Makam Asmara Jilid 07 Banteng lawan harimau

Jilid 07 Banteng lawan harimau

“Apakah ibuku juga engkau yang membunuh?” seru Han Ping dengan mata berapi-api.

Ih Thian- heng sejenak memandang kesekeliling ruang lalu menyahut dingin, “Soal itu aku tak mau memberi jawaban.”

“Pertempuran terakhir yang akan kita langsungkan ini, masih belum dapat dipastikan siapa yang akan menang, “kata Han Ping pula.

“Ya, memang aku juga mempunyai kesimpulan begitu,” sahut Ih Thian-heng.

“Kalau engkau kubunuh aku tentu masih tak mengetahui mengapa alasanmu membunuh kedua orangtuaku itu.”

Ih Thian-heng segera menjawab, “Kalau engkau mati di tanganku, tentulah engkau akan dapat berkumpul dengan kedua orangtuamu di alam baka.”

Han Ping tertawa dingin.

“Arwah ayahku tentu tahu dan tentu akan membantu aku menyelesaikan dendam jiwa ini!” serunya tegas.

Kemudian ia terus perlahan-lahan mengangkat pedangnya keatas.

Melihat itu Ih Thian-hengpun segera bergerak. Ia pindahkan gelang emas ke tangan kiri lalu tangan kanannya mengambil sebatang pedang pendak yang panjangnya seperti pedang Pemutus-asmara. Hanya batang pedang itu dihias dengan tujuh buah bintang.

Sepasang galang-emas yang dicekal ditangan kiri dijulurkan lurus kemuka dan pedang pendekpun dilintangkan siap menyambut serangan musuh.

Tampak wajah Han Ping yang semula pucat, pelahan lahan berwarna merah pula. Sepasang matanya memancar sinar tajam kearah lawan. Tangan kiri yang menjulai tadi, pun pelahan-lahan diangkat keatas untuk mengimbangi permainan pedangnya.

Tiba2 mata silelaki tua baju biru atau Lara-hay Ki -siu ketua dan perguruan Lam-hay-bun, tampak terkesiap. Rupanya dia terkejut melihat cara Han Ping menyiapkan ilmupedang yang akan dilancarkan itu.

Dalam pada itu wanita cantikpun segera menarik lengan Siau Toto atau si dara baju ungu terus dipeluknya dengan mesra.

“Nak, jangan takut bisiknya.

“Aku tak takut. Tetapi ah, siapakah yang akan menang dalam pertempuran itu?” tanya si dara.

“Tak peduli siapa yang akan menang toh sama saja,” kata wanita keraton itu, tetapi tiba2 ia terus berganti pembicaraan, “tetapi ilmupedang dari Ji Han Ping itu memang termasuk ilmupedang tingkat tinggi. Kemungkinan dia menang, memang lebih banyak.”

Ketika memandang kemuka tempat Han Ping dan Ih Thian-heng masing2 sudah sama menjulurkan pedangnya dan saling beradu pandang. Makin lama keduanya tampak makin tegang dan setam. Wajah keduanyapun mengembang warna merah, Seolah2 keduanya sedang berusaha untuk menekan perasaan dadanya yang hendak meledak.

Sekonyong konyong han Ping menggembor keras. Pedang Pemutus-asmara diayunkan dan seketika memancarlah sinar kebiru-biruan yang menggelembung panjang.

Tetapi pada saat Han Ping menggembor itu, pedang Ih Thian-hengpun tiba2 disapukan membentuk segumpal lingkaran sinar yang melingkari tubuh.

Ca Cu jing menghela napas panjang, “Ah, ilmu Pedang terbang….”

Tring! terdengar dering pelahan dan kedua pedang itupun tercerai lagi. Kedua orang itu tetap berdiri ditempatnya semula. Mata saling beradu pandang.

Hanya wajah mereka yang berwarna merah tadi, kini lenyap dan berganti kerut kepayahan. Sinar mata mereka yang berkilat-kilat tajam, pun redup dan pudar.

Pedang Ih Thian-heng ternyata sudah kutung terpapas pedang Pemutus asmara. Sisa kutungannya yang separoh masih berada ditangannya.

Han Ping merghela napas, serunya, “Ih Thian-heng, cukup asal engkau menjawab sepatah saja. Ibuku apakah engkau yang membunuhnya?”

Ih Thian-heng tak menjawab. Pelahan-lahan ia membuka genggam tangannya dan jatuhlah sisa kutungan pedang ditangannya itu ketanah. Rupanya dia kehabisan tenaga sehingga tak kuasa lagi untuk menguasai pedang dan sisa kutungan pedang itupun jatuh menukik lurus ketanah.

Ih Thian-heng, apakah engkau tak berani mengaku?” bentak Han Ping dengan sengit.

Tubuh Ih Thian-heng gemetar. Tiba2 ia menghela napas, “Kalau ya, lalu bagaimana?”

Han Ping tertawa nyaring, “Membunuh orang harus mengganti jiwa!”

Sekali tangan bergerak maka sinar birupun segera menabur kemuka. Setiap kali membicarakan dendam darah orangtuanya, darahnya tentu mendidih dan tenaganyapun menggelora. Dia tentu akan turun tangan dengan buas.

Setitikpun Ih Thian-heng tak menyangka bahwa dalam keadaan tenaganya habis ternyata Han ping masih dapat melancarkan serangan sedemikian hebatnya. Ih Thian-heng terkejut. Dalam gugup ia cepat lepaskan sepasang gelang emas. Gelang emas itu malayang menyongsong sinar pedang.

Tring, tring…. terdengar dering pelahan dan sepasang gelang emas itupun
terpapas kutung. Tetapi serentak dengan itu, batang gelang itupun menghamburkan air hitam.

Ternyata senjata Kim-juan atau Gelang emas milik Ih Thian-heng itu diisi dengan air beracun dan alat rahasia. Apabila alat itu dipijat, air beracunpun tentu meluncur keluar sampai jauh. Tetapi hamburan air itu halus seperti asap sehingga musuh tentu tak dapat melihatnya. Sekali mengenai tubuh orang, segera daging orang itu tentu akan membusuk. Racun berwarna hitam itu memang luar. biasa ganasnya.

Apabila Han Ping tak melancarkan serangan yang begitu tiba2 dan tak dapat diduga Ih Thian-heng, tentulah nanti akhirnya pemuda itu akan tersembur oleh air racun.

Setelah dapat menghancurkan gelang emas Han Pingpun menghentikan serangannya.

Ih Thian-heng terkejut sekali melihat peristiwa yang tak terduga-duga itu. Tetapi pada lain saat ia tertawa nyaring, serunya, “Ah saudara Ji, rejekimu sungguh besar sekali. Kalau engkau tak memapas kutung gelang-emas itu,tentulah engkau terluka tersiram air beracun itu.”

Han Ping memandang ke tanah yang ditimpahi air beracun. Ia terkejut, pikirnya, “Hm entah apa ramuan racun itu sehingga sampai begitu hebat. Tanahpun sampai berlubang-lubang begitu macam. Kalau sampai mengenai tubuh orang, tentu hancur.”

Hati Ping geleng2 kepala dan menghela napas, “Ih Thian heng sekarang baru kubuktikan sendiri kalau engkau ini memang manusia berhati serigala.”

Ih Thian-heng malah tertawa keras, “Dalam tempat yang begini berbahaya, kesempatan hidup amat kecil sekali. Sekalipun engkau memaki aku dengan kata2 yang lebih kotor lagi, akupun takkan mempedulikan”

“Siapa bilang tempat ini sebuah tempat maut. Yang benar, hidup dan mati kalian ini tergantung dari keputusanku,” tiba2 lelaki tua baju biru berseru.

Jawab Ih Thian-heng, “Betapapun kesaktianmu, namun rasanya tentu sukar menghadapi serangan bersama dari tokoh2 Tiong-goan. Menilik engkau saat ini sedang menderita luka dalam yang parah, engkau tentu kalah dan menggerakkan alat rahasia dalam makam ini agar kita mati bersama-sama semua.”

Lain-hay Ki-siu tertawa dingin.

“Melihat keadaan disini, rasanya tiada seorangpun yang dapat melawan aku,” serunya dengan congkak.

“Sombong benar!” seru Ih Thian-heng lalu berpaling memandang Han Ping. Tampak pemuda itu kerutkan alis dan berkilat-kilat matanya. Wajahnya mengunjuk rasa tak puas terhadap ucapan ketua Lam-hay-bun tadi.

Melihat suasana itu tergeraklah pikiran Nyo Bun-giau, cepat ia menyelutuk, “Apabila kita semua tokoh Tiong-goan dapat memikirkan kepentingan bersama, sementara menghapus dulu kepentingan pribadi, lalu menghadapi engkau. Hm, kemungkinan bukan kami tetapi kalian orang2 Lam-hay-bun akan menjadi penghuni makam tua ini.”

Berulang kali wajah Han Ping tampak menggelombang perobahan tetapi sampai lama, dia tetap belum membuka mulut, Beberapa waktu kemudian baru berkata dengan nada dingin, “’Dendam kehilangan ayah dan bunda, bagai gunung yang selalu mengganjel mata. Aku takkan hidup tenang sebelum dapat membasmi musuh itu, menggorek hatinya untuk kusembahyangkan dimuka pusara ayah-bundaku, Ih Thian-lieng dendam permusuhan kita, tak mungkin diundurkan lagi. Saat ini kalau bukan engkau, akulah yang akan mati!”

Ih Thian-heng merogoh kedalam bajunya dan mengeluarkan sebatang sabuk kulit, lebarnya lima dim. Ujung sabuk ditancapi golok liu-yapto (golok setipis daun liu) yang berwarna kebiru-biruan. Kemudian tangan kiri merogoh kedalam baju lagi dan mengeluarkan sebatang pedang Jit sing kiam (pedang Tujuh-bintang).

“Memang sudah jauh2 hari aku menduga tentang pertempuran terakhir antara kita berdua. Demi menghadapi pedang pusaka Pemutus asmara yang luar biasa tajamnya itu, aku sengaja membuat lima batang pedang pendak Tujuh - bintang dan duapuluh hui-to (golok terbang) yang berlumur racun….” seru Ih Thian-heng.

“Berapa banyak senjata yang engkau bawa, silahkan menggunakan semua,” tukas Han Ping.

Ih Thian heng tertawa, “Duabelas batang hui -to beracun dan lima batang pedang Tujuh bintang yang terbuat dari baja murni dan sepasang gelang -emas berisi racun sama sekali berjumlah duapuluh tujuh buah. Sampai saat ini engkau sudah berhasil menhancurkan sebatang pedang dan sepasang gelang emas….”

Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “Dua puluh batang huuo ini. racunnya luar biasa ganasnya. Engkau harus hati2!”

Memandang kearah golok yang disiapkan Ih Thian-heng itu, diam2 Han Ping menimang dalam hati, “Hui-to itu hanya lima dim besarnya. Tentu mengandung suatu alat rahasia lagi. Jika dia menyerang dengan terpencar, betapapun hebatnya dibawah taburan hui-to beracun, sungguh tak sesuai.

Setelah merenungkan hal itu, Han Ping lalu kerahkan tenaga-dalam. Tegak dengan siapkan pedang. Wajahnya mengerat serius, sepasang matanya mencurah kearah ujung pedang. Sikapnya penuh wibawa.

Sekonyong- konyong ketua Lam-hay-bun menjerit tertahan lalu serentak berdiri dan mundur kebelakang. Sekalian tokoh cepat memandang kearah ketua La m hay-bun itu lalu ikut menyingkir mundur kesudut dinding.

Ih Thian-heng kerutkan alis. Dua butir keringat menetes turun. Tenang sekali ia segera memasang sabuk kulit berujung hui-to itu kepinggangnya Ia menjemput hui~to dengan tangan kanan. Sedang tangan kiri bersiap dengan pedang Tujuh-bintang.

