Sepasang Garuda Putih Jilid 11

Setelah pekarangan itu penuh penduduk dusun Grobokan dan tempat itu diterangi lampu dan obor-obor, Retno Wilis lalu berkata dengan suara lantang kepada para penduduk.

"Para paman, bibi dan saudara sekalian dengarlah baik-baik. Demang Grobokan ini telah mengakui bahwa dia telah melakukan perbuatan yang jahat, hendak merampas puteri Ki Dirun untuk dijadikan selirnya. Sekarang dia telah mengakui kejahatannya, dan bertobat, tidak akan melakukan kejahatan lagi di dusun ini. Nah, kalian semua menjadi saksi, kalau sampai dia berani melakukan kejahatan lagi, lain kali kalau aku lewat di sini, aku tentu akan membunuhnya di depan kalian." Setelah berkata demikian, Retno Wilis lalu berkata kepada Demang Grobokan yang masih duduk berlutut. "Ki Demang, hayo kau katakan sendiri kepada mereka semua bahwa engkau telah bertobat dan tidak akan mengulangi semua perbuatanmu yang jahat. Engkau tidak akan mengerahkan para tukang pukulmu lagi untuk memaksa rakyat!"

Demang Grobokan yang telah hilang nyalinya sejak Suropekik meninggalkannya, apa lagi setelah dia dihajar keras oleh Retno Wilis, bangkit berdiri. Semua orang kini dapat melihat mukanya yang matang biru dan benjol-benjol, dan dengan suara lemah dia berkata.

"Saudara warga dusun Grobokan sekalian...”

"Bicara yang keras!" bentak Retno Wilis.

Demang Grobokan lalu mengulang lagi kata-katanya dengan suara yang keras. "Saudara warga dusun Grobokan sekalian! Aku Demang Grobokan, mengaku telah berbuat banyak kesalahan terhadap kalian. Akan tetapi aku telah menyadari kesalahanku, dan mulai saat ini, aku berjanji bahwa aku sudah bertobat dan tidak akan mengulangi semua perbuatanku yang keliru. Kalau aku berbuat jahat lagi, biarlah Hyang Widhi akan memberi hukuman yang seberat-beratnya kepadaku!"

Retno Wilis merasa puas dengan ucapan itu, dan ia berkata, "Ingat baik-baik, Ki Demang. Ucapanmu itu disaksikan oleh semua warga dusun Grobokan, dan jangan kira aku hanya menggertak saja. Lain kali aku tentu akan lewat di sini untuk melihat apakah benar-benar engkau memenuhi janjimu. Awas, kalau engkau masih jahat, aku takkan memberi ampun lagi kepadamu!"

Demang Grobokan mengangguk-angguk. "Aku tidak akan melanggar janji."

Retno Wilis lalu menoleh kepada kakaknya dan berkata, "Kakang, mari kita pergi dari sini!"

Akan tetapi Harjadenta menahan mereka berdua dan berkata, "Malam telah tiba, andika berdua tak mungkin melanjutkan perjalanan dalam kegelapan malam, rumah Ki Dirun kini sedang kosong ditinggalkan pergi penghuninya, kalau andika tidak berkeberatan, silakan menggunakan rumah itu. Tadinya aku juga mondok di rumah itu untuk semalam ini."

Bagus Seto mengangguk pada adiknya, "Kurasa sebaiknya begitu, diajeng. Melanjutkan perjalanan di waktu malam begini, apa lagi kalau jauh dari kota dan pedusunan, kita akan kemalaman di perjalanan."

Retno Wilis memandang kepada kakaknya, kemudian kepada Harjadenta, lalu berkata,

"Baiklah kalau begitu."

Mereka bertiga lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumah Ki Dirun. Baru saja mereka memasuki rumah itu, beberapa orang penduduk dusun Grobokan berdatangan membawa segala macam makanan dan minuman yang mereka punya, disuguhkan kepada tiga orang muda yang menggemparkan itu.

Malam itu semua penduduk hampir tidak dapat pulas, dengan gembira membicarakan kejadian sore tadi dan membayangkan betapa akan bahagia hidup mereka bila Ki Demang betul-betul menyadari kesalahannya dan akan mengubah sikap hidupnya. Mereka semua akan merasa aman dan dapat bekerja dengan tenang dan sejahtera.

Setelah makan hidangan yang disuguhkan para penduduk, tiga orang muda itu bercakap-cakap di ruangan depan.

"Adimas Harjadenta, andika tadi mengatakan bahwa andika mengejar seorang pencuri keris. Bagaimana sebetulnya duduk perkaranya dan siapakah guru andika itu?"

Retno Wilis juga memandang pemuda itu penuh perhatian karena diapun ingin mendengar riwayat pemuda tampan yang gagah perkasa itu. Harus diakui bahwa ia merasa tertarik kepada pemuda yang halus dan lembut tutur sapanya itu, yang dengan gagah berani menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Tadipun Retno Wilis sudah mencarikan daun untuk mengobati luka-luka di pundak dan paha Harjadenta.

Harjadenta menarik napas panjang dan mulai bercerita. "Aku adalah seorang yatim piatu yang tidak memiliki seorang pun keluarga lagi. Guruku adalah Empu Gandawijaya yang bertapa di Gunung Raung. Sejak aku berusia tigabelas tahun sampai kini, sudah sepuluh tahun lamanya aku diambil murid oleh Bapa Guru dan tinggal di lereng Gunung Raung bersamanya. Beberapa pekan yang lampau, Bapa Guru memanggilku dan memberi tahu bahwa ia telah kehilangan sebuah keris pusaka bernama Ki Carubuk yang katanya hilang dicuri seorang wanita sakti yang tidak diketahui namanya. Bapa Guru lalu mengutusku untuk pergi mengejar dan mencari pencuri itu, merampas kembali Ki Carubuk, barulah diperbolehkan pulang ke Gunung Raung. Bapa Guru tidak banyak memberi petunjuk, hanya mengatakan bahwa pencuri itu seorang wanita sakti, pandai ilmu sihir dan guna-guna. Aku disuruh naik perahu sepanjang Kali Mayang menuju ke muaranya di Lautan Kidul. Ketika perjalananku tiba di Grobokan, aku singgah dan mencari tempat penginapan. Kebetulan aku bertemu Ki Dirun dan dia menerimaku menginap di rumahnya. Kemudian aku tahu tentang urusannya dengan Ki Demang Grobokan itu dan aku lalu menolongnya." Harjadenta menceritakan tentang peristiwa itu, semula dia mengusir dua orang utusan Ki Demang, lalu datang lima orang tukang pukul yang dapat diusirnya pula.

"Tidak kusangka bahwa mereka itu masih belum mau menyerah, bahkan datang kembali bersama Suropekik, warok yang digdaya itu. Aku dikeroyok oleh dia serta belasan orang anak buahnya. Aku sudah kewalahan dan tentu aku sudah tewas kalau andika berdua tidak datang menolong. Sekarang tiba giliran kalian berdua. Bagaimana andika berdua dapat datang pada saat yang demikian cepatnya? Andika berdua datang dari manakah dan hendak ke mana?"

Bagus Seto memandang kepada adiknya dan berkata, "Diajeng, engkau sajalah yang bercerita kepada dimas Harjadenta tentang diri kita."

Retno Wilis adalah seorang gadis yang bersikap polos dan terbuka, dan tidak malu-malu seperti para gadis lainnya. Biasanya, seorang gadis akan merasa sungkan dan malu-malu terhadap seorang pemuda yang baru dijumpainya namun tidak demikian dengan Retno Wilis. Ia berani menentang pandang mata Harjadenta dengan tenang tanpa ada perasaan apapun, seperti kalau ia memandang gadis lain. Biar pun ia sudah amat berpengalaman dalam dunia persilatan dan pertempuran, akan tetapi ia masih seperti kanak-kanak dalam pergaulannya dengan pria.

Maka kini pun ia menatap wajah Harjadenta sedemikian terbuka dan jujur hingga pemuda itulah yang merasa jantungnya berdebar ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang demikian tajam dan jernih.

"Nah, apakah yang ingin kau ketahui tentang kami, kakangmas Harjadenta?"

Pertanyaan itu demikian polos dan dikeluarkan dengan suara yang merdu, sehingga Harjadenta menjadi gugup dan tidak berani menentang pandang mata itu terlalu lama. Dia sendiri juga sejak kecil ikut gurunya di lereng Gunung Raung sehingga sama sekali tidak mempunyai pengalaman pergaulan dengan wanita, maka pertemuannya dengan Retno Wilis membuat dia tegang dan tidak tenang.

"Segalanya, diajeng. Riwayat andika berdua, putera siapa datang dari mana, lalu hendak ke mana dengan tujuan apa. Lagi pula, bagaimana andika berdua begitu kebetulan dapat datang pada saat aku terancam bahaya maut?"

Retno Wilis tersenyum. ”Baiklah, pertama-tama kami adalah putera dan puteri Ki Patih Tejolaksono dari Panjalu."

Harjadenta terbelalak. “Putera puteri Patih? Ah, andika berdua adalah orang-orang muda bangsawan tinggi, maafkan kalau aku telah bersikap kurang patut!"

"Hushh...!” Retno Wilis segera mencela. "Kalau engkau mengubah sikapmu kepada kami dan merendahkan diri, aku tidak mau lagi bersahabat denganmu, kakangmas Harjadenta!"

Pemuda ini terkejut dan memandang wajah cantik yang kini cemberut itu. "Akan tetapi... kalian putera puteri seorang Patih, apalagi Patih Panjalu...!”

"Apa bedanya patih dan bukan patih?. Apa pula bedanya seorang raja dan seorang rakyat biasa? Mereka sama-sama manusia! Tidak, aku tidak mau engkau mengubah sikapmu. Kita biasa-biasa saja sebagai sahabat."

Harjadenta menarik napas panjang dan diam-diam dia menjadi semakin kagum. Seorang puteri bangsawan bicara seperti itu! Dia merasa seperti mimpi bertemu dengan seorang dara yang benar-benar luar biasa.

"Baiklah, diajeng Retno Wilis. Maafkan aku yang kurang pengertian. Nah, silakan engkau melanjutkan ceritamu. Andika berdua adalah putera puteri seorang Patih dari Panjalu. Lalu mengapa andika berdua datang ke tempat yang begini jauh dari tempat tinggalmu?"

"Kami berdua memang sengaja pergi meninggalkan Panjalu untuk merantau dan mencari pengalaman."

"Ah, dua orang muda yang berilmu tinggi, sakti mandraguna seperti andika berdua masih perlu mencari pengalaman lagi? Kalau boleh aku mengetahui, siapakah guru-guru andika berdua yang mulia?"

"Guruku adalah Nini Bumigarbo dan guru kakakku adalah Sang Bhagawan Ekadenta."

Kembali Harjadenta terbelalak.

"Ah, guruku pernah bercerita tentang seorang wanita maha sakti berjuluk Nini Bumi garbo dan seorang Pendeta linuwih berjuluk Sang Bhagawan Ekadenta. Mereka itu seolah-olah manusia setengah dewa yang amat sakti, seperti dalam dongeng. Kiranya andika berdua adalah murid-murid mereka? Pantas kalian memiliki kesaktian yang demikian hebat!"

"Nah-nah-nah, mulai lagi! Aku paling tidak senang melihat orang menjilat-jilat dan memuji setinggi langit!” tiba-tiba Retno Wilis berkata tegas dan suaranya seperti orang marah.

Harjadenta kembali terkejut dan cepat berkata, dengan suara lirih. "Maafkan aku, diajeng, aku... bukan maksudku untuk menjilat-jilat...”

"Tapi engkau memuji setinggi langit. Kami hanya orang-orang biasa saja yang tidak ada bedanya dengan engkau atau orang lain, tidak perlu memuji-muji seperti itu atau aku tidak mau bercerita lagi."

Harjadenta menelan ludah. Gadis ini selain sakti dan hebat, juga galaknya bukan main!

"Maafkan, tidak akan kuulangi lagi. Harap kau suka melanjutkan ceritamu, diajeng Retno Wilis."

Kini dia bahkan tidak berani menentang langsung wajah gadis itu, hanya memandang ke arah pakaiannya yang serba putih sederhana, akan tetapi yang tidak menyembunyikan lekuk-lengkung tubuhnya yang ramping padat.

"Kami juga tak sengaja datang ke tempat ini. Kami berdua sedang melakukan perjalanan menyusuri Kali Mayang yang indah pemandangannya. Ketika kami sampai di hutan dekat dusun ini, kami bertemu dengan seorang pemuda bernama Martono bersama ibunya. Ibunya menangis dan kami mendengarnya, lalu kami menemui mereka. Martono itu yang bercerita kepada kami mengenai perbuatan Ki Demang yang hendak merampas Lasmini tunangannya. Karena itu kami lalu cepat-cepat memasuki dusun ini dan melihat engkau dikeroyok banyak orang maka aku lalu cepat membantumu."

"Untung sekali engkau tahu siapa yang perlu dibantu dan siapa yang harus ditentang," kata Harjadenta.

"Tentu saja aku tahu. Martono sudah bercerita tentang seorang pemuda yang menolong keluarga Dirun dan yang kini dikeroyok di sini."

"Dan aku tadinya mempunyai dugaan yang amat buruk terhadap dirimu, diajeng Retno."

Retno Wilis memandang wajah pemuda itu penuh selidik. "Dugaan buruk? Apa itu?"

"Melihat engkau demikian cantik dan demikian sakti, sekilas terlintas dalam pikiranku akan pemberi-tahuan Bapa Guru bahwa pencuri pusaka Ki Carubuk adalah seorang wanita cantik yang sakti."

"Sialan! Kau kira aku ini pencuri keris itu?"

"Maaf, aku tidak tahu...”

"Sudahlah," kata Bagus Seto sambil tertawa. "Sekarang kita harus memikirkan keadaan Ki Dirun beserta keluarganya, juga Martono dan ibunya. Mereka itu entah lari ke mana. Sebaiknya mereka semua kembali lagi ke sini, di mana mereka meninggalkan rumah dan sawah mereka."

"Benar," kata Harjadenta, "biar aku memberi-tahu kepada para tetangga untuk mengejar mereka dan memberi-tahu mereka bahwa dusun Grobokan telah aman dan mereka boleh kembali lagi ke sini."

Bagus Seto membenarkan pendapat Harjadenta yang segera menghubungi para tetangga dan minta agar mereka menyusul ke mana larinya keluarga Dirun dan keluarga Martono untuk memanggil mereka pulang.

Malam itu mereka melewatkan malam di rumah keluarga Dirun. Retno Wilis menggunakan kamar yang biasa ditiduri Lasmini, sedangkan Bagus Seto dan Harjadenta menggunakan kamar Ki Dirun.

Pada keesokan paginya, setelah mereka mandi dan makan sarapan pagi yang diantar dan disuguhkan oleh para penduduk Grobokan, mereka lalu hendak meninggalkan Grobokan dan mereka merasa perlu untuk berpamit kepada Ki Demang Grobokan.

Kunjungan mereka disambut dengan ramah dan hormat oleh Ki Demang. Melihat sikap orang itu, Bagus Seto merasa gembira dan mengharapkan agar penguasa itu benar-benar bertobat dan selanjutnya akan menjadi seorang penguasa yang memimpin penduduk dusun Grobokan ke arah kehidupan yang sejahtera dan makmur.

"Ki Demang," kata Retno Wilis setelah mereka bertiga berpamit. "Kalau sewaktu-waktu pikiranmu menggodamu untuk melakukan hal-hal yang tidak baik dan menekan rakyat, ingatlah kepada kami karena sekali waktu kami pasti akan lewat di sini melihat keadaan."

Ki Demang tersenyum. Kini baru dia mengerti bahwa tiga orang itu adalah orang-orang muda sakti yang hidupnya sebagai pendekar, dan mereka adalah orang-orang yang baik dan yang berjuang demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Bukan seperti orang macam Suropekik yang mau melakukan apapun juga asalkan mendapat upah besar.

Seperti memelihara seekor harimau ganas, sekali waktu orang macam Suropekik itu bisa membalik dan menyerang pemeliharanya sendiri. Apa bila dia ingin hidup sejahtera dan makmur penuh ketenteraman, maka dia harus mengubah jalan hidupnya dan tidak selalu menuruti nafsunya sendiri.

"Harap andika bertiga jangan khawatir. Saya tidak akan melanggar janji yang telah saya ucapkan dan disaksikan semua penghuni Grobokan."

Tiga orang muda itu lalu meninggalkan rumah Ki Demang, tetapi Ki Demang Grobokan mengikuti dan mengantar mereka. Di sepanjang jalan para penduduk juga menyambut dan ikut pula mengantar mereka. Setelah mereka sampai di luar pagar yang mengelilingi dusun Grobokan, barulah Ki Demang dan para penduduk dusun berhenti mengantar, apa lagi karena hal ini diminta oleh Retno Wilis.

"Sudahlah, sampai di sini saja kalian mengantar. Sekarang kami harus pergi."

Mereka bertiga lalu menuju ke Kali Mayang. Setelah tiba di tempat di mana Harjadenta menyimpan dan menambatkan perahunya, pemuda ini bertanya kepada Bagus Seto.

"Andika berdua hendak pergi ke manakah?"

"Kami akan kembali ke pantai dan melanjutkan perjalanan perantauan kami." jawab Bagus Seto.

"Kalau begitu silakan ikut dalam perahuku saja. Aku pun hendak pergi ke muara sungai ini untuk menaati nasihat Bapa Guru bahwa aku diharuskan mencari sampai ke muara sungai Mayang ini."

Bagus Seto memandang kepada adiknya dan tersenyum.

"Tentu menarik sekali melakukan perjalanan melalui air, pemandangannya tentu berbeda. Bagaimana, maukah engkau, Retno?"

"Bagaimana engkau saja kakang. Kalau memang kita sejalan, tidak ada salahnya ikut dalam perahu kakangmas Harjadenta, asal saja tidak menyusahkan dia."

Harjadenta tertawa senang.

"Mengapa harus menyusahkan? Kita melakukan perjalanan bersama, membeli beras dan masak sendiri di perahu, lauknya kita cari di sungai dengan mengail."

Pemuda itu tampak gembira sekali dan tak lama kemudian merekapun telah meluncurkan perahu ke tengah sungai. Karena perahu itu menuju ke hilir, Harjadenta hanya perlu mengemudikannya saja dengan dayungnya, perahu itu sendiri sudah terbawa arus air yang cukup kuat sehingga meluncur dengan cepatnya ke depan. Naik perahu ini menjadi pengalaman baru bagi Retno Wilis, maka iapun merasa gembira sekali…..

********************

Sebelum memuntahkan airnya di laut Kidul, Kali Mayang bertemu dengan Kali Sanen yang mengalir dari timur. Pertemuan antara dua buah kali itu terjadi di sebelah selatan dusun Ambulu.

Tak jauh dari tempat pertemuan dua kali yang membuat muara sungai itu menjadi lebar dan besar, terdapat sebuah kota besar yang disebut Bulumanik. Penduduknya banyak yang menjadi nelayan, karena di muara sungai itu terdapat banyak sekali ikan yang seakan tiada habis-habisnya mereka tangkapi setiap hari. Selain menjadi nelayan, juga para penghuni itu merupakan petani-petani yang hidupnya cukup makmur karena sawah ladang di sepanjang lembah sungai itu amat subur.

Bulumanik terkenal sebagai tempat yang gemah ripah loh-jinawi dan tempat itu dikunjungi banyak pedagang dari kota lain. Rakyatnya cukup mampu untuk membeli barang-barang dari luar kota yang dibawa oleh para pedagang itu. Juga karena adanya sungai, maka lalu lintas dapat dilakukan dengan mudah melalui air.

Bulumanik dipimpin seorang Demang yang bernama Kebolinggo, seorang berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berwibawa. Dia ditaati oleh semua penduduk Bulumanik karena terkenal sebagai seorang penguasa yang adil dan pandai memimpin. Kedemangan Bulumanik ini termasuk wilayah kekuasaan Kadipaten Nusabarung, bahkan Demang Kebolinggo adalah seorang yang berasal dari Nusabarung juga dan yang diangkat oleh Adipati Martimpang dari Nusabarung.

Pada suatu hari para penduduk melihat betapa Candi Trisakti yang berada di Kebolinggo dipugar. Para pendetanya yang memuja Trimurti oleh Demang Kebolinggo dipecat dan candi itu dipugar dan dibangun kembali, arca-arcanya diganti dengan arca Bathara Shiwa, Bathari Durga dan Bathara Kala.

Pembuatan arca-arca dan pemugaran candi itu dilakukan oleh banyak ahli pahat yang terkenal, bahkan dipimpin oleh seorang yang tidak dikenal oleh penduduk Bulumanik. Dia adalah seorang pendeta yang berusia enam puluh lima tahun dan selain ahli tentang bangunan candi, juga ahli membuat arca yang indah. Selain itu, pendeta ini juga amat berwibawa, sebentar saja terkenal sebagai seorang pendeta yang dihormati Demang Kebolinggo dan kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna dan ahli sihir!

Bagi yang sudah mengenal pendeta itu, tentu saja tidak merasa heran karena dia adalah Sang Wasi Siwamurti, utusan Negeri Cola yang sakti, dan penyebar Agama Shiwa.

Sebagaimana yang telah diketahui, Wasi Siwamurti adalah kakak seperguruan dari Wasi Surengpati dan Wasi Karangwolo yang menjadi penasihat di Blambangan. Wasi Siwamurti ini datang dari Negeri Cola membawa dua orang lain, yaitu anak angkatnya yang berjuluk Ki Shiwananda, dan seorang muridnya yang bernama Ni Dewi Durgomala yang cantik dan genit, masih nampak muda dan menarik walau pun usianya sudah empat puluh tahun. Ni Dewi Durgomala ini kelihatan seperti berusia dua puluh tahun lebih saja.

Wasi Siwamurti telah mendapat persetujuan dari Adipati Menak Sampar di Blambangan dan sekutunya, Adipati Martimpang dari Nusabarung untuk menyebar-luaskan agama Shiwa dan memecah-belah musuh-musuh mereka, Panjalu dan Jenggala melalui perpecahan agama. Dalam rangka penyebar-luasan agama Shiwa itulah maka dia memugar dan membangun kembali candi di Bulumanik, lalu mengganti candi itu menjadi candi Shiwa, Durga dan Kala! Arca ketiga dewadewi ini yang menghiasi candi baru itu.

Untuk pembangunan candi yang membutuhkan tenaga banyak orang, Wasi Shiwamurti mendapat perkenan dari Demang Kebolinggo untuk mengerahkan tenaga warga Bulumanik. Terjadilah kekacauan di kota itu ketika Wasi Shiwamurti melakukan paksaan kepada para orang muda di Bulumanik untuk bekerja membantu pembangunan candi. Menurut berita angin, siapa berani menolak untuk membantu, oleh sang wasi dikutuk menjadi gila atau menderita penyakit parah yang mengakibatkan kematian. Berita ini didesas-desuskan orang sehingga penduduk dihinggapi perasaan takut dan tidak ada yang berani lagi menolak perintah untuk membantu pembangunan candi baru itu.

Biar pun ada berita yang mengerikan itu, tetap saja ada yang berani menentang, perintah itu. Seorang di antara mereka adalah seorang pemuda bernama Sularko. Sularko adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun yang berwajah tampan dan bertubuh tegap. Dia tinggal di sebuah rumah bersama ibunya yang sudah janda Mbok Rondo Gati dan seorang adik perempuannya yang sudah dewasa berusia delapan belas tahun bernama Sawitri. Seperti juga kakaknya yang tampan, Sawitri seorang gadis yang cantik manis, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum.

Sularko sudah mengetahui akan adanya pembangunan candi itu, dan diapun mendengar desas-desus akan bujukan yang melanda kaum muda di Bulumanik untuk membantu pembangunan candi itu. Bahkan kabarnya, mereka yang membantu pembangunan candi mendapat hadiah-hadiah yang menarik, sering diajak berpesta ria. Akan tetapi mereka yang menolak akan mendapat malapetaka.

Dia sendiri menganggap ajakan membangun candi itu mencurigakan, karena walau pun tidak ada paksaan, akan tetapi yang menolak dikenakan kutukan yang membuatnya gila atau sakit. Ini sama saja dengan paksaan. Yang membuat dia tidak senang adalah berita bahwa mereka yang membantu kelompok pembangunan candi itu diajarkan untuk menganut agama baru itu yang katanya penuh dengan kesenangan sorga dunia!

Sularko adalah seorang pemuda yang berwatak gagah dan dia pernah mempelajari kanuragan selama beberapa tahun sehingga dia menjadi seorang pemuda yang pemberani. Dia bekerja sebagai seorang nelayan yang juga mempunyai sedikit ladang untuk bertani. Setiap hari dia bekerja, kadang dibantu adiknya Sawitri yang cantik manis itu, kalau tidak menangkap ikan tentu menggarap ladangnya. Karena dia tekun dan rajin, maka kehidupan mereka bertiga dapat dibilang cukup.

Pada suatu pagi yang cerah di waktu sinar matahari pagi menghidupkan segala sesuatu di permukaan bumi, Sularko ditemani Sawitri sedang bekerja di ladangnya. Dia sedang menanam benih jagung bersama Sawitri. Dia yang membuat lubang dengan paculnya dan Sawitri memasukkan biji jagung kedalam lubang-lubang itu yang lalu ditutupnya. Sularko bekerja dengan menanggalkan bajunya, hanya memakai celana hitam yang sebatas bawah lutut, sedangkan Sawitri juga mengenakan pakaian sederhana untuk bekerja di lading yang berlumpur itu. Namun, dengan pakaian sederhana itu, kedua kakak beradik ini bahkan tampak elok dan wajar.

Sularko tampak perkasa dengan dadanya yang bidang berotot, sedangkan Sawitri tampak lemah gemulai dan ayu dalam pakaiannya yang sederhana dan kainnya yang diangkat sampai memperlihatkan betisnya yang memadi-bunting. Sambil bekerja ini, Sularko bersenandung dan mereka berdua menikmati cahaya matahari yang hangat menyinari tubuh mereka. Kepala mereka terlindung sebuah caping yang lebar.

Sularko memang pandai bertembang. Dia bersenandung tembang Kinanti dengan suara yang merdu dan Sawitri dapat merasakan kedamaian dalam tembang itu. Betapa indahnya keadaan seperti itu. Bekerja dengan hati dan tangan yang ringan, menikmati kehangatan matahari dan kesegaran angin yang semilir. Perpaduan antara kehangatan dan kesejukan yang memberi semangat dan kegembiraan hidup. Punggung dan dada Sularko berkilauan karena keringat yang membasahi tubuhnya dan ayunan cangkulnya mantap dan kuat. Sawitri mengikutinya sambil menaburkan benih jagung dan tubuhnya membuat gerakan amat lenturnya ketika ia membungkuk-bungkuk seperti itu.

Dua orang yang lewat di jalan itu, kemudian memandang mereka, datang menghampiri dan duduk di pematang ladang adalah seorang wanita cantik dan pesolek, serta seorang laki-laki tinggi besar yang bertampang menyeramkan. Walau pun wajahnya itu termasuk gagah namun sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu mendatangkan kesan menyeramkan.

Wanita itu cantik dan pesolek, kain yang dipakainya baru, rambutnya tersisir rapi dan digelung bagus, mukanya putih karena bedak dan diberi pemerah pipi dan bibir. Di lengan, jari dan lehernya terdapat perhiasan yang indah, demikian pula telinganya memakai perhiasan yang gemerlapan. Yang pria juga mengenakan pakaian baru, dengan baju terbuka sehingga nampak dadanya yang lebar dan berbulu.

Siapakah dua orang itu? Mereka bukan lain adalah Ki Shiwananda dan Ni Dewi Durgornala, anak angkat dan murid Wasi Shiwamurti. Merekalah yang ditugaskan oleh Wasi Shiwamurti untuk melaksanakan pemugaran dan pembangunan candi di Bulumanik. Mereka pula yang membujuk para muda di dusun Bulumanik dan sekitarnya untuk ikut membangun candi itu. Pada pagi hari itu, kebetulan mereka lewat di jalan itu dan melihat Sularko dan Sawitri, mereka merasa kagum dan tertarik sehingga mereka menghampiri dan duduk di pematang tegal itu.

Sepasang mata Ni Dewi Durgomala bersinar-sinar memandang ke arah Sularko yang mencangkul, sedangkan sepasang mata lebar dari Ki Shiwananda juga seolah-olah hendak menelan tubuh Sawitri dengan pandang matanya. Melihat Sularko dan Sawitri, sikap dua orang itu seperti dua ekor singa yang memandang dua ekor domba muda yang berdaging gemuk dan lunak. Air liur telah membasahi mulut mereka dan beberapa kali Ni Dewi Durgomala menjilat bibir sendiri dengan lidahnya yang merah.

Sularko dan Sawitri yang sedang asyik bekerja itu akhirnya merasa bahwa ada orang memandang mereka. Keduanya menghentikan pekerjaan masing-masing, berdiri tegak dan menoleh ke arah dua orang itu. Keduanya memandang heran, apalagi melihat bahwa dua orang itu berpakaian mewah dan sedang mengamati mereka.

"Aduh betapa sayangnya orang-orang muda yang elok harus bekerja keras memeras keringat di lumpur yang kotor!" Terdengar Ni Dewi Durgomala berseru.

"Dan gadis seayu itu sepatutnya berada di keputren!" kata pula Ki Shiwananda dengan suaranya yang berat.

Sularko dan Sawitri memandang heran dan Sularko bertanya, "Apakah andika berdua bicara kepada kami?"

"Duh orang muda yang elok, siapa lagi kalau bukan kepada kalian kami bicara? Di sini tidak ada orang lain. Aku hanya menyayangkan seorang pemuda seperti andika ini bekerja keras di lumpur yang kotor," kata Ni Dewi Durgomala sambil melempar senyum dan kerling yang memikat. Biar pun usianya sudah empat puluh tahun, wanita ini masih tampak cantik sekali dan masih muda seolah seorang perawan berusia dua puluh tahun saja! Senyumnya memikat dan kerling matanya sungguh tajam menggores kalbu.

Muka Sularko berubah merah mendengar ucapan yang merayu itu, akan tetapi dia menjawab dengan tegas.

"Kenapa sayang bekerja di ladang? Lumpur ini sama sekali tidak kotor dan bekerja di ladang merupakan pekerjaan yang bersih dan sehat!"

"Benar sekali, wong bagus, akan tetapi pekerjaan seperti itu hanya pantas dilakukan para petani yang kotor. Akan tetapi seorang muda yang elok seperti andika ini sepantasnya memiliki pekerjaan yang lebih terhormat dan bersih."

"Misalnya bekerja apa?" tanya Sularko penasaran.

"Misalnya pekerjaan membangun candi yang suci. Andika tidak perlu bekerja keras cukup kalau hanya mengawasi para pekerja mengangkut batu, atau membantu para seniman pemahat arca dan hiasan candi."

Sularko menggeleng kepalanya. "Aku tidak pandai memahat arca, juga adikku ini tidak pandai apa-apa kecuali bekerja di ladang."

“Biar pun begitu, kami dapat menerima andika berdua bekerja kepada kami. Kami dapat mengajarkan sehingga engkau akan pandai memahat arca, dan adikmu dapat menjadi seorang yang bekerja di dapur. Kalian akan mendapatkan pakaian baru yang indah, pekerjaan tidak berat dan kalau malam ikut berpesta dengan kami. Kami menjanjikan penghidupan yang penuh dengan kesenangan untuk kalian. Marilah kalian tinggalkan ladang ini dan ikut bersama kami."

Sularko menjadi tak senang hatinya. Wanita cantik genit itu seakan hendak memaksanya, membujuk-bujuk dengan janji muluk. Dia sudah mendengar akan desas-desus bahwa siapa menolak untuk diajak bekerja membangun candi akan dikutuk. Dia tidak takut.

"Sudahlah, harap andika tidak membujuk lagi. Bagaimanapun kami berdua tidak tertarik dan tidak mau bekerja membangun candi. Kami adalah keluarga petani dan pekerjaan kami di ladang atau di sungai," katanya dan dia mulai memegang gagang paculnya pula.


Ki Shiwananda mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia pun bangkit berdiri sambil menudingkan telunjuknya kepada Sularko.

"Orang muda, engkau sombong benar! Apakah engkau ingin hidupmu sengsara?"

Sularko menunda pekerjaannya dan balas memandang, "Kami sudah berbahagia dengan kehidupan kami sebagai petani, kalau kami mengubah pekerjaan kami membangun candi, tentu kami hidup sengsara!"

"Kau... kau...!” Ki Shiwananda sudah menudingkan lagi telunjuknya, akan tetapi Ni Dewi Durgomala cepat bangkit berdiri mencegah dia bicara lebih lanjut.

"Sudahlah, biarkan mereka berpikir dulu. Eh, orang muda, biarlah kami memberi waktu kepada kalian berdua untuk berpikir mempertimbangkan penawaran kami. Malam nanti kami akan mengunjungi kalian di rumah kalian."

Sularko diam saja dan kembali melanjutkan pekerjaannya menggali lubang. Sawitri juga melanjutkan pekerjaannya, membiarkan kedua orang itu pergi meninggalkan tempat itu. Sesudah mereka pergi jauh, barulah Sawitri menghentikan pekerjaannya dan berkata kepada Sularko.

"Kakang, siapakah dua orang tadi?"

"Aku sendiri pun tak mengenal mereka, Sawitri. Akan tetapi mendengar bujukan mereka, kukira mereka adalah orang-orang yang mendirikan candi baru itu."

"Kakang, aku takut melihat pandang mata mereka, terutama yang laki-laki tadi."

"Tidak perlu takut, Sawitri. Mereka boleh saja membujuk dengan janji yang manis dan muluk-muluk, akan tetapi kalau kita tidak mau, mereka tidak dapat memaksa kita."

"Tetapi aku tetap khawatir, kakang. Bukankah sebelum mereka pergi mereka mengatakan bahwa malam nanti mereka akan datang mengunjungi kita?"

"Mereka dapat berbuat apa? Jangan takut, aku akan melindungimu. Kalau nanti mereka mengancam, kita bisa memukul kentongan memanggil para penduduk untuk mengeroyok mereka."

Biar pun dihibur oleh kakaknya, tetap saja Sawitri merasa gelisah. Bayangan sepasang mata Ki Shiwananda itu seperti terus mengikutinya dan ia merasa ngeri. Akan tetapi gadis ini tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan melanjutkan pekerjaannya.

Sesudah hari menjadi sore dan mereka sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, kakak beradik itu segera pulang. Di tengah perjalanan, Sularko memesan adiknya agar tidak menceritakan peristiwa kunjungan dua orang tadi kepada ibu mereka. Dia khawatir kalau hal itu akan membuat ibu mereka gelisah.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar