Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 09

Jilid 09

SANG WAKTU LEWAT CEPAT seumpama anak panah, walau-pun setiap hari ia terus berlatih silat, mainkan golok dan tangan kosong, setelah lewat lagi beberapa tahun, Pau Cin Hui yang gagah, rambut dan kumis jenggotnya semua telah berubab menjadi putih. Ia tetap sehat dan gagah, akan tetapi sekarang ia telah berusia tujuh-puluh enam tahun. Banyak nuridnya juga sudah piara  kumis, sedang cucu-cucu muridnya sudah mulai dewasa. Selama belasan tahun, didalam kalangan Kang-ou juga telah terjadi banyak perubahan. Selali-pun demikian, tidak ada satu hari, tidak ada satu jam yang guru silat ini pernah lupai Kang Siau Hoo, hingga kalau ada muridnya datang dari tempat jauh yang menyambanyangi dia, yang paling dulu ia majukan adalah pertanyaan:

“Kau dengar atau tidak perihal Kang Siau Hoo? Selama ini ada atau tidak anak muda yang baru muncul, yang kesohor bugeenya?”

Akan tetapi, semua jawaban yang ia dapatkan membuat ia putus harapan.

Jago tua ini anggap, daripada semua murid dan cucu muridnya dibikin mati oleh Kang Siau Hoo, baiklah ia sendiri yang pertanggungkan diri. Kalau dia sanggup bikin perlawanan, syukur, kalau tidak biar ia sendiri kurbankan jiwa tuanya.

“Ayahnya terbinasa ditanganku, tidak apa apabila aku terbinasa ditangannya,” demikian pikirnya.

Ketika itu Pau Cie In tetap masih kepalai Kun Lun Piau Tiam di Han-tiong, dia ada terima sejumlah murid dan perusahaannya ada berjalan baik. Hanya Cie Lim terus jadi orang bercacat sejak dia dirubuhkan si orang tua di Cin Nia. Sesudah diundang banyak tabib, ia cuma bisa geraki kaki tangan, tapi pinggangnya terus bongkok, tak dapat dibikin sembuh.

Pui-sie, nyonya mantu pentama, telah menutup mata pada tiga tahun yang lalu karena sakit, dan nyonya mantunya yang kedua, tidak peroleh anak, maka itu, Cin Hui tetap berada bersama Ah Loan, si cucu perempuan, yang sekarang sudah berumur dua-puluh dua tahun, yang romannya elok, orangnya gesit dan menyenangkan, hinga ia ada sangat disayang oleh engkongnya.

Nona Ah Loan ada mempunyai rambut yang gompyok dan hitam mengkilat, sepasang mata yang celih, mukanya dadu seperti bunga, tubuhnya sedang, kedua kakinya tidak dihungkus tetapi juga tidak terlalu besar. Bugeenya telah dibelajar sempurna, gerakannya cepat dan gesit, dengan goloknya Kun-lun-too ia sanggup rubuhkan Lou Cie Tiong dan Kat Cie Kiang, bahkan mungkin lain-lain jago dari Kwan-tiong dan Han-tiong. Cin Hui bilang, cucunya itu ada melebihi dia sendiri.

“Umpama Long Tiong Hiap datang pula, dia mesti kalah dengan cucuku ini,” Pau Kun Lun pernah nyatakan. Akan tetapi Siau Hoo dia tidak pernah sebut-sebut, meski-pun didalam hatinya sering-sering ia kata seorang diri: “Entah bagaimana sekarang bugeenya Siau Hoo? Bisakah  dia layani cucuku ini?”

Beda daripada sang engkong, Ah Loan sebaliknya setiap hari harap-harap kedatangannya Siau Hoo, hingga  pernah ia kata pada engkongnya: “Yaya, aku menyesal sekali Siau Hoo tidak datang sekarang juga, semakin cepat dia datang, semakin cepat aku nanti bunuh dia, agar yaya tidak usah berkuatir terlebih lama pula!“

Mendengar itu, Pau Cin Hui tertawa.

“Tak ada sedemikian gampang, anak,” demikian ia dalam hatinya.

Adalah kebiasaan di Siamsay Selatan, atau satu nona dalam umur lima atau enam-belas tahun masih belum menikah, dia suka jadi buah tertawaan orang ramai, akan tetapi tidak demikian dengan Ah Loan, sekali-pun ia sudah berumur lebih dua-puluh tahun. Nona ini boleh dianggap ada berkaki besar, dia-pun setiap hari berlatih silat, bercampur gaul kepada orang-orang lelaki, tetapi walaupun, ia tetap masih merdeka. ini bukan disebabkan dia tidak ada yang lamar, malah banyak lamaran datang dari berbagai guru silat atau piausu. Adalah sang engkong yang tolak setiap lamaran, malah pernah, selagi jengkel, engkong ini kata:

“Cucuku tidak akan menikah seumur hidupnya!...”

Ah Loan sendiri tidak pernah pikirkan hal pernikahan, ia gemar sangat akau ilmu silat, ia belajar rajin siang dan malam, kalau siang ia suka balap dengan kudanya, diwaktu malam ia biasa loncat turun-naik rumah dan lari-larian diatas. Namun ia suka ingat orang dengan siapa diwaktu kecil ia pernah jadi “istrinya” ... Bukankah karena layangannya nyangkut, Siau Hoo cuma suka  menolongi asal ia suka jadi isterinya bocah itu?  Kalau ingat ini, mukanya jadi merah, ia benci Siau Hoo, tetapi dia bukan benci Siau Hoo sebab dia itu ada musuh besar dari engkongnya ... Ada sebab lain yang bikin ia bingung dan membencinya, yang ia tak dapat jelaskan apa adanya.

“Biarlah Siau Hoo datang, biar dia tempur aku sampai tiga atau empat ratus jurus ... biar aku dapat bunuh dia,  akan cincang tubuhnya hancur lebur ... baru aku puas ... Atau aku nanti tangisi mayatnya yang aku telah bikin hancur-lebur itu.” demikian ia ngelamun.

Itu hari, seperti biasanya Ah Loan tunggang kudanya yang berbulu merah, ia kabur keluar dusun, kearah Lam San, itu gunung Selatan, ketika ia  balik pula, lewat disampingnya sebuah pohon yangliu, ia hunus goloknya, ia bacok pohon itu hingga semplak, setelah mana ia nampaknya puas. Itu ada pohon dimana dulu layangannya nyangkut, ia penasaran, ia membacok. Ia percaya, pohon itu tidak bakal hidup untuk banyak tahun lagi, tidak perduli waktu itu tumbuhnya subur sekali.

Setelah itu ia terus pulang dan bersantap.

Biasanya engkong dan cucu ini bersantap sama-sama, ada saja yang mereka bicarakan, akan tetapi hari ini, Pau Kausu nampaknya batal hendak bicara ini telah kejadian beberapa kali.

“Akh, Ah Loan, sukakah kau bepergian?” akhir-akhirnya sang engkong tanya:

“Aku hendak diperintah pergi ke mana, yaya?” tanya sang cuyu sambil tertawa.

“Merantau kemana kau suka!” sahut engkong itu. “Kau boleh mendaki gunung tinggi dan seberangi sungai besar, untuk lihat apa yang kau belum pernah lihat, untuk juga ketemui orang-orang gagah diluar kalangan Kun Lun Pay kita!”

“Aku suka, yaya!“ berseru cucu dengan gembira. “Kita pergi bersama-sama memang sudah lama sekali yaya-pun tidak pernah bepergian!”

Tetapi sang engkong goyangi tangan.

“Aku tak dapat tinggatkan rumah kita,” ia jawab.

“Yaya tak dapat tinggalkan rumah, aku-pun tidak dapat tinggalkan kau yaya!“ kata Ah Loan sambil tertawa.

Setelah kata begitu, cucu ini angkat sumpitnya akan dahar pula.

Jago tua itu kerutkan dahinya, ia berdiam.

“Jangan kau anggap bugeemu sudah sempurna,“ kemudian ia kata. “Dalam kalangan Kun Lun Pay kita, kau tidak bakal dapatkan pula lain macam kepandaian yang istimewa. Kau mesti merantau untuk melatih diri. Dari sini kau pergi ke Hantiong, dari Han-tiong kau lintasi Cin Nia untuk menuju ke See-an-hu, kemudian kau pergi ke Han- kok-kwan, terus ikuti sumgai Hoang Hoo pergi langsung ke Kay hong-hu. Disana kau boleh cari loohiap-kek Kho KengKui, si jago tua untuk angkat dia menjadi guru, akan yakinkan Tiam hiat-hoat ... ”

“Tiam-hiat-hoat?” Ah Loan memotong sambil bersenyum ewa, “Aku tak sudi pelajarkan itu! Satu lagi-lagi mesti bicara dengan golok dan tumbak, kalau orang cari kemenangan dengan ilmu menotok jalan darah, itu bukan caranya satu laki-laki!”

“Tak dapat kau bicara secara demikian anak,” kata sang engkong sambil goyang-goyang kepala “Tiam-hiat-hoat penting untuk diyakinkan. Lagipun, dengan anjurkan kau merantau, aku ada mempunyai maksud lainnya. Pertama- tama kau bisa dapat ketika aku dengar tentang Kang Siau Hoo …”

Baru mndenar begitu, semangatnya Ah Loan sudah terbangun.

“Kalau aku pergi, pasti aku akan dapat cari dia itu!” ia potong pembicaraan engkongnya. “Kalau aku ketemu dia, mesti aku bunuh padanya!”

Engkong itu goyang pula tangannya.

“Kau sabar,” ia bilang. “Umpama dia tidak terus musuhkan kita, atau kepandaiannya belum semlpurna, kita baik jangan ladeni padanya. Sekarang yang kedua. Kau sekarang sudah berumur duapuluh tahun. Orang lelaki atau perempuan, satu kali sudah berusia dewasa, dia mesti menikah, karena itu, kaupun harus cari sendiri bakal suamimu. Semua orang yang kita kenal disini, tidak ada yang cocok untukmu. Selama belasan tahun ini, dikalangan kang-ou mesti ada muncul pemuda-pemuda yang berkepandaian tinggi, mesti ada satu diantaranya yang sembabat bagimu. Hanya ingatlah baik-baik, kau mesti cari, kecuali yang romannya cakap, juga yang kelakuannya baik, bugeenya melebihi bugeeku. Umpama akan dapati orang yang kau maksudkan, lekas kau pulang akan beritahukan aku, aku nanti dayakan untuk rekoki jodoh kau berdua ...”

Mukanya Ah Loan berubah menjadi merah, ia tidak kata apa-apa, ia-pun tunda sumpitnya.

“Dasar orang perempuan … “ demikian engkong itu ketika melihat sikap likat dari cucunya.

“Kau ingat wanti-wanti,” engkong ini segera tambahkan, “kalau kau sudah dapatkan orang yang kau penuju, catat she, nama dan alamatnya, aku masih hendak uji dia, jikalau sudah terbukti dia ada lebih lihay daripadaku, baru aku suka nikahkan dia denganmu. Dan kau sendiri, selama dalam perantauan, kau mesti jaga diri baik-baik kau mesti sabar dan jangan keterlaluan, agar kau tidak merusak namaku!”

Ah Loan tunjang kepalanya, ia diam, ia tidak menjawab. Malah seterusnya ia latas seperti berubah, menjadi seperti sorang lain. Sejak hari itu tidak pernah ia raba goloknya.

Pau Kun Lun juga sudah lantas pilih hari, untuk lusanya sang cucu berangkat. Dan besoknya ia perintah cucu  itu siap, sedang untuk kawan dijalan, ia tugaskan Chio Tie Yau, muridnya yang  ke empat, sebagai petunjuk dan pelindung juga.

Chio Cie Yau-pun ada salah satu murid kesayangannya jago tua ini, hanya diwaktu muda, selagi, nonton sandiwara, dia sudah permainkan satu nyonya baik-baik, hingga ia langgar larangan gurunya, meski-pun ia dapat keampunan, tidak urung matanya yang kiri dikorek, hingga sudah sejak banyak tahun ia andalkan saja matanya yang kanan. Mata sebelah itu tidak jadi halangan akan Cie Yau peroleh kemajuan terlebih jauh, hinga ia-pun pernah merantau. Namanya ia dikenal sampai baik. Ketika itu ia sudah berumur empat puluh lebih. Sekarang ia ada seorang yang baik sekali kelakuannya, dari itu, gurunya pilih ia. Ia- pun suka terima tugas itu, dari gurunya ia terima berbagai nasihat.

Pada hari yang ditetapkan, hari yang terang-benderang dan bulan keempat, hari ke sepuluh yang pertama, Ah Loan dan Chio Cie Yau sudah siap. Disitu  ada berkumpul Ma Cie Hian, Tan Cie Cun, Wan Cie Gie, Thio Cie Cay, dan yang lain untuk mengantar atau mengasi selamat jalan pada sumoay itu.

Thio Cie Cay murid yang kedelapan-belas, akan tetapi selama belakangan ini pelajaranaya silat maju dengan pesat, dari itu, oleh gurunya ia diwajibkan menjaga rumah.  Ia baru saja dipanggil datang.

“Nona Ah Loan hendak dikirim kemana?“ dia tanya gurunya.

“Pertama aku hendak suruh dia pergi ke Ha-tiong akan sambangi ayahnya,” Pau Kau-su beri keterangan. “Dari sana ia harus lewatkan Cin Nia untuk pegi ke See-an-hu akan tengok Cie Kiang, supaya Cie Kiang bisa ajak dia kunjungi dan berkenalan kepada orang-orang ternama dari See-an. Dari Seean, lanjut ke Timur mengunjungi Lie Cin hiap di Hoa-cu dan Thio Tek Pa di Tong-cu. Kalan nanti ia sudah keluar dari han-kok-kwan. dia boleh kunjungi Tiat- piekau Nio Kho di Lok-leng-koan, Kim Lian Pousat Bu Siatsu di Song San dan Sin-eng Kho Keng Kui di Kay-hong. Dari sana dia boleh menuju terus ke Selatan, akan tengok Sin-pian Lou Pe Hiong di distrik Sian-cay, Say Uy Tong Lau Khong di Sinyang, dan Hoa-chio Bang Jie di Sianyang. setelah itu, dia boleh masuk ke Sucoan, akan ketemui Hou Ciu Hou di Sucoan Selatan dan Long Tiong Hiap di Sucoan Utara.”

Semua muridnya jago tua ini sangat ketarik mendengar rencana perjalanan dari Ah Loan itu, melainkan Chio Cie Yau yang antar-balik matanya yang tinggal sebelah. Didalam hatinya ia kata : “Ini ada pengembaraan seperti dibuang saja, dan kalau ada terjadi sesuatu dengan si nona, mataku yang kanan ini barangkali bakal di korek pula … “ Tapi ia sudah diberikan tugas dan ia telah terimanya, ia tak dapat kata apa-apa pula.

Orang semua angkat cawan arak akan kasi selamat jalan pada Ah Loan berdua, yang didoakan supaya tak kurang suatu apa.

Ah Loan gembira tercampur sedih. Ia  berat akan berpisah dari engkongnya, ia keluarkan air mata ketika ia ambil selamat tinggal dari engkongnya, encek dan encimnya. Ia naik kudanya, Chio Cie Yau ikuti ia. Hanya sesampainya di jalan besar, Cie Yau lantas menggantikan jalan di depan, akan mulai dengan perjalanan mereka, ke Utara.

Ce Yau dandan serba biru kudanya putih, goloknya di tancapkan pada buntalannya. Ia beri kudanya conklang, tidak cepat dan tidak pelahan.

Kuda merahnya Ah Loan ada gesit, pakaiannya baru, hingga kelihatannya berkilau-kilau, tapi si nona  sendiri tidak berpakaian mewah, pakaiannya biru, sepatunya hijau, ujung sepatunya disulam bunga-bungaan. Ia pakai tutup kepala biru juga, sedang ujung kuncirnya di beri masuk kedalam baju. Cambuk kuda tercekal  ditangannya. Agaknya ia ketarik akan saksikan pemandangan alam disepanjang jalan : gunung, air, sawah, ladang dan rumah- rumah orang dusun.

Setelah lewati Pak San, gunung Utara, nona ini mulai meninggalkan daerah Tin-pa. Dari sini tujuan mereka adalah Barat.

“Nona,” kata Ci Yau sambil menoleh kebelakang dan tertawa pada Ah Loan. “Tujuan kita bukannya dekat, sedikitnya dua atau tiga ribu lie. Masih belum ditentukan, ditengah perjalanan ini kita akan peroleh pengalaman apa. Kau ada berbugee tingi tetapi kau belum pernah merantau. Aku pernah merantau tapi belum pernah kelima propinsi seperti ini. Maka itu, haruslah kita berhati-hati, kepada siapa juga kita mesti berlaku hormat. Kita benar ada merubawa senjata tetapi tidak seharusnya itu sembarangan dihunus. Terutama bugee kita, jangan sekali-sekali sembarangan kita pertunjukan kalau tidak …”

Tapi mendengar itu, Ah Loan mendelik.

“Cukup! Kau tak usah ngobrol lebih hanyak!“ ia mencegahnya.

Cie Yau mainkan matanya setelah itu, ia tertawa. “Bukan obrolan, ini ada hal yang sebenarnya,” kata ia.

“Biar orang berkepandaian bagaimana tinggi pun, tak dapat dia tak kerun lancang menyerang orang …”

Tapi Ah Loan sebal.

“Chio Susiok,” kata ia, “kalan kau masih ngobrol saja, biar aku berjalan seorang diri! Jikalau kau tidak sudi ikuti aku, silahkan kau pulang saja!”

“Cukup, cukup!“ Cie Yau kata. “Baik, aku tidak bicara pula. Untuk peringatkan kau, nona, aku hendak menyebut ringkas saja : Hati-hatilah!” “Aku mengerti,” kata Ah Loan yang terus tertawa.

“Kalau kau sudah mengerti itulah bagus!” kata Cie Yau yang-pun kemudian ia cambuk kudanya.

Maka kedua kuda lantas lari menuju ke Barat.

Dihari itu juga dua orang ini sampai di Han-tiong, terus mereka pergi ke Kun Lun Piau Tiam. Ah Loan bisa lantas ketemui ayahnya, Cie In, dan beberapa susiok atau paman angkatnya.

Cie In kurang tetap hatinya apabila ia  diberitahukan niatan merantaunya gadisnya yang jauh  itu, tetapi karena itu ada keinginan dari ayahnya, dan anaknyapun sudah mulai dengan pengembaraannya, ia tidak dapat cegah lagi. Dia-pun urungkan niatnya akan kirim dua tiga orang untuk temani Chio Cie Yau, kesatu ia memang sedang kekurangan orang, kedua tidak ada yang sudi merantau demikian jauh dan lama. Disebelah itu ia tahu adat keras dari gadisnya, ia tidak ingin kebentrok dengan anak itu. Maka akhirnya ia cuma menulis sepucuk surat, yang ia bekalkan pada Chio Cie Yau, untuk diperlihatkan pada Kat Cie Kiang di See-an, supaya saudara itu saja yang nanti berdaya akan perintah orang-orang lindungi gadisnya disepanjang jalan.

Ah Loan nginap cuma satu malam pada ayahnya, esoknya pagi ia pamitan dan lanjutkan perjalanannya. Di itu hari juga ia sampai didistrik Liu-pa, disana ia mampir pada susioknya, The Cie Pin, yang membuka piautiam. Dihari kedua, ia berangkat pula, pada waktu tengahari, ia lintasi gunung Cin Nia yang tinggi dan penuh dengan pohon-pohon, hingga nampaknya hijau gelap. Tapi itu waktu udara ada terang, orang yang berlalu lintas ada banyak, sama sekali mereka tidak dapat gangguan penjahat. Pada waktu sore, mereka sampai di Taysan-kwan. Disini ada sebuah Kun Lun Piau Tiam yang dibuka pada tiga tahun yang lalu, yang dikepalai oleh Lou Cie Tiong. Maka dia ini terperanjat kapan mendadak ia dapatkan Ah Loan muncul di depannya.

“Dia sedang merantau,” Cie Yau beri keterangan. Malah dia jelaskan rencana perjalanan itu, yang jauh dan luas.

Air mukanya Cie Tiong menjadi berubah.

“Nona, baik kau jangan pesiar terlalu jauh.” ia lantas mencegah. “Sampai di See-an, masih boleh, dari situ jangan kau menuju ke Timur. Keadaan sekarang telah jadi lain. Di Hoolam baru saja muncul beberapa orang gagah angkatan muda, diantara siapa, yang paling terkenal ada cucunya Liong-bun-hiap Kie Kun Ie, namanya Kie Kong Kiat. Dia baru berumur dua puluh kurang lebih, bugeenya sudah begitu sempurna sehingga ia dapat kalahkan Kho Keng Kui dari Kayhong-hu. Katanya sekarang ini pemuda itu sedang menuju ke Barat, untuk menemui Lie Cin Hiap dan Hoa- ciu, buat sekalian menuju terus ke Tin-pa untuk cari suhu, buat diajak pie-bu. Kepandalannya pemuda itu ada diatas kita pihak Kun Lun Pay. Maka nona, jikalau kau ketemu dia, dan dia ketahui kau ada dari kaum Kun Lun Pay, tak dapat tidak, kau tentu bakal mendapat malu …”

Chio Cie Yau terkejut mendengar keterangan perihal Kie Kong Kiat itu, matanya sampai mencilak, air mukanya pucat.

“Inilah berhahaya!” menyatakan ia. “Liong Bun Pay itu ada jauh terlebih lihay dari pada kita Kun Lun Pay. Ketika dahulu suhu sedang latih kita. Ia telah beri nasehat, jangan kita terlalu puas dengan bugee kita hingga kita jadi jumawa, kemudian ia sebut-sebut Liong Bun Hiap dan Siok Tiong Liong. Dua jago itu ti dak terima murid, umpama kata mereka ada mempunyai murid yang telah lulus sudah pasti mereka bisa setiap orang melayani seratus musuh!”

“Lagi satu kabar yang aku belum sempat sampaikan kepada suhu,” menyambungi Lou Cie Tiong selagi Ah Loan masih berdiam. “Menurut orang-orang yang baru datang dari Timur, didaerah Kanglam sekarang telah muncul juga satu hiap-kek muda, bugee siapa katanya lihay dan sepak terjangnya ada secara rahasia. Ada orang menyangka dia adalah Kang Siau Hoo, yang sudah lulus dari perguruannya…”

Mendengar itu, Cie Yau lirik Ah Loan, baru ia hendak buka mulutnya atan Ah Loan sudah deliki matanya.

“Lou Susiok bersama Chio Susiok jangan perdulikan aku!” kata nona ini yang tabiatnya aseran. “Tidak dapat tidak, aku mesti pergi papaki cucunya Liong Bun hiap. Kalau Kang Siau Hoo sudah muncul, itu ada terlebih baik lagi. Kalau dia ada di Kanglam, aku nanti cari dia di Kanglam, dimana-pun dia berada, aku akan menyusulnya juga! Aku hanya kuatirkan aku tidak dapat cari dia!”

Dengan menolak pingang nona ini kelihatannya jadi keren sekali, sedang alisnya berdiri, matanya bersinar.

Cie Yau hendak sahuti si nona tetapi Cie Tiong kutik ia. “Marilah kita bersantap dulu,” mengundang tuau rumah.

Kemudian Cie Tiong menyediakan satu kamar untuk nona sendiri. Sesudah itu ia silahkan nona itu beristinahat, ia ajak CieYau pergi untuk damaikan daya guna besok coba mencegah si nona. Mereka percaya seorang perempuan sebagai Ah Loan akan dapat dibujuknya  untuk  kembali saja, supaya pengembaraannya dibatalkan.

Mereka memikir demikian gampang, tidak tahunya, Ah Loan benar-benar kepala batu. Diluar tahu mereka tengah malam itu Ah Loan dandan dan berangkat sendiri, dengan tinggalkan Cie Yau!“

Tay-san-kwan ada suatu kota penting di daerah pegunugan Cin Nia, disitu ada beberapa puluh toko, diwaktu siang perhubungan ada ramai sekali, tetapi setelah malam, kota jadi sepi, sedang penerangan itu malam adalah penerangan dari si puteri malam yang kebetulan berada diatasan gunung, sinarnya menyinari jalan umum.

Piautiam dari Lou Cie Tiong berada di luar kota ini, ini menggampangkan Ah Loan untuk “minggatnya” itu. Karena ia kuatir Cie Tiong akan menyusul dan paksa ajak dia balik, Ah Loan sengaja kaburkan kudanya kearah utara.

Syukur jalanan ke Seean ada langsung, sedang setelah kabur jauhnya enam atau tujuh puluh lie, sang fadar sudah mendatangi, sesaat pula dijalanan sudah mulai tertampak orang berhilir-mudik, dari jarang-jarang sampai jadi banyak. Tentu saja banyak mata perhatikan nona ini siapa sebaiknya duduk atas kudanya dengan tenang, seperti juga dikiri dan kanannya tidak ada lain orang.

Ah Loan larikan kudanya sampai mendekati tengahari. Ia sinhgah disatu dusun, ia  cari rumah makan, tengah berdahar ia tanya pelayannya tentang tempat itu, yang ternyata ada distrik Hin-peng. Menurut jongos, lagi dua perhentian, orang akan sampai di See-an. Oleh karena ini, setelah dahar cukup, Ah Loan lantas lanjutkan perjalanannya. Sorenya ia sampai disebuah kota, ia merasa sangat lelah, ia lantas cari rumah penginapan dimana ia minta kamar. Dan jongos ia dapat tahu, tempat itu adalah distrik Hin-peng, dari situ lagi dua perhentian orang akan sampal di See-an.

Hotel itu penuh dengan tamu, pekarangan penuh dengan kuda dan kereta. Karena sudah gelap, disemua kamar sudah dipasang lampu. Dari berbagai kamar ada terdengar riuh suara orang dengan berbagai-bagai bahasa daerahnya. Di tempat seperti ini, Ah Loan tidak menarik terlalu banyak perhatian. Ia lantas saja minta disediakan barang makanan.

Jongos heran ketika si nona buka bungkusan kepalanya, ia lihat rambut yang dikepang.

“Apakah nona sendirian saja?” ia tanya. “Nona dari mana? Apa nona hendak pergi ke See-an?“

Ah Loan manggut, ia  tidak mau bicara. Sehabisnya dahar, ia minta satu teekoan yang terisi air. Ia tutup pintu kamarnya, kemudian ia rebahkan diri diatas pembaringan, ia memikirkan bagaimana besok kalau ia sudah sampai di See-an, ia perlu ketemui Kat Cie Kiang atau jangan.

“Tidak perlu aku ketemui susiok dan lainnya,” ia ambil putusan. “Malah kota See-an-pun baik dilewati saja, biar aku jalan mutar menuju ke Timur, akan ke luar dari Han- kok-koan. Begitu lekas aku keluar dari daerah Kwan-tiong, aku tidak akan ketemu pula orang-orang Kun Lun Pay, ini berarti tidak ada orang lagi bisa cegah-cegah aku …”

Kemudian ia menduga-duga tentang Kie Kong Kiat, cucunya Liong Bun Hiap. Apa benar orang she Kie itu ada terlebih daripada dia.

“Inilah aku sukar percaya!“ demikan anggapannya. Kemudian ia ingat Kang Siau Hoo.

“Susiok Cie Cong bilang dia sudah munncul, namanya kesohor aku ingin sekali cari dia!“ dia ngelamun terlebih jauh. Aku hendak lihat setelah berselang sepuluh tahun bagaimana dengan bugeenya, Yaya bilang, gurunya Siau Hoo mirip dewa saja, tetapi aku tidak percaya itu aku ingin buktikan sendiri : “Siau Hoo lebih lemah atan lebih gagah daripada aku. Aku mesti binasakan padanya, supaya dia jangan hidup didunia ...

Tapï tiba-tiba ia berduka, lalu ia tutupi kepalanya akan coba tidur. Ia berhasil. Besoknya pagi, setetah dandan, ia minta si jongos siapkan kudanya, sesudah melakukan pembayaran ia tuntun kudanya di sepanjang jalan besar yang ramai, kemudian baru loncat naik atas kudanya itu buat diberi lari kearah Timur.

Sesudah melalul kira-kira empat puluh lie, selagi matahari mulai naik, Ah Loan sampai diluar kota Ham- yang. Sebuah sungai besar melintang di depannya. Disitu ada pelabuhan yang ramai. Ada belasan perahu besar yang nambangi, untuk orang pergi menyeberang atau sebaliknya.

Nona itu turun dari kudanya, ia tanya seorang tentang perjalanan ke See-an harus seberangi sungai itu atau tidak.

Orang yang ditanya mirip dengan seorang dagang, disampingnya ada sebuah kereta, ia sedang mengawasi perahu-perahu eretan, ketika ditanya. ia menoleh, akan kemudian ia anggukan kepala.

“Ya,” ia jawab. “Banyak sekali orang yang naik perahu, kita mesti berjubelan barulah kita dapat menyeberang.”

Ah Loan tuntun kudanya sampai ditepi kali, bercampuran dengan banyak orang. Agaknya ia bingung juga.

“Eh, ini toh Ah Loan?” tiba-tiba ia dengar orang berkata disampingnya. Ia terkejut, ia menoleh dengan segera. Maka ia kenali ia  punya susiok Lau Cie Wan, yang bekerja membantu Lie Sun Piau Tiam dari Kat Cie Kiang di See- an. Sudah selang dua tahun susiok ini belum pernah kembali ke Tin-pa.

Menuntun kudanya, Lau Cie Wan menghampirkan. “Kenapa kau ada disini, nona?“

“Su-siok,” kata Ah Loan sambil memberi hormat. Ia merasa hatinya tak enak, tapi ia lekas menjawab, “Aku sedang merantau, menuruti kebendaknya yaya, agar aku dapat pengalaman. Yaya titahkan Chio Susiok iringi aku, tetapi sesampainya di Taysan kwan kita berpisah, sebabnya bersama-sama Lou Susiok dia mau bujuki aku supaya pulang kembali. Maka pada waktu tengah malam aku tinggalkan Chio Susiok, aku menuju kemari, niatku akan pergi ke Seean, dari sana baru menuju terus ke timur. ke Han-kok-kwan dan Kayhong. Yaya pesan untuk aku pergi juga ke Siangyang dan Long-tiong!“

Cie Wan kaget mendengar rencana perjalanan ini. sampai ia keluarkan keringat. Tapi ia kenal baik tabiatnya nona ini yang kepala batu dari itu, terus ia, berpura-pura tertawa.

“Cie Tiong mirip dengan suhu.,” kata ia, “semakin dia pandai, semakin dia tua, hatinya jadi semakin  kecil! Dengan bugeemu ini, jangankan ke Hoo-lam, Siang-yang dan Long-tiong, ke KwieLang dan Kwiesay, ke Inlam dan Kuicu-pun kau boleh pergi. Siapa yang begitu tak sayang jiwanya berani mengganggu kau? Hanya untuk ini nona jangan terlalu tergesa-gesa. Mari ikut dahulu aku pergi ke See-an, beristirahat disana dan pesiar satu dua hari, kemudian aku nanti minta libur dari Kat Su-heng, untuk iringi kau keluar dari Han-kok-kwan. Aku juga ingin merantau akan tambah pemandangan dan pengalaman ...”

Bukan main girangnya Ah Loan akan dengar paman- guru ini.

“Kalau aku pergi pada Kat Su-siok, apakah dia tak akan rintangi aku?” tanya ia. “Siapa bisa rintangi kau?” kata Cie Wan sambil tertawa

... “Kau diperintah guru, siapa berani cegah dan ajak kau pulang? Cuma Cie Tiong yang bisa berbuat demikian. Dalam segala hal ia ada penakut, ia terlalu berhati-hati!”

Ah Loan girang sekali.

Itu waktu ada datang sebuah perahu, Cie Wan ajak si nona naik perahu itu, ia tuntun kudanya si nona serta kudanya sendiri yang berbulu hitam.

Perahu itu besar, bisa muat tiga buah kereta serta empat- lima ekor kuda berikut belasan orang. Tukang-tukang perahunya ada berlima, semua kelihatan bertenaga besar, mereka tolak perahu sambil perdengarkan suara. Tapi diair keruh, jalannya perahu ada pelahan sekali.

Matahari waktu itu sudah naik tinggi, sinarnya menuju permukaan air yang menyilaukan mata.

Kota Hamyang yang tua, segera ketinggalan jauh dibelalang.

Diatas perahu, Ah Loan tanya susioknya: “Lou Susiok ada omong tentang munculnya Kang Siau Hoo dan juga cucunya Liong Bun Hiap, entah Kie apa Kiat namanya, yang katanya berbugee liehay dan hendak pergi ke Tin-pa untuk cari yaya, buat menantang piebu. Apakab susiok pernah dengar kabaran itu?”

Lau Cie Wan tidak menjawab hanya diam-diam ia goyangi tangan pada si nona, hingga Ah Loan jadi heran berbareng mendongkol, karena ia jadi penasaran ia  lalu ngoceh seorang diri: “Kang Siau Hoo sudah lulus dari perguruannya, aku ingin sekali ketemui dia buat buktikan, bagaimana tinggi kepandaiannya itu! Benar ayahnya telah dibunuh oleh yaya tetapi dia-pun sekian lama telah dipelihara oleh yaya dia diperlakukan baik, mustahil dia tidak nempunyai liangsim? Dulu dia sudah gosok-gosok Long Tiong hiap, mustahil sekarang ia sendiri mau cari yaya? Kalau benar, bukan saja dia, gurunya juga aku akan cari! Aku mesti cari juga cucunya Liong Bun hiap!“

Cie Wan sibuk bukan main.

“Lihat, nona, itu air yang bening dan keruh, apa itu tidak aneh?’ kata ia, yang coba simpangkan pembicaraan. “Juga lihat itu burung air yang beterbangan!“

Meki-pun demikian, semua penumpang lainnya sudah perhatikan gerak-geriknya nona ini.

Syukur perahu sudah lantas sampai diseberang, semua orang lantas mendarat.

Diatas kudanya, selagi menuju ke Selatan, Cie Wan menghela napas.

“Ai, nona, sedikit juga kau tak mempunyai pengalaman

... “ katanya. “Kenapa kau sembarangan bicara  dimuka timum l Siapa tahu kalan diperahu tadi ada Kic Kong Kat sendiri, cucunya Lions Bun Hiap? ...

Selagi berkata begitu, iapun menoleh ke belakang, ia kuatir ada orang yang ikuti mereka.

Ah Loan sebaliknya bersenyum tawar.

“Lebih baik pula bila aku ketemu disini!’ kata ia. “Aku mengembara karena aku hendak cari semua lawan!”

Cie Wan candak kudanya si nona, ia berpaling pula. “Jangan  terburu  napsu, nona,”  ia  beri nasihat, “Sekali-

pun kita cari lawan, kia mesti cari tahu dahulu bugee lawan, kita sanggup layani atau tidak. Disebelah itu, perlu kita mempunyai beberapa  kawan,  Bugeemu  liehay, akan tetapi

... “Cuknp, “susiok!” Ah Loan memotong,  mukanya merah. “Kalau susiok masih ngoceh terus, aku tidak mau pergi ke See-an, aku akan menuju langsung ke Timur akan cari Kang Siau Hoo dan Kie Kong Kiat.’

Cie Wan kewalahan, tetapi dia tertawa. Ia  mangut- mangut.

“Ya sudah, aku tidak bicara pula,” ia kata. “Tapi, aku mesti menasehatkannya. Kang Siau Hoo itu benar ada musuh kita. Bagaimana dahulu ia gosok-gosok Long Tiong Hiap hingga jago Longtiong ini mengacau di Cie-yang dan Tin-pa. Permusuhan itu tak dapat diselesaikan sekali-pun sampai ratusan tahun. Meski bagaimana tinggi ilmu silatnya, bilamana dia datang ke Han-tiong sini, mesti kita tempur padanya. Akan tetapi terhadap Kie Kong Kiat, kita tidak mempunyai sangkutan. Dia baru muncul selama dua tahun ini, kalangan perantauannya belum luas, dia belum sampai di Kwan-tiong. Akan tetapi menurut kabar Kho Keng Kui telah rubuh ditangannya, maka bisa diduga bugeenya tentunya liehay. Malah diri mengerti Tiam-hiat- hoat. Dia ada cucunya Liong Bun Hiap. aku percaya dia mesti kenal tata sopan-santun, maka itu, asal dia tidak cari kita, kita-pun baik tidak usah cari dia.”

Ah Loan tidak menjawab, ia  hanya tertawa dingin berulang-ulang.

Kedua kuda congklang dengan berendeng terus ke Selatan, diwaktu tengahari mereka sampai di See-an. Kota ada larnal, Ah Loan jadi tertarik.

Disini, Cie Wan jalan didepan.

“Lihat, nona, bukankah tempat ini ramai? Kalah Tin-pa kalau dibandingkau dengan kota ini!” kata sang susiok sambil menoleh. “Mari kita tengok dahulu Kat Susiok. Buat dia ini, dia ada piausu kelas satu dan hartawan paling besar.”

Cie Wan ajak nona ini memasuki Lam-mui, kota Selatan, di Lam Toa-kay jalan Selatan, mereka berhenti dimuka Lie Sun Piau Tiam yang kelihatannya angker. Lima pegawai menanti dimuka pintu, melihat Cie Wan mereka lantas menyambut.

“Ini ada cucu dari Pau Loo suhu dari Tin-pa,” Cie Wan lantas perkenalkan si nona. “Nona datang seorang diri dari Tin-pa!”

Semua mata mengawasi dengan keheranan atau kekaguman pada si nona, lantas lekas-lekas mereka mengasi hormat.

Kuda mereka berdua sudah lantas ada yang sambuti. Cie Wan ajak Ah Loan masuk kedalam. Tapi segera mereka berpapasan dengan Kat Siau Kong yang jalan keluar.

Siau Kong adalah anaknya Cie Kiang, dia berpengawakan gagah seperti ayahnya, tenaganya besar sekali, umurnya baru duapuluh lebih, ia jadi ciangkui muda, walau masih muda namun dia pernah beberapa kali iringi piau sampai di tempat jauh. Pada lima tahun yang lalu, Cie Kiang pernah ajak dia ke Tin-pa untuk lamar Ah Loan, namun perjodohan tak terangkap, dan sekarang Siau Kong sudah menikah kepada Thia Giok Go, gadisnya Thie Hong San dan Hong San Pau Tiam. Thia Giok Go-pun mengerti sedikit bugee. Sekarang Siau Kong ketemui si nona, ia girang sekali, ia lekas menyambut sambil memberi horrnat.

“Ab, adik Ah Loan!“ demikian katanya.  “Bagaimana kau bisa datang bersama-sama Lau Susiok? Bagaimana dengan engkongmu, apa ia baik? Mari masuk adiku! Ibu harus segera menemui kau!“ Terus tuan rumah ini pimpin tamunya masuk keperdalaman.

Nyonya Cie Kiong adalah Cie sie, umurnya sudah empat puluh lebih.

“Inilah ibu, dan ini isteriku,” Siau Kong memperkenalkan. Tapi waktu diam-diam ia awasi si nona dan kemdian isterinya, dalam hatinya ia kata, “beda, beda jauh, Ah Loan mirip bidadiri, sebaliknya isteriku ... “ Kemudian ia undurkan diri buat cari ayahnya.

Cie-sie lantas ajak Ah Loan bercakap-cakapan, kebanyakan hal rumah tangga, mengenai mana, Ah Loan ada sangat hijau. Ah Loan hanya dapat menutur maksudnya mengembara dan apa yang sebegitu jauh ia lihat disepanjang jalan.

Thia Giok Go menyuguhkan teh, dia pun tidak bicara banyak.

Tidak lama Cie Kiang muncul. Ah Loan berbangkit memberi hormat pada paman guru itu.

“Ah, Susiok, kau sudah pelihara kamis!” kata nona ini. “Aku  bakal lekas  jadi orang tua, nona!” sahut Cie Kiang

sambil  tertawa.  “Perihal  kau   aku  telah   dengar  dari Cie

Wan. Karena kau merantau atas perkenan suhu dan suko, aku tidak mau kata suatu apa hanya untuk beberapa hari baiklah kau beristirahat disini untuk kita berunding lebih jauh, aku-pun hendak cari seorang yang berpengalaman untuk iringi kau.”

Tapi Ah Loan geleng kepala.

“Aku tidak ingin orang iringi aku,” ia bilang. “Aku kenal jalan, aku ada bekal uang, aku-pun bekal golokku!“ “Jangan kesusu, nona!“ Cie Kiang tertawa. “Kau perlu pesiar beberapa hari disini. Bukankah kau-pun berniat menemui Kang Siau Hoo dan Kie Kong Kiat? Turut apa yang aku dengar, di Kanglam benar ada muncul satu pemuda gagah, hanya dia katanya ada orang she Lie, asal dari Titlee, dia bukannya Kang Siau Hoo. Mengenai Kie Kong Kiat di Kayhong, aku justeru sudah kirimi orang buat undang diri datang kemari, barangkali dalam setengah bulan ini dia akan sudah sampai disini.”

Ah Loan girang mendengar kabar itu, ia manggut.

“Baik, aku nanti tunggui ia disini buat sepuluh atau lima- belas hari,” ia kata. “Paling dulu aku ketemui Kie Kong Kiat, kalau aku dapat kalahkan dia, dia pasti bakal pergi ke Tin-pa akan cari yaya. setelah itu barulah aku cari Kang Siau Hoo. Terhadap Siau Hoo aku tidak bisa berlaku murah. Dia sudah pandai bugee atau tidak, aku mesti bunuh padanya! Aku benci sangat padanya!“

Saking sengit, Si nona meneteskan air mata.

“Sabar, nona,” Cie Kiang menghibur. Kemudian ia keluar sambil kerutkan dahi.

Tie Kiang sudah ketahui hal nona ini bukan dari Cie Wan saja, juga dari Cie Tiong, siapa sudah jadi kelabakan waktu besokan pagi ia dapatkan Ah Loan sudah lenyap, maka lantas ia menyusul ke See-an dan ketemui Cie Kiang buat minta keterangan halnya si nona.

Cie Tiong sesalkan sangat gurunya, yang sudah anjurkan dan lepaskan Ah Loan pergi merantau.

“Hal Siau Hoo kita tak usah sebut-sebut, barangkali dia sudah mati,” kata orang she Lou ini. “tetapi cucunya Liong Bun hiap, bagaimana kita bisa main gila terhadap dia? Maka itu, perlu Ah Loan dicegah merantau lebih jauh. Aku sudah minta Chio Suko lekas pulang ke Han-tiong, buat minta Cie In Toako datang sendiri menjemput gadisnya ini!”

“Jangan sibuk, untuk beberapa hari ini tidak bisa Ah Loan pergi dari sini,” kata Cie Kiang. “Aku sudah dustakan dia bahwa aku kirim orang ke Kay-hong buat undang Kie Kong Kiat dan ia telah menyatakan suka akan menantikan. Aku sudah pikir, setiap hari aku mau ajak dia pesiar, kalau sudah kira-kira sepuluh hari dan ia  dapatkan kota ada ramai, aku percaya dia tidak kesusu lagi, dia akan betah berdiam disini.”

Ce Tiong manggut.

“Walau demikian, Toako Cie In perlu datang kemari,” ia kata. “Aku kuatir akan terbit onar juga jikalau lama dia berdiam disini, sebab aku ketahui tabiatnya yang keras itu.”

Karena itu, Cie Tiong tidak berani segera kembali ke Taysan-kwan, dilain pihak ia-pun tidak mau ketemui Ah Loan.

Sejak itu, setiap hari Ah Loan pesiar dengan naik kuda, tetapi setiap kali ia kembali paling dahulu ia tanya Cie Kiang: “Kie Kong Kiat sudah datang atau belum?“

Demikian seterusnya, lekas sekali, sembilan hari sudah lewat.

Di hari kesepuluh, Kat Siau Kong hendak ajak isterinya pasang hio sekalian pesiar ke Tay Gan Tah diluar kota jauhnya enam-belas lie, berhubung dengan itu ia tanya Ah Loan, apakah nona ini suka ikut atau tidak.

“Ada apa yang menarik hati di Tay Gan Tah?” Ah Loan tanya. “Asal kan pergi, kau akan lihat sendiri!” Siau Kong kata dengan aksinya, sambil ia bersenyum juga. “Tay Gan Tah ada pagoda yang didirikan dijaman Tong oleh Lou Poan Ya. Tong Sam Chong yaitu gurunya Sun Gou Khong telah dikubur didasarnya pagoda itu! Hayolah nona ikut aku pesiar!”

Lantas Siau Kong desak isterinya lekas dandan, ia sendiri pergi keluar, akan perintah segera siapkan kereta. Maka sebentar kemudian, Giok Go dan Ah Loan sudah keluar dengan sudah dandan. Ah Loan pakai baju dadu dan celana hijau, ia pakai pupur dan yancie, maka bila dipadu dengan Giok Go, mereka jadi beda sangat banyak.

Sesampainya di depan, Ah Loan perintah siapkan kudanya.

“Jangan naik kuda, nona,” kata Siau Kong. “Kau naik kereta bersama ensomu, aku nanti duduk didepan!”

“Tidak,” Ah Loan geleng kepala. “Aku tak gemar naik kereta!”

Siau Kong tertawa.

“Kalau begitu, akupun akan naik kuda,” ia  bilang. “Nona Loan, sebentar kita coba-coba untuk lihat, kuda siapa bisa lari lebih keras. Kudaku pernah menaiki dan melewati gunung Pak San!”

Lautas Siau Kong perintah siapkan juga kudanya, ia sendiri pergi salin pakaian lagi. Giok Go dibantu satu bujang perempuan naik dikereta.

Siau Kong berpakaian serba biru, sepatunya biru. Kudanya berbulu hitam mulus, pelananya mengkilap, disitu ada dicantelkan goloknya yang ujungnya beronce sutera. Ia nampaknya agung-agunan, dari pelayannya ia sambuti cambuk. “Eh, kau orang hendak pergi kemana?” demikian satu teguran selagi Siau Kong hendak loncat naik atas kudanya. Ia lantas berpaling, ia lihat Cie Wan.

Ah Loan juga menoleh.

“Kita mau pesiar, ke Tay Gan Tah,” ia jawab. “Apa Lau Susiok hendak turut?”

“Tidak,” sahut Cie Wan, yang mendekati Siau Kong untuk bisiki anak muda ini:

“Hati-hati kau ikuti si nona, jaga jangan sampai terbit onar! ...”

Siau Kong manggut, ia loncat atas kudanya akan terus ikuti kereta, yang sudah lantas dijalankan. Ah Loan pun jalankan kudanya di belakang kereta itu. Sekeluarnya dari Lam-mui, pintu Selatan, langsung mereka menuju ke Tay Gan Tah.

Mereka belum jalan jauh, atau didepannya sudah berpeta satu pagoda besar, nampaknya dekat, sebenarnya masih jauh. Dikedua tepi jalan ada ladang gandum, yang berombak-ombak tertiup angin. Orang yang berlalu-lintas tidak banyak.

Satu kali Siau Kong majukan kudanya melewati kereta, lantas ia menoleh.

“Nona Loan, kita coba sekarang kuda kita?” ia tanya. Ah Loan tertawa, tidak gubris ajakan itu.

Siau Kong tetap bergembira sekali-pun orang tidak ladeni ia, ia puas sendrinya, ia larikan kudanya, sampai satu lie, lantas ia lari balik.

Thia Giok Go mendongkol melihat sikap suaminya itu. “Kau gila!” kata ia dengan tegurannya. Siau Kong mendelik terhadap isterinya melirik pada Ah Loan, lantas ia tampaknya jadi uring-uringan, sepasang alisnya dikerutkan. Seterusnya, sampai mereka telah tiba di Tay Gan Tah, ia  tidak pernah larikan pula kudanya sendirian saja.

Ah Loan lihat pagoda tidak kecil, didirikannya dipekarangan dalam bio, semuaya terdiri dari tujuh tingkat, dikeempat penjurunya semua ada jendelanya. Ditingkatan terakhir ada sejumlah orang, yang  sedang mengawasi kebawah.

“Kiranya pagoda ini boleh dinaiki orang?” tanya Ah Loan seraya dengan cambuknya ia menunjuk keatas.

“Memang!” sahut Siau Kong sembari tertawa. “Kita datang kemari-pun ada untuk panjat pagoda itu!”

Hari ini bukan hari perayaan, orang-orang yang pesiar tidak banyak, dimuka pintu cuma ada tiga buah kereta serta beberapa ekor keledai. Beberapa orang kelihatan keluar dan masuk.

Siau Kong sudah lantas tambat kudanya dan tolongi juga kudanya Ah Loan.

Giok Go sudah lantas turun dari keretanya, bersama bujangnya ia masuk kedalam, paling dahulu ia pasang hio dipintu depan kemudian ke belakang, terus ke pagoda, untuk mulai memanjat.

Siau Kong mendahului naik, isterinya diiringi bujangnya, dan Ah Loan paling belakang. Baru diundak kedua, Giok Go sudah tak kuat naik lebih jauh, karena kakinya yang kecil. Ah Loan ingin naik ketingkat tertinggi, dan itu terpaksa Siau Kong suruh bujangnya temani isterinya, ia sendiri antar si nona naik terus. Dari tingkat kedua sampai tingkat keenam, setiap kali ada dua tiga orang yang pesiar, yang memandang kebawah.

Naik ditingkat ketujuh, Ah Loan lihat satu pemuda golongan sasterawan lagi mencoret-coret diatas tembok. Di tengah-tengah ruangan ada meja pujaan. Siau Kong mengawasi, sayang ia tidak mengarti banyak surat hingga ia tidak tahu apa yang ditulis itu, ia menduga pada syair saja. Hanya, diakhir tulisannya, pemuda itu menuliskan lima huruf : “Lam-kiong Lie Hong Kiat,” yang berarti: Lie Hong Kiat dari Lam-kiong.

Melihat demikian, diam-diam Siau Kong bersenyum sendirinya, sedang didalam hatinya ia mengatakan: “Dasar kutu buku!”

Ah Loan sebaliknya perhatikan pemuda itu, yang baru berumur dua puluh lebih, romannya cakap, tampangnya sehat, cara dandanannya-pun tidak sembarangan.

Disisinya pemuda itu ada ia punya bakhie sebelah mana ada satu buntalan kecil serta satu pedang yang berserangka besi seperti pedang itu sendiri, gagangnya dari besi juga.

Ah Loan ingat, pedang demikian adalah yang dinamai “hiong-kiam,” pedang jantan, yang biasa dipakai untuk serbu barisan musuh atau pie-bu. Karena ini, ia semakin perhatikan pemuda itu.

Pemuda itu juga menengok kepada si nona, lalu ia angkat perabot tulisnya juga buntalannya, kemudian  dengan bawa pedangnya turun di tangga pagoda.

Siau Kong mengawasi, ia tertawa pula.

“Dasar kutu buku!” kata ia. “Walau-pun naik tempat begini tinggi, dia masih bawa-bawa perabot tulis dan corat coret di tembok! Entah apa yang ditulisnya!“ “Aku percaya dia juga mengerti bugee!” kata Ah Loan sebaliknya. “Pedangnya bukan pedang biasa, itu ada pedang jantan, yang beratnya luar biasa. Siapa tidak mengarti baik ilmu silat, dia tidak bawa-bawa pedang demikian macam ...

Siau Kong geleng-geleng kepala.

“Tidak, tidak,” kata ia. “Sumoay, kau kena dikelabui! Bangsa kutu buku memang gemar akan pedang untuk dibuat main-main saja, banyak yang berpura-pura bun bu coan cay pandai ilmu surat dan silat berbareng. Orang kang- ou mana ada yang semacam dia ini? Lihat tanda tangannya, Lam-kiong Lie Hong Kiat. Aku merantau sudah dua tiga tahun, belum pernah aku dengar nama ini ...”

Ah Loan menjebikan bibir, ia hunjuk sikap  tidak percaya. Ia menghampiri lankan akan memandang kebawah. Justeru ini Siau Kong, yang melongok dijendela sebelah timur, teriaki padanya : “Mari nona, lihat! Dari sini bisa lihat sungai!“

Panggilan ini tidak dapat jawaban si nona-pun tidak menghampiri, ketika Siau Kong menoleh, ia dapatkan si nona justeru sudah turun kebawah dengan cepat buat susul Lie Hong Kiat.

“Ah, nona ini bukan nona baik-baik,” kata ia dalam hati, dengan tidak puas. “Beruntung dia tidak jadi isteriku! Lihat, baru ketemu satu Siucay muka putih, dia sudah tergila- gila!”

Toh dengan tetap mendongkol anaknya Cie Kiang ini  lari turun. Ditingkatan kedua ia dapatkan isterinya serta bujangnya masih menunggui.

“Mana nona Pau?“ ia tanya, matanya terbuka lebar. “Aku tahu sudah!” sang isteri jawab, dengan matanya melirik. “Aku tanya kau, kau hendak pulang atau tidak? Kalau kau tidak mau pulang, aku nanti pulang bersama Kiang Ma!”

Kiang Ma adalah bujang perempuan mereka.

“Tunggu, tunggu dulu,” jawab Siau Kong dengan menggoyangkan tangan, terus ia lari turun. Sesampainya dibawah, ia lihat si nona sedang berdiri didepan pagoda, matanya memandang kearah Barat, dari  jurusan mana Lam-kiong Lie Hong Kiat ada sedang berdiri di depan ciopay, sebelah tangannya pegangi bakhie,  sebelah  yang lain menenteng pedangnya. Pemuda itu seperti sedang baca bunyinya ciopay itu.

“Nona Loan,” Siau Kong lantas memanggil. “Buat apa kau awasi saja si kutu buku itu? Makhluk semacam dia mana mengerti bugee? Dia bawa-bawa pedangnya untuk kelabui orang! Setan alas, apabila dia berani main gila terhadap aku, aku tentu akan potes pedangaya itu!”

Lie Hong Kiat dengar perkataan itu, ia berpaling, tetapi rupanya dia anggap orang ini ada gila, ia tidak meladeni, habis membaca bunyinya cio-pay, ia lantas bertindak pergi ke kamarnya pendeta, akan kembalikan pit dan bak-hie, sesudah mana ia lalu keluar dari kuil. Ia ada bawa kuda, ia naik atas kudanya itu. Agaknya ia berniat pulang kehotelnya. Ia jalan ke Utata belum ada dua lie, tiba-tiba ia dengar suaranya kaki kuda disebelah blakangnya, kapan ia menoleh, ia lihat dua orang tadi dipagoda satu pemuda dan satu pemudi, serta sebuah kereta, mendatangi dengan cepat. Sama sekali ia tidak inginkan persetorian, dengan sikap agung-agungan ia bersenyum sendirinya, lantas ia larikan kudanya. Dua ekor kuda dibelakang, dengan melewati kereta menyusul dengan cepat. Ah Loan menyusul dengan satu maksud. Ia percaya betul orang itu mengerti bugee, dan ia duga, orang datang dari lain propinsi, barangkali untuk satrukan orang-orang Kun Lun Pay. Karena ini, ia ingin tahu dimana orang tinggal.

Siau Kong menyusul dengan hatinya digoda cemburuan atau iri-hati. Ia mau percaya Ah Loan tertarik kepada pemuda itu dan jadi tergila-gila sendirinya. Ia ada bawa goloknya, ia jadi tidak kuatir. Ia larikan kuda hitam dengan keras, hingga kemudian ia dapat candak pemuda itu.

“Binatang, tahan!” ia berseru.

Lie Hong Kiat tahu, dialah yang dimaksudkan, maka ia lekas tahan kudanya, ia putar tubuhnya. Sekarang kelihatan tampangnya besemu merah.

“Perlu apa kau tahan aku?” ia balik menegor.

Kat Siau Kong kepal tangannya, kedua alisnya berdiri. “Di mataku, binatang, kau tiada mirip-miripnya orang

baik-baik.“ ia jawab dengan bentakannya.

Lie Hong Kiat mendongkol tetapi ia mencobanya menahan sabar, ia keprik kudanya untuk dikasi lari pula.

Siau Kong larikan kudanya menyusul hingga kedua kuda jadi berendeng. Ia lantas ulur sebelah tangannya dengan maksud menjambak orang itu, buat dibetot dari kudanya. Ia hanya tidak sangka, ketika tangannya sampai, Lie Hong Kiat egos tubuhnya, berbareng sebelah tangannya menolak, ia menyusul mana “bruk!” Siau Kong telah terguling dari kudanya, hinga ia mesti pegang tanah. Ia  jadi gusar ia gulingkan tubuhnya untuk berlompat bangun, ia lari mengudak kudanya untuk ditahan, hingga ia bisa cabut goloknya. Dengan golok itu ia serang Hong Kiat. Sementara itu si “kutu buku” sudah loncat turun dari kudanya, ia  sudah hunus pedangnya yang  berkilanan dibawah sinarnya matahari. Dia sudah siap, maka ia bisa lantas menangkis, sesudah mana, ia terus putar pedangnya hingga cahayanya jadi berkeredepan, menyebabkan mata jadi silau dan kabur. Karena itu, Siau Kong jadi gelagapan.

“Celaka,“ berseru Ah Loan selagi kudanya mendatangi dekat.

“Jangan berkelahi!“ Thia Giok Go-pun berseru ketika keretanya mendatangi.

Akan tetapi percuma-cuma saja segala seruan itu, Kat Siau Kong sudab terluka, ia rubuh tengkurap ditanah, sedang lawannya, yang sudah simpan pedangnya, sudah loncat naik atas kudanya yang terus diberi lari. Kuda itu berbulu putih, kaburnya seperti salju terbang saja.

Menampak demikian, Ah Loan jadi gusar, tidak perdulikan Siau Kong terluka parah atau tidak, ia  lalu keprak kudanya menguber pemuda itu. Ia berteriak-teriak pada orang-orang yang berlalu-lintas disebelah depan :

“Tahan! Tahan penunggang kuda putih itu! Dia ada satu pembunuh!”

Namun orang-orang itu, tidak ada satu diantaranya yang berani cegat penunggang kuda putih itu, mereka cuma menoleh dan mengawasi.

Ah Loan tidak dapat menyandak, ia hanya bisa mengawasi orang memasuki kota See-an. Terpaka ia tahan kudanya napasnya sengal-sengal kemudian ia lari balik akan tengok Siau Kong.

Giok Go sudah turun dari keretanya, ia numprah disamping suaminya sambil menangis. Lukanya Siau Kong ada hebat, sebelah lengannya menjadi kurban, ia rebah dengan tidak sadar akan dirinya, darah berlepotan pada seluruh tubuhnya.

Ah Loan gusar berbareng berduka.

“Naikkan siauya keatas kereta!“ ia kata pada tukang kereta.

Tukang kereta itu kerutkan dahi. “Seorang diri masa aku kuat angkat tubuh siuwya?” ia bilang. “Ia-pun terluka parah. Aku kuatir, kalau tubuhnya bergerak nanti dia ... “

“Kalau begitu, lekas kau antar pulang dahulu pada siau.nay-nay,” Ah Loan kata pula. “Kau lekas  minta dikirim orang. Aku nanti menunggui disini ...”

Dengan golok ditangan, goloknya Siau Kong nona ini kelihatannya keren sekali.

Giok Go dengan air matanya mengalir, pandang Ah Loan, ia besarkan matanya, lantas dengan dibantu bujangnya ia naik kekeretanya.

Selagi Ah Loan hendak titahkan kusir segera berangkat, ia lihat dari jurusan Utara lari mendatangi dua penunggang kuda, sebentar kemudian sudah dikenali, mereka itu adalah Lou Cie Tiong dan Lau Cie Wan.

“Lekas, lekas!“ ia berseru-seru. “Kat Suko sudah terluka!

Musuhnya sudah kabur!”

Cie Tiong adalah yang sampai paling dulu. “Apa?” tanya ia, “Dia kenapa? Siapa musuhnya?“

Dengan cepat dan ringkas, Ah Loan beritahukan halnya Lie Hong Kiat.

“Baru dua-tiga jurus saja, Kat Suko telah terluka. Sayang aku tidak bawa golokku,“ si nona tambahkan. Cie Tiong loncat turun dari kudanya, juga Cie Wan, yang menyusul deagan lekas.

“Aku sudah duga hari ini bakal terbit onar,” kemudian Cie Tiong kata pada Cie Wan, agaknya ia  menyesal. “Seharusnya kita datang sedari tadi ... Sekaang lekas kau pulang buat minta kereta dan orang!”

Dia-pun perintah kusirnya Giok Go lekas ajak si nyonya pulang.

Setelah dua orang itu sudah pergi. Tiong minta Ah Loan menjelaskan tentang kejadian itu.

Siau Kong sadar tidak lama kemudian ia lantas teraduh- aduh, ia merintih.

“Lou Su-siok,” katanya, kapan ia lihat Cie Tiong, “su- siok, tolong balaskan sakit hatiku! Orang tadi ada Lam- kiong Lie Hong Kiat”

Cie Tiong tidak jawab keponakan itu, ia  hanya mengawasi Ah Loan, alisnya terus rapat satu dengan lain.

“Di itu hari yang nona sampai disini aku-pun segera sampai juga,” katanya. “Aku dapat susul kau tetapi aku tidak berani pergi kemana-mana, aku juga tidak ketemui kau. Sejak itu, aku ada berkuatir bukan main, aku dapat firasat, tidak lama bakal terjadi onar. keadaan sekarang ini tidak dapat disamakan dengan keadaan dari belasan tahun yang lampau, ketika itu, di Kwan-tiong dan Han-tioug, kita kaum Kun Lun Pay boleh mundar-mandir dengan merdeka kita boleh menjagoi, tetapi sekarang tdak! Sekarang ini, diluar propinsi sudah muncul banyak pemuda yang gagah perkasa.”

Ah Loan tidak tunggu sampai paman itu bicara habis, ia sudah memotong. “Lou Susiok, kau jangan perdulikan aku, kau tak dapat kuasai diriku!“ kata ia dengan sengit. Ia  cekal terus goloknya, ia loncat naik atas kudanya. Ia-pun mengawasi sang paman dengan mata melotot. “Yaya yang perintahaku mengembara, siapa jua tak dapat melarang aku! Sekarang su-siok tunggu disini, aku hendak pergi ke kota buat cari orang she Lie itu! Aka nanti bunuh dia untuk balaskan sakit hatinya su-ko!”

Setelah kata begitu, si nona larikan kudanya.

Cie Tiong mati daya, ia berduka dan berkuatir, hingga ia banting-banting kaki dan menghela napas.

Ah Loan larikan terus kudanya, ia berpapasan dengan Cie Wan yang kembali bersama sebuah kereta dan beberapa kawan untuk tolongi Siau Kong.

“Nona Loan, bagaimana lukanya Siau Kong?“ Cie Wan tanya.

“Aku tidak tahu!“ sahut si nona yang uring-uringan, ia larikan terus kudanya.

Cie Wan terpaksa teruskan perjalanannya.

Tidak lama Ah Loan sampai di pautiam dimana ia disambut oleh sekalian suioknya ialah Biau Cie Eng. Wan Cie Hiap Kim Cie Yong dan Tio Cie Liong. Meereka ini pada menanyakan.

“Celaka benar!“ kata Ah Loan dengan sengit. Tapi ia tuturkan apa yang sudah terjadi. “Sekarang lekas  kirim beberapa orang untuk cari Lie Hong Kiat. Kudaku mesti disiapkan terus!“

Kemudian ia letaki golok dan masuk ke dalam.

Cie-sie sedang menangis, Giok Go-pun menangis tetapi dia tidak berani kata apa-apa. Ah Loan dengar nyonya itu berkata. “Siau Kong ada anakku satu-satunya. Dia pernah iringi piatiau, dia tidak kurang suatu apa, sekarang karena datangnya satu ... “

Mendengar itu Ah Loan jadi mendongkol. Ia mengarti nyonya itu sesali ia. Ia sebenarnya niat menyahuti, tetapi kapan ia ingat nyonya itu adalah su-cimnya, sedang Cie Kiang bukannya susiok sembarangan, ia tahan sabar. Ia terus pergi ke kamarnya akan ambil goloknya sendiri, kemudian ia keluar pula dengan tuntun kudanya. Maka dilain saat, duduk atas kudanya itu ia sudah memutari kota empat peujuru, akan cari Lie Hong Kiat.

Biau Cie Eng semua tidak dapat cegah nona ini, terpaksa mereka kirim dua pegawai untuk mengikuti saja.

Itu hari Ciang Kiang pergi ke Hu-peng untuk satu urusan, karena itu, dengan tidak adanya dia, onar itu membikin semun orang jadi sibuk dan sibuk. Kemudian orang jadi bingung dan kuatir kapan Cie Tiong dan Cie Wan kembali bersama Siau Kong yang lukanya berbahaya, hingga dikuatirkan jiwanya tidak ketolongan. Cie Eng lantas saja naik kudanya, kabur ke Hu-peng untuk susul Cie Kiang.

Cie Tiong berdaya akan cegah kekuatiranny orang bauyak. “Semua mesti tenang dan sabar” ia kata. “Tindakan kita sekarang adalah tunggu pulangnya Kat Suko. Ah Loan sudah pergi cari Si penyerang, tidak ada orang yang bisa halangi dia. Sekarang mari kita tolong Siau Kong.”

Lantas orang diperitihkan undang thabib yang paling pandai.

Onar itu lantas tersiar, maka tidak lama ada datang orang-orang yang menyambangi Siau Kong, kebanyakan golongan piausu dan guru silat, diantara siapa ada yang merasa tidak puas dan penasaran. malah ada yang terus saja bantu cari Lie Hong kiat.

Sampai sore, baru Cie Kiang pulang. Ia banting-banting kaki kapan ia saksikan keadaan anaknya itu.

Ah Loan pulang tidak lama kemudian. Ia pulang dengan tangan kosong, tak perduli ia telah cari ubek-ubekan.

“Ilmu pedangnya orang itu tak dapat dicela,” kata ia. “Bisa jadi ia adalah Kie Kong Kiat. cucunya Long Bun Hiap. Dia datang kemari dan terbitkan onar, boleh jadi dia terus kabur pulang ke Hoolam. Biar besok aku susul dia ke Timur!“

“Kalau benar. dia ada Kie Kong Kiat tidak nanti dia kabur,” kata Cie Kiang sambil bersenyum ewa. “Kita bersabar dahulu, akan cari dia diseluruh See-an sampai beberapa hari lamanya. Kalaui dia tetap tidak dapat dicari, dia mesti ada orang muda dari kalangan kang-ou yang bugeenya kebetulan ada terlebih tinggi sedikit dari pada  Siau Kong. Hanya kalau ia sudah kabur, benar-benar ada berabe untuk cari padanya ...”

“Siapa kau duga itu anak muda, saudara?” tanya Cie Tiong dan lain-lain.

Cie Kang mulai jadi sabar, ia menghela napas.

“Kau barangkali belum tahu?” sahutnya. “Sekarang ini Kang-lam sudah muncul satu hiapkek muda. Orang duga dia ada Kang Siau Hoo, tapi menurut keterangan orang yang datang dari Kanglam yang aku dengar sendiri, dia ada orang she Lie asal dan Titlee. Umpama Lie Hong Kiat ini adalah itu hiapkek dari Kanglam, keadaan ada sulit sekali.”

“Memang, selama ini kita harus sabar,” kata Cie Tiong setelah dengar keterangani itu. “Sekali-pun demikian, Lou Sutee, lukanya anakku ada hebat sekali,” kata Cie Kiang. “Siapa tahu kalau anakku menutup mata malam ini? Tidak perduli siapa yang salah, sakit hati ini mesti dibalas. Umpama kata kita gagal, tidak saja piautiamku ini tak dapat diusahakan pula, kita semua juga sukar untuk menumpang hidup pula didunia kang-ou.

Kata-kata ini membuat Cie Eng semua jadi panas hatinya, antaranya ada yang bilang, biar dia sendiri yang pergi cari Lie Hong Kiat itu.

Selagi rombongan ini bicara satu pada lain akan umbar napsu amarahnya, kesitu ada datang beberapa piausu dan lain-lain piautiam, ialah Nio Cin dan Tay Hok Pau Tiam, Han Pa dari Kwan Tiong Piau Tiam, serta Lau Toa dari hotel Kit Siang di Say-kwan, kota Barat. Bersama mereka ini juga datang Thia Hong San dari Hong Lao Piau Tiam.

“Dia sudah dapat diketemukan,” kata Hong San kemudian. “Orang she Lie itu justeru numpang di hotelnya Lau Toa ini.”

Mendengar itu Ah Loan, dengan golok di tangan segera tarik si kuasa hotel.

“Mari antar aku!” ia mengajak.

“Sabar!” Cie Kiang cegah nona itu. “Kita harus tanya dulu tentang orang itu.”

“Dia ada seorang asing aku tidak tahu asal-usulnya.” berkata Lau Toa. “Dia aku dirinya orang she Lie, sudah empat hari ia tinggal dihotelku, setiap hari dia keluar pesiar, setiap kali pulang dia terus membaca buku. Tadi dia keluar pagi-pagi, tengah hari, dia pulang selaujutnya belum pernah dia keluar pula dari kamarnya.” “Tentu dia keram diri karena ia insaf bahayanya keonaran yang ia terbitkan,” kata Cie Hiap beramai. “Mari sekarang kita tengok padanya!”

“Kelihatannya dia tidak ketakutan sama sekali,”  Lau Toa jelaskan. “Ketika tadi dia pulang, dia lantas membaca buku dan menulis surat, waktu orang sajikan dia barang makanan, dia tak sempat dahar itu. Aku rasa dia ada satu kutu buku. Dia cuma bawa satu buntalan, sebungkus buku, sebatang pedang serta seekor kuda putih. Kelihatannya dia orang baik-baik, melihat gerak-geriknya ia tidak mirip- miripnya dengan orang yang mengarti ilmu silat.”

“Tidak salah, itulah dia!” kata Ah Loan. “Lau Ciangkui, hayo antar aku!”

Cie Kiang masih bersangsi, tapi Cie Hiap semua lantas cari senjata mereka. maka Cie Tiong terus menghalau dipintu. tangannya digoyang berulang-ulang.

“Jangan sembrono,” ia kata pada semua saudaranya itu. “Penasaran mesti dilampiaskan akan tetapi kita mesti berpikir dulu bagaimana baiknya. Aku ingat betul pesan guru, didalam kalangan kang-ou ada dua macam orang yang tidak boleh dipandang enteng, kesatu ialah orang- orang suci dan kedun golongan sustrawan yang alim, karena orang-orang dari kedua golongan  itu. apabila mereka mengarti bugee, bugee mereka ada dari lain kalangan, dari itu kalu kita sembrono, kita bisa dapat malu..”

“Lou Suheng terlalu berhati-hati!’ kata Cie Hiap semua, “Justeru sekarang Lie Hong Kiat belum kabur, kita mesti lekas bekuk padanya. Apakah bisa jadi dia sanggup layani kita semua? Kalau kita antap dan besuk dia angkat kaki, apa kita tdak bakal dapat malu? Dibelakang hari, siapa juga boleh permainkan kita kaum Kun Lun Pay! ...” Mendengar begitu, Kat Cie Kiang lantas ambil putusan. “Berangkatlah!” kata ia.

Cie Hiap lantas dorong Cie Tiong kesamping, mereka

pergi ambil senjata masing-masing. kemudian mereka ikuti Cie Kiang dan Ah Loan, jumlah mereka dua puluh lebih. Dengan lekas mereka menuju ke Say-kwan.

Ketika itu pintu kota baru ditutup sebelah, Cie Kiang ketemui pembesar yang jaga pintu kota itu, buat minta pintu kota dipentang separuh sampai mereka kembali.

Piausu ini ada terkenal sekali, permintaaanya diluluskan. Maka itu dengan hati mantap, mereka menuju ke hotel Kit Siang.

“Hanya, Kat Toaya.” Lau Toa lantas minta, “aku minta jangan sampai kena rembet-rembet lain tamu, karena bila kejadian demikian itu akan menyulitkan aku untuk membuka hotel pula!”

“Jangan kuatir!” Cie Kiang beri kepastian. Dan terus ia pesan agar semua saudara dan orangnya jangan sembrono.

Ah Loan sudah mendahului memasuki hotel. “Dikamar mana ia tinggal?“ Cie Kang tanya.

“Disana,” sahut Lau Toa seraya menunjuk kesebuah kamar disudut Barat-selatan, “Toaya lihat  sendiri, bukankah dia berada dalam kamarnya itu?”

Kat Cie Kiang memandang kejendela, dari mana kelihatan sinar terang dan bayangan dari satu orang.

“Jangan sembrono!” ia pesan pula sekalian saudaranya, kemudin ia bertindak ke pintu kamar, pintu mana segera ia tarik dan pentang, ia segera bertindak masuk. Lie Kong Kiat sedang duduk membaca kitab, disamping bukunya ada terletak sebatang pedang yang mengkilap, karena pedang jantan itu sudah dikeluarkan dari serangkaya. Ia lihat ada orang masuk, ia  samber pedangnya, terus ia berbangkit mengawasi.

Kat Cie kiang ada sedang murka akan tetapi ia masih bisa kendalikan diri ia goyang-goyang tangannya.

“Sahabat, sabar!” ia berkata. “Aku ingin bicara dahulu kepadamu!”

Lie Hong Kiat mengawasi dengan tenang.

“Baik, bicaralah,” ia jawab. “Kita tidak kenal satu pada lain, dengan bawa-bawa golok kau lancang masuk kedalam kamarku, apa kau niat bikin?”

Ah Loan turut masuk selagi orang bicara, lantas saja ia gebrak meja dengan goloknya ia juga pentang lebar matanya, ia hunjuk kemurkaannya.

“Kau masih berlaga pilon?” ia menegur. “Bukankah tadi siang kau yang serang orang di Tay Gao Tah?”

Nona ini geraki goloknya hendak menyerang.

Cie Kiang cegah keponakan ini, tetapi si nona sambil melotot, tolak ujung goloknya pada tuan rumah.

Lie Hong Kiat tidak mengelakkan tubuh, ia malah bersenyum dan manggut.

“Benar,” ia menyambut dengan tenang. “Tadi diluar Lam-mui aku lukai satu orang, tetapi orang itu cari lukanya sendiri! Tidak sebab-musabab dia cegat aku, dia mencaci menghina aku, lantas dia mendului membacok padaku ... “

“Sudah, jangan ngaco!“ Ah Loan memotong. “Sekarang kau mesti ganti jiwa!” Dengan tidak dapat dicegah lagi, nona ini membacok.

Lie Hong Kiat menangkisnya. “Trang!“ suara beradunya kedua senjata.

Mendengar suara beradunya senjata, dua puluh orang diluar lantas turun tangan, ada yang merangsek  kepintu, ada yang menusuk diantara jendela, hingga senjata mereka merusaki kertas jendela, dari mana-pun ada yang loncat masuk.

Lie Hong Kiat mundur beberapa tindak, pedangnya dilintangkan di depan dadanya, ia tertawa.

“Oh kau datang bukan dengan jumlah yang sedikit!“ berkata ia. “Aia orang-orang lelaki, ada orang perempuan! Sungguh, kau pandai sekali berkelahi!“

Ucapan ini ditutup bersama gerakan tubuhnya  yang maju dua tindak, ujung pedang dipakai menyabet.

Ah Loan menangkis, hingga lagi-lagi senjata mereka beradu dengan keras.

Selagi orang mulai bergerak, Cie Kiang nyelak disama tengah.

“Tunggu dulu!” ia kata pula, pada Ah Loan. “Habis bicara, baru kita bertempur! Dia toh tidak bakalan mampu lari!”

“Apa lagi yang hendak dibicarakan?“ kata Hong Kiat sambil terawa. “Kau toh ada sekumpulan orang-orang lelaki dan perempuan tidak tahu malu! Kau hendak rebut kemenangan dengan andalkan jumlah yang banyak! Sungguh memalukan bagi semua orang yang yakinkan ilmu silat!”

Cie Kiang malu berbareng mendongkol. “Semua keluar!” ia berseru, “Biar aku sendiri yang bicara kepadanya! Jangan kasi sebab untuk dia menghina kita kaum Kun Lun Pay!”

Cie Hiap, yang baru noogol. lantas tarik pula dirinya. Yang lain-lain-pun meneladnya. Maka didalam kamar itu tingal Cie Kiang berdua Ah Loan.

Walau suasana berubah-ubah, Lie Hong Kiat tetap tenang-tenteram.

“Kau she apa, tuan,” ia mulai tanya.

“Aku Kat Cie Kang dari Lie Sun Piau Tiam,” Cie Kiang jawab. “Aku ada murid dari Kun Lun Pay.”

Lie Hong Kiat tidak jadi kuncup karena dengar nama orang dan golongannya.

“Kun Lun Pay?” sebaliknya ia  tanya dengan agak keheranan. “Sudah beberapa tahun aku merantau, belum pernah aku dengar hal Kun Lun Pay ... “

Ah Loan panas hatinya mendengar kata-kata sebagai ejekan untuk kaumnya, ia tak dapat kendalikan diri lagi, ia membacok.

“Kau berani pandang tak mata kepada Kun Lun Pay?” berbareng ia serukan.

Dengan pedangnya Lie Hong Kiat tangkis tusukan itu. Melibat demikian Kat Cie Kiang geraki goloknya.

Lie Hong Kiat lihat sikap musuh, dengan gesit ia loncat naik keatas mejanya, dimana ia  dupak lampu hingga terbalik, lalu dengan pedangnya ia singkirkan kedua golok musuh. Suara beradunya tiga senjata segera terdengar berulang-ulang. Orang diluar-pun jadi riuh, terutama ketika jendela diserang dan orang-pun mencoba mendesak masuk.

Lie Hong Kiat bikin perlawanan seru. Diantara suara nyaring dan beradunya suara senjata-senjata, ada juga jeritan dan kesakitan, kerena beberapa musuh telah dibikin terluka, sesudah itu, Lie-Hong Kiat loncat keluar dari jendela.

Ah Loan bersama Cie Kiang sudah lantas lompat menyusul.

“Lihatlah biar nyata!“ demikian ada satu teriakan peringatan, karena ketika itu ruangan ada gelap, orang ada banyak, hingga bisa terjadi kawan serang kawan.

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar