Sepasang Garuda Putih Jilid 04

Endang yang menonton pertandingan itu menjadi heran sekali. Sudah jelas bahwa pemuda tampan bertangan kosong yang dikeroyok dua orang pemuda berkeris itu jauh lebih kuat, akan tetapi dia melihat betapa pemuda tampan itu selalu membatasi diri. Kalau saja dia kehendaki, tentu dengan mudah dia bisa merobohkan dua orang pengeroyoknya. Agaknya dia memang tidak mau memukul dua orang itu. Sebaliknya, dua orang berkeris itu mati-matian berusaha untuk membunuh si pemuda tampan.

Endang Patibroto menjadi penasaran bukan main. Ia tidak tahu ada urusan apa di antara mereka, Dua orang pemuda pengeroyok itu pun tampaknya seperti pemuda baik-baik dan berpakaian pantas seperti putera bangsawan.

Tetapi yang jelas mereka itu licik, mengeroyok seorang pemuda yang bertangan kosong dengan menggunakan keris. Apalagi kalau mengingat bahwa kakek iblis tadi membantu dua orang pemuda itu, hatinya condong memihak pemuda yang dikeroyok.

Melihat betapa pemuda bertangan kosong itu masih belum juga mau merobohkan dua orang lawannya, Endang Patibroto lalu menggerakkan tangan kirinya yang mengambil kerikil kecil ke arah perkelahian itu. Terdengar jerit kesakitan dua kali dan dua orang pengeroyok itu pun roboh!

Jarot yang tadi maklum bahwa ada wanita sakti datang membantunya, bahkan wanita itu telah mengusir kakek iblis, maklum bahwa dua orang kakaknya itu roboh oleh wanita sakti itu. Sekali menggerakkan kaki, wanita itu telah berada dekat Lembu Alun dan Lembu Tirta, membentak dengan suara mengancam.

"Kalian dua orang muda ini tentu juga bukan manusia baik-baik, tiada bedanya dengan kakek iblis tadi!'

Lembu Alun dan Lembu Tirta yang sudah roboh dan kehilangan keris mereka, menjadi jerih. Mereka takut sekali karena Jarot telah mengetahui rahasia mereka. Kalau Jarot mengadu kepada ayah mereka, mereka berdua tentu akan mendapat marah besar dan akan dihukum berat. Maka, keduanya lalu merangkak, bangkit berdiri hendak melarikan diri.

Akan tetapi dua kali kaki Endang Patibroto menendang dan dua orang pemuda itu roboh lagi, kini sambil menyeringai kesakitan karena tendangan yang mengenai dada mereka itu membuat mereka sukar untuk bernapas.

"Kanjeng Bibi, harap ampunkan mereka dan jangan dibunuh," tiba-tiba saja Jarot berkata dengan suara memohon kepada Endang Patibroto.

Wanita sakti itu menoleh dan memandang kepada Jarot dengan dua alis berkerut. "Apa? Mereka berusaha mati-matian untuk membunuhmu, dan sekarang engkau justru mintakan ampun untuk mereka?"

Jarot berkata lembut, "Kanjeng Bibi, mereka ini adalah kakak-kakakku sendiri."

"Kakakmu sendiri? Akan tetapi mengapa mereka hendak membunuhmu dan mereka dibantu kakek sakti tadi? Hayo ceritakan yang jelas sebelum aku mengambil keputusan, hendak kubunuh atau tidak dua orang muda jahanam ini!"

Jarot menghela napas panjang sambil memandang kepada dua orang kakaknya. "Mereka adalah kakak-kakak saya tetapi berlainan ibu, Kanjeng Bibi. Mereka hendak membunuhku mungkin karena mereka menghendaki agar ayah kami mengangkat mereka menjadi calon adipati. Ayah kami adalah Adipati di Pasisiran dan mereka khawatir kalau saya yang kelak diangkat menggantikan ayah. Akan tetapi rupanya Hyang Widhi belum menghendaki saya mati, maka kanjeng bibi muncul dan menolong saya."

"Keparat betul dua orang ini. Memperebutkan kedudukan dan berusaha membunuh adik sendiri? Orang muda, siapa namamu?"

"Nama saya Jarot, Kanjeng Bibi, dan mereka ini adalah kakangmas Lembu Alun dan kakangmas Lembu Tirta."

Mendengar jawaban Jarot, timbul harapan dalam hati kedua orang muda itu.

"Dimas Jarot, ampunkan kesalahanku," kata Lembu Alun.

"Aku minta ampun darimu, dimas Jarot," kata Lembu Tirta.

"Anakmas Jarot, dua orang ini tidak semestinya diberi ampun. Hayo bawa mereka menghadap ramandamu dan ceritakan semua perbuatan mereka terhadap dirimu. Mereka layak mendapat hukuman berat. Kalau engkau tidak mau melaporkan perbuatan mereka kepada orang tua kalian, akulah yang akan menghadap Sang Adipati dan melaporkan semua peristiwa ini. Hayo kau bawa mereka ke Kadipaten."

"Baik, Kanjeng Bibi. Terima kasih atas pertolongan Kanjeng Bibi."

"Tidak usah berterima kasih. Ingat, orang muda, seorang saudara, apa lagi saudara tiri yang sudah memperlihatkan sikap bermusuhan merupakan musuh yang amat berbahaya. Aku menghargai sikapmu yang mengalah, akan tetapi hal ini harus dilaporkan kepada ayahmu. Tentu mereka yang licik ini akan menyangkal di depan ayah kalian, maka biarlah aku menyertaimu menghadap ayahmu sebagai saksi."

Karena Endang Patibroto menyertai mereka, maka kedua orang saudara itu tidak mampu berbuat sesuatu dan mereka mengikuti dengan gentar ketika Jarot membawa mereka pulang ke kadipaten. Demikian pula Jarot. Biar pun dia bermaksud untuk memaafkan kedua orang kakaknya, namun desakan Endang Patibroto membuat dia tak berdaya dan terpaksa menuruti permintaan wanita sakti itu. Kalau dia tidak melapor, dan wanita itu yang melaporkan kepada ayahnya, tentu dia akan dipersalahkan ayahnya pula.

Sang Adipati Kertajaya menyambut kedatangan ketiga puteranya yang diiringkan seorang wanita cantik itu dengan heran. Apa lagi melihat sikap Lembu Alun dan Lembu Tirta yang tidak wajar, seperti dua orang yang ketakutan.

"Jarot, engkau bersama dua orang kakakmu menghadap aku disertai seorang wanita ini, ada urusan apakah dan siapa wanita ini?"

"Maafkan, Kanjeng Rama, saya datang menghadap tanpa dipanggil. Kami bertiga menghadap Kanjeng Romo untuk menceritakan suatu peristiwa yang perlu Kanjeng Romo ketahui. Dan Kanjeng Bibi ini yang namanya... belum saya ketahui, akan tetapi kanjeng Bibi ini telah menyelamatkan nyawa saya, Kanjeng Romo."

Mendengar pengakuan ini, terkejutlah Adipati Kertajaya. Dia memandang kepada Endang Patibroto dengan penuh perhatian. Seorang wanita yang memiliki kepribadian agung dan anggun, cantik dan gagah, mendatangkan sikap hormat dalam hatinya.

"Selamat datang, Nyi Sanak. Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu terhadap putera kami Jarot. Bolehkah kami mengetahui siapa gerangan nama Nyi Sanak dan berasal dari mana?"

Endang Patibroto tersenyum dan merasa senang. Adipati ini bukan seorang yang sombong dan suka mengagungkan kedudukannya. Sikapnya demikian hormat, maka iapun memperkenalkan diri dengan terus terang.

"Sang Adipati, saya bernama Endang Patibroto dan datang dari Panjalu."

Begitu mendengar nama dan tempat tinggal itu, Adipati Kertajaya lalu bangkit berdiri dan matanya terbelalak, kemudian dia membungkuk dengan sikap hormat sekali.

"Jagad Dewa Bathara. Kiranya paduka adalah Gusti Puteri Endang Patibroto! Silakan duduk dan kami menghaturkan selamat datang di Kadipaten Pasisiran."

Semua orang yang melihat sikap Adipati menjadi heran. Adipati ini tentu saja sudah mendengar akan nama Endang Patibroto yang terkenal di seluruh daerah Panjalu dan Jenggala. Siapa yang tidak mengenal wanita sakti yang pernah menjadi isteri Pangeran Panjirawit dari Jenggala dan kemudian menjadi isteri Kipatih Tejolaksono di Panjalu? Wanita sakti ini dahulu pernah membuat geger ketika mengamuk di Nusabarung dan di Blambangan!