Suasana dalam tempat itu sunyi senyap. Sekalian tokoh menumpahkan perhatian kepada pertempuran maut antara harimau lawan naga.

Tampak wajah kedua seteru itu agak berbeda. Seri wajah Han Ping makin lama makin cerah dan gagah. Sedang Ih Tnian-heng tampak tegang regang. Ubun2 kepalanya bercucuran keringat.

Tiba2 si dara baju ungu menghela napas dan berbisik kepada ibunya, “Adakah sikap berdiri sambil menyandang pedang yang dilakukan pemuda itu, merupakan sikap pembukaan dari suatu ilmu pedang yang sakti?”

Wanita cantik mengiakan, “Benar . .

Tiba2 Ih Thian-heng bersuit panjang. Sekali tangan kanannya bergerak maka tiga batang hui-topun segera melayang.

Han Ping menghembus napas. Sekali memutar tangan kanan maka pedang pusaka Pemutus asmara pun segera berhamburan membentuk segumpal sinar pelangi.

Tring, tring. tring…. ketiga hui-to itupun berhamburan jatuh ke tanah menjadi
enam potong.

Han Ping tampak tenang dan serius lagi. Ia tegak dengan sikap mempersembahkan pedang.

Tiba2 Ih Thian-heng tertawa panjang. Nadanya macam naga meringkik.
Kumandangnya tertawa itu memenuhi segenap ruangan.

Nyo Bun -giau berpaling memandang Ca Cu-jing, bisiknya, “Saudara Ca, rupanya Ih Thian-heng sudah gentar terhadap kesaktian pemuda itu. Dalam suara tertawanya itu, nadanya penuh dengan kerawanan . .

Berkata Ca Cu jing, “Kalau kita hendak membantunya, saat ini memang saat yang tepat.”

Dengan gunakan ilmu Menyusup suara, Nyo Bun-giau berkata pula, “Tetapi entah apakah ketua Lembah -seribu racun dan Siangkwan Ko itu menyetujui tindakan kita atau tidak. Dan si Pe-ngemis sakti itu entah akan menghalangi kita atau tidak. Jika fihak Lam hay-bun akan menggunakan kesempatan ketika kita saling berhantam sendiri mereka turun tangan. Tentulah mereka akan mendapat keuntungan macam si penangkap ikan yang memperoleh keuntungan karena kurang bertanding dengan burung bangau.”

Ca Cu-jing juga gunakan ilmu Menyusup-suara untuk menjawab, “Aku tak menguatirkan si Pengemis-tua Cong To dan orang Lam hay-bun, Yang penting apakah Leng Kong-siau, Siangkwan Ko dan Ting Ko mau bersatu dengan kita atau tidak. Asal ketiga orang itu setuju, ditambah dengan Ih Thian-heng, kita tentu dapat lolos dari tempat ini. Sebenarnya baik Ih Thian -heng maupun Ji Han Pinng itu, adalah musuh kita bersama. Kalau kedua orang itu saling bertempur sendiri, memang menguntungkan bagi kita. Tetapi entah bagaimana, aku mempunyai perasaan bahwa Han Ping itu lebih menakutkan daripada Ih Thian-heng. Menilik jalannya pertempuran, jelas Ih Thian-heng tentu kalah. Aku sendiri memang tak faham tentang ilmupedang tetapi kudengar keterangan dari tokoh2 pedang bahwa ilmu Pedang terbang itu merupakan ilmupedang yang paling tinggi tingkatnya. Sikap tegak sambil mempersembahkan pedang kemuka yang dilakukan Han Ping itu jelas merupakan sikap pembukaan dari ilmu Pedang terbang. Tampaknya nyali Ih Thiau-heng yang kenal akan ilmupeang itu, sudah berantakan.”

“Pendapat saudara Ca itu memang sama dengan pendapatku,” kata Nyo Bun-giauw, “akupun merasa kalau Ji Han Ping itu jauh lebih menakutkan dari Ih Thian-heng. Dia masih muda, darahnya masih panas dan keras Kepala tak-mau memikirkan kepentingan orang banyak. Mungkin Ih Thian heng ingin menundukkan Dua Lembah dan Tiga Marga, Tetapi Ji Han Ping mungkin akan membunuh semua orang kedua lembah dan ketiga marga itu….

Walaupun dengan menggunakan ilmu Menyu-Sup-suara lain orang tak dapat mendengar tetapi karena melihat bibir kedua orang itu bergerak-gerak, tahulah sekalian orang kalau kedua orang itu tengah berunding.

Leng Kong-siau ketua Lembah-seribu-racun tak dapat menahan kesabarannya. Ia tertawa dingin dan berseru, “Mengapa kalian kasak-kusuk sendiri?”

“Sekalipun saudara Leng tak bertanya, akupun tentu juga akan minta petujuk kepadamu,” sahut Nyo Bun-giau.

Leng Kong-siau tertegun, serunya, “Soal apa?”

“Menurut pendapat saudara Leng, bapakah diantara Ih Thian-heng dan Ji Han Ping yang mempunyai kemungkinan besar untuk menang?”

Jawab Leng Ko-ig siau, “Sebelumnya nyali Ih Thian-heng sudah runtuh, semangat tempurnya sudah lenyap. Tanda2 akan menderita kekalahan, sudah jelas. Sekalipun kepandaian mereka berimbang, tetapi Ih Thian-heng sudah kalah moril. Apalagi Ji Han Ping masih mempunyai pedang pusaka. Menurut pendapatku, sukar bagi Ih Thian-heng untuk mempertahankan diri.”

“Tadi akupun berunding soal itu dengan saudara Ca. Entah bagaimana penilaian saudara Leng terhadap kedua orang itu,” kata Nyo Bun-giau pula.

Jawab Leng Kong-siau, “Dalam keadaan dan tempat seperti ini, rasanya Ih Thian-heng lebih berguna kepada kita daripada Ji Han Ping.”

“Ah, pendapat kaum pendekar itu kiranya tentu sama,” kata Nyo Bun-giau,” aku dan saudara Ca juga berpendapat begitu Tadi aku berunding dengan saudara Ca untuk menggabungkan tenaga kita, yalah saudara Leng sendiri, saudara Siangkwan dan saudara Ting untuk membantu Ih Thian heng. Entah bagaimana pendapat saudara Leng?”

Leng Kong-siau tersenyum, “Asal saudara Ting dan saudara Siangkwan setuju, akupun juga setuju.”

“Baiklah, aku akan merundingkan hal ini kepada kedua saudara itu,” kata Nyo Bun giau lalu kisarkan tubuh dan berkata, “Saudara Ting dan saudara Siangkwan, aku hendak mohon petunjuk kepada saudara berdua “

Kedua tokoh itu berpaling dan menghampiri ketempat Nyo Bun giau.

Ting Ko tertawa dingin, “Soal apakah yang saudara Nyo hendak tanyakan?”

“Bagaimana pendapat saudara berdua tentang pertempuran kedua orang itu?” tanya Nyo Bun giau.

“Paling baik keduanya sama2 mati.” sahut Ting Ko.

“Tetapi sayang keadaan tak seperti yang saudara harapkan,” kata Nyo Bun-giau, “diantara kedua orang itu hanya ada seorang yang masih dapat hidup.”

“Sudah jelas kalau Ih Thian-heng tak mempunyai kesempatan untuk menang,” tiba2 Siangkwan Ko menyeletuk.

“Pandangan saudara Siangkwan memang tepat,” kata Nyo Bun-giau, “begitu pula anggapanku, saudara Ca dan saudara Leng.”

“Lalu bagaimana maksud saudara Nyo, harap mengatakan dengan jelas,” kata Ting Ko.

“Ah, saudara Ting memang tangkas. Baiklah, aku tak mau menggunakan kata2 yang berliku-liku lagi. Kami bertiga tadi telah berunding dan merencanakan

untuk membantu Ih Thian-heng. Entah apakah saudara berdua dapat menyetujui dan suka membantu tindakan kita itu?”

“Ini…. ini….”

Belum selesai Siangkwan K o mengucap, Nyo Bun giau cepat menyusuli kata2 lagi, “Walaupun Ih Thian-heng itu memusuhi kita, tetapi Ji Han Ping lebih menakutkan lagi. Dia sudah menukas hubungan kasih dengan si dara baju ungu puteri dari ketua Lam-haybun. Saat ini si dara sudah sembuh. Apabila Ih Thian-heng mati ditangan Ji Han Ping, keadaan tentu sudah jelas. Bagaimana akibatnya nanti andaikata Ji Han Ping bersekutu dengan fihak Lam-hay-bun tak perlu kuterangkan, saudara berdua tentu sudah dapat membayangkan sendiri.”

“Dalam hal apa ih Thian-heng itu tergolong manusia baik?” seru Ting Ko.

Jawab Nyo Bun-giau, “Walaupun dia bukan orang baik, tetapi sekurang-kurangnya dia tentu takkan bersekutu dengan fihak Lam hay bun. Kecuali kalau suasana berganti begini: Han Pin.; menggempur Lam-hay-bun lebih dulu baru kemudian menyelesaikan Ih Thian-heng, kita memang takkan memikirkan tindakan apa2…. “

“Apabila tindakan kita ini malah akan mendesak Han Ping berfihak kepada Lam hay-bun, bukankah lebih runyam lagi,” kata Ting Ko.

Nyo Bun giau tak pernah membayangkan akan menerima pertanyaan semacam itu dari Ting Ko. Maka untuk sesaat ia tak dapat menjawab.

Dalam pada ia merenung itu keadaan dalam medan pertenpuranpun sudah berobah. Tampak Ih Thian heng sedang menaburkan lima batang golok hu yap-to yang berlumur racun Kelima batang golok tipis itu hebat sekali melayangnya.

Bagai burung walet, kelima batang hui to itu meluncur urut-urutan seperti berbaris.

Dua batang hui-to yang melayang dimuka, ketika hampir tiba2 pada Han Ping kira2 kurang sekilan, tiba2 menjungkat keatas. Sedang tiga batang hui-to yang dibelakang, malah tiba lebih dulu. Jadi yang meluncur dibelakang malah mendahului menyerang Han Ping. Ketiga huito itu meluncur dengan pesat dan berpencaran. Yang satu menyerang dada, satu mengarah tengorokan dan satu lagi menyerang perut.

Cepat Han Ping memutar pedang Pemutus-asmara. Tring tring, ketiga hui-to itupun berhamburan lenyap tersapu pedang.

“Awas, hati-hatilah dengan dua batang hui-to yang dibelakang itu!’ teriak Pengemis-sakti Cong To.

Baru Ia memberi peringatan, tiba2 kedua batang hui to yang melekat satu sama lain tadi, meluncur kebawah dan mencurah ke dada han Ping. Saat itu Han Ping belum sempat menarik pulang pedangnya dan kedua batang hui-to itu sudah dekat pada dada.

“Ih….” tiba2 si dara baju ungu menjerit dan terus pingsan dalam pelukan
ibunya.

Memang dara itu walaupun sudah tertolong tetapi tubuhnya masih lemah. Melihat Han Ping akan binasa dibawah curahan hui-to beracun, terkejutlah hati dara itu. Seketika darahnya meluap dan iapun terus pingsan….

Memang Han Ping sendiri juga terkejut. Dalam gugup, han Ping masih sempat mengempiskan perut dan dengan gerak yang luar biasa cepatnya, ia menyurut mundur dua langkah.

Dua batang huito, meluncur menyerempet pakaian Han Ping dan terus jatuh ketanah.

Tetapi dalam pada ituIh Thian-hengpun cepat menggunakan kesempatan untuk menyerang. Pedang Tujuh-bintang ditaburkan menjadi tiga gumpal lingkaran sinar, lalu menusuk ke muka.

Dalam pertempuran diantara tokoh sakti seperti yang dilakukan Han Ping dengan Ih Thian-heng, memang detik2 yang bagaimana kecilnya pun amat penting dan dapat merobah jalan pertempuran.

Walaupun Han Ping memegang pedang pusaka Pemutus asmara yang hebat, tapi karena ia baru saja menghindari hui -to maut dan belum sempat memperbaiki posisinya, maka serangan Ih Thian-heng yang dahsyat dan cepat itu tak sempat ditangkisnya. Terpaksa anakmuda itu menghindar ke samping. Tetapi sekalipun begitu Dia harus menderita luka tusukan pedang, Bahunya sebelah kiri kena tertusuk ujung pedang lawan, darah menyembur keluar membasahi pakaian, bahkan tembus sampai ke pakaian dalam.

Bahu yang tertusuk itu meninggalkan luka sepanjang tiga dim.

Melihat tusukannya berhasil, Ih Thian-heng, ia terus hendak menyusuli lagi tetapi secepat itu pula Han Pingpun sudah ayunkan kakinya menendangnya. Terpaksa lh Thian-heng mundur dua langkah.

Dengan peristiwa itu, keadaan pertempuran berobah delapan puluh derajat. Han Ping yang sudah menguasai pertandingan, ternyata berbalik menderita luka. Tetapi Ih Thian-hengpun kehilangan kesempatan bagus untuk menyelesaikan lawan. Terpaksa dia loncat kembali ketempatnya semula.

Han Pingpun tegak sambil luruskan pedang kemuka dada, siap2 menghadapi serangan lawan. Tetapi dalam pada itu diam2 ia menggunakan kesempatan untuk menyalurkan tenaga-dalam menghentikan pendarahannya.

“Saudara, lekas salurkan tenaga dalammu untuk menutup jalandarah di lenganmu yang terluka itu. Hati2 jika pedang ih Thian heng itu beracun,” seru Pengemis-sakti ih Thian-heng.

Han Ping tersenyum, “Terima kasih….”

“Jangan bicara,” cepat2 Cong To melarangnya.

Han Ping menurut, Saat itu keduanya saling berhadapan lagi dengan pandang mata saling memperhatikan gerak gerik lawan.

Rupanya luka pada bahu Han Ping itu cukup berat. Darah sampai membasahi ke lengan bajunya.

ih thian heng merogoh lagi kedalam bajunya.

ia mengeluarkan enam batang hui-to beracun. Serunya, “Ji Han Ping, apakah lengan kirinya sudah lumpuh?”

Han Ping mengertek gigi. Ia hendak menjawab tetapi tak jadi.

Ih Thian-heng tertawa hambar, “Sesungguhnya ilmupedang saudara itu hebat sekali, lebih unggul dari aku. Tetapi sayang pengalaman dalam bertempur, saudara masih belum cukup.”

Han Ping tetap diam.

Ih Thian-heng tertawa pula, “Jika saudara merasa luka saudara itu keliwat berat sehingga sukar melanjutkan pertempuran, dapatlah pertempuran hari ini kita tunda dulu Tunggu satelah luka saudara sembuh, baru kitalanjutkan lagi….”

Mendengar itu Han Ping tak dapat menahan hatinya lagi, ia menjawab, “ Tak perlu.”

Ih Thian-heng tertawa, “Bahu kiri saudara yang terluka itu kemungkinan sudah menyusup ketulang. Apabila melanjutkan bertempur, mungkin sukar untuk menutup jalandarah untuk menghentikan pendarahannya. Dan lagi menilik luka….

“Dendam berdarah dari ayahbunda, telah menghayati darah dagingku bahwa aku takkan hidup bersama dalam satu kolong langit dengan engkau, Kecuali engkau dapat memapas tubuhku kutung, pertempuran hari ini harus selesai sampai ada yang menjadi mayat!’ tukas Han Ping.

Tiba2 terdengar si dara baju ungu menghela napas panjang dan membuka mata Demi melihat Han Ping masih berdiri tak kurang suatu apa, legahlah hati dara itu. Ia rebahkan kepala kedada ibunya dan berkata dengan bisik2, “Mah, selama beberapa tahun ini, dimanakah engkau? Ai, walaupun tiada seorangpun yang memberitahu kepadaku bahwa mamahku masih hidup, tetapi hatiku tetap yakin bahwa mamah….

Wanita cantik itu mendengus dingin, “Bagaimana? Mereka mengatakan aku sudah mati?katanya sambil memindahkan jari untuk mengurut-urut jalandarah puterinya.

Dara baju ungu mengangguk, “Tidak, memang tak ada seorangpun yang mau memberitahukan tentang keadaanmu sehigga aku merasa seperti seorang anak perempuan yaug terapung-apung seorang diri di samudra raya.”

Wanita cantik itu menghela napas, “Seharusnya engkau kubawa pergi bersama….” pelahan-lahan ia hendak menarik ujung selubung sutera yang
menutup muka puterinya. Dengan mata berlinang-linang ia berkata, “Nak, kasihlah mamah melihat wajahmu….”

“Jangan menyentuh aku!” tiba2 dara itu melengking kaget.

Wanita cantik tertegun dan lepaskan tangan yang memegang ujung kain selubung, “Nak, mengapa engkau ini”

Tiba2 dara itu lunglai terus jatuhkan diri kedada ibunya dan menangis terisak isak.

Wanita cantik terkejut, tanyanya gopoh, “Nak, engkau kenapa?”

Tetapi dara itu tak menjawab melainkan terus menangis tak henti2nya. Suara tangisnya makin lama makin merawankan dan makin menyayat hati orang. Sekalian tokoh yang sedang tegang menghadapi pertempuran maut itu, entah bagaimana, tergerak -hatinya dan ikut berlinang-linang sedih.

Tampak Han Ping dan Ih Thian-hengpun menurunkan pedangnya. Wajah mereka yang penuh hawa pembunuhan, pun mulai lenyap.

Wajah sekalian orang yang berada dalam ruangan itu diliputi dengan kerut kesedihan. Seolah2 mereka sedang berkabung. Dunia ini dirasakan seperti tertutup kabut kesedihan, kegelapan dan kehampaan….

Tanpa disadari semangat sekalian tokoh itu telah dicengkam oleh suara tangis si dara Dan beberapa saat kemudian, entah siapa, tiba2 terdengar suara orang menangis keras. Belum sempat orang memperhatikan siapa yang menangis itu, sudah disusul lagi dengan orang lain yang menangis keras. Lalu seorang lagi dan seorang lagi sehingga sekalian tokoh itu serempak menangis semua.

Tring, tring…. pedang Han Ping dan pedang Ih thian-hengpun berhamburan
jatuh ketanah.

Didalam ruang itu hanya lelaki tua baju biru yang tak terpengaruh dengan suara tangis si dara. Dia tetap duduk bersila pejamkan mata. Tetapi wajahnya menebar warna merah. Jelas dia sedang mengerahkan tenaga-dalam untuk menolak tenaga-dahsyat yang berhamburan memenuhi ruangan tetapi yang tak tampak.

Dara baju ungu itu mengangkat mukanya, memandang kesekeliling ruangan. Demi melihat sekalian orangpun sama menangis, ia segera hentikan tangisnya dia pelahan-lanan ayunkan langkah kemuka.

Karena sedang dicengkam oleh kesedihan, sekalian tokoh2 itu tak tahu kalau siara sudah maju kemuka.

Ternyata dara itu menghampiri kesamping Han Ping. Ia memungut pedang Pemutus-asmara,. Kemudian menghampiri ke tempat Ih Thian-heng lalu mengankat pedang itu dan diarahkan kedada Ih Thian-heng.

Asal dara itu menggunakan sedikit tenaga saja, betapapun kesaktian Ih Thian-heng, namun tetap tak mungkin dapat menahan pedang pusaka itu. Dia tentu, terluka. Ini sudah pasti.

“To-ji, lekas mundur kembali, apakah engkau tak sayang jiwamu?” tiba2 terdengar suara seruan pelahan.

Suara itu tak asing bagi si dara dan ketika berpaling ia dapatkan yang berseru itu memang ayahnya, ketua Lam-bay-bun tengah deliki mata dan melambaikan tangan memanggilnya.

Dara baju ungu menghela napas dan pelahan-lahan menghampiri kesamping Han Ping, menarik tangan kanan pemuda itu dan tiba2 mengigitnya keras”

Han Ping merasa sakit dan tiba2 ia tersadar. Si darapun lalu menyerahkan pedang pusaka Pemutus-asmara kepadanya, “Kalau hendak membalas dendam sakithati orangtuamu, segeralah engkau bunuh dia!”

Dara baju ungu itu menginsyafi bahwa dengan tenaganya yang masih lemah, tentu tak mungkin dapat menyadarkan Han Ping. Maka ia lalu menggigitnya sehingga pemuda itu dapat siuman dari kehilangan semangat.

Menyambut! pedang, Han Ping memandang lekat2 ke wajah dara itu seolah-olah hendak menembus kain selubung yang menutup wajah dara itu.

“orang mengajakmu bicara, mengapa engkau tak mendengar?” lengking si dara.

“Soal apa?” sahut Han Ping gopoh.

“Jika engkau hendak membalas sakithati orangtuamu, lekaslah engkau turun tangan. Saat ini dia sudah kehabisan tenaga.”

Diluar dugaan Han Ping gelengkan kepala, “Seorang lelaki jantan, mana mau bertindak terhadap orang yang sedang terluka. Aku hendak menunggu sampat sadar baru akan menempurnya lagi.”

“Dia telah menggunakan hui-to untuk menyerang engkau secara gelap. Dan dia berhasil melukai sebelah lenganmu. Kalau saat ini engkau membunuhnya bagaimana orang akan menuduh engkau bertindak menindas orang yang sedang terluka….”

Berhenti sejenak dara itu melanjutkan kata” katanya pula, “ih Thian-heng seorang durjana besar. Tetapi dia pura2 bersikap seperti seorang budiman. Semua tokoh yang berada di ruang ini, telah terpengaruh dengan sikap dan omongan palsu dari Ih Thian-heng. Seluruh kaum persilatan dunia Tiong goan menganggap engkau lebih berbahaya dari Ih Thian-heng. Mereka takut dan gentar kepadamu dan ingin melenyapkan engkau. Hm, memang didunia ini terdapat manusia2 yang menganggap dirinya sok pintar seperti mereka itu!”

“Mengapa?” tanya Han Ping masih ragu,” pada hal aku dengan mereka tiada mempunyai dendam permusuhan apa2. Mengapa mereka harus membunuh orang yang tak bermusuhan dengan mereka?”

Dara baju ungu menghela napas rawan “Setiap pemenang tentu mengundang perasaan iri hati orang. Yang keras, tentu mudah putus. Apakah engkau tahu ujar2 itu?”

Han Ping terlongong-longong tak dapat bicara.

Tiba2 dara ungu itu berkata pula: Tahukah engkau bahwa sudah berulang kali ih Thian-heng berusaha untuk mencelakai engkau secara diam2?

Lekaslah engkau bertindak saat ini juga!”

Han Ping mengangkat pedang Pemutus-asmara lalu bergerak maju.

“Bagus!’ seru si dara baju ungu.

Tetapi baru dua langkah, Han Ping mundur lagi. Tring…. pedang Pemutus-
asmarapun jatuh menukik ke lantai. Ujungnya menancap di lantai sampai satu dim dalamnya.

Dara baju ungu banting2 kaki pelahan, lengkingnya, “Jika memiliki budi welas-asih seperti wanita, walaupun mempunyai keberanian seperti raja Pah-ong, juga tak terhitung seorang pahlawan. Karena akhirnya harus menemui kesulitan

dikepung dan bunuh diri di tepi bengawan Oh-kiang. Keadaanmu saat inipun serupa dengan raja Pah ong dahulu kala. Selekas Ih Thian-heng sudah sadarkan diri, engkau tentu akan terkepung dalam sorak kemenangan mereka. Saat itu, menyesal pun takkan berguna lagi!”

Han Ping menghela napas panjang, “Raja Co Pah-ong memang seorang pahlawan besar. Walaupun dia gagal dalam usahanya, tetapi dia telah menderita kekalahan secara gilang gemilang, kalah dengan kejayaan.”’

Si dara tertegun sejenak, serunya, “Tetapi…. tetapi adakah engkau lupa bahwa
ih Thian-heng itu musuhmu bebuyutan?”

Tubuh Han Ping gemetar. Ia mengambil pedang Pemutus-asmara lagi dan berdiri tegak.

Si dara memandang Han Ping. Dilihatnya wajah pemuda itu bercucuran keringat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang mengalami pertentangan batin dan tak dapat mengambil keputusan.

Han Ping masih menjulaikan ujung pedang kebawah dan tangannyapun bergemetaran. Kemudian tubuh juga mulai menggigil.

Memang detik2 itu amat menegangkan dan penting sekali artinya. Setiap keputusan yang diambilnya akan menentukan kalah menangnya dan nasib seluruh dunia persilatan.

Melihat pemuda yang dikasihnya itu tegang, si dara baju ungupun ikut tegang, serunya, “Setiap kesempatan harus cepat disertai keputusan Bila berayal, tentu akan timbul perobahan lagi. Biasanya engkau tangkas dan cepat menghadapi setiap persoalan, mengapa hari ini….”

“To-ji,” tiba2 terdengar suara seruan pelahan, “engkau harus mengetahui bahwa seorang lelaki yang tegak di dunia dan melakukan suatu tindakan, sang isteri tak boleh turut campur. Sebaiknya engkau “lekas mundur kemari dan biarkanlah dia sendiri yang mengambil keputusan!”

Suara yang bernada tajam dan keras itu mengandung kasih sayang yang penuh. Ternyata yang bicara itu adalah ayahnya, Lam hay Ki-siu.

Diam si dara menghela napas. Walaupun hati penasaran tetapi ia tak berani membantah kata ayahnya.

Tetapi tiba2 pula terdengar suara seorang wanita yang merdu disertai dengan tawa dingin, “Siapa bilang lelaki berbuat apa2, isteri tak boleh ikut campur? Aku hendak bertanya, apakah alasannya?”

Ternyata yang bicara itu adalah ibu si dara baju ungu.

Tiba2 Han Ping berseru nyaring, “Aku sudah mengambil keputusan ,….”

Mendengar itu si dara yang sudah berputar tubuh dan ayunkan langkah menyingkir, berhenti dan cepat berpaling.

Dilihatnya Han Ping melangkah dengan tegap kesamping Ih Tnian-heng.

Serentak si dara girang dan berseru lembut, “Asal engkau mau menabas, bukan saja engkau dapat membalas sakit hati orangtuamu, pun berarti engkau telah membasmi seorang durjana besar!”

Tetapi ternyata tindakan Han Ping itu sungguh diluar dugaan si dara. Dia memang mengangkat tangan tetapi tidak menahasnya melainkan terus dilekatkan ke punggung Ih Thian-heng. Ih Thian-heng sedikit gemetar tetapi pada lain saat iapun tersadar.

Han Ping terus lanjutkan lagi kepada Ca Cu-jing dan lain2 tokoh sehingga dalam beberapa saat saja mereka sudah tersadar semua.

Tokoh2 itu terkejut dan memandang kepada Han Ping Mereka menyadari bagaimana keadaan mereka beberapa saat yang lalu. Apabila Han Ping ayunkan pedang, mereka tentu sudah jadi mayat semua. Tetapi ternyata anakmuda itu tak mau bertindak curang malah dia menampari agar mereka tersadar dari cengkaman tenaga sakti yang terpancar dari tangis si dara baju ungu.

Ca Cu jing menghela napas pelahan, bisiknya kepada Nyo Bun-giau, “Saudara Nyo, dia masih muda tetapi tindakannya amat tegas dan gemilang,’

Nyo Bun giau tak menyahut tetapi dalam hati diam2 ia mengeluh, “Anak itu memang jujur sekali. Dengan tindakannya tadi, jelas dia telah merebut hati sekalian orang. Rasanya jerih payahku untuk mengajak sekalian orang membunuhnya, tentu akan gagal.”

Setelah selesai membuka jalandarah sekalian tokoh, Han Ping terus melankkah ketengah gelanggang dan berseru kepada Ih Thian -heng, “ih thian-heng, apakah kesadaran pikiranmu sudah sembuh sama sekali?”

Ih Thian-heng, tersenyum, “Ya, sudah. Tindakan saudara ji yang begitu perwira, sungguh membuat orang kagum dan tunduk hati.”

“Seorang lelaki memang harus bertindak yang perwira,” sahut Han Ping. Tiba2 ia tertegun sejenak lalu berkata pula, “Aku ingin mengadakan perjanjian dengan engkau. Apakah engkau meluluskan?”’

“Silahkan mengatakan,” sahut Ih Thian-heng.

Dengan nada bersungguh, Han Ping berkata, “Pertempuran hari ini, sudah jelas harus ada penyelesaiannya. Entah siapa yang akan menang dan kalah, tentu bakal ada salah seorang yang rubuh bermandi darah. Dengan disaksikan oleh sekian banyak tokoh2 persilatan, matipun takkan penasaran.”

Jawab Ih Thian-heng: Mendapat seorang lawan yang berimbang kekuatannya, sungguh menggembirakan sekali. Matipun juga suatu kesudahan yang menyenangkan. Tetapi entah apakah lenganmu yang kiri yang terluka tadi, apakah masih dapat digerakkan?”

Sambil dua kali menggerakkan lengannya, Han Ping menyahut, “Meskipun lukanya sampai mengenai tulang, tetapi tak sampai lumpuh,”

“Aku harus mengucap selamat kepada saudara Ji,” seru Ih Thian heng. “ah, dalam pertempuran memang masing2 terpaksa harus berlaku kejam. Hal itu menang tak dapat dihindari lagi.”

“Aku hendak mengadakan perjanjian dengan Ih cianpwe. Dalam pertempuran nanti, apabila aku beruntung memenangkan sejurus, kuminta Ih cianpwe suKa menjawab sebuah pertanyaanku.”

Ih Thian-heng merenung, sahutnya, “Kalau aku yang beruntung menang?” “Terserah Ih cianpwe hendak bertindak bagaimana,” jawab Han Ping.

“Menurut penilaianku,” kata Ih Thian heng, “dalam pertempuran nanti, kita masing2 mempunyai kesempatan untuk menang. Dengan demikian menang kalah, masih sukar diketahui “

“Kutahu kalau sukar untuk mengalahkan engkau, apalagi lenganku kiri menderita luka parah, sehingga tenagakupun banyak berkurang….

“Lalu kalau menurut perjanjianmu, sampai berapa lamakah kita harus bertempur? Ketahuilah, untuk merebut suatu kesempatan, kita masing2 memang sukar melakukan. Tetapi setelah memenangkan sebuah jurus, harus berhenti untuk membicarakan suatu peristiwa yang lampau….”

Dia berhenti sejenak tiba2 tertawa keras, “Perjanjian yang engkau kehendaki itu, rasanya apa tidak merugikan engkau. Engkau tentu akan menanyakan tentang sebab2 kematian orangtuamu ditanganku itu. Tebusan yang engkau lakukan untuk hal itu, sungguh terlalu berat Bukan aku Ih Thian -heng bermulut besar. Tetapi semua peristiwa dalam dunia Tiong-goan selama berpuluh2 tahun ini, walaupun aku tak langsung ikut campur, tetapi aku tentu tahu jelas. Apabila harus menceritakan, belum tentu dalam tiga hari tiga malam akan selesai.”

‘Walaupun aku tak melihat sendiri engkau membunuh suhuku tetapi kutahu bahwa engkaulah pembunuh dari kedua orangtuaku. oleh karena, belum jelas,

maka aku ingin mengetahui apa sebab engkau membunuh orangtuaku dan dengan cara bagaimana engkau membunuh mereka!”

Ih Thian hener tertawa hambar tak menyahut.

Han Ping menghela napas panjang lalu berkata pula, “Kita bertempur dengan senjata atau dengan tangan kosong?”

“Terserah kepadamu,” sahut Ih Thian-heng.

Tiba2 Han Ping letakkan pedang Pemutus-asmara, serunya, “Pedangku ini memang terlalu tajam sekali. Kalau terkena tentu mati atau luka parah. Sebelum aku memperoleh apa yang hendak kuketahui itu, aku tak ingin engkau mati dibawah pedang ini.”

Ih Thian hengpun melepas sabuk bertabur hui-to beracun dan pedang Tujuh-bintang. Kedua benda itu dilempar ketanah.

Tiba2 Pengemis-sakti Cong To tertawa mengejek, “Ih Thian heng, tiga pedang pandek yang tersimpan dalam badanmu itu mengapa tak engkau keluarkan juga?”

Ih Tbian -heng tertawa, “Jangan kuatir ia terus mengeluarkan tiga batang pedang pandak dan dilemparkan di tanah. Sejenak bersangsi, kembali ia mengeluarkan sebatang benda hitam semacam penggaris yang panjangnya sekilan. Lalu berseru kepada sekalian orang, “Adakah saudara2 pernah mengenal senjata ini?”

Sekalian tokoh mencurahkan pandang. Tetapi tiada seorangpun yang kenal akan senjata itu.

Tiba2 Han Ping memberi hormat, serunya, “Ih locianpwe, hati2lah aku hendak mulai menyerang,”

Ia menutup kata-kata dengan melangkah maju dan terus ayunkan tangan.

“Aha, entah bagaimana kesaktian tangan saudara Ji ini.” sambil menangkis, Ih Thiang-heng tertawa.

Darr…. ketika kedua tangan mereka saling beradu, Han Ping tersurut mundur
tiga langkah tetapi Ih Thian-hengpun terdorong selangkah ke belakang.

Tetapi selekas mundur, Han Ping terus menendang perut Ih Thian-heng.

Sambil menghindar kesamping, Ih Thian-heng berseru, “Tenaga pukulan saudara ternyata hebat juga. Tadi aku sudah menggunakan delapan bagian tenagaku.”

Dalam berkata-kata itu, sepasang tangannya bergerak dan berturut turut melancarkan tiga jurus serangan.

Han Ping tak mau meladeni bicara. Ia tun pahkan selurvh perhatiannya uniuk melawan. U ngan kirinya memang tciluka parah sehingga ta leluasa digerakkan, Maka terpaksa ia gunakan tin] tendangan untuk menutup kekurangan lengan kil nya itu.

Demikian pertempuran berjalan seru. Pukulan dan tendangan berhamburan dengan cepat dan dahsyat.

Beberapa saat kemudian, luka pada lengan Han Ping itu merekah pula. Darah merah bercucuran ke tanah. Tetapi dia memukul dan menendang dengan gagah perkasanya.

Dalam beberapa kejab saja, keduanya telah bertempur lebih dari duapuluh jurus. Tiba2 Ih Thian heng miringkan tubuh, menghindari pukulan lalu menyelonong maju dan menebas lengan kiri Han Ping.

Oleh karena lengan kiri Han Ping itu terluka dan tak dapat bergerak dengan leluasa, maka tampaklah pemuda itu tentu akan menderita lagi.

Dara baju ungu mendengus dingin dan hendak memaki Ih Thian-heng. Tetapi tiba2 tangan kanan Han Ping berputar seperti hendak menghantam. Belum sampai pada sasaran, sekonyong-konyong ditarik kembali dan disapukan ke persambungan lengan kanan Ih Thian heng. Lengan kanan Ih Thian-heng tiba2 menjulai turun.

Kemudian Han Ping agak menengadahkan tubuh dan menyurut mundur seraya berseru, “Maaf, maaf, aku beruntung dapat memenangkan jurus ini.”

Ih Thian-heng tertawa tawar, “Bertanyalah tetapi hanya terbatas tentang seseorang sebuah peristiwa.”

“Apakah engkau yang membunuh ayah bundaku? tanya Han ping.

“Sudah kukatakan,” kata Ih Thian-heng, “hanya terbatas untuk satu orang dan satu peristiwa.

Ayah dan ibumu, dua orang dan dua buah dua orang dan dua peristiwa, jangan dicampur adukkan”

“Baik, aku menurut syaratmu. Apakah ayahku engkau yang membunuhnya?” “Boleh dikata ya, boleh dikata tidak.”

“Apa artinya omonganmu itu?” Han Ping marah, “kita sudah berjanji dan semua orang yang berada disini menjadi saksi. Apakah engkau masih hendak menyangkal?”

Ih Thian heng tersenyum, “Apa yang kukatakan itu memang sungguh2. Kematian ayahmu, meskipun memang aku yang memerintahkan tetapi yang membunuhnya bukan aku.”

“Walaupun bukan engkau yang membunuhnya, tetapi pembunuhan itu adalah atas perintahmu. Engkau tetap menjadi biangkeladinya,” kata Han Ping.

“Aku tak mengingkari.” kata Ih Thian heng.

“Lalu siapakah yang membunuhnya?”

“Perhitungkan saja hal itu kepadaku, tak perlu mencari orang lain,” kata Ih thianheng.

Tiba2 Kim loji berteriak keras, “Pingji, Ping-ji, akulah Ih Thian-heng hendak menangkap ayahmu dan akan dibunuh dengan ditarik lima ekor kerbau. Aku kuatir ayahmu tak dapat menahan penderitaan itu maka terus kutabasnya dengan golok!”

Bruk….! selesai memberi keterangan, tiba2 Kim loji benturkan kepalanya pada
dinding batu. han Ping tak mengira sama sekali bahwa satu-satunya orang yang dianggap sebagai keluarganya dan yang paling dihormatinya, ternyata pembunuh dari ayahnya.

Sesaat Han Ping terlongong dicengkam dalam kesedihan dan kedukaan….

Tetapi ketika terdengar bunyi batok kepala pecah karena terbentur dinding karang, seketika Han Pingpun tersadar.

“Paman, paman….” Ia terus lari menghampiri dan mengangkat tubuh Kim loji.
Tetapi karena separoh dari batok kepalanya sudah pecah Han Ping tak berdaya menolongnya lagi. Airmatanyapun bercucuran seperti hujan deras….

Kemudian letakkan tubuh Kim loji lalu bersuit panjang, serunya, “Ih Thian-heng, hutang darahmu tambah satu rekening lagi!”

Han Ping menutup katanya dengan lontarkan sebuah pukulan Sin-lioug-jut-hun atau Nagasakti-keluar dari awan.

Ih Thian hengpun segera gerakkan tangan kanan untuk menangkis, menyusul tangan kirinya balas memukul dengan pukulan Angin-puyuh-menampar-pohon.

Demikian keduanya segera bertempur dengan lebih dahsyat dan ganas. Benar2 merupakan suatu pertempuran maut. Setiap pukulan dan tendangan, semua merupakan gerak yang mematikan.

Sekalian orang yang menyaksikan pertempuran itu, terlongong-longong kesima.

“Awas!” tiba2 ih Thian heng berseru dingin seraya mecengkeram siku lengan kanan Han Ping.

“Ah, belum tentu,” kata Han Ping lalu memutar kelima jarinya menggurat lengan kanan Ih Thian heng.

Seketika Ih Thian-heng rasakan lengannya kesemutan dan gerakannyapun terlambat. Han Ping menyusuli sebuah tendangan ke perut sehingga ih Thian heng tergopoh-gopoh mundur dua langkah.

Han Ping menarik tangannya dan tegak berdiri, serunya, “Ih Thian heng, yang ini engkau anggap atau tidak?”

Sambil mencekal lengan kanannya dengan tangan kiri Ih Thian-heng menjawab, “Sudah tentu dianggap Silahkan engkau bertanya tentang sebuah peristiwa!”

“Apakah ibuku juga engkau yang membunuh?” segera meluncur pertanyaan dari mulut Han Ping/

“Bukan,” Ih Thian heng gelengkan kepala.

Sambil berpaling kearah mayat Kim loji, Han Ping bertanya pula, “Apakah juga paman Kim loji yang membunuhnya? Hm, karena dia sudah mati engkau tentu dapat menimpahkan segala dosa kepadanya.”

Ih Thian heng tertawa dingin, “Saudara memandang diriku Ih Thian-heng ini sebagai orang macam apa…. .”

Ia menengadahkan kepala dan bersuit panjang untuk menumpahkan kesesakan dadanya, lalu melanjutkan berkata pula, “Tentang ibumu …. memang bukan Kim loii yarg membunuhnya.”

“Lalu siapa pembunuhnya?”

“Dia bunuh diri sendiri dihadapan makam ayahmu!”

Han Ping menghela napas rawan, “Benarkan keteranganmu itu?”

“Soal itu menyangkut kesucian nama ibumu, bagaimana aku berani omong sembarangan” sahut Ih Thian-heng.

“Dimanakah makam ayahbundaku itu?”

“Digunung Lam gak. Tetapi karena peristiwa itu sudah berselang lebih dari sepuluh lahun yang lalu, tentang letaknya yang tepat, aku sudah tak ingat jelas lagi.”

“Baik, sekarang silahkan engkau membuka serangan,” kata Han Piiig.

Ih Thian-heng melangkah maju terus menutuk dengan jarinya. Han Ping menghindar lalu lancarkan tiga buah serangan.

Setelah dua kali mengalami kekalahan, Ih Thian-hengpun tak berani memandang rendah lagi. Dia tumpahkan seluruh perhatian dan semangat untuk menyerang. Pun Han Ping juga tak berani lengah. Keduanya bertempur makin seru dan ganas. Jurus2 yang dilancarkan, benar2 ilmusilat yang jarang tertampak didunia persilatan.

Sekalian tokoh yang menyaksikan pertempuran itu mendapat kesan bahwa ilmusilat Han Ping itu seolah olah air sungai yang tak pernah kering.

Setiap kali berhenti, tentu malah tambah semangatnya dan mengeluarkan ilmusilat yang baru lagi. Tetapi karena lengannya terluka, setelah berhenti untuk menutup pendarahan, apabila bertempur lagi luka itu tentu akan merekah dan mengucurkan darah. Dan karena darahnya banyak keluar, tenaga-dalamnyapun terganggu.

Memang setiap kali Ih Thian-heng selalu menderita tekanan dari permainan Han Ping. Tetapi dia seorang tokoh yang berpengalaman, Dia tak gugup menghadapi ilmu serangan lawan yang selalu baru dan luar biasa. Dia tetap tenang melayaninya.

Tiba2 Han Ping lancarkan sebuah jurus yang disebut Se-lay-coh-im atau Doa-nyanyian-dari-barat. Yang diarah yalah dada lawan. Serangan itu memang aneh. Gayanya seperti orang hendak menutuk dengan jari tetapipun seperti orang yang hendak menghantam.

Ih Thian-heng cepat gunakan jurus Pit-jong-tui-gwat atau Menutup jendela-mendorong-bulan, Kedua tangannya melingkar jadi sebuah bayangan dan menutup tubuhnya.

Tetapi diluar dugaan, tiba2 tangan Han Ping berputar dan terus menyusup masuk kedalam lingkar bayangan tangan lawan, terus mengancam dada ih Thian-heng.

Melihat Han Ping luruskan tangan hendak mengancam dadanya, ih Thian heng tak keburu untuk menangkis lagi. Segera dia mengambil putusan untuk menggunakan tenaga-dalamnya yang kokoh, mementalkan balik tangan lawan.

Memang dia seorang tokoh yang tajam pandangannya dan kaya pengalaman. Segera ia mengetahui bahwa luka lengan Han Ping itu mengeluarkan banyak sekali darah dan diam2 ia memperhatikan bahwa tenaga Han Ping mulai berkurang. Sekalipun dadanya tersodok tangan Han Ping, ia rasa takkan menderita luka parah.

Demikian segera ia kerahkan tenaga-dalam. Satelah itu ia terus songsongkan dadanya kemuka untuk menyambut tangan Han Ping. Dan tepat sekali dadanya membentur tangan kanan Han Ping yang menyodok itu.

Sebenarnya Han Ping masih belum mau melukainya karena ia perlu akan bertanya lagi. Maka ketika tangan hampir menyentuh dada orang, cepat ia lambatkan gerakannya. Tetapi sedikitpun ia tak menduga bahwa Ih Thian-heng akan gunakan tenaga-dalam membalik. Begitu tangan menyentuh bahu Ih Thian-heng, Han Ping segera rasakan suatu tenaga-mental yang amat kuat sekali melandanya. Mau tak mau anakmuda itu menyurut mundur dua langkah.

Menderita kekalahan tetapi merebut kemenangan -secara gelap, maka tertawalah ih Thian-heng dengan hambar, “Ilmu pukulan saudara Ji hebat sekali. Kali ini aku mengaku kalah lagi.”

Tetapi diam2 Ih Thian -heng girang dalam hati karena tahu bahwa Han Ping saat itu sudah seperti pelita yang kehabisan minyak. Ia yakin dalam beberapa waktu lagi tentu dapat mengambil jiwanya.

Setelah berhenti sejenak untuk memulangkan tenaga, Han Ping berkata pula, “Dalam babak ini, seharusnya tiada yang menang. Karena tenaga dalammu telah menindas aku….

“Ah, karena saudara Ji bermurah hati maka baru aku dapat selamat,” kata Ih Thian heng.

Diam2 Han Ping menimang. Kalau menurut peraturan pertandingan, dialah yang memenangkan bapak pertempuran tadi.

“Kalau begitu, aku masih akan mengajukah sebuah pertanyaan lagi,” katanya.

“Silahkan.” kata Ih Thian-heng.

“Ada seorang paderi yang bernama Hui Gong taysu, apakah engkau mengenalnya?” tanya Han Ping.

“Sudah lama mendengar namanya tetapi belum pernah melihat orangnya,” “Apakah engkau tahu akan kisah hidupnya?”

Ih Thian-heng tertawa, “Dalam dunia persilatan dewasa, ini, kecuali aku, mungkin tiada lain orang lagi yang tahu hal itu….”

Kemudian ia beralih memandang mayat Kim loji, ujarnya, “Kalau dia belum mati, dia tentu tahu lebih banyak dari aku. Sayang….”

“Hai, pernah apa engkau dengan Hui Gong taysu?” sekonyong-konyong wanita cantik ibu dari si dara baju ungu melengking.

Han Ping terkesiap dan berpaling. Dilihatnya wanita cantik itu tegang sekali wajahnya bahkan gemetar dan berlinang-linang airmata. Han Ping heran dan diam2 membatin, “Aneh, mengapa dia kenal pada Hui Gong taysu….”

Belum sempat ia memberi jawaban, ih Thian-hengpun sudah menyelutuk, “Hui Gong seorang pendekar aneh. Baru tiga tahun keluar di dunia persilatan, namanya sudah termasyhur dan menggetarkan dunia persilatan. Sayang ibarat bunga, selekas mekar selekas itu pula ia menghilang tanpa bekas. Kabarnya dia telah dihukum oleh suhunya dalam penjara gereja Siau-lim-si. Dan sejak itu tak ketahuan beritanya lagi….”

Sejenak berhenti, ia melanjutkan pula, “Pada masa dia muncul didunia persilatan, tersiarlah berita tentang sebuah kisah asmara yang menggemparkan. Karena kedua fihak yang bersangkutan itu, merupakan pendekar2 yang cemerlang dalam angkasa persilatan. Hui Gong telah menyeleweng keluar dari lingkungan dinding merah gereja dan itulah yang menimbulkan kegemparan….”

Kedengaran wanita cantik berpakaian puteri keraton itu tertawa dingin, “Ketahuilah, bahwa dalam ruangan sini masih terdapat dua orang yang tahu akan sepak terjang Hui Gong taysu. Sepatah saja engkeu salah menceritakan, jangan harap engkau dapat hidup….”

Kedengaran lelaki tua baju biru mendengus dingin lalu pelahan-lahan pejamkan kedua mata.

“Hm, mengapa engkau mendengus? Taciku sudah berpuluh tahun meninggal, masakan engkau masih merasa minum cuka?” wanita cantik melengking marah.

Tanpa membuka mata lelaki baju biru itu menyahut hambar, “Tetapi engkau dan paderi tua Hui Gong itu masih belum mati.”

“Mengapa engkau tak membunuhnya? Hm, bukankah karena engkau tahu kepandaianmu tak dapat menghadapinya?” wanita cantik itu makin marah.

H an Ping menghela napas, serunya melerai, “Sudahlah harap kalian berdua jangan bertengkar Hui Gong taysu memang sudah menutup mata.”

Rupanya wanita cantik itu masih penasaran. Ia hendak mendamprat lagi tetapi si dara baju ungupun menghela napas dan berkata, “Mah, dengan memandang

mukaku, kuminta engkau jangan berbicara panjang lagi,’-ia menghampiri lalu jatuhkan diri kedada ibunya.

‘“Harap menceritakan lagi” kata Han Ping kepada Ih Thian-heng.

Ih Thian-heng tersenyum, katanya, “Lebih dulu aku hendak menjelaskan bahwa aku belum pernah bertemu dengan tim Gong taysu. Apa yang kuketahui tentang dirinya itu, hanyalah dari kabar2 diluar. Dan aku takan menambah maupun mengurangi sepatahpun juga. Maka yang akan kuceritakan itu hanya keadaan menurut kabar saja, tentang sepak terjangnya itu benar atau salah, aku….”

Dengan tegas Han Ping cepat menukas, “hui Gong taysu seorang, paderi yang luhur. Baik ilmu kepandaian dan wataknya, memang tak sembarang manusia dapat menyamainya. Kalau ada desas desus, tentulah hanya ditiupkan orang yang hendak merugikan nama baiknya….” 

Ih Thian heng tertawa, “Aku hanya akan mengatakan apa yang kudengar, harap saudara suka mendengarkan saja….”

Ia batuk? sejenak lalu melanjutkan pula, “Sebelum Hui Gong taysu muncul di dunia persilatan, dunia persilatan tiong-goan telah lebih dulu muncul seorang wanita siluman yang gerak geriknya sukar diketahui…. “

“Siluman wanita! Bukan, dia seoiang pendekar wanita!” teriak wanita cantik dengan marah.

Ih Thian-heng tertawa tawar, “Baiklah, anggap saja dia seorang pendekar wanita. Pendekar wanita itu mengenakan kerudung muka hitam, wajahnya buruk bukan main Kabarnya karena dia menderita patah hati dalam asmara, maka dia mendendam kebencian yang menyala nyala….”

“Tunggu dulu!” wanita cantik itu melengking pula.

Ih Thian-heng memberi hormat, serunya, “Nyonya hendak memberi pesan apa?’

Wanita cantik itu berkata, “Taciku seorang wanita orang yang luar biasa cantiknya. Hanya saja, dia tak suka wajahnya dilihat orang. Dengan demikian maka dia sengaja membuat dua buah kedok muka dari kulit.”

Ih Thian-heng berkata, “Mungkin demikianlah. Kalau dia benar seperti desus orang yang mengatakan dia berwajah buruk tak mungkin seorang paderi seukuran Hui Gong taysu nekad akan lolos dari lingkungan dinding gereja.”

Menjawab pula Han Ping dengan penuh keyakinan, “Hui Gong taysu mempunyai peribadi yang kuat dan tinggi. Dia terlena fitnah sehingga menderita

harus ditaruh dalam ruang tahanan gereja. Dalam kata-katamu nanti, harap jangan dibumbui dengan nada yang menyinggung peribadinya.”

Sejenak memandang kearah orangtua baju biru atau Lam-hay Ki-siu, Ih Thian-heng tertawa gelak2, katanya lebih lanjut, “Taruh kata saja dia berpambek tinggi dan luhur. Pendekar wanita berkerudung muka pada saat itu sudah menggetarkan empat penjuru dunia persilatan. Semua tokoh2 sakti dari dunia persilatan Tionggoan sudah ditundukkannya. Disepanjang daerah sungai, dari utara sampai selatan, sudah tiada lagi orang yang berani menyambut tantangannya….

Tiba2 terdengar Lam-hay Ki-siu mendengus dingin. Matanya memancarkan sinar yang berkilat-kilat2 menyeramkan lalu menukas, “Perlu kujelaskan lebih dahulu. Bahwa sebelum pendekar wanita itu bertempur dengan Hui Gong taysu, ia sudah pernah menderita kekalahan satu kali.”

Ih Thian-heng tertawa tawar, “Bukankah yang mengalahkan pendekar wanita berkerudung hitam, saudara sendiri?”

Habis bertanya ia berhenti sejenak lalu tanpa menunggu penyahutan orang, Ih Thian-heng segera melanjutkan ceritanya, “Tetapi peristiwa kekalahannya itu belum tersiar didunia persilatan. Baik tokoh2 golongan Hitam maupun Putih dari segenap penjuru dunia persilatan Tionggoan, semua tahu bahwa pendekar wanita yaug tiada lawannya itu, akhirnya harus menderita kekalahan di tangan Hui Gong taysu. Soal pendekar wanita itu sebelumnya juga pernah menderita kekalahan dari lain orang, dunia persilatan Tiong-goan tak pernah mendengarnya.”

“Katak dalam tempurung!” dengus Lam-hay Ki-siu dengan geram.

Tetapi Ih Thian-heng tak menghiraukan. Memandang kearah pedang Pemutus-asmara yang berada disamping Han Ping, ia melanjutkan pula, “Senjata dari pendekar wanita itu yalah pedang Pemutus-asmara yang dibawa saudara Ji. Tetapi sesungguhnya pedang itu bukan berasal dari dia, melainkan jauh sebelum dia muncul di dunia persilatan, sudah pernah dipakai oleh seorang nona. Entah karena menderita luka hati yang bagaimana, nona itu mengandung dendam kesumat yang besar. Tak peduli siapa saja, barang siapa pria yang melihatnya dan terus tergerak hati kepadanya, tentulah akan ditusuk uluhatinya dengan pedang pusaka itu. Dengan berlumuran kisah berdarah itulah maka pedang tersebut diberi nama pedang Pemutus-asmara….”

Ih Thian-heng berhenti untuk tertawa nyaring, lalu melanjutkan, “Tetapi bagaimanapun maut menghadang dan merintang, tetap jago silat berbondong bondong menghadap dan menyembah dibawah kakinya. Mati bukan halangan asal mereka dapat menikmati kebahagiaan bersanding dengan sijelita. Dalam beberapa tahun saja, lebih dari seratus jago2 silat yang mati dibawah ujung

pedang Pemutus-asmara. Karena tindakannya itu orang persilatanpun segera mempersembahkan sebuah gelaran kepada si jelita, yakni si Jelita-buta-hati.

Cerita tentang kisah si Jelita-buta-kasih dan pedang Pemutus-asmara menjadi kembang bibir setiap orang persilatan. Pada suatu saat, tiba2 Jelita-buta-kasih itu lenyap Dia datang bagai angin prahara yang mendampar dan menghancurkan hati orang, lalu tiba2 menghilang tanpa bekas!

Berpuluh tahun kemudian dunia persilatan kembali menerima kemunculan seorang gadis berkerudung muka yang menggunakan pedang Pemutus-asmara. Sepak terjangnya serupa dengan si Jelita-buta-kasih, bahkan ada beberapa hal yang lebih ganas. Maka dalam waktu -yang singkat saja, namanya sudah disebut-sebut oleh setiap orang persilatan. Golongan Hitam maupun Pulih menggigil apabila mendengar nama gadis berkerudung muka itu.

Pada masa nama gadis berkerudung hitam itu menjulang, Hui Gong taysupun muncul. Dia mencari jejak gadis berkerudung itu. Akhirnya mereka bertemu dan bertempur diluar kota Kim-leng. Ternyata kepandaian Hui Gong taysu lebih tinggi setingkat. Setelah bertempur mati-matian selama setengah malam, akhirnya ia berhasil merebut pedang Pemutus asmara itu dari tangan gadis lawannya. Dengan hasil pertempuran itu, dalam waktu semalam saja, nama Hui Gong taysu sudah menjadi pujaan setiap orang persilatan. Dengan sendirinya pamor Siau-lim-sipun ikut menjulang kelangit…. Tetapi pertempuran itupun

berakhir dengan kesudahan yang aneh dan tak tersangka-sangka. Hui Gong taysu lupa bahwa dirinya adalah murid gereja. Dia menang bertempur adu kesaktian, te

tapi dia menderita kekalahan yang parah. Hatinya kena terpanah asmara oleh lirikan yang tajam dari mata si jelita.

Peristiwa asmara itu telah menimbulkan kehebohan besar. Dengan dipimpin sendiri oleh ketua Siau-lim-si. Maka berangkatlah rombongan paderi Siau lim-si untuk menangkap Hui Gong taysu dan dibawa pulang ke gereja. Tetapi kabarnya jelita itu amat setya pada Hui Gong. Dia pernah tiga kali menjenguk ke gereja Siau-lim si ,…. “

Berhenti sejenak. Ih Thian-heng melanjutkan pula, “Begitulah kisah Hui gong taysu yang kuketahui. Seorang pendekar besar dalam jamannya, seorang ksatrya yang patah hati. Jika fihak Siau-lim-si tak segera bertindak untuk menangkapnya, mungkin dunia persilatan akan lain keadaannya.”

Berkata Han Ping, “’Aku menyaksikan sendiri ketika Hui Gong taysu menghembuskan napasnya yang terakhir. Menurut ucapannya, memang agaknya tak jauh bedanya dengan keteranganmu itu.”

Ketua ih Thian-heng, “Yang kuketahui hanya begitu saja dan itupun berasal dari berita2 yang kukumpul dalam perjalanan. Belum tentu sesuai.”

“Benarkah Hui Gong sudah meninggal dunia?” tiba2 wanita cantik itu menyeletuk.

“Ya, memang sudah meninggal,” kata Han Ping, “sampai lama aku menangis disamping jenazahnya, masakan aku salah lihat!”

Wanita cantik itu terlongong sejenak lalu berkata dengan pelahan, “Sudah mati? Kalau sudah mati biarlah mati. Apa yang kalian tunggu…. lekas….
tempur…. lagi!”

Han Ping dan Ih Ihian-heng tak mengacuhkan wanita cantik itu. Mereka memang menganggap harus melanjutkan pertempuran lagi.

“Silahkan Ih cianpwe memulai,” seru Han Ping. “Baik,” kata Ih Thian -heng yang sudah mempunyai rencana bagaimana kali ini ia harus menghadapi pemuda itu. Dua kali menderita kekalahan cukup suatu tamparan bagi mukanya. Ia harus mengembalikan gengsinya di mata sekian banyak tokoh. Dan diapun telah mengetahui bahwa kali ini harus gilirannya yang menang- karena pemuda itu sudah hampir habis tenaganya.

Demikian keduanya segera bertempur lagi dengan seru. Ih Thian-heng menggunakan siasat untUK bertahan diri dan memperpanjang pertempuran untuk memeras tenaga lawan yang sudah hampir habis itu. Tenang sekali ia bertempur, Terutama serangannya selalu diarahkan kesamping kiri lawan karena dilihatnya tangan kiri Han Ping sudah makin kaku.

Han Pingpun tahu akan hal itu. Maka ia segera lancarkan serangan deras agar lawan tak sempat mengembangkan permainannya.

Ih Thian-heng seorang tokoh tua yang kaya pengalaman, _ berilmu tinggi dan licik.

Han Ping seorang pemuda yang berbakat luar biasa dan mendapat rejeki yaug luar biasa pula. Tetapi yang dia terluka pada lengan kirinya dan luka itu mengucurkan banyak sekali darah sehingga mengurangkan tenaganya. Dia memang memiliki beraneka jurus ilmusilat yang luar biasa tetapi bagi ih Thian-heng si rubah tua yang kaya pengalaman itu, serangan2 anakmuda itu dapat dihadapinya dengan tenang.

Sekalian tokoh makin tersengsam menyaksikan pertempuran itu. Diam2 mereka makin mengagumi akan kelihaiyan Han ping yang walaupun sudah menderita luka berat, namun masih dapat melancarkan serangan2 maut yang membuat tokoh semacam ih Thian-heng harus berhati-hati.

Tiba2 Ih Thian heng berteriak, “Sekarang giliranmu yang harus kalah!” tangannya menyelonong kemuka untuk memukul dada Han Ping.

“Jangan terburu-buru dulu,” sahut Han Ping seraya miringkan tubuh dan secepat kilat selundupkan tinjunya untuk menghantam dada Ih Thian heng yaug tak terlindung.

Tetapi ternyata pukulan Ih Thian-heng hanya sebuah siasat untuk memancing lawan. Begitu Han Ping majukan tubuh memukul, ih Thian heng segera menyurut mundur seraya mengangkat kaki kirinya menendang perut Han Ping.

“Ah, kali ini aku benar2 kalah,” seru Han ping seraya menyurut mundur.

Tetapi tak urung ujung kaki ih Thian-heng sempat mengenai ikat pinggang Han Ping.

tampak pemuda itu berdiri dengan tegak Wajahnya sama sekali tak mengunjuk ketakutan Bahkan sekalian tokoh yang menyaksikan kesudahan itu diam2 cemas dan gelisah. Mereka tahu siapakah Ih Thian-heng itu. Dengan kemenangan itu, Ih Thian-heng pasti akan membuat Han Ping menderita. Jelas dia tentu tak mau melepaskan kesempatan itu.

Berpuluh puluh pasang mata segera mencura kearah ih thian-heng.

Tampak ih Thian heng tersenyum sinis, serunya, “Tabaslah kedua tanganmu….”

Sekalian tokoh terkejut mendengar kata2 itu. Wajah mereka berobah tegang. Tiba2 Ih Thian heng menyusuli pula kara-katanya itu, “Sebenarnya aku tak suka mengucapkan kata2 itu. Aku belum punya muka untuk mengatakan.”

Han Ping menggembor marah: Han Ping mengharapkan belas kasihanmu. Sekalipun engkau membelah kepalaku, tak nanti aku mengernyit takut!”

Ih Thian-heng tersenyum, “Saudara Ji benar tak mengecewakan sebagai musuhku bebuyutan Tetapi saat ini cukuplah aku hendak mengajuku sebuah pertanyaan kepadamu.”

“Mau tanya apa?” seru Han Ping.

“Ilmu kepandaianmu hebat dan luar biasa sekali sehingga baru pertama kali ini aku dapat melihatnya. Apakah ilmu kepandaianmu itu berasal dari Hui Gong taysu?”

Han Ping merenung sejenak, sahutnya, “Benar, walaupun beliau memang menurunkan ilmu kepandaian itu kepadaku tetapi antara aku dan beliau tak ada ikatan guru dan murid.”

“Kalau tak ada ikatan guru dan murid, bagaimana mungkin dia mau memberi pelajaran kapadamu .” Ketahuilah, bahwa menerima pelajaran secara diam2, adalah pantangan besar bagi setiap perguruan silat,” kata Ih Thian-heng.

“Dia kalah bertaruh dengan aku.” jawab Han Ping.

“Hm, itu memang suatu cara yang baik. Dengan alasan kalah bertaruh kepandaian lalu menurunkan pelajaran….” kata lh Thian-heng, “cukuplah.
Sekarang silahkan engkau turun tangan. Tetapi ada sebuah hal yang perlu kuberitahukan. Kalau engkau kalah lagi dalam babak ini, pertandingan ini tentu sudah tamat!”

“Kalau aku yang menang?” tanya Han Ping.

ih Thian-heng tertawa, “Kalau aku tak salah tafsir, memang dalam hatimu masih banyak sekali soal2 yang hendak engkau tanyakan…. .”tiba2 ia berhenti dan
tertawa panjang. Matanya berkilat-kilat memancar sinar tajam, serunya, “Tadi dalam mengikat janji pertandingan ini, engkau telah melakukan kesalahan besar yang sangat sangat merugikan dirimu sendiri.”

Han Ping merenungkan ucapan itu dan memang ia mengakui kebenarannya. Satu-satunya cara untuk menghindari kesulitan yang mungkin akan menimpah dirinya, yalah hanya membunuh Ih Thian-heng. Karena kalau ia yang kalah, tentulah Ih Thian-heng takkan memberi ampun lagi.

Perlu diketahui bahwa pertempuran antara dua tokoh setingkat kedua orang itu, untuk memenangkan sejurus saja, bukan main sukarnya. Setiap cewatkan sebuah kesempatan, berarti harus memeras keringat dan tenaga yang banyak, Apalagi setiap babak selesai lalu berhenti untuk menanyakan keterangan tentang peristiwa yang lampau, setelah itu baru bertanding lagi seperti cara yang diambil Han Ping itu, sudah jelas tentu bakal kehilangan kesempatan untuk membunuh lawan.

Setelah merenung sampai beberapa saat barulah Han Ping mengangkat muka dan berkata, “Dalam bertempur memang ada bedanya cara untuk menggunakan pukulan yang berat dengan yang ringan. Kalau rasanya aku masih mempunyai kesempatan untuk mengalahkan engkau, kemungkinan cara untuk turun tangan juga tentu bertambah keras.”

Ih Thian-heng sejenak sapukan pandang mata kesekeliling tokah2 itu. katanya, “Kita yang bertempur mati-matian, orang lain yang enak2, menyaksikan dan malah dapat tambahkan mendengarkan rahasia2 dalam dunia persilatan yang selama ini jarang diketahui orang….”

“Peristiwa itu bukan suatu rahasia yang tak boleh didengar orang. Kurasa, aku tak berbuat sesuatu yang salah,” sahut Han Ping.

Melihat sudah sekian lama bicara sehingga Han Ping mendapat kesempatan untuk menjalankan peredaran tenaga dalam menutup pendarahan pada bahunya, Ih Thian-heng tiba2 berseru keras, “Saudara Ji, awaslah!”

Wut, ia segera melontarkan sebuah pukulan Menjolok-naga-kuning kearah dada Han Ping.

Han Ping miringkan tubuh menghindar. Dua buah jari tangan kanannya segera menutuk lambung lawan. Tetapi Ih thian-hengpun tak mau menangkis, melainkan berkisar menghindari.

Pertempuran kali ini dilakukan dengan hati2 sekali oleh keduanya. Mereka tak mau menggunakan cara adu kekerasan pukulan lagi ataupun adu tenaga-dalam.

Makin lama pukulan kedua orang itu makin cepat dan makin terbenam dalam permainan yang mengasyikkan. Cepat lawan cepat, tangkas teradu tangkas. Keduanya sama mengembangkan perobahan2 jurus yang dapat mendahului menindas gerakan lawan.

Cepat sekali mereka menyerang, pun cepat juga mereka menarik pulang.

Apabila diketahui lawan mengunjuk tanda2 gerakan dapat memecahkan serangan, cepat sekali tentu sudah ditarik pulang dan dirobah jurusrnya.

Demikian dalam beberapa kejab saja, keduanya sudah bertempur sampai lima enampuluh jurus. Tiba2 Han Ping mengebor keras. Dua sosok bayangan segera saling bertumbuk. Gerak bayangan pukulan dan jari yang memenuhi udara, seketikapun lenyap.

Ternyata keduanya telah mengganti acara pertempurannya. Dari serang menyerang secara cepat, kini mereka berganti dengan adu tenaga-dalam. Dari gerakan yang tangkas, berobah menjadi pertempuran yang tenang. Masing2 menjulurkan sebuah tangan dan saling melekatkan telapak tangannya.

Tak berapa lama kemudian, tampak wajah kedua orang itu mulai bertebar warna merah dan pelahan-lahan merekapun mulai mengatupkan mata. Rupanya mereka hendak mengerahkan seluruh tenaga-dalam kearah tangannya.

Beberapa saat lagi, mereka mulai bercucuran keringat. Wajah mereka yang merah, pun mulai makin cerah.

Celakanya, luka pada bahu Han Ping itu merekah pula. Darahnya berkes-ketes ke lantai.

Pengemis-sakti Cong To yang menyaksikan ditepi gelanggang, diam2 menghela napas, pikirnya, Lukanya berdarah lagi, entah sampai berapa lama ia mampu bertahan? Sekalipun tenaga-dalamnva lebih kuat dan ih Thian-heng tetapi tak urung tentu akan menderita kekalahan. Hm, aku harus mencari akal untuk membantunya . . “

Tiba2 Ih Thian-heng mendengus pelahan. Tangannya makin menindih kuat2 dan tubuhnya juga maju selangkah lalu menekankan tangannya hendak memaksa tangan lawan menjulai kebawah.

Han Ping tertawa dingin. Segera ia mengempos semangat dan salurkan tenaga-murni. Segelobang arus tenaga-panas segera memancar dari perut dan menyalur kearah lengan kanannya, mengalir ke telapak tangan dan melanda kearah tangan lawan.

Ih Thian-heng yang tengah membanjiri lawan dengan tenaga-dalam yang tak putus-putusnya itu, tiba2 merasa telapak tangannya diterjang gelombang aliran hawa panas yang dahsyat. Ia terkejut dan menyurut mundur dua langkah.

Han Ping berhasil memberi tekanan pada lawan tetapi pada saat itu ia rasakan matanya berkunang gelap sehingga hampir saja ia rubuh.

Kesempatan itu digunakan Ih Thian heng untuk menyalurkan napas lalu mengadakan serangan balasan.

Menyambuti serangan itu, mata Han Ping terasa gelap lagi. Ia menyadari bahwa karena terlalu banyak mengeluarkan darah, tenaganyapun sudah tak dapat bertahan lama. Apabila bertempur terus, tentu ia akan kehabisan darah dan tentu lemas.

Han Ping menginsyafi keadaan dirinya yang berbahaya itu. Kecuali dalam dua tigapuluh jurus ia dapat menghantam rubuh Ih Thian heng, barulah ia dapat lolos dari bencana. Kalau tidak, jelas dia tentu aKan menderita kekalahan.

Dengan pemikiran itu segera ia mengambil Keputusan. Empat jurus serangan istimewa segera dilancarkan dengan dahsyat. Serangan itu memaksa Ih Thian-teng sibuk tak keruan.

Sekonyong-konyong terdengar bunyi berderak-derak yang keras sehingga ruangan itu mulai berputar”.

“Siapa?” tiba2 ketua Lam-hay-bun tertawa dingin seraya ulurkan tangan menekan ujung dinding.

Terdengar bunyi dinding berderak-derak berkisar. Arahnya dibelakang tempat duduk wanita cantik ibu si dara baju ungu. Dan pada lain saat dindingpun terbuka sebuah pintu.

“umitohud!” terdengar pula suara paderi berseru. Menyusul seorang paderi tua jubah kuning dengan mencekal sebatang tongkat sian ciang, melangkah masuk.

Kemunculan paderi yang tak terduga-duga itu lelah mengejutkan sekalian orang sehingga Han Ping dan Ih thian-hengpun hentikan pertempuran.

Ketika berpaling, segera nan Ping memberi hormat, “Semoga lo siansu baik2 saja selama ini,”

Paderi yang datang itu memang Hui In tay-su. kepala ruang Kwat-si-wan dari gereja Siau-lim-si. Dibelakangnya mengikut serombongan paderi Siau-lim.

Sesaat kemudian masuk pula delapan orang paderi jubah merah yang masing2 mencekal tongkat paderi. Mereka melangkah masuk dengan tenang mengawal seorang paderi jubah kuning, Paderi jubah kuning itu memondong sebatang tongkat Kumala Hijau. Ya, dia memang Goan Thong taysu, ketua Siau-lim-si yang sekarang. Dibelakang ketua itu ikut Hui Ko taysu yang menyanggul sebatang garu tembaga. Dan dibelakang Hui Ko taysu. seorang imam jubah biru, memanggul sebatang pedang di punggung.

Tiba2 Ih Thian-heng tertawa keras, “Bagus, Siau-lim dan Bu tong, dua orang ketua dari partai persilatan yang menentukan nasib dunia persilatan Tioag-goan, pun datang.”

Goan Thong taysu tertawa hambar: Omitohud! Para enghiong ternyata sudah datang lebih dulu.”

Imam jubah biru yang menyanggul pedang di punggung itu ternyata ketua partai Bu-tong-pay yang bergelar Thian Ci totiang. Ketua Bu tong-pay itu tegak dengan sebelah tangan menjulang lurus didepan dada, lalu tertawa: Sembilan partai persilatan dalam dunia persilatan, tidak ada yang tidak memikirkan peristiwa pertempuran dalam makam tua ini. Ketua tiap2 partai persilatan segera akan datang bersama rombongan masing2….”

Tiba2 ketua Lam-hay bun tertawa mengejek, “Bagus, benar2 suatu pawai besar, mengapa tak mengundang orang untuk menyaksikannya?”

Goan Thong taysu menyambut dingin, “Asal engkau mampu membuat pin ceng dan Thian Ci toheng mati dalam ruang ini, mengapa engkau kuatir mereka takkan berbondong-bondong masuk seperti anak2 menyerbu api?”

“Kalau kalian memang menghendaki mati, apakah susahnya?” sahut ketua Lam-hay-bun.

Tiba2 wajah Han Ping berseri cerah, serunya, “Ih Thian heng….”

Ih Thian heng cepat berpaling kearah Han Ping, sahutnya agak heran, “Mengapa?”

Menunjuk pada pedang Pemutus asmara yang berada disisinya, Han Ping berkata, “Perbuatan jahat apakah yang pernah dilakukan oleh kedua orang-tuaku?”

“Ayahmu?” kata Ih Thian heng, “banyak sekali membunuh orang, tangannya berlumuran darah manusia, tiga Pendekar dari Lam-gak itu, semua bukan manusia baik!”

“Kuminta engkau bicara yang jujur!” bentak Han Ping marah, “Setiap patah keteranganku ini, memang suatu kenyataan,” jawab Ih thian heng.

Han Ping menghela napas panjang, “Di dunia ini tiada ayahbunda yang jahat. Sekalipun kedua orangtuaku bukan orang baik, tetapi dendam darah itu tetap harus kutuntut. Lekas engkau ambil pedang Pemutus-asmara itu dan bunuh diri saja!”

Kata” Han Ping itu diucapkan dengan wajar dan tenang.

“Mengapa?” tanya Ih Thian-heng.

Kata Han Ping, “Aku teringat akan beberapa jurus permainan ilmu silat. Jelas jurus itu tak mungkin dapat engkau lawan. Apabila engkau ingin menjaga nama harummu sebagai seorang kesatrya, lebih baik engkau segera bunuh diri saja.”

Ih Thian -heng tertegun, serunya, “Sekalipun aku percaya apa yang engkau katakan itu, tetapi aku tetap masih mempunyai keraguan.”

“Baiklah,” seru Han Ping pula, “yang datang di makam ini makin lama makin banyak. Kita harus lekas menyelesaikan persoalan ini!”

Habis berkata Han Ping terus mengangkat tangan dan menampar.

Ih Thian-heng tersenyum, “Bagus, rupanya hari ini takkan berhenti sebelum ada yang menggeletak jadi mayat!” ia terus menangkis.

Tamparan Han Ping itu tampaknya lemah gemulai seperti tak bertenaga. Tetapi ketika berbentur dengan tangan Ih thian-heng, Ih Thian-hengpun segera rasakan uluhatinva tergetar. Tekanan tenaga yang begitu hebat, memaksa Ih Thian-heng harus menyurut mundur selangkah.

Han Ping menarik pulang tangannya lalu menampar pula. Melihat gerakan tangan Han Ping lemah gemulai seperti tadi. Ih Thian-heng tak berani menyamputi. Ia cepat menghindar ke samping.

Tetapi tiba2 Han Ping berputar tubuh dan tangannya yang bergerak pelahan tadi sekonyong-konyong merangsang, secepat kilat membayang tubuh Ih Thian-heng.

Setelah menghindar dari tamparan Han Ping tadi. Ih Thian-heng hendak balas menyerang. Tetapi tak terduga-duga dia sudah dikejar lagi oleh pukulan anakmuda itu. Sedemikian cepat sekali tangan Han Ping itu menghantam

sehingga Ih Thian-heng lak sempat menghindar, Seketika lengan kirinya kesemutan. Tulang lengannya patah, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati.

Tetapi Han Ping tak mau menyusuli pukulan, melainkan loncat mundur dan memungut pedang Pemutus asmara, serunya, “Lekas cabut senjatamu!

Tampak keringat sebesar kedele bercucuran dari kedua belah pipi Ih Thian-heng. Dia tegak berdiri diam, seolah-olah tak mendengar seruan Han Ping.

Sambil memutar pedang, Han Ping berseru pula, “Ih Thian-heng, lekas cabut senjata mu….

Ih Thian-heng tiba2 tersenyum dan berkata perlahan, “Lengan kiriku patah, dalam waktu sepeminum teh mungkin belum dapat kugerakkan.”

Han Ping agak terkesiap, serunya, “Baiklah, akan kutunggu sampai sepeminum teh lagi!”

Dalam pada itu Goan Thong taysu berpaling kearah Hui in taysu yang berada disisinya dan berbisik, “Minta kembali pedang Pemutus-asmara milik gereja kita itu!”

Setelah mengiakan, Hui In taysu segera berseru nyaring, “Ji Han Ping!”

Dalam hati memang Han Ping sudah mempunyai prasangka terhadap Hui K o dan Goan Thong, Mendengar teriakan itu serentak iapun menjawab dingin, “Ada apa?”

“Kapankah engkau hendak mengembalikan pedang Pemutus asmara dari gereja kami itu?” seru Hui Ko.

Diam2 Han Ping menimang. Menilik adanya, jelas paderi Siau-limsi itu memang bertujuan hendak mengambil kembali pedang Pemutus asmara. Apabila dihadapan sekian banyak tokoh2, ia mengakui pedang pusaka itu sebagai milik Siau lim si, tentulah pedang itu harus dikembalikan.

“Walaupun adu sendiri tak mempunyai keinginan untuk mengangkangi pedang itu, tetapi aku harus mencari orang yang berbudi luhur memberikan pedang itu. Agar orang itu dapat melakukan beberapa hal yang berguna terhadap manusia….”

Setelah menetapkan keputusan, maka Han Ping pun berkata tawar, “Maaf, aku tak mengerti apa maksud ucapan taysu. tetapi apakah hubungannya pedang pusaka ini dengan gereja taysu?”

Wajah Goan Thong berobah, serunya! “Kubawa para ketua sembilan partai persilatan dengan rombongannya ke makam tua sini, sama sekali tiada dengan maksud hendak mempersulit sahabat2 persilatan dunia Tiong goan sendiri.”

“Soal itu, aku tak ingin berbanyak tanya,” sahut Han Ping.

Melihat Han Ping tak menaruh perindahan kepadanya. Goan Thog taysu makin marah, serunya dengan bengis, “Setelah keluar ke dunia persilatan, pin-cengpun sekalian hendak membasmi beberapa orang jahat!”

Han Ping tertawa lepas, “Pedang pusaka ini? Ya, memang benar kuambil dari gereja taysu….”

“Karena berasal dari gereja kami, maka pedang itu tentulah benda milik Siau-lim-si,” teriak Hui Ko taysu.

“Tetapi aku tak mencurinya,” bantah Han Ping, “dan bukan pula mengambil. Benda itu adalah hasil dari menang bertaruh. Kalau taysu hendak meminta kembali pedang ini memang mudah saja, asal Hui Gong taysu hidup kembali….

“Tutup mulutmu!” bentak Goan Thong dengan bengis.

Han Ping menyahut dingin, “Aku bukan anak murid Siau lim-si harap taysu jangan bicara kasar!”

Goan Thong taysu melirik pada ThianCi to-tiang, serunya, “Toheng, dia begitu congkak sehingga aku tak dapat menahan kesabaran lagi.”

“Biarlah kutanya kepadanya.” kata ketua Butong pay ilu lalu menatap kearah Han Ping, “Siapakah nama sicu?”

“Ji Han Ping.”

“O, kiranya Ji tayhiap Aku Thtin ci.”

“Ah, sudah lama aku mendengar nama totiang yang harum,” kata Han Ping.

Thian Co totiang tertawa, “Ah, harap jangan memuji. Aku menerima undangan dari Goan Thong taysu, untuk menyelamatkan kelangsungan hidup sahabat dunia persilatan Tiong-goan, akan berhadapan dengan Lam-hay Ki-siu. Aku tak ingin melibat diantara sesama kaum persilatan Tiong-goan akan saling bunuh membunuh sendiri. Maka dengan ini ingin kuhaturkan sepatah kata kepada Ji tayhiap.”

“Han Ping akan mendengarkan dengan hormat,” sahut Han Ping.

“Sudah berpuluh tahun pedang Pemutus-asmara lenyap dari dunia persilatan,” kata Thian Ci totiang,” sekarang pedang itu muncul lagi didalam makam tua ini. Dan akupun beruntung menyaksikan pusaka yang termasyhur itu. Hanya saja, aku tak tahu nari manakah asal pedang itu?”

Han Ping merenung sejenak, menyahut, “Benar pedang itu berasal kari gereja Siau-lim-si, tetapi sama sekali aku tak mencurinya.”

Thian Ci totiang tertawa, “Apakah hasil dari pertaruhan?”

“Benar,” Hati Ping mengiakan. “Lalu siapakah yang mencuri pedang itu?” tanya Thian Gi pula.

“Hui Gong taysu.”

“Dimanakah dia sekarang?”

“Meninggal dunia.”

“Hui Gong taysu meninggal dalam ruang pertapaannya. Adakah keterangan Ji tayhiap itu dapat dipercaya orang?” kata ketua Bu-tong pay pula.

Han Ping tertegun, serunya, “Lalu bagaimana?”

“Aku mempunyai dua cara supaya Ji tayhiap suka memilih,” kata ketua Bu tong pay.

Han Ping terkesiap. Namun ia tak mau kalah perbawa dan serentak menyahut.

”Silahkan totiang mengatakan….”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar