Makam Asmara Jilid 03 Musuh bermusuh

Jilid 03 Musuh bermusuh

“Ping-ji, tunggulah!” teriak Kim loji, “kita sama2 pergi!” ia terus berbangkit dan mengikuti dibelakang Han Ping.

Sejenak merenung, Han Ping berkata, “Lo-cianpwe ini tak mengerti ilmusilat, lebih baik paman tinggal disini untuk melindunginya!”

Kim Ioji tersenyum, “Baik, mungkin kalau aku ikut, tentu merepotkan engkau….”

Kemudian berhenti sejenak, ia meLanjutkan berkata pula, “Kalau menghadapi bahaya, harap engkau lekas2 kembali kemari…. “

Lalu dengan kata bisik2 ia memberi pesan agar Han Ping jangan gegabah bertempur dengan orang apabila tidak perlu.

Han Ping mengiakan.

“Menurut pengamatanku,” kata Kim loji, “nona itu tentu menderita sesuatu sehingga ia terpaksa menerima menjadi menantu dari ketua Lembah-seribu racun. Tentulah bukan atas kehendaknya sendiri.”

Han Ping memang mengindahkan pamannya itu. Dia tak mau membantah dan mengatakan akan melihat bagaimana keadaan yang sesungguhnya, “Yang memangil aku tadi, tentulah seorang gadis yang tengah menderita luka.”

Kim loji menghela napas, “Ping ji, bukan aku seorang yang banyak curiga tetapi aku memang sudah melihat banyak makan asam garam dunia persilatan. Pergilah tetapi harus hati2.”

Han Ping mengangguk lalu ayunkan langkah menuju kearah suara yang memanggil namanya tadi.

Yang dilaluinya itu sebuah jalan terowongan yang lebarnya hanya beberapa depa. Suara gadis yang memanggil namanya dan taburan senjata rahasia bukan berasal dari satu arah.

Setelah berjalan tiga empat tombak, Han Ping tetapi belum menemukan suatu apa. Diam2 ia heran, pikirnya, “Aneh, apakah dia sudah terbunuh?

“Hai, siapakah yang memanggil aku tadi?” teriaknya dengan keras.

Tetapi yang menjawab hanyalah kumandang suara teriakannya. Gadis yang dipanggil itu sama sekali tak kedengaran suaranya.

“Aneh,” pikirnya.

Han Ping mendengus dingin. Ia memandang kemuka dengan seksama. Ternyata tiga tombak disebelah muka pada kedua tepi terowongan, tampak seperti dilintas oleh sebuah simpang jalan. Dia heran dan makin keras dugaannya bahwa makam itu tentu telah dimasuki orang.

Ketika tiba diujung terowangan, tiba2 dari jalan yang melintang itu muncul sesosok tubuh yang lari menyongsong.

Han Ping cepat berhenti, menghindar kesamping. Bermula ia hendak membiarkan orang itu lewat tetapi karena dibelakangnya terdapat Kim loji dan orangtua alis panjang, Han Pingpun buru2 melintang ditengah jalan lagi.

Cepat sekali orang itu tiba. Melihat ada orang menghadang ditengah jalan, tanpa berkata apa2, dia terus menghantam.

Sambil menangkis Han Ping membetaknya, “Huh, mengapa datang terus memukul?”

Ketika pukulan saling beradu, orang itu tersurut mundur dua langkah. Ketika memperhatikan, Han Ping melihat pendatang itu seorang bertubuh kecil, mengenakan pakaian pendek dan punggung menyangul sebuah bungkusan panjang.

Orang itu tertegun. Rupanya dia terkejut melihat kesaktian Han Ping, “Siapa engkau!” bentaknya marah.

Han Ping tertawa dan balas bertanya, “Dan engkau sendiri siapa “

Diam2 orang itu kerahkan tenaga dalam, siap hendak menghantam. Namun mulutnya pura2 berkata, “Kita tak kenal, mengapa engkau menghadang jalanku?”

Han Ping terkesiap. Dia tak dapat menjawab pertanyaan orang yang memang tepat.

Tiba2 terdengar pula jeritan nyaring. Jeritan kematian. Lalu menyusul terdengar suara tertawa panjang.

Pendatang yang bertubuh kecil itu rupanya gemetar mendengar jeritan itu. Dia berpaling dan menjerit, “Ular ….,.!”- ia ulurkan tangan menyambar ketanah.

“Heh, hei, ular beracun ganas, jalan kearah kematian….,” tiba2 terdengar suara
orang tertawa dingin dan tahu2 pendatang yang dihadang Han Ping itupun rubuh ketanah.

Seekor ular kecil melesat dari tubuh orang itu dan meluncur lari. Rupanya orang itu telah berhasil mencengkeram ular kecil tetapi sebelum sempat meremas, ular itu sudah menggigitnya sehingga mati.

Walaupun tempat gelap sehingga tak dapat melihat jelas warna ular kecil itu tetapi Han Ping menduga ular itu tentu ular peliharaan ketua Lembah-seribu-racun. Diam2 Han Ping terkejut akan kegesitan ular kecil itu dan racunnya yang luar biasa ganasnya.

Tiba2 ia mendapat pikiran lalu berteriak keras, “Leng lo cianpwe, apakah masih belum mulai bergerak?”

Terdengar penyahutan yang bernada dingin, “Saat ini makam telah diliputi oleh hawa pembunuhan, Karena memandang anak menantuku, kali ini kuampuni jiwamu. Tetapi kalau lain kali bertemu lagi, tentu tak kuberi ampun.”

Seketika teringatlah Han Ping akan diri Siangkwan Wan-ceng. Mengapa nona itu tak menampakkan diri? Sarentak ia berseru, “Harap Leng lo cianpwe tunggu dulu sebentar, aku masih hendak mohon keterangan.”

SAmbil berkata ia terus lari menuju ketempat yang diduga tentu terdapat ketua Lembah seribu-racun.

Tetapi tokoh dari Lembah-seribu-racun itu tak kedengaran suaranya.

“Siapa itu?” tiba2 dari jalan yang melintang terowongan terdengar suara bentakan bengis dan meuyusul deru angin pukulah yang dahsyat.

Tetapi Han Ping sudah bersiap Sambil menangkis, iapun berkisar kesamping.
dar, terdengar letupan dari kedua pukulan yang beradu.

“Tua beracun, sudah duapuluh tahun tak muncul, sekarang jauh lebih hebat pukulanmu!” seru orang itu.

JeJas dia salah sangka, mengira Han Pmg sebagai ketua Lembah-seribu-racun.

Han Ping terkejut, Dia tak tahu siapa orang itu. Tiba2 ia mendapat pikiran.
Tegak tempelkan tubuh paka dinding dan berdiam diri.

Beberapa saat kemudian terdengar pula orang itu berseru, “Ho, tua bangka beracun, sekalipun tak mau menjawab, tetapi jangan harap engkau dapat mengelabuhi aku!”

Han Ping menyadari bahwa setiap orang yang masuk kedalam makam tua itu, kenal atau tak kenal, tentu mengandung hati bermusuhan. Beberapa kali ia mendengar jeritan ngeri dari setiap orang yang rubuh binasa.

Bahkan dengan mata kepala sendiri tadi ia menyaksikan ketua Lembah-seribu racun melepas ular berbisa untuk membunuh orang.

Maka Han Pingpun berlaku hati2 dan waspada.

Karena tak mendapat penyahutan, rupanya orang itu tak sabar. Terdengar ia ayunkan langkah menghampiri.

Rupanya ia hendak memberi kesan bahwa ia berjalan pelahan maka langkah-kakinyapun terdengar berat.

Tak berapa lama, langkah kaki itupun berhenti. Sebagai gantinya sesosok tubuh melayang keluar.

Han Ping cepat hendak ayunkan pukulannya tetapi tiba2 ia teringat sesuatu. Orang itu berjalan dengan langkah berat, tentulah hendak memasang perangkap.

Bluk…. orang itu membentur dinding disebelah depan dan rubuh. Semula Han
Ping terkejut tetapi setelah melihat dengan seksama barulah ia mengetahui bahwa yang melayang dan membentur dinding itu hanya seperangkat tulang kerangka manusia.

Mayat itu dilemparkan orang dengan tenaga dalam. Apabila tadi Han Ping terus turun tangan tentulah dia masuk perangkap.

‘Hm, orang2 persilatan memang licik. Sekali tak hati tentu mati,” diam2 ia menghela napas.

Tiba2 sebatang korek melayang kesamping tengkorak itu. Apinya menyala terang.

Han Ping cepat menyurut mundur sampai dua tombak untuk menghindari sinar api.

Sesaat kemudian muncullah seorang lelaki tinggi besar. Dia melangkah pelahan-lahan ke terowongan dan berdiri ditengah simpangan. Walaupun rambut dan jenggotnya sudah putih namun sikapnya tetap perkasa.

Setelah memandang sekeliling beberapa saat, ia menengadahkan muka dan tertawa keras.

“Tua beracun,” serunya, “apa-apaan engkau main sembunyi seperti tikus begitu?

Apabila aku sudah keluar dari makam ini tentu akan kucopot papan nama Lembah-seribu-racun disarangmu!”

Sekonyong-konyong dari arah terowongan disebelah muka terdengar suara lengking jeritan dan derap kaki orang berlari.

Seorang dara baju hitam yang rambutnya terurai memanjang, lari tergopoh-gopoh.

Orang tinggi besar tiba2 lintangkan tangannya menghadang dan menyarabar dara itu.

Entah dara itu membiarkan dirinya dicekal atau memang sudah letih maka sampai begitu mudah dicengkeram oleh orang tinggi besar itu seperti burung rajawali mencengkeram anak ayam.

Dari sinar korek yang memancar terang, dapa lah Han Ping mengetahui bahwa gadis baju hitam itu tak lain yalah Ting Ling, salah seorang kedua taci-beradik puteri Lembah Setan. Tetapi mengapa Ting Ling, berada dalam makam situ dan mengapa pula tampaknya ia berlari-lari sedemikian gopoh seperti melihat setan?

Rupanya karena merasa tak dapat meloloskan diri, Ting Lingpun memejamkan mata dan diam.

Orangtua tinggi besar itu menutuk jalandarah Ting Ling lalu ditaruh ditempat yang gelap

Tetapi pada saat orang tinggi besar itu berputar tubuh tiba2 meluncur sepercik sinar dan padamlah api korek tadi.

Terowongan kembali gelap gulita.

Secepat kilat Han Ping mengempos semangat dan melangkah kembali kemulut terowongan yang ditempatinya tadi.

“Hai, siapakah itu?” kembali terdengar orangtua tinggi besar itu berseru seraya tamparkan tangan memukul Han Ping.

“Engkau cari mati!” tiba2 terdengar suara dengusan dingin dan berhamburan serangkum angin pukulan menyongsong pukulan orangtua tinggi besar. Yang jelas, bukan Han Ping yang menangkis pukulan orangtua tinggi besar itu.

Terdengar benturan keras dari dua pukulan dahsyat, kemudian deru angin menyambar-nyambar keras.

Rupanya kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran dahsyat. Dan dari deru angin yang berhamburan keras itu, dapatlah Han Ping menduga bahwa kedua orang itu tentulah jago2 silat yang berilmu tinggi.

Han Ping cepat menyelinap maju untuk mengangkat tubuh Ting Ling. Tetapi sesaat ia bingung.

Jalan terowongan dalam makam tua itu banyak sekali dan melingkar-lingkar, penuh dengan persimpangan.

Kalau tak hati2, tentu akan tersesat ketempat yang berbahaya.

Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ketempat Kim Ioji dan orangtua alis panjang tadi. Namun apabila kesana ia harus melintasi kedua orang yang sedang bertempur itu. Walaupun dngan tenaga-dalamnya Han Ping tentu takkan menderita apa2, tetapi ia kuatir dirinya tentu akan ketahuan oleh keadaan orang yang tengah bertempur itu.

Tetapi tak ada lain jalan. Setelah menimbang sejenak, ia memutuskan untuk mencoba menempuh bahaya.

Ia membuka kain sabuk Ting Ling lalu mengikat tubuh nona itu pada punggungnya.

Dengan memanggul nona itu maka ia segera berjalan merapat pada dinding.

Sejak menyelinapkan pandang mata kemuka, dilihatnya kedua orang yang sedang bertempur itu amat seru sekali.

Kekuatan dan kesaktiannya tampaknya berimbang Karena tengah mencurahkan perhatian dan semangat untuk menghadapi lawan, maka kedua orang itu tak memperhatikan Han Ping yang melintasi tempat mereka.

Bergegas-gegas Han Ping lari menuju ketempat perahu lalu meletakkan tubuh Ting Ling dan membuka jalan darahnya yang tertutuk.

“Aih…. engkau siapa?” sesaat kemudian nona itu membuka mata dan
menghela napas panjang.

“Aku Han Ping….”

“Ih….tiba2 Ting Ling .merintih dan terus susupkan kepala kedada Han Ping,”
dalam beberapa hari ini mereka telah menyiksa diriku.”

“Siapa?” tanya Han Ping.

“Nyo Bun giau dan Ih Thian heng,”

“Bilakah mereka masuk kedalam makam ini?”

“Lebih kurang empat jam yang lalu.”

“Apakah mereka pernah terkurung dalam genangan air?” tanya Han Ping pula.

Ting Ling gelengkan kepala, “Kudengar suara air mengalir yang bergemuruh keras sekali.”

“Kalau begitu, tak sedikit orang2 persilatan yang sudah masuk kedalam makam ini?” kata Han Ping pula.

“Selain memilih delapan jago sakti untuk masuk kedalam makam ini, pun Ih Thian heng telah memerintahkan jago2 silat yang berilmu tinggi untuk menjaga. Dan mereka sama membuat senjata rahasia yang beracun.

Sungguh berbahaya sekali keadaan terowongan2 dalam makam itu….

“Selain Ih Thian-heng dan anak buahnya, masih terdapat pula Nyo Bun-giau, Ca Cu-jing dan puteranya,” kata Ting Ling pula.

Tiba2 terdengar sebuah seruan keras, “Hai, tak perlu berkelahi. Budak perempuan itu sudah digondol pergi oleh si Tua Beracun. Hm, kita yang ngotot. lain orang yang memetik hasilnya.”

“Hm, siapa suruh engkau perintah orangmu menyerang?” sahut sebuah suara lain.

Suara nyaring tadi melantang pula, “Tua Beracun, orang lain takut kepadamu karena engkau beracun.

Tetapi aku tidak takut. Hayo keluarlah kalau engkau hendak mencoba rasanya kepalan tanganku!”

Han Ping bertanya kepada Kim loji, siapakah kedua orang yang tantang menantang itu.

“Kalau melihat orangnya baru tahu. Hanya mendengar nada suaranya saja, masih belum jelas,” kata Kim loji.

“Walaupun dibawah kekuasaan mereka tetapi aku masih sempat untuk memperhatikan gerak gerik mereka.” kata Ting Ling,”

menurut pengamatanku. masuknya Ih Thian-heng kedalam makam ini hanya sebagai pengaburan saja.

Dia bukan sungguh2 hendak mencari harta karun tetapi sebenarnya hendak membasmi seluruh kaum persilatan.

Nyo Bun giau dan Ca Cu-jing ,tokoh2 yang sakti itu, kini sudah didalam cengkeramannya,”

Ia berhenti sejenak menghela napas pelahan, lanjutnya pula, “Makam tua yang sunyi ini, tentu akan mengalami pertumpahan darah yang hebat.

Entah nanti akan jatuh berapa banyak kaum persilatan yang menjadi korban,”

“Dalam pertempuran ini, menang dan kalah masih belum ketahuan mengapa Ih Thian-heng begitu yakin akan menang?” kata Han Ping.

“Ih Thian heng seorang yang licik dan licin serta cermat sekali. Pada setiap pos penjagaan dalam terowongan ini, dia selalu menaruh seorang anak buahnya. Dalam Keadaan perlu. setiap kali ia dapat menggerakkan alat2 rahasia dalam makam ini dan anak buahnya. Andaikata dia menghendaki, dia dapat membuat makam itu runtuh dan menimpah orang2 persilatan yang berada didalamnya.” Berkata Han Ping dengan hambar, “Nama dan Keuntungan, benar2 penyebab dan segala Kejahatan.

Walaupun sudah tahu bahwa makam ini penuh dengan alat pekakas yang berbahaya tetapikarena terdapat harta karun serta pusaka Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas, mereka tak tetap berani menempuh masuk kemari….”

Tiba2 kata-katanya itu terputus ,oleh suara jeritan yang ngeri.

Dering senjata beradupun makin lama makin teedengar dekat. Ting Ling melihat pada terowongan yang gelap itu, tiada henti-hentinya berkiblat sinar senjata yang makin lama makin menghampiri ketempatnya.

Cepat nona itu dapat menduga bahwa kedua orang yang bertempur tadi, sudah mulai menampakkan hasil siapa yang kalah dan menang.

Yang kalah didesak mundur kebelakang.

“Celaka, kalau kita tak lekas2 tinggalkan tempat ini, kita tentu akan terlibat dengan mereka,” seru Ting Ling.

Orangtua alis panjang yang sejak tadi tak bicara, saat itu tiba2 membuka mulut, “Lihatlah, kera bulu emas sudah bangun, lekas engkau coba memberi perintah apakah bisa atau tidak?”

Memandang kemuka, memang Han Ping melihat kera bulu emas itu tengah berbangkit pelahan-lahan.

Walanpun jarak cukup jauh tampak juga betapa menyeramkan wajah kera itu Matanya melotot, giginya merentang keluar dan sikapnya beringas sekali.

“Uh, ngeri sekali kera itu,” kata Ting Ling seraya beringsut mundur.

Diantara keempat orang itu, Han Pinglah yang paling tajam pendengarannya. Diantara dering senjata beradu, ia masih dapat menangkap derap kaki orang berjalan pelahan sekali.

Begitu mendengar ucapan orangtua alis panjang jtu, cepat ia bercuit-cuit seperti yang diajarkan orangtua alis panjang itu.

Yalah cara untuk memberi perintah kepada kera bulu emas.

Kera itu tiba2 melonjak dan secepat kilat terus melesat kemuka.

“Hai, binatang keparat!” tiba2 terdengar suara orang memaki marah dan menyusul terasa suatu goncangan keras.

Kuatir kalau kera bulu emas itu terluka, Han Ping cepat loncat menghampiri.

Semula karena terowongan amat gelap, Han Ping tak dapat melihat apa yang telah terjadi.

Tetapi setelah kerahkan tenaga murni dan semangatnya, barulah ia dapat melihat jelas.

Ternyata kera bulu emas itu tengah mengayun ajunkan kedua tangannya menyerang kemuka.

Lawannya, entah siapa, tak henti-hertinya lepaskan pukulan dahsyat namun tetap tak dapat menahan serangan kera dan terpaksa harus mundur.

Karena pertempuran itu berlangsung amat seru, dan tempatnya gelap, Han Ping tak dapat melihat jelas siapa lawan dari kera itu.

Hanya samar2 ia dapat melihat potongan tubuh orang itu tinggi besar seperti orangtua berjenggot panjang tadi.

“Ih, orangtua itu hebat sekali pukulannya tetapi mengapa tetap terdesak oleh serangan kera?” diam2 Han Ping terkejut dalam hati.

Tiba2 ia dikejutkan mendengar suara pamannya Kim Ioji, “Kalau benar, lalu bagaimana. .

Tanpa merghiraukan bagaimana kesudahan bertempuran antara kera dan orang tinggi besar itu.

lalu buru2 lari kembali kebelakang.

Dilihatnya pada ujung perahu, tegak seorang lelaki dalam pakaian jubah panjang, mencekal sebatang pedang yang ujungnya menjulai ketanah. Dia bukan lain adalah Nyo Bun-giau. pemimpin marga Nyo yang sakti.

“Siapapun orangnya apabila telah kudengar suaranya, jangan harap dapat menghampiri ketempatku,” seru orang itu dengan tertawa dingin.

Secepat kilat ia menyulut korek lalu dilemparkan kemuka. Dari cahaya korek itu, dapatlah Han Ping melihat bahwa dibelakang Nyo Bun-gau itu terkapar sesosok mayat. Ingat lupa, rasanya ia pernah kenal orang itu tetapi entah dimana….

Pun karena penerangan korek itu dapatlah Nyo Bun giau melihat Ting Ling, serunya, “Hai, budak setan, kutahu engkau memang tak mungkin lolos dari sini Ternyata engkau berada disini.”

Dan alihkan pandang mata, iapun melihat Han Ping tegak berdiri dengan mata berapi-api memancarkan kemarahan.

Diam2 ia terkejut dan tercekat dalam hati. Wajahnya yang berseri seketika berobah seperti kedua menyengir.

Han Ping mencabut pedang Pemutus-asmara, berseru, “Nyo Bun-giau!”

Melihat musuh lama muncul, mau tak mau Nyo Bun-giau seperti kehilangan kegarangannya.

Tetapi cepat2 ia menenangkan hatinya dan tertawa dingin. serunya, “Hm, berani benar engkau bicara begitu tak tahu adat kepadaku!”

Han Ping loncat maju kehadapan Nyo Bun-giau tertawa mengejek, “Dimana Ih Thian-heng saat ini?”

“Nyo Bun-giau menyurut mundur, serunya, “Ih Thian-heng? Dia berada dibagian tengah makam ini.”

“Berhenti! Bawalah aku kepadanya….” kata Han Ping seraya berkisar maju
mendekati.

Nyo Bun-giau mencongkelkan pedangnya kearah sesosok mayat dan mayat itu segera melayang ketempat Han Ping. Tetapi dengan tangan kiri Han Ping menyambuti dan letakkan mayat itu ditanah.

Tiba2 terdengar Ting Ling berseru keras2, “Ji siangkong. harap lekas mundur kemari.

“Kalian tunggu disitu, jangan pergi kemana-mana,” sahut Han Ping lalu melesat maju mengejar.

“Dia hendak mencari Ih Thian-heng, hayo kita mengikutinya!” seru Kim Ioji.

“Kalau kita sungguh2 hendak mencari Ih Thian-heng jangan harap kita dapat hidup….Ting Ling membantah, “dia tak mau mendengar kata2ku, lekas panggil dia kembali kesini.”

Tetapi ternyata Han Ping sudah tak tampak Dan dari kejauhan, terdengar suara kera bulu emas itu meraung raung keras.

Rupanya dia bertemu musuh tangguh dan dihalau mundur.

Rupanya orangtua alis panjang menyadari hal itu. Serentak ia berbangkit, serunya, “Hm, rupalnya kera itu bertemu musuh sakti dan dikuatirkan akan mundur kemari.”

“Aku sudah menderita luka parah, tiada daya untuk melawan mereka lagi,” kata Ting Ling.

“Mati dan bidup sudah ada garisnya. Aku orang she Kim ini sudah banyak kali menghadapi bahaya maut didunia persilatan, tetapi sampai saat ini tetap masih hidup. Apabila memang sudah garis hidupku harus mati dimakam ini, aku pun paserah saja.

Tak peduli siapa musuh yang akan datang itu tetapi kita tak dapat berpeluk tangan mengawasi saja,” kata Kim loji dengan garang.

“Baiklah, locianpwe,” kata Ting Ling,” karena aku menderita luka nanti aku akan bersembunyi dibelakang lo cianpwe.

Dengan meminjam kegelapan tempat ini apabila memperoleh kesempatan akan kutabur musuh dengan bubuk Bi-hun-yok.

Mungkin kita dapat mengatasinya “

“Hai, benar,” seru Kim loji girang, “hampir aku lupa akan obat Bi-hun-yok yang termasyhur dari lembah Raja-setan!”

Terdengar raung dahsyat. Rupanya kera bulu emas itu telah menderita pukulan dahsyat.

Karena tahu kalau orangtua alis panjang itu tak mengerti ilmusilat maka Kim loji cepat minta kepadanya supaya masuk kedalam perahu. Dia dan nona Ting Ling yang akan menghadapi musuh.

Sejenak berdiam diri, orangtua alis panjang itu mengiakan, “Baik, kalau kalian tak mampu menghadapi, lekas kalian pancing musuh itu ke samping perahu. nanti aku yang membereskannya.”

Kim loji setuju. Ia memadamkan api korek yang masih menyala lalu mengambil golok dari belakang perahu.

Tiba2 raung kerapun sirap.

Ting Ling mengambil sebuah botol kumala lalu bersiap-siap melekatkan diri pada dinding Sambil menghampiri, Kim loji menghela napas, “Sejak aku ditipu masuk kedalam makam ini oleh Nyo Bun-giau dan sebelah lenganku ditabasnya, sampai sekarang belum pernah bertempur lagi Entah apakah aku masih dapat memainkan golok ini.”

“Jangan kuatir,” Ting Ling menghiburnya, “asal locianpwe mampu menahan musuh sampai dua jurus saja, aku tentu sudah dapat menaburnya dengan bubuk Bi-hun-yok.”

“Tempat kita ini gelap sekali tetapi malah, menguntungkan kita,” kata Ting Ling pula.

tetapi tiba2 napasnya terengah-engah sehingga tak dapat melanjutkan bicara, “Nak, bagaimana keadaanmu?” Kim Ioji kasihan juga. Walaupun ia tak mempunyai kesan baik terhadap kedua gadis puteri lembah Raja -setan. Tetapi pada saat dan tempat seperti saat itu, mereka sudah merupakan kawan seperjuangan, bahu membahu menghadapi musuh.

Ting Ling menghampiri, katanya, “Mereka telah melukai aku parah sekali. Asal banyak bicara, luka itu terasa sakit sekali….”

Kembali ia terengah-engah, “Botol ini berisi obat penawar. Asal engkau lumurkan pada hidung, tentu tak takut pada bubuk Bi-hun-yok.”

Sambil menyambuti, Kim loji menghela napas, “Dunia persilatan menyatakan kalian berdua puteri lembah Raja-setan ini ganas, tetapi apa yang kulihat saat ini, ternyata tidak benar.

“Saat ini kita menghadapi musuh dan bahaya bersama, masakan aku berani mencelakai engkau,” jawab Ting Ling.

Saat itu tampak sesosok bayangan hitam, beringsut2 mundur kearah tempat mereka. Ting Ling bersembunyi dibelakang Kim loji, serunya, “Harap lo-cianpwe bersikap yang garang.”

Kim loji menamburkan obat pada hidungnya lalu tegak berdiri lintangkan golok. Sosokc hitam itupun cepat mundur kesamping mereka. Ternyata memang kera bulu emas. Binatang itu sudah kepayahan, kedua tangannya ditutupkan ke dada.

Dan yang mendesaknya mundur, seorang tua jenggot panjang dan bertubuh tinggi besar. Rupanya dia juga payah.

“Berhenti!” bentak Kim loji seraya tabaskan golok.

Orang tua tinggi besar itu terkejut. Tetapi ia masih sempat tamparkan tangan kiri untuk menahan golok Kim loji.

Baru ia hendak membuka mulut, dari belakang Kim loji tiba2 menjulur sebuah tangan putih.

Orang tua tinggi besar itu tertegun dan saat itu Ting Lingpun lepaskan bubuk Bi-hun-yok.

Bluk, rubuhlah orangtua tinggi besar itu. Dan Kim lojipun terus ayunkan golok hendak menabasnya.

“Jangan, lo cianpwe, jangan melukainya,” cegah Ting Ling. Lalu menyiak tangan Kim loji sekuat-kuatnya.

Huak, walaupun dapat menyiak tangan Kim loji, tetapi luka dalam tubuhnya menumpahkan darah.

Habis muntah darah, nona itupun duduk ditanah. Sambil mendekap dada, nona itu masih paksakan diri berseru, “Jangan melukainya.”

“Nak, lekas salurkan pernapasanmu, jangan bicara dulu, “Kim loji maju menghampiri.

“Hai, rupanya berat juga lukamu. Biar kuperiksanya,” tiba2 orangtua alis panjang keluar dari perahu dan tanpa menunggu lagi, ia terus mencekal tangan sinoua dan memeriksa denyutan pergelangan tangannya.

Suasanapun hening Kera bulu emas itupun amat letih dan rebah ditanah.

Beberapa saat kemudian kedengaran orangtua alis panjang itu berkata, “Nak, lukamu berat sekali. Sayang obat yang kubawa ini mengandung racun keras. Apakah engkau suka minum?”

Kata Ting Ling, “Aku masih ingin hidup untuk beberapa hari lagi. Segala derita kesakitan aku tak takut.”

Orangtua alis panjang tertawa, “Bagus, berapa lamakah engkau ingin hidup….

Kim loji cepat memberi peringatan agar orangtua alis panjang itu jangan tertawa keras2, agar jangan diketahui musuh.

“Aku ingin hidup 10 hari lagi….,” jawab Ting Ling.

“Hai, itu mudah sekali,” sahut orangtua alis panjang seraya mengeluarkan beberapa butir pil, “simpan dan makanlah sendiri. Kalau engkau dapat menghabiskannya, kita akan tambah anggauta seorang lagi.”

“Hai, apakah engkau hendak menciptakan seorang manusia beracun lagi?” tegur Kim loji.

“Kalau sejak dulu aku sudah keluar kedunia persilatan, tentu sudah banyak manusia2 beracunnya,” kata orangtua alis panjang.

“Ho, engkau hendak mendirikan partai Manusia Beracun?” seru Kim loji pula.

“Sayang, waktunya sudah tak mengijinkan, sudah terlambat,” sahut orang tua itu.

Sambil menjemput sebutir pil, Ting Ling bertanya kepada Kim Loji apakah pil itu benar2 dapat menyembuhkan?”

“Memang dapat menyembuhkan, tetapi obat seperti candu. Sekali minum, racun tentu akan masuk kedalam tubuh kita,”

menerangkan Kim loji.

Tetapi rupanya nona itu tak menghiraukan. Obat apapun yang penting dapat menyembuhkan dan menambah hidupnya sampai beberapa waktu. Dan Kim lojipun menyadari bahwa luka nona Ting itu sudah sedemikian rupa.

Ia tak mau mencegahnya lagi.

Kim Loji berbangkit lalu membopong orangtua alis panjang dibawa ketempat Ting Ling.

Tiba2 orang yang pingsan tadi tersadar bangun. Ia kuatir dan cepat2 melekatkan pedang keleher orang itu.

Setelah memberi obat, orangtua alis panjang itu menunggu dengan sabar akan perobahan luka si nona.

Sepeminum teh lamanya nona itu tersadar dan tertawa kepada orangtua alis panjang, “Ih, obatmu manjur sekali, sekarang aku merasa sudah banyak sembuh.”

“Kalau benar begitu, kurasa dalam dunia dewasa ini dapatlah aku menganggap diriku sebagai Dewa Racun…. .”

orangtua alis panjang itu menghela napas dan berkata kepada Kim loji”, kurasa dalam dunia iui masih terdapat seorang yang mampu menandingi kepandaianku.”

“Siapa?” tanya Kim loji.

Orangtua alis panjang gelengkan kepala, “Entahlah. Rasanya dia seorang wanita….”

“Kalau dia seorang perempuan, jelas tentulah budak perempuan dari perguruan Lam-hay-bun itu….,” Ting Ling menyelutuk.

Tiba2 dari kejauhan terdengar suara orang tertawa, “Ih, dibelakang orang berani mengatakan kejelekannya, apakah tak kuatir dipotong lidahnya?”

Nadanya jelas dari seorang wanita. “Siapa?” Ting Ling terperanjat dan cepat memandang kemuka dan pasang telinga.

Tetapi tak terdengar suatu penyahutan apa, Rupanya orang itu sudah pergi.

“Huh, makam ini benar2 seperti gedung setan…. ,” kata orangtua alis panjang.

“Ya, memang makam ini dibangun dengan rencana yang hebat, penuh dengan jalan lorong dan kamar2 yang serba pelik!’“ kata Kim loji.

“Apakah engkau tak melukainya?” tanya Ting Ling kemudian kepada orangtua alis panjang.

“Tidak,” sahutnya, “tetapi apa keperluanmu menahannya disini?”

“Dia berkepandaian tinggi, sayang kalau dibunuh….” jawab Ting Ling.

“Ho, kalau begitu tunggu saja setelah dapat bangun, kita yang akan dibunuhnya,” seru Kim loji.

”Harap lo cianpwe jangan salah mengerti. Bukan kita suruh dia membunuh kita tetapi kita dapat menggunakan tenaganya untuk melindungi kita,” Ting Ling memberi penjelasan.

“Ah, nungkin tak semudah itu,” gerutu Kim loji.

“Tetapi aku mempunyai siasat yang bagus supaya dia mau taat kepada kita,” kata Ting Ling seraya berbangkit dan menghampiri ketempat orangtua jenggot panjang dan lalu berjongkok disampingnya.

Kim lojipun menarik kembali pedangnya dan suruh Ting Ling segera memberi orang itu obat supaya dia dapat ditundukkan. Setelah itu baru diberi obat penawar. Kalau tunggu sampai orang itu terjaga, tentu sukar dan berbahaya.

“Harap lo cianpwe jangan kuatir,” kata Ting Ling lalu tiba2 menutuk kedua bahu dan kedua lutut orang itu. Setelah itu baru ia mengeluarkan obat penawar, dilumurkan kehidung orang itu.

Terdengar orang itu menguak lalu membuka mata dan memandang Ting Ling, Kim Loji. Serentak iapun menggeliat duduk. Tetapi karena kaki dan tangannya sudah tertutuk maka kecuali tubuh, ia tak dapat bergerak lagi. Bahkan ketika ia mengangkat tangan kanannya, serentak terus melentuk lunglai lagi.

“Kalau engkau hendak mencoba menyalurkan tenaga dalam untuk membuka jalan -darahmu yang tertutuk, berarti engkau mencari sakit sendiri,” kata Ting Ling memberi peringatan.

Orang tua jenggot panjang itu diam saja. Walaupun dalam pertempuran maut, ia tetap bersikap tenang.

Ting Ling menyambar golok dan berseru dingin, “Sekarang engkau boleh pilih satu diantara dua jalan.”

Dengus orangtua jenggot panjang itu, “Beruang yang jatuh kedalam air tentu akan dibuat permainan, macan yang tiba disungai datar tentu akan dihina kawanan anjing….

Cret! Ting Ling ayunkan pedang dan jenggot orangtua yang menjulai kedada itupun kutung dan berhamburan ke tanah….

“Tak peduli dengan kata2 apa engkau hendak memaki aku tetapi yang jelas saat ini engkau sudah berada dalam kekuasaanku. Sekali tangan kuayun, kepandaianmu setiap saat dapat menggelinding!” seru Ting Ling.

Orangtua jenggot panjang itu tertegun, “Kedua jalan yang engkau suruh aku pilih itu, coba katakan dulu baru aku dapat menjawab.”

“Sederhana sekali,” kata Ting Ling, “pertama, engkau meluluskan untuk menerima setiap perintahku, tak boleh menghianati. Sampai nanti keluar dari makam ini baru kubuka lagi jalandarahmu. Dan kubebaskan engkau. Jalan kedua, engkau menolak permintaauku dan kutabas kepalamu.”

“Ho, engkau anggap aku ini orang apa? Apakan aku sudi tunduk pada perintahmu!” orang tua itu marah, Ting Ling tertawa mengejek, “Kalau begitu,

engkau memilih jalam kematian!” Nona itu perlahan2 mengangkat golok,” sebagai hukuman di-muka, sekarang hendak kutabas sebelah kakimu kanan.” Habis berkata ia terus ayunkan golok.

“Tunggu!” seru orangtua itu gopoh.

Ting Lingpun hentikan golok dan tertawa, “Apakah engkau masih ingin hidup? Hm, dapat keras bisa lunak, barulah seorang gagah sejati. Apalagi setelah keluar dari makam ini engkau tentu masih dapat menebus hinaan yang engkau derita saat ini. Kalau sekarang kutabas kepalamu, selama-lamanya engkau tentu tak dapat membalas dendam.

“Kelak apabila dapat keluar dari makam ini tentu akan kujadikan engkau budakku, baru aku puas.” kata orangtua jengot panjang itu.

“Hm, kalau begitu berani sikarang engkai dapat menyetujui, bukan?”

Orangtua jenggot panjang itu mengangguk “Ya, anggaplah saja aku sudati menerima syarat mu!

Tiba2 Kim Loji berseru memberi peringatan “Nak, didunia persilatan sukar untuk menanam kepercayaan pada orang. Bagaimana begitu engkau lepaskan dia terus ingkar janji?”

“Seorang lelaki berani berkata tentu aka pegang janji. Kurasa setelah setuju, lo cianpwe itu tentu takkan menyesai dan ingkar,” kata Ting Ling.

“Engkau percaya tetapi aku tidak….”gumam Kim Loji.

Ting Ling tak mau berbantah. Ia menampar jalandarah orangtua yang tertutuk lalu mengurutnya, Melihat itu Kim Loji benar2 gelisah. Cepat ia menyambar golok yang berada pada Ting Ling lalu ditujukan pada orangtua jenggot panjang itu dalam sikap setiap saat akan dibacokkan.

Ting Ling mengeluarkan sebutir pil dan menghela napas, ujarnya., “Lo cianpwe, walaupun aku percaya kepadamu tetapi sukar untuk mendapat kepercayaan dari pamanku ini, harap maklumlah.”

Sambil memandang kearah golok Kim Loji, orangtua jenggot panjang itu berkata pelahan, “Engkau menghendaki bagaimana agar engkau percaya?”

“Asal engkau mau menelan pil ini, tentu sudah cukup mendapat kepercayaan kami.”

Sambil masih memandang pada golok ditangan Kim Loji, orangtua jenggot panjang itu menggumam seorang diri, “Aku seorang ksatrya besar, mana harus mati secara tak wajar begini….?”

“Ilmu kesaktian lo-cianpwe memang layak sejajar dengan tokoh persilatan kelas satu.

Kalau binasa secara begini tak diketahui, mamang harus disayangkan sekali,” kata Ting Ling.

Berpaling kepada nona itu, orangtua jenggot panjang bertanya, “Obat apakah pil itu?

Katakan dulu baru aku nanti mempertimbangkan mau minum atau tidak.”

Ting ling tertawa, “Pil ini disebut Pekpoh-toan-jong-san seratus langkah menghancurkan usus.

Terbuat dari ramuan lima macam racun. Setelah minum, apabila berjalan seratus langkah, racun tentu akan bekerja dan usus dalam tubuh akan putus semua….”

Ia mengacungkan pil lalu tertawa, “Benar, memang aku membawa obat penawarnya, Setelah minum obat racun engkau harus cepat minum obat penawarnya. Dalam waktu satu jam, racun itu takkan bekerja “

Rupanya orangtua jenggot panjang itu amat sayang pada jiwanya, ia bertanya, “Hanya satu jam saja?”

”Akan kuberimu sebutir pil lagi….” cepat Ting Ling menyusulketerangan.

“Dengan begitu aku harus terus menerus minum obat penawar. Tetapi bukankah pil penawar itu. bakal habis juga?”

“Jangan kuatir,”setelah makan dua belas biji pil penawar, racun itu akan lenyap semua,” kata Ting Ling, seraya mengeluarkan botol kumala menuangkan duabelas butir pil warna putih Sedang sisanya dihancurkan dan dibuang ketanah.

“Sekarang aku hanya tinggal mempunyai dua belas butir pil saja. Asal sebutir pil penawar ini kuhancurkan, jangan harap enkau dapat hidup “….|

Orangtua jenggot panjang itu kerutkan dahi!

“Apakah maksudmu melakukan tindakan semacam itu kepada diriku?”

“Sederhana sekali, sahut Ting Ling, “asal engkau mengandung maksud hendak menghianati, tentu segera kuhancurkan sebutir pil penawar itu. Mungkin engkau akan membunuh aku tetapi engkau sendiripun jangan harap dapat hidup. Dengan begitu kita akan sama2 mati.”

“Hm, cara yang bagus juga,” kata orangtua jenggot panjang.

“Saat ini engkau sudah berada dalam keadaan mati. Hanya itulah satu-satunya jalan hidup.

Kini meluluskan atau tidak, tergantung padamu sendiri,”

Orangtua jenggot panjang menghela napas, “Dengan jiwa mempertaruhkan kepercayaanmu, bukankah aku yang menderita kerugian “

Ting Ling tertawa, “SIlahkan engkau mencari daya untuk membatasi jiwanya supaya dapat hidup duabelas jam saja.

Nanti pada aku menyerahkan pil penawar yang terakhir, engkau harus membebaskan ancaman mau yang engkau lakukan pada diriku.”

Mengerling kearah Kim Loji, orangtua jenggot panjang itu bertanya, “Apakah dia juga masuk hitungan?”

Ting Ling kerutkan alis, “Ini, ini….”

“Ho, tak sangka kalau engkau juga menginginkan jiwaku sioraog she Kim ,” seru Kim Loji.

“Benar, kalau satu tukar satu, memang aku merasa rugi sekali,” sahut orangtua jenggot panjang.

“Baiklah, sekarang coba engkau katakan bagaimana caramu hendak membatasi jiwa kami berdua hanya dapat hidup duabelas jam itu!” seru Kim Loji.

“Akan kututuk tubuh kalian dengan ilmu tutukan perguruanku yang istimewa,” kata orangtua jenggot panjang,”

dalam duabelas jam apabila tak kutolong, pekakas dalam tubuhmu tentu akan hancur berantakan.

Kim Loji memandang Ting Ling, serunya, “Nak, jangan menerimanya.” “Menurut hematku, tak ada harapan lagi kita dapat keluar dari makam ini.

Maka kalau kita menerima berarti mungkin kita dapat memberi bantuan kepadanya.”

“Apakah yang engkau maksudkan kepadanya itu anak Han Ping?” Kim Loji menegas.

“Benar, benar,” sahut Ting Ling, “siapa lagi kalau bukan dia?”

“Oh, bagus,” Kim Loji tertawa, “asal dapat memberi bantuan kepada auak, itu matipun kita rela!”

Ting Ling lalu menjemput pil beracun dengan kedua jari tangannya, “Lo cianpwe, perjanjian sudah kita setujui, sekarang silahkau engkau minum pil ini!”

Ternyata orangtua jenggot panjang itu tak banyak omong lagi terus membuka mulut menerima pil yang disusupkan jari si nona.

Setelah itu Ting Ling lalu menutuk buka jalandarah orang tua jenggot panjang yang tertutuk tadi.

Tiba2 orangtua jenggot panjang itu melonjak bangun terus mencekal siku lengan kanan Ting Ling.

Tetapi Ting Ling cepat gerakkan tangan kiri menyerahkan sebutir pil kepada Kim Loji, “Paman, peganglah baik2.

Kalau dia membunuh aku, cepat hancurkan pil itu.”

Kim Loji terpisah jauh dari tempat orangtua jenggot panjang itu. Tak mungkin diraihnya.

Maka orangtua jenggot panjang itupun tak dapat berbuat apa2 kecuali banting2 kakinya ketanah.

Secepat pula Ting Lingpun mengangkat tangan kirinya lagi dan berseru, “Sudah, jangan coba mempunyai pikiran untuk menghianati janji, lekas engkau telah pil penawar ini. Apabila terlambat, racun dalam tubuhmu tentu akan bekerja “

Orangtua jenggot panjang itu terpaksa menyambuti lalu berseru dingin, “Lekas engkau putar tubuh aku segera akan menutuk kelima uratnadimu.”

Sambil berputar tubuh. Ting Ling tertawa, “Aku masih menyimpan sepuluh butir pil dan pamanku itu sebutir.

Apabila engkau tak dapat membunuh kami dengan serempak, jangan harap engkaupun jangan harap hidup, “

“Hm, jangankan kalian berdua sekalipun sepuluh orangpun tetap tak sembabat ditukar dengan jiwaku,”

dengus orangtua jengot panjang itu, seraya mulai menutuk jalandarah tubuh nona itu. Setiap kali menerima tutukan, Ting Ling tentu merasa tubuhnya gemetar. Dan setelah ditutuk beberapa tempat, ia rasakan dirinya sakit sekali hampir tak kuat ia menderitanya.

Setelah selesai, orangtua jenggot panjang itu lalu menghampiri Kim Loji.

‘Hai, setelah tubuhku merjadi mati separo begini, bagaimana aku masih dapat bergerak?” tanya Ting l ing.

“Sebentar lagi, rasa sakit itu tentu akan hilang dan dalam duabelas jam kemudian, engkaupun sudah dapat bergerak dengan leluasa lagi,” sahut orangtua jengot panjang.

Kim Loji segera berputar diri, siap roenerima tutukan siorangtua jenggot panjang. Tetapi rupanya orangtua itu masih meragu.

Tiba2 ia melangkah dua tindak dan menyambar tangan orangtua alis panjang.

“Lepaskan!” cepat Ting Ling berteriak, “dalan perjanjian dia tak termasuk. Apabila engkau berani mengganggunya, pil penawar tentu akan ku hancurkan semua, agar engkau jangan hidup!”

Walaupun sudah tua tetapi rupanya orangtu jenggot panjang itu masih amat sayang kepada jiwanya.

Mendengar peringatan Ting Ling, iapun hentikan gerakannya.

Orangtua alis panjang saat itu tengah mengobati kera bulu emas yang terluka.

Sama sekali ia tak menyadari akan ancaman orangtua jenggot panjang tadi.

Sambil menyalurkan tenaga dalam, Ting Ling pun menelan lagi dua butir pil racun.

Dan ternyata semangatnyapun bertambah baik sekali. Katanya sesaat kemudian, “Kalau terus menerus berada disini kurang baik. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan lagi.”

Nona itu meminta orangtua jenggot panjang untuk menunjukkan jalan.
walaupuu nona itu paling muda usianya tetapi dia memang cerdas sekali.
Selama dalam pembicaaan makin menonjollah sifat2 kepemimpinannya.

Demikian mereka segera berjalan lagi. Kurang lebih sepuluh tombak, mereka belum bertemu dengan simpang jalan.

Sedang orangtua jenggot panjang itu makin lama makin pesat jalannya. “Berhenti!” tiba2 Ting Ling membentak.” jangan lanjutkan perjalanan lagi.” Orangtua jenggot panjang berpaling, tertawa dingin, “Mengapa?”

“Terowongan ini merupakan jalan saluran air, melintasi terowongan ini tentu kita akan berada diluar makam.”

Orangtua jenggot panjang itu tertawa keras.

“Hm, karena mendongkol menerima perintahmu, maka aku berjalan asal berjalan saja, tak peduli melintasi jalanan air atau kering!” sahutnya.

Ting Lingpun balas mendengus, “Hm, apapun yang akan terjadi, tetapi aku sudah berbulat tekad untuk mati disini….”

“O, rupanya engkau mempunyai kesadaran yang tinggi,” seru orangtua jenggot panjang itu.

“Dalam duabelas jam, sebaiknya janganlah engkau mempunyai hati yang jahat.

Setelah dua belas jam dan makan obat penawar, barulah boleh engkau mengandung pikiran jahat lagi.”

Ting Ling memberi peringatan.

Orangtua jenggot panjang membuka mulut tetapi tak jadi bicara.

Ting Ling suruh dia mengetuk dinding karang untuk mencari tahu apakah disebelah dinding itu terdapat ruangannya.

Dan orangtua jenggot panjang itupun menurut Tung…. terdengar bunyi
mendengung, ketika tangannya memukul dinding.

“Ditilik dari kumandang suaranya, disebelah dinding ini tentu terdapat terowongan atau ruang kosong.

Usahakanlah supaya dapat membobol dinding itu!” kata Ting Ling pula.

Orangtua jenggot panjang kali ini marah, “Dinding karang begini keras, bagaimana dapat kubobolkan dengan pukulan tangan kosong?”

“Hm, itu urusanmu,”Ting Ling mendengus pula.

Aku hanya hidup sampai duabelas jam saja. Lebih lekas mati dari duabelas jam, bukan apa2 bagiku.”

Tiba2 orangtua jenggot panjang itu mundur dua langkah dan mengeluarKan sebuah palu besi.

Serunya dengan nada dingin, “Hm, untung engkau bertemu dengan seorang tua yang teliti seperti aku.

Kalau tidak, jangan harap engkau mampu mendapatkan lubang pada dinding karang ini.”

Sebenarnya Ting Ling tak tahu kalau orangtua jenggot panjang itu membekal senjata.

Tetapi karena melihat orangtua itu memiliki tenaga pukulan yang hebat, maka ia menekannya supaya mengeluarkan senjatanya.

Tertawalah nona itu kegirangan, “Bagus, lo cianpwe benar2 orang yang cerdas sekali!

Sebelumnya sudah mempersiapkan alat2 yang penting!”

Bum…. orangtua jenggot panjang itupun mulai menghantam. Segumpal
karangpun berhamburan ketanah.

“Ya, sebagai ganti untuk menumpahkan kemengkalan hatiku karena engkau berani memberi perintah kepadaku,”

gumam orangtua jenggot panjang.

Sepandai-pandai tupai metompat, sesekali akan terpeleset juga. Soal itu memang lumrah terjadi, harap jangan dipikirkan,” kata Ting Ling, menghiburnya.

Rupanya gembira juga orangtua itu mendengar kata2 Ting Ling, Tak henti2nya ia menghantam menghantam dinding terowongan itu.

Tak berapa lama, terbukalah sebuah lubang seluas setengah meter. Secercah sinar terang, berhamburan memancar dari ruang sebelah.

Ting Ling cepat menghampiri dan melongok. “Ih, bangunan makam ini memang istimewa sekali,” tiba2 ia hentikan kata2nya, terus menyusup kedalam lubang.

Melihat itu Kim Loji terus cepat2 menyusul tetapi baru tiba di mulut lubang, pingangnya sudah dicengkeram orangtua jenggot panjang, “Hm, kalau sayang jiwamu, lekas berikan obat penawar itu kepadaku!” serunya pelahan.

Kim Loji batuk2, sahutnya, “Asal aku menjerit, nona itu tentu segera meremas haucur persediaan pil penawar yang ada padanya.

Engkau memang sakti tetapi tak mungkin engkau dapat merampas persediaan pil penawar itu dalam waktu sekejab mata.”

Orangtua jenggot panjang mendengus dan lepaskan cengkeramannya.

Kim lojipun menyisih kesamping dan mempersilahkan orangtua itu masuk dulu.

Dengan geram ia memandang Kim Loji, hantamkan palunya sekali lagi pada dinding, kemudian baru menyusup masuk.

Kiranya karena tubuhnya yang tinggi besar, ia perlu harus membesarkan lubang itu baru dapat masuk.

Kim loji dan orangtua alis panjang serta kera bulu emaspun segera menyusul mereka.

Ternyata ruang disebelah merupakan sebuah kamar rahasia yang amat luas.
Cukup dibangun menjadi lima buah kamar.

Empat keliling dindingnva, terdapat empat buah mutiara sebesar buah klengkeng yang memancarkan sinar kemilau.

Pada puncak ruangan, digantung sebuah lampu lentera kaca. Lampu kaca itu tetap menyala sehingga keempat mutiara itupun memantulkan sinarnya yang terang.

Ting Ling berdiri disebuah dinding, sedang mengamat-amati sebuah lukisan yang terdapat pada dinding itu.

Sedang otangtua jenggot panjang berdiri satu meter dibelakangnya.

Kim Loji terkejut dan gelisah, “Uh. nona itu memang kurang pengalaman. Dalam keadaan yang diselubungi bahaya maut, ia masih menipunyai selera untuk melihat gambar.”

Lukisan pada dinding itu merupakan sebuah taman makam yang penuh dengan guratan2 malang melintang.

Lukisan itu mirip dengan peta dari makam disitu.

Tiba2 nona itu mengguman seorang diri, “Aneh sungguh aneh…. .”

Rupanya orangtua jenggot panjang tertarik. Ia segera maju menghampiri. Tetapi Kim Loji yang makin ketakutan segera berteriak, “Nona Ting!”

Ting Ling berpaling dan menghampiri Kim Loji, katanya, “Ruang ini terlalu mewah untuk disebuah makam .

“Kalau Ko tok lojin pendiri makam ini dapat menyembunyikan mustika Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas serta harta karun kedalam makam ini, sudah tentu dia mampu juga menghias ruangan ini sedemikian mewahnya.”

“Apakah minyak dalam lampu kaca itu juga dapat bertahan sampai ratusan tahun?” kata Ting Ling seraya memandang kearah lampu itu.

Kim Loji terbeliak tak dapat menjawab.

“Tetapi lentera kaca dan semva hiasan mewah dalam ruang ini masih belum lavak dikata aneh. Yang aneh yalah keadaau ruang ini, Mengapa begini bersih sekali sep^rtiiiya tiap kali ada orang yang membersihkannya?”

Kembali Kim Loji terbelalak. Ia segera mengeluarkan pandang kesegenap ujung ruang itu.

Ah, memang benar. Dari meja yang terbuat dari batu pualam, piring dan cawan emas sampai pada alat2 makain yang terbuat daripada perak, memang tampak amat bersih semua.

“Ah,” tiba2 Ting Ling menghela napas,” mungkin makam tua ini hanya suatu tempat persembunyian untuk mengangkuti harta karun dan pusaka yaag tak ternilai harganya?”

Kim Loji dan orangtua jenggot panjang terkesiap mendengar ucapan nona itu. Serempak mereka berseru, “Mengapa?”

Sambil memberesi rambutnya yang kusut, nona itu lalu pelahan-lahan duduk disamping sebuah dingklik dan memandang kepada kedua orang itu, katanya tertawa, “Rasanya kalian berdua ini bukan muda lagi….”

“Tahun ini umurku sudah delapan puluh dua,” kata orangtua jenggot panjang.

“Aku limapuluhan tahun,” kata Kim Loji.

“Sudahlah, percuma saja kalian mempunyai umur begitu banyak.” Ting Ling tertawa rawan, “andai aku dilahirkan lebih pagi tigapuluh tahun, tak mungkin kubiarkan rahasia makam itu tersiar kedunia persilatan.

“Hm, hampir setengah hari mengomong, aku tak mengerti maksudmu,” dengus orangtua jenggot panjang.

Ting Ling tertawa mengikik, “Kalau begitu mendengar engkau terus mengerti, tentu tak mungkin engkau dapat kurubuhkan dengan obat bius.”

“Engkau menertawakan apa?” orangtua jenggot panjang marah,” karena telah menggunakan banyak tenaga untuk bertempur sehingga mata dan telingaku kabur maka baru aku dapat engkau rubuhkan.

Merubuhkan orang yang sudah menderita, mengapa engkau masih menepuk dada berbangga diri?”

“Aku menertawakan kalian beberapa orangtua yang tak berguna. Pikiran limbung, hati kosong sehingga mudah termakan desas desus beracun didunia persilatan….”

“Setan, engkau berani mengatakan aku goblok,” teriak orangtua jenggot panjang dengan marah.

“Tetapi Ting Ling tetap tertawa hambar, “Kalau aku dapat menerangkan kegoblokanmu, maukah engkau menampar mukamu sendiri dihadapanku?”

“Kalau memang engkau dapat menunjukkan bukti2 yang tak dapat kubantah, mengapa aku tak mau melakukan hal itu?”

“Engkau sudah berumur delapanpuluh dua tahun tetapi pernahkah engkau bertemu dangan Ko Tok lojin pendiri makam ini?”

tanya Ting Ling.

“Setiap orang persilatan tentu tahu hal itu, perlu apa aku harus melihatnya sendiri!”’

‘Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas, sepasang mustika dalam dunia persilatan yang jarang terdapat didunia.

Tetapi siapakah yang pernah melihat kedua benda itu? Rasanya mereka2 itu hanya mendengar cerita dari mulut ke mulut saja.”

Orangtua jenggot panjang tercengang, ujarnya, “Walaupun tak pernah melihat sendiri, tetapi aku pernah mendengar sendiri tentang kedua mustika itu.”

“Ho, itulah,” seru Ting Ling, “seorang yang cerdik luar biasa, telah menggubah dongeng tentang kedua benda mustika Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas itu lalu diceritakan kepada orang. Dan dalam waktu yang singkat dunia persilatan telah dilanda cerita itu, Dengan menggunakan pengaruh cerita tentang kedua mustika itu, dia lalu menbangun makam ini.”

Orangtua jenggot panjang tertegun. Tiba2 ia mengayunkan tangan kanan dan plak, menampar mukanya sendiri.

“Tak peduli apakah uraianmu itu benar atau tidak, tetapi apa yang engkau katakan itu memang baru pertama kali ini aku mendengar,” serunya.

Ting Ling tertawa hambar, “Akupun mendengar juga tentang cerita Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas itu Dua buah mustika yang hebat sekali daya gunanya. Katanya, Tenggoret Kumala itu luar biasa racunnya, tiada yang dapat menandingi. Sedangkan Kupu2 Emas itu merupakan benda mustika yang mampu menghidupkan orang mati.

Dirangkainya cerita itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan bahwa dengan mendapatkan Tenggoret Kumala, orang tentu dapat menguasai dunia persilatan Apabila mendapatkan Kupu2 Emas tentu dapat menundukkan

Tenggoret Kumala Apabila dipikir dengan teliti, cerita itu sebenarnya lemah dan terlalu berlebih-lebihan.

Coba siapa yang dapat menjawab pertanyaanku ini. Dikatakan mustika Tenggoret Kumala itu luar biasa racunnya, tetapi siapakah diantara orang persilatan yang pernah mendengar seorang jago persilatan yang terbunuh dengan Tenggoret Kumala itu. Lalu dikatakan pula bahwa Kupu2 Emas mustika mujijad untuk menawarkan racun.

Tetapi siapakah yang pernah ditolong jiwanya?”

“Hal itu aku hanya mendengar dari cerita orang saja,” kata orangtua jenggot panjang.

“Mengatakan bagaimana?” tanya Ting Ling.

“Bahwa dia pernah melihat sendiri kehebatan racun dari Tegggoret Kumala itu, Begitu dimasukkan dalam air, airpun berobah biru warnanya. Diletakkan di tanah, rumput tentu segera kering dan segala serangga kecil seperti semut dan lain2 tentu mati seketika.” 

“Dan mustika Kupu2 Emas itu? Apakah dapat menghidupkan lagi rumput yang sudah kering dan semut yang sudah mati itu?”

“Entah, aku tak mendengar bangsa serangga yang sudah mati itu dapat hidup kembali,” kata orangtua jenggot panjang, “hanya rumput yang kering itu begitu tersentuh Kupu2 Emas, memang dapat hidup lagi,”

Ting Ling tersenyum, “Sudah berapa tahun lamanya kawannya itu yang meninggal?”

Orangtua jenggot panjang merenung sejenak, menjawab, “Sepuluh tahun lebih tiga bulan….”

“Bukankah setelah memberitahukun tentang kedua benda mustika itu dia terus meninggal?”

“’Ya, kalau tak salah, lewat sebulan setelah dia bercerita tentang kedua mustika itu, diapun terus meninggal.”

“Mungkin orang yang pernah melihat kedua semua sudah meninggal dunia.”

Rupanya ada sesualu yang menyadarkan pikiran orangtua jenggot panjang itu.
Ia merenung.

Menghela napas, Ting Lingpun melanjutkan pula, “Orang2 yang melihat kedua benda mustika itu, dalam waktu yang singkat telah meninggal. Dengan begitu kedua benda itu merupakan suatu cerita yang misterius.

Tak seorangpun yang dapat membuktikan kebenarannya dan jadilah Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas itu suatu dongengan yang hebat didunia….”

Nona itu alihkan pandang matanya kearah lukisan di dinding dan barkata pula, “Kecuali keadaan kamar yang begini bersih, pun lukisan di dinding itu memang mencurigaKan sekali.”

Kim Loji dan orangtua jenggot panjang segera berpaling memandang kearah lukisan di dinding.

Tetapi mereka tak tahu rahasianya.

“Apakah kalian melihat sesuatu yang mencurigakan?” tanya Ting Ling.

Lim loji dan orangtua jenggot panjang saling berpandangan dan mengangkat bahu.

“Harap kalian perhatikan, adakah tinta hitam pada lukisan itu benar2 telah bertus-ratus tahun umurnya?” tanya Ting Ling pula.

“Hai, benar,” tiba2 Kim Loji menepuk pahanya yang tinggal satu.” dunia persilatan menyohorkan kedua gadis lembah

Raja-setan itu luar biasa cerdiknnya. Hari ini setelah bertemu, memang baru dapat kubuktikan kebenaranya”

“Ah, janganlah lo cianpwe keliwat menyanjung begitu.” Ting Ling menghela napas. “kita sudah menjadi seperti ikan yang masuk jaring. Barangsiapa masuk kedalam makam ini jangan menaruh harap an untuk dapat keluar dengan selamat.”

Sambut Kim Loji, “Walaupun bukan Ko Tok lojin, tetapi karena dapat mengelabuhi seluruh kaum persilatan, orang itu memang patut kita temui!”

“Soal itu aku belum dapat memecahkan. Sudilah kiranya lo cianpwe memberi petunjuk,” kata Ting Ling.

“Ah, jangan memuji aku,” kata Kim Loji, “aku tak tahu dengan tujuan apa orang itu telah menggunakan seluruh pikiran dan seluruh harta bendanya untuk membangun makam ini?”

Jawab Ting Ling, “Untuk memikat perhatian seluruh kaum persilatan masuk kedalam malam ini maka dia telah menyiarkan cerita tentang Tenggoret Kumala dan Kupu2 Emas. Rupanya tujuannya telah tercapai.

Kecerdasan orang itu memang hebat sekali.

“Sttt…. ada orang….” tiba2 orangtua jtnggot panjang menukas omongan si
nona.

Sesosok tubuh melesat kedalam ruangan dan begitu tegak ditanah, sambil lintangkan kedua tangan untuk melindungi dada, orang itu berseru, “Nona Ting, Ting Ling mendengus, “Hm, apakah engkau kira aku sudah mati?”

habis berkara ia berpaling kearah Kim Loji, “Lo cianpwe, sebaiknya didayakan untuk menutup dinding yang bobol itu agar sinarnya jangan memancar keluar dan menarik perhatian orang.”

Kim Loji mengangkat sebuah dingklik lalu ditutupkan pada benjolan lubang.

“Lo-cianpwe, yang datang ini adalah Ca Giok, putera dari marga Ca di Ik-pak. Keluarga Ca termasyhur dengan pukulan Pen-poll sin kun. Tentulah lo cianpwe kenal, bukan?” kata Ting Ling memperkenalkan pendatang itu.

“Anak muda dari angkatan sekarang, banvak yang tak kukenal,” sahut orangtua jenggot panjang.

“Ca sau-pohcu ini telah mendapatkan pelajaran ilmu pukulan sakti itu dari keluarganya.

Silahkan engkau mencobanya sampai sepuluh jurus saja,” tiba2 Ting Ling berkata pula.

Melihat orangtua jenggot panjang itu bertubuh tinggi kekar, wajah merah kan kening menonjol tinggi, tahulah

Ca Gok bahwa orangtua itu tentu seorang jago yang tinggi ilmu lwekangnya. Buru2 ia berseru, “Ah, nona Ting, mengapa begitu “

Tetapi belum sempat ia berkata, orangtua jenggot panjang itupun sudah lepaskan hantaman kepadanya.”

Dalam keadaan terpaksa, Ci Gokpun segera menangkis dengan jurus thian-cut-tho ta atau Tiang-langit-menyangah pagoda.

Tangannya menyelinap kesamping untuk mencengkeram pergelangan tangan orangtua jenggot panjang itu.

Orangtua jenggot panjang mendengus Tiba2 ia merobah gerakannya. Sepasang tangannya serempak menghantam, sekaligus masing2 melancarkan lima buah pukulan.

Gerakannya cepat sekali dan tenagapun sekeras palu besi. Karena dihambur oleh sepasang tangan besi, terpaksa Ca Giok mundur lima langkah.

Setelah melancarkan lima buah serangan, orangtua jenggot panjang itupun hentikan serangannya dan menyurut kembali ketempatnya semula seraya berkata, “Dalam seratus jurus, aku tentu dapat mengambil jiwanya.”

Ting Ling hanya tertawa lalu berpaling kepada orangtua alis panjang, “Lo-cianpwe, kalau suruh kera peliharaanmu yang menyerangnya. entah harus menggunakan berapa jurus lamanya?”

Sejak masuk kedalam ruang rahasia itu. orangtua alis panjang selalu duduk bersama kera bulu emas.

Ia pejamkan mata menyalurkan tenaga dan tak menghiraukan pembicaraan mereka. Begitu mendengar pertanyaan Ting Ling, baru ia membuka mata dan memandang Ca Giok, serunya, “O, orang itu?”

“Walaupun usianya muda tetapi ilmusilatnya amat sakti,” kata Ting Ling.

Orangtua alis panjang tertawa dingin lalu menepuk punggung kera bulu emas.

Saat itu Ca Giok masih terengahengah karena habis menyam but sepuluh buah pukulan orangtua jenggot panjang.

Mendengar Ting Ling hendak menyuruh orang menyerangnya lagi, buru2 ia berseru, “Nona Ting, aku hendak memberitahu suatu hal kepadamu ,. ….”

“Nanti saja kita bicara!” sahut Ting Ling. Ca Giokpun tak dapat bicara karena saat itu kera bulu emaspun sudah menyerangnya.

Iapun cepat melepaskan sebuah pukulan Pek-poh-sin kun atau Pukulan-sakti-jarak-seratus langkah, sembari menghindar kesamping dan menyambar sebuah po-ci dari perak.

Menerima pukulan pek-poh-sin-kun, gemetarlah tubuh kera itu tetapi karena kulitnya tebal sekali, ia tak sampai terluka.

Setelah berhenti sejenak iapun menyerang lagi.

Ca Giok kerahkan tenaga dalam, mengangkat poci perak dan berseru nyaring, “Nona Ting, kalau engkau tak mau mencegah binatang itu, jangan sesalkan aku kalau kulukainya!”

Ting Ling hanya tertawa dingin, “Kalau engkau membunuhnya masakan yang punya akan tinggal diam?”

Mendengar itu Ca Giok terbeliak. Tetapi belum sempat ia menjawab, kera bulu emas itupun sudah menyerangnya lagi.

Cepat ia menghindar lalu hantamkan poci perak itu.

Ca Giok dapat menangkap peringatan Ting Ling. Dia tak mau menggunakan seluruh tenaganya karena kuatir akan membinasakan kera itu. Suatu hal yang tentu dapat menimbulkan kemarahan pemiliknya. Dengan pertimbangan itu, ia hanya menggunakan lima bagian tenaganya saja.

Kera menangkis dan poci perak itupun terlempar kesamping, lalu ulurkan tangannya hendak mencengkeram dada Ca Giok.

Pemuda itu terkejut. Cepat ia mengempos napas dan menyurutkan dada untuk menghindari cakar kera yang runcing.

Setelah itu ia balas menabas. Dia bergerak cepat sekali sehingga kera itu tak sempat menghindar.

Lengannyapun kena tertabas tangan Ca Giok.

Tetapi langkah kejut pemuda itu ketika tangannya serasa membentur keping baja yang keras sekali.

Bahkan lengan binatang itupun mempunyai daya membal sehingga membuat Ca Giok terpental mundur selangkah.

Dan serempak itu, tangan kiri binatang itupun sudah merangsangnya lagi.

Untunglah Ca Giok sudah banyak pengalaman dalam pertempuran. Tahu kulit kera itu kebal, ia menggunakan tenaga membal dari pukulannya tadi untuk loncat berjumpalitan kebelakang dan melayang turun keatas meja.

Tetapi kera itu tajam sekali nalurinya.

Segera cakarnya digerak gerakkan untuk menyambar nyambar. Kursi dan mejapun berhamburan tumpah ruah.

Ca Giok mengambil keuntungan dari alat perabot dalam ruang itu untuk melindungi diri.

Ia melontarkan apa saja yang dapat diraihnya dan setempo iapun mencuri kesempatan untuk balas menghantam.

Tetapi kera bulu emas itu tebal sekali kulitnya. Walaupun menderita beberapa kali pukulan ia tetap tak apa2.

Sedangkan tangannya, luar biasa kuatnya. Setiap tambarannya tentu menimbulkan desir angin yang menderu-deru.

Ca Giok yang mengetahui tak berguna adu kekuatan terpaksa harus main menghindar. Dengan demikian tampaklah

ia terdesak oleh kera itu.

Melihat Ca Giok pontang panting tak keruan. Ting Lingpun tertawa mengikik. Seberapa saat ke mudiain ia berseru kepada orangtua alis panjang, “Lo-cianpwe, harap hentikan kera itu!”

Sejenak berbatuk-batuk, orangtua alis panjang itu lalu bertepuk tangan dan mulutnya bercuit-cuit, lalu membentak.

Tiba2 kera bulu emas yang tengah menyerang Ca Giok itupun segera berputar tubuh dan dengan bergoyang gontai menghampiri tuannya.

Dengan napas terengah-engah, Ca Giokpun berseru, “Nona Ting . . “Mengapa?” tanya Ting Ling hambar, “sekarang engkau boleh bilang.”

Melihat sikap Ting Ling yang seolah olah memberi perintah kepada orang2 tua itu, diam2 Ca Giok heran juga.

Pikirnya, “Bagaimana mungkin orangtua jenggot panjang dan orangtua alis panjang begitu menurut perintah nona itu….”

Namun ia tak berani menanyakan hal itu dan melainkan tertawa, “Nona Ting, apakah nona berjumpa dengan ayahku?”

“Hm, tidak ada omongan engkau cari bahan mengomong, Ya, memang berjumpa tapi mungkin saat ini dia sudah mati.”

Ca Giok tertegun, “Apakah nona bergurau?”

“Siapa yang akan bergurau dengan engkau? Itu memang sungguh suatu kenyataan.

Dia telah didesak mati2an oleh Han Ping. Nah, coba engkau pikir, apakah dia masih dapat hidup?”

Mendengar ayahnya bertempur dengan Han Ping, hati Ca Giok malah lega, ia tertawa, “Sekalipun kepandaian Han Ping itu tinggi tetapi jika dapat mengalahkan ayah, itu sungguh tak mungkin “

“Bagaimana kepandaian ayahmu kalau dibanding dengan Ih Thian-heng?” tanya Ting Ling pula.

“Kalau dinilai dari ilmu silatnya, mereka seimbang. Tetapi kecerdikan Ih Thian-heng memang jauh diatas ayah.”

“Beberapa hari yang lalu, Han Ping telah mengunjukkan ilmu permainan pedang yang luar biasa mengejutkan seluruh tokoh2

dalam gelangang pertempuran besar. Rupanya engkau sendiri juga melihatnya, masakan sudah lupa?

Sedang Ih Thian-heng saja harus tunduk dan kagum masakan ayahmu?”

Ca Giok tertegun diam. Apa yang dikatakan nona itu memang benar. Tetapi ia tahu bahwa tenaga-dalam ayahnya tinggi sekali.

Sedang ilmu pukulan Pek-pofa-sin-kun dari merga Ca, hebat bukan main.
Sekalipun tak dapat menang dari Ih Thian-heng tetapipun dapat melindungi diri.

Ca Giok seorang pemuda yang licin. Melihat gelagat ia tak mau berbantah lagi dengan nona itu.

“Kutahu hatimu tentu masih belum puas, “Ting Ling tertawa.” tetapi jangan lupa bahwa Han Ping itupun masih mempunyai pedang pusaka Pemutus-asmara.”

Ca Giok tertawa hambar, “Saat ini dalam makam tua disini penuh dengan alat2 pekakas yang berbahaya.

Betapapun erat hubungan orang hingga seperti ayah dan anak, tetapi juga tak dapat saling memberi bantuan.

Ting Ling tertawa, “Ih, engkau dapat memikir terang juga”

Sejenak mengeliarkau pandang mata, nona itupun melanjutkan pula, “Mengapa engkau hanya seorang diri saja?

Dimana Ih Thian-heng? Beri tahu terus terang, akupun akan memberitahu kepadamu tentang keadaan ayahmu yang sebenarnya”

“Sejak engkau melarikan diri, Ih Thian heng marah sekali. Dua orang anak buahnya dihantam mati lalu menyuruh seluruh orang2nya mencarimu kesegenap penjuru. Bermula aku bersama ayahku tetapi ditengah jalan bertemu dengan ketua Lembah-seribu racun. Ayah dan ketua Lembah-seribu-racun saling berhantam. Akupun juga berbaku bantam sampai tiga jurus dengan pengikut2 ketua Lembah-seribu-racun “Tak perlu kutanya, tentu engkaulah yang kalah,” kata Ting Ling.

“Tiga jurus, belum ada yang kalah dan menang. Tetapi perkelahian iiu telah menyebabkan aku terpisah dengan ayah. Aku tersesat jalan dan membelok kemari sehingga tanpa sengaja bertemu dengan nona.”

Ting Ling mencibirkan bibir, “Mengapa engkau tak mengakui kalau engkau kalah dan dikejar musuh sehingga menyusup kemari?”

“Silahkan saja nona mengatakan bagamana. Aku tak memasukkan dalam hati. Tetapi kuminta nona suka memberitahu dimana berad-nya ayahku itu.”

“Ya, baiklah,” kata Ting Ling, “dengan terus terang kuberitahu bahwa aku benar2 tak pernah melihatnya.”

“Apakah omongan nona tadi hanya isapan jempol belaka?” Ca Giok menegas.

“Siapa bilang isapan jempol?” kata Ting Ling, “yang jelas Han Ping tidak memburu ayahmu.”

“Lalu siapa?”

“Nyo Bun-giau serupa dengan ayahmu, keduanya golongan macan hitam.”

Ca Giok tertawa, “Harap nona jangan lupa. Ayahmu dan ayahku itu tokoh termasyhur diduma persilatan.

Nama dari Lembah-raja-setan sesungguhnya tak dibawah marga Ca.”

Tiba2 Ting Ling berpaling kearah orangtua jenggot panjang dan berseru, “Maju dan serang dia sampai tiga jurus!”

Tanpa bicara apa2, orangtua jenggot panjang itu terus maju menyerang Ca Giok sampai tiga jurus.

Hebatnya bukan main sehingga Ca Giok sampai mundur enam langkah. Darah dalam tubuhnya bergolak keras, mata berkunang kunang.

Untung setelah tiga jurus, orangtua jenggot panjang itupun hentikan serangannya dan mundur kembali ketempatnya semula.

Ca Giok menghela napas panjang, memandang Ting Ling dan berkata, “Orangtua ini, hebat sekali pukulannya.”

Ting Ling hanya tertawa hambar, “Kalau engkau bicara tak keruan, tentu akan kusuruh dia membunuhmu.”

“Ya, dia memang mampu.”

“Nah, kalau engkau sudah tahu, baiklah,” kata Ting Ling, “engkau jawablah beberapa pertanyaanku tetapi harus mengatakan sejujurnya. Nanti tentu kubebaskan.”

“Seorang lelaki dapat bersikap keras, pun dapat lunak. Silahkan engkau bertanya.”

“Engkau memang pandai merangkai kata2 dan mengambil muka orang, “kata Ting Ling,” dan pandai berbohong.

Tetapi engkau harus mengerti, bahwa justeru aku ini paling dapat meneliti kebohongan orang.

Tiap patah kata engkau berkata bohong, tentu akan kupotong jari tanganmu.

“Jangan kuatir,” kata Ca Giok, “orang’ yang berada dalam makam tua ini memang tipis harapannya dapat keluar lagi dengan selamat. Disini memang merupakan gelanggang perebutan jiwa dengan menggunakan ilmu kepandaian.

Kalau aku tak ingin cepat mati lebih dulu, tentu takkan membohongi engkau.” “Hm. tak kira kalau engkau masih bersikap begitu perwira,” kata Ting Ling.

Tiba2 nona itu kerutkan wajah dan melanjutkan berkata, “Ih thian-heng, ayahmu dan Nyo Bun-giau, dengan tujuan apa menyebarkan surat kepada tokoh2 persilatan, mengundang mereka datang ke makam tua sini?”

“Bagaimana engkau tahu kalau ayah dan Ih Thian-heng mengundang mereka’! Ca Giok balas dapat tanya.

Hm, dengan menerka saja tentu sudah dapat menerka tepat.”

“Benar, engkau memang menerka tepat,” kata Ca Giok,” lh Thian heng hendak meminjam alat2 rahasia dalam makam ini untuk membinasakan seluruh tokoh persilatan!”

“Ya, hai itu memang aku sudah tahu,” kata Ting Ling, “yang kutanyakan kepadamu yalah tentang rencananya.”

“Pada setiap pintu terowongan, ia selalu menyuruh seorang anak buah yang mahir menggunakan senjata rahasia beracun untuk menjaga. Tak peduli siapa saja yang masuk pintu terowongan, tentu akan dihantam dengan senjata rahasia beracun.

Alat rahasia yang sudah hebat di tangan dengan seorang penjaga yang berilmu tinggi, benar2 merupakan pintu maut bagi setiap orang persilatan yang melalui pintu itu. betapapun tingginya kepandaian orang itu.”

“Rencananya itu memang bagus. Sayang dalam dunia masih banyak orang yang lebih cerdas dari dia,” dengus Ting Ling.

“Benar,” sahut Ca Giok, “aku sendiri memang tak percaya bahwa di dunia ini terdapat orang yang paling uomor satu.

Karena setiap orang itu mempunyai bakat dan kecerdasan sendiri2.” “Pandanganku justeru berlainan dengan engkau,” kata Ting Ling.

“Aku ingin mendengar alasan nona”

“Ilmu kepandaian yang dicapai orang dengan bakat kecerdasan memang mempunyai hubungan. Maka sejak dahulu sampai sekarang, belum pernah terdapat orang yang tidak cerdas dapat memiliki kepandaian yang tinggi.”

Saat itu Ca Giok tak mau adu lidah dengan Ting Ling maka ia hanya tertawa saja, “Mungkin pendapat ia lebih benar.”

“Hm, memang sehenarnya aku harus dapat melebihi engkau!” dengus Ting Ling.

Tiba2 terdengar suara nyaring, “Giok-ji…. Giok ji….”

Ca Giok terkejut. Giok ji artinya anak Giok, yalah panggilan yang biasa dilakukan ayahnya kepadanya.

Segera ia mengempos semangat dan berseru nyariug, “Yah, apakah engkau?” Wut, iapun segera lepaskan pukulan Pek-poh-sin-kun kearah Kim Loji.

Baru saja Kim Loji menambal bobolan dinding atau begitu mendengar deru angin pukulan terpaksa cepat2 ia menyingkir kesamping.

Habis memukul, Ca Giokpun segera loncat ketempat bobolan dinding dan terus menghantam penutupnya.

Brak…. penyumbat dinding itupun berantakan.

“Lekas bunuh dia, makin cepat makin baik!” segera Ting Ling memberi perintah kepada orangtua jenggot panjang.

Tetapi orangtua ‘jenggot panjang itu kerutkan dahi seolah-olah segan melakukan perintah Ting Ling. Tetapi sesaat kemudian akhirnya ia melesat mengejar Ca Giok.

Setelah menyingkir kesamping, Kim Loji terus membabat dengan golok tetapi saat itu Ca Giok yang sudah melayang ditanah, segera berputar tubuh, menghindari tabasan golok lalu menghantam sekuat-kuatnya kepada orangtua jenggot panjang.

Orangtua jenggot panjang menangkis. Tetapi walaupun dapat menahan pukulan Pek-poh-sin kun namua tak urung terpental juga di ketanah.

Tiba2 sesosok tubuh melesat masuk kedalam lubang itu dan terus menghantam Kim Loji Cepat sekali orang itu bergerak sehingga tahu2 Kim lo ji sudah direbut goloknya. Dan secepat itu pula pendatang itupun sudah

menghadang dimuka Ca Giok, memutar golok menyeraug orangtua jenggot panjang yang mendesak Ca Giok.

Ting Ling cepat mendekat orangtua alis panjang dan membisikinya, “Lo cianpwe, harap lekas suruh kera bulu emas turun tangan “

Orangtua alis panjang itu tertawa gelak2, “Jangan kuatir nak, sekalipun pendatang itu sakti sekali tetapi aku tentu mempunyai daya untuk menghadapinya.”

“Bukankah engkau tak mengerti ilmusilat?” tanya Ting Ling heran.

Jawab orangtua alis panjang, “Apakah membunuh orang itu harus menggunakan ilmu silat saja?

asal engkau dapat membuatnya dekat kepadaku dalam jarak tiga langkah, aku tentu dapat menguasainya.”

Saat itu pendatang tadi hentikan serangannya dan berpaling kepada Ca Giok, “Nak, apakah engkau terluka?”

“Tidak….,” sahut Ca Giok. Kemudian ia menunjuk pada orangtua jenggot
panjang, “Orang itu sakti sekali,” kalau menghadapinya harap ayah hati2.”

Sejenak memandang kepada orangtua jenggot panjang, ayah Ca Giok, berseru, “Hai, apakah saudara bukan saudara Theng Ban-li si Pukulan besi itu?”

Orangtua jenggot panjang tertawa, “Ah, kiranya saudara Ca masih ingat kepadaku.”

“Ai, jenggot saudara Theng yang indah itu sungguh tiada keduanya dalam dunia.

Karena memandang jenggot itulah maka aku terhindar akan saudara Theng. Teringat ketika pertemuan digunung Heng-san kita saling menuturkan pengalaman masing2.”

Sambil menjuntaikan jenggotnya yang bodol, orang she Theng itu itu tertawa, “Ah, jenggot itu sekarang sudah habis.”

“Ah. saudara Taeng masih tetap sama dengan dahulu….kata Ca Cu lalu
berpaling kearah Ca Giok, “Inilah Theng supeh, dengan sepasang pukulan besi dia pernah mengaduk daerah Kwan-gwa dan tokoh2 persilatan berbagai aliran. Hayo, lekas engkau memberi hormat kepadanya.”

Ca Giokpun segera melakukan perintah ayah. Tersipu-sipu ia memberi hormat, “Harap Theng locianpwe suka memberi maaf.”

Theng Ban-li tertawa, “Harimau pasti takkan beranak anjing. Kepandaian hian-tit, sungguh membuat aku kagum sekali.”

Ca Giok hanya tersenyum, “Ah, harap Theng supeh jangan keliwat memuji. Kalau supeh tak bermurah hati aku tentu sudah terluka.”

Ca Cu-jing cepat dapat mengetahui suasana dalam ruang itu. Dihatnya orangtua alis panjang itu duduk meramkan mata.

Sikapnya membuat orang sukar menduga betapakah ilmu kepandaian orang itu.

Diam2 Ca Cu-jing heran mengapa Theng Ban-li mau menerima perintah Ting Ling.

Namun sebagai seorang tak mau cepat2 membuka rahasia orang sebelum tahu duduk persoalannya yang jelas.

Sambil memberi salam kepada Ting Ling, ia berseru, “Ah, kepandaian hiat-titli sungguh membuat kita orang2 tua ini kagum dan malu hati.”

Selama Ca Cu jing hercakap cakap dengan Theng Ban-li tadi, diam2 Ting Ling sudah memperhitungkan kekuatan kedua belah pigak.

Walaupun sakti tetapi Theng Ban-li itu ternyata bersahabat baik dengan Ca Cu-jing.

Sedang walaupun orangtua alis panjang itu manhir dalam ilmu racun tetapi dia tak mengerti ilmusilat.

Kalau sungguh terjadi pertempuran, tentu tak berguna. Sedang ia sendiri bersama Kim Loji tetap bukan tandingan Ca Cu jing. Dan apabila ia mendesak pada Theng Ban-h untuk bertindak kemungkinan orangtua jenggot panjang itu tentu akan nekad menentangnya. ….

Sekalipun masih muda tetapi Ting Ling memang luar biasa cerdasnya.

Dalam menghadapi kesulitan yang bagaimanapun sukarnya ia tetapi berlaku tenang.

“Terima kasih paman Ca,” serunya tersenyum Berkata pula Cujing, “Sejak masuk kedalam makam ini, ih Thian-heng semakin gila.

Bukan saja mempunyai rencana hendak menumpas seluruh kaum persilatan, pun Nyo Bun-giau dan diriku, juga akan dibunuhnya.

Dia memang berhati ganas dan beracun seperti ular berbisa. Sukar untuk diajak kerja sama….”

“Ting Ling tertawa, “Kalau paman dapat menyadari hai itu, aku sungguh gembira sekali.”

“Ayahmu juga sudah masuk kedalam makam ini, berita itu tentulah engkau sudah tahu,” kata Ca Cu jing pula.

“O. apakah ayah juga datang? Bilakah paman berjumpa dengan ayah “ tanya Ting Ling.

Ca Cuing tertawa, “Suara suitan aneh dari ayahmu, tiada orang didunia ini yang dapat meniru.

Aku mendengar suara suitannya, apakah hal itu tidak seperti melihatnya wajahnya?”

“Tetapi memang kuharap ayah datang kemari agar aku dapat menceritakan tentang pengalaman pahit yang kuderita….”

Tiba2 angin berkesiur dan seorang yang tubuhnya berlumuran darah menerobos masuk. Rambutnya kusut masai, pakaian compang camping dan darah yang berhamburan mengotori mukanya itu, menyebabkan wajahnya yang aseli tak kelihatan.

Walaupun Ca Cu -jing luas pengalaman tetapi untuk sesaat ia tetap tak dapat mengenali orang itu.

Suasana dalam makam itu penuh diselimuti hawa pembunuhan Maka setiap orang selalu siap siaga menjaga diri.

Munculnya pendatang yang menyeramkan itu, tak disambut dingan tindakan yang bersikap hendak menolongnya.

Tampak tubuh pendatang itu terhuyung-huyung. Rupanya dia sudah tak kuat untuk berdiri tegak.

Sambil menghampiri, Ca Cu-jing menegurnya, “Siapakah engkau?”

Karena lukanya parah, orang itu Pejamkan mata dan menyahut dengan sisa tenaga yang masih dipunyai, “Ca Cu-jing”

Ca Cu-jing terkejut. Diam2 ia berpikir, Memang banyak tokoh persilatan yang kenal kepadanya.

Tetapi yang langsung memanggil namanya begitu saja, sedikit sekali jumlahnya. Kalau orang itu memanggilnya begitu, tentulah seorang yang hebat. “Siapa saudara ini? Mengapa memanggil namaku?” tegurnya.

Orang itu menggeliat bangun dan melangkah beberapa tindak, medekap meja dan berpaling, “Apakah saudara Ca benar2 tak kenal lagi padaku?”

Ca Giok seperti kenal dengan nada suara orang itu tetapi sesaat ia masih belum ingat sekali.

“Saudara menderita luka parah sekali. Harap jangan banyak bicara. Bolehkah aku membantu mengobati luka saudara?” serunya.

Dengan susah payah orang itu menjawab, “Tubuhku telah menderita tujuhbelas tusukan pedang.

Sekalipun makan obat dewa, mungkin tak dapat menolong jiwaku.

Walaupun sudah mendekap meja tetapi tubuh orang itu tetap gemetar ketika bicara.

Ca Cu-jing buru2 menyanggahnya, “Saudara menderita tujuh belas tusukan pedang namun masih kuat bertahan benar2

saudara hebat sekali.”

Setelah mendapat bantuan tangan Ca Cu jing. orang itu dapat berdiri tegak, serunya: Beberapa nadi dalam tubuhku sudah putus, darah yang masih tersisa dalam tubuhku, segera akan mengalir….” Bluk, ia tak dapat melanjutkan katanya karena saat itu iapun rubuh.

Ca Cu jing memeriksa luka orang itu dan dapatkan bahwa hampir sekujur tubuhnya berhias luka berat sehingga pakaiannya merah dengan darah.

Ca Cu jing tak mempedulikan kematian orang itu Karena bagaimanapun dengan menderita sehebat itu, tak mungkin dapat ditolong jiwanya. Yang menjadi pemikirannya yalah siapakah yang membunuhnya? Ya, ia ingin tahu.

Segera ia lekatkan telapak tangannya ke punggung orang itu dan menyalurkan tenaga dalam, serunya, “Luka yang begitu hebat, telah menyebabkan nada suara saudara agak berobah sehingga aku benar2 tak dapat mengenali saudara.

Harap saudara suka memberitahu nama saudara agar kelak apabila bertemu dengan putera saudara, dapat kuberitahukan kepadanya.”

Serangkum hawa hangat segera memancar pada jalan darah di pusar orang itu sehingga dia dapat siuman lagi.

“Aku Thay ou Ong…. “ belum selesai berkata tiba2 orang itu muntah darah.

Ca Cu-jing lerkejut, serunya, “Saudara ini saudara Ong Tay-ki dari telaga Thay-cu?”

“Benar….”

“Saudara Ong terluka ditangan siapa?”

Baru Ong Tay-ki hendak menjawab tiba2 dari lubang bobolan dinding terdengar suara orang berseru dingin, “Terluka ditanganku “

Cepat Ca Cu-jing berpaling dan tampak seorang lelaki berjubah panjang, berjalan menghampiri.

Tetapi serempak dengan itu ia merasakan tubuh Ong Tay-ki yang disanggah dalam tangannya itu mengulai kesamping terus terkapar jatuh ke tanah Can putuslah jiwanya.

Pelahan lahan Ca Gu jing mengangkat tangan kanan, dijulurkan jurus kemuka dada. Diam2 ia menyalurkan tenaga-dalam Pek poh-sin kun. Asal pendatang itu hendak menyerang iapun hendak mendahului menghantamnya.

“Kalau sudaura dapat memberi tusukan tujuhbelas buah kepada Ong Tay-ki, jelas saudara tentu seorang tokoh yang ternama.

Bolehkah aku mendapat tahu nama saudara yang mulia?” serunya. Sebagai seorang yang pengalaman, cepat ia dapat mengetahui bahwa pendatang itu mengenakan wajah palsu dati kedok kulit.

Pendatang itu mencekal sebatang pedang di tangan kanan sedang tangan kiri mengusap kedok mukanya lalu tertawa nyaring, “Saudara Ca, mengapa sama sekali engkau tak dapat mengenali nada suaraku?”

Demi melihat wajah orang itu, gemetarlah Ca Cu-jing, serunya, “O, saudara Ih?”

Ya, yang muncul itu memang Ih Thian-heng, jago yang menggangap dirinya sebagai tokoh nomor satu diduma.

Dia memang merencanakan untuk menjaring seluruh orang persilatan kedalam makam itu untuk dibasmi.

“Benar. memang aku,” Ih Thian-heng tertawa.

Tokoh itu mengeliarkan pandang mata kedalam ruang.

Ca Cujingpun segera menurunkan tangannya yang menjulur kemuka dada itu lalu tertawa, “Karena saudara Ih menggunakan logat daerah, sudah tentu aku tak dapat menangkap maksudnya.

Orang persilatan mengatakan bahwa saudara Ih paham semua logat bahasa daerah, ternyata memang benar.”

“Ah, saudara Ca keliwat memuji….“ kata Ih Thian-heng, “tetapi apakah saudara
Ca pernah berjumpa dengan Nyo Bun-giau “

Ca Cu-jing gelengkan kepala, “Tidak, aku tak pernah kesampokan dengan saudara Nyo.”

“Bilakah saudara Ca menemukan nona Ting itu?” Ih Thian heng tertawa dingin.

“Aku baru saja tiba disini….” kata Ca Cu jin seraya memandang kearah Theng
Ban-li dan berkata, “Dia adalah Pukulan-besi Theng Ban-li dari Kwan-gwa, seorang tokoh ternama dari gunung Pek-san.”

Memandang kepada mayat itu, Ih Thian-heng berseru, “Bagus, bagus, saudara Theng ternyata juga datang kemari mengantar jiwa.

Theng Ban-li mejulaikan jenggotnya, berkata, “Kalau bicara, harap saudara Ih sedikit pakai kesungkanan”

Tiba2 Ih Thian-heng tertawa dan mengangkat, tangan menunjuk Ting Ling, “Makam ini merupakan sebuah tempat yang melingkar-lingkar bundar tak peduli nona akan bersembunyi dimana, tentu tak dapat lolos dari tanganku.”

Ting Ling melihat alis Ih Thian-heng mengerut hawa pembunuhan.
Sikapnyapun mengunjuk hendak segera turun tangan.

Tetapi ia tak tahu siapakah yang akan dibunuh. Kemungkinan Theng Ban-h, kemungkin ia sendiri.

Tetapi Ca Cu-jing pun juga bukannya tak mungkin.

“Apakah engkau hendak mencari Nyo Bun-giau?” akhirnya ia bertanya.

“Dimana dia?”

“Aku pernah berjumpa tetapi tak tahu sekarang ini dia masih hidup atau sudah mati?”

“’Apakah dia berjumpa dengan dara baju ungu dari perguruan Lam-hay bun itu?”

“Bukan,” Ting Ling gelengkan kepala.”Ketua Lembah-seribu racun?”

“Juga bukan….”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar