Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 11

Jilid 11

“AKU tidak mau ketemukan dia,” dia nyatakan. “Umpama dia memikir untuk adu kepandaian dengan aku, itu ada lain. Kat Susiok, kalau sebentar dia datang, tolong kau tanyakan dia perihal asal-usulnya Lie Hong Kiat dan tanya juga kemana Hong Kiat sudah lari. Tadi dia lepaskan Lie Hong Kiat, aku percaya mereka berdua kenal satu pada lain, atau mungkin mereka ada suheng dan sutee. Kenapa mereka justru bernama Kiat pada akhir namanya ‘!”

“Itulah bukan, nona!“ Cie Kiang tertawa. Mereka tidak kenal satu pada lain! Kalan tidak, kenapa Kong Kiat bantu kita?”

Hal 12 dan 13 hilang ...

... dia. Barangkali dia ada satu siucu jebol. Dia mengaku sebagai muridnya Siok Tiong Liong, benar tidaknya sukar dipastikan, tetapi ilmu silat pedangnya benar tidak dapat dicela. Selama satu-dua tahun ini, ia sudah lakukan sejumlah perbuatan-perbuatan mulia di Kanglam,  karena itu tadi aku melainkan bikin ia menyerah, aku tidak ganggu jiwanya. Ini ada untuk pertama kali, umpama kelak ia kebentrok pula padaku, tidak nanti aku suka mengasi ampun pula.”

Cie Kiang manggut-manggut. “Saudara Kie,” kata ia kemudian, dengan sengit, “kau tidak hendak lukai dia, kau lepas padanya, tetapi tidak demikian dengan aku, sebab sakit hati kita kepadanya tidak gampang-gampang dibikin lenyap. Dalam tempo sepuluh hari, dia sudah lukai anakku, dia telah binasakan suteeku Biau Cie Eng, dan tadi dia lukai beherapa orang, ia binasakan satu piausu sahabat ku. Jika kami lepaskan Lie Hong Kiat, itu membuktikan kaum Kun Lun Pay dan piausu-piausu serta guru-guru silat di Kwan-tiong benar- benar tak punya guna! Maka itu aku sudah kirim undangan kepada sahabat-sahabat di banyak tempat, kami hendak pergi berpencaran akan cari Lie Hong Kiat. Benar belum tentu aku akan minta jiwanya, namun sudah pasti sakit hati ini mesti dilampiaskan!“

“Bila sudah tiba waktunya pasti aku akan membantunya,” Kie Kong Kiat berikan janjinya. “Tadi di Pa Kio aku berbuat murah hati, tetapi Lie Hong Kiat tentu tidak puas, besok atau lusa dia pasti mencari aku untuk menuntut balas. Sama sekali aku tidak takut. Jangankan dia muridnya Siok Tiong Liong, ataupun Siok Tiong Liong sendiri jikalau dia masih hidup aku pasti akan lawan padanya!”

Cie Kiang semua girang bukan main mendengar janji itu.

“Saudara Kie,” kemudian Lou Cie Tiong tanya, “kau tahu atau tidak didalam kalangan kangouw ada seorang bernama Kang Siau Hoo?”

Orang yang ditanya menggeleng kepala.

“Aku belum pernah dengar nama itu,”  jawabnya. “Orang itu asal dari mana? Di mana saudara Lou kenal dia?“

“Dia ada satu bubeng siaupwee!“ Cie Kiang gantikan saudaranya menjawab. Ia ada sangat sengit, hingga ia sebut Siau Hoo ‘bu beng siau pwee’ (orang tingkatan bawah dan tak ternama). “Dia adalah musuh besar kami kaum Kun Lun Pay! Gurunya pun didalam kalangan kangouw tiada ternama!“

“Kalau begitu ia tak usah dibuat kuatir,” Kie Kong Kiat kata seraya goyang tangan. “Selama kira-kira seratus tahun, sehingga kini diantara orang-orang ternama dalam kalangan kangouw kecuali engkongku, Liong Bun Hiap, lainnya adalah Siok Tiong liong. Tapi sekarang sudah terbukti, muridnya Siok Kong Liong, ialah Lie Hong Kiat, melainkan demikian saja kepandandainnya. Lain orang mana bisa keluarkan murid-murid yang liehay?”

“Kau benar, saudara Kie!“ kata Cin Tek Giok dengan mengangguk-angguk.

Cie Kiang isikan penuh cawannya Kie Kong Kiat, yang ia terus angsurkan.

Sambil tertawa Kie Kong Kiat sambuti cawannya itu, ketika dia baru angkat itu kemulutnya tiba-tiba sepotong genteng melayang turun, menyamber satu piring diatas meja, sehingga hancur.

Semua orang menjadi kaget.

“Padamkan api!” Kong Kiat segera berikan perintahnya. Sekejab saja semua lampu dan lilin telah tidak menyala.

Cie Kiang senina sudah lantas ambil masing-masing senjatanya, dan Kie Kong Kiat ambil pedang dari pengikutnya.

“Jangan bingung!“ Kong Kiat pesan semua orang. “Inilah tentu Lie Hong Kiat. Biar aku bekuk dia ...”

Sebelum jago muda ini tutup mulutnya, diatas genteng sudah terdengar suara pertempuran, terdengar tegas suara beradunya senjata. Maka Kong Kiat segera lari keluar, diturut oleh Cie Kiang semua.

Segera dari atas genteng sebelah Timur terdengar suara nyaring dan seorang perempuan: “Aku larang siapa juga membantui aku! Bila bantu aku, aku nanti bacok padanya!“

Mendengar ancaman itu, Kie Kong Kiat bersenyum. Ia tidak perdulikan ancaman itu, dengan bawa pedangnya ia loncat naik keatas genteng. Tapi begitu ia sampai diatas, perempuan tadi ayun goloknya dan menegur : “Kau siapa?”

Kie Kong Kiat tetap tidak menjawab, ia berkelit dari bacokan, ia loncat kepada Lie Hong Kiat siapa sementara itu gunai, ketika itu loncat ke genteng tetangga, dari mana ia perdengarkan suara tertawanya.

Kong Kiat jadi gusar, ia loncat menguber, tetapi Lie Hong Kiat tidak mau melayani, dia lari dan lompat diatas genteng sebagai ditanah datar, malah sebentar kemudian ia lenyap bersama bayangannya.

Kong Kiat menguber dengan tindakan kakinya menerbitkan suara berisik, hingga penghuni-penghuni didalamnya jadi kaget, semua lantas berteriak-teriak. “Ada maling! Ada maling!” Ketika ia dengar ini, ia  berhenti mengejar, dengan mendongkol ia balik kembali. 

Cie Kiang dan Cie Tiong sudah dapat bujuki Ah Loan turun dari genteng, nona ini dapat dicegah mengejar Kong Kiat atau Lie Hong Kiat, karena ini cucunya Pau kun Lun jadi seperti kalap, dia mencaci kalang kabutan, dia bubat babitkan goloknya berulang-ulang. 

“Sabar, su-titlie,” kata Cie Tiong, yang rampas golokya nona itu. “buat apa kelabakan tidak keruan? Musuh berada ditempat gelap, kita berada ditempat terang,  cara bagaimana kita bisa kejar dia? Apabila terjadi sesuatu yang tidak diingini, mana kita ada punya muka akan menemui suhu yang beberapa hari lagi akan datang kemari?”

Ah Loan banting-banting kaki.

“Dasar kau terlalu ketakutan!“ ia membentak. “Dasar kau terlalu lemah! Kenapa dia seorang diri saja bisa dibiarkan menghina kita kaum Kun Lun Pay? Kenapa kau tidak mau berlaku nekad?“

Justeru itu Kie Kong Kiat loncat turun dari atas genteng.

“Kau sabarlah nona,” berkata ia dengan mengulapkan tangan: “Lie Hong Kiat telah cari aku, itulah bagus! Aku percaya dia tidak akan lekas angkat kaki dari sini, maka besok aku tentu bisa cari dia, buat  ringkus dan gusur padanya kemari!”

Ah Loan masih saja gusar.

“Tapi ini ada urusan aku!“ ia berseru. “Hak apa kau ada punya untuk mencampurinya? Apa bisa menjadi, jikalau tidak ada kau si orang she Kie, lantas kami tidak mampu bekuk Lie Hong Kiat?”

Kie kong Kiat tidak gusar akan ucapannya si nona itu, ia bersenyum seperti biasa.

Tatkala ini penerangan semua sudah dinyalakan pula. “Mari,   nona,   mari   kita   minum   arak!”   Kong   Kiat

mengundang. “Aku  menduga sebentar Lie Hong  Kiat akan

datang pula. Umpama dia benar datang, kita semua tidak akan turun tangan, biar nona sendiri yang layani dia bertempur!“

Setelah berkata begitu, Kong Kiat tertawa dan lantas mendahului bertindak masuk, ke kamar  Barat, pedangnya ia serahkan pula pada kacung dan dia sendiri terus duduk atas kursinya ia bawa sikap merdeka atau  agung-agungan. Ia tuang sendiri araknya, sendirian juga ia tenggak itu.

Ah Loan turut Cie Tiong masuk, tetapi ia tidak mau minum ia hanya duduk sendirian dibangku  kecil. Tangannya tetap memegangi goloknys matanya terus mengawasi keluar. Dia seperti harap sangat datangnya Lie Hong Kiat kembali.

Kie kiong Kiat berlaku tenang pula, ia temani Cie Kiang bertiga bercakap-cakap dan minum, hanya kadang-kadang saja ia lirik Nona Pau.

Beda dan pada tamunya Cie kiang ada mendongkol hatinya tidak tenteram dan berkuatir, hanya dengan tahankan hati ia bisa paksa terus menemani tamunya itu.

Sebelum arak dan hidangan habis, hari sudah jadi larut malam.

Kong Kiat terkena Pengaruhnya arak, ia sekarang lebih sering lirik Si nona.

“Bugeenya si nona benar-benar tinggi!“ satu kali ia memuji dengan suara keras. “Aku takluk! Sekarang ini memang sangat jarang ada liehiap perempuan gagah dalam kalangan kangouw!”

Ah Loan tiada perhatikan kepada Kong Kiat, ia tidak mau bicara kepada pemuda itu, maka juga terus ia berbangkit, dengan bawa goloknya ia bertindak keluar. Ia loncat naik keatas genteng, untuk memeriksa.

Ketika perjamuan ditutup Cie Kiang minta Kong Kiat tidur dikamar yang sudah disediakan, dan Cin Tek Giok mengaso dikamar kantor.

Ah Loan terus tidak mau tidur, ia meronda diatas, di depan dan dibelakang, tidak pernah dia lepaskan goloknya. Cie Kiang dan Cie Tiong tidak turut meronda. tetapi mereka juga tidak tidur sekejappun, mereka rebahkan diri dengan mata melek.

Syukur malam itu selanjutnya lewat dengan tak kurang suatu apa.

Esoknya pagi Kie Kong Kiat perintah kacungnya  pergi ke Kong Ek Hok Cian Chong buat  ambil pauhoknya, karena untuk selanjutnya ia akan tinggal sama Cie Kiang. Siangnya ia-pun keluar pesiar dengan membekal pedang. ia seperti jajah kota See-an, ia datangi dan masuki hampir semua rumah makan, warung teh dan rumah-rumah penginapan. Sia-sia saja ia mengubek mencari Lie Hong Kiat. Sorenya ia pulang dengan tingkah agul-agulan.

Malam itu kenbali Cie Kiang jamu Kong Kiat dikamar Barat, siap dengan masing-masing senjatanya, pintu kamar dipentang lebar-lebar. Mereka sengaja menunggui munculnya Lie Hong Kiat.

Ah Loan dengan goloknya tetap menantikan, sedang tadi siangnya dengan naik kuda ia pesiar berbareng mencari pemuda she Lie itu.

Malam itu Hong Kiat tidak muncul, ini menyebabkan orang sibuk sendirinya. Dan ia tetap tidak perlihatkan diri sehingga lewat hari kedua dan hari ketiga, melihat demikian Kong Kiat-pun habis sabarnya. Maka ia lantas minta kertas, pit, bak dan bakhie, lalu ia menulis belasan pemberitahuan, yang bunyinya:

Dicari Lie Hong Kiat Penjahat Lie Hong Kiat kemarin ini sudah bunuh dan lukai beberapa piausu dan pegawal Piautiam kita, dia bernyali kecil, dia ketakutan, dia lari dan umpatkan diri. Siapa ketahui halnya penjahat itu, dan datang mengabarkan ke Lie Sun Piau Tiam, dia akan dapat upah dua-puluh tail perak. kita tidak akan salah janji. Cie Kiang masuk ke dalam selagi tamunya menulis pemberitahuan itu, ia kerutkan dahi.

“Aku kuatir tindakan ini-pun sia-sia saja,” nyatakan ia. “Lie Hong Kiat sangat licin, bila orang beri kisikan pada kita, sebelum kita datangi padanya, pasti dia sudah kabur lebih dahulu!”

“Kau jangan pedulikan itu,” kata Kie Kong Kiat sambil bersenyum. “Daya-upaya ku ini mesti ada hasilnya, sebentar malam tentu kita bisa tawan Lie Hong Kiat.”

Lantas beberapa pegawal diperintah tempel pemberitahuan itu diluar kota, dijalan-jalan atau tempat yang hidup, hingga sebentar saja banyak orang berkerumun membacanya, kota lantas jadi gempar.

Cie Kiang pergi keberbagai kantor untuk jelaskan tindakannya itu, untuk minta bantuan juga.

Ah Loan tidak mau mengerti, ia  masih saja  pergi mencari putar-putaran. Tidak demikian dengan Kie Kong Kiat, yang sekarang diam menantikan didalam piautiam.

Hanya, setelah maghrib tidak ada datang kabar apa-apa mengenai Lie Hong Kiat, ia sibuk juga. Dengan tidak pakai thungsha, sambil bawa pedang telanjang, ia pergi keluar, ia jalan antara orang banyak untuk mencari, hingga banyak orang mengawasi dan perhatikan padanya, karena sikapnya yang luar biasa itu. Ia tidak perhatikan itu. Akhirnya ia masuk dalam sebuah restoran, ia minta arak akan minum seorang diri. Karena ia sedang masgul, ia minum banyak juga barulah kemudian ia berangkat pulang.

Tatkala itu sudah jam dua, dijalan besar orang sudah mulai jarang. Bulan dan bintang-bintang ada terang cahayanya. Ketika Kie Kiong Kiat medekati Lie Sun Piau Tiam, tiba-tiba ada suatu barang menyambar pinggangnya bagian belakang. Ia kaget hingga lantas lenyap pengaruhnya air kata-kata dari kepalanya. Ia melompat akan putar tubuh, buat segera membacok.

Melihat bacokan itu, orang yang dibelakang itu segera menyambut dengan pedangnya, dengan begitu, kedua senjata jadi beradu, malah beradu terus ketika Kong Kiat membacok, membabat lari menikam berulang-ulang. Selama ini, orang ini tapinya bertempur sambil mundur. Adalah kemudian ia pendengarkan suaranya sebagai pemuda Lie Hong Kiat.

“Tahan! Tahan!” katanya, sambil bersenyum. Kie Kong Kiat tertawa dingin.

“Apakah kau takut?” tanya dia, seraya dia maju pula,  kali ini ujung pedangnya menikam kearah dada, dengan tipu pukulan Tok coa coan sun”, atau “Ular  berbisa menembusi hati”.

Satu suara “Trang!” segera terdengar, karena Lie Hong Kiat sampok tikaman itu.

Atas itu, Kong Kiat kembali menikam pula, tetapi juga Lie Hong Kiat cepat gunai pedangnya menekan. Sementara itu keduanya telah majukan sebelah kakinya masing- masing, mereka jadi sama-sama pasang kuda-kuda dan kedua tangan sama-sama dikeraskan. Hingga mereka jadi seperti adu tenaga.

“Jikalau aku takut kepadamu, mustahil aku datang pula cari kau?” kata Lie Hong Kiat sambil tertawa pelahan, berbareng dengan mana ia kumpul tenaga di kakinya.

Kong Kiat segera mundur setindak, pedangnya ditarik, tetapi bukan buat terus ditarik pulang, hanya untuk berbalik tekan pedang lawan. Kakinya dimajukan lagi, pedangnya digerakan terus, agaknya ia hendak menikam. Berbareng dengan itu, tangan kirinya maju menjamdak dada musuh.

Hong Kiat tidak tunggu sampai kena ditikam, ia-pun bergerak dengan cepat untuk mendahului ia tarik pedangnya, ia ubah gerakannya menghindarkan diri dari jambakan, lalu cepat sekali ia balas mengancam dengan tikamannya, kakinya yang kanan maju ke depan.

Kong Kiat lompat kesamping sambil mendek, membarengi mana, pedangnya menyamber tusukan musuh, maka untuk kesekan kalinya kedua senjata kembali bentrok dengan nyaring.

Hong Kiat mundur, ia tertawa gelak-gelak.  “Sungguh aku kagum, sungguh aku kagum!“ kata ia berulang-ulang. “Sayang tempat ini sempit, kita tak dapat mainkan pedang dengan leluasa!“

“Jangan ngobrol!“ Kong kiat membentak.  Ia mendongkol karena terang ia sedang dipermainkan. Nyata ia kalah sabar. “Hari ini aku kehendaki jiwamu, muridnya Siok Tiong Liong!”

Bentakan ini disusul dengan tikaman hebat.

Lie Hong kiat masih tertawa waktu ia tangkis serangan itu.

Selama itu ada orang dari Lie Sun Piau Tiam yang lihat pertempuran tersebut, dia lari kedalam untuk mengasi kabar.

Sampai disitu Hong Kiat tarik pulang pedangnya, ia mundur, terus ia putar tubuh dan lari.

Kie Kong Kiat penasaran, ia lompat mengejar. Lie Hong Kiat lari kejalan bio Tay Siang Cu, sebelah gang yang gelap. Tetapi tak perduli tempat ada gelap, Kie Kong Kiat mengejar terus. Ketika dikejar sampai hendak keluar dari ujung gang, mendadak Hong Kiat balik tubuhnya, lalu sambil litangkan pedang di depannya, ia kata:

“Orang she Kie, kau jangan keterlaluan! Kemarin ini ditepi kali dikirinya jembatan Pa Kio aku telah layani banyak sekali musuh, yang kepung aku dengan bergantian, justeru itu kau datang membantui mereka, hingga kau bisa kalahkan aku. Akan tetapi jikalau kita berkelahi satu sama satu, dengan sama-sama segarnya, masih belum ketahuan yang mana yang akan terbinasa ditangan siapa! Disini-pun tidak leluasa untuk kita bertempur terusan, karena tempat sempit, pula koncomu terlalu banyak!“

Dituduh demikian, Kie Kong Kiat geleng kepala. “Mereka   itu   bukanlah   kawan-kawanku,”   ia sangkal.

“Aku  juga bukannya hendak menuntut  balas  untuk mereka

itu. Aku hanya tidak puas kau menggunakan pedang mensatrukan pedangku, kau lempar pedangmu  dan tukar itu dengan golok, pasti sekali aku suka mengasi ampun padamu!“

Tapi Lie Hong Kiat tertawa.

“Sungguh jumawa!“ kata ia. “Apakah pedang melainkan boleh dipakai oleh kau sendiri keluarga Kie dari liong-bun. Sekarang sudah malam, dengan kita bertempur terus, sukar dapat dilihat permainan siapa yang jelek dan siapa yang bagus. Tempat ini tidak terpisah jauh dari tempat kediamanku, marilah pergi ketempatku itu untuk kita bicara sebentar agar kia bisa pilih dan tetapkan tempat dimana kita bisa piebu pedang. Aku tidak kehendaki orang lain mendapat tahu, sampai pada waktunya kita mesti berada berdua saja. Kita jua mesti tetapkan, pertempuran mesti berakhir salah satu menang atau kalah. Kau jangan kuatir, di tempat kediamanku itu tidak ada perangkap.”

Kie Kong Kiat tertawa dingin.

“Apakah kau sangka aku jerih umpama kau membacok?” berkata ia. “Hayo jalan!“

Ketika itu orang-orang dari Lie Sun Piau Tiam sudah memburu sampai dimulut gang.

“Lekas!” berseru Kong Kiat pada lawannya.

Keduanya tidak bertempur lagi, dengan masing-masing tenteng pedangnya mereka berlari-lari dengan berendeng. Mereka mesti lewati beberapa gang yang gelap, baru mereka tiba di tempat kediamannya Lie Hong Kiat, sebuah rumah tingal.

Hong Kiat menghampiri pintu yang ia segera ketok. Sebentar saja pintu lantas dibuka.

Kie Kong Kiat lihat, pembuka piatu ia  ada seorang perempuan tua.

Lie Hong Kiat persilahkan lawannya masuk, atas mana, perempuan tua itu kunci pintu pula.

Pekarangan dan rumah itu ada sunyi. Cuma dikamar Utara ada sinar api. Kedalam kamar itu Hong Kiat undang lawannya masuk.

Kong Kiat bertindak masuk, ternyata kamar itu kosong, hanya diempat penjuru tembok ada terdapat pigura-pigura dan berbagai tulisan atau huruf-huruf aneka macam atau buku-buku dirak. Diatas meja-pun ada  terletak  beberapa jilid buku.

“Tempat apakah ini?“ orang she Kie ini lantas menanya. “Ini ada rumahnya satu sahabatku,” Lie Hong Kiat jawab. “Ketika kemarin ini aku pulang dari Pa Kio, aku nginap disini. Kalau nanti kau pulang, aku minta kau jangan beri tahu siapa juga tentang tempat kediamanku  ini.”

“Kau terlalu pandang Kie Kong Kiat bukan sebagai satu enghiong!” kata Kie Kong Kiat sambil tertawa. Lantas ia jatuhkan diri dikursi, tangan kanannya masih pegangi pedang, tangan kirinya meraba sejlid buku, ialah Sin Tong Sie, buku tentang kerajaan Tong yang baru, dalam mana ada terselip selernbar syair karangannya Lie Hong Kiat sendiri, sebagaimana dibawah itu ada tanda-tangan dari orang she Lie itu. Ia-pun baca : “Di sungai Kang Sui diwaktu malam yang dingin membikin kaget pedang pualam, digunung Kwa San  disuatu sore musim  semi melepas kuda pilihan balap.”

Membaca syair itu, Kie Kong Kiat menjadi kagum, hingga ia ucapkan pujiannya.

Sementara itu Lie Hong Kiat telah letakkan pedangnya diatas meja, ia guntingi sumbu lilin, kemudian ia pandang tamunya dan tertawa.

“Kau lihat,” kata dia, “aku si bangsat bisa menulis syair, maka itu upahmu duapuluh tail untuk tangkap aku apa tidak terlalu sedikit?“

Mukanya Kong Kiat menjadi merah karena ejekan atau godaan itu.

“Aku tidak tahu bahwa kau adalah orang semacam ini,” ia kata. “Lagi-pun dengan membikin surat-surat pemberitahuan itu dan menempelnya diberbagai tempat, aku melulu hendak membangkitkan kegusaranmu, supaya kau tampakkan diri. sama sekali bukan maksudku yang sebenarnya guna bekuk padamu.” Lie Hong Kiat tertawa pula, secara dingin.

“Taruh kata kau benar-benar hendak menawan aku, aku kuatir aku bukan seperti lain-lain penjahat yang mudah untuk ditangkapnya!” ia kata.

Mendengar demikian, Kong Kiat lempar buku yang ia sedang cekal, ia berbangkit, lalu dengan pedangnya, yang ia masih pegangi, ia bersikap hendak menyerang.

Hong Kiat goyang-goyang tangannya, ia terawa.

“Disini bukannya tempat bertarung,” kata ia, yang sabar luar biasa. “Sahabatku di rumah ini ada bernyali sangat kecil, dan itu jangan kita bikin dia kaget. Disebelah itu, dengan baik hati aku undang kau datang kemari, maka sudah selayaknya jikalau kau berlaku, sedikit seeji. Aku-pun dengar yang kau ada seorang terpelajar ... ”

Kie Kong Kiat letaki pedangnya, tapi ia masih terus mengawasi tuau rumah itu.

“Kau berusia begini muda,” katanya, “kau jua pandai ilmu surat dan ilmu silat, kenapa kau tidak berdaya mencari pekerjaan untuk angkat nama, hanya kau justeru lakukan pekerjaaa semacam ini?”

“Apakah yang aku lakukan?” tanya Lie Hong Kiat sambil tertawa menghina. “Apakah benar-benar kau percaya aku telah menjadi penjahat seperti tuduhanmu?” Berkata sampai disitu Hong Kiat nampaknya gusar. Tapi segea ia tambahkan: “Kie  Kong Kiat, engkongnu dan guruku ada sama-sama orang kaum Bu Tong Pay, malah dahulu mereka menjadi sahabat satu dengan lain, maka turut pantas kita tidak dapat saling bermusuhan. Sekarang kau tuduh aku jadi bangsat, dengan begitu. kau telah terlalu menghina aku! Disini ada itu orang-orang Kun Lun Pay tukang mengadu-biru, karena itu aku tidak ingin layani kau bertempur. Kalau kau mempunyai nyali, besok kita boleh bikin pertemuan di Tong-kwan.”

“Bertemu di Tong-kwan, itulah baik sekali,” sahut Kie Kong kiat, yang terima tantangan. “Apakah pasti kau akan pergi kesana?”

“Tentu saja!” Lie Hong Kiat pastikan. “Diantara kita, siapa juga tidak boleh membawa pembantu! Besok kita  akan bertemu diwaktu lohor, kita adu kepandaian sampai ada keputusan, siapa lebih pandai dan siapa lebih rendah, umpama mesti binasa, jangan ada yang menyesal!”

“Baik, demikian kita tetapkan,” kata Kie Kong Kiat, yang-pun berikan kepastiannya. “Sekarang kita sudah dapat kepastian, nah, aku pergi!”

Kong Kiat bertindak keluar dengan bawa pedangnya, diluar ia mencelat naik kegenteng.

Lie Hong Kiat antap tamu itu pergi, ia tidak mengantarkan keluar.

Dari rumah sebelah utara, Kie Kong Kiat jalan memutar kesebelah Timur, ia menoleh ke kamarnya Lie Hong Kiat, ia lihat cahaya api masih ada dan bayangannya pemuda she Lie itu tertampak sedang duduk membaca  buku. Menampak demikian, kembali ia jadi kagum, hingga ia berpikir pemuda ini ada terpelajar dan gagah, sayang sekali diluar keinginanku, kita jadi berdiri berhadapan sebagai lawan satu ke pada lain ... ”

Di Lie Sun Piau Tiam orang masih sedang sibuk dan kacau, Cie Kiang semua sedang berdiri  dimuka pintu dengan mata melihat sana dan melihat sini. Maka itu, mereka jadi bernapsu kapan mereka lihat pulangnya Kong Kiat. “Apakah kembail kau lepaskan kabur Lie Hong Kiat  itu?” mereka tanya.

Kie Kong Kiat goyang tangannya.

“Dia bukannya Lie Hong Kiat, dia ada satu sahabatku,” ia jawab. “Sesudah kita main-main sebentar dengan pedang, aku telah pergi kerumahnya untuk bercakap-cakap sebentaran ...”

Cie Kiang semua heran, mereka mengawasi sahabat baru itu deugna rasa curiga.

Justeru itu Ah Loan-pun kembali. Lantas saja ia hunjuk pula sifatnya yang tidak sabaran.

“Bagaimanakah sebenarnya urusanmu ini?” ia segera tanya Kong Kiat. “Apakah kau bersekongkol dengan Lie Hong Kiat untuk ganggu kita?”

“Nona, kau bikin aku penasaran!” Kong Kiat jawab. “Bagaimana kau bisa menuduh demikian? Untuk mengganggu kau, bukankah dia seorang diri sudah cukup? Kenapa aku mesti turut ambil bagian?”

Ah Loan masih penasaran, ia  masih hendak buka mulutnya, akan tetapi Cie Tiong segera ajak ia masuk.

Seberlalunya si nona, Kie Kong Kiat menghela napas. ”Tadi aku telah  dapat  keterangan dari sahabatku tentang

Lie  Hong Kiat,” ia kata pada Cie Kiang. “Hong  Kiat  benar

ada muridnya Siok Tiong Liong, ia pandai ilmusilat dan surat berbareng. Seharusnya aku bersahabat kepadanya, tetapi karena urusanmu ini, aku jadi kebentrok dengan dia. Karena perselisihan ini, dalam satu atau dua hari, barangkali aku bakal lakukan pertempuran mati-hidup dengan dia nya!” Setelah mengucap demikian, ia lantas pergi kekamarnya, tapi masih saja ia masgul, hingga ia tidak dapat tidur.

Pada jam tiga Piautiam telah ditutup, semua pengawalnya Kat Cie Kiang lantas pada tidur.

Oleh karena ia tak dapat tidur, Kong Kiat sering dapat dengar diluar kamarnya atau diatas geneng suara tindakan kaki yang pelahan. Mendenar suara itu,  diam-diam ia tersenyum sendirinya, karena ia anggap itu ada lucu. Ia telah dapat duga siapa yang lerbitkan semua suara itu.

Kemudian, dengan hawa pedangnya, Kong Kiat keluar dari kamarnya.

“Siapa?“ demikian teguran nyaring dari atas genteng, teguran dari seorang perempuan.

“Aku!” Kong Kiat jawab sambil tertawa.

Suaranya si nona tidak terdengar pula, menurut suara tindakan kakinya, ia telah pergi kelain bagian dari wuwungan.

Kie Kong Kiat melihat kesekitarnya.  Semua  kamar sudah padamkan api, nampak segalanya dalam kesepian, ia loncat naik ke atas genteng. Ia tidak timbulkan suara apa juga, ia berlaku sangat hati-hati, ia entengi tubuh. Ia letaki pedangnya digenteng, ia merayap maju kebelakang.

Waktu itu Ah Loan, yang tadi pergi ke belakang sudah loncat turun ke pekarangan dalam rumah dimana ia jalan mundar-mandir sekian lama, nampaknya ia ada sangat lesu, kemudian ia pergi kesebuah kamar di rungan Barat didalam mana ada sinar api.

Kie Kong Kiat loncat turun dengan berindap-indap ia hampiri jendela kamarnya si nona itu, ia mengintip, ia menahan napas ketika ia gunai lidahnya untuk pecahkan kertas tutup jendela.

Ah Loan didalam sedang buka kancing bajunya, ia rupanya hendak salin pakaian, atau ia hendak tidur.

Tidak tempo lagi Kong Kiat menghampiri pintu  dan tarik daunnya hingga terbuka, ia bertindak masuk.

Bukan main kagetnya Ah Loan sampai ia menjerit, tetapi ia segera samber goloknya.

“Sabar, nona,” Kong Kiat kata, tangannya diulap- ulapkan, “Aku hendak bicara kepadamu.”

Mukanya Ah Loan menjadi merah karena jengah, akan kemudian berubah jadi merah padam, matanya-pun mendelik.

“Sekarang tengah malam buta-rata, ada urusan apa kau lancang masuk ke kamarku?” ia menegur.

Kie Kong Kiat bersenyum.

“Sebenarnya tadi aku telah ketemu Lie Hong Kiat,” ia kata. “ia telah janjikan tempat dan jamnya untuk piebu esok hari. Jikalau kau hendak menyaksikan, esok aku dapat mengajaknya. Hanya tentang itu, tidak ada lain orang lagi yang boleh mendapat tahu!”

Keterangan ini membuat si nona ketarik.

“Dimana piebu itu akan dibikin?“ ia tanya dengan bernapsu. “Aku hendak pergi menyaksikan!”

“Bicara pelahan, nona,” Kong Kiat minta sambil menggoyangkan tangan pula, “Tadi aku ketemu Lie Hong Kiat, dia sindirkan sangat pada kita, katanya Kun Lun Pay musuhkan dia karena Kun Lun Pay andalkan jumlah yang banyak, bahwa tapinya jumlah banyak itu tidak ada harganya.” “Memang banyak orang menyebabkan permainan silat jadi kacau.” Ah Loan aku. “Itu-pun sebabnya, beberap kali dia menang diatas angin. Mengenai piebu besok, kita baik jangan omong kepada siapa juga, malah pada waktunya, kau-pun baik tidak usah pergi, biar aku yang pergi sendiri. Kau beri aku tahu dimana tempatnya dan jam berapa waktunya perjanjian piebu itu.”

“Itulah tak bisa terjadi, nona!“ kata Kong Kiat sambil bersenyum pula. “Yang dia janjikan adalah aku,  maka kalau nona yang pergi, pasti dia tidak sudi melayani, malah mungkin dia berdaya akan menjauhkan diri, hingga akan sukar kita cari padanya. Sekarang begini saja, besok pagi- pagi kau naik kuda pergi ke Pa Kio. Disana nanti bertemu, akan sama-sama cari Lie Hong Kiat. Di waktu kita bertanding, jangan sekali kau bantui aku, supaya dia tidak menertawai kita. Bila kemudian ternyata aku tidak sanggup menangkan padanya, itu waktu barulah nona boleh turun tangan akan bekuk padanya!”

Kembali Kong Kiat bersenyum, dengan matanya yang tajam ia awasi nona ini.

Ah Loan rupanya setuju, ia lantas manggut-manggut. “Besok pasti kita akan bertemu di Pa Kio! Nah, pergilah

kau!” kata ia.

Kong Kiat bersenyum pula.

“Harap nona ingat baik-baik agar lain orang tidak ketahui hal ini,” kata ia, yang terus keluar dari kamar itu, selagi Ah Loan tutup pintu kamar. Ia loncat naik kegenteng ia pergi ke depan akan ambil pedangnya, dari situ ia lompat turun, terirs masuk ke kamarnya sendiri. Ia tutup pintu, ia naik kepembaringannya. Namun ia tidak bisa tidur. Kali ini ia ingat Ah Loan yang  elok, yang sukar dapat dicari keduanya didalam kalangn kangouw. Keesoknya pagi ketika Kong Kiat keluar dari kamarnya, ia lihat Ah Loan sudah siap dengan bawa golok dan tuntun kudanya ke luar. Maka diam-diam ia bersenyum sendirinya. Ia-pun terus dandan dengan tenang, selama itu, ia perintah pegawai piautiam singkirkan semua pemberitahuan yang kemarin ditempel di berbagai tempat.

Tida lama, Cie Kiang datang.

“Menghitung harinya, sahabat-sahabat kita yang diundang mestinya akan sudah datang berkumpul,” kata piasu ini pada tamunya, sahabat baru. “Hari ini tentu akan datang orang dari Han-tiong. Umpama Lie Hong Kiat buron kelain propinsi, kita tetap akan cari dia. Saudara Kie aku minta kau suka berdiam lamaan disini, sampai kita sudah beres dengan urusan kita ini. Aku harap dibelakang hari semua orang Kun Lun Pay bisa menyebut kau sebagai satu sahabat yang baik ... “

Kong Kiat mengangguk.

“Pasti aku membantunya sehingga urusan selesai,” kata ia. “Sekarang-pun aku hendak pergi keluar kota buat cari Lie Hong Kiat.”

Cie Kiang mengucap terima kasih, ia lantas keluar.

Kong Kiat lantas perintah orang siapkan kudanya, ia keluar dari pintu kota Tirnur. Disini ia beri kudanya lari. Waktu masih pagi akan tetapi hawa udara sudah panas sekali, maka ketika kemudian ia sampai di Pa Kio, ia telah bermandikan keringat. Ia lihat kudanya Ah Loan yang merah. Nona itu pakai baju putih dengan celana hijau daun, dia berdiri dibawah pohon, cambuk ditangannya diangkat kejurusan pemuda itu.

Sambil bersenyum, Kie Kong Kiat menghampiri. Sementara itu, Ah Loan telah loloskan tambatan kudanya, siap untuk lompat naik.

“Hawa udara sangat panas, baik kita mengaso dahulu sebentaran,” kata Kong Kiat.

“Buat apa ngaso?” sahut si nona, “Kita cari Lie Hong Kiat lebih dahulu, sesudah bekuk dia baru kita pulang, masih ada tempo untuk beristirahat!”

Nona ini loncat naik atas kudanya, yang terus ia beri lari melintasi jembatan,

Melihat demikian, terpaksa Kie Kong Kiat mengikuti. “Pertemuan  dengan  Lie  Hong  Kiat  jadi  nanti diwaktu

lohor,”ia berkata, “Maka itu, umpama kita peroleh

kemenangan, masih  tidak keburu  buat  kita kembali pulang

...”

“Dimana kau berdua telah berjanji untuk bertemu?“ “Dikota Tong-kwan, yang terpisah dari sini ada dua

ratus tujuh puluh lie lebih.”

“Itu toh tidak jauh,” kata si nona. “Hayo lekas!“

Sembari kata begitu, Ah Loan keprak kudanya diberi kabur.

Kie Kong Kiat larikan pula kudanya, setiap kali ia ayun cambuknya ia awasi si nona, yang potongannya menarik hati, Walau sudah berkeringatan, nona itu seperti lupa akan teriknya matahari. Ia ngelamun.

“Nona ini tentu masih merdeka, demikian lamunannya. “Semua orang Kun Lun Pay sangat hormati aku, kalau aku bicara kepada Cie Tiong atau Cie Kiang, supaya mereka suka jadi orang perantara, pasti maksudku akan terkabul. Aku ada turunannya Liong Bun Hiap, keluargaku bukan keluarga rendah, mustahil keluarga Pau tidak penuju kepadaku? Bila sudah jadi pasangan, berdua aku sama-sama merantau, siapa tidak akan kagumi kita sebagai pasangan yang gagah?“

Ngelamun demikian macam, bukan main  gembiranya Kie Kong Kiat, hingga ia larikan kudanya melewati si nona, kemudian ia berpaing kebelakang.

“Bugeemu liehay sekali, nona,” kata ia sambil ketawa. “Aku percaya bahwa engkongmu turunkan pelajaran berlaku berat sebelah, jikalau tidak kenapa kau  bisa melebihi semua susiokmu?

Berapa sahabatku tidak percaya dijaman kita ini ada Lie- hiap (nona gagah), maka itu dibelakang hari aku ingin ajak nona menemui mereka itu, supaya mereka dapat tahu dan kaget! Dengan sebenarnya aku sangat kagumi bugeemu, nona,” pemuda ini tambahkan. “Ini-pun sebabnya kenapa hari ini aku justeru aku minta bantuanmu seorang.”

Ah Loan bersenyum atas pujiannya itu.

“Bugeemu juga tidak ada kecelanya,” katanya, suaranya menarik hati. “Pantas belum lama masuk dalam dunia kangouw kau sudah lantas dapat nama ...”

Setelah berkata begitu, mukanya si nona menjadi merah sendirinya. Akan tetapi, seperti tiba-tiba ingat sesuatu, kembali romannya balik pada asalnya, seera ia cambuk kudanya.

“Mari lekas, lekas!“ ia kata. “Kita jangan ngobrøl saja!“

Kie Kong Kiat ada sedang bergembira. ia  larikan kudanya, yang ia tetap beri berada disebelah depan si nona. Debu mengepul naik karena kerasnya kuda mereka lari. Hawa udara juga bukan main panasnya, apapula waktu itu sudah mendekati tengah hari, di tengah jalan ada sedikit orang yang berlalu lintas. Selagi mereka mendekati distrik Wielam, tiba-tiba Kong Kiat lihat tidak jauh di sebelah depan ada seorang yang menunggang kuda putih, orang mana ada berpakaian biru, yang setiap kali berpaling kejurusannya. Ternyata orang itu adalah Lie Hong Kiat, kepala siapa dibungkus dengan saputangan hijau.

“Bagus!” ia berseru. “Tidak usah sampai di Tong-kwan, kita sudah bertemu disini! Lebih siang piebu diselesaikan, lebih baik lagi!”

Ah Loan juga sudah lantas lihat musuh itu.

“Lie Hong Kiat!‘ ia berterak. “Jangan kau harap bisa lari lagi!”

“Sabar, nona, sabar!“ Kong Kiat berpaling pada kawannya itu. “Biar aku tempur dahulu padanya, kemudian baru kau! Kalau tidak, dia akan tertawakan kita!“

Disebelah depan, Lie Hong Kiat sudah siap sedia, ia loncat turun dari kudanya, ia maju untuk memapaki. Terus saja ia tertawa.

“Kie Kong Kiat!“ ia menegur ... “Apakah kau tidak bisa jalan kalau sendirian saja? Apakah sendirian saja kau tidak berani piebu?”

Mukanya orang she Kie itu berubah jadi merah.

“Tapi nona ini tidak akan bantui aku!” ia jawab dengan cepat. “Dia datang untuk menonton saja!“

Sambil menjawab demikian, Kong Kiat hunus pedangnya, ia tantas maju dengan serangannya yang pertama. Memutar dari bawah keatas ujung pedang mengarah jantung.

Lie Hong kiat cepat geraki pedangnya menyampok, kedua pedang beradu, setelah itu ia maju sambil balas menyerang dengan satu bacokan. Pedangnya dari atas turun kebawah pula, hingga lagi-lagi kedua pedang bentrok, karena Kong Kiat-pun menangkis tidak kurang sebatnya.

Ah Loan tidak dapat kendalikan dirinya kapan ia saksikan pertempuran itu, ia loncat turun dari kudanya dan cabut gokoknya, terus ia maju kepada kedua pemuda yang sedang bertempur itu.

Lie Hong Kiat lihat orang maju, ia lekas mundur. Ketika ini digunai oleh Kong Kiat untuk merangsek. Disebelah dia, Ah Loan sudah mulai kirim bacokannya.

Hong Kiat tangkis goloknya Ah Loan, tapi Kong kiat tikam padanya, maka dengan sebat iapun tangkis pedang, bergantian ia mesti elakkan diri dari kepungan musuh. Ia mesti melayani dua musuh yang tangguh. Sesudah berselang dua puluh jurus, mendadak ia  rasakan lengan kanannya sakit, hingga ia menjerit. Terpaksa Ia berlompat memutar berbareng mana, kudanyapun turut lari juga.

“Bangsat!“ Ah Loan berteriak. “Jangan lari!“

Nona ini hendak mengejar, tapi Kong Kiat samber bahunya.

“Aku telah lukai padanya, lukanya hebat!“ kata pemuda ini. “Biarlah dia pergi. Kita berdua umpama dapat tangkap dia yang bersendirian, itu bukan perbuatannya satu enghiong!“

“Jangan pegangi aku!“ Ah Loan berseru seraya  ia banting kakinya. Ia kibaskan tangannya hingga terlepas, ia lantas memburu.

Itu waktu Lie Hong Kiat sudah samber les kuda, ia telah loncat naik atas kudanya buat terus kabur ke Timur. Ah Loan lari pada kudanya, setelah loncat naik, ia-pun mengejar.

Kie Kong Kiat terpaksa turut mengejar juga.

Dun orang ini menyusul dengan sia-sia saja, setelah melalui tiga-puluh lie, bukan saja mereka tidak berhasil, malah Lie Hong Kiat sudah lenyap berikut bayangannya.

Ah Loan tahan kudanya dengan napas tersengal-sengal. “Apakah   ini   masih   belum   cukup   akan   cuci  bersih

malunya Kun Lun Pay?” tanya Kong Kiat pada si nona. “Aku  berani tanggung, sebelumnya Hong  Kiat dapat lewati

kota Tong-kwan, dia pasti sudah rubuh dari kudanya dan binasa! Nona, mari kita pulang!“

Ah Loan mendongkol bukan main, simpan goloknya, ia awasi pemuda dihadapannya dengan mata bersinar.

“Pergilah kau jalan lebih dahulu, aku tidak sudi jalan sama-sama kau.“ kata ia.

Kie Kong Kiat tertawa.

“Kenapa, nona?” tanya ia yang tidak jadi gusar. “Nona, kita kaum kangouw tidak dapat bicara tentang lam lie siu  siu put cin! (lelaki dan perempuan tidak boleh pegang tangan satu sama lain bila tidak ada perlunya).”

Ah Loan rabah gagang goloknya, ia deliki pemuda itu. “Kau bukannya orang baik-baik!” ia membentak dengan

murka.

“Atas alasan apa kau bilang aku bukan orang baik-baik, nona?“ tanya Kong Kiat sambil tertawa. “Aku justeru kagumi kau!”

Ah Loan tidak ambil perduli, ia larikan kudanya. Kong Kiat turut larikan kudanya. Sekarang sepasang kuda lari seperti terbang, balik ke Barat. Ah Loan disebelah depan, tidak pernah dia menoleh kebelakang.

“Jangan gusar, nona,” Kong Kiat berkata pula kemudian. “Sekarang aku berumur dua-puluh lima tahun beristeri, aku ada sangat kagumi bugee dan kecantikanmu. Nona ...”

Ah Loan dengar itu, ia tetap tidak memperdulikannya, ia terus larikan kudanya.

Belum lewat jam tiga lohor, nona ini sudah kernbali di Lie Sun Piau Tiam, tapi sekarang di depan rumah ada beberapa kereta dan beberapa ekor kuda yang tertambat.

“Oh, nona sudah pulang!“ berseru satu orang, yang berdiri dimuka pintu. “Lekas turun, nona, yaya-mu sudah datang!”

Orang itu ialah Chio Cie Yau, paman guru yang  matanya tinggal sebelah. Ia kelihatannya girang sekali.

Ah Loan-pun kaget berbareng girang mendengar kedatangannya engkongnya, dia loncat turun dari kudanya dan lari kedalam.

“Engkong dimana?“ ia tanya. Tapi kapan ia lihat tirai dikamar Barat diangkat naik, ia lantas lihat engkongnya sedang bicara dengan beberapa muridnya, ialah Cie Kiang, Cie Tiong, Cie Liong dan Cie Hiap, yang semua berdiri disamping dengan sikapnya yang menghormat.

“Yaya,“ nona ini berseru, ia terus lari menghampiri. “Hawa udara begini panas, kenapa yaya datang juga?”

Pau Lookausu buka bajunya, ia sudah berumur tujuh puluh lebih tetapi tubuhnya masih kekar bagaikan besi. Cie Liong, dengan kipas bulu yang besar mengipasi padanya, hingga kumis-jenggotnya, yang seperti perak, bergoyang melambai tak berhentinya. Ia sebenarnya sedang bicara dalam kemurkaan, tapi kapan ia lihat cucunya, terus ia tertawa.

“Ah Loan, kau lihat!“ berkata engkongnya ini. “Bagaimana rupa orang telah hinakan Kun Lun Pay! Aku telah punyakan tigapuluh murid lebih, aku telah usahakan piau-tiam lebih daripada empat-puluh tahun, selama itu belum pernah aku mengalami kejadian seperti ini! See-an ada kota besar, disini-pun ada Kat dan Lou Susiokmu, tetapi toh satu bocah cilik Lie Hong Kiat masih bisa malang-melintang!“

“Sudah, yaya, sudah, kau jangan gusar lebih jauh,” Ah Loan lantas menghibur. “Baru saja aku berdua lukai dia! ... “

Kat Cie Kiang jadi sangat ketarik hati ... “Dimana kau dapat lukai padanya?“ ia tanya dengan cepat.

“Ditengah jalan dekat Wie-lam,” sahut Ah Loan, yang terus tuturkan hal pertempuran tadi.

Cie Kiang semua merasa puas, mereka kegirangan. Tapi Pau Lookausu bersenyum ewah.

“Hm, sungguh kita harus mati karena malu!“ kata ia dengan suara seram.”Orang telah hinakan Kun Lun Pay tetapi lain orang, cucunya Liong Bun Hiap, yang mesti balaskan penasaran kita itu!“

“Tidak demikian, yaya!“ membantah Ah Loan. “Aku yang tempur Lie Hong Kiat, golok lawan pedang, lantas  Kie Kong Kiat gunai ketika baik menikam Lie Hong Kiat! Kie Kong Kiat sendiri tidak punya kepandaian yang berarti! Luka didadanya Lie Hong Kiat parah sekali, ia kabur dengan kudanya, mungkin sebelum keluar dan Tong-kwan, dia bakal rubuh mampus dari kudanya itu!“

Pau Kun Lun lantas menghela napas.

“Dengan begitu, kita tambah satu musuh pula,“ ia mengeluh.

“Mana dia Kie Kong Kiat?“ Cie Tiong tanya. “Barangkali dia akan sampai belakangan,” sahut Si

nona.

Pau Cin Hui pakai pula bajunya.

“Sudah dua-puluh tahun lebih aku tidak pernah keluar pintu lagi,” kata jago tua ini pada cucunya, “tetapi sejak itu hari kau berangkat, entah kenapa hatiku terus tidak tenteram, maka begitu lekas Chio Susiokmu pulang, aku terus ikut dia. Di Han tiong, aku tidak mampir lagi, aku langsung saja kemari. Di Cin Nia aku berpapasan kepada Wan Cie Hiap, dari dia aku dapat tahu kejadian disini, maka aku cepatkan perjalananku.”

“Apakah yaya sudah bersantap tengah hari?“ tanya sang cucu. “Aku sendiri, dahar pagi-pun belum.”

Justru itu, Kie Kong Kiat sampai, ia  terus bertindak masuk.

Pau Kun Lun berbangkit akan sambut pemuda itu.

“Kie Hian-tit, syukur ada kau yang membantu, kalau tidak, murid-murid dan cucu muridku bakal habis semua!“ ia lantas berkata. “Kie Hiantit, terima kasih untuk bantuanmu itu!“

Dengan sangat menghormat, sambil menjura, Kie Kong Kiat membalas hormat. “Loo-ciaupwee terlalu merendah,” berkata ia. “Katamu ini aku tidak sanggup terima!”

Kong Kiat ada sangat haus, maka ia  lantas cari air minum.

Cie Kiang tahu bahwa Kong Kiat dan Ah Loan belum dahar, dari itu ia lantas perintah koki lekas masak, buat sajikan barang makanan, malah gurunya ia undang dahar bersama akan temani cucunya itu.

Tengah berdahar, Kie Kang Kiat tuturkan bagaimana tadi malam ia sudah janji dengan Lie Hong Kiat untuk piebu, bagaimana piebu itu sudah ambil tempat di Wie-lam dan ia telah berhasil melukakan orang she Lie itu. Tentang turutnya Ah Loan, ia tidak buka rahasia, ia hanya bilang, kebetulan dia ketemu si nona dipintu kota sebelah Timur, dan itu berdua mereka jadi berangkat sama-sama.

Cin Hui gembira bercakap-cakap kepada pemuda yang cakap dan gagah ini, yang bicaranya rapi, sikapnya sopan santun, dengan tidak merasa ia jadi minum banyak, bicara dengan suara keras, dengan merdeka.

Setelah dahar cukup, Pau Kun Lun suruh cucunya masuk untuk beristirahat, ia sendiri meneruskan mengobrol.

Selama itu, Lie Sun Piau Tiam ada ramai, karena ada beberapa piausu dan guru silat yang datang untuk menemui jago tua itu, hingga Pau Kun Lun jadi repot melayani mereka.

Pau Kun Lun tidur bersama-sama Ke Kong Kiat dalam satu kamar, maka itu sebelumnya tidur, mereka bisa melanjutkan pasang omong. Kecuali tentang Liong Bun Hap dan Siok Tiong Liong, jago tua itu tuturkan juga tentang pengalaman-pengalamannya sendiri. Kemudian jago tua ini tanyakan hal keluarga Kie. Setelah itu, Kong Kiat menuturkan dalam perantauannya ini ia  berhasil menjatuhkan Kho Keng Kui dan Tiat pie-wan, bahwa tigakali ia mendaki Tiong gak Siong San dimana Kim Lian Pau-sat Thay Bu Siansu sampai jauhkan diri, tidak berani lawan dia piebu. Sampai jam tiga lewat, baru mereka tidur.

Keesoknya pagi, Pau Cin Hui ajak cucunya perempuan berlatih silat dipekarangan dalam, disitu Kie Kong Kiat  turut memperlihatkan beberapa jurus permainan pedangnya yang berupa tipu-tipu simpanan dan Liong Bun Pay.

“Dasar ilmu silat turunan sejati,” demikian pujiannya Pau Cin hui. “Ini adalah ilmu yang jauh melebihi kita kaum Kun Lun Pay!”

Di itu siang, diam-diam Pau Loo-kausu himpunkan semua muridnya, mereka membicarakan soal akan rekoki jodohnya Ah Loan dengan Kie Kong Kiat, kemudian diambil putusan, Lou Cie Tiong yang bicara kepada pemuda itu.

Tengahari diwaktunya bersantap, Cie Tiong ajak Kong Kiat pergi kesebuah rumah makan, tengah dahar, orang she Loa itu timbulkan soal perjodoan itu.

Kong Kiat girang bukan main ini adalah apa yang ia harap-harap, ia menyatakan akur, malah ia hendak segera serahkan barang tanda mata.

“Asalkan kau setuju, itu-pun sudah cukup,” Cie Tiong bilang. “Aku akan lantas sampaikan kesetujuanmu ini kepada suhu. Suhu tidak akan berdiam lama  disini, mungkin dia akan lantas langsungkan pernikahan. Kau berdua, supaya ia bisa pulang dengan pikiran tenang.”

Cie Tiong benar-benar lantas pulang akan sampaikan kabar pada gurunya. Pau Cin Hui terima kabar dengan hanya manggut- manggut saja, sesudah Cie Tiong ke luar, ia terus pergi ke kamar cucunya.

Ah Loan baru bangun dari tidur tengahari ia sedang berhias menghadapi kaca, melihat engkongnya datang, ia menoleh sambil tertawa.

“Hawa begini panas, kenapa yaya tidak mengaso?“ Engkong itu geleng kepala, ia tertawa.

“Aku tidak kegerahan, aku-pun tidak ngantuk,”  ia bilang. “Sudah dua puluh tahun aku diam di rumah, satu kali aku ke luar lagi aku merasakan diriku seperti jadi muda kembali!“

Terus ia  duduk pada sebuah bangku, ia  urut-urut kumisnya yang seperti salju.

“Ah Loan, aku datang untuk sampaikan suatu kabar girang!” kata ia kemudian sambil tertawa.

Cucu itu terkejut, dari muka kaca, ia lihat tampang gembira dari engkongnya, yang tersungging senyuman. Sejak ingatnya, belum pernah ia  tampak sang engkong gembira seperti ini.

“Ketika kau baru berangkat, bukankah aku telah omong padamu?“ kata pula sang engkong. “Kau merantau pertama-tama untuk mencari pengalaman kedua buat cari pasangan untuk kau sendiri. Kau sudah berumur dua puluh tahun lebih, tidak selayaknya kau beri lewat usiamu yang muda. Aku lihat Kie Kong Kiat, aku penuju dia, aku pikir hendak nikahkan kau kepadanya ... ”

Ah Loan kaget sekali, hingga ia menjadi berduka seketika, ia tidak bisa kata apa-apa. kecuali airmatanya lantas turun meleleh dan menetes kelantai. Disaat ia hendak menggelengkan kepala, atau engkongnya telah berkata pula.

“Ada banyak yang aku hendak bicarakan padamu tetapi biarlah aku jelaskan begini saja,” demikian jago tua itu. “Aku sudah berusia tinggi, ayah dan susiokmu semua kepandaiannya belum sempurna. Musuh kita dikalangan kangouw nyata bukannya sedikit, sementara dari kalangan Bu Tong Pay telah muncul angkatan muda yang lihay. Kau lihat sendiri, bagaimana liehaynya ilmu pedangnya Lie Hong Kiat, kalau tidak ada Kie Kong Kiat, kita kaum Kun Lun Pay pasti sudah mesti habis. Sekarang aku juga dengar, Long Tiong Hiap dan belasan tahun yang lalu kabarnya hendak datang kembali ke Han-tiong, buat tempur pula orang-orang Kun Lun Pay. Maka dari itu, apabila kita tidak cari seorang yang berkepandaian tinggi untuk bantu kita, kapan satu hari kejadian aku meninggal dunia, lantas ayahmu, encekmu, juga susiokmu sekalian, akan dihina orang! Kie Kong Kiat ada cucunya Liong Bun Hiap, dia pandai ilmu surat dan ilmu silat, dalam hal usia, roman dan kelakuan, dia sembabat dipasangi denganmu. Selanjutnya, dengan Kun Lun Pay atau keluarga Pau ada punya baba mantu demikian gagah, kita boleh tidak usah jerih kepada siapa juga!”

Jago tua ini bicara dengan tegas tetapi suaranya sungguh- sungguh, dengan tercampur sedih, sedang dengan mata tuanya, yang harus dikasihani, ia awasi cucunya itu.

Ah Loan menangis, ia ada sangat berduka, beberapa kali dia hendak buka mulut, tapi setiap kali batal, akhirnya ia seka air matanya, ia mengangguk.

“Anak yang baik, sungguh kau bikin hatiku lega”, katanya. “aku sekarang sudah berumur tujuhpuluh lebih, setelah beres mengurus halmu ini, habis sudah tugasku seumur hidup! Umpama sekarang juga aku mesti menutup mata, aku tentu merasa puas, hatiku tenteram ...”

Sesudah mengucap demikian, engkong ini berbangkit akan bertindak keluar.

Malam itu didalam piautiam ada dibikin pesta perjamuan. Disitu Kie Kong Kiat haturkan tanda matanya, pertunangannya dengan Ah Loan telah diresmikan. Telah ditetapkan juga, pernikahan akan dirayakan sehabisnya musim rontok.

Bukan main girangaya Kie Kong Kiat karena perjodohannya itu. Maka selanjutnya, setiap hari ia pesiar dengan menunggang kudanya, atau ia hadiri perjamuan- perjamuan. Hingga kemudian, dekat atau jauh, orang banyak tahu, bahwa cucunya Liong Bun Hiap ini, adalah bakal babah mantunya Pau Kun Lun, hingga ada banyak piausu dan guru silat yang datang untuk berkenalan dan bersahabat.

Sebaliknya adalah Pau Ah Loan yang jadi sangat berubah. Kalau tadinya dia ada gesit dan bersemangat, sering pesiar dengan menunggang kuda, sekarang dia jarang keluar. Pau Kun Lun dan Cie Kiang semua, tidak perhatikan perobahan ini, mereka sangka Ah Loan malu dan hendak pegang teguh adat istiadat. Tidak demikian dengan Thia Giok Go dan bujang-bujang perempuan keluarga Kat itu. Mereka ini sering pergoki si nona duduk termenung atau menepas air mata. Mereka tidak berani beritahukan hal itu pada siapa jua, mereka-pun heran dan tidak bisa duga kenapa si nona jadi bersusah hati.

Selama itu, sepuluh hari telah lewat. Hawa udara tetap panas. Kini jenazahnya Biau Cie Eng sudah selesai upacara penguburannya. Lukanya Kat Siau Kong dan Kim Cie Yong serta yang lain-lain belum sembuh, tetapi ancaman bagi jiwanya telah lewat. Selama itu telah datang juga Siang Cie Kho, Tan Cie Cun, The Cie Piu, Yo Cie Kin, hingga bersama Cie Tiong Cie Kiang dan Lau Cie Wan, kaum Kun Lun Pay ada berjumlah belasan. Kemudian Cie In dan Han- tiong-pun datang menyusul.

Cie In menangis untuk kematiannya Cie Eng, pembantu yang ia paling percaya dan sayang. Cie Eng pernah  ikut Thio Cie Kie pergi ke Sucoan mengantar piau, di mana Thio Cie Kie terbinasa di Siang Cu San ditangan penjahat, Cie Eng bisa loloskan diri tapi diluar sangkaan dia justeru binasa disini ditangannya Lie Hong Kiat. Maka itu Cie In jadi sangat berduka, lama ia menangis, baru ia dapat dihiburkan. Ia girang ketika ia diperkenalkan dengan Kie Kong Kiat, siapa ia  diberitahukan sudah ditunangkan kepada Ah Loan.

Pau Lookausu girang dengan berkumpulnya sekalian muridnya itu, ia hanya masgul kapan ia ingat kesulitannya pihak Kun Lun Pay.

Malam itu Cin Hui suruh Cie Kiang siapkan tiga meja perjamuan. Ia duduk dimeja kepala ditemani oleh Cie In, Ah Loan dan Kong Kiat, serta muridnya. Ini ada perjamuan yang menggirangkan orang bisa minum sambil tertawa-tawa.

Cie Tiong niat timbulkan soal melayani musuh-musuh nanti. Kie Kong Kiat yang  ketahui maksudnya segera mencegahnya dengan kata: “Su-siok, baik tak usah kita sebut-sebut lagi Lie Hong Kiat atau Liong Tiong Hiap. umpama mereka itu benar datang, susiok semua tak usah turun tangan, dengan pedangku aku nanti mundurkan mereka semua. Sekarang ini hawa udara ada sangat panas, aku pikir nanti sehabis musim rontok, aku dirikan luitay dikota ini untuk adu kepandaian. Aku nanti lelang dan jual semua milikku untuk dipakai sebagai hadiah. Dengan jalan itu aku berniat pukul rubuh semua orang-orang kangouw yang tidak tahu diri, buat sekalian angkat nama baiknya Kun Lun Pay! Sekarang, di depan kongco, kita tidak boleh ucapkan kata-kata yang kurang baik sifatnya. Mari kita minum untuk bersenang-senang!”

Cie Cun semua setuju.

“Bagus!” kata mereka separuh bersorak.

Cie hiap bawa poci arak, ia hampirkan gurunya.

“Hari ini aku mesti suguhi suhu dengan tiga cawan besar!” kata ia. “Toa-suheng juga mesti minum tiga cawan! Dan Kie Kou-ya dan Ah Loan Kou-nio mesti minum sedikitnya masing-masing satu cawan. Semna ini kesatu ada tanda dan penghormatan dan kedua sebagai pemberian selamat dimuka kedua pasangan!”

Cie Hiap benar-benar isikan cawan gurunya.

Pau Cin Hui tidak menampik, ia keringi cawan itu, maka Cie Hiap mengisi pula buat kedua kalinya.. Selagi guru ini hendak meminum pula, mendadak ada satu pegawai datang masuk dengan wartanya :

“Liong Sam-ya dari Cieyang datang!”

Cie Kiang dan Cie Tiong segera berbangkit, mereka hendak pergi keluar untuk menyambut tetapi Twie-san-hou Liong Cie Khie mendahului bertindak masuk, romannya tergopoh-gopoh, pakaiannya penuh debu. Lebih dahulu ia hampirkan gurunya mengasi hormat, kemudian ia memberi hormat pada sekalian saudaranya siapa telah balas itu.

“Liong Sam-suheng, kenapa baru hari ini datang?” kemudian Cie Kiang tanya. “Apakah kau telah ketahui tentang kesukaran dan juga kegirangan kita disini?” Napasnya Lions Cie Khie masih sengal-sengal, tapi ia bisa goyang-goyang tangannya.

“Tentang kejadian disini, baik ditunda dulu,” kata ia. “Aku datang untuk sampaikan kabaran yang sangat penting yang paling penting!”

Mau atan tidak Pau Cin Hui jadi ketarik hatinya. “Apakah itu?” ia tanya muridnya.

Cin Tiong ada begitu ketanik hingga ia awasi saudaranya dengan tajam.

Liong Cie Khie tidak lantas menyahuti, hanya dari sakunya ia keluarkan sepucuk surat.

“Selagi di Cie-yang, kita telah terima sepucuk surat ini,” katanya, suaranya ada sedikit kurang lancar. “Ini adalah surat dari orang yang kita telah berjaga-jaga sepuluh tahun lamanya, ialah dari Kang Siau Hoo. Sekarang dia sudah rampungkan pelajaran silatnya, dia bakal lekas datang mencari kita! ... “

Kabar itu ada mengejutkan, akan tetapi Pau Lookausu segera gebrak meja. Ia bukan main gusarnya.

“Lekas kasikan surat itu padaku!“ ia berseru.

Tapi surat diserahkan pada Lou Cie Tiong siapa terus buka itu, dan dibaca dibawah cahayanya lampu. Ia membaca dengan suara nyaring :

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar