Makam Asmara Jilid 02 Makam Amara

Jilid 02 Makam Amara

“Oh, terima kasih Tuhan, dia sudah siuman,” seru Siangkwan Wan-ceng gembira.

Kim lojipun segera menarik telapak tangannya yang melekat dipunggung orangtua alis panjang lalu memperhatikan Han Ping.

Tetapi setelah dapat bergerak beberapa saat, tiba2 Han Ping kembali tak berkutik lagi.

“Aneh, mengapa dia tak dapat bergerak lagi?” orangtua alis panjang itupun berseru heran.

“Apakah gerakannya tadi bukan karena bekerjanya racun?” seru Kim loji.

Siangkwan Wan-ceng segera lekatkan tangan kedada Han Ping, “Ah, jantungnya masih berdetak.”

“Biar, mereka taK mungkin dapat membakar kamar rahasia yang kokoh ini”‘, kata orangtua alis panjang.

Melihat Siangkwan Wan-ceng berdiri lalu duduk lagi. Orangtua alis panjang itu menegur, “Ai, apakah engkau hendak keluar?”;

“Aku ingin menghajar mereka tetapi tak tega meninggalkan dia,” sahut si dara.

Orangtua alis panjang….berdiam beberapa saat. Setelah itu ia mengambil
sebuah guci dan cawan arak.

Dituangnya arak dalam guci ke cawan lalu minta pinjam pedang kepada Siangkwan Wan-ceng.

Cret, ia menggurat ujung pedang pusaka Pemutus-asmara kelengan kirinya.
Darah bercucuran kedalam cawan arak.

“Paman, engkau mau apa itu?” tegur si nona “Hendak kuminumkan arak yang bercampur darahku ini kepadanya.

Tadi dia telah minum daun obat yang paling beracun didunia. Sekarang hendak kuberinya darah binatang yang beracun yang telah menghidupkan jiwaku selama berpuluh-puluh tahun.

“Sebenarnya aku merasa sayang kalau memberikan darahku itu kepadanya.”

“Kalau setelah minum dia tetap tak sadar, bagaimana?” tanya Siangkwan Wan-ceng pula.

Orangtua alis panjang mengangkat bahu, “Tidak ada daya lain lagi kecuali kita bertiga harus menemaninya mati.”

Siang kwan Wan ceng tertawa, “Baik atau buruk akibatnya, harus cepat2 selesai. Jangan berlarut2 menyiksa hati.”

Kim loji memandang kearah Han Ping dan berkata seorang diri, “ Tidak, dia takkan mati…. “

Setelah membalut lengannya, orangtua alis panjang itu mencampur ramuan obat kedalam darah lalu diminumkan kemulut Han Ping.

Kembali suasana sunyi senyap penuh ketegang-an. Hastl dan obat darah itu, selain menyangkut jiwa Han Ping, juga ketiga orang itu. Mereka tak mempedulikan asap dari luar yang makin lama makin memenuhi bilik rahasia itu.

Setengah jam kemudian kembali orangtua alis panjang meminumkan darah bercampur arak itu kemulut Han Ping hingga habis.

Karena napas sesak dengan gumpalan asap, Siangkwan Wan-ceng batuk2.
Kim loji dan orangtua alis panjang mengangKat muka memandang si nona.
Alangkah kejut mereka ketika dipintu tampak berdiri dua orang lelaki.

Yang disebelah kiri mencekal sebatang tongkat besi dan yang sebelah kanan, seorang bertumbuh kurus, memegang sebatang golok kui thauto atau golok yang tangkainya berbentuk seperti kepala setan.

Entah kapan mereka muncul disitu. “Bagaimana kalian masuk kesini?” tegur orang tua alis panjang seraya meletakan cawan arak.

Orang yang disebelah kiri tertawa dingin.

lalu mendamprat “Jangan kata hanya bersembunyi disini, sekalianpun kalian bersembunyi diliang tikus, pun kami tentu dapat mencarinya.”Siangkwan Wan ceng kerutkan alis dan memben tak, “Hati2 kalau bicara….

Lelaki bersenjata golok kui-thau-to tertawa dingin, “Selama berpuluh tahun mengembara diduniapersilatan belum pernah ada orang yang berani bicara begitu kasar kepadaku.

Wut…. sebelum orang itu selesai bicara. si nona sudah taburkan jarum emas,
“Bangsat, jangan bermulut besar!”

Kedua pendatang itu orang2 persilatan yang banyak pengalaman. Melihat Siangkwan Wan -ceag ayunkan tangan, merekapun cepat menghindar. Tetapi karena jaraknya amat dekat, tak urung pakaian mereka tertembus jarum.

Untung tak sampai mengenai daging.

“Budak setan. engkau berani menggunakan jarum beracun!” lelaki bersenjata tongkat mendamprat.

Tetapi ia tak berani keluar dari tempat persembunyiannya. Rupanya gentar juga terhadap jarum emas Siangkwan Wan-ceng.

Karena pintu dapat dibuka kedua orang itu, asappun makin memenuhi kamar.

Bum, tiba2 orang itu menghantamkan tongkatnya dan pintu kamar rahasia itupun berlubang.

Siangkwan Wan ceng menjemput pedang Pemutus-Asmara, serunya, “Harap menjaganya, aku hendak menyelesaikan kedua orang itu agar mereka jangan sempat menutup jalan keluar dengan api.”

“Mereka menjaga di kanan kiri pintu, berbahaya kalau nona menerjang keluar, “Kim loji memberi peringatan.

“Tak apa, aku mempunyai akal untuk mengatasi mereka,” kata Siangkwan Wan ceng terus melesat kebelakang pintu.

Tiba2 ia julurkan pedang Pemutus-asmara keluar.

Wut, wut, dari kanan kiri golok dan tongkat segera menghantam tangan Siangkwan Wan-ceng.

Tetapi nona itu sudah siap. Ia turunkan tangannya kebawah agar senjata lawan ikut mengejar turun.

Kemudian ia enjot kakinya loncat keluar.

Tetapi belum melayang turun ketanah, sebuah tertawa dingin membentaknya, “Kembali!”

Siangkwan Wan-ceng yang masih melayang diudara itu segera berputar diri sambil mengayunkan pedang pusaka untuk melindungi tubuh, Ia meluncur turun kesamping kiri.

Karena sejak kecil mendapat didikan dari seorang guru yang sakti, kepandaian nona itu pun bukan alang kepalang.

Bentakan orang yang disertai dengan dorongan tenaga tadi, hebat sekali. Ia merasa sukar melawan maka cepat2 ia melayang….

Tring, orang yang menjaga disebelah kin menyambut dengan tongkat. Tetapi begitu terbentur pedang Pemutus-asmara, kutunglah tongkat itu.

Siangkwan Wan ceng malang melintang didunia persilatan Sepak (wilayah barat laut) dan terkenal ganas.

Ia banyak sekali pengalaman menghadapi musuh pukulan yang menerjangnya, hebat sekali.

Tahulah ia kalau berhadapan dengan musuh yang kuat, Saat itu Han Ping masih pingsan, Kim loji masih lelah dan orangtua alis panjang tak mengerti ilmu silat.

Ancaman saat itu, hanya tergantung pada dirinya….

Setelah menetapKan keputusan, Siangkwan Wan-ceng menarik pedang kebelakang dan menjeritlah orang yang bersenjata tongkat tadi, rubuh terkapar ditanah.

Tenaga hantaman orang yang menyerang Siang kwan Wan-ceng tadi ternyata membobolkan dinding atas pintu, masih menyusup kedalam kamar rahasia sehingga pakaian Kim loji dan orangtua alis panjang terdampar keras.

Orangtua alis panjang dan Kim loji terkejut menyaksikan kedahsyatan tenaga orang itu.

Orang tua alis panjang cepat menampar kepala kera bulu emas lalu mengangkat tubuh Han Ping dibawa pindah ketempat yang lebih dalam.

Sementara Kim loji menjemput kutungan palang pintu lalu menghadang diambang pintu.

Melihat kawannya rubuh, orang yang bersenjata tongkat besi marah.

Dengan jurus Thay-san-ya-ting atau gunung Thay-san menindih puncak. ia loncat menghantam Siangkwan Wan-ceng.

Serangan dengan senjata berat itu tak dihiraukan Siangkwan Wan -ceng. Yang diperhatikan hanya orang yang melepaskan pukulan tadi. Cepat ia menghindar kesamping setelah terlepas dari hantaman tongkat ia cepat songsongkan pedang Pemutus Asmara untuk menahan tongkat besi dan mebuangkan kesempatan untuk memandang kearah orang yang memukul tadi.

Usahanya itu berhasil. Ditengah asap tebal pada jarak satu tombak lebih jauhnya, tegak seorang bertubuh pendek kurus dalam pakaian yang kemilau. Samar2 ia melihat tubuh orang itu bergerak gerak….

Orang yang bersenjata tongkat besi karena hantamannya luput, segera menggembor keras dan menarik tongkatnya sekuat tenaga keatas. Ia mengandalkan tongkatnya yang berat dan tak gentar akan pedang si nona.

Pedang Pemutus Asmara itu sebuah pusaka yg tajamnya bukan kepalang. Justeru karena orang itu menarik tongkatnya kuat2 maka benturan dengan pedang Pemutus Asmarapun makin keras. Tring. tongkat besi kutung dua jari.

Tongkat besi itu panjangnya tak kurang dari dua meter Maka kutung dua jari saja, tiada halangan Cepat ia menarik tongkat lalu cepat disapukan ketubuh si nona.

Siangkwan Wan-ceng memperhatikan bahwa tempat itu amat sempit dan ia tak tahu pula siapa sebenarnya musuh yang melepaskan pukulan itu.Ia harus menyingkir kelain tempat yang lebih leluasa. Maka dengan gunakan gerak Kiau-yan-hoan-sim atau burung seriti berjungkir tubuh, ia melayang kedalam ruangan.

Kim loji gunakan kutungan palang pintu untuk menahan serangan tongkat besi yang hendak mengejar Siangkwan Wan-ceng.

Tring, ketika berbenturan, palang kayu yang dipegang Kim loji itupun hancur menjadi tiga keping.

Tetapi karena tak menduga duga, tongkat besi orang itupun terlepas jatuh dari tangannya.

Melihat itu cepat Kim loji maju selangkah dengan kerahkan sisa tanganya ia segera menaburkan kutungan palang pintu kepada orang itu.

“Harap Kim lo cianpwe jangan menempuh bahaya dan lekas mundurlah. Diluar ada seorang musuh yang sakti!” seru Siangkwan Wan-ceng.

Saat itu terdengar jeritan ngeri dan rubuhlah orang yang bersenjata tongsat besi cadi. Ternyata pada saat ia berjongkok hendak memungut tongkatnya ditanah, taburan palang kayu Kim loji tadi tepat mengenai jidatnya sehingga ia menjerit dan rubuh tak ingat orang.

Kim loji segtra menyambar tongkat besi. Belum sempat tangannya menjamah, tiba2 menjulur sebuah kaki, menginjak batang tongkat itu dan serempak disusul dengan bentakan bengis, “Lepaskan!

Kata2 itu disertai hamburan bau yang amat anyir menusuk hidung.

Kim loji kaya pengalaman didunia persilatan ia tahu kalau pendatang itu memang hendak mencelakai dirinya tentu tidak menginjak tongkat tetapi sudah menendang dirinya. Terpaksa ia batalkan rencananya mengambil tongkat lalu pelahan-lahan berdiri.

Tiba2 ia rasakan keningnya dingin seperti ditampar patahan dan serentak terdengarlah Siang-Lwan Wan-ceng berseru, “Kutu panjang!”

Kim loji menyurut mundur dua langkah lalu mengangkat muka memandang kedepan. Seorang kakek kurus pendek, berdiri diambang pintu.

Rambut kepala dan jenggotnya yang putih dan jarang2 itu, bertebaran.
Mengenakan pakaian warna hitam.

Seekor ular kecil warna merah melilit ditangan kanannya. Sedang lengan kanannyapun dilibat sekor ular besar yang kulitnya berwarna loreng2.

Karena tubuh dan ekor ular itu menggubat tubuh maka dalam keremangan asap lebat, tampak tubuh kakek itu seperti berpakaian yang gemilang.

Kim loji terlongong teriaknya, “Ketua lembah Seribu racun….

Kakek pendek itu hanya cebirkan bibir, menyahut ringkas, “Benar…. ” terus
melangkah.

Kedua ekor ular yang melilit pada kedua tangan ketua lembah Seribu-racun itu bergeliatan menjulurkan tubuh dan kepalanya.

Siangkwan Wan-ceng dan Kim loji mundur dua langkah.

Diluar dugaan tiba2 kera bulu emas yang menggeletak ditanah itu melonjak bangun. Sepasang matanya terbuka lebar2 memandang kakek pendek berbaju hitam dengan sikap hendak menyerang.

“Lo cianpwe.” bergegas. Kim loji berkata kepada orangtua alis panjans, “lekas suruh kera itu berhenti.

Yang datang ini adalah pemilik Lembah seribu-racun.

Rupanya Kim loji menyadari bahwa ketua Lembah seribu racun itu berkepandaian tinggi Jika kera iiu menyerang tentu akan membangkitkan kemarahannya.

Tiba2 orangtua alis panjang tertawa gelak2, “Karena menjadi ketua Lembah seribu-racun, dia tentu faham akan racun…. “

Kakek pendek baju hitam itu sejenak memandang kera bulu emas yang beringas lalu tanpa mengacuhkan ancaman si kera, ia menyahut, “Hanya tahu satu dua macam . , . “

Kemudian ketua Lembah-seribu-racun itu memandang Kim loji tegurnya, “Siapakah orang itu? Karena engkau menyebutnya lo cianpwe, tentu dia bukan orang yang tak bernama. Apakah sahabat dari Sin ciu-it-kun Ih Thian-heng?”

Sambil melekatkan tangan kedada, Kim Loji memberi hormat, “Lo-cianpwe ini ialah pemilik Panti Kematian sini.

Sama sekali tak kenal dengan Ih Thian-heng “

Orangtua alis panjang letakkan tubuh Han Ping lalu memandang tawar kearah kakek pendek kurus itu, “Siapakah engkau ini? Mengapa berani masuk kedalam Panti Kematian milikku ini dan masih begitu kurang sopan terhadap diriku?”

Mendengar itu buru2 Kim loji menyeletuk “Yang datang ini adalah pemilik Lembah-seribu-racun, salah seorang tokoh paling terkemuka dalam dunia persilatan Lembah-seribu-racun termasyhur dengan kepandaiannya tentang racun dan locianpwe seumur hiduppun mempelajari racun. Boleh dikata dalam jaman ini kalian berdua ini tokoh utama soal racun. Dua orang tokoh yang sama kepandaiannya tentu saling bersimpati tiba2 ia batuk2 dan tak melanjutkan kata katanya.

Sebenarnya ia bermaksud hendak memperkenalkan kedua orang itu satu sama lain tetapi tiba2 ia teringat kalau belum tahu nama orangtua alis panjang. Maka baru2 ia batuk2 untuk menghentikan ucapannya.

Ketua Lembah-seribu-racun tertawa kering, “Ah, apakah kepandaianku? Masakan aku layak disebut tokoh paling terkemuka dalam dunia persilatan?”

Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “Karena engkau berada disini, tuanmu Ih Thian-heng itu tentulah berada disekitar tempat ini”

Kim loji berdiam sejenak lalu menyahut, “Aku diutus oleh tuanku tetapi tersesat sampai disini Sama sekali aku tak sengaja masuk Panti Kematian ini.”

Orangtua alis panjang memandang kepada sikakek pendek dan ular yang melihat tubuhnya lalu berkala, “Kedua ekor ular itu sungguh ular beracun yang jarang terdapat,”

Habis berkata ia terus bertepuk tangan. Kera bulu emas itupun segera kembali kesisi orang tua alis panjang lagi.

Pemilik lembah seribu-racun tertawa hambar, “Kedua ekor ular beracun hebat ini sudah kutundukkan.

Tanpa perintahku tak mungkin akan melukai orang.”

“Menjinakkan dua ekor uLar berbisa, bukan termasuk kepandaian yang hebat” seru orangtua alis panjang.

Wajah ketua Lembah-seribu-racun berobah seketika, serunya pula, “Kedua ekor ular berbisa ini hampir menghabiskan seluruh

tenaga dan waktuku untuk mencari keseluruh pelosok dunia. Racunnya luar biasa ganasnya. Segala mahluk apa saja kalau terkena gigitannya tentu segera mati.

Termasuk orang yang memiliki kepandaian tinggi pun tak kuat bertahan.” “Tetapi aku tak takut pada ularmu itu,” seru orang tua alis panjang tertawa. “Apakah engkau berani mencobanya?” ketua Lembah seribu racun murka.

“Coba, coba, cobalah….orangtua alis panjang mendesis seraya melangkah
maju.

Melihat itu Kim loji cepat mencegahnya, “Lo-cianpwe seorang tabib, yang penting yalah menolong orang.

Mengapa harus ngotot untuk urusan yang tak penting?”

Orangtua alis panjang itu berpaling memandang Han Ping. Ia menurut nasehat Kim loji dan menyurut mundur lagi.

Sementara itu Siangkwan Wan-cengpun menghampiri kesamping Han Ping lalu berjongkok untuk memeriksa keadaan pemuda itu.

Ketua Lembuh-seribu-racun terbentur pandang pada pedang Pemutus asmara yang dicekal Siangkwan Wan-ceng.

Ia bertanya kepada Kim loji, “Siapakah budak perempuan itu? Bukankah pedang yang dicekalnya pedang pusaka Pemutus-asmara yang menggetarkan dunia persilatan?”

“Dara itu adalah puteri tersayang dari ketua marga Siangkwan di Kang lam. Yang dicekalnya memang pedang pusaka Pemutus-asmara.”

Ketua Lembah-seribu-racun menatap si dara dengan penuh perhatian lalu tertawa, “Wajahnya tak kalah dengan kedua puteri Lembah Raja-setan, hanya keberaniannya melewati batas….”

Mendengar itu Siangkwan Wan ceng berpaling deliki mata kepada ketua Lembah-seribu-racun itu, namun ia tahan kemarahanya dan diam.

Ketua Lembah-seribu-racun tertawa gelak2, serunya. “Dengah ayahmu aku kenal baik, menurut urutannya, seharusnya engkau menyebut aku paman tua.”

Melihat Siangkwan Wan-ceng acuh tak acuh, Kim loji buru2 menyela, “Nona
Siangkwan, cianpwe ini adalah Leng lo cianpwe ketua Lembah-seribu-racun.
Seorang sahabat baik dari ayahmu, lekaslah engkau kemari menjumpainya.”

Sejenak meragu, akhirnya mau juga nona itu menghampiri, memberi hormat, “Hormatku kepada Leng lo-cianpwe.”

Ketua Lembah -seribu-racun batuk2, tertawa, “Sudah lama kudengar, diwilayah Sepak tak ada yang menandingi.

Apa yang kulihat hari ini, barulah tahu kalau pendekar wanita yang gagah berani itu ternyata seorang dara yang cantik juga.

Mempunyai seorang puteri begitu, sungguh dapat menambah umur panjang. Benar2 aku mengiri atas kebahagiaan ayahmu.”

Siangkwan Wan-ceng paksakan tertawa, “Silahkan duduk, locianpwe. Aku masih hendak merawat orang sakit.”

Pelahan-lahan mata ketua Lembah-seribu-racun itu beralih kepada Han Ping, tanyanya, “Orang yang mendapat perhatianmu tentulah bukan sembarangan. Siapakah dia?”

“Ah, anak keponakanku,” kata Kim loji. Ketua Lembah-seribu-racun pejamkan mata lalu tertawa dmgin, “Karena menempuh perjanan jauh aku lelah hendak pinjam tempat ini untuk beristirahat.

Kalau kalian ada pekerjaan. silahkan saja!”

Habis berkata ia terus duduk bersandar dinding dan pejamkan mata. Kedua ekor ular itu tetap bergeliatan melilit lengannya.

Kim loji menghampiri kesisi Han Ping lalu bertanya bisik2 kepada orangtua alis panjang, “Lo-cianpwe, kapankah kiranya dia akan tersadar?”

Orang tua alis panjang meraba dada Han Ping, menjawab, “Menilik keadaannya, tak mungkin akan terjadi perobahan lagi pada tubuhnya.

Kapan dia akan tersadar, sukar kukatakan.”

Siangkwan Wan ceng; mendekati Kim loji dan bertanya, “Ketua Lembah-seribu-racun itu termasyhur sekali.

Ilmu Iwekangnya tinggi. Tak mungkin dia letih menempuh perjalanan. Kukira tentu ada sebabnya dia berada disini.”

Kim loii mengiakan, “Aku juga merasa heran…. .”

“Apakah mungkin ada orang yang menyaru sebagai, dirinya?” tanya Siangkwan Wanceng.

“Sudah dua kali aku berjumpa dengan dia krtika di Lembah-seribu-racun, Sudah berpuluh tahun dia tak pernah keluar dari lembahnya. Kalau kali ini dia keluar tentulah ada suatu urusan yang penting sekali…. “

Kim loji berhenti sejenak lalu berkata pula, “Selekas Ping ji siuman, kita segera tinggalkan tempat ini agar jangan medapat kesulitan.”

Memang SiangKwanceng sudah mendengar dari ayahnya sudah pernah mendengar tentang nama ketua Lembah-seribu-racun itu.

Seorang tokoh yang ganas dan kejam sekali.

Mendengar pernyataan Kim loji, Siangkwancengpun mengangguk, “Ya, tetapi entah kapan dia akan sadar diri.”

Tiba2 terdengar suara mendengkur. Rupanya ketua Lembah-seribu-racun itu sudah tidur pulas.

“Dia sudah tidur,” kata orangtua alis panjang, Kim loji gelengkan kepala, “Tampaknya dia seperti lelah sekali….”

Siangkwan Wan-ceng melengking, “Aku tak percaya dia benar2′….”

Kim loji cepat memberi isyarat mencegahnya berkata lebih lanjut. Kemudian ia memandang kearah Han Ping yang masih tidur tenang seperti orang yang tak menderita luka. Diam2 Kim loji menghela napas dan menitikkan airmata.

Airmatanya tepat jatuh dimulut Han Ping.

Tiba2 orangtua alis panjang bertepuk tangan, “Ai, aku lupa menggunakan obat perangsang….”

“Lekas bilang, obat apa itu?”

“Airmata….” baru orangtua alis panjang berkata begitu tiba2 terdengar Han
Ping menghela napas panjang dan menggeliat duduk.

Melihat itu orangtua alis panjang serentak melonjak bangun dan bertepuk tangan tertawa girang, “Manusia racun, manusia racun, ilmu pengobatanku ternyata tepat!”

Dia berteriak makin lama makin keras dan akhirnya menari-nari seperti anak kecil.

“Lo-cianpwe, berhentilah, aku hendak bicara penting,” cepat Siangkwan Wan-ceng meneriakinya.

Suara dengkuran dari hidung ketua Lembah-seribu-racun seperti sebuah musik yang mengiringi tarian orangtua alis panjang.

Bermula amat serasi sekali tetapi lama kelamaan dengkur itu seperti menguasai gerak tarian orangtua alis panjang.

Segera Siangkwan Wan- ceng dan Kim loji merasa bahwa suara dengkuran itu tak wajar.

Keduanyapun merasa seperti Kena pesona dan ingin sekali turut menari. Tetapi setiap kali hendak bergerak menari, mereka berusaha untuk menekan keinginanya.

Siangkwan Wan -ceng mengangkat pedang Pemutus-Asmara dan seketika itu ia rasakan hatinya seperti terbaur oleh hawa pedang sehingga kesadarannya pulih kembali.

Serentak ia berbangkit dan berbisik kepada Kim loji, “Harap lo-cianpwe menjaganya aku hendak membangun kan ketua Lembah-seribu-racun itu….”

Kim loji memperhatikan bahwa cara menari orangtua alis panjang itu seperti tak henti2nya orang bertepuk tangan.

Ketika Siangkwan Wan-ceng berkata kepadanya, iapun hanya mengiakan saja.

Si nona segera menghampiri ketempat ketua Lembah seribu-bunga. Kurang tiga empat langkah dari tempat kakek pendek itu tiba2 ia berhenti.Ular yang melingkar ditubuh ketua Lembah-seribu-racun itu, bergeliatan menjulur sampai setengah meter, mengangakan mulut dengan buas.

Siangkwan Wan-ceng segera putar pedang pusaka. Hawa dingin dari pedang Pemutus-asmara itu membuat ular menyurut kembali.

“Leng lo-cianpwe, bangunlah!” seru si nona. Ketua Lembah-seribu-racun itu merekah senyum menyahut, “Ada apa?”

Waktu berkata, dengkurnya berhenti. Tetapi habis berkata, iapun kembali mendekur lagi.

Siangkwan Wan-ceng marah, “Lo-cianpwe, maukah engkau hentikan dengkuranmu itu?”

Ketua Lembah-seribu-racun tertawa, “Selama hidup aku tak mau diperintah orang.

Kecuali apabila orang itu sanggup memberi imbalan yang menyenangkan hatiku.”

Siangkwan Wan-ceng mencuri kesempatan untuk berpaling. Dilihatnya Kim loji sudah akan gerakkan tangannya untuk menari.

Jelas kalau dia sudah tak kuat menahan daya sakti dari dengkuran ketua Lembah seribu-racun itu.

Sedangkan orangtua alis panjang lebih hebat lagi. Orangtua itu menari dan melonjak lonjak seperti anak kecil.

Kepalanya basah kuyup dengan peluh, rambutnya bertebaran tak keruan.

Tetapi ada suatu hal yang mengejutkan Siang Wan-ceng. Han Ping yang baru sadar dari pingsan itu, juga mengunjuk tanda2 hendak bergerak….

“Katakanlah, apa yang engkau kehendaki?”

Mendengar dengkur ketua Lembah-seribu maka orang tua alis panjang, Kim loji dan Pingpun serempak menari nan menurutkan dengkuran itu.buru2 si nona berseru kepada ketua Lembah seribu racun.

Kakek bertubuh pendek itu membuka mata menatap Siangkwan Wau-ceng, serunya, “Aku tak mau memaksa tetapi kalau engkau rela sendiri, janganlah menyalahkan aku.”

“Maukah engkau hentikan dengkuranmu dan kita bicara dengan tenang?” seru Siangkwan Wan-Ceng.

Siangkwan Wan-ceng melirik pula Dilihatnya Kim loji dan Han Ping sudah mulai menari.

Bahkan kera bulu emas itupun juga ikut menari.

Siangkwan Wan ceng makin gugup, serentak ia berseru, “Tak peduli apa saja, aku akan meluluskan….”

Ketua Lembah-seribu-racun tertawa dingin, ujarnya, “Aku mempunyai seorang putera tetapi ujutnya aneh.

Kalau menurut pandangan umum….”

“Apakah jelek sekali “sehingga malu dilihat orang?” tukas Siangkwan Wan-ceng.

Ketua Lembah-seribu racun batuk2, sahutnya, “Ya, anggaplah begitu! Tetapi dengan mengandalkan namaku, untuk mencarikan sepuluh nona cantik sebagai isterinya, bukanlah hal yang sukar….”

Ia berhenti sejenak untuk mendengkur keras sehingga orang2 yang menari itu tambah mempercepat gerakannya.

Setelah itu baru berkata dingin, “Tetapi akU tak menyukai puteri2 orang biasa. kalau engkau meluluskan untuk menjadi isteri puteraku, bukan saja engkau akan bahagia pun ayahmu tentu bertambah cemerlang namanya.”

Siangkwan Wan-ceng terkesiap, serunya “Lalu apakah syarat yang kedua?”

“Serahkan pedang Pemutus-asmara itu sebagai jaminan, baru kuhentikan dengkurku. Tetapi apakah mereka dapat meninggalkan tempat ini, tergantung dari nasib mereka masing2.”

Siangkwan Wan-ceng merenung sejenak lalu berkata, “Kalau aku meluluskan syaratmu yang pertama untuk menjadi isteri puteramu, apakah engkau tetap hendak menyulitkan mereka?”

Ketua Lembah-seribu-racun tertawa, “Kalau engkau menerima syarat itu, berarti kita sudah menjadi orang sendiri.

Aku sebagai orangtua tentu harus dan wajib melindungi engkau.”

Dalam pada berkata kata itu tampak wajahnya berobah tenang dan ramah.
Sedang matanya memancarkan sinar mengharap.

Serasa dadanya tertimpa pukulan keras, Siangkwan Wan ceng terhuyung dua langkah kebelakang. Diam2 ia berpikir, “Ah, tak kira kalau seorang durjana ganas ternyata begitu sayang sekali kepada puteranya….”

Sambil memberesi rambutnya yang kusut, Siangkwan Wan-ceng bertanya, “Apakah keinginanmu untuk menjodohkan aku dengan puteramu karena engkau melihat aku berwajah cantik?”

“Selain cantikpun cerdik, melebihi dari kedua gadis Lembah Raja-setan itu!”

Siangkwan Wan-ceng tertawa hambar, “Entahlah sampai bagaimana buruknya wajah putramu itu?”

“Hanya pancainderanya yang luar biasa, sedikit menyeramkan orang. Tetapi kaki tangan dan semua anggauta tubuhnya lengkap semua.”

Siangkwan Wan-ceng melekatkan tangan ke dahi dan tertawa keras, “Ah, sejak dahulu kala, seorang jelita itu tentu bernasib malang. Isteri cantik sering mendapat suami jelek.

Ya, baiklah, aku menerima syaratmu!”

“Sungguhkah?” seru ketua Lembah-seribu-racun dengan gembira.

“Keluar dari mulutku, tertangkap ditelingamu, masakan masih diragukan?” seru Siangkwan Wan-ceng.

Ketua Lembah-seribu-racun hentikan dengkurnya lalu tertawa terbahak-bahak, “Hendak kuajak engkau menjumpahi si Raja-setan TingKo agar dia melihat bahwa aku berhasil mendapatkan menantu yang melebihi kecantikan kedua puterinya . “

Tiba2 terdengar Kim loji berseru, “Locianpwe, engkau sudah mandi keringat, harap berhenti dan beristirahat!”

Siangkwan Wan-ceng cepat berseru kepada ketua Lembah-seribu-racun, “lekas hentikan kalau terus menerus menari, dia tentu akan mati kehabisan tenaga!”.

Tampak Han Ping menegakkan kepala seperti mengenangkan suatu peristiwa lampau yang penting.

Mendengar teriakan si nona ia gelagapan terus menyambar tubuh orangtua alis panjang itu.

Walaupun belum lama siuman tetapi tenaganya masih utuh maka gerakannyapun cepat sekali. Dicekalnya lengan kiri orangtua alis panjang dan berhentilah orangtua itu menari.

Orangtua itu berpaling memandang Han Ping, tiba2 tertawa, “Hai, manusia beracun, manusia beracun….

“Manusia beracun?” Han Ping kerutkan alis. “Ya, aku dan engkau serupa, menjadi manusia beracun. Darah dalam tubuhmu semua mengandung racun.”

Han Ping tercengang dan lepaskan cekalannya. Sambil mengangkat kedua tangannya orangtua alis panjang itu bertepuk tangan sekerasnya dan tertawa keras, “Aha, aku hendak menyiarkan kepada seluruh manusia didunia bahwa sekarang aku bukan satu-satunya manusia beracun!

Habis berkata tiba2 ia terus lari keluar. “Lo cianpwe Siangkwan Wan-ceng menjerit dan menyambarnya tetapi luput.

“Nak, biarlah, dia takkan dapat lari,” kata ketua Lembah seribu racun. Sekali gentakkan tangannya, ular kembang yang melilit lengannya segera meluncur mengejar orangtua alis panjang.

Bluk, karena tak menduga, orangtua alis panjang tergigit kakinya dan rubuh.

Siangkwan Wan-ceng terkejut. Cepat ia melesat keluar. Ia berjongkok hendak memegang tubuh orangtua itu, tiba2 ia menarik kembali dan mundur dua langkah.

Ternyata nona itu terkejut karena ular yang masih melilit dipaha orangtua itu tiba2 menggangkat kepalanya keatas dan melengking keras.

Ketua Lembah-seribu-racun mengankat tangan dan berkemak kemik mengucap bcberapa patah kata.

Ular kembang itu tiba2 merayap kembali kepada tuannya dan hinggap dilengan.

Orangtua alis panjang itu pelahan -lahan duduk dan memandang terlongong-longong kearah ular kembang itu, serunya, “Aku sudah merasa bangga karena dapat menjinakkan kera bulu emas. Tetapi tak kira masih ada lain orang yang mampu menjinakkan ular beracun…. ,”

Rupanya gigitan ular itu telah mengembalikan kesadaran pikirannya.

“Huh, Raja Lembah-seribu-racun masakan hanya bernama kosong saja?” seru ketua Lembah seribu-racun dengan tertawa.

Siangkwan Wan-ceng menghela napas longgar ujarnya, “Paman, mengapa engkau buru2 hendak lari keluar?

Hendak kemanakah tujuanmu?”

Dengan pandangmata hampa, orangtua alis panjang itu menatap Han Ping, katanya, “Dia serupa dengan aku, menjadi seorang manusia beracun….”

Kemudian ia beralih memandang Siangkwan Wan-ceng, katanya, “Sejak saat ini, dia dapat menemani aku makan segala macambarang beracun.

Tiba2 Han Ping maju memberi hormat, “Atas pertolongan lo cianpwe untuk menghidupkan jiwaku, apabila kelak setelah melakukan beberapa tugas aku masih hidup aku tentu akan mencari lo-cianpwe lagi dan akan menemani lo-cianpwe hidup bersama. Takkan lagi aku akan keluar kedalam dunia persilatan.”

Orangtua alis panjang itu berbangkit pelahan-lahan katanya, “Jika omonganmu itu dapat dipercaya, aku rela memberikan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu…. “

Tiba2 kata-katanya terputus oleh suara mengeluduk dari bawah tanah.

“Hai, apakah itu?” teriak Kim loji.

“Sudah tentu dibawah ruangan ini,” seru ketua Lembah-seribu racun tertawa keras.

“Hm, bukan suatu lelucon,” kata orangtua alis panjang dengan nada dingin, “dalam kamar rahasia itu memang terdapat suatu aliran aneh. Tiap satu bulan, tentu akan mengeluarkan getaran.”

“O, suatu aliran?” desah Han Ping.

“Benar, suatu aliran yang kuat sekali. Apabila aliran itu dipindah keatas permukaan bumi, tentu akan merupakan sebuah sungai.

” kata orangtua alis panjang.

“Ada sebuah kuburan tunggal, berapa jauh jaraknya dari sini?” tanya Han Ping gopoh

Orangtua alis panjang merenung sejenak lalu menjawab, “Jika tak teralang gunung ini, jaraknya kurang lebih sepuluh li.”

Tiba2 ketua Lembah-seribu-racun berseru kepada Siangkwan Wan-ceng, “Nak, lekaslah engkau kemari, aku hendak memberitahu sebuah urusan penting kepadamu.”

Siangkwan Wan-ceng dan Han Ping serempak berpaling memandang ketua Lembah-seribu-racun.

Siangkwan Wan ceng tersenyum, “Apakah memanggil aku?”

“Ya, sudah tentu engkau…. kata ketua Lembah-seribu-racun dan ketika nona
itu datang, ia pun membisikinya, “Nak tahukah engkau sebabnya mengapa aku menuju ketempat yang sesunyi ini?”

“Entah.”

Sambil memandang kearah Kim loji dan Han Ping yang berada diluar ruangan, ketua Lembah -seribu-racun gunakan ilmu menyusup suara kepada si nona.”Saat ini seluruh golongan kaum persilatan sedang berkumpul di makam tunggal itu untuk mencari rahasianya. Akupun mengetahui bahwa dirumah ini terdapat suatu aliran rahasia yang menjurus ke makam itu. Apabila bisa masuk ke makam itu dengan menggunakan aliran dibawah ruang ini, tentulah orang2 persilatan itu takkan mmengetahui Begitu pula tentu tak usah melalui berbagai alat rahasia yang terdapat dalam makam itu….”

Berhenti sejenak ketua Lembah-seribu-racun melanjutkan pula: Tetapi hal itu amat berbahaya.

Oleh karena engkau sudah meluluskan untuk menjadi isteri puteraku maka mulai saat ini engkau sudah menjadi orang Lembah-seribu-racun. Aku wajib melindungimu. Lembah-seribu-racun dan marga Siangkwan, harus bekerja-sama untuk menghadapi orang luar….”

Karena menggunakan ilmu menyusup, suara Coan-im-jip-bi, maka lain orang tak dapat mendengar. Siangkwan Wan-ceng berdiri diam, mendengarkan dengan penuh perhatian.

Rupanya Kim loji melihat gerak gerik ketua Lembah-seribu-racun itu tak wajar maka cepat2 ia mengajak Han Ping keluar.

Tiga tombak jauhnya, Kim loji berhenti dan berbisik kepada Han Ping, “Ping-ji, apakah tenagamu tak kurang suatu apa?”

“Semangatku penuh, ilmu kepaidaiankupun sudah beberapa bagian pulih,” kata Han Ping.

“Ketua Lembah seribu-racun itu adalah tokoh yang paling ganas dan licik. Selain kepandaiannya tinggi, pun paham menggunakan ular beracun, Dia bicara dengan nona Siangkwan itu, tentu bukan mengenai urusan yang baik Sekalipun kepandaianmu sudah pulih, engkau masih belum dapat menandinginya. Tempat ini kurang baik, mari kita lekas2 pergi agar terhindar dari kesulitan….”

Han Ping gelengkan kepala, “Apakah paman tak mendengar keterangan orangtua alis panjang tadi?

Walaupun aku masih hidup tetapi aku kini menjadi seorang manusia beracun. Seluruh tubuhku beracun!”

“Ah, omong kosong!” tukas Kim loji,” orang yang hidup masakan tubuhnya mengandung racun.

Tak ada manusia begitu dalam dunia….”

Han Ping tiba2 berlutut dan memberi hormat “Paman, terimalah hormat Han Ping!”

Kim loji tertegun, “Apakah maksudmu?”

Han Ping bangkit tertawa, “Dihadapan paman, sesungguhnya aku tak berani mengatakan.

Tetapi karena keadaan sekarang sudah lain, terpaksa aku harus mengatakan “ “Katakanlah!”

Han Ping menghela napas pelahan, “Maka aku rela menjadi manusia beracun asal masih dapat hidup, adalah karena dendam sakit hati orang tuaku masih belum tertumpas. Setelah hal itu terlaksana, matipun aku rela….”

Han Ping tertawa garang, katanya pula, “Bermula aku ingin memperdalam ilmusilat sampai beberapa tahun lagi sehingga tujuan untuk membalas sakit hati itu makin mudah. Tetapi keadaan sekarang memaksa aku harus merobah rencana.”

Kim loji menghela napas, “Lalu bagaimanakah rencanamu? “

“Sekalipun lo cianpwe itu sudah menyembuhkan lukaku tetapi kini aku menjadi seorang manusia beracun.

Kemanapun aku pergi, mungkin akan memberi bencana kepada orang. Aku tak mengerti ilmu pengobatan, apabila obat dalam tubuhku itu hilang dayanya, setiap waktu aku tentu mati.

Oleh karena itu aku harus menggunakan waktu sebaik baiknya umuk melaksanakan pembalasan itu secepat mungkin….”

Kata-katanya penuh dengan keyakinan dan kebulatan tekad.

Berkata Kim loji, “Kecuali berilmu sakti, Ih Thian-heng juga seorang yang licin sekali. Melakukan pembalasan, memang mudah diucapkan tetapi mungkin harus menghadapi banyak kesulitan.”

Han Ping tertawa hambar, “Ucapan paman memang benar, tetapi ibarat anakpanah sudah dipasang pada tali busur, terpaksa harus dibidikkan juga!”

Rupanya Kim loji masih membekas sekali rasa gentarnya terhadap Ih Ihian-heng.

Setelah termenung sejenak ia berkata, “Aku mengagumi keberanian dan tekadmu tetapi hendak engkau bertindak menurut gelagat. Dia 1cm seperti belut. Kecuah memang hendak meigunjukdiri, apabila engkau hendak menearinya, bukailah suatu hal yang mudah.”

Han Ping tersenyum, “Soal itu aku sudah memikirkannya….” tiba2 ia berbisik,
“tadi ketua Lembah seribu-racun samar2 sudah mengatakan maksud kedatangannya kemari.

Dan menilik keterangan orangtua alis panjang itu. Aliran raha-Sja dalam kamar ini, kebanyakan tentulah arus air yang terdapat dibawah makam tua itu.”

Kim loji mengangguk, “Dugaanmu tepat. Hanya saja jelas kalau aliran air itu deras sekali arusnya.

Kiranya sukar bagi seorang yang mahir berenang untuk melintasinya.

“Memang begitu,” sahut Han Ping, “tetapi karena ketua Lembah-seribu racun itu sudah berani datang kemari tentulah

dia sudah mempunyai rencana. Mendengar berita tentang penyelundupan melalui jalan dibawah tanah itu, tentulah Ih Thian-heng tak rela kalau pusaka dalam makam itu akan jatuh ketangan orang. Dia tentu akan nekad masuk.

Demikian pula dengan dara baju ungu dari perguruan Lam-hay-bun itupun tentu juga tak mau ketinggalan. Aku akan berusaha untuk ikut menyelundup dari aliran air dibawah tanah itu.

Sudah tentu aku akan bertindak menurut gelagat. Bila Tuhan mengabulkan, tentulah aku akan berhasil menemukan musuh

itu untuk mengambil batang kepalanya guna kusembahyangkan dimakam orangtuaku. Sekurang kurangnya aku akan berusaha untuk menggerakkan alat2 rahasia dalam makam itu untuk sama2 mati dengan Ih Thian-heug….„

“Baik,” kata Kim loji. “aku akan ikut engkau masuk kedalam makam itu. Mungkin aku dapat membantumu….”

“Telah kukatakan semua isi hatiku dan rencanku kepada paman.” kata Han Ping gelengkan kepala,”

tetapi aku hendak minta agar paman su di meluluskan.”

Kim loji tersanyum, “Apakah engkau suruh aku meluluskan soal diriku….”

“Paman sudah menderita cacad tubuh,” tukas Han Ping, “apabila paman ikut masuk kedalam makam, belum tentu dapat memberi bantuan yang berarti kepadaku. Peristiwa2 yang kualami dalam beberapa waktu terakhir, telah membuat pikiranku menjadi makin masak:….”

Kim loji menghela napas, “Nak, engkau memang tampak besar sekali kedewasaanmu….”

Han Ping tertawa, “Umur dan penga laman datang dengan serempak sehingga aku merasa sudah jauh lebih tua.

Kurasa aku sudah hampir nendekati hari kematian sehingga pikiranku makin mantap

“Hai. apakah engkau mengalami suatu perobahan dalam lahir dan batinmu?” Kim loji berseru kaget “Tidak!”

“Lalu mengapa engkau mempunyai perasaan begitu?”

“Saat ini kurasakan semangat dan tenagaku semangat penuh demikian pula semangatku bertempur menyala -nyala. Dalam keadaan dan tempat dimana saja, aku mempunyai keyakinan tentu menang.”

“O, orangtua alis panjang itu mengatakan bahwa setelah makan obatnya, engkau tentu akan merangsang keberaniaumu.

Rupanya memang benar,” kata Kim loji. Han Ping mengangguk, “Mungkin benar begitu.

Aku merasa belum pernah memiliki semangat yang menyala nyala seperti saat ini.”

“Ji siangkong….” tiba2 terdengar Siangkwan Wan ceng berseru lembut.

Han Ping berpaling. Dilihatnya nona itu tersenyum. Tetapi wajahnya tampak sayu, senyumnya senyum baru.

Beberapa hari bersama-sama dengan nona itu dan telah banyak mendapat pertolongannya, mau tak mau Han Ping merasa iba hati.

Ia menghela napas, “Ada urusan apa? ia menghampiri.

“Jangan kemari tiba2 Siangkwan Wan-ceng berseru pelahan lalu hendak maju menyongsong.

Han Ping mempunyai kesan yang mendalam terhadap nona itu. la berhenti dan menatap nona yang tengah menghampirinya itu.

Tiba2 ia terkejut ketika tahu2 nona itu merebahkan kepalanya kedadanya.

“Aku hendak memberitahu kepadamu sebuah hal,” kata Siangkwan Wan-ceng dengan rawan.

“Silahkan,” kata Han Ping.”Tampaknya saat ini engkau jauh lebih dewasa dari beberapa hari,” kata Siangkwan Wan-ceng.

“Derita perebutan jiwa dari tangan Elmaut, menyebabkan orang makin masak pikirannya. Banyak sekali kesalahan2 yang kusadari,” kata Han Ping.

Siangkwan Wan-ceng tersenyum rawan lalu berkata dengan penuh nada haru, “Saat ini aku sudah bukan lagi seorang gadis yang bebas….”

Han Ping terkesiap, “Apakah engkau sudah mengikat janji perkawinan dengan orang ia tertawa nyaring dan berseru pula, “apabila aku masih dapat hidup samperti hari itu, bagaimanapun jauh dan sukarnya perjalanan, aku pasti akan datang untuk menghaturkan selamat kepadamu “

“Mungkin sebelum saat itu tiba, aku sudah menjadi badan halus” Han Ping tertawa menghiburnya, “Ah, nona terlalu ketakutan sendiri.”

Tiba2 Siangkwan Wan-ceng menegakkan tubuh dan berkata dengan nada bersungguh, “Sudah, jangan membicarakan soal itu Saat ini masih ada suatu soal yang hendak kuminta engkau memberi keputusan.”

“Apa?” tanya Han Ping.

“Tahukah engkau mengapa sebabnya ketua Lembah seribu-racun itu datang kemari?”

“Apakah bukan karena hendak menyelundup kedalam makam tua itu?”‘

Siangkwan Wan ceng mengangguk, “Benar, dibawah kamar ini terdapat aliran air yang dapat menembus kedalam makam itu….”

Ia cepat mengendapkan suara setengah berbisik, “entah bagaimana dia dapat mengetahui hal itu, dan diapun sudah mempunyai rencana untuk melintasi arus dibawah tanah itu….tiba2 ia hentikan kata katanya.

Sesungguhnya ingin sekali Han Ping hendak bertanya bagaimana rencana ketua Lembah-seribu-racun untuk melintasi arus dibawah

tanah itu. Tetapi ia sungkan maka hanya tersenyum saja.

Menatap Han Ping dengan pandang penuh arti berkatalah Siangkwan Wan-ceng pula, “Sebenarnya aku juga ingin melihat-lihat keadaan dalam makam tua

itu tetapi ketua Lembah-seribu-racun tak mengijinkan. Katanya makam tua itu penuh alat2

perkakas rahasia, berbahaya sekali . .”

“Apakah hubungan antara Lembah-seribu-racun dengan marga Siangkwan itu amat erat sekali?” tanya Han Ping.

Siangkan Wan-ceng gelengkan kepala.

“Kalau begitu mengapa ketua Lembah-seri-beracun begitu memperhatikan sekali kepadamu?” tanya Han Ping pula.

Memang pertanyaan itulah yang dinantikan si nona akan keluar dari mulut Han Ping.

Dengan tersenyum segera ia menjawab, “Karena aku adalah calon menantunya….!”

Nona itu mempunyai rencana tertentu maka tanpa malu2 ia mengatakan hal itu kepada Han Ping.

Entah bagaimana ketika mendengar keterangan itu hati Han Ping serasa seperti diguyur es.

Wajahnya tampak menampilkan kerawanan. Segera ia palingkan muka dan berkata, “Lembah-seribu -racun dan marga Siangkwan sama2 ternama, Perkawinan itu memang tepat sekali….”

Setelah mengucap begitu, Han Pingpun merasa tenang kembali.

“Nak engkau harus tinggalkan tempat ini, “tiba2 terdengar nada suara yang ramah dan pada lain saat ketua Lembah-seribu-racunpun sudah berada disamping kedua muda mudi itu. Tubuh ketua. Lembah-seribu-racun itu membaurkan bau anyir. Buru2 dia gentarkan lengannya dan kedua eKor ular yang melilit pada lengannya itupun segera menyusup kepunggungnya. Rupanya ia kuatir akan mengejutkan calon menantunya.

“Kudengar dalam makam tua itu terdapat harta pusaka tak ternilai jumlahnya, Sesungguhnya ingin aku kesana untuk menambah pengalaman,” kata Siangkwa n Wan-ceng.

Ketua Lembah seribu-racun gelengkan kepala, “Makam tua itu merupakan suatu rahasia yang telah tersiar hampir seratus tahun dalam dunia persilatan. Tetapi apakah benar dalam makam itu mengandung harta karun, masih sukar ditentukan. Banyak sekali tokoh2 persilatan yang telah berusaha untuk masuk kedalam makam kuno itu….”

“Dalam makam kuno itu….” tiba2 Han Ping menyeletuk tetapi secepat itu pula
ia diam lagi.

“Hmm, dalam makam bagaimana?” ketua Lembah-seribu-racun curahkan pandang mata kepada Han Ping.

Han Ping yang tak biasa bohong, saat itu terpaksa menyahut, “Kalau dalam dunia persilatan memang tersiar berita semacam itu rasanya tentu bukan isapan jempol…. .”

“Hm, ocehan tak berguna,” dengus ketua Lembah-seribu-racun.

Siangkwan Wan-ceng tahu perangai Han Ping yang keras demikian pula ketua Lembah-seribu-racun yang aneh.

Ia kuatir kedua orang itu akan bentrok maka cepat2 ia menyeletuk, “Memang sudah lama kudengar tentang rahasia makam kuno itu dan ingin juga aku masuk kesitu. Kalau disuruh pulang kemanakah aku harus pulang kalau tidak kerumah’

Bukankah dalam Lembah-seribu-racun aku tak kenal seorangpun kecuali hanya paman seorang?”

Ketua Lembah-seribu-racun tertawa meloroh “Rupanya rumah ini sebelumnya memang sudah sering didatangi oleh tokoh2

persilatan. Buktinya sebelum masuk kesini aku harus berhadapan dengan lima orang tokoh persilatan dulu sebelum mereka berhasil kubunuh. Sekarang diempat penjuru rumah ini telah kutanam duabelas anak buahku yang berkepandaian tinggi.

Tak mudah bagi orang luar hendak masuk kemari.”

Ketua Lembah seribu-lacun merogoh baju dan mengeluarkan sebuah lencana dari tembaga, serunya kepada si nona, “Bawalah lencana ini. Setiap orang Lembah-seribu-racun tentu akan menghormat kepadamu.

Suruh mereka antarkan engkau pulang Lembah-seribu-racun dulu.

Selekas urusan disini selesai aku tentu segera akan pulang dan beramai-ramai akan mengantarkan engkau pulang untuk melangsungkan peernikahan dengan anaku.”

Siangkwan Wan-ceng keliarkan mata, lalu berseru, “Tetapi aku ingin bersama engkau masuk kedalam makam itu.”

Ketua Lembah -seribu-racun yang termasyhur sebagai manusia ganas, saat itu dengan lemah lembut tertawa, “Nak, tiada sesuatu yang berharga dilihat dalam makam itu. Dan lagi disitu penuh dengan alat2 perangkap yang berbahaya.

Lebih baik engkau pulang sajalah.”

Siangkwan Wan-ceng gelengkan kepala dan berkata dengan nada mantap, “Tidak, aku tetap ingin masuk kemakam itu.”

Setelah merenung beberapa saat, akhirnya ketua Lembah-seribu -racun iiu mengalah, “Baiklah, tetapi dikala masuk kedalam makam engkau harus menurut perintahku tak boleh berbuat sekehendak hatimu sendiri.”

Siangkwan Wan-ceng mengangguk. Kemudian berpaling kearah Han Ping, katanya, “Dia bersama locianpwe itu juga hendak masuk kedalam makam, baiklah kita ajak mereka bersama-sama.”

Seketika mata ketua Lembah seribu racun itu memancarkan hawa pembunuhan, serunya, “Arus dibawah tanah itu amat keras dan dahsyat sekali pun gelap gulita Apabila tak mempunyai persiapan, sekalipun jago berenang yang pandai, juga tak nanti mampu melintasinya.”

“Lalu bagaimana?” Siangkwan Wan-ceng kerutkan sepasang alis.

“Ketua Lembah”seribu-racun tertawa, “Nak karena kedua orang itu anak buah Ih Thian -heng, mareka tak ada hubungannya dengan marga Siangkwan. Lebih mereka dilenyapkan daripada kelak akan mendatangkan bahaya….”

Tiba2 terdengar orangtua alis panjang itu tertawa dingin, “Tanpa mendapat ijinku, siapakah yang berani sembarangan membunuh orang, ditempatku ini?”

“Kalau aku hendak membunuh orang, engkau mau apa?” ketua Lembah-seribu-racun tertawa mendengus.

Orangtua alis panjang itupun tertawa gelak2 serunya, “Bagus, bagus….” tetapi
walaupun tertawa, jelas wajahnya menampilkan sinar yang menyeramkan.

Siangkwan Wan-ceng kerutkan dahi lalu tiba2 tampil kemuka ketua Lembah seribu-racun, “Ayah….

“Apa?” ketua Lembah-seribu-racun terbeliak.”Bukankah kita hendak masuk kedalam makam tua itu?” tanya si nona pula.

Ketua Lembah-seribu-racun mengiakan.”Kalau begitu mengapa kita harus lama2 berada disini?”

Ketua Lembah seribu-racun itu tertawa keras, “Benar, benar, perlu apa kita ngotot disini?”

Habis berkata ketua Lembah-seribu-racun itu pun kebutkan lengan baju hendak melangkah keluar.

Sebenarnya Han Ping sudah mendongkol melihat nada dan sikap ketua Lembah seribu-racun.

Tetapi tiba ia tahankan hati dan berkata, “Akupun hendak masuk kedalam makam tua itu. Sekiranya kocu (tuan pemilik lembah) suka bersamaku, sekurang-kurangnya aku tentu dapat membantu.”

Wajah ketua Lembah-seribu racun berobah seketika tetapi sebelum ia berkata, Siangkwan Wan-ceng sudag mendahului, “Yah, aku merasa heran, bagaimana mungkin engkau dapat melintasi arus dibawah tanah yang begitu dahsyat itu?”

Ketua Lembah-seribu-racun berkilar-kilat memandang kearah calon menantunya itu dengan pandang mata tak menentu.

Marah2 sayang. Beberapa saat kemudian ia menengadahkan kepala dan tertawa nyaring, “Anakku yang baik, apakah karena dia ia menunjuk pada Han Ping lalu berkata lagi, “maka engkau minta ayah mengatakan rencana itu?”

Wajah nona itu berhamburan merah warnanya lalu tundukkan kepala dan berkata tersedat-sedat, “Aku…. aku”

Tiba2 ketua Lembah seribu-racun iru tertawa lagi, “Anakku, tak apalah. Karena aku sayang kepadamu, segala apa tak kupedulikan. Hanya Tiba2 wajahnya berobah gelap dan dengan kata2 serius ia melarang, “Untuk hal itu, entah berapa banyak tenaga dan harta yang telah kuhamburkan. Telah kubuat beberapa potong pakaian kulit yang khusus untuk menyeberangi aliran sungai itu. Dengan pakaian itu jangankan hanya sungai yang deras arusnya, sekalipun) air banjir mencurah dari langit, dengan mengenakan pakaian istimewa itu tetap kita dapat bergerak bebas ke-mana-mana….”

“Apakah ayah hanya memiliki sebuah pakaian istimewa itu?” tanya Siangkwan Wan-ceng dengan nada manja.

“Kalau hanya sebuah, bagaimana aku meluluskan engkau hendak ikut serta?” balas bertanya jago tua itu dengan tertawa.

Sejenak melirik kepada Han Ping, Siangkwan Wan ceng berkata pula, “Aliran sungai itu jauh di dalam tanah.

Sekalipun sudah mempunyai perlengkapan baju kulit tetapi bagaimana kita dapat menyusup kebawah tanah “

Tiba2 ketua Lembah-seribu-racun itu memandang kearah orangtua alis panjang lalu berkata dingin, “Sebenarnya kedatanganku kemari perlu hendak memaksamu untuk memberitahukan tentang lubang yang mencapai aliran

dibawah tanah itu. Tetapi karena saat ini hatiku sangat gembira, akupun tak mau membunuh orang.

Kalau engkau mau mengatakan jalan itu, tentu akupun takkan mengganggu jiwamu.” Orang tua alis panjang tertawa panjang.

Rupanya ketua Lembah- seribu-racun tak sabar menunggu. serunya bengis, “Seumur hidup belum pernah aku berlaku begini baik hati. Kalau engkau masih tetap tak mau mengatakan, jangan sesalkan kalau aku terpaksa bertindak ganas!”

Tiba2 orangtua alis panjang itu hentikan tertawa dan berkata dengan nada ramah, “Mudah saja kalau suruh aku membawa kalian masuk kebawah tanah itu. Tetapi lebih dulu kalian harus menunjukkan pakaian kulit itu kepadaku.”

Ketua Lembah-seribu racun merenung sejenak, lalu berkata, “Seumur hidup belum pernah aku berjumpa dengan orang yang berani membantah perkataanku….”

“Tujuan ayah yalah hendak mencari aliran dibawah bumi itu. Kalau dapat memaafkan orang, kita harus memberinya maaf.

Masakan dia akan berani berbuat apa2 kepada ayah kalau ayah memperlihatkan pakaian itu kepadanya?” seru Siangkwan Wan-ceng.

Ketua Lembah seribu-racun memandang calon menantunya, menghela napas, “’Ai, engkau anak ini….”

Ia menyingkap jubahnya dan mengambil sebuah bungkusan kain minyak, lalu berbisik, “Nak, bukalah bungkusan itu agar mereka dapat melihat.”

Siangkwan Wan ceng segera melakukan perintah. Isi bungkusan itu ternyata dua buah pakaian dari kulit berbulu hitam yang lemas.

“Membuat dua buah pakaian dari bulu kera laut itu telah memakan waktu beberapa tahun.

Rahasia makam tua

Wan ceng kerutkan alis lalu pelahan lahan memakai pakaian kulit itu. Ketua lembah seribu racun membantu untuk menutup kancing dan memasangkan leher baju. Dalam sekejab saja sijelita Siangkwan Wan-ceng menjadi seorang mahluk aneh yang berbulu hitam, Dalam pada memperhatikan baju kulit yan lainnya, tak lepaslah pikiran Han Ping dari per golakan batin. Adakah baik kalau ia saat itu segera turun tangan merebutnya?

“Bagus, bagus!” seru orangtua alis panjang seraya tertawa nyaring, “akupun kepingin juga masuk kedalam makam tua itu.

“Hm, apakah engkau ingin pinjam baju kulit yang satu?” ketua Lembah-seribu-racun mendengus.

Orang tua alis panjang tertawa, “omong kosong, aku sudah punya pakaian yang lebih baik dari itu.

Mari, akan kubawa kalian kedalam aliran itu!”

Mendengar itu tergerak hati Han Ping. Ia melangkah maju menghampiri dan berbisik, “Apakah aku boleh ikut dengan kalian?”

Orangtua alis panjang tertawa, “Boleh, boleh! Selain engkau, akupun hendak membawa juga kera piaraanku itu!”

Kim lojipun bergegas menghampiri dam memberi hormat, “Lo-cianpwe, akupun ingin juga masuk kedalam makam itu.”

Sambil ayunkan langkah kemuka, orangtua alis panjang itu berseru, “Boleh, boleh, makin banyak makin baik.

Sambil berkata ia mulai mengemasi beberapa bbat-obatan dalam kamar itu.

Tak berapa lama nampaklah sebuah dmding batu. Menunjuk pada dinding batu itu ia berkata, “Apabila dinding itu dibuka, itulah terowongan air yang akan menuju kebawah bumi.”

Ketua Lembah-seribu-racun maju dan menutuk pelahan-lahan dinding itu.

Terdengar suara mengema dari dinding yang kosong. Ia berpaling arah orangtua alis panjang, “Apakah perlu dengan pukulan untuk membuka dinding ini?”

“Sesungguhnya dulu terdapat sebuah pintu rahasia. Ketika kutempatkan obat-obatanku disini, tiada sengaja pintu itu tertutup hingga….”

“Bagaimana caranya pintu itu menutup?” tanya ketua Lembah-seribu-racun.

“Aku tak ingat lagi!” jawab orangtua alis panjang, “kalau aku dapat memutarnya tentu tak perlu kukatakan kepadamu”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan berkata lagi “Tetapi dibalik dinding batu ini terdapat sebuah terowongan yang menuju kearah aliran dibawah tanah itu. Walaupun pintunya dibuka, tak mungkin air akan melanda kemari.”

Ketua Lembah seribu-racun tertawa menyeringai, “Biarlah kalian saksikan pukulanku yang sekeras baja ini!”

Habis berkata ia mengangkat tangan dan menghantam dinding, duk….

Tampak dinding itu berguguran lubang sampai beberapa jari dalamnya Diam2 Han Ping terkejut, “Hebat benar tenaga pukulannya. Tetapi entah berapakah dalamnya dinding itu. Kalau menggunakan cara memukul itu, entah sampai kapan baru dapat jebol.”

Cepat ia melesat dan berkata kepada jago tua itu, “Lo-cianpwe, harap beristirahat dulu.

Biarlah kugunakan pedang pusaka untuk membobolnya.”

Pedang Pemutus-asmara memang sudah termashur dalam dunia persilatan. Betapapun angkuhnya namun ketua Lembah-seribu-racun itu terpaksa harus mengalah. la segera menyingkir kesamping.

Han Ping melolos pedang Pemutus-asmara-setelah kerahkan tenaga lalu mulai menabas. Ketajaman pedang itu memang tak bernama kosong. Dalam beberapa saat saja, dinding telah bobol dan terbukalah sebuah lubang yang cukup untuk dimasuki orang.

Kim loji yang memperhatikan bagaimana mata ketua Lembah-seribu-racun selalu menatap kepada pedang Pemutus-asmara saja, menghela napas dan beseru, “Ping-ji, hati-hatilah dengan pedang-mu itu!”

Ketua Lembah-seribu-racun sejenak memandang Kim loji lalu berkata kepada Siangkwan Wan -ceng, “Nak, apakah pedang pusaka itu bukan milikmu? Biarlah ayah yang akan merebutnya kembali untukmu!”

Habis berkata ia terus melesat kedekat Han Ping. Tetapi Siangkwan Wan ceng cepat menghadang dan berkata gopoh .

“Pedang itu bukan milikku, harap ayah jangan merebutnya.”

Ketua Lembah-seribu racun tertegun lalu tertawa menyeringai, “Hm, kalau bukan milik kita, akupun takkan mengambil….”

Kemudian ia bertanya kepada orangtua alis panjang apakah lubang dinding itu benar terowongan yang menuju kebawah tanah.

“Apakah engkau takut?” seru orangtua alis panjang lalu mendahului melangkah masuk.

Ketua Lembah -seribu-racun gentakkan lengan, kedua ekor ularnya menjulur dan mendesis untuk menghadang Han Ping dan Kim loji supaya jangan mendahului masuk. Tetapi ketika ia hendak melangkah menyusul orangtua alis panjang, ternyata Siangkwan Wan-ceng sudah mendahului melesat masuk.

Tetapi tokoh Lembah seribu-racun yang tersohor kejam dan ganas iiu, selalu bersikap ramah dan menyayang terhadap

Siangkwan Wan-ceng, “Ih, engkau ini, mengapa begitu terburu-buru?” katanya seraya menyusul.

Han Ping dan Kim lojipun segera ikut masuk, Ternyata terowongan itu memang cukup tinggi untuk berjalan orang.

Dan lebarnya cukup untuk dua orang. Gemuruh air tak sehebat seperti terdengar diatas tadi.

Setelah membiluk beberapa tikungan, suara air makin jelas sehingga menimbulkan rasa gigil dalam hati.

Tiba2 orangtua alis panjang berhenti dan berpaling, “Eh, mengapa bunyi air itu tak seperti biasanya?”

“Apanya yang lain?” tanya Siangkwan Wan-ceng.

“Biasanya suara air bergelora dahsyat tetapi mengapa sekarang hanya mendesir-desir….”

“Benar,” teriak ketua Lembah-seribu-racun, “tentu sudah ada orang yang masuk kedalam makam itu dan membuka pintu air.”

“Karena air mendapat penyaluran maka tak mengalir kebawah sana.”

“Benar,” sahut Han Ping.

Ketua Lembah-seribu-racun berpaling, “Bagaimana engkau tahu?”

Han Ping terkesiap, “Menilik persoalannya, cepatlah kita dapat menduga. Tak perlu harus banyak pikir.”

Ketua Lembah-seribu-racun menyeringai, “Huh, tak kira kalau engkau secerdas itu.”

“Pintu besi disebelah muka itu, bila dibuka sudah merupakan terowongan air,” kata orangtua alis panjang.

Saat itu mereka sudah tiba diujung terakhir dan berhadapan sebuah dinding batu.

Tiba2 ketua Lembah-seribu-racun suruh Singkwau Wan-ceng menyisih karena ia hendak memeriksa dinding itu.

Pada saat ketua Lembah -seribu-racun maju kemuka, Siangkwan Wan-cengpun menyisih kesamping lalu gunakan ilmu menyusup suara berkata kepada Han Ping, “Aku hendak masuk lebih dulu dengan dia. Entah apakah orangtua alis

panjang yang mengatakan mempunydi daya untuk mengatasi aliran air, dapat dipercaya atau tidak.”

“Rasanya memang benar mempunyai cara,” sahut Han Ping dengan gunakan ilmu menyusupsuara juga.

“Baik, aku hendak masuk dulu baru nanti akan kucari akal untuk menyambutmu,” kata si nona.

Berkata Han Ping memberi peringatan kepada si nona agar berhati-hati karena tampak ketua Lem-bah-senbu-racun itu beringas wajahnya.

“Biarlah,” sahut Siangkwan Wan-ceng,” toh aku juga tak dapat hidup lama Soal mati atau hidup tak kuhiraukan lagi.”

“Nak, kemarilah engkau. Air begini dahsyat arusnya, baiklah engkau jangan ikut menyebrang saja!”

tiba2 terdengar ketua Lembah-seribu-racun berseru kepada Siangkwan Wanceng.

Siangkwan Wan ceng cepat menghampiri. Han Ping dan Kim lojipun segera mengikuti.

Ternyata pintu besi pada dinding itu telah terbuka dan tampaklah air mendampar datang.

Tetapi rupanya orang yang membuat terowongan itu telah mengetahui lebih dulu akan hal itu.

Maka dikedua tepi pintu besi, dipasang dua buah pintu air. sehingga arus tak mungkin menerobos keluar dari dinding.

Karena lahir didaerah Sepak yang jarang terdapat sungai, maka Siangkwan Wan cengpun tak pandai berenang.

Ia terkejut melihat kedahsyatan arus air itu.

“Kalau aku mengikuti ayah dibelakang, tentu takkan terjadi suatu apa. Aku tak takut yah, sahutnya.

Ketua Lembah-seribu-racun menghela napas, “Ah, sungguh seorang anak yang keras kepala.

Sedang aku sendiri saja merasa ngeri mengapa engkau tak takut?”

“Ai, kecuali ayah tak jadi, akupun juga tak jadi….” seru Siankwan Wan-ceng
dengan nyaring.

Ketua Lembah-seribu-racun tersenyum, “Apakah ucapanmu itu engkau perdengarkan untukku?

“ia gentarkan kedua lengannya dan kedua ekor ular segera meluncur kebawah kakinya.

“Ai, sudah tentu kuperdengarkan untuk ayah. Kalau tak percaya marilah kita kembali saja,” seru Siangkwan Wan-ceng.

“Ya, ya, anggap saja kalau engkau bicara kepadaku,” kata ketua Lembah-seribu racun seraya mulai mengenakan pakaian kulit.

Iapun melepas sehelai sabuk sutera dan diberikan kepada Siangkwan Wan ceng, “Nak. ikatlah tubuhmu dengan ujung sabuk ini, habis memberikan ujung sabuk. ia sendiripun lalu mengikat ujung lain pada pinggangnya.

Setelah mengikatkan sabuk pada tubuhnya. Siangkwan Wan-ceng lalu berteriak, “Yah, mari kita jalan.”

Walaupun nadanya keras tetapi suaranya mengandung getar perasaan yang rawan.

“Jangan menutup pintu besi ini dulu. Apabila dalam sehari semalam kami tak kembali, bolehlah engkau tutup….” kata ketua Lembah-seribu-racun kepada orangtua alis panjang.

“Tetapi andaikata kalian segera akan menutup pintu itu, akupun tak takut,” ketua Lembah-seri-bu-racun menambahkan kata2 lagi.

Dengan mencekal kedua ekor ularnya lalu pelahan-lahan menuju kearah aliran air.

Siangkwan Wan-ceng sejenak berpaling kearah Han Ping lalu cepat melangkah maju mendahului dimuka ketua Lembah-seribu racun.

Han Pingpun menyelinap dari samping orangtua alis panjang untuk menyusul dibelakang ketua Lembah-seribu-racun.

Lebih kurang enam langkah, tibalah mereka di tepi alian sungai itu. Serangkum hawa dingin, menghembus Siangkwan Wan-ceng yang berjalan paling muka mau tak mau menggigil.

Cepat ia berpaling kearah ketua Lembah-seribu-racun, “Yah….”

Tetapi serta melihat Han Ping berada dibelakang ketua Lembah-seribu-racun, entah bagaimana, ia lupa untuk bicara lebih lanjut.

“Nak, cobalah engkau pikir lagi mumpung belum terlambat. Engkau mau ikut atau tidak sahut ketua Lembah seribu racun.

Sebagai jawaban nona itu terus loncat kedalam air.

“Hm, benar2 anak perempuan yang keras kepala,” ketua Lembah seriDu-racun menghela napas lalu loncat juga kedalam air.

Arus sungai itu ….memang dasyat sekali. Kedua orang itu segera tenggelam
kedasar sungai dan tak kelihatan lagi.

Sambil memangdang kepermukaan sungai, Han Ping berkata seorang diri, “Hm, arus. yang hebat.”

Orangtua alis panjang itu tertawa gelak2, “Ha, ha, kurasa kedua orang itu tentu mati.”

“Mereka memakai pakaian kulit, mana bisa mati tenggelam?” bantah Han Ping.

“Selain arusnya hebat, pun arus itu berputar-putar seperti roda terus masuk kedalam bumi Kalau tidak makan tiga hari tiga malam, orang masih kuat bertahan. Tetapi kalau tak bernapas beberapa waktu saja, mana orang tahan?”

Seorang yang menyakinkan ilmu tenaga -dalam dapat menghentikan pernapasannya sampai sejam dua jam,” kata Han Ping pula.

Orangtua alis panjang tertegun, serunya, “Oh, hal itu aku tak tahu.”

“Menilik keadaan arus, kemungkinan pintu air dalam makam itu tentu sudah dibuka orang,” tiba2 Kim loji menyelutuk, “kalau mau pergi, kita harus lekas bertindak.”

“Benar….” Han Ping berpaling kepada orangtua alis panjang, katanya, “lo-
cianpwe mengatakan mempunyai cara untuk melintasi aliran air itu, lalu bagaimanakah caranya?”

Orangtua alis panjang tersenyum, “Jauh lebih aman dari cara mereka. Kalian tunggu sebentar!”ia berputar diri dan lari.

“Hayo, kita kejar, jangan sampai dia menutup pintu besi!” seru Kim loji.

“Tak perlu,” Han Ping gelengkan kepala, “rasanya dia bukan orang yang berbabaya.”

Tak berapa lama, orangtua alis panjang itupun kembali bersama seekor kera bulu emas.

“Apakah engkau hendak membawanya juga?” tanya Kim loji.

“Apa yang kukatakan tentu kulakukan. Sudah berpuluh tahun dia ikut padaku.
Kali ini, kita entah hidup atau mati.

Biarlah kubawanya sebagai kawan,” jawab orangtua alis panjang.

“Bukankah sudah ada kita berdua sebagai kawan? Apakah masih kurang cukup?”

Orangtua alis panjang tertawa, “Kera ini sejak kecil sudah ikut aku. Dia sudah seolah olah menjadi kaki tanganku, sewaktu-waktu dapat menolong aku.”

Kim loji tak mau berbantah lagi. Ia mendesak supaya segera orangtua alis panjang itu mengatakan caranya melintasi arus sungai.

Orangtua itu memandang kesebelah kiri lalu tersenyum, “Ketua Lembah seribu racun itu, congkak bukan main.

Dia tak mau berpikir, kalau aliran sungai disini bisa tembus kedalam makam, orang yang mendirikan makam itu tentu akan meningalkan sesuatu barang untuk melintasi aliran air. .

Kim loji memandang kian kemari tetapi tak melihat suatu apa. Ia kerutkan kening.

Orangtua alis panjang tertawa gelak2, “Kalau alat yang ditinggalkan disini oleh pendiri makam itu mudah dilahat, tentu ketua Lembah-seribu-racun sudah dapat menemukan.”

Ia berputar diri melangkah dua tindak, menarik dinding batu. Bum…. terdengar
suara gemuruh dan dinding itu tiba2 terbuka sebuah lubang besar.

Han Ping cepat menghampiri. Dilihatnya didalam lubang itu seperti terdapat sebuah benda yang bentuknya mirip dengan peti mati.

Orangtua alis panjang mencekal benda mirip peti mati itu lalu ditariknya keluar.

Terdengar pula suara gemuruh ketika benda menyerupai peti mati itu berderak derak keluar.

Ternyata benda itu memang kepalanya mirip peti mati tetapi ekornya ternyata serupa dengan buritan perahu.

Dibawahnya terdapat enam buah roda kayu masing sebesar setengah meter.
Entah terbuat dari apakah benda yang mirip perahu itu.

Walaupun sudah berselang sekian puluh tahun tetapi tampaknya masih tetap baru.

Sambil membuka penutup perahu, orangtua alis panjang itu tertawa, “Hayo, kita naik kedalam!”

Karena melihat kedalam perahu itu sudah tersedia tempat duduk, Kim lojipun segera melangkah masuk.

Demikian pula Han Ping. Dikanan kire perahu itu dilengkapi dengan dua buah pintu kaca sehingga air tak dapat masuk tetapi orang dapat melihat keluar.

Diam2 Han Ping menimang, “Hm, rupanya perahu ini memang alat untuk melintasi aliran sunigai.

Pendiri makam tua itu sungguh seorang ajaib. Dengan susah payah ia membangun makam tetapi rahasia makam itu ia lukis pada kotak pedang Pemutus-asmara. Pula telah menyediakan peti kayu untuk melintasi arus sungai.

Ketiga peninggalannya itu benar membingungkan orang, seakan-akan ia hendak membuka kesempatan supaya orang masuk kedalam makam itu ….”

Sambil menggendong kera peliharaannya, orang tua alis panjang juga masuk dan duduk lalu menutup penutupuya.

Saat itu gelap peti yang menyerupai perahu aneh itu.

“Lo cianpwe, kalau kita masuk semua, lalu cara bagaimana perahu itu akan meluncur kedalam air?” tanya Han Ping.

“Sudah tentu ada caranya,” kata orangtua alis panjang lalu tiba2 ulurkan tangan, menggerakgerakkan kepala perahu.

Hai…. peti yang menyerupai perahu itu tiba2 berjalan. Han Ping, Kim loji dan
orangtua alis panjang itu bergoncang-goncang tubuhnya karena dihempas oleh perahu yang berderak- derak keras.

Tak berapa lama, goncangan itupun lenyap. Ketika Han Ping membuka jendela kaca dan memandang keluar ternyata perahu itu sudah meluncur didalam air dan berjalan pesat.

Tiba2 mereka melihat dua sosok benda hitam berputar-putar dalam kisaran air.

Dengan matanya yang amat tajam dapatlah Han Ping melihat kedua benda itu terbungkus dalam pakaian kulit binatang.

Tetapi ia tak dapat membedakan mana ketua Lembah-seribu-racun, mana Siangkwan Wan-ceng.

Tampak salah seorang berusaha untuk menyambar peti perahu. Tetapi karena arus terlampau deras dan peti perahu itu tak terdapat bagian yang dapat dibuat pegangan, maka perahupun meluncur terus, meninggalkan kedua orang itu dibelakang.

Han Ping memekik keras. “Ping ji, kenapa engkau?” tegur Kim loji.

“Mereka tentu mati!” , Kim loji tertawa gembira, “Apa ketua Lembah-seribu-racun itu yang engkau maksudkan?

Kalau dia mati, bukankah kita berkurang seorang musuh yang tangguh Mengapa engkau merasa sayang?”

“Tetapi nona Siangkwan….” ia tak melanjutkan kata2nya tetapi terus berseru
sekeras-kerasnya kepada orangtua alis panjang, ‘Lo-cianpwe, apakah penutup peti ini dapat dibuka, aku hendak keluar!”

“Aku masih ingin hidup sampai dapat melihat keadaan makam tua itu. Penutup dibuka, kita pasti mati semua!”

sahut orangtua alis panjang dengan nada dingin.

Han Ping menghela napas, “Ah lo cianpwe benar….”ia tundukkan kepala
berdiam diri.

“Ping-ji,” kata Kim loji pelahan, “nona Siangkwan walaupun melepas budi besar kepadamu, tetapi dia sudah menjadi menantu dari ketua Lembah-seribu-racun, engkau….”

“Paman!” tukas Han Ping agak keras, “janganlah memandang rendah pribadiku.

Seorang lelaki harus membalas setiap budi yang diterimanya. Aku tak menganggap apa2 kepadanya kecuali sebagai seorang yang pernah melepas budi kepadaku. Dan budi itu harus kubalas!”

“Hai, harap kalian jangan ribut2 saja!” tiba2 orangtua alis panjang berteriak,” kita segera akan mencapai makam itu!”

Dan serempak dengan kata-katanya itu tiba2 perahu berguncang keras lalu berhenti.

“Hai, mengapa berhenti? Apakah rusak? seru Kim loji.

“Mungkin sudah sampai dimakam itu,” sahut orangtua alis panjang.

Melihat bagaimana dahsyat arus aliran air, Han Ping kerutkan alis, menggumam, “Ah, mungkin perahu memang rusak….”

Belum habis berkata tiba2 perahu itu bergoncang keras dan meluncur kebawah.

Bum….! bergoncang keras lagi lalu perahupun mulai meluncur kemuka pula.
Kali ini agak lambat jalannya.

Han Ping terkejut. Ia duga perahu itu rusak atau aliran air yang berobah makin rendah.

“Lo-cianpwe, apakah engkau dapat menghentikan perahu!” serunya kepada oiangtua alis panjang.

Orang tua itu mengiakan lalu me mutar alat penggerak roda perahu. Perahu berputar-putar keras, sepeminum teh lamanya baru berhenti.

Dari kaca jendela dapatlah Han Ping melihat bahwa saat itu perahu berhenti diantara dua buah dinding batu.

Air disitupun kecil alirannya. Ketika memandang dinding itu dengan seksama, berserulah Han Ping kaget “Hai, apakah benar2 sudah tiba di makam itu?”

“Kita buka saja penutup perahu ini!” seru Kim loji.

Tiba2 Han Ping tertawa keras, “Benar sudah tiba di makam itu. Tetapi entah siapakah yang menutup pintu air?

Kalau terlambat sedikit, kita tentu sukar masuk kemari.”

Memang air yang menggenangi tempat itu cepat sekali menyusut. Tak berapa lama sudah mencapai dasar perahu.

Sekali mendorong keras, orangtua alis panjang membuka penutup perahu.
Tetapi aneh sekali. Penutup perahu itu hanya dapat terbuka separoh.

Entah bagaimana seolah -olah seperti tertindih suatu tenaga kuat. Begitu terbuka, penutup perahu itupun menutup kebawah lagi.

Kim loji tergerak hatinya, cepat ia berseru, “Diluar ada orang. Ping ji, bersiaplah menghadapi musuh.

Aku akan membantunya membuka penutup perahu.”

Orangtua alis panjang tertawa nyaring. Ia menepuk bahu kera bulu emas, “Bantulah!”

Kera bulu emas itu segera bantu mendorong penutup perahu. Orangtua alis panjang dan Kim lojipun segera kerahkan tenaga mendorong.

Han Ping berdiri lebih dulu sambil rangkapkan kedua tangan kedada. Memandang kemuka tampak ketua Lembah seribu-racun memanggul Siangkwan Wan-ceng, berdiri kira2 dua tiga meter jauhnya Kedua ekor ularnya tetap melilit ditubuhnya.

Air hanya sampai pada lututnya.

‘ “Dia…. bagaimana?” seru Han Ping cemas.

“Apa pedulimu….sahut ketua Lembah-seribu-racun dengan nada dingin.
Matanya berkilat-kilat memandang orangtua alis panjang, serunya, “Tersedia perahu yang dapat melintasi arus sungai, mengapa engkau tak memberitahu kepadaku?”

Orangtua alis panjang itu menyahut dengan riang gembira? “Siapa suruh engkau tak mendengar kata-kataku….”

Tiba2 terdengar suara orang berseru, mengatakan kalau air sudah surut.

Ketua Lembah-seribu-racun cepat melesat kedalam perahu dan berseru; “Lekas duduk dan tutuplah penutupnya.”

Tetapi orangtua alis panjang hanya mendengus, “Hm, perahu ini adalah milikku.
Aku mau duduk atau berdiri. itu sesuka hatiku.

Mengapa engkau berani memerintah aku, hayo, lekas engkau keluar!”

Seumur hidup belum pernah ketua Lembah -seribu racun dimaki orang seperti itu. Sesaat ia terlongong, serunya, “Apakah engkau memaki aku?”

“Sudah tentu memaki engkau….” tiba2 oTang tua alis panjang itu tertawa
karena geli melihat ketua Lembah-seribu-racun tak tabu kalau dimaki.

“Sst, pelahan saja, ada orang datang,” Kim loji cepat menggamit baju orangtua itu.

Han ping tahu kalau orangtua alis panjang itu tak mengerti ilmusilat, Diam2 ia kerahkan tenaga untuk melindunginya apabila ketua Lembah-seribu racun turun tangan.

Tetapi diluar dugaan, momok ganas seperti ketua Lembah-seribu racun itu, ternyata tak marah karena dimaki orangtua alis panjang. Ia letakkan tubuh Siangkwan Wan-ceng, melolosi pakaian kulit lalu mengurut jalandarahnya.

Setelah nona itu tersadar, baru ia sendiri juga membuka pakaian kulitnya “Kalau tak mencekal perahumu, mungkin aku tak kuat menahan arus. Ya, kali ini kuampuni jiwamu,” serunya kepada orangtua alis panjang.

Siangkwan Wan-ceng memandang kepada Han Ping dan berseru, “Apakah aku berada dalam mimpi? Dimanakah kita sekarang?”

Han Ping tertawa, “Kita masih hidup dan saat ini berada didalam makam tua itu.”

Sambil memberesi rambutnya yang kusut, nona itu mengatakan kalau ia pingsan dilanda arus air yang hebat.

“Semoga kita terkurung dalam makam ini sampai satu bulan baru dapat keluar lagi,” ia menghela napas.

Han Ping tak tahu kalau ucapan nona itu mengandung maksud yang dalam, yalah secara halus hendak memberitahukan bahwa dalam satu bulan itu ia tentu sudah mati. Han Ping menduga mungkin pikiran nona itu tidak terang akibat pingsan maka dengan sekenanya saja ia menyahut, “Mudah-mudahan kita dapat melaksanakan cita2 hati kita dan lekas2 tinggalkan tempat ini.”

Ketua Lembah-seribu-racun mendengus, “Anak, engkau sudah ada yang punya. Aku dan ayahmu adalah tokoh2 yang ternama. Kalau bicara supaya yang lurus, jangan omong sembarangan.”

Pelahan lahan Siangkwan Wan ceng berbangkit lalu berpaling menatap calon mertuanya, “Sejak kecil aku memang biasa begitu.

Ayahbundaku yang melahirkan aku saja tak dapat mengurusi, masakan engkau hendak meributi aku!”

Ketua Lembah-seribu -racun batuk2 lalu menjawab, “Tetapi sekarang lain keadaannya. Engkau adalah menantu keluarga Leng.”

Tiba2 nona itu tertawa mengikik, “Kalau aku mati?”

“Ucapanku seteguh gunung. Walaupun engkau meninggal tetap akan kubawa jenazahmu ke Lembah-seribu-racun,” sahut jago tua itu.

Siangkwan Wan ceng tertawa rawan, “Tak perlu kuatir! Waktu masih hidup belum tentu dapat masuk kedalam keluarga Leng tetapi kalau mati sudah tentu akan menjadi setan dari keluarga Leng!”

“Nak, apakah engkau menyesal?” berobahlah wajah orang tua Lembah-seribu-racun seketika.

“Tak pernah ada tindakan yang kusesali…. yang sudah kujanjikan, tentu takkan
kuingkari lagi,” sahut si nona.

Orang tua Lembah-seribu-racun tiba2 menghela napas, “Bila Siangkwan Ko dapat mengasuh engkau sampai sekian besar, masakan aku tak dapat? Nak,

asal engkau tak lupa bahwa kehidupanmu sekarang ini sudah menjadi orang keluarga Leng, apapun yang hendak engkau lakukan aku tentu tetap akan melindungi engkau.”

Dua titik airmata meluncur dari mata Siangkwan Wan-ceng, “Mungkin umurku pendek, tak dapat memenuhi kecintaan hati ayah.”

“Hai, siapa itu!” tiba2 terdengar suara bentakan keras.

Ketua Lembah-seribu-racun tertawa dingin, “Hm, orang celaka!”

Bentakan ketua Lembah seribu-racun itu bernada kuat sekali sehingga menimbulkan gelombang kumandang yang bergema lama. Orang yang berseru tadipun serentak diam. Rupanya tak mau mengunjuk diri lagi.

Ketua Lembah seribu-racunpun segera suruh Siangkwan Wan ceng keluar dari tempat persembunyiannya kerena sudah diketahui orang.

Han Ping anggap perkataan itu memang benar. Menilik bahwa pintu air terbuka lalu ditutup lagi, jelas mengunjukkan bahwa didalam makam itu telah didatangi beberapa orang. Demikian iapun keluar dari perahu aneh itu diikuti Kim loji dan orangtua alis panjang.

“Mengapa perlu membawa binatang yang suka meliar? Bagaimana kalau kulenyapkan saja,” seru ketua Lembah-seribu-racun kepada orangtua alis panjang.

“Coba saja kalau engkau hendak mengusiknya,” sahut orangtua alis panjang.

“Hm, aku tak percaya pada segala omong besar….” tiba2 ketua Lembah-seribu-
racun me-nyambar tangan Siangkwan Wan-ceng dibawa mundur sampai dua tombak jauhnya.

Melihat itu Han Ping sudah mempunyai firasat tak baik. Cepat ia berseru meminta Kim loji mundur merapat dinding.

Orangtua alis panjang terlongong heran mengapa orang2 itu berloncatan menyingkir.

Baru ia hendak bertanya tiba2 tampak segumpal sinar api meluncur dan menghantam keatas perahu aneh.

Dar! terdengar letusan dan gumpal sinar itupun meledak menjadi umpalan asap.

“Lo-cianpwe, lekas menyingkirlah!” Han Ping meneriaki orangtua alis panjang.

Rupanya orangtua alis panjang itu menyadari dirinya dalam keadaan bahaya.
Cepat ia menyelinap bersembunyi dibelakang perahu.

Tetapi kera bulu emas itu kalah tajam perasaannya. Melihat tuannya bersembunyi diapun hanya bercuit-cuit aneh.

Cress…. benda berapi yang meluncur, tepat mengenai kera bulu emas itu.
Seketika terbakarlah badan kera itu.

Melihat itu orangtua alispanjang nekad hendak menghampiri tetapi dicegah Han Ping dengan mencekal tangan orangtua itu, serunya, “Lo cianpwe, keramu terkena anakpanah berapi yang terbuat daripada belirang.

Bukan saja sukar dipadamkan pun kita sendiri juga terancam bahaya. Jangan sembarangan bergerak!”

Walaupun melarang siorangtua bergerak, tetapi ia sendiri tak sampai hati melihat kera itu terbakar. Sekali loncat ia melayang ketempat kera dan secepat kilat menampar punggung binatang, lalu menggaet kakinya.

Bluk, kera itupun rubuh. Kemudian dengan cepat ia mengguling-gulingkan kera itu ketanah sehingga api pada badannya padam.

Wut…. kembali terdengar melayangnya benda berapi dari belirang. Untunglah
karena kera itu sudah diguling gulingkan ketanah, benda berapi itu tak dapat mengenainya.

Panah berapi itu menancap kedalam “dinding. Mirip dengan sebatang tombak.

Ujungnya dilekatiselembar panji segi tiga warna hitam. Dari api yang masih menyala tampak juga gambar sulaman pada panji itu berupa tengkorak putih.

Han Ping bergerak cepat. Setelah dapat menghindari panah tombak, ia memondong kera itu dan loncat kebelakang perahu.

Orangtua alis panjang tak putusnya memuji, “Anakmuda, pada masa ini walaupun banyak orang yang meyakinkan ilmu Racun dan obat-obatan beracun, tetapi yang patut mendapat gelar sebagai Manusia Racun, mungkin hanya kita berdua….”

Ia mengeluarkan dua butir pil lalu dimasukkan kemulut kera bulu etmas.
Setelah menelan pil, kera itupun pejamkan mata dan tidur.

“Telah kuberinya minum racun yang paling ganas.” katanya, “karena aku tak mempunyai harapan akan dapat keluar dengan selamat dari makam ini, maka akupun tak rela kalau kera yang telah kupelihara berpuluh tahun ini akan diambil orang.

Dalam tiga hari setelah dia sadar dari tidurnya, dia akan berobah menjadi kera yang luar biasa tenaganya. Mampu untuk merobek-robek harimau. Tokoh persilatan yang sakti, pun tak mudah mengalahkannya. Dia akan merobah liar dan ganas. Sekarang hendak kuajarkan kepadamu cara untak menguasai kera itu.

“Asal engkau menurut ajaranku, kera itu tentu akan mau mengerjakan apa suja yang engkau perintahkan….”

Ia berhenti sejenak menghela napas, lalu melanjutkan pula, “Tak usah engkau merasa kasihan kepadanya. Setelah dalam tiga hari ia mencurahkan seluruh sisa tenaganya, dia tentu akan mati sendiri. Maka selama dia masih hidup, suruhlah dia mengerjakan apa saja yang engkau inginkan.”

Belum Han Ping hendak membuka mulut, orang tua alis panjang itupun berkata lagi, “Saat ini kita berada dalam bahaya, setiap waktu setiap detik jiwa kita terancam, Sekarang lekas engkau dengarkan dan ingat apa yang hendak kuajarkan.”

Han Ping mengiakan. Dan dengan berbisik-bisik orangtua alis panjang itupun segera menurunkan ilmunya untuk menguasai kera.

Samar2 seperti terdengar dua buah jeritan ngeri dan rintihan dari orang yang tengah meregang jiwa.

“Hm, ternyata makam ini memang telah didatangi orang,” pikir Han Ping.

“Eh, apakah engkau sudah ingat apa yang kuajarkan?” tanya orangtua alis panjang.”Sudah.”

“Bagus, dalam sepeminum teh lamanya, kera itu tentu bangun. Engkau boleh mencoba apakah dapat menguasainya atau tidak?” kata orangtua alis panjang.

Tiba2 terdengar suara gadis melengking, “Ji siangkong, harap suka datang kemari, aku hendak bicara kepadamu.

Han Ping terkejut. Jelas didengarnya bahwa yang memanggil itu bukan suara Siangkwan Wan-ceng.

“Siapakah engkau?” serunya bertanya.

“Asal kemari engkau tentu dapat mengetahui sendiri. Apakah engkau takut?”

Han Ping cepat berbangkit dan melangkah kearah suara itu. Tiba2 Kim loji memberi peringatan supaya Han Ping jangan bertindak gegabah.

“Ping-ji, waktu engkau bertempur dihalaman makam, kulihat ilmu kepandaianmu bertambah maju pesat sekali, Hal itu tentu makin menambah nafsu musuh untuk membunuh engkau,” kata Kim loji.

“Ji siangkong, Ji siangkong….” kembalisuara itu terdengar pula. Nadanya
penuh dengan rintih kesakitan dan kasihan.

“Harap paman jangan kuatir,” kata Han Ping dan iapun terus menghampiri ketempat suara itu….
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar