wajahnya tampak tenang. Ternyata yang dimainkan tadi adalah ilmu pedang jurus Empat penjuru pedang sakti dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng yang diuraikan oleh mendiang Hui Gong taysu. Dalam memainkan ilmu pedang itu harus bersikap tenang dan serius.

Ilmu pedang Empat penjuru pedang sakti itu, walaupun terdiri dari empat jurus, tetapi merupakan gerak pedang yang dilambari tenaga sakti tinggi.

Tetapi Han Ping sendiri tak menyadari kehebatan permainan pedang itu. Adalah karena kesal hati memiliki pedang pusaka tetapi merasa tak memiliki suatu ilmu pedang yang sakti, maka tanpa terasa ia mainkan pedang menurut ajaran Hui Gong taysu. Sekali mainkan jurus itu, tenaga saktinyapun memancar dan tercurahlah seluruh semangat perhatiannya.

Sebagai pemimpin kaum Rimba Hijau dari empat propinsi, Ih Seng sangat dimalui orang berkat senjatanya pedang perak dan kipas besi. Dalam ilmu pedang ia sudah mengabdikan diri selama 20 tahun. Apabila bertemu dengan jago pedang, ia selalu memperhatikan gerakannya. Pengalaman dan pengetahuannya dalam ilmu pedang itu dituang dalam sebuah ciptaan permainan pedang dan kipas yang terdiri dari 13 jurus. Sesungguhnya, dalam ilmu pedang, ia telah mempunyai keyakinan yang amat mendalam sekali.

Namim ketika melihat permainan pedang Han Ping yang sedemikian aneh, ia terkesiap. Belum selama ini ia menyaksikan permainan ilmu pedang yang begitu penuh dengan perubahan-perubahan tak terduga.

Tiba-tiba pemuda itu menghela napas, ujarnya : "Terima kasih atas kesungguhan hatimu terhadap diriku. Di dunia jarang terdapat seorang sahabat sejati. Kepergianku mencari Ih Thian Heng kali ini, belum tentu berhasil. Entah mati entah hidup, belum dapat kupastikan. Mungkin sejak itu, setan dan manusia akan terpisah selama-lamanya . . . ."

"Ah, siangkong, orang baik tentu dilindungi Tuhan . . . ."

Han Ping tertawa hambar, serunya : "Sejak bertempur dengan putri dari ketua marga Siang kwan barulah kusadari bahwa ilmu silat itu benar-benar tiada batasnya. Karena dapat menolong kami berdua saat itu, tentulah kepandaian Ih Thian Heng itu tak di bawahku . . . ."

"Benar," sahut Ih Seng, "Ih Thian Heng adalah tokoh yang paling disegani oleh golongan Hitam maupun Putih di daerah Kanglam-Kangpak. Dia dipandang sebagai tokoh nomor satu. Sekalipun engkau memiliki kepandaian yang hebat tetapi mungkin masih sukar untuk menandinginya . . . ."

Han Ping memandang ke arah cakrawala. Beberapa saat kemudian baru ia berkata pula : "Sekalipun aku tak takut mati tetapi selama cita-cita belum terlaksana, sukarlah bagiku mati dengan tenteram."

"Apabila siangkong hendak memberi pesan apa-apa, silahkan mengatakan, aku tentu melakukan . . . ." tiba-tiba Ih Seng hentikan kata-katanya karena ia merasa ucapannya itu berarti sudah memastikan bahwa Han Ping tentu akan binasa.

Kata Han Ping : "Engkau banyak membantu aku. Sebagai anak, aku merasa sedih sekali karena belum pernah berlutut memberi sembah sujud di hadapan makam kedua orang tuaku . . . ."

"Benar," sahut Ih Seng, "pasti akan kulakukan hal itu untuk siangkong."

"Masih ada lagi mendiang guruku yang telah mengorbankan putranya sendiri demi menolong aku kemudian merawatku sampai besar. Juga makamnya tiada orang yang menaburkan bunga . . . ." ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula "akupun telah meluluskan untuk melaksanakan pesan mendiang Hui Gong taysu. Jika hal itu gagal, bukankah berarti menyia-nyiakan jerih payahnya . . . ."

Han Ping mengoceh sendiri, menumpahkan seluruh isi hatinya selama ini. Sudah tentu Ih Seng tak mengerti apa yang diucapkannya itu.

Beberapa jenak kemudian barulah Han Ping berpaling memandang Ih Seng dan tersenyum : "Apa yang kukatakan tadi adalah seluruh isi hatiku. Sudah tentu engkau tak mengerti."

"Apakah siangkong mengatakan . . . ." karena diliputi bajangan bahwa kepergian Han Ping kali ini tentu akan binasa maka hati Ih Seng diliputi dengan rasa kesedihan sehingga ia tak mendengar jelas apa yang dikatakan pemuda itu.

Tiba-tiba dengan nada perwira ia bersenandung kecil : "Angin berhembus, airpun mendingin . Sekali seorang ksatria pergi, takkan kembali lagi . . . ."

Ih Seng serentak maju dua langkah seraya menjura memberi hormat : "Kepandaian siangkong tidak di bawah Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng. Mungkin hanya kalah tenaga saja. Oleh karena itu kalau berhadapan dengan dia, janganlah mengadu kesaktian tenaga. Selama gunung masih menghijau, masakan takut tak mendapat kayu . . . ."

Sahut Han Ping : "Satu-satunya sahabat baik dari almarhum ayahku hanya tinggal paman Kim seorang. Jika tak mampu menolongnya, masakan aku masih ada muka untuk bertemu orang ?"

Habis berkata pemuda itu terus berputar tubuh terus melangkah ke muka.

Ih Seng yang berwatak angkuh dan tinggi hati, saat itu dua titik airmata. Sambil mengangkat tangan, ia mengantarkan doa puji : "Semoga siangkong diberkahi keselamatan . . . ."

Tiba-tiba Han Ping berhenti dan berpaling. Serunya tertawa : "Ah, kebaikan budi saudara Ih, aku belum dapat membalas . . . ."

Ih Seng cepat mengusap airmatanya lalu memandang anak muda itu. Tiba-tiba hatinya agak bergetar. Ternyata air muka pemuda itu berubah. Tidak lagi menampilkan keputus-asaan, melainkan memancar penuh keyakinan. Dan pada lain saat terdengar kata-kata ramah dari pemuda itu.

"Ah, kini aku teringat akan beberapa jurus ilmu silat yang terdiri dari Tiga pedang dan Tiga pukulan. Keenam jurus itu masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tiada saling bersangkut-paut. Akupun tak tahu asal sumbernya. Tetapi yang jelas apabila digunakan, perbawanya amat dahsyat sekali. Biarlah dalam waktu yang amat singkat ini, keenam jurus ilmu pedang dan pukulan itu kuajarkan kepada saudara Ih. Mudah-mudahan saudara dapat meyakinkan sendiri," kata Han Ping.

Pada saat Ih Seng hendak menolak, Han Ping sudah maju menghampiri, serunya perlahan : "Saudara Ih, perhatikanlah. Pukulan ini disebut Burung hong keluar sarang . . . ." - ia lempangkan tangan ke dada lalu didorongkan agak mencondong.

Pertama lurus ke muka, setengah jalan tiba-tiba dibalikkan ke kiri. Setelah menjulur lurus lalu ditamparkan balik ke kanan.

Sebagai tokoh yang berpengalaman, sekali lihat saja, Ih Seng sudah mengetahui. Buru-buru ia menirukan. Tampak jurus Burung hong keluar sarang itu sederhana sekali. Tetapi ketika dilakukan, Ih Seng merasa bingung. Sudah 10 kali mengulang, tetap ia belum mampu menguasai rahasia inti keindahannya.

Karena ingin lekas-lekas menolong Kim Loji, Han Ping tak punya banyak waktu. Belum Ih Seng paham seluruhnya, ia sudah mulai mengajarkan lagi jurus yang kedua.

Jurus kedua itu disebut Halilintar menggetar ribuan kait. Suatu pukulan yang penuh dengan kekerasan dahsyat sehingga menggunakan tenaga penuh.

Setelah Ih Seng berlatih 10 kali, Han Ping segera mengajarkan jurus yang ketiga, disebut Seribu tali sebuah jala. Merupakan ilmu pukulan yang aneh, mengutamakan sambaran dan cengkeraman. Penuh dengan perubahan-perubahan.

Selesai tiga jurus ilmu pukulan itu, sudah memakan waktu sepenanak nasi lamanya. Sejenak memandang ke cakrawala, Han Ping segera meminjam pedang Ih Seng lalu dibolang-balingkan dua lingkaran kemudian menusuk.

"Jurus ilmu pedang ini disebut Pohon besi berbunga perak. Sekarang sudah siang, maaf aku tak dapat mengajarkan kedua jurus yang lainnya . . . ." kata Han Ping. Setelah memainkan sekali lagi jurus itu, ia letakkan pedang lalu loncat dan lari menuju ke gedung milik Ih Thian Heng.

Pada saat Ih Seng memungut pedang, Han Ping empat lima tombak jauhnya dan pada lain kejap sudah lenyap dari pandangan mata.

Matahari menjulang tinggi di langit. Angin berhembus membaur muka. Ih Seng menghela napas lalu menyimpan sarung pedang pusaka pemberian Han Ping tadi, terus hendak mencari tempat bersembunyi. Sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa dingin . . . .

Ih Seng terkejut dan cepat berpaling. Dari balik sebuah gerumbul rumput yang tak jauh di sebelah muka, muncul seorang lelaki pertengahan umur. Mengenakan jubah dan topi persegi. Gayanya seperti seorang terpelajar, mulutnya mengulum tawa.

Seketika tergetarlah semangat Ih Seng, serunya serentak : "Bukankah engkau Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng ?"

Orang itu tertawa : "Ah, benar. Benda apakah yang saudara Ih pegang itu ?"

Ih Seng mengacungkan pedang peraknya : "Apakah ini . . . ."

Ih Thian Heng menggeleng : "Bukan itu tetapi yang berada di tangan kirimu itu !"

Sambil memandang ke arah sarung pedang yang dipegang di tangan kiri, Ih Seng berseru : "Apakah saudara menanyakan benda ini ?"

Ih Thian Heng tertawa mengangguk.

"Benda ini kepunyaan seorang sahabat yang minta tolong supaya kusimpankan"

"Ah, masakan hendak engkau simpan ? Bukankah hendak engkau berikan kepada Pengemis sakti Cong To ?" seru Ih Thian Heng, seraya menghampiri ke muka Ih Seng lalu ulurkan tangan kanan berseru sambil tertawa : "Boleh pinjam lihat benda itu sebentar saja ?"

"Ini . . . ."

Ih Thian Heng cepat menukas : "Aku tak senang menerima kebaikan. Jika saudara Ih suka menyerahkan benda itu, tentu akan kuobati racun pada tangan saudara."

Sesungguhnya Ih Seng hampir melupakan tentang tangannya yang keracunan itu. Demi mendengar kata Ih Thian Heng, segera ia menunduk mengamati tangannya. Bengkaknya sudah lenyap tetapi berganti dengan bintik-bintik merah. Ia heran, pikirnya : "Semula racun itu seperti berbahaya tetapi mengapa belum diobati sudah hilang sendiri . . . ."

Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng tersenyum, ujarnya : "Saudara Ih tentu mengira bengkak itu sudah sembuh dan tak perlu diobati lagi, bukan ? Ah, sebenarnya racun itu sudah menyusup masuk ke dalam kulit dan bercampur dengan darah. Apabila racun itu sudah bekerja, seluruh tubuh akan membusuk dan mati."

"Apa ?" teriak Ih Seng.

Dengan nada bersungguh, Ih Thian Heng menegaskan : "Aku berkata dengan sebenarnya. Jika saudara Ih tak percaya, cobalah saudara mencungkil bintik-bintik merah itu dengan ujung pedang dan lihatlah darahnya berwarna bagaimana. Segera saudara tentu percaya omonganku !"

Sejenak Ih Seng bersangsi kemudian ia melakukan juga. Ternyata darah yang mengucur dari bintik merah itu berwarna ungu tua.

Ih Thian Heng tertawa : "Sejam lagi, racun itu akan menyerap ke seluruh tubuh saudara. Jika racun sudah mengalir ke jantung, jangan harap mendapat obat lagi !"

Ih Seng tertawa dingin dan tiba-tiba membentak : "Semula kaum persilatan golongan Hitam maupun Putih amat mengindahkan sekali kepadamu dan memberikan nama yang agung Ksatria utama dari Sin-ciu. Mereka mengira engkau benar-benar seorang tokoh yang berbudi luhur. Tetapi ternyata kesemuanya itu hanya pulasan belaka. Engkau tak lebih dari seekor harimau yang berselimut kulit domba . . . ."

Ih Thian Heng hanya tersenyum : "Aku tak suka memaksa orang. Jika saudara Ih memang tak mau meminjamkan benda itu, akupun takkan memaksa." - Habis berkata, ia terus berputar tubuh dan pergi.

Memandang ke langit, Ih Seng diam-diam berpikir : "Taruh kata keterangannya itu benar, aku masih mempunyai waktu hidup selama tiga hari. Aku harus menggunakan waktu tiga hari itu untuk mencari Cong To dan menyerahkan benda ini . . . ."

Tiba-tiba terlintas sesuatu, pikirnya ; "Tetapi aku sudah berjanji hendak menunggunya di sini. Ah, apakah harus ingkar janji ?"

Demikian karena merasa kedua hal itu sama pentingnya, Ih Seng tak segera dapat mengambil keputusan.

Memandang kemuka tampak bayangan Ih Thian Heng mulai lenyap dalam gerumbul rumput. Hati Ih Seng serasa pedih. Sifat kegagahannyapun lenyap. Ia menghela napas.

"Dia mau menyerahkan benda berharga ini kepadaku, berarti percaya penuh bahwa aku tentu dapat memberikan benda ini kepada Cong To. Jika sampai tak mampu mengerjakan, bukanlah aku menyia-nyiakan kepercayaannya ? Apalagi harta karun dalam makam itu bernilai seharga pembelian sebuah negeri. Pula terdapat pusaka Tenggoret Kumala dan Kupu-Kupu Emas yang jarang terdapat di dunia persilatan. Jika harta pusaka itu sampai jatuh ke tangan Ih Thian Heng, tentu celakalah dunia persilatan. Hm, aku harus menyerahkan kepada Pengemis sakti Cong To . . . ." ia mengoceh seorang diri.

Tiba-tiba dari balik gerumbul rumput terdengar bunyi rumput tersiak. Cepat ia berpaling. Entah dan mana, tahu-tahu muncullah enam anak lelaki baju putih, mengepungnya dengan menghunus pedang pendek. Mereka rata-rata berumur 14-15 tahun, berubah terang tetapi agak bengis. Mata mereka berkilat tajam.

Sebagai seorang persilatan, sepintas memandang tahulah Ih Seng bahwa keenam anak itu bukan bocah sembarangan. Diam-diam ia kerutkan dahi.

"Hai, mau apa kalian ?" bentaknya.

Anak yang berdiri di sebelah timur, rupanya menjadi pemimpin. Sambil gerakkan pedang perlahan-lahan, ia berseru dingin : "Jangan banyak bicara ! Pilihlah satu di antara dua : mati atau cacad !"

Walaupun suaranya kekanak-kanakan tetapi nadanya angkuh dan congkak sekali.

Sesaat Ih Seng tertegun lalu balas membentak : "Apa katamu ?"

Pemimpinan kawanan bocah berpedang itu melengking dingin : "Apakah engkau tuli ? Mati atau cacad ! Pilih salah satu."

Hampir meledak serasa dada Ih Seng. Namun ia masih dapat menyabarkan diri dan menegas : "Bagaimana kalau memilih mati dan bagaimana kalau memilih cacad ?"

Keenam bocah itu saling berpandangan satu sama lain. Kemudian bocah yang menjadi pemimpin itu berkata : "Jika memilih mati itu mudah. Kami yang mencincang tubuhmu atau engkau sendiri yang berhara kiri. Kalau memilih cacad, walaupun masih hidup tetapi engkau akan menderita sekali. Lebih dulu akan kami korek sepasang biji matamu, lalu memotong lidah dan kemudian mengiris putus urat nadi pergelangan tanganmu. Agar engkau tak dapat membocorkan apa yang engkau saksikan . . . ."

Bukan main marah Ih Seng : "Bocah yang masih ingusan seperti kalian berani menghina aku !" - ia menutup kata-katanya dengan menyerang bocah pemimpin itu.

Sebagai seorang persilatan tahulah ia bahwa keenam bocah itu memang berisi. Maka ia gunakan siasat untuk mendahului menyerang dikala mereka masih belum siap sedia. Kemudian setelah berhasil, ia akan meloloskan diri dari kepungan mereka.

Pada saat bicara tadi, diam-diam ia telah memperhatikan keadaan kawanan bocah itu. Di antara mereka dilihatnya bocah yang berdiri di sebelah barat, bertubuh kurus. Ia duga tentulah bocah itu merupakan yang paling lemah sendiri di antara kawannya. Maka dengan gunakan jurus ilmu pedang Burung hong naik naga berbangkit, ia langsung menerjang ke barat.

Terdengar bocah itu tertawa dingin seraya mengangkat pedang ke atas untuk memapas pedang Ih Seng Gerakannya amat cepat sekali.

Ih Seng rasakan bahwa pedang pendek kawanan bocah itu memancarkan hawa dingin yang tajam. Ia tak berani mengadu senjata dengan mereka. Cepat ia menarik pedang dan terus berganti dengan jurus lain untuk menusuk lengan bocah itu. Serempakpun mencabut kipas besinya lalu ditebarkan untuk melindungi punggungnya.

Dalam perhitungan Ih Seng, sekalipun kawanan bocah itu mendapat pelajaran dari Ih Thian Heng, tetapi mengingat usia mereka masih begitu muda, tentulah dalam hal tenaga mereka masih belum sempurna. Bukti bahwa muncul berenam, menandakan bahwa mereka memerlukan gabungan tenaga untuk menghadapi musuh.

Di luar dugaan. perhitungan Ih Seng itu meleset. Pada saat ia menyerang ke sebelah barat, kelima bocah yang lain diam saja, tak mau maju menyerang.

Bocah yang menjaga di sebelah barat itu, serentak memutar pedang lalu ditebaskan ke bawah.

Gerak perubahan itu mengejutkan sekali karena tak terduga-duga. Pada saat tangannya berputar, pedangnyapun sudah memapas pedang Ih Seng. Tring . . . . seketika kutunglah pedang Ih Seng menjadi dua !

Begitu mendapat hasil, bocah itu mengisar kakinya ke muka, sekali pedang menabur, ujung pedangnya mengancam tiga buah jalan darah di dada Ih Seng.

Ancaman itu memaksa Ih Seng harus menggunakan kipas besinya dalam jurus Awan mengambang menutup bulan. Ia menghindar ke samping seraya membalikkan kipas untuk menutup ancaman pedang si bocah.

Tetapi rupanya bocah itu sudah mengetahui apa yang akan dilakukan lawan. Pedangnya digoyangkan ke kanan lalu digelimpangkan ke kiri, tring, tring, tring . . . . terdengar bunyi bergemerincingan disusul dengan rangka kipas besi yang berhamburan jatuh ke tanah.

Hanya dua jurus saja, pedang perak dan kipas besi milik Ih Seng sudah rusak. Kejut Ih Seng bukan alang kepalang. Ia menyurut mundur dua langkah.

Tiba-tiba terdengar angin berkesiur. Bocah yang menjaga sebelah selatan, serentak maju menyerang. Sekali tangannya bergerak, ia sudah menyambar sarung pedang Pemutus asmara dan ujung pedang sudah mengancam dada Ih Seng.

Kalau Ih Seng tetap mempertahankan sarung pedang, dadanya tentu akan tertusuk. Dalam keadaan terdesak, terpaksa ia lepaskan sarung pedang lalu loncat mundur. Tetapi setelah berhasil merampas sarung pedang, bocah itu pun mundur lagi ke tempatnya semula.

Ih Seng memandang ke sekeliling. Tampak wajah keenam bocah itu dingin laksana boneka anak-anak. Sekecil itu mereka sudah dapat menguasai perubahan mimik wajahnya.

Bocah yang menjaga di sebelah timur, yakni yang menjadi pemimpin itu berseru dingin : "Sekarang kami akan mulai menghitung. Sampai pada hitungan yang ke 9, rasanya sudah cukup bagimu untuk memilih jalan kematian. Jika sudah menghitung sampai 9, engkau masih belum mati, terpaksa kami akan turun tangan !"

Sudah banyak pengalaman Ih Seng berhadapan dengan musuh yang bengis dan ganas tetapi belum pernah ia mengalami peristiwa mengenaskan seperti saat itu. Keenam bocah yang berwajah bersih itu, selain memiliki ilmu pedang yang luar biasa dan gerak tubuh yang amat tangkas, pun memiliki juga pedang pusaka yang dapat menabas logam seperti memotong tanah liat saja.

Dari beberapa gebrak tadi, dimana pedang dan kipasnya kutung serta sarung pedang Pemutus asmara dapat direbut, Ih Seng menyadari bahwa tak mungkin ia mampu lolos dari kepungan keenam bocah itu. Sekalipun ia bertempur satu lawan satu, belum tentu ia akan memperoleh kemenangan.

la menghela napas putus asa. Memandang ke langit luas, diam-diam ia berdoa : "Ji Siangkong, maafkan aku Ih Seng yang tak berguna ini, sehingga tak dapat melaksanakan pesananmu. Sebagai tanda terima kasihku atas kepercayaanmu, aku akan mengadu jiwa . . . ."

"Satu !" tiba-tiba bocah pemimpin yang berdiri di sebelah timur itu mulai menghitung.

"Dua !" bocah yang berdiri di sebelah timur taut segera menyambung. Kemudian disusul oleh kawan-kawannya yang menghitung sampai 6.

Saat itu Ih Seng sudah menentukan pilihannya. Wajahnya pun tampak tenang. Belum bocah-bocah itu menghitung sampai 7, tiba-tiba ia berseru nyaring : "Tuan besarmu Ih Seng ini, mana sudi menerima hinaanmu semacam itu !"

Tiba-tiba ia loncat ke udara dan lepaskan pukulan Burung hong keluar sarang ke arah bocah yang berdiri di sebelah timur. Dia sudah bertekad untuk mati.

Ilmu pukulan itu adalah ilmu yang beberapa saat tadi baru saja diajarkan oleh Han Ping. Ketika dilontarkan, ternyata menghamburkan tenaga pukulan yang dahsyat sehingga anginnya terdengar menderu-deru.

Bocah yang menjaga di sebelah timur itu rupanya terkejut melihat pukulan Ih Seng yang begitu hebat. Dalam gugupnya, ia loncat ke samping.

Pukulan Ih Seng menemui angin kosong. Tetapi pada saat itu tersadarlah ia bahwa pukulan yang diajarkan Han Ping itu, benar-benar amat sakti. Selekas turun ke bumi, cepat ia lepaskan lagi pukulan jurus kedua yakni Halilintar menggetarkan ribuan kait.

Bocah yang menjaga di utara dan bocah yang menjaga di selatan dengan tangkas segera loncat untuk menutup lubang kepungan yang ditinggalkan kawannya tadi. Tetapi ketika terlanda oleh angin pukulan Ih Seng, yang ampuh, mereka berduapun menyurut ke samping. Kesempatan itu tak disia-siakan Ih Seng. Secepat kilat ia loncat menerobos keluar.

Keenam bocah itu berhamburan memburu. Gerakan mereka seperti merupakan sebuah kesatuan. Secepat kilat mereka menghadang di muka Ih Seng terus berpencar diri menurut formasi kedudukan seperti tadi.

Bocah pemimpin yang menjaga di sebelah timur tadi, sambil gerakkan pedangnya, berteriak menghitung : "Tujuh . . . ."

Nadanya amat nyaring seolah-olah menembus ke awan.

"Tuan besarmu Ih Seng ini sudah kenyang mengembara di dunia persilatan. Apakah kalian anggap aku tak mampu lolos ?"

Wut . . . . kembali ia lancarkan jurus yang ketiga yakni Burung hong keluar sarang. Ia menyadari bahwa dari semua kepandaiannya silat, hanyalah ilmu pukulan ajaran Han Ping yang mampu mengatasi kawanan anak-anak itu.

Jago pedang perak kipas besi Ih Seng itu sudah bertekad untuk mati. Tetapi sebelumnya iapun harus melukai kawanan bocah itu. Ia tak mau menderita malu dari gerombolan bocah yang tak terkenal. Maka begitu lepaskan pukulan iapun serempak menerjang ke arah barat daya.

Melihat pukulan yang sedemikian dahsyatnya, bocah yang berdiri di sebelah barat daya itu terkejut lalu loncat mundur beberapa langkah.

Tepat pada saat Ih Seng berhasil mengundurkan penjaga sebelah barat daya itu, bocah yang menjadi pemimpin tadipun sudah menghitung : "Delapan . . . ."

Ih Seng agak tertegun. Ketika ia hendak bergerak menerjang kepungan bocah yang berdiri di sebelah timur itupun sudah berseru : "Sembilan . . . ."

Seketika kedua bocah yang berada di sebelah kanan kirinya, loncat ke udara. Di tengah udara mereka berputar tubuh sambil gerakkan pedang. Begitu melayang turun ke tanah, merekapun segera menyerang Ih Seng.

Ih Seng terkejut dan hentikan terjangannya lalu gerakkan kedua tangannya dalam pukulan Ribuan benang sebuah jaring.

Jurus itu merupakan sebuah ilmu pukulan yang aneh. Sekalipun Ih Seng masih belum paham betul, namun perubahan yang sedemikian aneh itu, membuat kedua bocah penghadangnya kebingungan.

Sepasang tinju Ih Seng yang ditujukan kepada kedua bocah itu, sekonyong-konyong ditebarkan menjadi gaya cengkeraman. Secepat kilat berhasil mencengkeram lawan, terus ia dorong ke muka. Terdengar suara erang tertahan. Bocah yang dicengkeram dengan tangan kanan itu, terlempar beberapa langkah jauhnya.

Celakanya, bocah yang dicengkeram dengan tangan kiri itu, karena tangan kirinya sudah terkena racun sehingga tenaganya berkurang, hanya dapat didorong mundur setengah langkah saja.

Sesungguhnya bocah itupun diam-diam sudah kerahkan tenaga dalam untuk bertahan diri. Begitu menyurut mundur setengah langkah, cepat ia melangkah maju lagi dan mendadak menendang kaki Ih Seng. Bluk . . . . Ih Seng jatuh terduduk di tanah !

Pada saat kedua kawannya dicengkeram Ih Seng, bocah yang menjadi pemimpin itu secepat kilat sudah loncat menerjang. Ketika Ih Seng jatuh di tanah, bocah pemimpin itupun sudah lekatkan ujung pedangnya ke dada Ih Seng.

Tahu pasti mati, Ih Seng meramkan mata menunggu kematian. Tetapi sekonyong konyong terdengar suara melantang : "Tahan dulu !"

Suara nyaring itu amat berwibawa sehingga sekalian orang tertegun seketika. Ketika berpaling, Ih Seng melihat seorang lelaki berumur 50an tahun, berdiri pada jarak 5 langkah dari tempatnya. Wajahnya persegi, telinga besar.

"Ah, Ca Cu Jing juga muncul !" diam-diam Ih Seng terkesiap.

Memang yang datang itu adalah Ca Cu Jing, ayah dari Ca Giok atau kepala marga Ca-ke-poh. Sejenak sapukan mata ke arah keenam bocah itu, Ca Cu Jing bertanya kepada Ih Seng : "Saudara Ih saat itu berada dalam bahaya. Apakah saudara menghendaki bantuan tenagaku ?"

Selama berkelana dalam dunia persilatan, Ih Seng pantang tunduk pada orang. Mendengar pertanyaan itu, ia berpikir : "Manusia tak luput dari kematian. Perlu apa aku harus minta bantuannya ? Lebih baik aku mati !"

Maka ia menatap orang she Ca itu dengan pandang acuh tak acuh. Tetapi pada lain saat terlintaslah dalam benaknya : "Ah, Ih Seng, Ih Seng ! Engkau memang manusia tak berguna. Ji Han Ping mempercayakan kepadamu sebuah urusan penting, tetapi engkau tak mampu melakukan dan bahkan hendak mati . . . ."

Seketika timbullah hasratnya untuk hidup. Namun dia seorang tokoh ternama dalam dunia persilatan. Sukar baginya untuk membuka mulut minta pertolongan orang.

Dipandangnya ketua marga Ca itu. Mulutnya bergetar-getar tetapi tak mengeluarkan suara apa-apa.

Sudah tentu sebagai tokoh tua yang berpengalaman, Ca Cu Jing tahu apa arti sikap Ih Seng itu. Ia tersenyum : "Tak perlu saudara Ih mengatakan, aku sudah tahu maksud saudara . . . ."

Tiba-tiba ia tertawa keras, katanya pula : "Tetapi selamanya aku tak pernah membantu orang dengan percuma. Tak perlu saudara Ih menghaturkan terima kasih. Asal saudara mau melakukan sebuah permintaanku, kita tak saling berhutang budi . . . ." - tiba-tiba ia menggembor keras seraya ayunkan tangan kanannya. Serangkum angin pukulan yang tajam bersama selarik sinar perak, segera meluncur ke arah kedua bocah yang menghampiri ke belakang Ih Seng. Kedua kocah itu loncat menyingkir.

Ternyata pada saat Ih Seng sedang bicara dengan Ca Cu Jing, dua bocah yang berada di sebelah timur dan utara, loncat ke belakang Ih Seng. Mereka hendak menyelesaikan nyawa Ih Seng. Tetapi gerak gerik mereka itu tak luput dari pengamatan mata Ca Cu Jing yang tajam. Pemimpin marga Ca itu cepat lepaskan pukulan Pembelah angkasa dan taburkan 24 batang jarum Hong Wi Ciam lalu serentak loncat ke samping Ih Seng untuk melindunginya.

Pemimpin barisan bocah itu menyurut mundur. Tiba-tiba ia gerakkan pedangnya. Keenam bocah serentak bergerak mengepung Ca Cu Jing.

Melihat gerakan keenam bocah yang sedemikian tangkas, agak berubahlah wajah ketua marga Ca itu. Katanya kepada Ih Seng : "Saudara Ih, apakah saudara setuju ? Harap lekas bilang. Aku masih mempunyai urusan yang penting, tak lama-lama berada di sini saja !"

"Soal apa ? Harap saudara Ca katakan agar dapat kupertimbangkan, apakah aku mampu mengerjakan atau tidak ?"

"Amat mudah sekali. Bagi saudara Ih hanya sepatah kata !"

"Ah, apakah itu ?"

"Supaya dalam kedudukan sebagai pemimpin Rimba Hijau, saudara Ih memerintahkan anak buah yang tersebar di empat propinsi untuk mencari jejak putraku Ca Giok !"

"Ah, ternyata memang mudah," diam-diam Ih Seng membatin tetapi ia pura-pura berkata merendah : "Ah, seorang tokoh sakti seperti saudara Ca, sekali membuka mulut masakan ada orang yang berani tak mengindahkan ? Sudah tentu aku senang sekali melakukan perintah itu tetapi entahlah akan berhasil atau tidak !"

Ca Cu Jing tertawa dingin : "Memang dalam wilayah utara sungai Hongho, aku mempunyai pengaruh. Tetapi kalau di beberapa propinsi Tionggoan, aku tak dapat berbuat apa-apa. Maka terpaksa akan memerlukan tenaga saudara !"

Diam-diam Ih Seng menimang dalam hati : "Kepandaian orang ini jarang terdapat tandingannya. Barisan bocah itu tentu sukar untuk mengepungnya. Tetapi sarung pedang itu sudah terampas mereka. Sekalipun aku dapat ditolongnya keluar dari kepungan ini tetapi aku tiada muka bertemu dengan Cong To lagi . . . ."

Cepat ia menyahut dengan setengah berbisik :

"Sesungguhnya aku ingin sekali melakukan perintah saudara Ca itu, hanya saja . . . ."

Rupanya Ca Cu Jing tak sabar. Cepat ia berseru keras : "Saudara juga seorang tokoh persilatan yang ternama. Mengapa bicara begitu tergugu. Saudara setuju atau tidak, harap lekas nyatakan saja . . . ." - mungkin karena merasa hendak mengatakan perkataan yang kasar, ia hentikan bicara.

Sambil memandang ke arah sarung pedang yang berada di tangan pemimpin barisan bocah, berkatalah Ih Seng : "Aku mempunyai sebuah sarung pedang yang dirampas orang. Harap saudara Ca suka merebutkan kembali. Apa saja yang saudara hendak perintahkan termasuk mencari jejak Ca sau pohcu itu, pasti akan kulakukan dengan sepenuh hati !"

Ca Cu Jing tertawa dingin : "Apakah artinya sebuah sarung pedang. Jika saudara Ih menghendaki, aku segera kirim orang untuk mengambilkan sarung pedang yang bagus !"

Ih Seng terbeliak. Ia menyadari kata-katanya itu memang lemah. Namun jika menerangkan dengan terus terang, ia kuatir orang she Ca itu setelah berhasil merebut sarung pedang, tentu tak mau mengembalikan sarung pedang itu kepadanya.

Saat itu pemimpin barisan bocah melambaikan pedang dan keenam bocah baju putihpun mengisar langkah, perlahan-lahan maju mempersempit lingkar kepungannya.

Melihat kegentingan memuncak dan setiap saat tentu akan meletus pertempuran, timbullah pikiran Ih Seng. Ia anggap jika sarung pedang Pemutus asmara itu jatah ke tangan Ca Cu Jing kelak Pengemis sakti Cong To masih dapat meminta. Daripada kalau jatuh ke tangan Ih Thian Heng.

Setelah menetapkan keputusan, Ih Seng pura-pura menghela napas, ujarnya : "Atas kesungguhan hati saudara Ca kepadaku, aku Ih Seng merasa tak enak sendiri. Sarung pedang itu bukanlah benda biasa melainkan sarung dari pedang Pemutus asmara yang termahsyur di dunia persilatan. Pada sarung pedang itu terdapat denah lukisan dari peta tempat penyimpanan harta pusaka yang tiada taranya . . . ."

Tanpa menunggu Ih Seng selesai bicara, secepat kilat Ca Cu Jing sudah melesat ke tempat pemimpin Barisan Bocah yang berkedudukan di arah timur.

Tetapi pemimpin barisan itu tertawa dingin lalu menaburkan pedangnya untuk melindungi diri dengan lingkaran sinar pedang yang memancarkan hawa dingin.

Bocah yang berada di sebelah selatan dan utara segera menyerang dari belakang Ca Cu Jing.

Sebenarnya tadi Ca Cu Jing hendak menggunakan gerak kilat untuk merebut sarung pedang itu dari tangan pemimpin Barisan Bocah. Ia terkejut sekali ketika melihat bocah itu dapat mainkan pedang sedemikian hebatnya.

Ketua marga Ca itu sudah mencapai tataran tinggi dalam ilmu menggunakan tenaga sakti. Walaupun tadi ia menerjang begitu dahsyat, tetapi iapun dapat menghentikannya secara mendadak. Secepat menghimpun tenaga, ia melambung ke udara berjumpalitan dua kali dan setelah menghindari serangan kedua bocah tadi, terus meluncur lagi di sisi Ih Seng.

Tetapi sebelum ia berdiri tegak, dua buah sinar bianglala perak sudah menerjangnya lagi dari muka dan belakang.

"Bagus !" seru Ca Cu Jing memuji seraya hantamkan kedua tangannya ke arah muka dan belakang.

Melihat pukulan jago tua itu sedemikian hebat, kedua bocah ita tak berani menangkis. Setelah cepat menekuk tubuhnya, merekapun melayang turun ke samping.

Ca Cu Jing tak mau memberi kelonggaran lagi. Dengan menggembor keras, ia taburkan kedua tangan dan berturut-turut lepaskan enam kali pukulan.

Pukulan itu adalah ilmu pukulan Peh-poh-sin-kun atau Pukulan sakti seratus langkah dari marga Ca yang termahsyur. Angin menderu-deru sehingga keenam bocah itu berloncatan menyingkir. Tetapi gerakan mereka tetap teratur rapi dalam bentuk barisan.

Tetapi sekalipun Peh-poh-sin-kun itu dahsyatnya bukan alang kepalang, namun paling banyak menghabiskan tenaga dalam. Setelah melancarkan enam kali pukulan, napas Ca Cu Jingpun terengah juga.

Selekas hujan pukulan berhenti, keenam bocah itupun kembali ke tempatnya semula lagi. Sambil lintangkan pedang melindungi dada, mereka maju mendekati lagi.

Sebagai seorang tokoh ternama, sepintas memandang tahulah Ca Cu Jing bahwa ilmu pedang keenam bocah itu bukan olah-olah hebatnya. Ketua marga Ca itu menyadari bahwa saat itu ia bakal menghadapi pertempuran yang dahsyat. Seketika lenyaplah rasa memandang rendah pada kawanan bocah itu. Iapun segera tegak dengan pusatkan semangat untuk menunggu serangan.

Tetapi setelah terpisah setombak luasnya, barisan bocah itu terhenti tiba-tiba. Pemimpin barisan yang berada di sebelah timur, segera ayunkan pedangnya, membentuk sebuah lingkaran bianglala perak. Kelima kawannyapun segera mengikuti tindakan itu.

Tiba-tiba dari keenam gulung bianglala perak itu, terdengar seruan perlahan. Dua buah sinar pedang menerjang dada dan kaki Ca Cu Jing.

Ca Cu Jing sudah siap. Tangan kirinya memukul dengan jurus Mendorong gunung menimbun laut. Dan tangan kanan cepat merogoh seutas sutra putih lalu ditamparkan.

Dengan tenaga dalamnya yang tinggi, sutra putih merupakan senjata yang mengejutkan sekali. Kedua bocah itu bergegas menarik pedang dan menyurut mundur.

Tetapi sesaat dua bocah itu mundur, secepat itu pula dua bocah lainnya segera maju menyerang dari muka dan belakang.

Ca Cu Jingpun tak mau kalah tangkas. Ia miringkan tubuh dan sutra putih yang ditaburkan tadi, tiba-tiba melayang balik menampar punggung salah seorang bocah yang menyerang dari belakang. Kemudian ia serempaki dengan pukulan tangan kiri dalam ilmu Peh-poh-sin-kun ke arah penyerangnya di muka.

Sinir pedang dari keenam bocah itu berhamburan memenuhi sekeliling tempat. Mereka telah lancarkan serangan dahsyat. Ada kalanya dua bocah yang maju, ada kalanya sekaligus empat bocah. Mereka maju menyerang dan mundur menghindar dengan teramat gesit sekali.

Ca Cu Jing tetap melawan dengan sutra putihnya. Menampar, menyabat dan menyapu. Setiap gerakan selalu menerbitkan deru angin yang mendesis desis.

Sutra putih hanya dua meter panjangnya.

Tetapi dimainkan Ca Cu Jing, perbawanya bukan kepalang. Sekalipun keenam bocah itu memegang pedang pusaka yang amat tajam, tapi karena berhadapan dengan sutera putih yang lem as, paling-paling hanya dapat membuat beberapa lubang saja dan tak dapat memapasnya kutung. Dan lagi permainan sutra dari ketua marga Ca itu memang luar biasa. Sutra dapat menjulur panjang tetapipun dapat menyurut pendek sehingga sukar diduga lawan. Dan yang penting, taburan sutera itu menimbulkan hamburan tenaga sakti yang hebat sekali. Sungguh tak mudah bagi keenam bocah untuk memapas sutra itu.

Cepat sekali 40 jurus telah berlalu namun tetap belum tampak siapa menang siapa kalah. Keenam bocah itu tak mampu maju setapakpun juga. Tetapi Ca Cu Jingpun belum dapat menghantam jatuh sebuah senjata dan melukai seorang lawan.

Melihat keenam becah itu memiliki tenaga dalam yang penuh, diam-diam ketua marga Ca itu mulai gelisah. Pikirnya : "Pertempuran ini selain tak menguntungkan juga akan mencemarkan namaku karena berkelahi dengan kawanan bocah kecil. Kalau tak lekas turunkan tangan ganas, entah kapan pertempuran ini akan selesai . . . ."

Serentak timbullah nafsu membunuh. Setelah pindahkan sutra putih ke tangan kiri, tangan kanan segera mengambil sebatang ruyung rantai emas.

Senjata itu amat aneh. Seuntai gelang kecil sebesar jari kelingking, dironce jadi satu. Setiap gelang besarnya seperti cawan teh. Semuanya berjumlah 33 biji.

Setelah mengeluarkan ruyung Gelang emas, Ca Cu Jing segera menebarkan. Gemerincinglah untaian gelang emas itu laksana puluhan kelinting. Pada saat hendak bergerak menyerang, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras disusul dengan gelombang angin keras yang melanda.

Keenam bocah itu berhamburan loncat ke samping sehingga barisan mereka menjadi kacau.

Pada lain saat sesosok bayangan melayang ke samping Ih Seng. Ih Seng terperanjat demi melihat pendatang itu : "Apakah Ji siangkong tak . . . . kurang suatu apa ?"

Ternyata yang muncul itu adalah Han Ping. Karena girangnya, Ih Seng tertawa sepuas-puasnya sehingga tak melanjutkan kata-katanya.

Dengan dada bergolak-golak mendendam kemarahan, Han Ping menerobos ke dalam gedung.Tetapi dari muka terus masuk sampai ke belakang, tetap tak dapat menemukan Kim Loji. Bahkan seorang pun tiada dijumpainya dalam gedung itu. Untuk melampiaskan kemarahannya, ia mengobrak-abrik segala barang yang dilihatnya. Tetapi ternyata gedung besar itu boleh dikata kosong melompong. Kecuali daun pintu dan jendela, tak ada lain-lain perabot lagi.

Setelah menghancurkan pintu dan jendela, Han Ping teringat akan Ih Seng yang menunggu di luar. Kuatir kalau Ih Seng akan ditawan musuh, buru-buru ia lari keluar. Pada saat itu Ca Cu Jing sedang bertempur melawan barisan bocah. Maka Han Ping segera berteriak dan menghantam kawanan bocah itu terus loncat ke samping Ih Seng.

Melihat pendatang itu hanya seorang anak muda yang berumur 18-19 tahun, terkejutlah Ca Cu Jing, pikirnya : "Baru semuda itu tetapi sudah sedemikian saktinya. Pukulannya begitu ampuh. Beberapa tahun tak menginjak Tionggoan, ternyata di sini telah muncul tunas-tunas baru yang begitu cemerlang."

"Terima kasih atas bantuan locianpwe kepada kawanku," ketua marga Ca itu terkejut demi mendengar suara pemuda itu. Ia berpaling, tanyanya : "Apakah engkau menghaturkan terima kasih kepadaku ?"

Han Ping mengiakan.

Ca Cu Jing tertawa keras : "Ah, tak usah. Selamanya aku tak pernah mernbantu orang tanpa alasan."

Han Ping tertegun, katanya : "Kalau begitu locianpwe sudah kenal dengan saudara Ih ini ?"

"Kenal seluruh dunia. Tetapi karena berdasar kenal dan membantunya, bukankah itu tak berarti membantu ?"

Han Ping merasa ucapan orang itu bernada aneh. Setiap patah kata sukar dimengerti. Tetapi karena orang sudah membantu Ih Seng, sekalipun dalam hati tak puas, terpaksa ia menahan perasaan juga.

Buru-buru Ih Seng memberi penjelasan tentang perjanjiannya dengan Ca Cu Jing. Jika dia dapat merebutkan kembali sarung pedang Pemutus asmara, Ih Seng akan membantunya untuk mencari jejak putranya, Ca Giok.

"Kapankah aku berjanji padamu untuk merebutkan sarung pedang itu ?" tukas Ca Cu Jing dengan mendengus.

Ih Seng tertegun. Diam-diam ia mengakui memang ketua marga Ca itu tak berjanji begitu.

Sekonyong-konyong keenam bocah itu loncat lari. Sudah tentu Ih Seng terkejut sekali : "Ji siangkong, lekas kejar. Merekalah yang merebut sarung pedang Pemutus asmara itu !"

Pada saat itu keenam bocah sudah loncat sampai setombak lebih jauhnya. Han Ping, Ca Cu Jing serempak loncat mengejar mereka. Sekali ayunkan tubuh, keduanya dapat mencapai jarak dua tombak. Tetapi keenam bocah itu licin sekali. Tiba-tiba mereka berpencar diri dan menyusup ke dalam gerumbul rumput.

Keenam bocah itu sama tingginya dengan rumput disitu. Sedang Han Ping dan Ca Cu Jing tak tahu pasti sarung pedang itu berada di tangan bocah yang mana. Sesaat keduanya tertegun dan lenyaplah keenam bocah itu.

"Siapakah kawanan bocah itu ?" tanya Ca Cu Jing kepada Han Ping.

Melihat nadanya begitu angkuh, sebenarnya Han Ping tak mau menghiraukan. Tetapi mengingat orang telah mernbantu Ih Seng, terpaksa ia tahan kesabaran, sahutnya : "Anak buah Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng !"

"Apakah Ih Thian Heng berada di sini ?"

"Dia muncul lenyap tak menentu. Sukar dipastikan adakah ia saat ini berada di sini !" Han Ping menyahut tetapi karena merasa kurang lengkap, ia menyusuli lagi : "Keenam bocah itu adalah pengawal pribadinya. Jika mereka muncul di sini, tentulah Ih Thian Heng juga berada di sekeliling tempat ini !"

Saat itu Ih Sengpun menghampiri, serunya : "Sebelum keenam bocah itu muncul, Ih Thian Heng sendiri memang datang . . . ."

"Adakah dia menyebut-nyebut paman Kim ?" Tukas Han Ping.

Ih Seng gelengkan kepala : "Tidak, dia hendak meminjam sarung pedang Pemutus asmara dan memberitahu bahwa aku sudah terkena racun ganas. Dalam waktu tiga hari racun itu akan bekerja. Tubuhku akan membusuk dan mati !"

"Uh, racun apakah yang sedemikian ganas itu ? Cobalah kuperiksanya apakah aku mampu mengobati atau tidak," seru Ca Cu Jing.

Segera Ih Seng menjulurkan tangannya yang terluka itu. Setelah memeriksa, Ca Cu Jing berkata : "Ah, racun di tangan saudara itu sudah menyusup ke dalam kulit, mungkin sudah merembes ke dalam darah. dikuatirkan sukar pengobatannya."

Ketua marga Ca itu mengeluarkan sebuah botol kecil dari kumala. Ia menuang keluar dua butir pil warna kuning lalu diberikan kepada Ih Seng : "Sekalipun pil ini bukan buatan dewa, tetapi terhadap racun memang manjur sekali. Cobalah saudara minum !"

Sambil menyambuti, Ih Seng berkata : "Ah, kupercaya pengetahuan saudara Ca yang begitu luas tentu sudah mengetahui tentang racun dalam tubuhku ini."

Ca Cu Jing mendesus : "Sekalipun tak tahu racun apa yang menyerang saudara itu, tetapi pil itu mernpunyai daya kegunaan yang besar. Harap jangan kuatir, paling tidak tentu dapat memperlambat jalannya racun itu"

Setelah minum dua butir pil kuning itu, Ih Seng tertawa : "Apakah saudara Ca kuatir kalau aku mati tentu tak dapat mernbantu mencarikan putra saudara ?"

"Saudara seorang yang cepat berpikir dan tangkas bicara," Ca Cu Jing tertawa sambil mengurut jenggot, "memang begitulah maksudku. Entah apakah saudara masih ada lain urusan lagi. Jika tak ada, marilah kita lekas-lekas berangkat . . . ."

"Apa ? Apakah saudara Ca Giok belum pulang ?" seru Han Ping.

Ca Cu Jing amat memanjakan kasihnya terhadap putranya itu. Hatinya terharu getar mendengar pertanyaan Han Ping itu. Cepat-cepat ia meminta keterangan : "Kapankah saudara melihatnya ?"

Sejenak merenung, berkatalah Han Ping : "Kira-kira sudah sebulan lebih ! Dia menderita luka dalam dan mengatakan kepadaku hendak pulang ke Ca-ke-poh . . . ."

Mata jago tua itu berlinang-linang dan tubuhnya gemetar : "Siapakah yang melukainya ? Tahukah saudara ?"

"Dia dilukai oleh Leng Kong Siau dari lembah Seribu racun. Tetapi kala itu dia sudah melakukan pengobatan dengan menyalurkan napas dan sudah banyak baik. Rasanya luka itu tak berapa berat."

Ketegangan hati Ca Cu Jing mereda, tanyanya agak tenang : "Adakah saudara mengetahui sendiri peristiwa Leng Kong Siau melukai putraku itu atau hanya mendengar cerita orang ?"

"Aku bertemu dengan saudara Ca pada saat dia dikejar Leng Kong Siau. Aku menyaksikan sendiri Leng Kong Siau telah melukai saudara Ca !"

"Hm, memang selain beberapa setan tua itu, tak mungkin ada orang lain yang mampu melukai putraku . . . ." kata Ca Cu Jing. Tiba-tiba ia tersadar bahwa yang penting ia harus mengetahui jelas peristiwa itu selengkapnya. Maka bertanyalah ia lebih lanjut : "Mengapa Leng Kong Siau tak membunuhnya sekalian ? Biasanya setan tua itu sekali turun tangan tentu tak mau memberi ampun orang !"

"Keadaan saat itu memang tegang sekali. Terpaksa aku turun tangan membantu saudara Ca !" kata Han Ping.

Memang tadi ia menyaksikan sendiri gerakan Han Ping yang mempesonakan. Tetapi ia sukar mempercayai bahwa pemuda itu mampu menandingi tenaga sakti Leng Kong Siau.

"Apakah hanya saudara seorang diri ?" ia menegas sambil menatap Han Ping.

Han Ping tertawa sungkan, sahutnya : "Ya . . . ."

"Seorang diri saudara sanggup menerima pukulan Leng Kong siau ?" kembali Ca Cu Jing menegas dengan nada meragu.

Han Ping merenung sejenak jawabnya : "Sekalipun agak kewalahan tetapi mampu juga menerima."

"Ah, kuhaturkan banyak terima kasih atas bantuan saudara kepada putraku itu," buru-buru Ca Cu Jing menghaturkan terima kasih.

Han Ping menerangkan bahwa sekalipun perkenalannya dengan Ca Giok itu belum lama tetapi sudah seperti seorang sahabat yang karib.

"Entah siapa lagi yang hadir pada saat itu ?" kembali Ca Cu Jing bertanya.

"Selain aku, masih ada lagi saudara Ih ini dan Kim locianpwe . . . ."

Cepat Ca Cu Jing alihkan pandang matanya ke arah Ih Seng, serunya : "Benarkah saudara Ih berada di situ ?"

"Benar, aku menyaksikan dengan mata kepala," sahut Ih Seng.

Makin tertarik perhatian Ca Cu Jing untuk menyelidiki jejak putranya. Ia bertanya lagi kepada Han Ping : "Apakah setelah membantu, lalu saudara berpisah dengan dia ?"

"Saat itu saudara Ih terluka dalam dan duduk melakukan penyaluran darah. Tak lama kemudian, Leng Kong Siau muncul lagi bersama dua orang. Rombongan dari lembah Raja Setan Ting Yan San dan kedua nona Ting juga muncul . . . ."

"Hai, apakah, Ting Yang San juga memusuhi putraku ?" seketika berubahlah wajah Ca Cu Jing.

"Adakah dia mengandung permusuhan kepada saudara Ca. aku tak tahu. Tetapi sampai tiga kali Leng Kong Siau mendorongnya, tetap dia tak mau turun tangan terhadap saudara Ca !"

"Oh, begitu. Lalu dimanakah sekarang putraku itu ?" tanya Ca Cu Jing.

Han Ping merenung, pada lain saat ia berkata : "Entahlah, aku tak tahu. Hanya dia mengatakan kalau hendak pulang merawat lukanya."

Ca Cu Jing memandang ke langit. Beberapa saat merenung, akhirnya ia bertanya : "Selain orang lembah Seribu racun dan Raja setan, siapa lagi yang mengetahui putraku itu ?"

"Pengemis sakti Cong To !" celutuk Ih Seng, "tetapi Cong To dan kami segera menuju kemari."

"Selain Cong To ?"

"Nyo Bun Giau kepala marga Nyo !"

"Bagus !" seru Ca Cu Jing, "rupanya tokoh-tokoh terkemuka dari kedua Lembah dan ketiga Marga itu berbondong-bondong muncul untuk melihat keramaian. Benar-benar suatu pertemuan besar dari orang gagah di seluruh dunia !"

Memandang ke langit, Ih Seng berkata : "Ji siangkong, karena Ih Thian Heng tak muncul, kemungkinan dia tentu sudah pergi. Suasana tempat ini merupakan hutan lebat, mudah untuk bersembunyi. Kita tak paham tempat ini, sukar untuk menghadapi mereka. Kurasa lebih baik kita bakar saja tempat ini !"

Belum Han Ping menyahut, tiba-tiba tak jauh dari tempat itu terdengar suara seseorang tertawa dingin : "Hm, mereka menggunakan lubang di bawah tanah yang ditimbuni gerumbul rumput. Sekalipun hutan ini dibakar habis, pun sukar untuk mencari jejak mereka !"

Han Ping bertiga berpaling. Ah, ternyata Pengemis sakti Cong To sedang melangkah datang dengan perlahan.

Serta merta Ca Cu Jing memberi salam : "Saudara Cong, tiga tahun kita tak berjumpa, apakah selama ini saudara baik-baik saja ?"

"Eh, mengapa saudara Ca begitu sungkan kepada pengemis tua ? Tentulah saudara hendak meminta apa-apa kepada pengemis tua !"

Sebenarnya Ca Cu Jing memang hendak menanyakan tentang jejak putranya. Tetapi karena Pengemis sakti Cong To belum-belum sudah memagarinya, ia mundur teratur.

"Adakah saudara Cong menghendaki supaya aku mendamprat saudara ?" serunya mendengus.

Dengan tak kalah dinginnya, Cong To menyahut : "Turut pendapatku, saudara Ca saat ini belum berani memaki pengemis tua"

Diam-diam ketua marga Ca itu menimang dalam hati : "Hm, tajam benar kata-katanya. Mungkin dia sudah mendengar pembicaraan kita tadi. Dan kalau tak tahu jejak Ca Giok, tentulah dia tak berani bersikap begitu angkuh kepadaku."

Segera ia tertawa meringis : "Kita sudah bersahabat lama, hanya beberapa patah kata tajam dari saudara, masakan dapat membikin marah hatiku ?"

Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak : "Dunia persilatan mengatakan bahwa engkau seorang rubah bertulang besar. Kiranya memang benar !"

"Ah, jangan memuji, " Ca Cu Jing tertawa, "tetapi aku selalu bekerja untuk mencapai hasil, bukan memerlukan cara !"

Cong To tertawa : "Hal itu harus dilihat terhadap siapa. Jika dengan manusia yang tak doyan Lunak atau Keras seperti diri pengemis tua ini, saudara tentu akan kewalahan."

Ca Cu Jing tersonyum : "Siapa orang persilatan yang tak tahu saudara Cong itu Keras di luar, lunak di dalam. Seorang tokoh yang lapang dada, berterus terang dan luhur perwira. Aku, Ca Cu Jing, memang mengagumi pribadi saudara . . . ."

Cong To tertawa : "Seumur hidup, pengemis tua belum pernah menerima pujian seperti itu. Pereobaan hari ini, benar-benar ada faedahnya. Jika saudara hendak mengetahui jejak putra saudara, lebih dulu supaya mengerjakan sebuah hal untuk pengemis tua."

"Soal apa ?" tanya Ca Cu Jing.

Cong To tertawa : "Saudara Ca meluluskan untuk merebut kembali sarung pedang Pemutus asmara itu. Kita tukar menukar. Saudara membantu aku merebut kembali sarung pedang itu, dan aku membantumu mencari jejak putra saudara !"

Ca Cu Jing merenung beberapa saat, katanya : "Keenam bocah itu entah kemana perginya. Bagaimana caraku mencari mereka ?"

Cong To tertawa : "Dalam dunia yang begini luasnya, putra saudara tak menentu perginya. Bagaimana pula caraku mencari jejaknya ?"

"Memang ucapan saudara itu benar, tetapi dalam hal ini ada bedanya."

"Dimana letak perbedaannya, harap saudara Ca mengatakan"

Kata Ca Cu Jing : "Menolong orang adalah ibarat menolong kebakaran. Bagaimana bisa diulur ulur waktunya ? Apalagi saudara itu tadi" - ia menunjuk Han Ping - "mengatakan bahwa putraku menderita luka dalam. . . Sedangkan soal sarung pedang Pemutus asmara itu, lambat beberapa hari mencarinya, juga tak mengapa. Jika saudara Cong benar-benar mampu mendapatkan jejak putraku, aku Ca Cu Jing tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk merebut sarung pedang itu. Sekalipun aku harus bertempur dengan Ih Thian Heng, akupun takkan mundur !"

Pengemis sakti Cong To memandang lekat ke wajah ketua marga Ca itu sampai beberapa saat. Pikirnya : "Orang ini seorang manusia ganas. Setiap orang persilatan tahu semua. Tetapi tak kira kalau dia begitu sayang kepada putranya."

Pengemis sakti Cong To seorang tokoh yang berhati emas. Melihat seri wajah Ca Cu Jing, tergeraklah hatinya. Ia menghela napas perlahan, berkata : "Saudara Ca begitu sayang kepada putra, sudah tentu pengemis tua ini akan berusaha memenuhi harapan saudara . . . ."

Seketika tertawalah Ca Cu Jing dengan gembira : "Dunia persilatan menyebarkan saudara Cong itu seorang yang aneh dan herhati dingin. Apa yang dikatakan tentu dilaksanakan. Hari ini, Ca Cu Jing, benar-benar mempercayai kata-kata orang persilatan itu !"

Beberapa titik airmata menetes dari mata jago tua itu. Sukar orang meraba adakah dia sedang diliputi kesedihan atau kegirangan.

Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To berpaling ke arah Han Ping, serunya : "Sarung pedang Pemutus asmara itu mengandung peta rahasia dari tempat harta karun yang bernilai sebanyak gudang kas negara. Aku pengemis tua ini sudah biasa makan sisa-sisa nasi dan ampas teh jika mendadak harus menjadi hartawan besar, mungkin tak dapat menikmati. Benda itu harus kembali pada tuannya. Lebih baik engkau simpan lagi sendiri . . . ."

Sejenak berhenti ia berkata pula : "Turut yang diketahui pengemis tua, Ca sau pohcu sudah berada jauh dari wilayah Tionggoan. Pengemis tua sudah mengirim pengemis kecil untuk mengejar jejaknya. Mungkin sudah ada laporan. Karena pengemis tua sudah berjanji kepada saudara Ca untuk mencari jejak putranya, tentu akan melaksanakan. Jika tak salah, Ca sau pohcu memang berada dalam bahaya. Seorang diri saja, saudara Ca tentu kewalahan maka pengemis tua akan membantunya. Nah, kita berpisah sampai di sini dulu . . . ."

"Tunggu dulu locianpwe," seru Han Ping, "aku dan saudara Ca Giok walaupun hanya bergaul sebentar tetapi dia amat memperhatikan kepentinganku. Sekarang karena dia berada dalam kesulitan, masakan aku dapat berpeluk tangan saja ?"

Cong To tertawa nyaring : "Memang Ca Giok baik sekali kepadamu. Jika engkau berkeras hendak ikut, pengemis tua pun tak mencegah. Sarung pedang Pemutus asmara itu sudah jatuh ke tangan Ih Thian Heng. Untuk cepat-cepat merebutnya kembali, bukanlah hal yang mudah. Mengandal tenagamu seorang diri, sukar untuk terlaksana."

"Jika putraku tak kurang suatu apa, aku tentu akan mengerahkan seluruh anak buah Ca-ke-poh untuk membantu saudara Cong."

"Nah, kita sudah saling berjanji !" kata pengemis sakti terus berputar tubuh dan pergi.

Han Ping menghela napas, katanya : "Silahkan locianpwe berdua pergi lebih dahulu. Kita tentukan tempat bertemu lagi. Aku hendak mencarikan tempat beristirahat untuk saudara Ih ini, baru nanti menyusul."

Kata Ca Cu Jing : "Racun pada tubuhnya itu tak sembarangan obat dapat menyembuhkan ."

Sambil memandang Ih Seng, Han Ping berseru : "Masakan racun itu benar-benar tiada obatnya ?"

Kata Ca Cu Jing pula : "It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh, semua tahu tentang ilmu racun. Tetapi di antara mereka hanyalah orang Lembah Raja setan dan Lembah Seribu racun yang paling mahir. Lembah Raja setan khusus mengumpulkan segala jenis obat bius. Sedang lembah Seribu racun rajin menyelidiki beracun jenis racun di dunia. Turut pendapatku, kecuali tiga tokoh tua dari lembah Seribu racun, mungkin di dunia ini sukar mendapatkan orang yang mampu mengobati racun dalam tubuh saudara Ih itu"

"Mati atau hidup, bukan soal bagiku !" seru Ih Seng dengan gagah.

Cong Topun menghela napas, ujarnya : "Pengemis tua memang tak mengerti ilmu itu. Harap saudara Ca suka menolongnya."

"Aku hanya membekal sebotol obat penawar racun. Sakalipun tak dapat menyembuhkan luka saudara Ih, tetapi obat itu juga hebat khasiatnya. Di dalamnya mengandung ramuan obat yang istimewa sekali. Untuk mendapatkannya, aku telah menjelajahi gunung-gunung ternama di seluruh negeri dan menghabiskan waktu selama tiga tahun. Selama ini aku pelit sekali menggunakan obat itu. Sebotol obat ini akan dapat menahan luka beracun saudara Ih itu selama tiga bulan. Nanti setelah menemukan putraku, aku bersedia bersama saudara Cong mendapatkan tiga Manusia racun dari lembah Seribu racun untuk memintakan obat. Dengan memandang muka kami berdua orang tua ini, rasanya ketiga Manusia racun itu tentu takkan menolak !"

"Bagus !" seru Cong To, "Sekarang kita tetapkan janji. Lebih dulu mencari jejak putra saudara Ca, lalu menemui ketiga Manusia racun dari lembah Seribu racun kemudian mencari Ih Thian Heng !"

"Ah, untuk jiwa Ih Seng yang tak berharga ini, mengapa sampai merepotkan locianpwe berdua ?" kata Ih Seng.

Cmg To deliki mata : "Jika engkau memang ingin mati, silahkan saja ! Pengemis tua tak senang mendengar mulut manis begitu begituan !"

Ca Cu Jingpun membujuk Ih Seng supaya usah memikirkan apa-apa. Hanya ketiga Manusia racun dari lembah Seribu racun itulah yang mampu mengobati lukanya.

Ih Seng memandang Han Ping tanpa bicara.

Bertanya Cong To kepada Ca Cu Jing : "Apakah setelah minum pil itu, dia masih dapat melakukan kepandaiannya ?"

"Asal jangan kelewat menggunakan tenaga, rasanya tiada halangan," jawab Ca Cu Jing.

Pengemis sakti tak mau bicara lagi terus lari ke arah timur. Han Ping, Ca Cu Jing dan Ih Seng mengikutinya.

Kurang lebih 8 li, tibalah mereka di bawah sebatang pohon. Cong To hentikan larinya dan menghampiri sebuah kuil kecil. Ia mengambil secarik kertas dari kuil kecil itu lalu dibuka. Tiba-tiba ia kerutkan alis.

"Apakah putraku dalam bahaya ?" seru Ca Cu Jing cemas.

Sambil mengangsurkan kertas itu ia suruh Ca Cu Jing membacanya sendiri.

Pada kertas itu Ca Cu Jing melihat beberapa deret tulisan yang berbunyi :

"Kedua nona Ting itu sudah ditawan oleh anak buah Bik-lo-san. Ca Giok yang hendak memberi pertolongan, pun tertangkap di situ. Murid dengan menyamar telah mengikutinya. Beruntung tiada diketahui orang . . . ."

Huruf berikutnya tak jelas. Seperti melihat sesuatu lalu tak menulis lebih lanjut.

Ia mengulang beberapa kali namun tetap tak tahu dimanakah letak gunung Bik-lo-san itu. Kemudian ia monghela napas dan serahkan surat itu kepada pengemis sakti lagi.

"Aku benar-benar sudah tua. Ombak bengawan Tiang-kiang, yang belakang mendorong yang muka. Setiap jaman tentu muncul tunas baru yang lebih hebat dari angkatan tua . . . ." - perlahan-lahan ia memandang Han Ping, ujarnya lebih lanjut : "Saudara Cong, desa Bik-lo-san-cung itu tentu muncul belakangan setelah timbulnya It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh, Desa itu tentu merupakan sarang harimau dan naga !"

"Wanita siluman dari Lam-hay-bun muncul ke mari. Sekalian kaum persilatan berbondong-bondong menuju ke Tionggoan untuk merebut kitab pusaka dari perkumpulan Lam-hay-bun itu. Sejak itulah nama desa Bik-lo-san-cung menjadi terkenal. Pengemis tuapun baru beberapa hari mengetahui nama itu !" kata Cong To.

"Kalau begitu saudara pernah kesana. Berapa jauhkah tempat itu dari sini ?" tanya Ca Cu Jing.

"Dekat saja tak sampai 100 li . . ."

"Saudara Cong, jika sudah tak ada lain urusan penting lagi, mari kita berangkat ke sana ! Anak ku belum ketahuan nasibnya. Pun yang menulis surat itu juga perlu dicemaskan . . . ."

Pengemis sakti mengamati surat itu dengan tajam, katanya : "Walaupun guratannya memang berasal dari tangan pengemis kecil, tetapi nadanya agak beda."

Dimana bedanya ?" tanya Ca Cu Jing.

"Jika tulis surat kepada pengemis tua, pengemis kecil itu tak pernah menggunakan huruf cakar ayam begitu. Surat itu ditulis dengan gaya mentereng, rupanya berbeda dengan biasanya !"

"Memang cara locianpwe mengadakan hubungan berita, aku sendiri merasa heran. Masakan ada orang yang berani menirunya ?" Han Ping menyelutuk.

Belum Cong To menjawab, Ca Cu Jing sudah mendahului : "Untunglah desa itu tak jauh dari sini. Maka baiklah kita menyelidiki ke sana"

Tidak menjawab tetapi Pengemis sakti tampak tengadahkan kepala merenung. Beberapa saat kemudian, ia berkata : "Baik mari kita ke sana . . ." - tiba-tiba terdengar suara anjing menggonggong dari kejauhan.

Ketika berpaling, mereka melihat seekor anjing hitam yang amat besar, lari mendatangi. Cepat sekali anjing hitam itu sudah tiba di muka sekalian orang.

Cong To memandang anjing itu. Tiba-tiba ia mendengus lalu berjongkok mengusap-usap kaki belakang binatang itu dengan penuh rasa kasihan. Ternyata kaki belakang anjing itu mengucur beberapa tetes darah. Cong To mengeluarkan sebuah kotak besi yang berisi bubuk putih. Bubuk putih itu segera dilumurkan ke kaki anjing yang terluka itu lalu menegurnya : "Kemanakah pengemis kecil ?"

Anjing besar berbulu hitam itu menyalak lalu lari ke muka. Cong To segera mengajak Han Ping menyusul binatang itu. Walaupun terluka tetapi anjing itu masih cepat larinya. Dalam sekejap saja sudah mencapai 5-6 li.

Tiba-tiba Cong To membelok ke sebelah kanan dan menyambar tubuh Ih Seng untuk dikepit lalu loncat mendahului Ca Cu Jing. Serunya kepada anjing hitam : "Hitam, Hitam, jika lukamu tak berat, hayo larilah lebih cepat lagi"

Rupanya anjing itu mengerti akan kata-kata pengemis sakti. Setelah meraung keras, ia pesatkan larinya.

Melihat itu Han Ping terkejut. Tak terasa ia terseru memuji : "Hebat sekali larinya . . . ."

Bermula Ca Cu Jing mengira bahwa hanya nenggunakan 4- 5 bagian ilmunya lari cepat, ia tentu dapat mengejar anjing itu. Tetapi di luar dugaan, makin lama anjing itu makin lari lebih kencang. Terpaksa Ca Cu Jing tambahkan tenaga dalamnya.

Ih Seng yang dikepit Cong To, hanya mendengar angin tajam memekak telinga. Diam-diam ia kagum sekali atas kesaktian pengemis tua itu. Walaupun mengepit orang tetapi mampu lari secepat angin diam-diam ia malu hati.

"Saudara Cong, biarlah aku lepas. Kuyakin aku masih dapat berlari sendiri !" serunya.

Bagian 34

Tugas pertama.

"Racun dalam tubuhmu masih belum sembuh, tak boleh terlalu letih. Biarlah kubawamu lari" sahut Pengemis sakti.

Kira-kira berlari sepenanak nasi lamanya, mereka melihat pemandangan di sebelah muka mulai berganti. Tanahnya datar tiada berujung. Puncak gunung berderet tinggi rendah.

Tiba-tiba anjing hitam itu berhenti dan berpaling ke arah tuannya. setelah menyalak, binatang itu segera lanjutkan larinya menuju ke sebuah puncak.

"Harap berikan saudara Ih kepada adik kecil (Han Ping) saja !" seru Ca Cu Jing.

Cong To tertawa : "Tak apa, pengemis tua masih kuat !" - Sekali loncat ia mendahului lari di muka.

Hampir sejam lamanya mereka mengikuti anjing itu mendaki ke puncak. Akhimya tibalah mereka di muka sebuah halaman yang luas, dikelilingi pohon bambu dan pohon siong.

Memandang ke muka tampak sebuah gedung besar berdinding merah, menonjol megah di antara lingkungan puncak gunung.

Karena bambu dua pohon siong yang mengelilingi gedung itu amat lebat, maka sukar dilihat bagaimana keadaan gedung itu.

Anjing itu berhenti di luar halaman dan memandang Cong To. Seolah-olah hendak menunggu perintah tuannya.

Setelah meletakkan Ih Seng, pengemis sakti itu tertawa : "Saudara Ca, inilah yang disebut Bik-lo-san-cung ! Kita secara terang minta pintu atau masuk dengan paksa ?"

Ca Cu Jing merenung sejenak lalu menjawab : "Terserah bagaimana pendapat saudara !"

Cong To tertawa : "Selama ini pengemis tua tak pandai merangkai kata-kata indah. Kita masuk saja secara setengah sopan setengah paksa !"

Habis berkata pengemis sakti itu terus mengitari pagar pohon bambu lalu menyusup ke muka.

Pada pintu yang luar biasa besarnya, tergantung sebuah papan bertulis empat huruf emas : "Gedung Bik-lo-san."

Pintu gerbang itu tertutup rapat.

Sejenak Ca Cu Jing kerutkan alis lalu berkata : "Saudara Cong, sehebat ini gedung Bik-lo-san, tetapi mengapa tiada penjaganya sama sekali ?"

Cong To tertawa : "Menurut hemat pengemis tua, mereka tentu sudah tahu tetapi pura-pura diam agar kita tak dapat menduga-duga keadaan mereka . . . ." - katanya seraya melangkah maju lalu mendebur pintu : "Hai, apakah di dalam tak ada orang ?"

Sekonyong-konyong pintu gerbang terbuka dan empat orang berpakaian hitam berjajar menghadang jalan. Cong To memandang mereka.

"Beritahukan kepada majikan gedung ini bahwa pengemis tua datang hendak mengemis nasi !"

Tanpa mempedulikan keempat penjaga Itu, pengemis sakti Cong To terus menerjang masuk.

Keempat penjaga itu buru-buru menyisih ke samping. Setelah keempat tetamu masuk, mereka segera menutup pintu lagi.

Cong To tertegun. Berpaling ke belakang, dilihatnya keempat penjaga itu tak mempedulikannya. Habis menutup pintu mereka segera masuk ke sebuah rumah kecil di belakang pintu gerbang.

"Saudara Cong, apakah mereka orang gagu !" tanya Ca Cu Jing,

"Bertemu keanehan jangan merasa aneh. Keanehan itu pasti akan kalah sendiri. Tak usah pedulikan mereka !" sahut Cong To. Ia terus melangkah maju.

Halaman gedung yang amat luas itu penuh ditumbuhi bermacam-macam pohon bunga dan rumput hijau. Angin halus menyerbak bau harum. Di sepanjang tepi halaman, dibuat pagar bertingkat.

Cong To minta kepada Ca Cu Jing supaya mengamati pohon-pohon bunga itu : "Adakah sesuatu yang aneh pada batang-batang bunga itu ?"

Ca Cu Jing mahir dalam ilmu barisan. Khusus ia mempunyai peyakinan istimewa dalam ilmu barisan Pat-kwa-kiu-kiong-tin dan Ngo-heng-tin.

Setelah memandang beberapa jenak pada barisan bunga, ia berkata : "Aku yang jalan di muka dan saudara-saudara mengikuti di belakang !"

Setelah melintasi halaman kebun bunga itu mereka memasuki sebuah ruang gedung yang besar. Di tengah ruang tersedia meja, penuh dengan makanan dan minuman. Empat cawan dan empat mangkuk tersedia disitu. Tetapi di dalam ruang tak tampak seorang pun juga.

Seketika timbullah selera Cong To untuk minum arak : "Mereka tentu akan menjamu kita berempat. Hayo, kita lalap dulu hidangan itul" Tetapi Ca Cu Jing mencegahnya. "Ah, biarlah pengemis tua yang mencicipi dulu. Jika hidangan itu tak mengandung racun, kalian akan kuundang !" - Sekali loncat pengemis sakti itu terus menerobos masuk.

Di meja hidangan terdapat secarik kertas berbunyi : "Karena dari jauh, tentulah saudara-saudara lapar dan haus maka khusus disediakan hidangan dan arak istimewa sebagai tanda penyambutan dari tuan rumah."

Han Ping melangkah masuk, katanya : "Cong locianpwe, apa yang ditulis dalam kertas itu ? Bolehkah aku melihatnya ?"

Gong To angsurkan kertas itu : "Dengan adanya surat pengantar itu, hidangan dan minuman ini tentu tak diberi racun !"

Han Ping menyambuti dan membacanya bersama Ca Cu Jing. Ketua marga Ca itu geleng-geleng kepala berseru : "Ini menandakan bakwa makanan itu tak boleh kita makan. Karena saudara Cong sudah lama berkelana di dunia persilatan, tentulah mengetahui tentang tipu muslihat kaum persilatan. Dengan meninggalkan surat itu, tak dapat disangsikan lagi mereka tentu sudah mencampuri racun . . . ."

Tepat pada taat itu terdengarlah suara tertawa dari luar ruang. Empat orang berbaju hitam menerobos masuk dan tanpa menghiraukan Cong To, mereka terus duduk di kursi. Salah seorang mengambil poci arak dan menuang pada cawan kawan-kawannya seraya tertawa : "Kami memang mempunyai paru tembaga usus besi. Tak takut keracunan. Hayo, minumlah sepuas-puasnya !"

Keempat orang itu makan dan minum dengan lahap sekali. Makanan dan minuman habis dilahapnya. Setelah mengusap mulut, mereka terus melangkah keluar lagi.

Memandang ke arah meja yang hanya tinggal terdapat tetesan arak, pengemis sakti Cong To bersungut-sungut menyesali Ca Cu Jing : "Ah, pengemis tua mengatakan hidangan itu tidak mengandung racun, kalian tak percaya. Sekarang bagaimana ?"

Ca Cu Jing tertawa : "Harap saudara Cong jangan kuatir. Begitu putraku sudah bebas, akan kuundang saudara ke Ca-ke-poh. Bukan aku hendak menyombongkan diri tetapi memang kami memelihara tukang masak yang istimewa. Selama satu bulan tiap hari makanan tentu berbeda-beda !"

Namun Cong To masih bersungut mengatakan rasa sayangnya karena hidangan yang lezat dan arak yang wangi telah dihabiskan keempat orang tadi. Kemudian ia keluar ruangan dan menuju ke belakang.

Disitu merupakan sebuah halaman yang penuh dihias dengan pot-pot bunga. Empat orang budak perempuan berbaju hijau, sudah siap menunggu. Begitu melihat kedatangan keempat tetamu itu, dengan langkah lemah gemulai mereka segera menyambut. Mereka masing-masing membawa sebuah penampan kumala, berisi cawan teh yang masih panas, jelas tentu baru saja dituang.

Memandang ke arah keempat buyang perempuan itu, Ca Cu Jing menolak : "Tak usahlah !"

Keempat gadis pelayan itu saling memandang lalu tertawa. Mereka mengambil cawan teh terus diteguknya habis. Kemudian mereka memberi hormat kepada rombongan Cong To, lalu masuk ke belakang.

"Huh, penyambutan busuk ini hebat juga !" dengus Pengemis sakti Cong To.

Sahut Ca Cu Jing : "Walaupun mereka hendak mengunjukkan cara apa saja, lebih baik kita tak pedulikan dan tak minum !"

Cong To tertawa gelak-gelak : "Kecuali arak, tiada lain benda di dunia yang pengemis tua senangi. Uh, sungguh mengerikan. . . ." - tiba-tiba ia lari ke muka.

Setelah melintasi sebuah halaman itu, mereka tiba pula di sebuah ruang besar yang mewah sekali. Pintu terentang lebar, di tengah ruang tampaklah si dara baju ungu sedang duduk.

Seorang wanita cantik berbaju hijau, duduk di sebelah kirinya. Di belakang wanita baju hijau itu berdiri seorang pemuda berpakaian indah.

Ketika mengamati, tahulah Han Ping bahwa wanita berbaju itu adalah yang melukai Ting Ling tempo hari. Sedang pemuda berpakaian indah itu adalah Ho Heng Ciu.

Tetapi lain halnya dengan Pengemis sakti Cong To. Begitu melihat wanita baju hijau itu, seketika lenyaplah kegarangannya. Ia tertegun seperti patung.

Melihat sikap Cong To, heranlah Ca Cu Jing.

"Saudara Cong, mengapa engkau berhenti ?" serunya.

Pengemis sakti Cong To hanya batuk-batuk dua kali tetapi tak menyahut.

Han Ping menyelinap dari samping Cong To lalu melangkah ke tengah ruang. Ca Cu Jingpun segera menggandeng tangan Cong To diajak masuk. Ih Seng mengikuti dari belakang.

Sekeliling ruang besar itu ditutup dengan kain berudu hijau. Hanya meja persegi delapan yang dipasang di tengah ruang itu berwarna merah. Di atas meja terdapat sebuah Giok-ting sehingga seluruh ruangan berbau harum.

Kecuali si dara baju ungu, wanita baju hijau dan Ho Heng Ciu bertiga, tiada lain orang lagi dalam ruang besar itu. Juga tiada lain perabot lagi kecuali meja merah dan dua buah kursi besar.

Ca Cu Jing rasanya pernah melihat wanita baju hijau itu. Tetapi melihat sikapnya yang begitu tak mengacuhkan tetamu, marahlah ketua marga Ca itu.

Ia mendengus : "Aku Ca Cu Jing, memerlukan datang kemari untuk menghadap pemilik gedung. Apakah dapat mengundangnya keluar ?"

Dara baju ungu itu perlahan-lahan berpaling muka lalu tertawa tawar : "Apakah engkau ketua marga Ca yang bernama Ca Cu Jing itu ?"

"Benar . . . ." sahut Ca Cu Jing. Tiba-tiba ia merasa omongan dara itu congkak sekali. Seketika ia berseru marah : "Ya, Ca Cu Jing memang aku ini. Mengapa engkau seorang anak perempuan bicara begitu tak sopan ? Jika tak memandang engkau ini seorang anak perempuan, kekasaranmu itu pantas dihukum mati !"

Sebagai tokoh terkemuka dari dunia persilatan wilayah Hopak, selama ini tiada orang yang berani meremehkan Ca Cu Jing. Ca Cu Jing angot lagi kebiasaannya dihormati orang.

Dara baju ungu itu memandang ke atas langit wuwungan seraya berkata tenang sekali : "Dari ketiga marga, aku telah bertemu dengan Siang Kwan Ko. Dan sekarang dengan engkau !"

Ca Cu Jing terbeliak . . . .
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar