Makam Asmara Jilid 08 Pedang Pemutus Asmara

Jilid 08 Pedang Pemutus Asmara

Berkata ketua Bu tong pay pula, “Entah bagaimana Ji tayhiap memperoleh pedang itu tetapi jelas pedang itu berasal dari gereja Siau- lim-si. Agar jangan sampai merusak persahabatan di antara sesama kaum persilatan Tiong-goan, mohon Ji tayhiap suka memandang muka pinto dan suka mengembalikan pedang itu kepada Siau-lim.”

“Mohon tanya, apakah cara kedua yang totiang hendak utarakan?” tukas Han Ping.

“Ji tayhiap mengatakan bahwa pedang itu engkau dapatkan karena menang bertaruh adu kepandaian. Maka pinto hendak mengulangi hal itu, akan bertaruh juga dengan Ji tayhiap.” kata Thian Ci totiang.

Han Ping terkesiap.

“Apabila Goan Thong Taysu suka memberi keterangan atas sebuah pertanyaanku, tak perlu bertaruh, aku tentu akan menghaturkan pedang itu kepada Siau-lim-si,” sahut Han Ping.

“Pertanyaan apa?”

“Bahwa totiang berani bertaruh dengan aku demi kepentingan Siau-lim-si, jelas menunjukkan keluhuran budi totiang. Tetapi dapatkah totiang menjamin kepadaku bahwa Goan Thong taysu tentu mau menjawab pertanyaanku itu?”

“Soal itu tergantung dari janji Ji-tayhiap untuk mengembalikan pedang itu?”

Tanpa ragu2 Han Ping lalu angsurkan pedang Pemutus-asmara, “Silahkan totiang menerima pedang ini.”

Sambil menyambuti pedang, Thian Ci totiang berkata, “Asal pertanyaan itu tak mengandung hinaan kotor kepada orang, aku tentu bersedia untuk menjadi saksi kedua belah fihak.”

Setelah menyerahkan pedang, mata Han Ping lalu menatap Goan Thong taysu.

“Dalam kalangan agama Hud -kau, orang menuntut adanya hukum Karma. Apabila sepatah saja engkau bohong, engkau tentu akan dijebluskan ke dalam neraka delapan belas lapis….” kata pemuda itu.

Tiba2 Han Ping bertanya dengan nada serius, “Bagaimanakah kematian ketua Siau-lim-si dari dua angkatan yang lalu?”

Partanyaan ini sungguh di luar dugaan orang, sehingga sekalian orang tertegun.

Dan tampaknya Goan Thong taysu tergetar nyalinya melihat kegarangan sikap anakmuda itu. Setelah termangu sejenak, ia menyahut, “Tiada seorang kaum persilatan yang tak tahu bahwa karena menderita sakit maka beliau meninggal….”

“Apakah omonganmu itu benar2 keluar dari hati nuranimu yang baik?” tiba2 Han Ping menggembor keras.

Goan Thong terbeliak tak dapat menjawab.

“Apakah bukan engkau yang memperdayakan kekuasaan suhumu untuk membunuhnya?” teriak Han Ping nyaring.

Rupanya Goan Thongpun sudah mendapat kesadarannya kembali. Ia membentak marah, “Jangan ngaco belo….”

Han Ping bersuit panjang lalu berseru dengan lantang, “Siang malam kupikirkan peristiwa itu dan akhirnya aku dapat menemukan jawabannya. Murid pertama dari sucoumu yakni Hui Gong taysu, seorang tunas yang cemerlang. Walaupun karena terlena oleh rasa dengki telah melakukan pembunuhan tetapi tak seharusnya dia menerima hukuman seumur hidup semacam itu….”

Goan Thong taysu mendengus, “Harap Hui In susiok turun tangan untuk melenyapkan anak gila ini agar jangan sampai menodai nama baik Siau-lim-si.”

Hui In taysu, sute dari mendiang Hui Gong taysu, adalah paman guru dari Goan Thong taysu ketua Siau-lim-si yang sekarang. Paderi tua itu mengerut sedih lalu merangkapkan kedua tangannya.

“Maksudku, biarlah dia bicara dulu sampai selesai, baru kita nanti menindaknya,” kata paderi tua itu.

Han Ping tak menghiraukan, ia tetap melanjutkan kata2nya dengan nyaring, “Sucoumu menghukum Hui Gong taysu dalam ruang Renungan itu, tujuannya tak lain agar Hui Gong taysu dapat menggunakan waktu2 yang sunyi dan hening itu, untuk memperdalam pengertiannya tentang ilmu pusaka Siau-lim. Setelah dapat menembus rahasia2 ilmu pusaka itu, barulah dia nanti akan diangkat sebagai ketua Siau-lim. Dengan demikian tentulah pamor gereja Siau-lim-si akan makin rmenjulang luas. Itulah sebabnya mengapa sucoumu hanya memerintahkan Hui Gong taysu dihukum menghadap tembok selama tiga tahun saja.”

“Lekas bunuh murid liar itu agar nama Siau-lim-si jangan tercemar….” karena
tak kuat menahan kemarahannya, Goan Thong taysu menggembor.

Dua orang paderi jubah merah merah tampil ke muka dan menghantam. Tetapi Han Ping cepat bergerak, ia menghindari pukulan dari sebelah kiri dan menangkis pukulan dari sebelah kanan.

“Taysu sekalian mungkin tak percaya kepadaku,” serunya, “tetapi apabila para paderi tingkat tinggi mau merenungkan suasana pada saat itu, tentulah akan percaya pada apa yang kukatakan ini….”

Paderi jubah merah yang menyerang dari sebelah kiri tadi, saat itu sudah akan mandorongkan kedua tangannya ke arah Han Ping, Tetapi demi mendengar kata2 Han Ping tiba2 ia menarik pulang tangannya dan mundur ke tempatnya semula.

Melihat itu bukan kepalang merah Goan Thong taysu. Segera ia membentak kepada beberapa paderi jubah merah, “Mengapa tinggal diam saja. Apakah kalian lupa akan peraturan gereja yang keras itu?”

Rombongan paderi itu serempak marangkapkan kedua tangan ke dada dan menyerukan Omitohud lalu tundukkan kepala tak menyahut.

“Harap ciangbun hong-tiang jangan marah,” tiba2 Hui In taysu menyeletuk, “atas peringatan sicu itu, akupun segera teringat akan sebuah hal. Pada saat aku hendak berangkat menjalankan tugas ke daerah Kwan-ga (luar perbatasan), suhu masih terbaring di tempat tidur karena menderita sakit dan

memesan wanti2 kepadaku, paling lambat tiga tahun lagi harus kembali ke gereja untuk menghadiri upacara pengangkatan Hui Gong menjadi ketua gereja….”

Merahlah selembar muka Goan Thong, bentaknya, “Tutup mulutmu! Apakah engkau anggap tongkat Kumala Hijau ini tak boleh membunuh seorang angkatan tua?”

Wajah Hui In pun berobah serius, serunya dengan nada sarat, “Bagaimana aku berani melawan tongkat pimpinan gereja kita.”

Sambil gentakkan tongkat Kumala Hijau, berserulah Goan Thong taysu, “Kalau tak berani menentang tongkat Kumala Hijau, harap lekas menerima amanatnya.”

Sambi rangkapkan kedua tangan, Hui In menyambut, “Dengan hormat aku menanti.”

Goan Thong taysu mengacungkan tongkat pimpinan itu ke atas seraya pelahan-lahan maju menghampiri. Kerut dahinya memancar hawa pembunuhan.

Rombongan paderi itu tampaknya patuh sekali terhadap tongkat Kumala Hijau. Pada saat tongkat itu dibawa Goan Thong berjalan, mereka tundukkan kepala dengan khidmat sekali.

Tiba2 Han Ping berkisar tubuh menghadang jalan Goan Thong. Dua orang paderi jubah merah segera menghantamnya dari kanan dan kiri.

Walaupun rombongan paderi itu sudab menaruh kecurigaan terhadap Goan Thong tetapi mereka tetap menghormati kedudukannya sebagai seorang ketua. Maka itulah sebabnya, ketika Han Ping menghadang, kedua paderi jubah merah itu segera menyerangnya.

Han Ping tak mau bentrok dengan paderi Siau-lim-si. Ia cepat loncat menghindar lalu berpaling ke arah Thian Ci totiang, serunya, “Totiang adalah seorang imam yang berkedudukan tinggi. Apa yang totiang ucapkan tentu harus ditepati. Mohon totiang suka memberi peradilan.”

Thian Ci totiang menghela napas sarat, serunya, “Goan Thong toheng.”

Tanpa berpaling, ketua Siau-lim-si itu mengiakan. Dengan dikawal oleh rombongan paderi, ia cepatkan langkah menerjang ke tempat Hui In taysu. Mengangkat tongkat Kumala Hijau terus dihantamkan.

Melihat tongkat Kumala Hijau hendak mengemplang kepalanya, Hui In tak berani menghindar dan mengerahkan tenaga dalam untuk menahan. Cepat ia pejamkan mata dan menghela napas, “Hui Gong suheng, tunggulah aku untuk

bersama-sama ke Inderaloka!” terdengar suara gemboran keras. Segelombang angin pukulan melanda dan menyiak tongkat Kumala Hijau itu.

Goan Thong taysu terkejut dan berpaling. Dilihatnya pengemis tua yang rambutnya kusut masai dan menggendong sebuah buli2 arak warna merah tengah berjalan menghampiri.

“Siapa engkau?” bentak Goan Thong murka.

Orang itu tertawa dingin. “Huh, masakan aku si pengemis tua engkau tak kenal?”

Goan Thong taysu menunjuk Hui Ko taysu dengan tongkat Kumala Hijau serunya, “mohon Hui Ko susiok turun tangan membasmi pengemis tua itu.”

Hui Ko taysu loncat ke muka, berseru dingin, “Cong To, kuharap engkau jangan usil.”

Pengemis-sakti Cong To tertawa, “Penyakit yang sudah lama diderita pengemis tua itu, justeru penyakit usil suka mencampuri urusan orang.”

“Kalau begitu engkau cari mati,” Hui Ko marah dan terus menghantam.

Cong To menangkis dengan tangan kanan. Ketika saling berbentur, pengemis itu tersurut mundur selangkah.

Hui Ko taysu menghambur serangan dengan kedua tangannya. Makin lama makin gencar dan hebat. Dia memiliki tenaga-dalam yang tinggi. Setiap pukulannya tentu lebih hebat dari yang sudah2. Cepat sekali keduanya sudah bertempur empat lima jurus.

Tiba2 Goan Thong berseru nyaring, “Murid Siau-lim yang berhianat berani menentang amanat tongkat Kumala Hijau, harus dihukum mati….”

Rombongan paderi Siau-lim serempak berseru, “Mohon ciangbun -jin suka bermurah hati. Hui In taysu merupakan salah satu dari dua orang angkatan Hui yang masih hidup. Bagaimana ciangbun-jin hendak menurunkan perintah menghukumnya mati.”

Tetapi Goan Thong taysu tetap berseru lantang, “Semua tindakan aku yang bertanggung jawab.”

Habis berkata ia terus ayunkan tongkat Kumala Hijau ke arah kepala Hui In.

Melihat itu Han Ping terkejut. Tetapi tempatnya dengan Hui In masih terpisah dengan sederet rombongan paderi jubah merah. Sekalipun ia maju menolong tetapi keadaan tak memungkinkan.

Pada saat maut hendak merenggut jiwa seorang paderi sakti dari tiba2 Ih Thian-heng yang sejak tadi pejamkan mata menyalurkan tenaga-dalam membuka mata dan membentah, “Goan Thong, berhenti!”

Dengan cepat ia gerakkan tutukkan jari-sakti ke arah Goan Thong.

Pertama, ilmu tutukan-jari dari jauh yang dilancarkan Ih Thian-heng itu memang amat cepat sekali. Dan kedua kalinya, rombongan paderi itu memang tak menghendaki Hui In taysu sampat binasa di bawah hantaman tongkat Kumala Hijau. Maka Paderi2 itupun sengaja bergerak lamban.

Goan Thong taysu terkejut dan terpaksa menghindar mundur. Ia menyadari bahwa sekalipun ia dapat menghatam pecah kepala Hui In, tetapi dia sendiripun pasti celaka terkena ilmu tutukan jari maut dari Ih Thian-heng.

Selekas dapat mencegah Goan Thong taysu, Ih Thian-heng pun segera menderita serangan dari dua paderi pengawal Goan Thong.

Han Ping berpaling ke arah Thian Ci totiang, “Karena totiang tak dapat menjamin kepentingan dua fihak, harap mengembalikan pedang itu kepadaku,” katanya dengan nada dingin.

Thian Ci totiang terkesiap dan wajahnyapun berobah. Sambil menyerahkan kembali pedang, ia berteriak keras, “Goan Thong toheng, harap memandang mukaku dan hentikan tindakan dulu. Hendak bicara, marilah bicara secara baik2.”

Terdengar Ih Thian-heng tertawa dingin. Ia gerakkan kedua kakinya untuk menendang sehingga kedua paderi yang menyerangnya itu mundur.

“Dunia mengatakan aku orang she Ih ini manusia berhati kejam dan ganas. Tetapi siapa tahu partai Siau -lim-si yang membanggakan diri sebagai pemimpin dunia persilatan dan sebuah partai perguruan yang besar, ternyata juga terdapat permainan yang kotor dan menyedihkan….”

Wajah Goan Thong taysu merah padam, bentaknya, “Ih Thian-heng, jangan ngaco belo….”

Ih Thian -heng tertawa panjang. “Bukankah hatimu takut? Seorang lelaki, berani berbuat berani bertanggung jawab. Mengapa harus takut?”

Bum, bum…. terdengar pula dua letupan dari Hui Ko dan Pengemis sakti Cong
To yang saling adu pukulan.

Tiba2 Hui Ko taysu membentak, “Hai, pengemis, dan mana engkau mencuri ilmu pelajaran Siau-lim-si?”

Cong To tertawa, “Tat Mo cousu sendirilah yang mengajarkan kepadaku. Suruh aku mewakili beliau membersihkan perguruan Siau-lim-si, menyikat murid2 murtad.”

Ia menutup kata-katanya dengan melancarkan dua buah pukulan yang kesemuanya adalah ilmu pusaka perguruan Siau-lim-si.

Tempo Cong To dan Han Ping terperangkap jatuh ke dalam penjara air Hian-bu-kiong, keduanya melewatkan hari dengan makan belut. Han Ping telah mengatakan banyak sekali ilmu pelajaran dalam buku Tat-mo-ih kin-keng yang dihafalnya secara lisan. Cong To yang tinggi kepandaiannya dan merupakan seorang tokoh kelas satu dalam dunia persilatan, mendengarkan uraian Han Ping itu dengan penuh perhatian. Lalu merenungkan dan meresapinya. Dengan demikian bukan saja ia memperoleh banyak sekali ilmu2 pusaka perguruan Siau-lim-si, pun ia telah memperoleh kemajuan besar dalam ilmu tenaga-dalam.

Pada saat itu Goan Thong tetap menggerak-gerakkan tongkat Kumala Hijau untuk memaksa rombongan paderi menyerang Ih Thian-heng.

Rombongan paderi yang menyertai Goan Thong masuk ke dalam makam tua itu, adalah paderi2 kelas satu. Sekali mereka maju menyerang, sudah tentu perbawanya dahsyat sekali.

Ih Thian-heng dalam keadaan masih belum terluka pun sukar untuk menghadapi. Apalagi saat itu sebelah lengannya lumpuh. Untungnya Para paderi itu sudah menaruh kecurigaan kepada Goan Thong. Mereka memang sengaja tak mau membunuh Ih Thian-heng agar dapat dijadikan saksi hidup. Waktu bertempur, merekapun sengaja memberi kelonggaran sehingga dengan demikian Ih Thian-heng tak sampai menderita kekalalaan.

Namun sekalipun mereka memberi kelonggran, setelah bertempur berpuluh jurus, Ih Thian-heng tetap merasa tak kuat bertahan.

Goan Thong taysu serdiripun tak sahar lagi. Ia segera menyerang dengan tongkat Kumala Hijau kepada Ih Thian-heng. Tujuh buah serangan dilancarkan sembari membentak kepada para anak buahnya, “Dalam limapuluh jurus apabila tak mampu mencabut jiwa Ih Thian-heng, kalian harus lekas siap menerima hukuman perguruan.”

Rupanya rombongan paderi itu sudah mengetahui bahwa ketuanya tahu kalau mereka tak menyerang sungguh2. Mendengar bentakan itu, mereka terkejut lalu menyerang gencar.

Tongkat Kumala Hijau memang merupakan lambang kekuasaan tertinggi dari gereja Siau-lim si. Semua paderi Siau-lim-si dari tingkat bawah sampai tingkat yang paling tinggi, tunduk dan taat pada amanat tongkat Kumala Hijau.

Ih Thian-heng yang sudah tak kuat, makin payah. Dalam limapuluh jurus, tentu tentu akan mati di bawah hujan pukulan paderi2 Siau-lim-si.

Nyo Bun-giau, ketua Lembah setan dan lain2 hanya berpeluk tangan mengawasi. Tetapi walaupun tampaknya tak acuh, dalam hati mereka amat gelisah juga. Mereka tak tahu bagaimanakah kesudahan peristiwa yang terjadi pada saat itu.

Dalam pada itu fihak Lam-hay-bun malah sudah mengelompok. Tampak bibir ketua Lam-hay-bun bergerak-gerak. Rupanya dia gunakan ilmu Menyusup-suara untuk memberi perintah kepada anak buahnya.

Si Bungkuk dan si Kate, Ong Kwan-tiong serta si Baju merah kaki satu, tampak serius wajahnya. Lalu masing2 bergerak menduduki tempat2 penting di empat penjuru.

Si dara baju ungu rupanya menaruh perhatian pada pertempuran antara Ih Thian-heng dan rombongan paderi Siau-lim itu.

Pada saat Ih Thian -heng terancam maut. tiba2 Han Ping berseru pelahan dan menghantam balik Goan Thong. Ketua itu mengelak dan hantamkan tongkat Kumala Hijau untuk menutuk lengan Han Ping.

Han Ping loncat menghindar lalu menghantam keempat orang paderi. dengan ilmu Tujuh-pukulan dan kehebatan pukulan itu membuat sekalian orang terkejut.

Walaupun ilmu kepandaian paderi2 itu tinggi tetapi karena menderita serangan hebat secara mendadak, tak urung mereka menjadi kacau.

Ih Thian-heng menghela napas longgar. Semangatnyapun bangkit kembali. Dia segera keluarkan ilmu pukulan yang hebat untuk menyapu paderi2 itu.

Melihat itu Goan Thong segera berteriak, “Yang mundur akan mati.”

Dengan susah payah para paderi itu dapat mengatasi kekacauan dan mulai lancarkan serangan lagi kepada Ih Thian-heng dan Han Ping yang terkepung di tengah.

Walaupun keduanya merupakan musuh bebuyutan, tetapi keadaan saat itu memaksa keduanya bahu membahu menghadapi serangan paderi Siau-lim. Suasana itu telah menjadikan keduanya entah sebagai musuh entah kawan.

Sementara itu Hui Ko dan Cong Topun sudah bertempur sampai seratus jurus lebih.

Hui Ko taysu mengeluarkan ilmusilat pusaka Siau-lim. Dan tak sengaja serangan itu membuat Cong To makin menyelami banyak sekali ilmu pelajaran dalam kitab Tat- mo-ih-kin keng yang belum diketahui artinya.

Rupanya Goan Thong sudah memutuskan untuk membunuh Han Ping dan Ih Thian-heng. Dengan mengandalkan kekuasaan tongkat Kumala Hijau, ia dapat mendesak para paderi menyerang dengan seluruh tenaga.

Ke delapan paderi jubah merah, saat itu benar2 sudah tenggelam dalam pertempuran seru. Sebelum Goan Thong taysu, kesembilan orang itu melancarkan serangan2 maut kepada Han Ping dan Ih Thian-heng.

Dalam partai Hui Ko-Cong To. Semula kedudukan yang bagus dari Hui Ko, telah digagalkan oleh jurus2 permainan yang istimewa dari Cong To. Dengan demikian keduanya tetap berimbang. Pertempuran itu pasti berjalan lama, mungkin sampai ratusan jurus.

Pada fihak Siau-lim-si hanya Hui In taysu seorang yang belum turun tangan.

Saat itu tampak Ih Thian-heng mulai lelah. Karena lengannya yang sebelah tak dapat bergerak maka dia hanya bertempur dengan satu tangan. Sudah tentu agak canggung.

Melihat itu terpaksa Han Ping harus mengawasi keadaannya. Berulang kali ia menghantam dan menendang untuk membebaskan Ih Thian-heng dari serangan maut para paderi.

Seiring pertempuran berjalan seru, tiba2 Goan Thong berteriak keras, “Hui In supeh, kalau engkau tak mau turun gelanggang terpaksa akan kugunakan tongkat Kumala Hijau untuk memelintahkan engkau menghantam hancur ubun2 kepalamu sebagai tebusau dari hukuman perguruan kepadamu!”

Habis berkata ketua Siau-lim-si itu meloncat mundur seraya mengangkat tongkat pusaka.

Hui Tn taysu memandang tongkat Kumala Hijau, tongkat kekuasaan Siau lim-si yang sudah turun temurun sampai beberapa angkatan ketua. Tampak paderi tua dari angkatan Hui itu tegang sekali. Rupanya timbul pertentangan dalam batin paderi tua itu. Melawan atau mentaati amanat tongkat Kumala Hijau yang dilantangkan oleh ketua Siau lim-si sekarang yakni Goan Thong taysu.

Han Ping tahu bahwa ilmu kepandaian Hui In taysu itu adalah yang paling sakti di antara rombongan paderi Siau lim-si yang berada di makam situ. Bahkan Goan Thong taysu itupun hanya murid keponakan dari Hui In taysu. Goan Thong memanggil Hui In dengan sebutan ’susiok’ atau paman guru.

Han Pingpun menyadari pula bahwa apabila Hui In taysu terpaksa turun tangan karena ditekan oleh Goan Thong yang menggunakan kekuasaan tongkat

Kumala Hijau itu. pastilah suasana dalam pertempuran itu akan berobah berbahaya.

Berpaling ke arah rombongan tokoh2, Han Ping mendapat kesan bahwa sekali pun mereka menaruh perhatian pada jalannya pertempuran itu tetapi mereka tak mangunjuk sikap hendak membantu. Rupanya mereka takut bentrok dengan fihak Siau-lim-si.

Terdengar Hui In menghela napas, “Ah, apabila ciangbun-jin menyetujui sepulangnya ke gereja segera membuka rapat besar para tianglo (paderi golongan angkatan tua). aku segera menurut perintah untuk turun tangan. Tetapi apabila ciangbunjin menolak, lebih baik aku diam saja dan menanti hukuman dari tongkat Kumala Hijau itu.”

Dengan ucapannya itu jelas kalau Hui In tak menyatakan hendak membunuh diri sendiri dengan menghantam ubun2 kepalanya.

Sejenak merenung. Goan Thong taysu segera berkata, “Baik, aku meluluskan permintaanmu. Sepulang ke gereja segera akan kuselenggarakan rapat besar Tianglo.”

“Kalau demikian aku akan melaksanakan perintah Kumala Hijau,” kata Hui In.

Sejenak keliarkan pandang ia berseru pelahan suruh paderi2 jubah merah itu menyingkir. Setelah itu Hui In taysu maju selangkah dan memukul punggung Ih Thian-heng.

Saat itu Ih Thian-heng sedang menghadapi serangan dari dua orang paderi jubah merah dari sebelah muka. Sudah tentu ia tak berdaya melayani pukulan dari belakang.

Han Ping terkejut. Ia tahu Hui in taysu memiliki tenaga pukulan yang sakti.
Apabila punggung Ih Thian-heng terkena, tentulah akan remuk binasa.

Cepat anakmuda itu bertindak. ia berputar tubuh dan langsung tangan kirinya bergerak untuk menangkis.

Ketika kedua pukulan saling beradu. Han Ping terpental mundur selangkah. Luka pada lengannya yang baru saja berhenti mengeluarkan darah merekah kembali dan mengucurkan darah.

Hui In taysu tertegun. Kesempatan itu digunakan Han Ping untuk mencabut pedang Pemutus-Asmara.

Sekonyong-konyong Goan Thong menyerbu dan menutuk punggung Han Ping dengan tongkat Kumala Hijau. Tring, cepat Han Ping menebas tongkat itu dengan pedang.

Dalam pada itu Hui Inpun menutuk dengan jari. Sebuah arus tenaga dahsyat yang mendesuskan angin tajam segera melanda Han Ping.

Tongkat Kumala Hijau adalah pusaka gereja Siau-lim-si dan pedang Pemutus asmara itu sebuah pedang pusaka yang ampuh sekali. Apabila tongkat lambang kepemimpinan Sian lim si yang sangat dipuja oleh para paderi itu sampai terbabat kutung, tentulah akan membangkitkan kemarahan seluruh paderi. Itulah sebabnya maka Hui In menyerempaki dengan tutukan jari untuk memaksa Han Ping menyurur mundur. Dan memang, Han Ping yang kenal akan kelihayan tutukan jari itu segera menghindar ke samping.

Angin tutukan jari Hui Inpun melanda terus ke sisi Han Ping. Tetapi angin tajam itu pun dapat mencegah majunya rombongan paderi yang hendak menyerbu Han Ping.

Goan Thong taysu berseru gopoh, “Hui In susiok, harap menahan Han Ping, jangan kasih dia menerobos keluar!”

Habis berkata paderi itu terus menyerang Ih Thian-heng dengan tongkat Kumala Hijau. Rupanya dia sudah memutuskan membunuh Ih Thian-heng dulu baru nanti membasmi Han Ping.

Hui In taysu mengiakan dan segera menghadang Han Ping.

Sambil luruskan pedang Pemutus-asmara ke muka dada, Han Ping memandang paderi itu dengan mata berkilat-kilat. “Taysu adalah orang yang paling kuhormati. Aku tak mau bertempur dengan taysu.”

“Bertempur dengan lawan harus menggunakan ilmu kepandaian untuk mengalahkan. Silahkan sicu mencurahkan seluruh kepandaian sicu. Sekalipun aku terluka, takkan merasa penasaran.”

Han Ping mengungkat alis dan tertawa nyaring, “Sungguh tak nyana bahwa dua buah partai persilatan yang begitu termasyur dalam dunia persilatan, ternyata hanya manusia2 yang tak pegang janji. Kalau mereka yang dipandang sebagai pemuka dunia persilatan begitu nista tingkah lakunya, tentulah dunia persilatan pada umumnya juga berhati jahat.”

Ucapan yang diucapkan dengan tajam oleh Han Ping, benar2 bagaikan pisau yang menusuk uluhati Thian Ci totiang, ketua Bu-tong-pay.

Thian Ci totiang segera mencabut pedang yang tersanggul di belakang punggungnya.

Sejenak dideringkan, ia berseru keras, “Goan Thong toheng, apabila tak mau memberi muka kepadaku, akupun terpaksa akan turun tangan.”

Goan Thong terkesiap. Cepat ia gunakan ilmu menyusup-suara untuk memberi perintah kepada anak buahnya agar menumpahkan seluruh kekuatan dan dalam 10 jurus harus dapat merubuhkan Ih Thian-hene. Setelah itu ia terus menarik pulang tongkat Kumala Hijau dan menyurut mundur, menghampiri ke tempat Thian Ci totiang.

“Apakah toheng berkata kepadaku?” tanyanya.

“Aku sudah meluluskan kepada Ji Han Ping untuk menjamin kedua belah fihak. Lalu akupun sudah mewakili toheng untuk meminta kembali pedang Pemutus asmara itu. Rasanya toheng tentu ingat hal itu,” kata Thian Ci totiang.

“Ya, memang mendengar sedikit,” kata Goan Thong, “tetapi tak begitu jelas. Harap toheng suka menjalaskan sekali lagi.”

Dengan siasat itu, jelas Goan Thong hendak mengulur waktu agar anak buahnya sudah sempat membunuh Ih Thian-heng. Apabila hal itu sudah terlaksana. sekalipun Thian Ci totiang hendak turun tangan, tentu sudah terlambat. Dan setelah tinggal Han Ping seorang, mudahlah untuk menghadapinya dengan pelahan.

Tiba2 Han Ping bersuit panjang. Dengan wajah marah ia berseru kepada Hui In taysu, “Andaikata taysu tak mau memberi ampun kepadaku, tetapi paling tidak taysu harus mengingat akan penderitaan seorang suheng yang tanpa salah telah dipenjarakan seumur hidup….”

“Omitohud,” seru Hui In pelahan,” kekuasaan dari ketua Siaw lim si adalah yang paling tinggi. Tongkat Kumala Hijau merupakan lambang kekuasaan yang sudah turun temurun sampai sepuluh angkatan ketua. Bagaimana aku berani membangkang amanatnya?”

Han Ping menghela napas panjang, “Ah, sebuah benda pemberi amanat, ternyata mempunyai perbawa yang begitu besar. Belum lama keluar ke dunia persilatan aku sudah melihat benda pusaka itu mengalami dua kali hinaan….”

Tiba2 ia berganti nada keras. “Keadaan memaksa aku turun tangan, harap taysu jangan salahfaham.”

Ia menutup kata katanya dengan mainkan jurus Hun-toan ong-siang-tay atau Ruh mengenang-kampung halaman. Ujung pedang berkelebatan menaburkan tiga kelopak bunga pedang yang mengancam Hui In.

Hui In kebutkan lengan lalu diserempaki dengan menampar. Kedua gerakan itu untuk membendung serangan pedang Han Ping.

“Hmm…. harap taysu sutra berhati-hati.” Han Ping berseru dengan nada sarat.
Pedangpun tiba2 berganti dengan jurus Kim-lun-kiu-coan atau Roda emas-sembilan kali berputar.

Serentak empat julusan delapan kiblat penjuru tertutup oleh lingkaran sinar pedang yang memancarkan hawa dingin, permainan pedang itu adalah pelajaran yang paling terakhir yang diselami Han Ping. Merupakan salah sebuah dari tiga buah ilmu pedang istimewa dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng.

Karena melihat Ih Thian-heng sudah kacau permainannya, Han Ping makin gelisah dam dalam kemarahannya ia keluarkan ilmu pedang pusaka itu.

Sambil kebas-kebaskan lengan jubah, Hui In loncat mundur. Dalam hal ini, untunglah dia tahu gelagat dan Cepat2 menghindar. Tetapi tak urung jubahnya tergurat pecah oleh ujung pedang.

Satelah dapat mengundurkan Hui IEn, Han Ping teruskan serangannya ke arah kawanan pederi. Segera terdengar dua buah orang tertahan dari dua erang paderi jubah merah yang menderita luka. Darah merah membasahi jubah kedua pederi dan berketes ketes membasahi lantai.

Melihat itu serentak bangkitlah semangat Ih Thian-heng. Dengan ilmu tendangan berantai, ia menendang rubuh seorang paderi.

Han Ping bersuit panjang. Setelah beberapa kali mengganti permainan pedangnya, ia berhasil mengundurkan kawanan paderi.

“Para, suhu sekalian,” serunya lantang, “aku sebenarnya tak mempunyai dendam permusuhan suatu apa dengan para taysu. Gereja Siau lim-si telah berabad-abad harum namanya dalam dunia persilatan. Tetapi seperti pula halnya dengan betapapun baiknya tentu tetap terdapat rumput. Aku minta agar peristiwa dipenjarakannya Hui Gong taysu, diumumkan. Tentang bagaimana pertimbangan terhadap murid yang dianggap jahat itu, adalah hak keputusan gereja Siau lim-si untuk menjatuhkan hukuman. Aku takkan ikut campur.”

Melihat ilmu permainan pedang yang luar biasa anehnya dari anakmuda itu. Pula teringat akan peristiwa seorang paderi cemerlang dari dua angkatan yang lalu, para paderi itu serempak hentikan serangannya.

Setelah itu Han Pingpun berpaling ke arah Thian-heng. serunya, “Apakah lo-cianpwe suka untuk menuturkan tentang peristiwa2 yang terjadi dalam gereja Siau-lim-si selama dua angkatan ini? Dengan demikian dapatlah para suhu disini menghapus tuduhan mereka bahwa kita ini bermaksud hendak mengadu domba mereka.”

Ih Thian-heng tertawa nyaring. “Kita ini kawan atau lawan, aku sungguh tak jelas.”

Kata Han Ping, “Soal ini dengan urusan kita berdua, memang lain. Dua macam masalah itu tak boleh dicampur-adukkan. Tetapi seorang lelaki harus dapat membedakan garis permusuhan. Selama peristiwa dalam Siau-lim-si belum

selesai, untuk sementara waktu kita menjadi sahabat. Setelah peristiwa itu selesai, kita nanti menjadi musuh besar lagi.”

Ih Thian-heng menghela napas panjang serunya, “Suasana saat ini, benar2 belum pernah kualami seumur hidup. Siau-lim-si, Lam hay-bun, Dua Lembah dan Tiga Marga, ditambah pula dengan dendam permusuhan antara saudara Ji dengan aku, benar2 merupakan suatu keadaan yang campur aduk tak keruan. Bagaimana kesudahannya nanti tiada seorangpun dapat menduganya.”

Bum…. terdengar adu pukulan dari Hui Ko taysu dan Pengemis-sakti Cong To.
Cong To tersurut dua langkah ke belakang, Hui Ko taysu pun mundur selangkah.

Melihat itu serentak Han Ping berseru, “Harap lo-cianpnwe berdua berhenti dulu. Setelah jelas akan duduk perkaranya, siapa yang salah siapa yang benar, baru nanti melanjutkan bertempur lagi.”

Melihat para paderi itu sudah berhenti, Hui Ko taysu terpaksa mundur ke samping.

Sebenarnya saat itu Hui Ko sudah merasa kewalahan terhadap pengemis tua. ilmu permainan Cong To makin lama makin aneh. Apabila dilanjutkan, sudah jelas siapa yang akan kalah.

Setelah meliarkan pandang mata ke sekeliling maka Ih Thian-heng pun berkata, “Peristiwa yang terjadi pada masa dua angkatan terdahulu dari gereja Siau-lim-si walaupun aku tak menyaksikan tetapi aku berani menjamin bahwa peristiwa itu memang sungguh2 benar….”-ia ulurkan tangan mencekal mayat Kim loji,
serunya pula, “Goan Thong, cobalah engkau lihat dengan seksama. Apakah engkau kenal orang ini?”

Karena membenturkan kepalanya ke tembok, separoh batok kepala Kim loji hancur.

“Tidak kenal,” Goan Tong gelengkan kepala.

Ih Thian hang tertawa, “Sayang dia buru2 mati, sehingga tak dapat bicara dengan engkau. Tetapi meskipun dia sudah mati, aku masih menyimpan seinah benda.”

Ia merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah arca Buddha dari perunggu kuno. Diacungkan arca itu tinggi2, serunya, “Para suhu sekalian, apakah kalian kenal pada arca kecil ini?”

Melihat arca berwarna kuning emas itu, seketika berobahlah wajah sekalian paderi. Kemudian mereka mencurahkan pandang ke arah Goan Thong taysu.

Tetapi ketua Siau-lim-si itu hanya tertawa dingin, serunya, “Arca Budha emas, apanya yang mengherankan? Apakah yang akan dijadikan bukti dengan benda itu….”- ia menutup kata-katanya dengan menggerakkan tongkat Kumala Hijau,
lalu berseru, “Dengarlah amanat tongkat Kumala Hijau lagi….”

“Tutup mulut!” bentak Han Ping marah. “kalau engkau yakin dirimu seorang suci, mengapa tak mau tunggu sampai Ih Thian-heng selesai bicara!”

Hui In taysu tiba2 kerutkan alis. serunya, “Arca emas itu, mirip benar dengan salah sebuah arca buddha dalam gereja Siau-lim-si.”

“Kalau benar, lalu bagaimana?” teriak Goan Thong yang sudah mulai kalap.

Hui In taysu terkesiap, serunya, “Harap ciangbunjin jangan marah dulu. Sebuah arca Buddha masakan dapat membuktikan perbuatan salah dari ciangbunjin? Kalau Ih Thian-heng sengaja melakukan fitnah, jangan harap hari ini dia dapat hidup lagi….”

Ih Thian-heng tertawa gelak2, “Tetapi bagaimana kalau keteranganku ini memang sungguh2 benar?”

Sejenak berhenti, Ih Thian-heng melanjutkan berkata lagi, “Terhadap peristiwa dipenjarakannya Hui Gong taysu seumur hidup, mungkin para suhu sekalian menaruh kecurigaan, bukan? Tetapi kalian tak berani mengutarakan!”

Sekian paderi saling bertukar pandang tetapi tak ada yang berani buka mulut.

Ih Thian-heng mengacungkan arca emas itu, serunya, “Arca Buddha dari emas ini adalah hong-tiang ciang bunjin Siau lim-si sendiri yang menyerahkan kepada Kim loji. Dan Kim loji pun menyerahkan kepadaku supaya disimpan….”

Melirik ke arah Goan Thong, tiba2 Ih Thian-heng membentak Goan Thong, “omonganku ini benar atau tidak?”

Seperti melihat bayangan setan, terbeliak mata Goan Thong memandang wajah Ih Thian heng. Ia terlongong tak dapat bicara sampai beberapa saat.

“Karena engkau tak berani menjawab, berarti secara diam2 engkau sudah mengakui,” kata Ih Thian -heng pula,” waktu menyerahkan arca itu kepada Kim loji, engkau mengatakan kepadanya bahwa dengan mengandalkan arca itu, apabila Kim loji menghadapi urusan, baik besar maupun kecil, Siau-lim-si tentu akan memberi bantuan.”

Melihat para paderi rupanya sudah terpengaruh dengan kata2 Ih Thian-heng, marahlah Goan Thong. Tetapi ia tak mau buru2 bertindak melainkan merenung. Beberapa saat kemudian wajahnya pun tampak tenang lagi.

“Orang itu apakah Kim loji itu dan siapakah aku ini?” serunya dingin,” masakan aku mau memberi janji begitu kepadanya!”

Ih Thian-heng tertawa. “Disitulah letak persoalannya. Ketua Siau-lim-si. seorang tokoh yang mendapat kehormatan besar dari setiap orang persilatan. Tetapi dia rela menyerahkan arca emas gereja kepada seorang persilatan yang tak ternama….”

Goan Thong menukas dingin, “Siapakah kaum persilatan yang tak tahu akan tingkah laku Ih Thian-heng yang jahat dan licik itu? Dia seorang manusia yang licin. Masakan tak mampu membuat arca tiruan semacam itu?”

Goan Thong menatap Ih Thian-heng lalu melanjutkan, “Mengajukan saksi seorang mati yang sudah tak dapat bicara lalu merangkai keterangan palsu. Ho, sungguh hebat permainanmu, sungguh beracun sekali mulutmu!”

Ih Thian-heng kerutkan ails, “Seorang paderi yang berhati begitu licin. O….
itulah sebabnya maka engkau dapat merebut pimpinan dan mengelabui para angkatan tua.”

Setiap patah kata2 Ih Thian-heng itu, bagaikan ujung pedang yang menusuk uluhati Goan Thong taysu. Tetapi ketua Siau-lim-si yang penuh dengan siasat itu tetap bersikap tenang.

“Sebenarnya aku harus lekas memberi amanat tongkat Kumala Hijau agar engkau dihukum mati. Tetapi karena ketajaman lidahmu agaknya dapat mempengaruhi orang maka akan kuberimu kesempatan untuk bercerita sampai habis baru nanti akan kulucuti semua kebohonganmu,” Goan Thong taysu tertawa mengejek.

“Engkau benar2 seorang yang kuat menguasai perasaan,” kata Ih Thian-heng lalu mengangkat patung emas, “kunci dari persoalan saat ini, hanya terletak pada arca ini palsu atau bukan. Jika salah seorang dari gereja dapat memberi kesaksian bahwa arca ini memang milik gereja Siau-lim, entah engkau akan mengatakan bagaimana?”

“Ketiga arca Buddha berwarna emas itu, saat ini masih tersimpan dalam ruang Perpustakaan gereja. Dan dalam ruang itupun tersimpan kitab pelajaran ke 72 ilmu silat sakti dari perguruan Siau-lim, termasuk juga kitab pusaka Tat mo ih kin-keng yang paling diincar oleh setiap orang persilatan itu. Kalau ada orang yang dapat masuk ke dalam ruang itu, tak mungkin dia hanya akan mengambil sebuah arca saja!”

“Ah….” Ih Thian-heng mendesah, “caramu untuk mendebat dan menghindari
pertanyaan, lihay sekali. Tetapi keadaan hari ini memang harus diselesaikan. Agar engkau mengakui kesalahan memang perlu kiia adu lidah habis-habisan….”

Ih Thian -heng berpaling kearah Hui In taysu, serunya pula, “Taysu adalah satu satunya angkatan Siau-lim-pay yang masih hidup. Tentulah sudah pernah melihat ketiga arca Buddha itu. Silahkan memeriksa arca ini, apakah benar2 pusaka milik gereja Siau-lim.”

Habis berkata Ih Thian-heng terus melemparkan arca itu kepada Hui In taysu.

Hui In taysu menyambuti dan memeriksa dengan teliti. Seketika berobahlah wajahnya.

“Adakah supeh dapat melihat ciri kepalsuannya?” tanya Goan Thong taysu.

“Ini, ini…. menurut pemeriksaanku, agaknya seperti bukan palsu.”

“Benarkah begitu? Cobalah berikan kepadaku!” kata Goan Thong. Hui In agak bersangsi tetapi ia memberikannya juga.

Setelah menyambuti arca dan memeriksa balik, tampak wajah Goan Thong berseri lalu berkata dengan sarat, “Memang bukan palsu….”

Mendengar pengakuan itu, tercenganglah sekalian paderi Siau-lim. Entah girang entah kejut.

Ih Thian -heng tertawa dingin, “Hm, benar2 seorang yang licin bagai belut. Sayang hari ini angkau bertemu dengan Ih Thian-heng . , .”

Wajah Goan Thong berobah bengis dan dengan mata berkilat kilat ia memandang sekalian paderi, serunya, “Mengapa dalam ruang Perpustakaan terjadi kekacauan, aku tak mendapat laporan?”

Para paderi itu saling berpandangan tak dapat bicara.

Kemudian berkatalah Goan Thong kepada Ih Thian-heng, “Ih Thian-hang, dihadapan para ketua partai2 persilatan. ketua Dua Lembah dan Tiga Marga serta tokoh2 yang ternama, engkau dapat menunjukkan benda pusaka milik Siau-lim-si. Dengan demikian jelas engkaulah yang mencuri dan tentulah masih banyak benda pusaka yang engkau ambil!”

Dengan kata2 itu jelas Goan Thong hendak memutar balik suasana. Ih Thian-heng yang hendak mendakwa, kini akan dijadikan terdakwa.

Han Ping menghela napas panjang, serunya, “Ih lo-cianpwe, entah sampai kapan habisnya kalau engkau adu lidah dengan dia? Maksudku, silahkan Ih lo cianpwe menuturkan apa yang lo-ciaupwe ketahui. Tak perduli para paderi itu percaya atau tidak, pokoknya kita sudah menyelesaikan kewajiban.”

Ih Thian-heng tersenyum, “Itu juga suatu cara….”-berhenti sejenak ia
melanjutkan pula, “Para suhu sekalian tentu tahu bahwa Hui Gong taysu itu

seorang tunas luar biasa dalam sejarah Siau-lim-si beberapa ratusan tahun ini. sebenarnya bakatnya yang cemerlang itu. Bukan melainkan hanya pada kalangan Siau-lim-si, pun dalam dunia persilatan sejak tiga ratusan tahun ini termasuk seorang tokoh luar biasa yang berbakat hebat. Tuhan telah memberkahi dia kecerdasan yang luar biasa tetapi pun seolah-olah menggariskan nasibnya harus di penjara seumur hidupnya sampai mati dengan penasaran….”

Tiba2 terdengar ketua Lam-hay-bun mendengus dingin.

Tetapi wanita cantik berpakaian seperti puteri keraton atau ibu dari si dara baju ungu, cepat mendahului bicara, “Mengapa engkau mendengus? Apakah engkau merasa lebih hebat dari dia?”

Tampaknya ketua Lam-hay-bun itu tak mau bertengkar mulut dengan isterinya.
ia segera diam.

Ih Thian-heng merenung sejenak lalu berkata pula, “Pada suatu malam di pertengahan musim rontok limapuluh tahun yang lalu, ketua Siau lim yang dijabat oleh seorang paderi dari tingkatan Hui, menderita sakit dan menutup mata. Peristiwa itu tentulah para suhu sekalian masih ingat.”

“Benar,” sahut Hui In taysu, “meninggalnya Hui Seng sute sampai hari ini memang tepat duapuluh tahun. Sekembalinya dari mengembara ke daerah Tibet, aku pulang ke gereja tepat pada bulan delapan tanggal enambelas. Hui Seng sute sudah menutup mata setengah hari lamanya.”

Ih Thian-heng tertawa hambar, “Tahukah para suhu sekalian apa yang menyebabkan kematian Hui Seng taysu itu? Beliau telah mati karena minum racun istimewa yang diberikan secara diam2 oleh Goan Thong. Tetapi pada detik2 menghembuskan napasnya yang terakhir, Hui Seng taysu mengetahui perbuatan jahat itu. Dimakinya Goan Thong habis-habisan. Goan Thong terkejut. Dia mengira kalau racun yang diberikan itu tak dapat bekerja atau mungkin kurang banyak. Maka dia tak berani membantah melainkan terus berlutut minta ampun atas kedosaannya. Dia mengaku bahwa yang menyuruh melakukan peracunan itu adalah susiok nomor tujuh….”

Hui In taysu terbeliak, “Susiok nomor tujuh….” cepat ia alihkan pandang
matanya kepada Hui Ko taysu yang menjadi susiok atau paman guru nomor tujuh dari Goan Thong.

“Jit sute, apakah hal itu benar?” serunya.

Hui Ko taysu berobah wajahnya. Tiba2 ia rangkapkan kedua tangannya ke dada dan berkata lunglai, “Suheng, ampunilah dosaku….”-ia terus pejamkan mata dan duduk di lantai.

Melihat itu Goan Thong kerutkan dahi dan membentak, “Susiok. jika tidak benar, mengapa tak mau membantah?”

Diulanginya lagi seruan itu sampai beberapa kali tetapi Hui Ko taysu tetap tak menjawab.

Hui In taysu menghela napas, ujarnya, “Diam2 dia sudah gunakan tutukan Siau thian -sing unnuk menghancurkan jantungnya sendiri. Da sudah meninggal….”

Goan Thong tertegun lalu menghampiri ke tempat paman gurunya itu.

Kewibawaan ketua Siau-lim-si yang sudah turun temurun beberapa angkatan selalu menjadi sumber kekuasaan pimpinan saat itu benar2 telah mengalami ujian yang paling menyedihkan. Wajah sekalian paderi yang berada di ruangan itu tampak berduka dan tegang. Mereka kehilangan faham menghadapi suasana saat itu.

Seluruh mata para paderi tertumpah kepada Goan Thong yang tengah melangkah ke tempat Hui Ko taysu.

Hui In tiba2 menyebut ‘omitohud’ serunya, “Ih Thian-heng memang memfitnah, harap ciangbun-jin jangan terpengaruh….”

Paderi tingkat tinggi itu tiba2 teringat akan nama baik Siau lim-si, Urusan dalam gereja, bagaimana boleh dikeluarkan di hadapan sekian banyak tokoh2 persilatan!

Goan Thong taysu pelahan-lahan mengangkat tongkat Kumala dan berseru, “Hui In supeh….”

Hui In rangkapkan tangan memberi hormat dan menyahut gopoh. “ciang-bunjin hendak memberi perintah apa?”

Wajah Goan Thong berobah pucat, katanya dengan serius, “Tongkat Kumala Hijau ini sudah turun temurun 26 angkatan ketua. Kekuasaannya lebih tinggi dan ketua partai sendiri. Demi mengagungkan kewibawaannya, maka aku hendak menghaturkan tongkat ini kepada supeh….”

Hui In terkesiap, “Ah, mana aku berani menerimanya?”

Tetapi tiba2 Goan Thong sudah menghampiri dan membentak, “Supeh, terimalah!”-tongkat Kumala Hijau segera dilontarkan.

Tongkat pusaka itu merupakan benda yang paling berpengaruh dalam gereja siau-lim-si. Melihat perbuatan Goan Thong. sekalian paderi terbeliak kaget.

Hut In terpaksa menyambuti.

Kemudian Goan Thong menghela napas, “Apa yang dikatakan Ih Thian-heng memang benar. Aku memang telah melakukan dosa besar meracuni guru. Arca emas itu memang aku yang memberikan kepada Kim loji. Soal itu menyangkut dendam dari dua orang angkatan tua. Peristiwa itu telah kucatat dengan jelas, kutaruh dalam peti kayu dalam ruang tempat tinggalku. Bila supeh pulang. silahkan membuka peti itu tentu dapat mengetahui peristiwa itu dengan jelas. Aku menyadari bahwa kedudukan yang kuperoleh dari hasil pembelian dengan pusaka gereja itu, benar2 suatu dosa yang tak berampun dan aku malu untuk hidup dalam dunia….”

Hui In cepat melangkah maju, “Tunggu dulu, ciangbunjin ….”

Goan Thong deliki mata dan membentaknya, “Mundur!”-ia ayunkan tangan mendorong Hui In.

Hui In terpaksa menghindar ke samping. Dan detik itu dipergunakan Goan Thong untuk gerakkan tangan kanan menekan dadanya sendiri.

sekalian paderi berteriak kaget. Mereka bergerak hendak mencegah.

Goan Thong turunkan tangan kanannya. Terlihat dadanya saat itu sudah berhias dengan tangkai pedang yang ujungnya membenam ke dalam dadanya.

Para paderi itu tak menyangka kalau Goan Thong menyembunyikan senjata dalam lengan jubahnya. Mereka tak keburu mencegah lagi dan terpaksa mundur.

Goan Thong melangkah ke dekat dinding ruangan, mengambil arca Buddha dan diletakkan di mukanya lalu ia berlutut. “Murid telah melanggar dosa besar yang tak berampun. Murid mohon ampun di hadapan Hud-ya ….” ia mencabut tangkai pedang dari dadanya. Darah merah segera menyembur keluar.

Seketika rubuhlah Goan Thong, ketua Siau-lim-si yang ternyata telah melakukan kedosaan besar. Dia menyadari perbuatannya dan menebus kesalahannya dengan bunuh diri.

Hui In tertegun. Kemudian memberi perintah kepada murid2 untuk mengurus kedua jenazah, Hui Ko taysu dan Goan Tong.

Setelah itu maka Hui In taysu lalu beralih memandang Han Ping. serunya, “Engkau telah membersihkan suatu peristiwa yang terjadi dalam gereja Siau-lim-si. Engkaupun menunaikan tugas menyelesaikan dendam dari dua angkatan paderi. Tetapi engkau juga merusak nama baik gereja Siau-lim-si yang selama beratus tahun. Men…. jadi pusat perindahan orang. Aku
kehilangan faham, harus memperlakukan engkau sebagai lawan atau sebagai kawan?”

Han Ping tertawa hambar “Kawan atau lawan. terserah pada pertimbangan taysu…. ia menengadahkan kepala dan tertawa nyaring, lalu serunya, “Dua
buah cita2, sudah terlaksana yang satu. Setelah dapat membalaskan sakit hati orang tuaku, matipun aku tak penasaran.”

Saat itu anak buah Lam-hay-bun sudah tersebar di seluruh tempat2 yang penting. Mereka hanya melihati saja gerak gerik tokoh2 persilatan Tiong-goon yang saling gasak sendiri itu. Rupanya mereka hendak menunggu setelah tokoh2 Tiong-goan itu remuk, baru akan turun tangan.

Setelah Goan Thong taysu meninggal, Ih Thian-heng pun menyadari kalau keadaan dirinya sudah makin terpencil. Ketua Kedua Lembah dan Tiga Marga tampaknya sukar untuk diajak bersekutu lagi. Dan Han Ping tetap hendak menuntut balas kepadanya. Dengan begini, ia harus berjuang seorang diri. Satu satunya jalan yalah secara tiba2 menerobos kduar dari terowongan yang digunakan masuk oleh rombongan paderi Siau-lim tadi. Tetapi ternyata pintu terowongan itu sudah dijaga oleh orang Lam-hay-bun yang paling sakti yaitu nenek Bwe Nio.

Sambil memandang ke sekeliling, Ih Thian-heng menimang-nimang dalam hati. Ia menyadari kalau kesempatan untuk lolos, sudah makin menipis. Diam2 ia gerakkan tenaga-dalam untuk memulihkan tenaga, hanya dengan tenaganya sendiri ia dapat mengandalkan.

Dan makin pulih tenaga dalamnya pun makin besarlah kemungkinan untuk menyelamatkan diri.

Tiba2 Hui in taysu menghela napas panjang lalu memberi hormat kepada ketua Bu tong-pay. “Thian Ci toheng, musibah yang telah menimpa perguruan Siau-lim-si, toheng sudah menyaksikan sendiri!….”

Jawab ketua Bu- tong pay, “Aku merasa menyesal sekali karena tak dapat mencegah Goan Thong toheng…._.”

“Haiku sudah hampa, tak ingin ikut campur tentang pertikaian dunia persilatan lagi. Maka…. aku hendak mohon diri pulang lebih dahulu,” kata Hui In taysu pula.

Ketua Bu-tong-pay merenung beberapa saat, kemudian berkata, “Silahkan, lo siansu.”

Sambil rangkapkan kedua tangan memberi hormat, berkatalah Hui In taysu pula, “Dengan totiang yang menghadiri tempat ini, semoga segala dendam pertumpahan darah akan berobah menjadi suasana yang bersahabat.”

“Ah, kemungkinan aku tak mempunyai kemampuan sedemikian besar,” kata ketua Bu-tong-pay. Tiba2 ia gunakan ilmu Menyusup suara kepada Hui In

taysu. “Orang2 Lam hay-bun sudah menjaga posisi yang penting. Rupanya mereka tetap hendak mengadu kesaktian dengan tokoh2 Tiong-goan. Apabila lo siansu berkeras hendak menerobos kaluar, kemungkinan tentu akan bentrok dengan mereka.”

Hui In Taysu memandang keempat penjuru lalu memberi hormat kepada nenek Bwe, “Mohon sicu suka memberi kebebasan kepada loni dan rombongan keluar dari tempat ini.”

Tetapi nenek Bwe menengadah memandang ke atas, seolah-olah tak mengacuhkannya.

Tiba2 si Kaki-buntung baju merah membentak, “Lekas mundur lagi….”

Saat itu Han Ping berpaling dan melihat si dara Sangkwan Wan ceng dengan rambut terurai sambil memondong Ting Ling tengah berjalan ke arah ruangan situ.

“Ceng ji….!” melihat puterinya. serentak Siangkwan Ko berteriak dan bergegas
hendak lari menyongsong.

“Berhenti!” bentak Kaki buntung seraya ayunkan tongkat besinya menyerang.

Siangkwan Ko menghindar, mencabut pedang di punggungnya lalu balas menusuk dengan jurus Naga-marah-mengaduk-laut.

Tetapi Kaki-buntung tak mau menghindar. Ia kiblatkan pedangnya untuk menangkis. Pedang Siangkwan Ko terbuat dari bahan pilihan, beratnya berpuluh-puluh kati. Karena bentuknya panjang. dapat digunakan juga sebagai tongkat besar. Diapun tak mau mundur. Tring….

Rupanya Siangkwan Wan-ceng terkejut mendengar benturan senjata yang menderingkan bunyi tajam dan nyaring. Tiba2 ia berhenti.

Saat itu Siangkwan Wan ceng sudah tiba di arena adu senjata itu. Asal maju selangkah lagi, dara itu tentu celaka. Kalau tidak dimakan pedang ayahnya tentu terkena hantaman tongkat besi Kaki buntung.

“Hm…. bagus!” bentak Kaki buntung lalu memutar tongkatnya sederas angin
puyuh. Permainannya memang aneh sekali. Setiap pukulan, sukar diduga sehingga membuat jago tua Siangkwan Ko itu tak berdaya untuk balas menyerang.

Kiblatan tongkat besi beberapa kali melayang di muka Siangkwan Wan ceng.
Kalau sampai mengenai jenazah Ting Ling, tentu jenazah itu akan hancur.
Kalau kena Siangkwan Wan-ceng, dara itupun tentu mati atau terluka berat.

Melihat itu terpaksa Siangkwan Ko menyurut mundur agar tongkat lawan jangan sampai mengenai puterinya.

Di luar dugaan begitu Siangkwan Ko mundur, si Kaki-buntungpun menarik tongkatnya tak mau mengejar.

Ternyata anak buah Lam hay bun itu meskipun tampaknya berpencaran tetapi sesungguhnya mereka telah membentuk diri menjadi suatu barisan. Tiap orang mempunyai batas lingkaran gerak sendiri. Apabila ada yang kesulitan, boleh saling membantu. Karena Siangkwan Ko sudah keluar dari batas lingkaran geraknya, Kaki-buntungpun tak mau mendesak lagi.

Han Ping mencurahkan padang kearah Siangkwan Wan-ceng dan Ting Ling. Serentak melayanglah pikirannya akan kebaikan kedua nona itu kepada dirinya. Makin terkenang. hatinya makin senda. Sesaat kemudian darahnyapun meluap luap lalu tiba2 berteriak, “Ih Thian-heng….”

Nyaring sekali seruan itu sehingga seluruh ruangan berkumandang keras.

“Mengapa?” Ih Thian-heng terkesiap.

“Aku hendak bertanya sesuatu hal, entah apa apakah engkau suka memberitahu?” tanya Han Ping.

“Silahkan saudara Ji bertanyalah.”

“Nona Ting terluka ditanganmu, dengan cara bagaimana? Apakah masih dapat ditolong?”

“Dengan tutukan Kek gong-tiam- hiat! Dapat tertolong atau tidak, setelah kuperiksa baru dapat diketahui,” sahut Ih Thian-heng.

“Asal engkau dapat menolong jiwa seorang lagi. berarti akan mengurangi kedosaanmu,” seru Han Ping.

Ih Thian-heng tersenyum, serunya, “Walaupun hari ini aku dapat melakukan kebaikan tetapi hanya terbatas. Sukar untuk menghapus kejahatan yang telah kulakukan di masa lampau.”

“Bila engkau mampu menghidupkan nona Ting, budi dan dendam kita, memang makin ruwet,” seru Han Ping.

Ih Thian-heng memandang wajah Siangkwan Wan-ceng, katanya pelahan, “Lebih baik suruh mereka masuk kemari dulu….”

ooo000ooo

Naga lawan harimau.

“Biarlah kusambut meraka,” kata Han Ping seraya maju menghampiri. Ia memberi hormat kepada Kaki buntung, “Kedua nona itu. yang satu meninggal dan yang satu terluka. Sudah tak maungkin melawan lagi. Seorang kesatrya takkan melukai wanita dan orang yang lemah. Sudilah saudara suka memberi jalan kepada mereka.”

Walaupun si Kaki buntung itu berwatak keras dan bengis tetapi demi mendengar kata2 Hari Ping, ia tampak kerutkan kening merenung. Sebenarnya dia memang berwatak ksatrya.

“Baiklah,” sesaat kemudian ia berseru, “membiarkan mereka masuk memang boleh tetapi aku tak dapat membiarkan mereka keluar lagi.”

“Baiklah,” kata Han Ping, “nanti keluarnya akulah yang akan mengantar mereka.”

Kaki-buntungpun menyisih kesamping dan memberi jalan. Cepat Han Ping maju dua langkah dan memberi hormat, “Nona Siangkwan.”

Tetapi Siangkwan Wan-ceng hanya tertawa rawan tak menyahut.

Han Ping kerutkan kening, pikirnya, “Agaknya nona ini seperti hilang kesadaran pikirannya. Sukar untuk bicara dengan dia. Dan dihadapan sekian banyak orang, akupun sungkan untuk menarik tangannya.”

Selagi Han Ping ragu2, tiba2 Siangkwan Ko melangkah maju dan berseru pelahan, “Ceng ji, Ceng-ji, bagaimana engkau?” Ia terus menarik lengan puterinya melangkah maju.

Ting Kopun bergegas menyongsong jenazah puterinya, Ting Ling.

“Lo cianpwe, harap berikan puterimu kepada Ih Thian-heng. Coba saja dia dapat menolong atau tidak,” kata Han Ping.

Tanpa menjawab Ting Ko pun menghampiri ke tempat Ih Thian heng. Ih Thian heng memeriksa wajah nona itu dengan seksama, meraba pernapasannya lalu berkata, “Tak dapat ditolong lagi….”

“Tetapi.” katanya pula. “kematian nona Ting ini bukan karena tanganku….”

“Dengan mata kepala sendiri aku melihat engkau telah memukul anakku, mengapa engkau masih berani menyangkal!” teriak Raja Lembah-setan Ting Ko dengan marah.

“Saudara Ting seorang yang ahli dalam ilmu silat. Tentu mengerti bahwa pukulan jarak jauh Kek-gong-tam- hwat-jiu-hwat itu tak mungkin dapat merenggut jiwa puterimu.”

“Kalau tak dapat ditolong, apa boleh buat….” kata Han Ping.

Tiba2 si data baju ungu yang sudah begitu lama tak bersuara. menyeletuk, “Dia makan racun dan menderita luka berat. Kesempatan hidup, memang amat tipis sekali. pukulan dengan tenagadalam dari jarak jauh yang dilepas Ih Thian - heng, hanya mempercepat kematiannya saja. Kalau saat ini tersedia obat yang dapat menghilangkan racub dalam tubuhnya, kemungkinan masih ada setitik harapan untuk menghidupkannya….”

Sepasang mata Han Ping berkilat-kilat, serunya, “Ih Thian-heng, apakah engkau yang memberi racun kepada nona Ting?”

“Ya.” sahut Ih Thian -heng, “tetapi obat penawarnya tidak sukar. Yang sukar yalah setelah racun ditawarkan, lalu cara penyembuhan selanjutnya….”

“Cobalah engkau halau racun dalam tubuhnya baru nanti cari daya untuk menolongnya,” kata Han Ping.

Tiba2 terdengar Hui In taysu herseru ‘omitohud’ lalu berkata, “Kalau li sicu berkeras tak mau memberi jalan, akupun terpaksa akan membobol!”

Lalu serentak terdengarlah dering senjata beradu dan pukulan saling berhantam.

Han Ping tetap memikirkan keadaan Ting Ling, tanpa berpaling ia segera berseru keras, “Ih Thianheng, apakah engkau dengar kata kataku tadi?”

Ih Thian-heng terkesiap, serunya, “Ya, dengan jelas!”

“Racun dalam tubuh nona Ting, engkaulah yang memberi. Dan luka-luarnya engkaulah yang membuatnya dengan pukulan Kek-gong- tam-hiat-jiu-hwat Kalau engkau tak dapat menolongnya, siapakah lagi yang mampu menolong?”

“Berusaha, tiada jeleknya. Berhasil atau gagal, tak boleh dipastikan,” sahut Ih Thian-heng.

“Kalau engkau sungguh2 berusaha, aku sudah sangat berterima kasih.” kata Han Ping.

Tiba2 berkatalah Ih Thian hang dengan wajah serius, “Aku dengan engkau, seperti air dengan minyak tak mungkin akur. Kita mungkin hidup bersama. Maka engkau tak layak menghaturkan terima kasih kepadaku. Terhadap engkau, aku hanya mengandung dendam penasaran, tiada budi lagi. Hal ini engkau harus ingat benar!”

Han Ping tertegun. Tiba2 ia menghela napas dan tak bicara lagi.

Dengan wajah mengerut serius, mulailah Ih Thian-heng memeriksa pergelangan nadi Ting Ling. Dan Han Pingpun mencurahkan perhatiannya kepada pertolongan Ih Thian heng itu. Seolah olah tak menghiraukan keadaan di sekelilingnya saat itu.

Tiba2 Ih Thian-heng kerutkan alis lalu berbangkit dan berpaling memandang ke arah Nyo-Bun-giau.

“Mengapa engkau memandang aku?” seru Nyo Bun- giau dengan wajah berobah.

Ih Thian-heng tertawa tawar. “Mengapa aku memandang engkau, masakan saudara Nyo tak merasa?”

Wajah Nyo Bun-giau berobah-robah. Sebentar merah sebentar pucat. Dan hatinya berguncang keras.

Han Ping heran, serunya, “Eh, kalian berdua mengapa itu?”

Ih Thian-heng, tersenyum, “Tidak apa2. Aku hanya melihati saudara Nyo saja.”

Karena tak kuasa menahan getaran hatinya, tiba2 Nyo Bun-giau menggembor keras, “Ih Thian-heng. aku tak perlu pemberian budimu. Aku tak takut, engkau mengatakan dengan terus terang!”

Ih Thian-heng tertawa. “Kalau saudara Nyo hendak mengatakan sendiri, akupun takkan merintangi.”

Walaupun saat itu sebelah tangannya sudah remuk dan kesaktiannya berkurang, Namun sikap dan bicaranya masih berwibawa sebagai seorang datuk durjana kelas wahid!

Nyo Bun-giau terkesiap. Dilihatnya Han Ping, Siangkwan Ko, Ih Thian-heng dan lain2 orang, tengah memandang kepadanya. “Baiklah, aku akan bicara,” kata Nyo Bungiau karena tak tahan lagi, “Tentang nona Ting akulah yang melukainya. Sekalipun Nyo Bun-giau tidak turun tangan, tetapi nona itu memang tak dapat bertahan hidup lebih lama lagi.”

Han Ping kerutkan alis, berseru keras, “0, kiranya engkau….” sekali kaki
bergerak, ia terus menyerang Nyo Bun-giau.

Tetapi Ih Thian-heng cepat menghadangnya, “Sabar dulu saudara Ji, kalau saudara hendak menolong nona Ting, terpaksa harus minta saudara Nyo yang mengobati.”

Han Ping hentikan langkah, memandang Nyo Bun-giau dengan berapi-api.

“Ih Thian-heng,” kata Nyo Bun-giau, “tak perlu engkau yang mengatakan, akupun memang akan menolong nona Ting.”-ia terus melangkah ke tempat Ting Ling. Dia memang takut kepada Han Ping.

“Tunggu dulu!” tiba2 si dara baju ungu berseru lagi.

“Kenapa?” tanya Nyo Bun-giau.

Berkata dara baju ungu itu dengan dingin, “Kalian tak ada yang mampu menolongnya….”

Han Ping berobah wajahnya, “Mengapa….?”

“Kukatakan tak dapat menolong, tentu tak dapat menolong,” kata dara baju ungu.

Han Ping marah. “Tetapi justeru aku tetap akan menolongnya….”

“Sekalipun kalian saat ini dapat melenyapkan racun dalam tubuh, takkan tertolong jiwanya,” kata dara baju ungu.

“Lenyapkan dulu racun baru nanti berusaha menolong jiwanya!” seru Han Ping.

Dara baju ungu tertawa dingin. “Berusaha apa lagi? Kalau engkau tak melenyapkan racun, aku masih dapat manjaga agar jenazahnYa tetap utuh dan cantik. Tetapi kalau tidak, hm tubuh secantik itu tentu segera akan menjadi tulang belulang yang busuk.”

Merenung sejenak, Han Ping bertanya, “Apakah benar2 sudah tak dapat ditolong lagi?”

Kata dara baju ungu itu pelahan-lahan, “Memang masih ada jalan….”

“Jalan bagaimana?”

“Walaupun kukatakan tetapi rasanya engkau tentu tak dapat melakukan cara itu,” kata si dara baju ungu lalu mengeliarkan pandang matanya ke sekalian orang, “bukan hanya engkau, mereka pun juga tiada satupun yang mampu.”

“Lalu nona sendiri?” tanya Ih Thian-heng. Dara itu gelengkan kepala pelahan, “Aku juga tak dapat.”

Han Ping berseru penasaran, “Kalau siapa saja tak dapat, berarti tak ada cara pengobatannya!”

Dara itu menghela napas pelahan, serunya, “Kecuali ada orang yang dapat menarik ayah. Pasti ibuku ikut campur. Dengan tenaga dalam kedua orang itu tentu dapat menolong jiwa nona Ting!”

Han Ping memandang ke arah ketua Lam-hay-bun lalu melirik kepada wanita cantik, serunya menegas, “Sungguhkah hal itu?”

“Kapan aku bohong?” seru dara itu marah.

Tampak sepasang mata ketua Lam-hay-bun berkilat, serunya, “Toto, ayahmu ini bukan seorang manusia dewa! Bagaimana dapat menghidupkan orang yang sudah mati?”

“Ayah seorang memang tak mampu,” sahut si dara.

Ucapan dara itu rupanya menyentuh hati wanita cantik, serunya cepat. “Nak, ibu belum pernah belajar ilmu menolong orang yang terkena racun.”

“Kalau hanya ibu seorang, memang takkan dapat,” seru si dara pula.

Wanita cantik itu hendak membuka mulut atau tiba2 ia merasa sepasang mata ketua Lam-hay-bun itu tengah berkilat-kilat memandang kepadanya. Terpaksa ia hanya mendengus dan diam lagi.

Han Ping melihat wajah Ting Ling yang pucat Iasi. Segera ia teringat akan budi kebaikan nona itu kepadanya selama ini. Mau tak mau hatinya pun rawan dan diam2 menimang, “Bila ada orang atau obat yang mampu menolongnya, apa dan bagaimana berbahayanya, aku tentu akan berdaya untuk mendapatkannya.”

Dara baju ungu menghela napas panjang. serunya “Ah, tak perduli engkau berbanyak hati lagi. Kalau ayah dan ibuku tak mau bekerja sama, sekalipun engkau memperoleh daun obat Leng ci yang berumur seribu tahun, atau ginseng ribuan tahun, pun tetap takkan mampu menolongnya. Ketahuilah bahwa keadaan tubuh nona Ting saat ini sudah kehilangan pusat sumber penggerak darah, daging tubuhnya sudah tak dapat bekerja lagi. Kecuali dengan obat sakti, pun harus disaluri dengan tenaga dalam sakti agar daya kerja urat2 dan jalandarahnya dapat pulih kembali. Dengan demikian barulah ia mempunyai harapan hidup lagi.”

Kembali Han Ping memandang kearah ketua Lam-hay-bun dan wanita caniik.
Ditatapnya kedua suami isteri yang aneh itu lekat2.

Pikiran dan hati Han Ping penuh dicengkam dengan berbagai perasaan. Antara membalas sakit hati kematian orangtuanya dan menolong Ting Ling. Kedua hal itu ia harus dapat menyelesaikannya.

Tiba2 terdengar hambusan napas yang sarat dan terengah-engah dari Hui In taysu. Ternyata paderi Siau-lim-si itu tengah mengadu tenaga-dalam dengan nenek Bwe. Wajah keduanya tampak tegang, keringat bercucuran seperti hujan mencurah.

Suasana dalam ruang itu sepi sekali.

Tiba2 Han Ping berbatuk-batuk untuk memecahkan kesunyian lalu berkata pelahan lahan kepada Ih Thian-heng, “Kaum persilatan mengatakan engkau kejam dan ganas. Kejahatanmu menumpuk setinggi gunung. Tetapi kusaksikan sendiri engkau telah melakukan beberapa perbuatan baik. Berani berbuat berani tanggung jawab. Tak ubah seperti laku seorang ksatrya.”

Ih Thian-heng tersenyum, “Ah, jangan kelewat memuji….”

Han Ping mengalihkan pandang matanya kepada ketua Lam-hay- bun, serunya, “Lo cianpwe dengan jerih payah telah menciptakan makam tua ini dan dengan meminjam kemasyhuran nama pedang Pemutus Asmara, telah merangkai suatu cerita khayal yang menggemparkan dunia persilatan Tiong -goan yang saling bunuh membunuh. Apakah sesungguhnya maksud tujuan lo-cianpwe berbuat begitu?”

Ketua Lam-hay-bun tertawa dingin, “Dengan makam tua ini aku hendak membasmi manusia2 yang mangejar nama dan temaha harta benda….-”

“Engkau mendirikan makam tua yang penuh alat2 maut. Lalu anakmu mengundang seluruh jago2 silat dalam dunia agar menyaksikan betapa hebat kelihaian dan kesaktianmu. Apakah itu bukan tindakan hendak mengejar nama?” seru Han Ping.

“Tiada seorang pun di dalam dunia yang berani bicara sekasar itu kepadaku.
Nyalimu sungguh besar sekali!” teriak ketua Lam-hay-bun marah.

Tetapi Han Ping tak gentar, serunya, “Hanya karena kalah dalam soal Asmara dan Kesaktian dengan Hui Gang taysu, maka engkau tumpahkan kemarahan kepada seluruh kaum persilatan Tionggoan! Engkau ciptakan makam tua ini sematamata sebagai alat untuk membasmi seluruh kaum persilatan Tiong-goan. Dengan begitu engkau hendak mengangkat nama dan membalas kekalahanmu kepada Hui Gong taysu….”

Seketika berobahlah wajah ketua Lam-hay-bun, bentaknya, “Kalau ya, lalu engkau mau apa?”

“Kalau engkau sudah mengakui begitu, jelas hatimu itu beratus kali lebih ganas dari Ih Thian-heng!” kata Han Ping dangan nyaring.

Bum…. tiba2 terdengar suara benda runtuh. Ternyata Hui In taysu dan nenek
Bwe sama2 rubuh ke tanah.

Kiranya kedua tokoh itu sama kuatnya. Tenaga-dalam mereka berimbang tetapi karena mereka sama2 ngotot. akhirnya keduanya kehabisan tenaga. Mereka menderita luka-dalam dan lantas rubuh.

Sekonyong-konyong Han Ping menengadahkan muka dan bersuit panjang lalu berseru nyaring, “Aha, lagi jatuh korban ngeri dari perbuatan manusia yang mengejar nama….”

Terdengar alun gelombang doa nyanyian yang khidmat dan rawan. Rombongan paderi Siau-lim tengah berlutut mengerumuni tubuh Hui In taysu dan menyanyikan doa keagamaan yang menyayat hati.

Berkatalah ketua Bu-tong-pay, imam Thian Ci, “Sekalipun tokoh2 dalam ruang ini akan menderita luka atau binasa tetapi di luar ruangan masih menunggu jago2 dari sembilan partai persilatan….”

Ketua Bu-tong-pay itu menutup kata-katanya dengan mengayunkan pedang dan menerjang keluar.

Ong Kwan-tiong cepat maju menghadang serunya, “Setiap orang hanya boleh keluar sebagai mayat, tidak boleh masih bernyawa!”

Ketua Bu-tong pay tertawa dingin. serunya, “Apakah hendak mencoba pedangku ini?”-Sekali tangan bergerak maka pedangpun segera berobah menjadi lingkaran sinar.

Ong Kwan-tiongpun segera tusukkan senjatanya yang berbentuk seperti garisan panjang.

Thian Ci totiang tertawa dingin. Sekonyongkonyong ia ajukan kaki kiri, menekankan pedangnya ke bawah dan seketika memancarlah tenagadalam yang menyedot senjata lawan lalu digelincirkan ke samping.

Ong Kwan-tiongpun licin. Begitu senjatanya disedot ke samping ia terus menyerempaki dengan menusuk ke lambung lawan.

Serangan Ong Kwan-tiong itu tak terdugaduga oleh ketua Bu tong-pay. Thian Ci totiang memang tak mengharapkan bahwa cara yang dilakukannya itu dapat melukai lawan. tetapi ia tak menduga sama sekali bahwa Ong Kwan tiong ternyata begitu licin dan lihay. Karena itu terpaksa paksa ia menyurut mundur seraya bolang balingkan pedang untuk melindungi diri.

Ong Kwan-tiong tetap tegak berdiri di tempat tak mau mengejar.

Tampak si dara baju ungu lari menghampiri dan berlutut di dekat tubuh nenek Bwe lalu memeluknya. Diguncang-guncangnya tubuh nenek itu seraya memanggil-manggil namanya.

Ibunya, wanita cantik berpakaian puteri keraton melekatkan pandang matanya kepada si dara. setiap saat siap akan bergerak apabila ada orang yang berani mengganggu puterinya.

Thian Ci totiang, ketua Bu-tong- pay, tegak berdiri menenangkan pikiran. Diam2 dia sudah merenungkan tenaga dalam aneh yang dipancarkan dari senjata Ong Kwan-tiong.

Sesaat kemudian ia segera mainkan pedangnya pula. Kali ini dia sudah mempunyai persiapan. Tak mau gegabah menyerang, jurus serangannya dilambari dengan tenaga-dalam yang penuh.

Ong Kwan -tiongpun segera menyambut dengan senjatanya berbentuk penggaris pandang yang disebut Thian-sing ci atau Panggaris-bintang. Kedua tokoh itu pun bertempur seru lagi.

Ilmu pedang partai By-tong-pay, dianggap sebagai ilmu pedang aliran Ceng-cong atau asli. dimainkan maka berkembanglah sinar pedang ke delapan penjuru. Angin menderu-deru, dahsyat dan berwibawa sekali.

Tetapi senjata Thian-sin-ci dari Ong Kwan -tiong memancarkan tenaga-dalam penyedot yang aneh dan hebat. Berulang kali dapat menyedot pedang lawan dibawa menjulang ke atas.

Dua senjata itu laksana dua buah halilintar yang saling menyambar. sedikit saja terbuka peluang kelemahan, tentu akan terancam.

Rupanya ketua Bu-tong- pay itu mengalami kesulitan menghadapi tenaga dalam penyedot dari senjata Ong Kwan-tiong.

Dalam pada Itu Han Ping keliarkan pandang matanya ke sekeliling. Diam2 la menimang, “Anakmurid Lam-hay-bun. ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi semuanya. Jelas ketua Lam-hay-bun itu tentu hebat sekali kepandaiannya.

“Menilik kekuatan saat ini,” masih Han Ping menimang dalam hati, “kaum persilatan dunia Tiong-goan, apabila mau melupakan dendam permusuhan masing2 untuk bersatu padu menghadapi mereka. Entah bagaimana kesudahannya, tentulah dapat memaksa orang Lam-hay-bun untuk melepaskan pertempuran ini! Sayang dendam permusuhan di antara kaum persilatan Tiong-goan itu sudah sedemikian mendalam dan pelik. Untuk menganjurkan mereka supaya menghapus dendam dan bersatu, sukar sekali. Pada akhirnya, mereka tentu akan dihancurkan oleh orang Lam-hay-bun di makam tua ini. Jalan satu-satunya pada saat ini ialah menganjarkan supaya kawan2 Tiong-goan itu mau membuang dulu dendam permusuhannya dan bersatu. Dengan damikian mungkin dapat terhindar dari bahaya maut di makam ini.”

Melihat nenek Bwe rubuh di tanah, ketua Lamhay-bun tetap tenang. setitik pun tak mengunjuk sikap terkejut atau pun reaksi apa2. Diam2 Han Ping merasa ketua Lam hay-bun itu seorang yang ganas sekali. Lebih ganas dari Ih Thian-heng.

Dilihatnya pengemis sakti Cong To mengambil buli2 arak dari punggung dan meneguknya dua kali. Setelah itu berseru, “Ji laute, pengemis tua hendak menyampaikan beberapa patah kata. Entah engkau suka mendengarkan atau tidak?”

“Ah, silahkan saja toako mengatakan,” sahut Han Ping.

Sejenak Pengemis-sakti itu mengeliarkan pandang ke arah rombongan tokoh2 silat Tiong-goan lalu berkata, “Orang2 itu sesungguhnya manusia2 yang banyak dosa dan harus mati. Tetapi keadaan saat ini bukan waktunya untuk menerima hukuman.”

Tiba2 terdengar si dara baju ungu berteriak, “Au bungkuk, lekaslah engkau kemari membantu aku menutuk dua buah jalandarah Bwe Nio ini.”

Tetapi mata si Bungkuk memandang wajah si dara dan wajahnya menampilkan ketakutan lalu berseru dengan terbata-bata, “Nona, nona…. “

“Jangan takut,” kata si dara, “Asal engkau kemari segala apa aku yang tanggung.”

Si Bungkuk terpaksa menurut. ia maju menghampiri ke tempat si dara. Sambil berjalan ia memandang ke arah ketua Lam-hay-bun sehingga langkah kakinyapun berat dan pelahan. Jelas dia gelisah dan ketakutan sekali.

Dua orang paderi berjubah merah tiba2 berdiri dan menghadang si Bungkuk.

Rupanya wanita cantik itu tahu bahwa kedua paderi itu hendak bermaksud buruk terhadap puterinya maka cepat ia membentak dingin:!”Rubuhlah!”

Sekali tangannya mengayun maka kedua paderi itupun segera rubuh.

Sekalian tokoh2 silat terkejut. Diam2 mereka membatin, “Pada jarak enam tujuh meter jauhnya wanita itu dapat merubuhkan dua orang paderi Siau-lim. Kepandaiannya, benar2 mengejutkan orang.”

Han Ping kerutkan alis, menundukkan kepala berkata kepada Cong To. “Bukankah toako menghendaki supaya untuk sementara ini aku jangan mengurus soal dendam permusuhan atas kematian ayah bundaku?”

“Kalau engkau hendak membalas sakithati orangtuamu, jangan harap seumur hidup kita dapat keluar dari makam ini,” kata Cong To.

Berkata Han Ping dengan nada lapang, “ Menolong orang lebih penting dari membalas sakit hati, apalagi toako yang memerintahkan.”

Pengemis Sakti Cong To tertawa, “Membalas dendam sakithati orangtua, bukan pengemis tua ini hendak melarangmu. Tetapi setelah keluar dari makam

ini, pengemis tua tentu akau membantumu untuk melaksanakan pembalasan sakithati itu,”

“Ah, aku tak berani mengharap bantuan toako,” kata Han Ping,” asal pada saat itu toako suka menghadiri sebagai saksi, aku sudah merasa berterima kasih.”

Ia berputar tubuh lalu melangkah ke tempat Hui In taysu.

Melihat dua orang paderi rubuh, rombongan paderi Siau lim itu sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi. Kesedihan hati mereka berobah menjadi dendam kemarahan yang berkobar-kobar. Diam2 mereka berunding untuk mengatur langkah untuk serempak menerjang musuh.

Han Ping dapat mengetahui sikap kemarahan rombongan paderi itu. Ia segera memberi hormat, serunya, “Para suhu sekalian, harap untuk sementara ini suka bersabar. Ijinkan kulihat bagaimana luka Hui In taysu.”

Jarak pertempuran adu tenaga-dalam antara Hui In taysu dengan nenek Bwe hanya satu meter. Pada saat Han Ping menghampiri ke tempat Hui In, ia segera membau bau harum dari tubuh si dara baju ungu.

Saat itu kedengaran wanita cantik tartawa dingin. serunya, “Barangsiapa yang hendak mencelakai anakku, berarti hendak cari mati sendiri.”

Tiba2 tergeraklah hati Han Ping, pikirnya, “Dengan menjebak kita ke dalam makam tua ini, jelas ketua Lam hay-bun itu tentu sudah mempunyai persiapan. Tetapi mengapa dia tak segera melaksanakan rencananya itu tentulah karena hendak menunggu supaya kita saling berhantam sendiri agar kekuatan kita menjadi habis. Tetapi mereka juga mempunyai kelemahan: Diantara kedua suami Isteri itu rupanya tidak akur, saling membawa kemauannya sendiri. Kemungkinan hal itu juga menyebabkan ketua Lam hay bun tak mau lekas2 menjalankan rencananya. Kalau tidak, tentulah dia sudah melaksanakan alat2 yang telah direncanakan itu untuk menghancurkan seluruh tokoh Tiong-goan. Dan rupanya dia yakin kalau mampu melakukan pembasmian itu sehingga tampaknya dia begitu tenang dan tenteram….”

Makin merenung, Han Ping makin besar kecurigaannya. Dikeliarkannya pandang matanya ke sekeliling ruangan.

Setelah sebelah tangannya lumpuh, Ih Thian-heng menyadari kalau dirinya bakal tak mungkin dapat terlepas dari pedang Han Ping. Ruangan itu dijaga ketat oleh anak buah Lam-hay-bun yang berkepandaian sakti. Diam2 ia sudah merasa putus-asa.

Tetapi di kala mendengar Han Ping menyetujui permintaan Cong To agar jangan mengungkat permusuhan lagi dan untuk sementara jangan mencari balas atas kematian kedua orangtuanya, timbullah semangat Ih Thian-heng.

Apalagi Han Ping pun menyetujui untuk bekerja sama menghadapi orang Lam-hay-bun.

Ih Thian-heng memang cerdas. Melihat Han Ping memandang kian kemari.
segera ia dapat menyelami isi hati anakmuda itu.

Di lain fihak ketua Lam-hay bunpun memperhatikan gerak gerik Han Ping. Segera ia tertawa dingin. “Andaikata dalam ruang ini terdapat barisan gelap, pun tak perlu harus kugerakkan.”

Diam2 Han Ping membatin, “Hmm…. orang tua itu tak boleh dipercaya. Aku
harus tetap berusaha mencari akal untuk membobolkan makam ini.”

Tiba2 mata Han Ping tertumbuk pada si dara baju ungu. Seketika timbullah pemikirannya. “Dara baju ungu ini rupanya merupakan puteri kesayangan dari kedua suami istri itu. Apabila dapat menawannya mungkin dapat menekan ketua Lam-hay- bun untuk membiarkan kita keluar. Asal sudah berada diluar makam ini, kita tak perlu takut kepadanya lagi.”

Dengan pemikiran itu, tiba2 ia loncat dan secepat kilat menyambar lengan si dara dan tangan kirinya segera menghantam.

Dengan gerakan itu jelas membuktikan betapa kemajuan yang diperoleh dari pengalaman selama ini. Di samping kepandaiannya maju pesat, kecerdasannya menghadapi lawan pun semakin bertambah banyak.

Seperti yang diduganya, memang pada saat tubuhnya melambung di udara, wanita cantik ibu si dara baju ungu itu segera gerakkan tangan kanan menghantamnya.

Seutas sinar perak yang halus seperti rambut segera meluncur ke arah Han Ping. Tetapi karena anakmuda itu sebelumnya sudah membarengi dengan sebuah pukulan, sarangan sinar putih selembut rambut itupun dapat dihalau.

Tetapi itu masih belum berarti bahwa Han Ping sudah terlepas dari bahaya. Karena setelah melepaskan senjata gelap, wanita cantik itupun menyerempaki menyerbu.

Gerakannya memang cepat sekali tetapi Han Ping tetap lebih cepat lagi. Dia sudah dapat mencekal lengan si dara lalu ditariknya ke muka.

Dengan menghadapi perisai itu, terpaksa wanita cantik terkeiut. Cara ia mencondongkan tubuh ke belakang agar gerakannya terhenti lalu enjot kakinya mengantar sang tubuh kembali ke tempat semula.

“Hmm, untuk sementara terpaksa aku harus berlaku kurang ajar kepada nona,” bisik Han Ping kepada si dara jelita.

Dara itu mendengus dingin, “Bagus, bagus sekali ….”

Tampak ketua Lam-hay-bun berkilat-kilat memandang Han Ping lalu berseru dengan nada sedingin es, “Ji Han Ping. bukankah engkau bermaksud hendak menekan aku dengan jiwa puteriku itu?”

Jawab Han Ping, “Apabila dengan ilmusilat lo cianpwe hendak membunuh semua tokoh2 dalam makam ini, dengan segala kerelaan dan kekaguman, aku akan mempersilahkan lo-cianpwe. Tetapi apabila engkau mempersiapkan segala macam alat rahasia….”

Ketua Lam-hay-bun tertawa gelak2, “Untuk melampiaskan kedukaanku kehilangaan seorang anak, kalian tentu akan kubasmi habis- habisan!”

Han Ping termangu, serunya, “Apakah engkau benar2 berhati batu!”

Tiba2 ia merasakan jari2 halus dari si dara baju ungu itu menggurat pelahan pada siku tangannya dan kemudian daraa itu melengking merintih lalu jatuhkan kepalanya ke dada Han Ping.

Kiranya setelah menguasai jalandarah tangan dara itu, tiba2 Han Ping menyadari bahwa perbuatan itu tak kayak dilakukan oleh seorang ksatrya. Segera ia kendorkan cengkeramannya. Di luar dugaan saat itu si daralah yang memegang erat lengan Han Ping.

“Hm, siapa yang berani melukai puteriku, bukan saja tulang2 mayatnya akan kucincang, pun seluruh keluarganya akan kubunuh habis-habisan,” seru wanita cantik ibu si dara baju ungu.

Tiba2 dara baju ungu itu berseru pelahan, “Aduh. kemanjaan yang membikin aku mati….”

Dia memang suka melakukan suatu gerak yang aneh. Nada suaranya memang merawankan hati sekali. Ketua Lam-hay-bun memandang ke arah isterinya.

“Kalau tidak saat ini, tunggu kapan lagi kita akan pergi?” tiba2 Ih Thian-heng berseru lalu melangkah ke arah pintu.

Ong Kwan-tiong cepat memutar senjatanya dan berseru, “Berhenti!”

Ih Thian-heng tersenyum, “Kalau kalian orang Lam-hay-bun memang hendak menantang bertempur, mari kita bertempur di luar makam. Kita cari sebuah tempat yang lapang dan mengadu ilmu kepandaian sampai ada yang mati. jika kalian orang Lam-hay-bun benar2 mampu mengalahkan kaum persilatan Tiong-goan, kalian tentu dapat menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Tetapi pertempuran itu harus mengadu ilmu kepandaian yang sesungguhnya, agar masing2 fihak merasa puas!”

Seru Ong Kwan-tiong menyahut, “Kalau ingin keluar dari makam ini, hanya ada dua jalan. Bertempur dengan kepandaian atau minta kepada suhuku….”

“Aku dan kawan2 akan memilih jalan kesatu,” seru Ih Thian-heng terus gerakkan tangan menghantam.

Ong Kwan-tiongpun cepat songsongkan senjatanya untuk menusuk lengan Ih Thian-heng.

“Kita sama2 menerjang!” Melihat itu Nyo Bun-giaupun berseru marah dan terus menghantam Ong Kwan-tiong dari samping.

Tetapi tiba2 ia merasa segelombang tenaga kuat mendamparnya sehingga tenaga pukulan dari Nyo Bun-giau itu terdorong ke samping.

Nyo Bun-giau berpaling dan melihat yang melepas hantaman itu si Kate.

Melihat itu Ca Cu jingpun berseru keras terus lontarkan sebuah pukulan Peh-poh-sin-kun atau Pukulan-sakti-seratus-langkah.

Angin menderu-deru menghamburkan desis suara tajam yang menusuk telinga.
Memang pukulan Seratus-langkah itu merupakan pukulan yang diandalkan oleh
Ca Cu jing.

Melihat itu si Bungkuk cepat menghantam untuk menangkis pukulan Peh-poh-sin-kun dari Ca Cu-jing itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar