Sepasang Garuda Putih Jilid 05

Dengan langkah tegap Retno Wilis menghampiri meja di mana tiga orang perwira duduk menerima pendaftaran. Dan mereka yang telah mendaftarkan diri sebagai pengikut sudah berkumpul di bawah panggung. Tiga orang perwira itu memandang heran kepada Retno Wilis ketika dia menghampiri meja. Mereka memandang penuh perhatian dan seorang di antara mereka bertanya.

"Orang muda, engkau mau apakah?"

"Saya hendak mendaftarkan diri sebagai peserta sayembara!" jawab Retno Wilis dengan suara tegas.

Tiga orang perwira itu saling pandang lalu mereka tertawa, "Andika? Hendak menjadi peserta sayembara? Eh, orang muda, apakah andika sudah tahu syarat-syaratnya?"

"Sudah, bukankah pertama mengangkat arca batu itu, dan kedua memanah sasaran di ujung bambu itu?"

"Benar, dan sesudah lulus dengan syarat-syarat itu, harus dapat bertahan menandingi Ki Wisokolo sampai seribu hitungan!"

"Aku sudah tahu."

"Dan andika nekat mau ikut?"

"Benar."

Tiga orang perwira itu agaknya merasa kasihan kepada pemuda remaja yang tampan ini, akan tetapi karena pemuda itu nekat, merekapun hanya menggerakkan pundak mereka.

"Siapa nama andika?" tanya seorang dari mereka yang bertugas mencatat nama-nama para peserta.

"Namaku Joko Wilis."

"Berasal dari mana?"

"Dari lereng Gunung Wilis."

"Baiklah, nama andika sudah kami catat. Tunggu di sana seperti para peserta lainnya."

Dengan girang Retno Wilis lalu menuju ke bawah panggung di mana sudah berkumpul lima orang pemuda lain. Mereka ini semua memiliki perawakan yang gagah, tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Ketika lima orang itu melihat Retno Wilis menghampiri mereka ikut menunggu di situ, mereka memandang dengan terheran-heran.

"Eh, ki sanak, apakah andika juga ikut menjadi peserta sayembara?” tanya seorang di antara mereka yang mukanya penuh kumis jenggot cambang bertubuh tinggai besar dan matanya terbelalak lebar."

"Benar, ki sanak," jawab Retno Wilis sambil tersenyum.

"Ha-ha-ha-ha!" Si brewok itu tertawa sambil berdongak sehingga perutnya turun naik ketika dia tertawa. "Ah, kenapa andika begini nekat? Sayembara ini berat sekali. Baru mengangkat arca itu saja, mana andika kuat? Jangan-jangan malah arca batu itu akan jatuh menimpa tubuhmu sehingga gepeng, ha-ha-ha!" Empat orang peserta lainnya ikut tertawa.

"Jangan andika sekalian menertawakan kisanak ini. Siapa tahu di tubuhnya yang kecil tersimpan kedigdayaan yang hebat!" tiba-tiba seorang pemuda yang baru saja masuk berkata. Agaknya diapun seorang peserta baru yang mendaftarkan diri sesudah Retno Wilis.

Mendengar ucapan itu, Retno Wilis memandang dan ia melihat seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, tubuhnya jangkung agak kurus, wajahnya biasa saja akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam sekali. Retno Wilis memandang kepadanya dengan berterima kasih. Akan tetapi hatinya tetap merasa penasaran karena ia dijadikan bahan ejekan dan dipandang rendah.

Kalau tadinya ia berniat untuk menjadi peserta yang gagal, kini ia mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepada mereka semua bahwa ia dapat mengangkat arca batu itu dengan mudah melebihi kekuatan mereka. Ia juga akan mengikuti ujian memanah sampai berhasil.

Masih belum terlambat baginya untuk mundur sesudah berhadapan dengan Ki Wisokolo, berpura-pura kalah. Dengan demikian dia tidak akan dicurigai dan akan dapat melakukan penyelidikan tentang Nusabarung dengan leluasa.

Setelah matahari naik tinggi, pendaftaran segera dihentikan dan ternyata jumlah peserta yang mendaftarkan diri ada sepuluh orang. Sesudah pendaftaran ditutup, terdengar bunyi tetabuhan dan muncullah Sang Adipati Martimpang bersama lima orang senopatinya dan di sampingnya berjalan isteri pertamanya dan Dyah Candramanik.

Sepuluh orang peserta sayembara itu memandang kepada Dyah Candramanik dengan sinar mata kagum. Mereka berbisik-bisik memuji dan munculnya dara jelita ini membuat semangat mereka menjadi semakin besar.

Retno Wilis dalam kesempatan waktu menanti itu, secara sambil lalu memperkenalkan diri kepada para peserta. Ia tahu siapa adanya mereka itu, tetapi hanya si brewok tinggi besar yang sombong itu dan pemuda yang tadi membelanya yang menjadi pusat perhatiannya.

Si brewok itu bernama Kalinggo datang dari Blambangan, bahkan dia mengaku sebagai putera seorang senopati di Blambangan. Sedangkan pemuda jangkung yang agak kurus dan bermata tajam itu bernama Ngurah Pranawa, seorang peserta yang datang dari Bali-dwipa.

Bukan orangnya yang menarik hati Retno Wilis untuk mendekatinya, melainkan asal-usul mereka itulah. Ia hendak menyelidiki hubungan antara Nusabarung, Blambangan dan Bali-dwipa. Ia dapat memancing pembicaraan dengan Kalinggo tentang keadaan dirinya.

"Tentu aku yang akan menangkan sayembara ini," bual si tinggi besar brewok itu. "Aku datang dari Blambangan, tentu akan mendapatkan kehormatan dan perhatian. Apalagi ayahku seorang senopati terkenal di Blambangan."


"Akan tetapi apa hubungannya antara ayahmu menjadi senopati di Blambangan dengan sayembara ini?" Retno Wilis bertanya dengan sikap sambil lalu untuk sekedar mengobrol saja.

"Hubungannya amat erat!" kata Kalinggo. "Nusabarung memerlukan bantuan Blambangan, maka Sang Adipati tentu akan mempertimbangkan keadaanku dan akan lebih senang bermantukan seorang putera senopati Blambangan dari pada pemuda lain! Andika lihat saja nanti!"

Retno Wilis sudah merasa puas mendengar semua itu dan tidak bertanya lagi karena ia khawatir kalau-kalau pemuda sombong itu akan menjadi curiga, ia lalu mendekati Ngurah Pranawa yang mengaku sebagai seorang pemuda dari Bali-dwipa.

"Saudara Ngurah Pranawa, andika datang dari Balidwipa yang jauh. Ah, sudah lama aku mendengar tentang Bali-dwipa yang indah, akan tetapi belum pernah aku berkunjung ke sana. Siapakah yang duduk menjadi raja di tempat andika?"

"Di Bali-dwipa terdapat banyak raja yang menjadi sesembahan. Adapun yang berkuasa di tempat tinggal saya adalah Ki Gusti Ngurah Jelantik yang menjadi raja muda di Telibeng."

"Andika sendiri putera siapakah?"

"Ah, saya hanya putera seorang pendeta yang tinggal di lereng bukit, dan saya memang suka merantau. Dalam perantauan di sini aku mendengar tentang sayembara ini dan mencoba untuk mengikutinya. Siapa tahu para dewata menjodohkan saya dengan puteri Sang Adipati."

"Tentu ada hubungan dekat antara para raja di Bali-dwipa dengan Nusabarung, bukankah begitu, saudara Ngurah Pranawa?"

"Aku hanya mendengar bahwa Adipati di Nusabarung suka mengirim upeti setiap tahun kepada Dalem Bali (Sribaginda Raja di Bali), tentu ada hubungan antara Bali-dwipa dan Nusabarung. Akan tetapi mengapa andika menanyakan hal itu, saudara Joko Wilis?"

"Ah, hanya ingin tahu saja karena aku merasa heran mengapa andika jauh-jauh dari Bali-dwipa datang ke sini memasuki sayembara."

Karena pemuda dari Bali itu mulai tampak curiga, Retno Wilis tidak bertanya lebih lanjut. Pada saat itu terdengar bunyi gong dan seorang juru bicara berdiri di atas panggung, lalu berkata dengan suara lantang.

"Dengan ini kami mengumumkan atas nama Kanjeng Gusti Adipati bahwa jumlah peserta sayembara ada sepuluh orang. Dan kini dimulailah syarat pertama dari sayembara ini, yaitu mengangkat arca raksasa ini sampai melewati kepala. Dipersilakan para peserta untuk menguji kekuatan masing-masing satu demi satu. Kami akan memanggil nama peserta satu demi satu dan yang terpanggil namanya dipersilakan naik ke panggung dan memperlihatkan kekuatannya. Pertama kami panggil nama peserta Kalinggo dari Blambangan.”

Terdengar tepuk tangan dan sorak sorai menyambut Kalinggo yang melompat keatas panggung dengan gerakan yang ringan dan cekatan. Setelah tiba di atas panggung, Kalinggo menanggalkan baju bagian atas sehingga tampaklah tubuh atasnya yang kokoh kuat, dengan otot besar melingkar-lingkar. Dia memandang ke arah tempat duduk Dyah Candramanik seolah-olah hendak memamerkan otot-ototnya kepada dara jelita itu, akan tetapi Dyah Candramanik membuang muka, bahkan jijik melihat tubuh yang berotot dan dada bidang yang berambut itu.

Dengan sikap pongah Kalinggo menghampiri arca batu sebesar tubuhnya itu, memegang dengan kedua tangannya dan mencoba beratnya dengan mengangkatnya sedikit. Kemudian dia memandang kembali ke arah Dyah Candramanik dan tersenyum. Setelah itu dia membungkuk, memegang arca itu dan mengerahkan tenaganya mengangkat dan ternyata dia bukan hanya membual belaka. Arca besar dan berat itu terangkat oleh kedua tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya, kemudian dibawanya berkeliling panggung itu, baru dia turunkan kembali ke tempatnya yang tadi.

Tepuk sorak menyambutnya dan dada raksasa muda brewok dari Blambangan itu terlihat semakin membesar dan membengkak. Dengan jari-jari tangannya, dia mengusap keringat yang membasahi leher dan dadanya.

"Peserta Kalinggo sudah lulus dari ujian kekuatan. Harap turun dari panggung dan kami panggil nama peserta Purwanto dari Pasuruan!"

Dari bawah meloncat seorang pemuda yang juga bertubuh tinggi tegap seperti Raden Gatotkaca, dan para penonton juga segera menyambutnya dengan tepuk sorak. Pemuda ini membungkuk-bungkuk tanda menghormati semua orang yang menyambutnya dengan tepuk sorak, kemudian dia menghampiri arca raksasa tanpa membuka bajunya.

Dia memeluk arca itu dan mengerahkan tenaganya. Arca terangkat, akan tetapi ketika dia hendak mengangkat arca itu ke atas kepalanya, kedua lengannya gemetar dan terpaksa dia melepaskan lagi arca itu ke atas panggung. Dia mencoba satu kali lagi, akan tetapi kembali dia gagal. Ternyata tenaganya tidak cukup untuk mengangkat arca itu ke atas kepalanya!

Dengan tersipu dia mendengarkan juru bicara mengumumkan bahwa dia gagal, lalu dia turun dari atas panggung. Penonton menyambutnya dengan tawa mengejek.

Berturut-turut para peserta dipersilakan naik dan akhirnya nama Joko Wilis dipanggil sebagai peserta terakhir. Kebanyakan dari para peserta gagal mengangkat arca itu dan yang berhasil hanya Kalinggo, Ngurah Pranawa dan dua orang lagi. Jadi empat orang sudah berhasil mengangkat arca itu di atas kepala.

"Kini peserta terakhir, Joko Wilis dari Gunung Wilis kami persilakan naik panggung!" demikian juru bicara mengumumkan.

Para peserta, baik yang berhasil maupun yang tidak, sudah tertawa sebelum Retno Wilis meloncat naik. Melihat betapa wajah mereka tertawa-tawa memandang kepadanya, makin panaslah hati Retno Wilis. Apa lagi mendengar Kalinggo berkata sambil menyeringai.

"Hati-hati, kawan. Jangan-jangan arca itu akan menghimpit tubuhmu sampai gepeng!"

Retno Wilis tidak mempedulikan lagi ejekan mereka, dan iapun meloncat ke atas panggung. Sambutan para penonton tidak jauh bedanya dari sambutan para peserta sayembara tadi. Banyak di antara penonton yang tertawa melihat pemuda remaja yang kelihatan lemah dengan kedua lengan kecil itu naik ke panggung.

"Heiii, bocah cilik begitu mau ikut-ikutan sayembara?" teriak seseorang.

"Bocah yang masih hijau! Lebih baik engkau pulang kepada ibumu!" ejek yang lain.

Para penonton banyak yang tertawa mendengar ini dan memandang kepada Retno Wilis dengan senyum menyejek atau senyum kasihan. Semua orang menduga bahwa pemuda remaja itu tentu tidak akan mampu mengangkat arca yang demikian beratnya. Lima orang di antara para peserta yang bertubuh kuat, dengan lengan yang besar berotot, tidak kuat mengangkat arca itu, apa lagi pemuda remaja yang kedua lengannya kecil dan tampak lemah itu.

Makin diejek dan ditertawakan, makin panaslah hati Retno Wilis dan ia lupa bahwa ia mengikuti sayembara hanya sebagai sarana agar ia dapat melakukan penyelidikan dengan leluasa saja. Kini ia mengambil keputusan untuk memberi pelajaran kepada mereka semua yang mencemoohkannya dengan memperlihatkan kepandaiannya yang hebat! Biarlah, aku mengalahkan mereka semua dalam ujian kekuatan dan kepandaian memanah, baru nanti kalau diharuskan bertanding melawan Ki Wisokolo ia akan mengalah agar ia tidak lulus dalam sayembara itu!

Ia memandang ke sekeliling dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah Dyah Candramanik, ia melihat bahwa dara jelita itu sama sekali tidak ikut menertawakannya, bahkan memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan seolah mengandung harapan agar ia berhasil! Maka iapun membungkuk dengan hormat kearah puteri itu. Hal ini menyenangkan hati Sang Adipati dan keluarganya yang mengira bahwa pemuda remaja itu memberi hormat kepada mereka. ‘Seorang pemuda yang pandai membawa diri dan tahu sopan santun,’ pikir mereka.

Retno Wilis lalu menghampiri arca itu. Dengan kedua tangannya ia mencoba dulu berat arca itu. Karena hanya mengangkat sedikit saja, semua orang melihat bahwa dia seakan-akan tidak kuat mengangkatnya. Maka orang-orang sudah mulai tertawa-tawa lagi penuh ejekan. Akan tetapi suara ejekan dan semua suara tiba-tiba terhenti sama sekali, semua mata terbelalak memandang ketika Retno Wilis mengangkat arca batu itu dengan sebelah tangan saja ke atas kepalanya!

Mula-mula tangan kanannya yang mengangkat arca itu, kemudian dilontarkannya ke atas, diterimanya dengan tangan kiri dan ia membawa arca itu berkeliling panggung, bukan satu kali, melainkan tiga kali! Sesudah suasana hening sejenak dan orang-orang memandang dengan mata terbelalak tidak percaya, baru setelah Retno Wilis meletakkan kembali arca ditempat semula.

Pecahlah sorak sorai yang riuh rendah menggetarkan seluruh alun-alun itu. Bahkan Sang Adipati, isterinya serta Dyah Candramanik juga turut bertepuk tangan pula. Wajah Dyah Candramanik berseri-seri dan kedua telapak tangannya sampai terasa panas karena ia bertepuk keras-keras dan lama. Suara juru bicara hampir tertelan oleh sisa sorak sorai gemuruh itu.

"Peserta ke sepuluh, Joko Wilis, dinyatakan berhasil dalam ujian kekuatan. Ia dipersilakan turun dulu dari panggung. Dengan demikian, yang berhasil lulus tingkat pertama ada lima orang peserta sayembara. Sekarang tiba saatnya diadakan ujian tingkat kedua bagi lima orang yang telah lulus tadi. Dimulai dari peserta pertama, Kalinggo dari Blambangan, untuk memperlihatkan ketangkasan dalam melepas anak panah agar mengenai sasaran, yaitu buah kelapa yang berada di ujung bambu. Diharap para peserta dapat meruntuhkan buah kelapa sehingga jatuh ke bawah, dan sedikitnya anak panah harus mengenai buah kelapa, baru di anggap lulus!"

Dengan sikapnya yang sombong, Kalinggo naik pula ke atas panggung. Dia memilih busur yang terbesar dan terberat karena busur seperti itu, makin berat semakin baik dan juga semakin cepat meluncurkan anak panah. Diapun memilih sebatang anak panah yang lurus, kemudian memasang anak panah pada busurnya dan mulailah dia membidik ke atas, ke arah buah kelapa yang tergantung di ujung bambu.

Ada sepuluh buah kelapa yang tergantung di sepuluh batang pohon bambu. Dia memilih yang terdekat dan sesudah membidik beberapa saat, dia lalu melepaskan tali busurnya. Anak panah itu melesat dengan cepat sekali dan menancap di buah kelapa itu, persis di tengah-tengahnya! Sorak sorai menyambut keberhasilan ini dan dengan mengangkat dada Kalinggo menuruni panggung.

Dua orang peserta berturut-turut mencoba dan mereka hanya berhasil mengenai buah kelapa pada sisinya karena buah kelapa itu bergoyang-goyang ketika batang bambu tertiup angin. Mereka dinyatakan gagal karena sedikitnya harus dapat mengenai buah kelapa tepat di tengah-tengahnya.

Kini tiba giliran Ngurah Pranawa, pemuda dari Bali-dwipa. Dia memegang busur seperti seorang ahli, bidikannya tetap, tangannya tidak bergoyang sedikitpun dan ketika anak panahnya melesat, anak panah itu pun telah menusuk sebutir kelapa tepat di tengahnya. Jadi ada dua orang yang sudah berhasil lulus ujian kedua.

Ketika nama Joko Wilis disebut dan dipersilakan naik, para penonton kini tidak ada yang menertawakannya, bahkan mereka bersorak sorai menyambut karena dalam pandangan mereka, Joko Wilis kini menjadi yang terhebat di antara mereka semua.

Sambutan para penonton ini membanggakan hati dan membesarkan semangat Retno Wilis untuk menang. Akan ia perlihatkan sekali lagi kehebatannya, pikirnya, agar jangan ada lagi orang berani memandang rendah kepadanya!

Ia memilih gendewa yang kecil saja, kemudian memasang dua batang anak panah pada busurnya, membidik cepat dan begitu dua batang anak panah melesat ke atas, semua orang memandang dan menahan napas dan kembali mereka bersorak sorai ketika melihat dua butir buah kelapa jatuh dari puncak batang-batang bambu. Ternyata sekali melepas dua anak panah, Joko Wilis telah dapat menjatuhkan dua butir buah kelapa, dua batang anak panah itu tepat mengenai tangkai buah kelapa!

Kembali Dyah Candramanik bertepuk tangan sampai terasa panas dan kelelahan. Juga Sang Adipati mengangguk-angguk dan harus memuji ketangkasan pemuda remaja itu. Suara juru bicara tidak terdengar sama sekali, lenyap ditelan sorak sorai yang menggegap gempita. Baru setelah sorak sorai mereda dan Retno Wilis sudah turun kembali dari panggung, juru bicara mengumumkan hasil ujian itu.

"Peserta Joko Wilis telah lulus dengan sangat sempurna. Kini yang sudah lulus dari uji kekuatan dan ketangkasan terdapat tiga orang, yaitu Kalinggo dari Blambangan, Ngurah Pranawa dari Bali-dwipa, dan Joko Wilis dari Gunung Wilis. Dan sekarang tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi ujian terakhir, yaitu masing-masing harus dapat bertahan melayani berkelahi dengan Ki Wisokolo selama hitungan sampai seribu. Dalam uji tanding ini, tidak boleh menggunakan senjata dan apa bila terjadi ada yang terluka atau bahkan tewas dalam pertandingan ini, hal itu sudah dianggap wajar dan tidak akan diadakan pengadilan. Kita mulai dari peserta pertama, Kalinggo dari Blambangan!"

Ki Wisokolo sudah menanti di atas panggung. Seorang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, tinggi besar seperti Werkudara, kumisnya melintang sekepal sebelah, pundaknya bidang, kedua lengannya kekar, demikian pula kedua kakinya. Inilah senopati nomor satu di Nusabarung, juga jagoan yang tak pernah terkalahkah!

Sambil bersikap tenang Ki Wisokolo menoleh ke arah para penabuh gamelan dan memberi isyarat agar gamelan dibunyikan. Segera terdengar bunyi gamelan yang bernada gagah, pengiring perang! Ki Wisokolo berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan matanya mencorong memandang kepada Kalinggo ketika jagoan dari blambangan ini naik ke pentas.

Ki Wisokolo mengangguk ramah kepada Kalinggo karena dia mengenal putera senopati Blambangan ini, dan dalam hatinya dia sudah condong memenangkan jagoan muda dari Blambangan ini agar dapat berjodoh dengan Dyah Candramanik. Akan tetapi bagaimana pun juga, dia harus menguji kepandaian pemuda ini untuk melihat apakah memang patut menjadi mantu Sang Adipati.

Juru bicara memberi aba-aba, "Satu... dua... tiga... mulai!" dan dengan lantang dia pun mulai menghitung, "Satu... dua... tiga... empat..." dan seterusnya, sementara itu gamelan dipukul bertalu-talu membuat suasana menjadi semakin bersemangat.

"Mulailah, anak mas Kalinggo!" kata Ki Wisokolo dan Kalinggo tidak sungkan-sungkan lagi segera maju menyerang dengan pukulan yang kuat. Akan tetapi Ki Wisokolo dengan mudah mengelak sambil membalas dengan sapuan kakinya untuk membuat tubuh lawan terpelanting. Akan tetapi Kalinggo cukup tangkas untuk mengelak pula.

Kalinggo menyerang terus bertubi-tubi, ditangkis atau dielakkan oleh Ki Wisokolo, bahkan kadang dia menerima pukulan itu dan dengan tubuhnya yang kebal. Sementara itu, juru bicara terus menghitung dengan suara lantang.

Retno Wilis ikut nonton pertandingan itu dan ia mengerutkan alisnya. Di sini jelas terjadi kecurangan, pikirnya. Dari ketangkasannya ketika mengelak dan menangkis, juga melihat kekebalannya, jelas bahwa tingkat kepandaian Wisokolo masih jauh lebih tinggi dari pada Kalinggo. Tetapi Ki Wisokolo hanya mempertahankan diri saja, jarang sekali menyerang dan kalau menyerang pun tidak dengan sungguh-sungguh. Jelas tampak olehnya bahwa Ki Wisokolo agaknya hendak memberi kesempatan kepada Kalinggo untuk memenangkan sayembara itu!

Sementara itu Kalinggo menjadi penasaran sekali dan dia pun mengamuk semakin hebat. Segala kepandaian dan tenaganya dikerahkan untuk menyerang dan merobohkan lawan, tetapi semua usahanya sia-sia. Sampai basah seluruh tubuhnya oleh keringat dan sampai hitungan ke delapan ratus, napasnya telah terengah-engah. Namun dia terus menyerang, walau pun tidak lagi sehebat tadi.

Dalam keadaan ini, kalau Ki Wisokolo hendak merobohkan lawannya, tentu saja amat mudah. Akan tetapi dia tidak ingin merobohkan lawan yang satu ini. Ketika hitungan sampai ke seribu, Ki Wisokolo meloncat ke belakang dan tersenyum menyeringai, memandang kepada Kalinggo yang sudah bermandi keringat dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi dia lulus dan penonton menyambutnya dengan sorak sorai memuji.

Kalinggo mengangkat kedua tangan ke atas saking gembiranya. Dia lulus ujian, berarti dia telah menang dalam sayembara. Akan tetapi masih ada dua orang peserta lain! Harus dilihat dulu bagaimana hasil ujian kedua peserta ini. Menurut peraturan, kalau pemenangnya lebih dari seorang, maka kedua pemenang itu akan diadu dan siapa yang keluar sebagai pemenang dialah yang dianggap memenangkan sayembara dan mendapatkan hadiahnya.

"Peserta Kalinggo telah lulus ujian terakhir, harap menanti di bawah panggung dan kini dipersilakan peserta Ngurah Pranawa untuk maju menandingi Ki Wisokolo selama seribu hitungan!"

Ngurah Pranawa lalu meloncat ke atas panggung, disambut sorak sorai penonton, terutama yang menjagoi pemuda dari Bali-dwipa ini. Ki Wisokolo sudah siap lagi dan mempersilakan pemuda Bali itu untuk mulai menyerangnya, sementara juru bicara mulai menghitung dari satu dan seterusnya.

Ngurah Pranawa segera maju menyerang, disambut dengan tangkisan oleh Ki Wisokolo. Terjadi pertandingan yang seru seperti juga tadi ketika Ki Wisokolo menguji Kalinggo. Akan tetapi Retno Wilis melihat bahwa pertandingan kali ini berbeda dari tadi. Jika tadi Ki Wisokolo hanya bertahan saja, sekarang dia membalas setiap serangan Ngurah Pranawa.

Retno Wilis tahu bahwa tingkat kepandaian Ngurah Pranawa masih belum mampu untuk menandingi kepandaian Ki Wisokolo. Sungguh pun Ngurah Pranawa juga kuat dan gesit, namun setelah hitungan ke enam ratus lebih, tiba-tiba sebuah tendangan kaki Ki Wisokolo mengenai perutnya dan membuat tubuhnya terpental keluar panggung. Ngurah Pranawa dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak terbanting dan dapat jatuh sambil berdiri. Akan tetapi sudah jelas bahwa dia telah gagal dalam pertandingan itu.

"Peserta Ngurah Pranawa telah gagal menandingi Ki Wisokolo sampai seribu hitungan. Sekarang tinggal peserta terakhir, yaitu Joko Wilis, dipersilakan naik ke panggung untuk bertanding melawan Ki Wisokolo!"

Belum juga Retno Wilis naik ke panggung, tepuk sorak sorai penonton sudah menyambut ketika namanya disebut. Retno Wilis melompat naik ke atas panggung sambil tersenyum. Ada keraguan dalam hatinya. Mestinya dia mengalah dalam pertandingan ini, akan tetapi ia merasa kasihan kalau mengecewakan penonton yang demikian banyak mendukungnya itu.

Setelah berhadapan dengan Ki Wisokolo dan sorak sorai penonton mereda, Retno Wilis berkata dengan suara lantang kepada Ki Wisokolo,

"Paman, andika telah dua kali melayani dua orang peserta, tentu telah lelah sekali. Tidak adil kalau sekarang harus melayani aku pula. Sebaiknya paman beristirahat dan minum-minum dulu sebelum bertanding lagi."

Ki Wisokolo tertawa. Dia sama sekali tidak merasa lelah. Untuk apa dia beristirahat? Apa lagi kalau hanya menghadapi seorang pemuda remaja seperti ini. Dalam segebrakan saja tentu dia akan mampu merobohkan pemuda ini. Dan dia harus merobohkannya kalau dia hendak melihat Kalinggo dari Blambangan itu yang menang.

"Ha-ha-ha-ha, Joko Wilis. Biar harus menghadapi lima orang seperti andika pun aku tidak perlu beristirahat dulu. Apalagi hanya andika seorang. Jangan-jangan sekali tendang aku sudah akan melemparkanmu keluar panggung! Ha-ha-ha!"

Merah kedua pipi Retno Wilis. Ia sudah mengambil keputusan untuk mengalah sekali ini, akan tetapi kata-kata Ki Wisokolo yang sombong itu membuatnya marah sekali. Dia harus memberi pelajaran kepada manusia sombong ini, pikirnya.

"Hemm, sombongnya! Kalau aku tidak dapat mengalahkanmu selama hitungan seratus saja, anggaplah aku kalah!"

Ucapan yang lantang ini tentu saja membuat semua orang terkejut bukan main. Melawan selama seribu hitungan saja belum tentu dapat menang, dan sekarang pemuda itu malah menantang untuk mengalahkan hanya dalam seratus hitungan saja! Seorang di antara para penonton, seorang pemuda tampan berpakaian serba putih, mengerutkan alisnya dan berkata kepada diri sendiri,

"Hemm, dia mencari penyakit!" Pemuda ini tentu saja adalah Bagus Seto yang merasa bingung sekali melihat ulah adiknya. Dia maklum bahwa tentu Retno Wilis akan dapat mengalahkan Ki Wisokolo sebelum hitungan ke seratus, akan tetapi itu berarti bahwa ia menangkan sayembara dan harus menikah dengan Dyah Candramanik!

Ki Wisokolo sendiri terperangah mendengar tantangan itu. Dia menganggap pemuda itu sombong bukan main.

"Bukan aku, tetapi engkaulah yang akan kurobohkan sebelum seratus hitungan!" katanya dan segera dia menubruk maju dengan kedua lengan dipentang, seperti seekor biruang menyerang korbannya.

"Ggrrr...!” Dari kerongkongannya keluar gerengan seperti seekor binatang buas.

"Haiiiiiitt...!” Retno Wilis berseru melengking dan tubuhnya sudah lenyap dari hadapan Ki Wisokolo.

Raksasa ini kaget sekali dan cepat memutar tubuhnya. Ternyata pemuda remaja itu telah berada di belakangnya dan dia segera menyerang lagi dengan cepat dan dahsyat. Akan tetapi lagi-lagi dia menyerang angin karena tubuh Retno Wilis sudah mengelak dengan cepat.

Ki Wisokolo menjadi marah dan menyerang membabi buta, dengan cepat dan dengan pengerahan seluruh tenaganya. Namun, sambil kadang-kadang melengking Retno Wilis mengelak dengan gerakan yang indah dan lucu, bagaikan seekor burung walet yang gesit sekali sehingga semua serangan Ki Wisokolo mengenai angin belaka.

Sementara itu juru hitung sudah menghitung sampai tiga puluh, dan semua penonton terpesona oleh gerakan Retno Wilis yang demikian cepatnya. Jangankan tubuhnya, ujung bajunya pun tidak dapat disentuh oleh Ki Wisokolo yang menjadi semakin marah. Mulailah para penonton tertawa dan bersorak ketika tiba-tiba kaki Retno Wilis menendang pantat lawannya. Debu mengebul dari pantat yang ditendang dan tubuh Ki Wisokolo terhuyung ke depan.

"Aku di sini, Ki Wisokolo!" kata Retno Wilis mengejek ketika lawannya mencari-carinya.

Begitu tahu bahwa pemuda itu berada di belakangnya, Ki Wisokolo segera membalikkan tubuhnya sambil memukul-mukul dengan kedua tangannya diseling tendangan-tendangan kedua kakinya. Akan tetapi semua pukulan dan tendangan itu tidak ada yang mengenai tubuh Retno Wilis yang berlompatan ke sana sini untuk menghindar. Kembali tangannya menampar, sekali ini mengenai belakang telinga raksasa itu.

"Aduh...!” Ki Wisokolo berseru dan tubuhnya berputar-putar.

Akan tetapi dia masih dapat mengatur keseimbangan sehingga tidak roboh dan sekarang matanya terbelalak liar dan menjadi merah. Hitungan sudah sampai enam puluh dan dia sama sekali belum mampu menyentuh pemuda itu, bahkan dia sudah merasakan sekali tendangan dan sekali tamparan.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar