"Sesungguhnyalah, kakangmas. Kehidupan penuh damai ini membuat hatiku gelisah. Aku teringat akan anak kita. Kemana perginya Retno Wilis dan bagaimana keadaannya sekarang? Aku khawatir sekali.”
"Mengapa engkau khawatir, diajeng? Retno Wilis pergi bersama kakaknya, Bagus Seto dan aku yakin Bagus Seto akan mampu menjaga dan melindunginya."
"Hemm, tanpa perlindunganpun Retno Wilis mampu untuk menjaga diri sendiri. Aku tidak khawatir kalau terjadi sesuatu dengannya. Hanya aku khawatir kalau-kalau ia tidak mau kembali kepada kita. Aku sudah rindu kepadanya dan aku ingin sekali pergi merantau dan mencarinya. Sungguh tidak enak sekali rasa hati ini kalau diam menanti saja tanpa mengetahui kapan ia akan pulang."
Patih Tejolaksono menghela napas panjang. Dia mengenal betul isterinya yang satu ini. Ia seorang petualang dan hanya kalau hidupnya menghadapi penuh tantangan ia dapat merasa senang.
"Akan tetapi ke mana engkau akan mencari kedua orang anak kita itu, diajeng? Engkau tidak tahu ke mana mereka pergi, ke selatan atau utara, timur atau barat. Lalu engkau hendak menyusul ke mana?"
"Akan kucari jejak mereka dan aku yakin akhirnya aku akan dapat menemukan mereka."
"Aku juga akan merasa bahagia sekali kalau puteraku Bagus Seto mau pulang ke sini, diajeng. Akan tetapi bagaimana kalau kedua orang anak itu menolak kauajak pulang?"
"Kalau mereka menolak, aku akan menemani mereka merantau. Aku memang suka merantau dan mengalami hal-hal yang hebat!" kata Endang Patibroto sambil tersenyum. "Bagaimana, kakangmas? Engkau tidak keberatan kalau aku pergi mencari mereka, bukan?"
"Kalau memang itu yang kau kehendaki, diajeng, tentu saja aku tidak berkeberatan. Akan tetapi tentukanlah waktunya, sampai berapa lama engkau mencari mereka agar hatiku tak gelisah memikirkan kalian bertiga."
"Aku akan mencari mereka, berilah waktu setahun, kakangmas. Dalam waktu setahun, bertemu dengan mereka atau tidak, aku tentu akan pulang."
"Sayang aku tidak dapat menyertaimu mencari mereka, diajeng. Di sini aku terikat oleh kedudukan dan pekerjaanku."
"Aku pun pergi bukan percuma, kakangmas. Sambil mencari dua orang putera kita, aku juga akan menyelidiki daerah-daerah yang sedang bergolak. Siapa tahu jejak anak-anak kita itu menuju ke timur, sehingga aku dapat menyelidiki dan mencari mereka di daerah timur, sekalian menyelidiki keadaan di Nusabarung dan Blambangan.”
"Sebaiknya engkau mencari mereka di daerah Jenggala dulu, diajeng. Siapa tahu mereka berada di sana, dan engkau sekalian menengok adikmu Setyaningsih yang kini menjadi permaisuri di Jenggala."
"Tentu aku akan singgah di sana kakangmas."
Demikianlah, setelah mendapat perkenan suaminya, dengan girang Endang Pati Broto lalu berkemas dan tiga hari kemudian berangkatlah wanita perkasa ini meninggalkan kota raja Panjalu. Ia berpakaian ringkas dan tidak membawa senjata. Wanita ini memiliki banyak ilmu kedigdayaan yang cukup untuk melindungi dirinya, maka ia tidak membawa senjata apapun. Sebuah buntalan digendongnya di punggung, buntalan berisi pakaian dan bekal uang untuk biaya perjalanannya. Endang Patibroto ini di waktu mudanya banyak merantau dan banyak sekali pengalamannya bertanding. Di antara ilmu-ilmunya yang terampuh adalah pukulan-pukulan Aji Gelap Musti, Aji Pethit Nogo dan Wisangmolo. Selain itu ia mempunyai pula Aji Bayutantra yang membuat ia dapat bergerak cepat sekali dan berlari cepat seperti angin. Ajinya Pekik Sardulo Bairowo juga amat dahsyat karena pekik ini dapat melumpuhkan lawan, menggetarkan jantung.
Terakhir kalinya Endang patibroto bertemu dengan puterinya adalah ketika ia dan suaminya menyerang pasukan yang dipimpin oleh mendiang Bagaspati pemuja Bathara Siwa dan utusan Negeri Cola. Setelah mengalahkan musuh-musuh mereka, Retno Wilis meninggalkannya, pergi bersama Bagus Seto, berjalan menyusuri Laut Kidul menuju ke timur. Akan tetapi ia tidak pergi ke pantai Laut Kidul, melainkan pergi ke Jenggala lebih dahulu untuk mengunjungi adiknya, Setyaningsih yang kini menjadi permaisuri di Jenggala. Ia diterima dengan gembira oleh adiknya. Bahkan Raja Jenggala juga menyambutnya dengan gembira.
Endang Patibroto hanya dua hari tinggal di istana Jenggala dan setelah mendapat keterangan bahwa adiknya dan Sang Prabu juga tidak pernah mendengar berita tentang puterinya, iapun pergi dan kini mengunjungi pantai Laut Kidul dan mulailah ia pergi ke timur untuk mencari puterinya dan Bagus Seto.
Kakek itu berusia kurang lebih enam puluh tahun, rambutnya yang sudah berwarna dua itu dibiarkan terjurai sampai ke punggung. Pakaiannya amat sederhana, dari kain berwarna hitam yang seperti kain melilit tubuhnya saja. Kumis dan jenggotnya panjang, juga berwarna dua. Biar pun amat sederhana, namun kakek itu tampak bersih, dari rambutnya sampai pakaiannya. Dia duduk bersila di atas sebuah dipan bambu, dan seorang pemuda bersila di atas lantai, menghadapnya.
"Jarot, hari belum sore benar engkau telah berada di rumah. Apakah pekerjaanmu di ladang telah selesai? Apakah sepetak tegalan milik kita itu telah kau paculi semua,siap untuk menanam kentang?"
"Sudah selesai semua, Bapa Bhagawan," jawab pemuda itu.
Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, berwajah lembut dan tampan, berkulit hitam manis, tubuhnya padat dan tegap membayangkan kekuatan. Siapakah pemuda dan kakek itu? Kakek itu adalah seorang pendeta yang mengasingkan diri di lereng Gunung Semeru, bernama Bhagawan Dewondaru, seorang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna, dan hidup sebagai seorang petani biasa yang selalu mengenakan pakaian serba hitam. Usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi tubuhnya masih tegak dan kokoh kuat, masih kuat untuk mencangkul sehari penuh selama berhari-hari.
Pemuda itu bernama Jarot, sudah kurang lebih tujuh tahun Jarot menjadi murid Bhagawan Dewondaru, mempelajari segala ilmu kesaktian sambil bekerja sebagai petani. Tujuh tahun yang lalu, Bhagawan Dewondaru menemukan Jarot dalam keadaan hampir mati hanyut di Kali Rejali yang bermata air di Lereng Semeru. Bagaimana Jarot yang ketika itu baru berusia lima belas tahun hanyut di Kali Rejali dalam keadaan hampir mati? Jarot sebetulnya adalah putera Adipati yang berkuasa di Pasisiran, yaitu daerah di pantai Laut Kidul sebelah barat pulau Nusa Barung. Jarot adalah putera yang lahir dari seorang selir, akan tetapi sejak kecil pemuda ini amat disayang oleh ayahnya. Dia seorang anak yang selain tampan dan lembut, juga amat berbakti dan patuh kepada Sang Adipati Pasisiran sehingga ayahnya ini amat menyayangnya lebih dari pada putera-putera lainnya.
Hal ini membuat putera permaisuri yang bernama Lembu Alun menjadi iri hati dan diam-diam dia membenci adik tirinya itu. Karena khawatir bahwa kelak kedudukan adipati akan diserahkan kepada Jarot setelah ayah mereka mengundurkan diri, maka Lembu Alun segera mengatur jalan sesat untuk mengenyahkan adik tirinya.
Pada suatu hari, Lembu Alun mengajak adik tirinya untuk pergi berburu binatang hutan. Jarot merasa heran sekali karena biasanya, kakaknya ini menjauhinya, bahkan bicarapun jarang kepadanya. Dari gerak gerik dan pandang matanya, dia tahu bahwa kakak tirinya itu tidak senang atau membencinya. Oleh karena itu, ajakan itu sungguh membesarkan hatinya.
“Aku girang sekali, kakangmas. Dengan siapa saja kita berburu?" tanya Jarot sambil memandang kepada Lembu Alun dengan wajah berseri.
"Ah, kita pergi berdua saja, adimas. Membawa banyak orang hanya akan mengganggu kita berburu saja. Kita pergi berdua menunggang kuda dan membawa gendewa dan anak panahmu. Aku dengar di hutan sepanjang kali Rejali di lereng Semeru terdapat banyak kijang. Aku ingin sekali makan daging kijang yang gemuk. Kita pergi berdua saja, kalau sudah mendapat satu atau dua ekor kita segera pulang. Kalau kita berangkat pagi-pagi benar, sorenya kita sudah dapat pulang.”
“Baik, kakangmas," kata Jarot dan kedua orang muda itu dengan tangkasnya lalu berlompatan ke atas punggung kuda mereka dan membalapkan kuda mereka ke luar dari kadipaten menuju ke utara, menyusuri sepanjang kali Rejali.
Dua orang muda itu melakukan perjalanan penuh kegembiraan, terutama sekali Jarot karena baru sekali ini dia diajak oleh kakaknya itu pergi berburu. Dia mulai merasa betapa keliru anggapannya bahwa kakaknya itu tidak senang kepadanya. Sekarang baru ternyata bahwa kakaknya itu baik sekali kepadanya. Setelah mereka memasuki hutan di lereng Gunung Semeru, Lembu Alun lalu melompat turun dari kudanya.
"Di sinilah tempatnya, adimas. Sebaiknya kita berjalan kaki saja karena kijang-kijang itu tentu akan melarikan diri kalau mendengar derap kaki kuda kita."
Jarot juga turun dari kudanya. Kedua ekor kuda itu ditambatkan di sebatang pohon dan kedua orang muda itu lalu mencari kijang dengan jalan kaki. Mereka menyusuri Kali Rejali dalam hutan itu. Akhirnya mereka menemukan jejak kaki banyak kijang di tepi sungai.
"Adimas, sebaiknya kita berpencar. Engkau mengambil jalan sepanjang sungai ini, dan aku akan mencari ke sebelah sana. Dengan cara berpencar, lebih banyak kemungkinan kita menemukan kijang."
“Baik, kakangmas. Aku akan mengambil jalan di sepanjang sungai ini."
"Mari kita berlumba, adimas. Siapa diantara kita yang dulu memperoleh kijang!"
Jarot tersenyum dan ikut bergembira seperti kakaknya.
"Baik, kakangmas. Akan tetapi aku tentu kalah. Siapa yang tidak tahu bahwa kakangmas adalah seorang jago panah yang terkenal di kadipaten kita? Akan tetapi siapa tahu, aku akan lebih dulu bertemu dengan kijang."
Mereka lalu berpencar. Lembu Alun menyusup-nyusup di antara alang-alang kemudian menghilang ke tengah hutan. Jarot juga berindap-indap mengintai kalau-kalau ada kijang di sebelah depannya. Akan tetapi sudah sejam dia bergerak maju berindap-indap, belum juga tampak bayangan seekorpun kijang. Dia mulai merasa khawatir. Mungkin kakaknya kini telah merobohkan seekor kijang dengan anak panahnya!
Jarot merasa gerah. Melihat air Kali Rejali yang jernih itu, dia tertarik lalu menuruni tebing sungai. Dia lalu mencuci mukanya. Terasa segar dan sejuk sekali ketika air membasahi muka, leher dan lengannya.
Pada saat itulah, tiba-tiba dia merasa punggungnya nyeri sekali. Sebatang anak panah menancap di punggungnya. Jarot mengeluh lalu roboh terpelanting ke dalam sungai. Dia pingsan dan perlahan-lahan tubuhnya hanyut oleh air sungai itu.
Dalam keadaan seperti itulah Bhagawan Dewondaru menemukannya, hanyut pingsan di Kali Rejali. Orang tua itu segera menolongnya dan membawanya pulang ke pondoknya di lereng yang lebih tinggi. Dengan penuh kasih dia mengobati dan merawat Jarot sampai pemuda itu sembuh dan sehat kembali.
Setelah kesehatannya pulih kembali, Bhagawan Dewondaru lalu bertanya mengapa dia sampai hanyut di sungai dengan sebatang anak panah menancap di punggungnya. Jarot lalu bercerita.
"Saya sedang berburu kijang bersama kakak saya, Bapa. Karena merasa gerah, saya turun ke sungai dan membasahi muka dan leher saya. Pada saat itulah saya merasa nyeri sekali di punggung saya dan selanjutnya saya tidak ingat apa-apa lagi. Setelah saya sadar, ternyata saya telah berada di sini, mendapat pengobatan dan perawatan dari Bapa. Atas budi pertolongan Bapa, saya menghaturkan banyak te rima kasih. Kalau tidak ada Bapa yang menolong saya, tentu saya telah tewas."
"Jangan berterima kasih kepadaku, angger. Akan tetapi berterima kasihlah kepada Hyang Widhi, karena Hyang Widhi yang menolongmu melalui aku yang kebetulan melihat engkau hanyut di Kali Rejali. Akan tetapi, siapakah namamu dan di mana tempat tinggalmu, angger?"
"Saya bernama Jarot dan saya tinggal di kadipaten Pasisiran. Saya adalah putera Adipati Pasisiran, Bapa."
"Jagad Dewa Bathara...! Kiranya andika adalah putera Sang Adipati di Pasisiran. Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat, Raden."
"Harap jangan sungkan, Bapa. Dan jangan menyebut saya raden, sebut saja nama saya. Dan siapakah Bapa yang tinggal di tempat sunyi ini?"
"Saya bernama Bhagawan Dewondaru, angger. Agaknya ketika andika membasahi muka itu, andika diserang secara menggelap oleh seseorang. Apakah andika mempunyai musuh?"
Jarot menggeleng kepalanya. "Setahu saya tidak, Bapa Bhagawan. Saya tidak pernah bermusuhan dan agaknya di dunia ini tidak ada yang memusuhi saya."
Kakek itu mengeluarkan sebatang anak panah dan memperlihatkannya kepada Jarot.
"Apakah andika mengenal anak panah ini?"
Jarot menerima anak panah itu dan menggeleng kepalanya. "Saya tidak mengenalnya, Bapa. Kakak saya selalu memakai anak panah dengan bulu merah, dan anak panah ini bulunya hitam. Saya tidak mengenalnya."
"Hemm, akan tetapi kenyataannya, andika diserang dan dipanah orang dari belakang. Apakah kakak andika itu sayang kepada andika?"
Ditanya begini, Jarot mengerutkan alisnya. "Walau pun tidak sayang, akan tetapi tidak mungkin dia yang melakukannya, Bapa. Hal ini terbukti dari anak panah ini yang sama sekali bukan miliknya."
"Angger, saya tidak menyangka siapa-siapa, akan tetapi melihat keadaanmu, engkau terancam bahaya besar. Sebaiknya andika tinggal di sini untuk sementara. Kalau andika kembali ke kadipaten, saya khawatir orang yang hendak membunuh andika itu akan mengulangi lagi perbuatannya."
Jarot membenarkan pendapat kakek itu. Kalau diingat, sekarang diapun merasa bahwa banyak orang yang membenci atau tidak senang kepadanya. Kakaknya, Lembu Alun biasanya juga tidak suka kepadanya, dan ada saudara-saudara tiri yang lain. Agaknya karena ayahnya menyayangnya, maka dia dibenci orang banyak. Para ibu tirinya juga tidak suka kepadanya. Seolah hanya ayahnya dan ibunya saja yang suka kepadanya. Akan tetapi benarkah kebencian mereka demikian besarnya sehingga mereka tega mencoba membunuhnya?
"Baiklah, Bapa. Kalau Bapa tidak berkeberatan, untuk sementara saya tinggal mondok di sini. Saya akan membantu pekerjaan Bapa bertani."
"Bagus sekali, angger. Sebagai gantinya, saya akan mengajarkan ilmu-ilmu yang kiranya berguna bagimu."
Demikianlah, mulai hari itu, Jarot tinggal di pondok Bhagawan Dewondaru. Bukan untuk sementara, bahkan berlarut-larut sampai tujuh tahun! Hal ini adalah karena dengan terkejut dan juga girang sekali Jarot mendapat kenyataan bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti mandraguna! Maka, tentu saja dia tidak mau melepaskan kesempatan baik itu dan diapun bekerja dengan rajinnya di samping mempelajari ilmu-ilmu kesaktian sampai tujuh tahun lamanya!
Pada sore hari itu dia menghadap gurunya yang bertanya padanya tentang pekerjaannya di ladang, yang dijawabnya bahwa tegalan mereka telah dia paculi sampai selesai.
"Bagus sekali, angger Jarot. Mulai besok pagi, andika tidak perlu bekerja di ladang lagi. Menurut pendapatku, waktumu untuk tinggal bekerja dan belajar di sini telah habis. Besok andika harus meninggalkan tempat ini dan kembalilah ke Kadipaten Pasisiran."
Jarot terkejut sekali dan mengangkat muka memandang wajah gurunya, lalu menyembah. "Akan tetapi, Bapa. Saya belum ingin pergi, masih ingin melanjutkan bekerja dan belajar di sini."
"Tidak, angger. Semua ilmuku sudah kuberikan kepada andika. Pula, ada pertemuan tentu ada perpisahan dan besok sudah tiba waktunya kita berpisah."
"Setidaknya, ijinkanlah saya tinggal di sini sampai selesai menanam kentang, Bapa. Saya tidak ingin melihat Bapa bersusah payah bekerja sendiri."
Bhagawan Dewondaru tersenyum.
"Sebelum andika datang, pekerjaanku adalah bertani. Setelah andika berada di sini, aku menjadi seorang tua yang menganggur dan bermalasan. Tidak, angger. Engkau harus pergi dari sini besok karena aku pun akan meninggalkan tempat ini besok."
"Kemanakah Bapa hendak pergi?"
"Aku sendiri belum tahu ke mana aku hendak merantau dan entah kapan aku kembali ke sini. Mungkin juga tidak akan kembali sama sekali karena telah mendapatkan tempat tinggal lain. Andika harus pulang ke Kadipaten pesisiran, bertemu dan berkumpul dengan orang tuamu. Sekarang andika tidak perlu khawatir lagi akan usaha jahat yang hendak membunuhmu. Andika cukup kuat untuk menjaga diri."
Jarot tidak berani membantah lagi. Dia menemukan kehidupan yang hening dan tenang di situ, menemukan kebahagiaan hidup bersama gurunya, digembleng ilmu dan juga pengetahuan tentang kehidupan. Kalau teringat betapa saudara-saudara dan para ibu tirinya seolah berebutan kekuasaan dan saling berlumba menyenangkan hati ayahnya agar kelak dijadikan pengganti adipati di Pasisiran, rasanya segan dia untuk pulang. Akan tetapi dia kalau teringat kepada ayah ibunya, hatinya sudah merasa rindu sekali kepada mereka yang telah ditinggalkan selama tujuh tahun. Ingin sekali dia mengetahui, apa yang diceritakan oleh kakaknya Lembu Alun tentang kehilangan dirinya kepada ayah ibunya. Lembu Alun tentu kehilangan dirinya dan pulang seorang diri dari perburuan itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar dia mandi biar pun semalam hampir tidak tidur, dan setelah kembali ke pondok, gurunya telah bangun, bahkan telah siap untuk pergi membawa tongkatnya dan menggendong buntalan pakaiannya.
"Sepagi ini, Bapa hendak ke manakah?”
"Seperti telah kuberitahukan kemarin, hari ini aku juga akan pergi merantau. Aku berangkat dulu, angger. Kalau andika turun gunung, jangan lupa singgah di dusun Kemanggisan di selatan itu dan beritahu kepada Ki Janur bahwa pondok dan tegalan ini kuserahkan kepadanya untuk digarap. Pondok dan tegal ini menjadi miliknya sampai aku kembali ke sini, entah kapan."
"Baik, Bapa. Akan tetapi, saya mohonBapa memberitahu kepada saya, ke mana saya harus pergi kalau saya ingin berjumpa dengan Bapa."
Kakek itu tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Aku pergi menurutkan kata hati dan langkah kaki, bagaimana aku dapat tahu ke mana aku hendak pergi? Sudahlah, angger, kalau memang berjodoh, sekali waktu kita tentu akan dapat saling bertemu lagi. Selamat tinggal."
Jarot memberi hormat dengan sembah. "Selamat jalan, Bapa, harap jaga diri Bapa baik-baik," katanya terharu. Tujuh tahun hidup bersama kakek itu, dia sudah menganggapnya sebagai ayahnya sendiri.
Setelah Bhagawan Dewondaru pergi, barulah Jarot berkemas. Dia juga membungkus pakaiannya dengan sarung dan menggendong juntaian itu diatas punggungnya, kemudian setelah beberapa lamanya dia memandang pondok dan sekitarnya yang telah amat dikenalnya itu, diapun membalikkan tubuhnya dan melangkah lebar menuju ke dusun Kemanggisan. Dusun ini merupakan satu-satunya dusun di mana dia bertemu dengan manusia-manusia lain, yaitu kalau berbelanja segala keperluan mereka. Ki Janur adalah seorang penduduk dusun yang kadang diminta bantuannya menggarap tegal, seorang laki-laki yang tulus dan jujur, dan yang hidup menduda tanpa anak. Setelah tiba di dusun Kemanggisan, Jarot menemui Ki Janur dan menyampaikan pesan gurunya. Ki Janur menerimanya dengan senang karena tegalan milik Bhagawan Dewondaru merupakan tegalan yang subur sekali.
"Terima kasih, denmas, akan saya urus baik-baik tegal dan pondok itu," katanya.
Setelah menyampaikan pesan gurunya, Jarot lalu menuruni lereng Semeru menuju ke selatan, menyusuri sepanjang Kali Rejali yang mengalir ke selatan. Muara air Kali Rejali itu berada di pinggir Kadipaten Pasisiran.
Malam itu gelap gulita. Angin malam berhembus lesu sehingga awan gelap yang menutupi bintang-bintang di langit tetap menyelubungi Kadipaten Pasisiran dalam kegelapan yang pekat. Orang-orang enggan ke luar rumah karena gelap dan dinginnya. Apalagi malam itu adalah malam Jumat Kliwon yang dianggap malam yang khas bagi roh-roh jahat gentayangan mencari korban.
Akan tetapi dua orang pemuda agaknya tidak mempedulikan malam yang menyeramkan itu. Mereka bahkan keluar dari batas kota Kadipaten Pasisiran dan menuju keselatan, ke pantai Laut Kidul. Di pantai yang curam terdapat goa-goa yang besar dan jalan menuju ke goa-goa itu pun merupakan jalan yang berbahaya. Namun, dua orang itu kini memegang obor dan menuruni tebing yang curam itu.
Akhirnya mereka tiba di tempat yang dituju. Mereka berhenti di depan sebuah goa besar dan menancapkan obor mereka di kanan kiri depan goa sehingga menerangi dalam goa itu.
Di dalam goa, di atas sehelai tikar, duduk seorang kakek yang menyeramkan. Rambutnya panjang dan gimbal, matanya bundar dan besar, hidungnya pesek dan mulutnya yang lebar itu menyeringai seperti mulut seekor srigala yang kelaparan. Mata yang besar itu mencorong seperti mata harimau ketika terkena cahaya dua batang obor itu. Pakaiannya seperti baju pendeta yang longgar dan panjang, berwarna kuning. Ketika melihat dua orang laki-laki muda itu maju, berlutut dan menyembah kepadanya, kakek ini tertawa bergelak.
"Hoa ha-ha, mengapa kalian datang malam-malam begini, Lembu Alun dan Lumbu Tirta. Bukankah sudah cukup aku memberi pelajaran ilmu-ilmu itu kepada kalian? Dan kapan kalian akan mengajak aku ke kadipaten menduduki pangkat sebagai Penasihat Kadipaten?"
"Ampunkan kami kalau mengganggu, Bapa Guru. Kedatangan kami ini ada hubungannya dengan pertanyaan terakhir itu. Sampai sekarang, ayah kami belum juga menentukan pilihannya untuk mengangkat seorang di antara kami para puteranya menjadi calon Adipati. Agaknya ayah kami masih terus memikirkan adimas Jarot yang lenyap tujuh tahun yang lalu. Karena itu, kami mohon keterangan dari Bapa Guru, apakah Dimas Jarot itu masih hidup?"
"Tunggu sebentar, akan kubuat perhitungan. Namanya Jarot? Akan kuminta Perewangan untuk memberi petunjuk."
Setelah berkata demikian, kakek yang duduk bersila itu lalu menyilangkan lengan depan dada, mulutnya berkemak-kemik membaca mantram. Tak lama kemudian tiba-tiba saja tubuhnya menjadi kaku, kedua tangannya mencakar-cakar udara, berkelojotan seperti orang sekarat dan mulutnya yang berbuih itu mengeluarkan suara melengking seperti suara seorang nenek-nenek.
"Kau tanyakan tentang Si Jarot? Hi-hi-hi-hik, dia masih hidup, bahkan dia menjadi ancaman besar bagi kalian. Hi-hihi aduh panas... kalian jaga baik-baik, dia panas...!" Kakek itu berhenti berkelojotan dan mengusap buih dari mulutnya.
"Kalian mendengar sendiri dari Perawangan tadi? Jarot masih hidup, bahkan menjadi ancaman besar bagi kalian. Dan agaknya dia itu tidak boleh dipandang ringan, kalau dia panas itu berarti pemuda itu memiliki kesaktian yang patut diperhitungkan."
"Kalau begitu, kita harus bekerja secepatnya, Bapa Guru. Sebelum Jarot muncul, ayah kami harus disingkirkan dulu. Kalau ayah meninggal, aku sebagai putera permaisuri pasti akan diangkat menjadi penggantinya. Dan kalau aku sudah menjadi adipati, tentu Bapa Guru akan kami boyong ke Kadipaten Pasisiran. Kalau Jarot muncul setelah aku menjadi Adipati, dia tidak dapat berbuat apa-apa lagi."
"Hemm, itu mudah. Akan tetapi engkau harus menyediakan syaratnya. Sehelai bajunya yang bekas dipakai dan belum dicuci, beberapa helai, sedikitnya tujuh helai rambutnya, lalu hari dan pasaran apa dia dilahirkan. Karena hanya pada hari tertentu itu maka seranganku akan dapat berhasil. Dan kalau dia sudah jatuh sakit, engkau harus berusaha agar dia mau minum air yang sudah kuisi dengan kekuatan mantram. Nah, sediakan semua syarat itu secepatnya, dan pergilah dari sini, tinggalkan aku yang sedang menikmati malam Jumat Kliwon yang angker ini."'
Dua orang muda itu adalah putera-putera Adipati di Pasisiran yang bernama Lembu Alun dan Lembu Tirta, putera dari permaisuri. Seperti kita ketahui, Lembu Alun adalah kakak tiri Jarot yang dulu mengajak Jarot pergi berburu kijang. Sekarang dia telah berusia dua puluh lima tahun dan Lembu Tirta berusia dua puluh tiga tahun. Ketika dulu Lembu Alun pulang seorang diri sambil menuntun kuda tunggangan Jarot, pemuda ini sambil menangis memberitahu kepada ayah bundanya bahwa Jarot telah lenyap.
"Kami berpencar untuk memburu kijang, akan tetapi setelah saya cari-cari, adimas Jarot telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Sudah saya panggil-panggil dan cari-cari namun dia tidak muncul. Terpaksa karena hari sudah sore saya pulang sendirian."
Tentu saja ibu Jarot dan juga Adipati Pasisiran menjadi terkejut dan khawatir sekali mendengar keterangan Lembu Alun yang diceritakan sambil menangis itu. Sang Adipati lalu mengerahkan pasukan untuk mencari Jarot. Seluruh hutan itu telah-dijelajahi dan malam itu juga mereka mencari-cari namun sia-sia. Setelah tiga hari tiga malam mencari tanpa hasil, akhirnya mereka pulang ke kadipaten dengan lesu dan sedih.
"Tidak, tidak mungkin Jarot mati!" teriak Sang Adipati dengan penuh duka dan khawatir, "kalau dia mati tentu dapat ditemukan jenazahnya."
Sampai tujuh tahun lamanya, Sang Adipati walau pun terendam dalam duka, agaknya masih belum melepaskan harapannya bahwa Jarot masih hidup dan sewaktu-waktu akan muncul di depannya. Sikap ayahnya ini membuat hati Lembu Alun khawatir sekali. Diapun sangsi apakah Jarot telah tewas. Kenapa mayatnya tidak ditemukan? Andaikata mayat itu hanyut di Kali Rejuli pun tentu akan dapat ditemukan oleh para pencari itu. Dia sendiri menjadi ragu-ragu. Dan sikap ayahnya yang masih mengharap-harapkan kembalinya Jarot itu, makin menggelisahkan karena dia tahu bahwa kalau Jarot muncul, tentu pemuda itu yang akan ditunjuk sebagai pengganti ayahnya.
Lima tahun yang lalu, dia dan adiknya, Lembu Tirta secara tidak sengaja bertemu dengan Wasi Surengpati, kakek yang menyeramkan di dalam goa itu. Setelah mengetahui bahwa Wasi Surengpati adalah seorang pertapa yang sakti, kedua orang muda ini lalu minta untuk diterima sebagai murid. Wasi Surengpati mau menerima mereka menjadi murid asalkan mereka berjanji kelak mengangkatnya menjadi sesepuh atau penasihat di Kadipaten Pasisiran. Setelah kedua orang pemuda itu menyanggupi dan memberi hadiah apa saja yang diinginkan kakek itu merekapun diterima menjadi murid dan menerima beberapa macam ilmu kanuragan yang membuat mereka menjadi semakin sombong.
Dan pada malam hari itu, mereka merencanakan agar cepat-cepat Lembu Alun diangkat menjadi adipati dengan cara melenyapkan atau membunuh ayah mereka sendiri melalui ilmu hitam yang akan dilaksanakan oleh guru mereka! Betapa kejinya! Di antara segala daya tarik yang amat kuat dan membuat manusia saling berebutan, bahkan tidak segan-segan melakukan segala daya yang licik dan kotor untuk memperoleh adalah KEKUASAAN. Semua orang berpendapat bahwa hanya kekuasaan yang dapat membahagiakan mereka.
Kalau ada kekuasaan, maka segala kehendaknya pasti tercapai! Kekuasaan dapat membuat mereka dipuja dan disembah orang lain, dan dapat membuat mereka hidup kaya raya, mewah dan mulia! Kekuasaan dapat membuat orang mabok dan bertindak sewenang-wenang, karena kekuasaan selalu menjadi milik yang menang, dan kalau sudah berkuasa, maka apapun yang dilakukannya adalah baik dan benar! Maka tidak heran kalau Lembu Alun yang haus akan kekuasaan itu, demi mendapatkan kedudukan Adipati, tidak segan-segan mencoba membunuh adik tirinya dan kini bahkan tidak segan-segan membunuh ayah kandungnya sendiri. Orang-orang yang berpendirian demi kian, yang sudah menjadi hamba nafsunya sendiri mengejar kekuasaan dengan segala cara, orang demikian itu sama sekali lupa bahwa di atas segala macam kekuasaan ada KEKUASAAN MUTLAK yaitu kekuasaan Tuhan!
Betapapun tinggi kekuasaan seorang manusia, dia tidaklah kebal terhadap kesengsaraan, terhadap duka, kecewa, putus asa, penyakit dan kematian! Terutama sekali menghadapi penyakit dan kematian, kekuasaan sedikitpun tidak dapat menolongnya. Dia akan tetap merintih-rintih kesakitan dikala sakit dan menghembuskan napas terakhir apabila ajal tiba. Dia tidak tahu bahwa makin besar kekuasaannya, makin lemahlah dia terhadap segala uji dan coba. Hanya orang bijaksana saja yang tidak haus kekuasaan secara wajar, diapun tidak mabok karenanya, bahkan dia menggunakan kekuasaannya untuk kebaikan nusa dan bangsa, manusia dan dunia.
Sebelum kedua orang bersaudara ini sempat menyerahkan syarat-syarat yang diminta oleh Wasi Surengpati, pada keesokan harinya, menjelang senja, Lembu Alun dan Lembu Tirta sedang berjalan-jalan di luar pintu gerbang kota sebelah utara. Tiba-tiba di luar pintu gerbang mereka melihat seorang pemuda yang melangkah lebar ke arah pintu gerbang. Keduanya terbelalak, kemudian Lembu Alun cepat memberi isyarat kepada adiknya dan keduanya segera melangkah lebar menyambut pendatang itu.....