Setelah dipersilakan duduk di atas kursi yang sejajar dengan sang adipati Endang Patibroto segera duduk di kursi itu tanpa sungkan lagi. Sementara itu, Jarot dan dua orang kakaknya itu memandang dengan mata terbelalak kepada Endang Patibroto. Jarot memandang penuh kagum karena dia juga pernah mendengar nama itu disebut-sebut orang, akan tetapi Lembu Alun dan Lembu Tirta memandang dengan terkejut dan semakin takut. Habislah sudah riwayat mereka, mereka berpikir. Sungguh sial sekali. Setelah usaha mereka sudah hampir berhasil, mendadak muncul wanita sakti itu.

"Sekarang ceritakanlah peristiwa apa yang kau alami?" tanya Sang Adipati kepada Jarot.

Jarot beberapa kali membuka mulut akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara. Sungguh tidak enak sekali rasa hatinya kalau harus membongkar kekejian dua orang kakaknya itu di depan ayahnya. Dia menoleh kepada Endang Patibroto dan berkata,

"Kanjeng Bibi yang mulia, sudikah kanjeng Bibi yang menceritakan kepada kanjeng Romo tentang peristiwa itu?"

Endang Patibroto tersenyum dan mengangguk. Dia juga kagum kepada pemuda ini. Sungguh seorang pemuda yang berbudi lembut dan bijaksana.

"Baiklah, saya akan bercerita," katanya sambil memandang kepada Adipati Kertajaya. "Ketika saya sedang melakukan perjalanan di luar kota kadipaten Pasisiran, saya melihat anakmas Jarot ini melakukan perjalanan dengan menggunakan ilmu berlari cepat. Saya menjadi tertarik sekali dan diam-diam saya membayanginya. Ketika dia menuruni tebing curam, sayapun mengikutinya dan akhirnya dia tiba di depan sebuah goa besar. Di situ dia bertemu dengan dua orang kakak tirinya yang ditemani seorang kakek iblis dan mereka bertiga itu segera mengeroyok anakmas Jarot. Mereka bertiga berusaha mati-matian untuk membunuh anakmas Jarot. Melihat ini saya lalu turun tangan menghadapi kakek iblis yang tangguh itu. Akhirnya kakek iblis itu berhasil saya usir dan dua orang muda yang bertindak keji dan curang ini dapat ditangkap dan dibawa menghadap di sini."

Wajah Adipati Kertajaya berubah merah sekali, matanya melotot kepada dua orang puteranya, akan tetapi dia masih bertanya kepada Jarot.

"Jarot benarkah seperti apa yang diceritakan Gusti Kanjeng Endang Patibroto itu?"

"Semua benar, Kanjeng Romo."

“Bedebah! Kalau begitu, yang memanahmu pada tujuh tahun yang lalu tentu si bedebah Lembu Alun ini! Heh, Lembu Alun dan Lembu Tirta. Benarkah kalian melakukan perbuatan keji itu, berusaha membunuh Jarot?"

Dua orang muda itu tidak berani menyangkal lagi, apa lagi yang menjadi saksi adalah Endang Patibroto! Mereka hanya mengangguk dan menundukkan kepala sambil bertiarap menyembah.

"Ampunkan kami, Kanjeng Romo."

"Siapa kakek iblis yang kalian ajak untuk membunuh adikmu Jarot?"

"Dia guru kami, Wasi Surengpati."

"Dan engkau Lembu Alun, beranikah engkau menyangkal lagi bahwa pada tujuh tahun yang lalu, engkau pula yang telah memanah punggung Jarot dari belakang?"

"Ampunkan hamba, Kanjeng Romo! Hamba mengaku salah..."

"Bedebah, kalian hanya mengotori Kadipaten Pasisiran saja! Orang-orang macam engkau yang menjadi hamba setan nafsu harus dienyahkan dari muka bumi!" Sang Adipati sudah menghunus kerisnya dan bangkit berdiri, siap untuk menyerang kedua orang puteranya.


Pada saat itu, Jarot meloncat dan menubruk ayahnya.

"Kanjeng Romo, harap sabar dulu. Bagaimanapun juga, kakangmas Lembu Alun dan kakangmas Lembu Tirta adalah putera paduka, dan mereka juga kakak saya. Bagaimana Kanjeng Rorno akan membunuh mereka begitu saja?"

Wajah Adipati itu masih merah dan matanya melotot memandang kepada Jarot yang menghalanginya membunuh kedua orang puteranya yang sesat itu.

"Kau... kau yang hendak dibunuh mereka... kau bahkan membela mereka, Jarot?"

"Mereka memang bertindak salah, Romo. Akan tetapi berilah kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan mengubah jalan pikiran mereka yang keliru. Kalau mereka dibunuh, berarti Kanjeng Romo tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk menebus dosa. Apakah Kanjeng Romo tidak kasihan kepada mereka?"

Mendengar pembelaan adik mereka itu, kedua orang muda itu seperti ditusuk-tusuk rasa jantungnya dan mereka menangis sesenggukan.

"Adimas Jarot... aku telah berdosa kepadamu, biarlah aku dihukum mati...”

"Aku juga berdosa kepadamu, dimas Jarot. Tidak pantas kau bela..."

"Tidak, kakangmas. Andika berdua hanya terdorong nafsu ingin memperebutkan kedudukan adipati kelak. Kalau kalian minta baik-baik, aku akan menyerahkan kedudukan itu. Setelah kini kalian menyadari kesalahan, tentu akan bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatan yang menyeleweng dari kebenaran."

Adipati Kertajaya yang sudah menyarungkan kembali kerisnya karena ditahan oleh Jarot tadi, duduk kembali dan menghela napas panjang.

"Baiklah, mengingat akan permintaan ampun Jarot untuk kalian berdua, aku tidak akan menghukum mati kalian yang sebetulnya patut kalian terima. Sebagai gantinya, kalian kuhukum selama lima tahun menjadi perajurit jogoboyo kadipaten."

Dua orang pemuda itu cepat menyembah dan menghaturkan terima kasih. Semenjak hari itu, mereka berdua bertugas sebagai perajurit jogoboyo yang menjaga keamanan kadipaten Pasisiran. Adipati Kertajaya hendak menjamu Endang Patibroto, akan tetapi wanita ini menolak.

"Saya masih mempunyai banyak keperluan dan harus melanjutkan perjalanan sekarang juga. Akan tetapi ada satu hal yang ingin kutanyakan kepada Sang Adipati dan siapa tahu andika dapat membantu dalam urusan ini."

Adipati Kertajaya tersenyum dan menjawab. "Dengan sepenuh hati kami siap membantu Gusti Puteri. Apakah hal yang ingin andika tanyakan itu?"

"Saya sedang mencari putera puteriku yang melakukan perjalanan merantau. Puteraku itu bernama Bagus Seto dan puteriku bernama Retno Wilis. Apakah mereka itu lewat dan singgah di kadipaten ini?"

Adipati Kertajaya mengerutkan alisnya.

"Saya sendiri tidak pernah mendengar nama-nama itu, akan tetapi akan saya umumkan dan tanyakan kepada semua perajurit kalau-kalau di antara mereka ada yang bertemu dengan kedua orang putera puteri andika itu."

Adipati Kertajaya segera mengutus perwira untuk mengumumkan pertanyaan itu dan sementara menanti jawaban mereka, Endang Patibroto dipersilakan menunggu dan dijamu makan oleh sang adipati bersama seluruh keluarganya. Hanya Lembu Alun dan Lembu Tirta yang tidak ikut dalam perjamuan itu karena mereka mulai hari itu sudah harus bertugas sebagai perajurit jogoboyo. Dalam perjamuan itu Endang Patibroto banyak mendapat keterangan dari Adipati Kertajaya tentang pergolakan di timur. Pasisiran sendiri merupakan daerah kekuasaan Jenggala dan selama ini kadipaten ini selalu patuh kepada Jenggala.

"Mula-mula kadipaten di Nusabarung yang memperlihatkan tanda hendak menentang kekuasaan Kerajaan Jenggala, akan tetapi kemudian kami mendengar bahwa Nusabarung bersekutu dengan Blambangan. Mereka telah memperkuat diri dan mempersiapkan pasukan besar untuk melawan pasukan Jenggala. Kami sendiri khawatir kalau kalau kami terseret karena kami berada ditengah-tengah antara Blambangan dan Jenggala," demikian antara lain Adipati Kertajaya memberi keterangan.

Mendengar ini semakin kuat keinginan hati Endang Patibroto untuk melakukan penyelidikan ke daerah yang bergolak itu. Kemudian, datang laporan dari para perwira yang mengatakan bahwa tidak ada seorang-pun di antara perajurit yang mendengar tentang Bagus Seto dan Retno Wilis Mendengar laporan itu, Endang Patibroto menjadi kecewa dan iapun segera berpamit dari keluarga Adipati Kertajaya. Ketika Endang Patibroto berpamit darinya, Jarot kembali mengucapkan banyak terima kasih.

"Bantuan kanjeng bibi sungguh merupakan budi yang besar. Mudah-mudahan saja kelak saya akan dapat membalas budi itu."

Endang Patibroto tersenyum dan memandang pemuda itu dengan senang karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang baik hati dan bijaksana, di samping memiliki ilmu kanuragan yang cukup tangguh.

"Jangan bicara tentang budi, anakmas Jarot. Saya tidak mengharapkan balasan apapun juga, hanya saya mengharap agar kelak kalau andika sudah menggantikan ramandamu menjadi adipati, bertindaklah yang adil dan bijaksana terhadap rakyatmu."

Endang Patibroto segera melanjutkan perjalanannya menuju ke timur untuk mencari jejak puterinya dan juga untuk menyelidiki daerah yang bergolak itu.

Nusa Barung adalah sebuah pulau di lautan Kidul yang cukup besar. Di pulau itu terdapat seorang penguasa yang menyebut dirinya Adipati Martimpang yang kekuasaannya bukan hanya di atas pulau Nusa Barung, melainkan sampai ke daratan pantai Laut Kidul. Adipati Martimpang berhasil menjadi penguasa yang berpengaruh dan ditakuti. Dia juga menghimpun pasukan yang tidak kurang dari seribu orang jumlahnya, sebagian dari pasukannya berjaga di daratan pantai pulau Jawa bagian selatan itu. Dia juga mempunyai lima orang senopati yang terkenal gagah perkasa dan berbadan seperti raksasa.

Adipati Martimpang sendiri adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam dan wajahnya menyeramkan, sama sekali tidak dapat dibilang tampan. Akan tetapi dia memiliki belasan orang isteri yang cantik-cantik. Tidak mengherankan kalau dia juga mempunyai seorang anak perempuan yang cantik jelita seperti ibunya dan diberi nama Dyah Candramanik. Gadis ini sudah berusia tujuh belas tahun dan tidak ada pemuda di Nusabarung yang tidak tergila-gila kepada puteri adipati ini.

Adipati Martimpang sendiri amat membanggakan puterinya. Akan tetapi siapakah yang berani mencoba untuk menundukkan hati Dyah Candramanik? Mereka gentar terhadap ayahnya. Karena itulah maka sampai berusia tujuh belas tahun, belum ada pria yang berani meminangnya. Tentu saja Adipati Martimpang mempunyai cita-cita besar terhadap puterinya yang dibanggakannya ini. Dia berkeinginan agar puterinya mendapatkan jodoh seorang raja yang masih muda dan yang kaya raya serta besar kekuasaannya. Atau setidaknya seorang ksatria yang sakti mandraguna dari keturunan orang terkenal. Karena itu jangan harap ada seorang pemuda biasa di Nusabarung mampu mempersunting bunga yang indah harum itu.

Untuk menguji kesaktian orang yang berani meminang, Sang Adipati mengadakan sayembara tanding. Siapa yang dapat mengalahkan seorang di antara lima orang senopatinya, yang bernama Wisokolo, dialah yang patut menjadi jodoh putrinya. Akan tetapi sebelum bertandmg melawan Wisokolo yang sakti, orang itu harus dapat menunjukkan bahwa dia putera seorang yang terkenal, pendeknya bukan pemuda keturunan orang biasa.

Karena syaratnya yang begitu berat, menandingi Ki Wisokolo, maka sampai berbulan-bulan setelah sayembara diumumkan, masih belum juga ada yang berani memasuki sayembara. Syarat itu begitu berat. Siapa yang berani menandingi Ki Wisokolo yang terkenal digdaya itu? Salah-salah tulang-tulang bisa patah-patah atau kepala bisa remuk!

Adipati Martimpang menjadi kecewa sekali, lalu menambah hadiah sayembara itu. Kalau ada orang yang lulus sayembara, bukan saja pemuda itu akan mempersunting Dyah Candramanik, bahkan akan diangkat menjadi calon adipati, menggantikan kedudukan Adipati Martimpang kalau dia sudah mengundurkan diri. Hal ini adalah sewajarnya karena sang adipati tidak mempunyai putera pria. Semua anaknya yang berjumlah tujuh orang adalah perempuan. Dyah Candramanik merupakan anak sulung dan yang paling cantik di antara saudara-saudaranya.

Berita tentang sayembara yang berhadiah besar ini tersebar luar sampai ke daerah-daerah lain. Maka berdatanganlah orang-orang muda dari segala penjuru untuk memasuki sayembara dan mengadu nasib. Mereka itu berdatangan dari Blambangan, daerah-daerah pantai utara dan timur, Probolinggo, Besuki, bahkan ada yang datang dari Madura dan Bali-dwipa!

Pada hari yang ditentukan, berkumpullah lima orang pemuda yang tampak gagah perkasa di Nusabarung, kemudian muncul pula dua orang pemuda yang tampak lemah lembut. Dua orang pemuda ini bukan lain adalah Bagus Seto dan Retno Wilis! Ketika Retno Wilis mendengar berita tentang diadakannya sayembara tanding di Nusabarung, ia segera berkata kepada kakaknya,

"Kakang Bagus, mari kita ikuti sayembara itu!"

Bagus Seto tersenyum memandang adiknya yang nakal.

"Aku tidak ingin mencari jodoh, diajeng. Untuk apa aku mengikuti sayembara itu?"

"Biar aku yang memasuki sayembara, engkau hanya menjadi penonton saja."

"Heh-heh, engkau ini aneh-aneh saja. Engkau seorang gadis, bagaimana hendak memasuki sayembara tanding yang hadiahnya seorang puteri itu? Apakah engkau ingin menikah dengan sesama wanita?"

"Tentu saja tidak, kakangmas. Akan tetapi ini merupakan kesempatan baik sekali bagi kita untuk memasuki Nusabarung. Dalam keadaan biasa kita masuk ke sana tentu akan menimbulkan kecurigaan sehingga gerakan kita kurang leluasa. Kita sudah mendengar desas-desus bahwa Nusabarung sedang bergolak dan timbul dugaan bahwa mereka hendak memberontak terhadap Jenggala. Kiranya sudah menjadi kewajiban kita untuk menyelidiki keadaan di sana. Dan kesempatan ini amat baik. Kalau kita ikut menjadi peserta sayembara, tentu kita akan dapat menyelidiki dengan mudah tanpa menimbulkan kecurigaan. Bukankah engkau pikir begitu, kakangmas?"

"Akan tetapi engkau seorang perempuan, bagaimana engkau akan ikut dalam sayembara itu, diajeng?"

"Ah, hal itu mudah saja, kakangmas. Apa sih sukarnya menjadi pria sebentar? Kan yang membedakan hanya pakaiannya saja. Aku dapat menyamar menjadi pria tentu saja dan tak seorang pun akan mengetahui akan hal itu."

"Menyamar sebagai pria? Ah, engkau nakal, diajeng."

"Bagaimana lagi kalau tidak mengambil cara itu, kakangmas? Sebetulnya, lebih baik kalau engkau yang mengikuti sayembara, akan tetapi kalau engkau tidak mau, terpaksa aku yang maju."

"Jangan main-main, diajeng. Bagaimana kalau engkau nanti mendapat kemenangan keluar sebagai pemenang dan mendapatkan hadiah puteri itu?"

"Kalau begitu, biarlah puteri itu kuhadiahkan kepadamu, kakangmas!"

"Hussh, mana boleh begitu? Aku tidak mempunyai niat sama sekali untuk menikah dan pula, mana mungkin diperbolehkan kalau si pemenang memberikan hadiahnya kepada orang lain? Kita berdua tentu akan mendapat kesulitan."

"Kalau begitu, biar aku mengalah saja, kakangmas. Yang penting kita diperkenankan masuk tanpa dicurigai."

"Engkau dapat masuk sebagai peserta, akan tetapi aku tidak, kalau begitu sebaiknya engkau saja yang masuk untuk mengikuti sayembara, dan aku akan masuk sebagai pelancong biasa dan mengamati engkau dari jauh."

"Begitu juga boleh, kakang. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan meninggalkan aku seorang diri."

Bagus Seto kembali tersenyum sambil memandang wajah adiknya dengan penuh kasih sayang. "Ah, diajeng Retno. Engkau seperti anak kecil saja. Seorang dara gagah perkasa seperti engkau ini, yang sudah biasa bertualang dan malang melintang di dunia, kenapa sekarang menjadi penakut, takut ditinggal seorang diri?"

"Aku tidak takut akan bahaya yang mengancam diriku, kakang Bagus. Aku takut kepada diriku sendiri. Dahulu aku bisa malang melintang, menurutkan kehendakku sendiri, menghancurkan mereka yang menjadi lawanku. Aku tidak mengenal apa artinya baik dan buruk, bahkan sampai sekarangpun aku masih bingung membedakan antara baik dan buruk. Aku membutuhkan bimbinganmu, kakang, maka aku takut kalau kau tinggal pergi."

"Aku tidak akan meninggalkanmu sebelum tiba saatnya, Retno. Akan tetapi jangan lupa, engkau harus mengalah dalam sayembara, pura-pura kalah. Kalau engkau keluar sebagai pemenang, tentu engkau hanya akan menghadapi kesulitan, harus menikah dengan puteri Adipati Martimpang dari Nusabarung."

"Aku mengerti, kakangmas. Aku akan berpura-pura kalah dan aku akan menyelidiki keadaan Nusabarung dari para peserta sayembara. Kabarnya malah ada jago dari Nusakambangan yang ikut dalam sayembara. Kalau aku dapat mendekatinya, tentu akan banyak mendengar tentang keadaan di Blambangan. Kalau benar Nusabarung bersekutu dengan Blambangan dan lain-lain kadipaten, aku harus menyelidikinya dan kelak melaporakan kepada Sang Prabu di Jenggala, juga kepada Kanjeng Romo. Aku sudah terlalu banyak mengacau dan mengganggu keamanan Panjalu dan Jenggala, maka sekarang aku harus menebus semua dosa itu. Juga aku akan membantu perjuangan kanjeng Romo."

"Bagus kalau engkau berpikiran begitu, diajeng. Nah, sekarang aku pergi, kita berpisah di sini."

"Baik, kakangmas."

Dua orang muda kakak beradik itu lalu berpisah. Sebelum berpisah Bagus Seto memberikan pakaian pria kepada Retno Wilis, kemudian pemuda itu meninggalkan adiknya. Retno Wilis lalu mencari tempat tersembunyi di dalam sebuah goa untuk berganti pakaian. Pakaiannya dan bekal pakaiannya sendiri ia sembunyikan di dalam goa itu. Setelah keluar dari dalam goa, ia berubah menjadi seorang pemuda. Akan tetapi karena baju yang dipakainya terlalu besar, ia nampak sebagai seorang perjaka remaja tanggung! Iapun berangkat menuju Nusabarung, membayar seorang tukang perahu yang mau menyeberangkannya ke pulau itu. Ia tahu bahwa kakaknya tentu juga akan menyewa perahu untuk melakukan penyeberangan ke Nusabarung.

"Anakmas, apakah andika pergi ke Nusabarung untuk menonton keramaian sayembara?" tanya tukang perahu yang setengah tua itu.

"Benar, paman," jawab Retno Wilis, membenarkan saja agar tidak lagi orang banyak bertanya. "Paman, aku melihat di pantai tadi banyak perajurit melakukan penjagaan, apakah mereka itu perajurit Nusabarung?"

Tukang perahu menghela napas panjang.

"Agaknya anakmas bukan orang sini, ini mudah diduga mendengar cara anakmas bicara dan bertanya tentang perajurit itu. Memang benar, mereka itu perajurit-perajurit dari Nusabrung yang akhir-akhir ini terdapat banyak di pantai, bahkan mereka mempunyai perkemahan di pantai. Biasanya, para petugas itu selalu memeriksa setiap orang yang hendak menyeberang ke Nusabarung, akan tetapi karena adanya sayembara itu, mereka tidak lagi memeriksa dan banyak orang pergi ke Nusabarung dibiarkan saja. Kalau lain waktu andika lewat di sini, tentu tidak lepas dari pemeriksaan mereka."

"Apa saja yang diperiksa, paman? Mengapa pula orang lewat harus diperiksa?"

"Aku sendiri tidak tahu, anakmas. Hanya kabarnya, mereka itu memeriksa untuk mencari mata-mata musuh."

Retno Wilis merasa lega bahwa ia meninggalkan pedang pusakanya di dalam goa tadi. Kalau ia membawa pedang, mungkin saja ia akan mengalami pemeriksaan oleh perajurit-perajurit tadi.

"Apakah Nusabarung mempunyai musuh, paman? Apakah mereka mau berperang?" Retno Wilis bertanya perlahan, seperti orang yang merasa takut kalau-kalau ucapannya didengar orang lain.

"Aku tidak tahu, anakmas. Akan tetapi di mana-mana kini diadakan gerakan, para pria muda diharuskan masuk menjadi perajurit-perajurit."

"Diharuskan?"

"Ya, yang menolak akan dihukum berat. Bahkan...” tukang perahu itu mengecilkan suaranya, "...banyak wanita muda juga mereka bawa."

"Ke mana?"

"Entahlah, akan tetapi yang mereka bawa pergi itu wanita muda yang berwajah cantik."

Kini tampak banyak perahu menyeberang ke dan dari Pulau Nusabarung dan tukang perahu itu menjadi pendiam, agaknya khawatir kalau ucapannya terdengar orang lain. Setelah mendarat di Pulau Nusabarung, Retno Wilis ikut dalam rombongan banyak orang yang juga ingin nonton sayembara tanding. Mereka semua menuju ke alun-alun di depan kadipaten, di mana di dirikan sebuah panggung di mana para pengikut sayembara akan berlaga. Di alun-alun itu telah berkumpul banyak sekali orang yang hendak menonton sayembara. Retno Wilis menyelinap di antara orang banyak dan bertanya kepada seorang laki-laki yang berdiri di sebelah kirinya.

"Ki sanak, apa sajakah yang dipertandingkan dalam sayembara ini?" ia bertanya sambil lalu seperti seorang penonton yang ingin tahu.

Orang itu memandang kepada Retno Wilis.

"Agaknya andika datang dari pesisir maka belum tahu akan hal itu. Pertandingan ada tiga macam. Pertama, calon pengikut harus melalui ujian tenaga, yaitu mengangkat arca raksasa yang berada dipanggung itu."

Retno Wilis melihat sebuah arca yang sebesar manusia dewasa berdiri di atas panggung. Arca itu tentu besar sekali.

"Dan yang kedua?"

"Yang kedua ujian ketangkasan. Setiap peserta harus dapat memanah sasaran di atas itu dengan tepat. Nah, kalau seorang peserta lulus dalam dua ujian itu, barulah dia dihadapkan kepada Ki Wisokolo untuk bertanding dan kalau dia mampu bertahan menandingi Ki Wisokolo sampai hitungan ke seribu, barulah dia dinyatakan menang."

"Siapa Ki Wisokolo?"

Orang itu tersenyum seperti menertawakan pertanyaan yang dianggapnya tolol itu.

"Andika tidak kenal Ki Wisokolo? Dia adalah senopati nomor satu di Nusabarung, jagoan yang tidak pernah terkalahkan. Karena itu, siapa yang mampu menghadapinya sampai seribu hitungan, dia benar benar tangguh dan akan keluar sebagai pemenangnya."

"Ah, begitukah? Aku mendengar yang disayembarakan adalah puteri Gusti Adipati, apakah ia seorang gadis yang cantik?"

Kembali orang itu tersenyum lebar.

"Ah-ah, siapa yang tidak tergila-gila kepada Sang Dyah Ayu Candramanik? Ia cantik jelita seperti dewi dari kahyangan, kalau bernyanyi suaranya merdu melebihi burung perkutut yang paling baik dan kalau ia menari, wah, seperti bidadari."

"Siapakah yang telah mendaftarkan diri sebagai pengikut sayembara?"

“Andika lihat di sana itu, di sebelah kanan panggung. Di sanalah orang yang hendak memasuki sayembara didaftar. Nah, itu beberapa orang pria sudah mendaftar."

"Terima kasih, ki sanak," kata Retno Wilis dan iapun lalu melangkah menuju ke tempat itu.

"Hei, engkau hendak ke mana?" tanya orang tadi heran.

"Hendak mendaftarkan diri sebagai pengikut sayembara, apa lagi?" jawab Retno Wilis sambil tersenyum dan orang itu tertegun.

Pemuda remaja itu memang tampan sekali. Akan tetapi dengan tubuhnya yang kecil dan tampak lemah itu bagaimana dia hendak mengikuti sayembara? Hampir saja dia tertawa membayangkan pemuda remaja itu mencoba mengangkat arca besar itu, lebih besar dari tubuh pemuda remaja itu sendiri.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar