Sepasang Garuda Putih Jilid 26

"Bawa mereka dan masukkan ke dalam penjara!” teriaknya dengan marah.

Dua orang senopati dan belasan orang prajuritnya segera mengawal Retno Wilis dan Jayawijaya menuju ke penjara yang terdapat dibelakang kadipaten, diantarkan pula oleh Wasi Shiwamurti dan kawan-kawannya yang khawatir kalau-kalau dua orang muda itu akan memberontak dan meloloskan diri.

Biar pun hatinya mendongkol dan alisnya berkerut, namun Retno Wilis yang melihat Jayawijaya menyerah dengan sabar dan tenang, terpaksa mengikuti pemuda itu dan diam saja ketika diarak menuju ke penjara. Mereka disuruh memasuki sebuah kamar penjara yang cukup besar, pintunya terbuat dari baja dan berterali yang kokoh kuat lalu dikunci dari sebelah luar. Melalui pintu berterali itu Retno Wilis dapat melihat belasan orang yang memegang tombak atau golok berjaga disitu.

Setelah mereka ditinggalkan berdua saja, barulah Retno Wilis menegur Jayawijaya.

"Kakang Jaya, engkau ini bagaimanakah? Kenapa menyerah saja ketika ditawan? Kalau sudah begini, kita tidak berdaya dan berada di dalam kekuasaan Adipati Blambangan dan para wasi yang jahat itu. Bagaimana kita akan dapat lolos dari tempat ini, kakang?"

"Jangan salah mengerti, diajeng Retno Wilis. Aku menyarankan agar kita menyerah karena tidak ada jalan lain. Kalau kubiarkan engkau mengamuk, biar pun engkau akan dapat membunuh banyak orang, akhirnya engkau akan roboh juga karena keadaan mereka terlalu kuat bagimu. Engkau akan tewas dan membawa banyak dosa karena membunuh banyak orang. Dan jangan sekali-kali mengira bahwa kita berada dalam kekuasaan Adipati Blambangan atau para wasi. Tidak, kita tetap berada dalam kekuasaan Hyang Widhi, diajeng. Dan aku yakin kita akan dapat terbebas dari bahaya kalau Hyang Widhi menghendaki. Aku yakin sepenuhnya bahwa Sang Hyang Widhi berada bersama kita dan betapa mudahnya bagi kekuasaan Hyang Widhi untuk membebaskan kita."

"Akan tetapi kita telah berada dalam kurungan dan tidak berdaya! Bagaimana mungkin kita akan dapat membebaskan diri tanpa daya upaya dan hanya mengandalkan kekuasaan Hyang Widhi?" Retno Wilis membantah.

"Daya upaya merupakan kewajiban kita. Tentu saja kita harus berdaya upaya karena bimbingan Hyang Widhi mungkin tersalur lewat daya upaya kita. Akan tetapi tidak selamanya daya upaya kita mendatangkan hasil dan pada akhirnya kita harus mendasari semua itu dengan penyerahan, dengan kepasrahan ke Tangan Hyang Widhi."

Sungguh mengherankan. Entah mengapa, setelah mendengar ucapan-ucapan yang dikeluarkan dengan suara yang demikian tenang dan sabar, penuh iman, hati Retno Wilis juga menjadi tenang. Sampai lama mereka berdua berdiam diri, hanya duduk bersila di atas lantai yang dingin. Sejak tadi Retno Wilis memperhatikan pemuda itu. Tiada habis rasa heran di dalam hatinya. Pemuda itu demikian tenang, demikian sabar, bahkan melebihi ketenangan dan kesabaran kakaknya sendiri. Berada dalam tawanan musuh, pemuda itu sedikitpun tidak tampak bersedih atau cemas, duduk bersila memejamkan mata dengan tenangnya seperti berada di dalam kamarnya sendiri!

"Kakang Jayawijaya...” panggilnya.

Pemuda itu membuka kedua matanya, memandangnya dan tersenyum.

"Ada apakah, diajeng?"

"Pernahkah andika merasa berduka atau bersuka?"

Jayawijaya tersenyum sebelum menjawab.

"Tentu saja, diajeng. Aku juga seorang manusia biasa yang kadang dipermainkan perasaan hati sendiri. Dapat diombang-ambingkan di antara suka dan duka. Merasa suka atau duka adalah manusiawi. Selama pikiran dan gagasan menguasai kita, sudah pasti kita akan diseret di antara dua perasaan yang berlawanan itu. Akan tetapi, apabila kita menghadapi setiap peristiwa yang kita hadapi sebagai sesuatu yang wajar dan sebagai pelaksanaan dari kehendak Hyang Widhi, maka kita akan dapat memulihkan ketenteraman hati dan tidak terseret antara suka dan duka. Kita mengenal duka karena kita mengenal suka dan demikian sebaliknya. Bagaimana mungkin kita dapat mengenal rasa manis kalau kita tidak mengenal rasa pahit, masam, asin, getir dan sebagainya sebagai lawan rasa? Bagaimana kita dapat mengenal malam kalau kita tidak mengenal siang? Seluruh alam mayapada digerakkan dan diputar oleh dua keadaan yang saling berlawanan ini, diajeng. Saling berlawanan, saling menunjang, saling menolak dan karenanya terjadi perputaran dan terjadi kehidupan."

"Terjadinya kehidupan, kakang?" tanya Retno Wilis heran, menjadi bingung oleh keterangan yang baginya terlalu rumit itu.

"Ya, terjadinya kehidupan ini pun dikarenakan bertemunya dua keadaan yang berlawanan itu, diajeng. Ingat, kelahiran manusia dan semua mahluk hidup dapat terjadi karena adanya sifat jantan dan betina yang saling berlawanan. Bahkan dalam kehidupan nabati sekali pun terdapat dua sifat yang bertentangan sebagai sifat jantan dan sifat betina yang mendatangkan benih."

"Apakah andika tidak pernah merasa takut, kakang?”

Kembali Jayawijaya tersenyum.

"Kalau engkau setiap detik dengan penuh kepasrahan menyerahkan diri ke dalam kekuasaan Tuhan, engkau tidak akan mengenal rasa takut, diajeng. Apakah rasa takut itu? Rasa takut timbul kalau gagasan membayangkan masa datang, membayangkan apa yang belum terjadi, khawatir kalau sampai terjadi ini atau itu yang menimpa dirinya. Contohnya. Kalau ada wabah mengamuk, orang yang belum sakit takut kalau ketularan penyakit itu. Kalau dia sudah ketularan, maka rasa takut akan penyakit itu lenyap, terganti rasa takut kalau sampai dia mati, dan selanjutnya. Rasa takut timbul kalau pikiran membayangkan masa depan, hal yang belum terjadi. Seperti keadaan kita sekarang ini. Tentu saja rasa takut akan timbul kalau kita membayangkan apa yang akan dapat terjadi terhadap diri kita."

"Lalu, apakah kita harus tidak mengacuhkan apa yang boleh terjadi kepada kita dan tidak peduli?" Retno Wilis mengejar.

“Bukan tidak acuh atau tidak peduli,melainkan tidak membayangkan apa yang akan datang. Hal itu bukan berarti bahwa kita tidak melakukan usaha untuk menolong diri sendiri. Akan tetapi seluruh hati akal pikiran ditujukan kepada masa kini, saat ini dan kalau kita mencurahkan kepada saat ini, maka mungkin akan terbuka mata kita untuk melihat kemungkinan-kemungkinan kita dapat menolong diri sendiri, dengan landasan penyerahan kepada kekuasaan Hyang Widhi. Bagiku, setiap detik, setiap saat kita harus selalu ingat dan waspada, diajeng."

"Ingat kepada siapa dan waspada terhadap apa,kakang?"

"Ingat kepada Sang Hyang Widhi yang berarti penyerahan diri secara mutlak ke Tangan Hyang Widhi, dan waspada akan diri sendiri, apa yang kita pikirkan, ucapkan atau lakukan."

Suasana hening meliputi hati Retno Wilis. Seperti terbuka mata hatinya dan sadarlah ia bahwa suka duka datang silih berganti dalam kehidupan manusia dan justru itulah romantika kehidupan. Hidup merupakan tantangan dan kita harus berani menghadapi setiap tantangan dengan mata terbuka, tidak melarikan diri dari keadaan yang bagaimana pun juga. Menghadapi dan mengatasi setiap tantangan, itulah seninya hidup!

Akan tetapi, kalau hidup hanya untuk diombang-ambingkan antara suka dan duka, lalu apa artinya hidup ini? Apa tujuan kehidupan ini? Hatinya merasa penasaran dan ia segera mengajukan pertanyaan yang timbul dalam hatinya itu kepada Jayawijaya.

"Kakang, kalau begitu, lalu apa artinya hidup ini? Apa tujuan dari pada kehidupan ini? Apa maksudnya kita dihidupkan sebagai manusia di dunia ini?"

Jayawijaya tersenyum lebar mendengar pertanyaan ini dan memandang kepada Retno Wilis dengan mata bersinar lembut dan penuh ketenangan dan kesabaran.

"Diajeng Retno Wilis, sudah sering kali aku mendengar pertanyaan ini diajukan orang. Sebelum kita mencari jawaban atas pertanyaan apa tujuan dari pada kehidupan ini, mari kita mengamati keadaan diri kita sebagai manusia yang dilahirkan di dunia melalui ayah-bunda kita. Ingat, kita ini dilahirkan, di luar kehendak kita. Tidak ada manusia di dunia ini yang minta dilahirkan. Jadi kelahiran kita ini bukan kehendak kita, melainkan kehendak Sang Hyang Widhi! Karena kita dilahirkan di luar kehendak kita, maka tentu saja bagi kita tidak ada tujuan apapun dalam kehidupan ini. Kita dilahirkan atas kehendak Yang Maha Kuasa, maka Dialah yang berkehendak dan bertujuan! Bukan kita. Kita hanya tinggal hidup saja, tidak menguasai apapun. Bahkan kita tidak menguasai rambut kita sendiri. Tidak ada selembarpun rambut di tubuh kita yang kita kuasai sehingga kita tidak dapat mengatur pertumbuhannya. Kita tidak memiliki apa-apa, bahkan yang menempel di tubuh kita-pun bukan milik kita. Seluruh diri kita ini ada yang Memiliki, ada yang Menguasai. Berhentinya kehidupan kita terserah kepada Yang Memiliki dan Yang Menguasai itulah. Hanya, ketika kita dilahirkan, diciptakan di dunia ini sebagai manusia hidup, kita disertai tanggung jawab, disertai kewajiban-kewajiban untuk menghadapi segala kenyataan dan mengatasinya, seperti yang telah kukatakan tadi. Kita harus menghadapi segala tantangan dan mengatasinya, itulah kenyataan hidup. Perut kita lapar dan kalau tidak diisi kita akan mati kelaparan, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mengisinya, dan untuk dapat mengisinya sudah menjadi kewajiban kita untuk mencari makanan pengisi perut itu. Demikian pula dengan hal-hal lain. Dan Gusti Yang Maha Kasih telah menciptakan kita secara sempurna. Untuk dapat memenuhi kewajiban itu kita telah disertai segala macam alat. Setiap anggota tubuh kita ini bermanfaat, berguna untuk mempertahankan hidup. Demikianlah kehendak Hyang Widhi. Kita tidak dapat menentang kehendakNya. Karena itu, satu-satunya cara hidup yang baik adalah menyerah kepada kekuasaanNya, menyerah kepada kehendakNya. Apapun yang terjadi kepada kita, kita harus mengucap syukur karena berkahNya berlimpah-limpah setiap saat tanpa henti, walau pun berkah itu terkadang terselubung dan bersembunyi di balik peristiwa yang bagi hati akal pikiran kita terasa tidak enak atau tidak menguntungkan. Segala kehendak Hyang Widhi atas-diri kita adalah baik dan benar dan kita tidak dapat menilainya melalui pertimbangan hati akal pikiran kita, karena semua penilaian hati akal pikiran bersifat mementingkan diri sendiri, mementingkan kesenangan dan keuntungan diri sendiri. Mengertikah engkau mengapa aku setiap saat menyerah kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi, diajeng?"

Retno Wilis mengangguk, kehabisan bahan untuk bicara. Ia merasa bahwa segala sesuatu tentang hidup sudah tercakup dalam kata-kata Jayawijaya tadi, dan ia sudah tak perlu mengetahui hal yang lain lagi tentang kehidupan. Sekarang mulailah ia mengerti mengapa Jayawijaya tidak pernah merasa takut menghadapi apapun juga. Mengapa Jayawijaya tidak pernah menggunakan kekerasan, namun tidak takut menghadapi kekerasan itu sendiri. Cara penyerahan diri kepada Yang Maha Kuasa secara mutlak lahir dan batin.

Akan tetapi ia sangsi apakah ia mampu bersikap seperti Jayawijaya! Agaknya tidak mungkin dapat. Gairah hidupnya masih penuh semangat, bergelora dan ia tidak mungkin dapat mengalah terhadap kekerasan yang dilakukan orang lain terhadap dirinya. Pasti akan dilawannya sekuat tenaga!

"Kakang, untuk dapat bersikap seperti engkau ini, dibutuhkan kekuatan yang luar biasa, melebihi tenaga sakti yang manapun. Engkau telah membuat dirimu lebih kuat daripada segala cipta, rasa dan karsamu sendiri, engkau telah mengalahkan segala nafsu-nafsumu! Hal itu tidak mungkin dapat tercapai oleh aku yang lemah ini."

Jayawijaya tertawa dan suara tawanya membuat Retno Wilis menyadari bahwa yang berada di depannya bukanlah dewa, melainkan manusia biasa.

"Diajeng, aku pun tidak dapat melepaskan diri dari nafsu nafsuku. Kalau aku melepaskan diri dari nafsu, aku tidak akan dapat bertahan hidup di dunia ini. Nafsu adalah keduniawian. Nafsu adalah alat-alat yang kita pergunakan untuk dapat hidup dan untuk menikmati kehidupan itu sendiri. Akan tetapaku selalu memohon kekuatan dari Hyang Widhi agar nafsu tidak sampai memperbudak aku, agar nafsu-nafsuku tetap menjadi peserta, menjadi alat yang baik dan berguna, bukan menjadi majikan atas diriku, bukan menjadi kuda-kuda binal yang akan menyeret kereta berikut kusirnya ke dalam jurang.”

"Kuda-kuda binal, kakang? Apa pula maksudnya itu?"

"Diajeng Retno Wilis yang bijaksana. Nafsu dapat diibaratkan api yang kalau kita kuasai akan menjadi alat yang amat berguna dan mutlak bagi kehidupan akan tetapi kalau menjadi liar akan membakar dan melahap segala yang berada di depannya. Nafsu-nafsu juga dapat diibaratkan kuda-kuda penarik kereta, di mana terdapat sang kusir,kereta adalah badan jasmani kita sedangkan kusirnya adalah rohani kita. Kalau kuda-kuda penarik itu dapat dijinakkan, maka mereka akan dapat menarik kereta sehingga maju ke arah yang semestinya. Akan tetapikalau kuda-kuda itu menjadi liar sehingga sang kusir tidak lagi mampu mengendalikannya, kuda-kuda itu akan kabur dan mungkin akan menyeret kereta berikut kusirnya masuk ke dalam jurang."

"Ah, begitukah? Jadi kuda-kuda itu amat penting untuk menarik maju sang kereta, akan tetapi juga amat berbahaya kalau sampai menjadi liar? Begitukah nafsu-nafsu kita itu, kakang? Lalu bagaimana upaya kita agar nafsu-nafsu kita tidak menjadi liar dan tetap menjadi peserta yang baik? Bagaimana cara kita untuk dapat menundukkan nafsu-nafsu kita sendiri?"

"Kita tidak dapat menundukkan nafsu-nafsu kita sendiri karena kita memang bergantung kepada mereka. Akan tetapi nafsu-nafsu itu diikut-sertakan kepada kita sejak kita lahir, merupakan anugerah pemberian Hyang Widhi sebagai penciptanya. Karena itu, satu-satunya jalan untuk dapat menempatkan nafsu-nafsu di kedudukannya semula, yaitu sebagai peserta dan pelayan, hanya lah menyerah kepada kekuasaan Hyang Widhi. Hanya kekuasaan Hyang Widhi yang mampu menundukkan nafsu-nafsu yang suka meliar itu, diajeng."

Kembali hening mengikuti percakapan, ini. Retno Wilis termenung dan semakin merasa bahwa ia akan selalu berada dalam keadaan damai dan tenteram kalau berdekatan dengan pemuda ini. Ia merasa terharu sekali, merasa bahwa selama hidupnya baru kini ia bertemu dengan seorang yang benar-benar dikaguminya lahir batin, ia melihat seorang laki-laki yang benar-benar gagah perkasa, yang berani menentang bahaya bahkan maut dengan dada terbuka, sedikitpun tidak ada rasa takut, dengan hati bersih tidak terkandung perasaan bermusuhan apa lagi benci!

Dan setelah ia termenung dan tenggelam dalam renungannya, Retno Wilis melihat bahwa ia telah jatuh cinta kepada pria itu! Rasa kagum bercampur dengan rasa iba dan sayang, membuatnya timbul keinginan untuk dapat membahagiakan pria yang dikaguminya itu.

Malam tiba. Dari sela-sela jeruji, penjaga memasukkan makanan yang terbungkus daun pisang dengan minuman. Retno Wilis membiarkannya saja. Akan tetapi Jayawijaya lalu mengambil bungkusan nasi dan lauk pauknya itu, membawanya ke dekat Retno Wilis. Sinar lampu menyorot dari luar, memberi penerangan yang cukup ke dalam kamar tahanan itu.

"Diajeng Retno Wilis, silakan makan dan minum hidangan antaran mereka ini," kata Jayawijaya lirih.

"Hemm, aku tidak suka dengan makanan pemberian mereka, kakang," jawab Retno Wilis dengan alis berkerut. Ia tahu bahwa penolakannya itu bukan hanya karena perasaan tidak senang kepada musuh-musuhnya, melainkan juga karena rasa khawatir kalau-kalau makanan itu diberi racun.

“Orang tidak tahu apa saja yang dapat dilakukan orang-orang licik dan curang seperti itu! Dan kurasa sebaiknya kalau engkau juga jangan makan suguhan mereka ini, kakang Jaya."

"Akan tetapi mengapa, diajeng? Sudah sejak pagi kita tidak makan dan perut kita menuntut isi. Kalau tidak makan malam ini, besok kita akan merasa lemah padahal dalam keadaan seperti ini kita perlu menjaga kesehatan dan tenaga. Makanlah, diajeng, biar pun hanya sedikit," Jayawijaya membujuk.

"Terus terang saja, kakang. Aku sangsi akan kebersihan makanan dan minuman ini. Ingat, mereka adalah orang-orang sesat. Bisa saja mereka mencampuri makanan ini dengan racun untuk membunuh kita."

Jayawijaya tersenyum. "Percayalah akan kekuasaan Hyang Widhi, diajeng. Kekuasaan itu tidak akan membiarkan kita diracuni orang. Mulut kita tidak akan mau menelan kalau makanan atau minuman ini mengandung racun. Marilah, biar aku dulu yang mulai makan dan minum untuk membuktikan bahwa tidak ada racun dalam hidangan ini."

Jayawijaya lalu menuangkan air teh dari poci itu ke dalam cangkir yang disediakan, kemudian menempelkan bibir cangkir pada bibirnya. Diminumnya sedikit demi sedikit air teh itu dan ditelannya. Tidak terjadi sesuatu. Kemudian diambilnya sebungkus nasi dan dimakannya. Juga tidak terjadi sesuatu.

"Nah, jelas bahwa dalam hidangan makanan dan minuman ini tidak ada racunnya, diajeng. Mari silakan makan dan minum."

Retno Wilis merasa tidak enak untuk menolak terus. Juga kekhawatirannya hilang. Kalau tidak ada Jayawijaya di situ, biar bagaimanapun juga ia tidak akan mau menyentuh makanan dan minuman itu. Mulailah ia minum dan makan untuk menenangkan perutnya yang memang lapar dan tenggorokannya yang memang haus. Setelah selesai makan dan minum, Jayawijaya membawa sisa makanan dan bekas hidangan itu ke pintu dan mengeluarkannya lewat sela-sela jeruji. Kemudian kembali dia duduk bersila di depan Retno Wilis seperti tadi.

"Mengaso dan tidurlah kalau engkau lelah dan mengantuk, diajeng."

"Aku tidak akan dapat tidur, akan tetapi aku sudah terbiasa beristirahat dengan duduk bersila dan bersamadhi, kakang."

"Bagus kalau begitu. Mari kita mengaso, diajeng."

Mereka tetap duduk bersila. Malam semakin larut dan Retno Wilis sudah membuat perhitungan bagaimana kalau ia berusaha meloloskan diri bersama Jayawijaya. Pintu jeruji besi itu bukan apa-apa baginya. Dengan aji kesaktiannya dan kekuatan yang timbul dari hawa sakti, ia tentu akan mampu menjebol pintu itu. Pedang pusaka Sapudenta juga tentu akan mampu mematahkan jeruji-jeruji besi itu. Dan belasan orang prajurit penjaga di luar pintu kamar tahanan, dapat dengan mudah ia robohkan.

Akan tetapi bagaimana kalau Wasi Shiwamurti dan kawan-kawannya datang? Mereka terlalu kuat baginya. Dan juga Jayawijaya belum tentu mau, bahkan ia hampir yakin bahwa pemuda itu tentu akan menolaknya untuk melarikan diri dengan menggunakan kekerasan. Ah, biarlah. Ia akan melihat apa yang hendak dilakukan pemuda luar biasa itu dan ia hanya akan menurut saja apa kehendaknya. Iapun mulai belajar pasrah dan menyerah kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa!

Menjelang fajar. Suasana semakin hening. Para penjaga tidak terdengar lagi bicara, bahkan ada suara mendengkur. Agaknya mereka telah tertidur! Hawa udara yang dingin memasuki ruangan kamar tahanan itu, begitu dinginnya sehingga Retno Wilis dan Jayawijaya sadar dari Samadhi mereka. Tiba-tiba terdengar suara di pintu besi dan tampak sesosok bayangan orang ditimpa sinar lampu dari luar. Sesosok bayangan seorang wanita! Agaknya wanita itu sedang membuka kunci pintu penjara dan tak lama kemudian pintu itu terbuka. Bau harum menerpa hidung kedua orang tahanan itu. Retno Wilis segera mengenal wanita itu yang bukan lain adalah puteri Sang Adipati Menak Sampar yang cantik jelita itu.

Gadis itu memang Dyah Ayu Kerti, puteri sang adipati! Retno Wilis segera bangkit berdiri dan bertanya kepada puteri adipati itu. "Siapa andika dan mau apa andika memasuki kamar tahanan ini?"

Akan tetapi Dyah Ayu Kerti tidak mempedulikan pertanyaan Retno Wilis. Ia menghampiri Jayawijaya yang masih duduk bersila dan berkata dengan bisikan lembut.

"Kakangmas Jayawijaya, aku Dyah Ayu Kerti datang untuk membebaskanmu, kakangmas. Andika berdua boleh pergi dan melarikan diri sekarang juga."

Jayawijaya bangkit berdiri dan memandang gadis jelita itu dengan heran.

"Bukankah andika adalah puteri Sang Adipati Menak Sampar? Bagaimana andika dapat masuk ke sini? Para penjaga itu...”

"Sssttt... kakangmas Jayawijaya, jangan keras-keras andika bicara. Mereka sudah tertidur semua, terkena aji penyirepanku," kata Dyah Ayu Kerti lirih sambil meletakkan telunjuknya di depan sepasang bibirnya yang merah merekah.

"Akan tetapi ramamu? Para wasi itu?" tanya pula Jayawijaya dengan heran.

"Mereka sedang berpesta mabuk-mabukan semalam suntuk untuk merayakan kemenangan mereka atas tertawannya andika berdua."

"Akan tetapi... mengapakah andika membebaskan kami?" tanya pula Jayawijaya.

"Karena aku merasa kasihan kepada andika, aku... aku...”

Retno Wilis kehilangan kesabarannya, ia menyambar tangan Jayawijaya dan menariknya sambil berkata, "Marilah, kakang. Kesempatan terbuka bagi kita untuk melarikan diri. Jangan disia-siakan kesempatan ini!" Ia menarik Jayawijaya keluar dari kamar tahanan itu dan lari melalui lorong di mana para penjaga malang melintang dalam keadaan pulas.

Mereka berdua melangkahi tubuh para penjaga itu. Retno Wilis tetap menggandeng tangan Jayawijaya yang agaknya tidak tampak tergesa-gesa, seperti orang hendak pergi berjalan-jalan saja, bukan melarikan diri!

"Kakangmas Jayawijaya...!”

Mereka berhenti mendengar seruan ini dan melihat Dyah Ayu Kerti berlari menghampiri mereka. Setelah dekat, Dyah Ayu Kerti memegang tangan Jayawijaya yang sebelah lagi dengan erat dan ia berkata, wajahnya berubah kemerahan.

"Kakangmas, bawalah aku. Aku ikut, kakangmas Jayawijaya...”

"Ehhhh?? Ikut bagaimana? Aku tidak mengerti maksudmu."

"Ikut ke mana saja andika pergi. Aku... aku... ingin menemanimu, selamanya...!”

Panas rasa perut Retno Wilis, diamuk cemburu! Ia cepat menepiskan tangan gadis puteri adipati itu yang memegangi tangan Jayawijaya sehingga terlepas dan ia menghardik,

"Perempuan tak tahu malu! Hayo, kakang Jayawijaya, kita lari dan jangan pedulikan gadis gila ini!" Dan diapun menarik lagi pemuda itu, lari keluar dari bangunan itu.


Dyah Ayu Kerti yang masih berdiri di lorong itu tidak mengejar lagi, akan tetapi ia menangis sesenggukan dengan hati duka. Ia telah jatuh kasmaran (cinta) kepada pemuda yang luar biasa itu, tergila-gila dan ingin sekali hidup bersama pemuda itu untuk selamanya. Akan tetapi di sana ada Retno Wilis yang agaknya merebut pemuda itu dan ia merasa tidak mampu untuk menandingi wanita perkasa itu. Ia sendiri memiliki aji penyeripan dan beberapa macam ilmu kadigdayaan, akan tetapi apa artinya kalau dibandingkan dengan Retno Wilis yang demikian sakti?

Tiba-tiba muncul Sang Adipati Menak Sampar, Wasi Shiwamurti, Wasi Karangwolo Ni Dewi Durgomala, Ki Shiwananda dan dua orang senopati Blambangan, yaitu senopati Rajah Beling dan Senopati Kurdolangit, diikuti belasan orang prajurit pengawal. Melihat puterinya berada di luar tempat tahanan sambil menangis, sang adipati menghampiri dan bertanya heran,

"Dyah Ayu Kerti! Apa yang kaulakukan di sini? Mengapa pula engkau menangis?" Sang adipati melihat para prajurit penjaga yang malang melintang dalam keadaan tidur. Sambil mengerutkan alis karena puterinya tak menjawab pertanyaannya, dia lalu memerintahkan dua orang senopatinya.

"Periksa ke dalam kamar tahanan!"

Dua orang senopati itu berlari cepat, berloncatan melangkahi para prajurit penjaga yang tertidur lalu masuk ke dalam. Tak lama kemudian keduanya keluar lagi dan wajah mereka berubah pucat.

"Celaka, kanjeng gusti! Dua orang tawanan telah lolos!" kata Senopati Kurdolangit.

"Wah, celaka! Dyah Ayu Kerti, apa yang telah terjadi?" bentak sang adipati kepada puterinya.

Sambil menangis sesenggukan akhirnya gadis itu menjawab, “Aku... aku... telah membebaskan mereka, kanjeng rama...”

Sang adipati marah sekali. Matanya melotot memandang kepada puterinya tersayang itu dan dia menggeram. "Akan tetapi mengapa?”

"Aku... aku kasihan... kepada... kakangmas Jayawijaya..."

"Celaka!" seru sang adipati. "Mari kita kejar. Mereka tentu belum berlari jauh," kata Wasi Shiwamurti kepada kawan-kawannya dan dia melompat keluar, diikuti oleh rekan-rekannya, juga oleh dua orang senopati dan belasan prajuritnya yang dibentak oleh sang adipati untuk ikut pula melakukan pengejaran.

Sementara itu, Adipati Menak Sampar dengan marah sekali akan tetapi dia terlalu sayang kepada puteri tunggalnya untuk memarahinya terus, menarik tangan puterinya dan diajak kembali ke gedungnya.

"Perlahan dulu, diajeng Retno! Kenapa engkau menyeretku seperti ini?" keluh Jayawijaya yang terpaksa ikut berlari karena tangannya ditarik dengan kuat oleh Retno Wilis.

Retno Wilis berhenti dan memandang kepadanya dengan wajah cemberut. Mereka telah berlari agak jauh juga karena sekarang fajar telah menyingsing, sinar matahari mulai mengusir kegelapan malam yang meninggalkan kabut.

"Agaknya andika tidak ingin sekali untul melarikan diri, ya kakang Jaya?"

"Eh, kenapa engkau bertanya demikian? Tentu saja aku ingin terlepas dari kurungan mereka," kata Jayawijaya sambil menghapus keringatnya, berlari-lari sejak tadi melelahkannya dan membuatnya berkeringat.

"Ah, mengakulah saja terus terang. Andika tentu ingin sekali tinggal di sana agar dapat bersama-sama dengan gadis cantik jelita puteri Sang Adipati tadi!"

"Lho! Kenapa engkau berkata demikian?"

"Apakah engkau tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu, kakang? Dyah Ayu Kerti yang cantik jelita itu tergila-gila kepadamu! Ia telah jatuh cinta kepadamu, kakang, maka ia berani mati membebaskanmu. Kenapa engkau tadi tidak menerimanya ketika ia hendak ikut dan ingin menemanimu selama hidupnya?" Dengan wajah cemberut Retno Wilis lalu melangkah lagi, kini tidak mengandeng tangan Jayawijaya seolah hendak meninggalkan pemuda itu. Jayawijaya mengikutinya dari belakang.

"Begitukah perkiraanmu? Aku sendiri tidak mengira...”

"Hemm, jelas sekali bahwa ia mencintamu. Kalau tidak, mengapa ia membebaskanmu?"

"Aku hanya menganggapnya sebagai uluran Kekuasaan Tuhan yang hendak menolong kita melalui tangan puteri itu, diajeng."

"Hemm, apapun anggapanmu, jelas bahwa puteri itu jatuh cinta kepadamu."

"Andaikata benar demikian, apakah hal itu karena kesalahanku, diajeng? Aku tidak sengaja...”

Retno Wilis berhenti melangkah dan menatap tajam wajah pemuda itu.

"Kakang Jayawijaya, apakah engkau tidak tertarik? Ingat, ia seorang gadis yang amat cantik jelita dan ia puteri seorang adipati yang berkuasa pula, gadis bangsawan, kaya raya dan cantik jelita. Kalau engkau menjadi suaminya, engkau tentu akan menjadi mantu adipati dan memperoleh derajat dan pangkat tinggi, menjadi orang yang mulia, terhormat dan disegani orang sekadipaten Blambangan!"

Jayawijaya tersenyum geli ketika dia memandang kepada gadis yang diam-diam menjadi pujaan hatinya itu.

"Diajeng, aku tidak mengerti mengapa engkau berkata seperti itu kepadaku. Pernikahan hanya mempunyai satu saja syarat, yaitu cinta kasih. Dan cinta kasih ini tidak memandang kecantikan, derajat pangkat atau harta, bukan pula keturunan. Dyah Ayu Kerti hendak ikut denganku, bagaimana mungkin aku dapat menerimanya? Ia seorang puteri adipati, dan aku seorang kelana. Juga tidak mungkin menemaniku selama hidupnya karena hal itu berarti bahwa aku harus menjadi suaminya, padahal tidak ada cinta kasih dalam hatiku terhadap dirinya."

Retno Wilis menunduk dan senyum berkembang di bibirnya. Wajahnya yang jelita itu berseri, semringah.

"Aku... aku girang mendengar pertanyaanmu itu, kakang Jayawijaya."

Jayawijaya menatap tajam wajah gadis itu.

"Diajeng, aku heran sekali mengapa engkau tadi seperti orang marah-marah."

Retno Wilis masih menundukkan mukanya dan matanya mengerling ke arah pemuda itu. Lalu katanya lirih, "Aku tidak senang karena gadis itu mencintamu...”

"Dan engkau mengira bahwa aku juga membalas cintanya?"

Dengan suara masih lirih Retno Wilis menjawab, "Aku... khawatir begitu."

"Kalau begitu, ah, benarkah dugaanku ini bahwa engkau... cemburu, diajeng?"

Wajah Retno Wilis menjadi merah sekali, kepala semakin menunduk dan suaranya makin lirih. "Aku... aku malu, kakang...”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar