Sang Megatantra Jilid 27

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Ia tahu bahwa pemuda itu telah mengambung (mencium dengan hidung) pipinya, suatu hal yang belum pernah ia alami sebelum atau selama ia menjadi selir Narotama, kecuali tentu saja oleh suaminya sendiri. Ia tersenyum-senyum dan membayangkan kemesraan dengan pemuda itu sehingga debar jantungnya menjadi semakin berdegup kencang.

Demikianlah, setelah mendapatkan perkenan dari Narotama, Linggajaya diterima sebagai seorang juru taman baru di taman kepatihan. Tentu saja Linggajaya mengenakan pakaian penduduk biasa dan dia menyembunyikan keris yang diberikan oleh Adipati Wengker.

Tepat seperti yang diramalkan oleh Empu Bharada, memang pada waktu itu Kerajaan Kahuripan secara rahasia diancam malapetaka dari segala jurusan, bagaikan awan-awan mendung yang datang dari segala penjuru, berkumpul di atas Kahuripan dan mengancam kerajaan ini dengan hujan malapetaka!

Di ambilnya Mandari sebagai selir Sang Prabu Erlangga, dan Lasmini menjadi selir Ki Patih Narotama, kemudian munculnya Linggajaya yang membantu kedua orang puteri Kerajaan Parang Siluman ini, sudah merupakan ancaman malapetaka yang mengancam raja dan patih Kahuripan itu. Dan ternyata bukan itu saja ancaman datang.

Pada suatu hari, ada seorang tamu mohon diperkenankan menghadap Sang Prabu Erlangga. Dia mengaku sebagai misan dari Pangeran Hendratama yang masih berada di luar kota raja. Ketikaa perwira pengawal melapor kepada Sang Prabu Erlangga bahwa seorang utusan dari Pangeran Hendratama, kakak iparnya itu, mohon menghadap, tentu saja dengan girang dia memperkenankan utusan itu masuk dan menghadap padanya.

Pangeran Hendratama adalah kakak tiri Permaisuri, putera mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa dari seorang selir yang berkasta rendah. Ketika Erlangga terpilih menjadi raja, agaknya Pangeran Hendratama merasa kurang senang karena dia merasa sebagai keturunan langsung para raja Mataram dan merasa lebih berhak.

Untuk menyatakan ketidak senangan hatinya, Pangeran Hendratama lolos dari istana dan pergi entah kemana. Sekarang dia mengirim seorang utusan dan Sang Prabu Erlangga yang bijaksana menyambut utusan itu dengan hati girang. Bagaimana pun juga, Pangeran Hendratama tidak pernah menyatakan ketidaksenangan hatinya itu dengan sikap atau tindakan, maka Sang Prabu Erlangga juga tidak menaruh dendam kepadanya, hanya rasa kasihan.

Sang Prabu Erlangga bahkan memanggil Permaisuri untuk hadir dan ikut menerima laporan utusan Pangeran Hendratama yang kakak tiri dari Permaisuri. Sang permaisuri juga merasa gembira akan Mendengar berita dari kakak tirinya yang sudah lama tidak diketahui ke mana perginya itu.

Ketika utusan itu datang menghadap, berlutut dan duduk bersimpuh di depan sang Prabu Erlangga dan empat orang isterinya yang paling dekat, yaitu Sang Permaisuri pertama, Permaisuri ke dua, Dyah Untari, dan Mandari. Sang Prabu Erlangga dan empat orang isterinya itu tercengang. Kiranya utusan itu seorang wanita! Seorang gadis manis dengan tahi lalat di pipi kiri, kulitnya kuning, tubuhnya tinggi semampai, lehernya panjang dan sikapnya anggun. Usianya sekitar dua puluh dua tahun. Dengan penuh hormat ia menyembah kepada Sang Prabu dan empat orang isterinya.

"Hamba mohon beribu ampun bahwa hamba telah berani datang menghadap dan mengganggu waktu paduka tanpa dipanggil, gusti." katanya sambil menyembah.

Jelas bahwa gadis ini bukan orang biasa. Ia tahu betul akan tata cara dan kesusilaan menghadap raja dan agaknya ia sudah terlatih untuk itu. Hal ini tidak mengherankan gadis manis itu bukan lain adalah Sukarti yang merupakan garwa ampil (isteri selir), juga pembantu setia, yang pertama dari Pangeran Hendratama.

"Siapakah andika dan laporkan dengan jelas apa maksud kedatanganmu menghadap kami." kata Sang Prabu Erlangga yang diam-diam girang menyaksikan sikap yang anggun dari utusan kakak iparnya itu.

Sukarti menyembah. "Hamba bernama Sukarti, pembantu dan utusan Gusti Pangeran Hendratama. Hamba diutus menghadap paduka dan menghaturkan sepucuk surat dari beliau, kanjeng gusti”

"Hemm, bagus. Kalau begitu cepat serahkan surat itu kepada kami. Terimalah suratnya, diajeng." kata Sang Prabu Erlangga kepada Mandari.

Selir ini bangkit dari kursinya, menghampiri Sukarti dan menerima gulungan surat yang dihaturkan oleh gadis utusan itu. Ketika jari tangan Mandari menyentuh tangannya, Sukarti merasa betapa ada hawa getaran yang amat kuat dari tangan puteri jelita dan ia terkejut bukan main, maklum bahwa sang puteri itu memiliki kesaktian tinggi.

Akan tetapi ia tidak membuat reaksi, hanya menundukkan mukanya dan diam-diam Sukarti dapat menduga bahwa puteri ini tentulah Puteri Mandari dari Kerajaan Parang Siluman yang kini menjadi selir Sang Prabu Erlangga. la memang sudah mendapat keterangan jelas tentang keadaan keluarga di istana Kahuripan itu.

Bahkan kalau Pangeran Hendratama kini menghubungi Sang Prabu Erlangga dan hendak mendekatinya, hal itu juga terdorong oleh kehadiran dua orang puteri Parang Siluman yang kini menjadi selir sang prabu dan selir ki patih itu. Mereka ini akan dapat menjadi sekutu yang baik sekali!

Sang Prabu Erlangga membaca surat kakak iparnya itu dan dia mengangguk angguk, lalu menyerahkan surat itu kepada Permaisuri pertama yang adik tiri Pangeran Hendratama. Permaisuri Sekar Kedaton membaca surat kakaknya Itu dan iapun ikut gembira, mengangguk-angguk, lalu menyerahkan surat itu kepada Permaisuri ke dua, yaitu Puteri Sri Sanggramawijaya dari Sriwijaya.

Puteri ini pun membaca surat itu lalu dioperkan kepada Dyah Untari. Kemudian yang terakhir kali Mandari juga membacanya. Mereka semua merasa ikut bergembira karena di dalam suratnya itu, Pangeran Hendratama mengirim hadiah berupa beberapa batang tombak dan keris pusaka ampuh untuk sang prabu, dan menyatakan keinginannya untuk kembali ke Kahuripan. Pangeran Hendratama tidak mohon untuk tinggal di istana, melainkan mohon perkenan sang prabu untuk tinggal di luar istana.

Sang Prabu Erlangga lalu mengutus kepala pengawal untuk mengangkut sebuah peti berisi pusaka-pusaka itu, kemudian melalui Sukarti dia mengundang kakak iparnya itu agar dating berkunjung dan berbincang-bincang di istana. Setelah menghaturkan terima kasih dan hormat Sukarti mengundurkan diri keluar dari istana, hatinya senang karena ia tahu bahwa majikannya, juga suami dan junjungannya, tentu akan merasa gembira sekali mendengar sambutan keluarga Sang Prabu Erlangga yang demikian ramah.

Demikianlah, perpindahan Pangeran Hendratama ke kota raja setelah oleh Sang Prabu Erlangga dihadiahi sebuah gedung yang cukup besar dan megah di luar istana, diam-diam merupakan ancaman baru yang berbahaya. Pangeran Hendratama tidak pernah berhenti menaruh dendam dan keinginan hatinya untuk sewaktu-waktu dapat merebut kekuasaan dan menjadi raja Kahuripan sebagai penerus mendiang ramanya, yaitu Sang Prabu Teguh Dharmawangsa.

Pangeran Hendratama tinggal bersama tiga orang selirnya yang setia di dalam sebuah gedung besar hadiah Sang Prabu Erlangga. Mulailah pangeran itu mengadakan kontak dengan para bangsawan yang diam-diam mendukungnya. Dia sengaja mendekati para bangsawan yang dalam pemerintahan Raja Erlangga tidak mendapatkan tempat yang tinggi. Mereka adalah orang-orang yang kecewa dan iri hati karena tidak kebagian kedudukan yang "basah", yang merasa berjasa akan tetapi tidak mendapatkan penghargan sebagaimana yang mereka inginkan.

Para bangsawan ini memang oleh Sang Prabu Erlangga tidak diberi kedudukan penting karena raja yang arif ini mengenal watak mereka yang hanya mengejar kesenangan untuk diri sendiri. Orang-orang seperti ini kalau diberi kedudukan tinggi hanya akan mempergunakan kedudukan yang memberi kuasa kepada mereka itu untuk bertindak sewenang-wenang kepada bawahan dan rakyat, orang-orang yaitu biasa menjilat ke atas dan meludah kebawah. Mereka condong melakukan korupsi dan menggunakan segala cara untuk menyenangkan diri sendiri, kalau perlu berpijak kepada kesengsaraan orang-orang di bawah mereka.

Pangeran Hendratama memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa seperti juga dia sendiri yang tidak kebagian kedudukan orang-orang itu merasa iri dan membenci Sang Prabu Erlangga secara diam diam. Dia menghubungi mereka, mengobarkan semangat kebencian mereka dengan mengatakan bahwa Sang Prabu Erlangga yang mereka anggap sebagai seorang raja yang mata keranjang dan merendahkan kehormatan Kerajaan Kahuripan keturunan Mataram dengan mengawini dua orang puteri dari pihak musuh, yaitu puteri Mandari dari Parang siluman dan Puteri Sri Sanggramawijaya dari Sriwijaya!

Demikianlah, diam-diam Pangeran Hendratama telah menyusun kekuatan, sekongkol dengan banyak bangsawan yang secara rahasia menghimpun sebuah pasukan yang siap dipergunakan untuk tujuan terakhir mereka, yaitu memberontak dan menggulingkan Sang Prabu Erlangga dibawah pimpinan Pangeran Hendratama!

Bagaikan seekor laba-laba, dengan sabar dan tekun Pangeran Hendratama mulai membentang jaring di sekitar diri Sang Prabu Erlangga. Tentu saja diapun sudah tahu akan Isi hati puteri Mandari dari Parang Siluman, maka diam diam diapun mulai mendekati puteri ini untuk diajak bersekutu.

Puteri Mandari membiasakan diri untuk pergi berburu binatang buas di hutan yang terdapat di luar kota raja. Ia tadinya melakukan perburuan itu bersama Sang Prabu Erlangga dan dengan dalih bahwa ia suka sekali berburu yang merupakan hiburan mengasyikan baginya maka Sang Prabu Erlangga memperkenankan selir ini terkadang melakukan perburuan seorang diri. Raja sama sekali tidak khawatir akan keselamatan selir itu, karena ia maklum Mandari memiliki kesaktian yang cukup tinggi untuk menjaga dirinya sendiri.

Tentu saja kesukaan berburu sendiri itu hanya merupakan alasan Mandari agar ia mendapat kebebasan dan dengan demikian, ia dapat leluasa berhubungan dengan orang-orang di luar istana. Pangeran Hendratama yang mengetahui akan kebiasaan ini, segera mempergunakan kesempatan itu untuk diam-diam menjumpai Mandari dan mereka berdua pun segera bersepakat untuk bersekutu dalam niat mereka menjatuhkan Sang Prabu Erlangga.

Akan tetapi, tentu saja keduanya tidak mau berterus terang akan alasan mereka memusuhi Sang Prabu Erlangga. Pangeran Hendratama tentu saja tidak mengatakan bahwa dia ingin merebut kekuasaan Sang Prabu Erlangga dan menjadi raja di Kahuripan dan Mandari juga tidak mengatakan tentang keinginan ratu Parang Siluman untuk menguasai kahuripan.

Bahkan Pangeran Hendratama kecelik dan menabrak batu ketika dia mencoba untuk menguasai Puteri Mandari yang cantik molek itu. Pangeran yang mata keranjang ini ingin sekali menarik sang puteri bukan saja sebagai sekutunya, melainkan juga sebagai kekasih gelapnya!

Akan tetapi hamper saja dia tewas ketika dia mencoba untuk merayu Mandari. Puteri itu marah sekali dan menyerangnya dengan hebat ketika sang pangeran dalam pertemuan mereka berdua dalam hutan menyatakan cintanya dan merayunya. Pangeran Hendratama yang juga digdaya, membela diri bahkan ingin menundukkan sang puteri dengan aji kanuragaan yang dia kuasai. Akan tetapi dalam pertandingan singkat tanpa disaksikan siapa pun juga itu, akhirnya Pangeran Hendratama terjungkal roboh oleh tamparan Mandari.

"Pangeran, mengingat andika bukan musuhku, maka aku masih mengampunimu dan tidak membunuhmu. Kita dapat bekerja sama menghadapi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Akan tetapi sekali lagi andika kurang ajar dan tidak bersusila terhadapku, aku akan membunuhmu!"

Sejak itu, Pangeran Hendratama bersikap hormat sekali kepada Puteri Mandari. Dia menganggap puteri itu amat berbahaya kalau dijadikan musuh, akan tetapi amat berguna untuk dijadikan sekutu. Apa lagi mengingat betapa dekat sekali dengan Sang Prabu Erlangga. Melihat perubahan sikap Pangeran Hendratama terhadap dirinya, Mandari juga melupakan peristiwa itu dan iapun bersikap baik karena iapun maklum bahwa sang pangeran itu dapat menjadi sekutu yang berguna sekali. Pangeran itu mempunyai pengaruh yang cukup luas dan besar kemungkinan dengan kerja sama mereka, akhirnya akan tercapai rencananya, yaitu menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan menghancurkan Kerajaan Kahuripan…..

********************

Kita tinggalkan dulu mereka yang bersiap-siap menyusun kekuatan untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, pendeknya untuk merebut kekuasaan di Kerajaan Kahuripan dan kita ikuti Nurseta. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Nurseta datang ke dusun Karang Tirta dan berhasil memaksa Ki Suramenggala, lurah Karang Tirta, untuk menceritakan tentang ayah ibunya yang meninggalkannya sejak dia berusia sepuluh tahun.

Setelah dihajar keras, Ki Suramenggala mengaku bahwa orang tua Nurseta yang bernama Ki Darmaguna dan Nyi Sawitri, melarikan diri entah ke mana setelah tahu bahwa mereka dilaporkan oleh Suramenggala ke kota raja, yaitu kepada Senopati Sindukerta. Kemudian muncul Linggajaya dan Puspa Dewi yang membela Lurah Suramenggala sehingga Nurseta terpaksa melarikan diri karena tidak ingin permusuhan menjadi berlarut-larut. Kini dia tahu ke mana harus melacak untuk mengetahui tentang orang tuanya. Tiada lain ke kota raja, mencari Senopati Sindukerta yang agaknya ditakuti ayah ibunya itu dan menanyakan mengapa orang tuanya menjadi orang-orang buruan.

Pada suatu pagi, Nurseta menuju ke kota raja Kahuripan. Ketika dia menuruni sebuah lereng bukit kapur, dari tempat tinggi itu dia melihat serombongan orang mengawal sebuah kereta yang tampak mengkilap tertimpa cahaya matahari. Dilihat dari pakaian seragam dan tombak atau golok yang berada di tangan orang orang itu, mudah diduga bahwa mereka itu adalah sepasukan perajurit yang mengawal sebuah kereta yang pintunya tertutup tirai sehingga penumpangnya tidak tampak dari luar. Jumlah pasukan itu ada dua lusin orang.

Karena ingin sekali mendengar tentang kota raja Kahuripan dan menyangka bahwa penumpang kereta yang dikawal pasukan itu tentu seorang pembesar Kerajaan Kahuripan, maka Nurseta cepat menuruni bukit itu. Siapa tahu dari rombongan itu dia akan mendapatkan keterangan tentang Senopati Sindukerta yang dicarinya karena tentu Senopati yang ditakuti orang tuanya itu akan dapat memberi penjelasan tentang orang tuanya yang melarikan diri meninggalkan dia seorang diri.

Akan tetapi ketika Nurseta yang mengerahkan Aji Bayu Sakti sehingga dia dapat berlari menuruni bukit itu seperti terbang sudah tiba di dekat jalan di bawah bukit yang dilalui rombongan itu, Dia melihat betapa ada dua orang laki-laki berdiri di tengah jalan menghadang rombongan itu. Kereta itu sudah berhenti dan seorang berpakaian perwira, komandan rombongan pengawal itu, sudah maju ke depan kereta menghadapi dua orang yang menghadang perjalanan mereka.

Nurseta ingin tahu apa yang terjadi, Dia cepat mendekati dan bersembunyi dibalik sebatang pohon, menonton dan mendengarkan apa yang sedang terjadi. Dia memperhatikan dua orang yang menghadang rombongan itu. Mereka itu merupakan dua orang yang penampilannya tidak seperti orang biasa.

Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, bentuk tubuhnya yang tinggi kurus dan punggungnya agak bongkok itu membuat dia tampak ringkih. Pakaiannya berbentuk jubah panjang dan di tangan kirinya tergantung seuntai tasbih yang biji tasbihnya terbuat dari kayu hitam. Wajah orang itu membuat Nurseta tertegun heran. Dia pernah mendengar dongeng tentang seorang pendeta dalam dongeng Mahabarata yang disebut Bagawan Durna! Wajah orang tinggi kurus bongkok itu persis wajah Bagawan Durna seperti yang digambarkan dalam dongeng!

Nurseta memperhatikan orang ke dua dan dia merasa kagum. Orang ini sungguh gagah menyeramkan. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dengan otot melingkar-lingkar di kedua lengan dan dadanya yang bajunya terbuka bagian depan. Bulu lebat tumbuh di dadanya, kulitnya hitam legam. Baik bentuk tubuh yang tinggi besar dan kokoh kuat itu maupun wajahnya yang gagah, dengan mata, hidung, mulut serba besar, mengingatkan Nurseta akan tokoh lain dalam Mahabarata, yaitu Raden Bratasena atau yang kemudian bernama Werkudara. Begitu gagah dan jantan!

Nurseta mendengarkan percakapan antara perwira pasukan pengawal dan dua orang itu. Perwira itu juga bertubuh tinggi besar walau pun tidak sebesar orang yang seperti Bratasena itu. Bahkan semua perajurit yang dua puluh empat orang banyaknya itu pun rata-rata memiliki bentuk tubuh yang kokoh kuat dan wajah merekapun membayangkan kebengisan dan kekerasan.

"Heh, siapa kalian berdua dan apa mau kalian menghadang di tengah jalan. Hayo minggir!" demikian bentak sang Perwira dengan suara menggeledek.

Orang yang mirip Bagawan Durna itu tertawa dan mau tak mau Nurseta tersenyum sendiri. Bahkan suaranyapun seperti suara Bagawan Durna Tawanya terkekeh dan kecil seperti suara wanita.

"Heh-heh-hi-hi-hi..! Andika tidak mengenal kami berdua? Heh-heh-kalau begitu jelas andika ini seorang yang tolol!"

"Keparat, jangan main-main!" bentak sang perwira. "Kami adalah pasukan pengawal Kerajaan Siluman Laut Kidul yang sedang mengawal gusti ratu kami. Hayo cepat kalian menepi dan berlutut, Gusti ratu kami hendak lewat!"

Kini orang ke dua yang hitam tinggi besar itu yang menjawab dan ketika mengeluarkan suara, seperti yang diduga oleh Nurseta, terdengar suaranya besar parau menggelegar.

"Perwira coromeo (kecoa) jangan banyak tingkah. Kami sudah lelah berjalan kaki. Serahkan kereta itu kepada kami berdua, baru kalian boleh lewat dengan aman!"

Perwira yang memimpin dua losin perajurit itu menjadi marah sekali, tangan kanannya bergerak dan dia sudah mencabut sebatang pedang dan ini pun merupakan isyarat karena dua losin anak buahnya segera mencabut senjata mereka mengepung dua orang penghadang itu. Dengan garang perwira itu menudingkan telunjuk kirinya ke arah dua orang itu dan membentak.

"Heh, dua orang biadab! Apakah mata kalian buta dan telinga kalian tuli? Berani kalian menghadang pasukan yang sedang mengawal gusti kami, Kanjeng Ratu Mayang Gupita, ratu dari Kerajaan Siluman Laut Kidul? Siapakah kalian yang nekat dan bosan hidup ini? Hayo akuilah siapa kalian, jangan mampus tanpa meninggalkan nama!"

"Heh-heh-heh-hi-hi!" Duplikat Durna itu terkekeh genit seperti wanita, atau lebih tepat, seperti seorang banci.

"Benar-benar kamu tidak mengenal kami? Heh, menyebalkan. Buka matamu dan pandang baik-baik, buka telingamu dan dengar baik-baik. Aku adalah Sang Cekel Aksomolo, yang mbaureksa (menguasai) Hutan Werdo dilereng Gunung Wilis, gegedug tanpa tanding yang namanya membuat bumi langit gonjang ganjing, dan engkau, perwira coromeo, perajurit ceremende tidak mengenal aku? Wah, payah, engkau tak pantas menjadi perwira, harus turun pangkat menjadi pengurus kandang kuda"

"Aku adalah Dibyo Mamangkoro!" kata orang ke dua yang suaranya besar lantang, sesuai dengan tubuhnya yang hitam tinggi besar.

Akan tetapi, perwira itu memang belum pernah mendengar nama dua orang yang mengaku sebagai orang-orang terkenal itu. Mereka itu masih muda, Cekel Aksomolo berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan Dibyo Mamangkoro baru sekitar dua puluh lima tahun. Tentu saja perwira yang hidup didaerah Kerajaan Siluman Laut Kidul itu belum pernah mendengar nama-nama itu.

"Kalian berdua yang bermata buta bertelinga tuli, berani mengganggu perjalanan ratu kami!" kata perwira itu dan diapun memberi isyarat kepada anak buahnya. Para perajurit pengawal segera bergerak menyerang kedua orang yang hendak merampok kereta itu. Akan tetapi Dibyo Mamangkoro menggerakkan kedua lengannya yang panjang dan begitu kedua lengan itu menyambar, ada angin pukulan bersiutan dan angin itu melanda para Pengepungnya. Beberapa orang perajurit pengawal berteriak kaget karena mereka dilanda angin dan berpelantingan!

Cekel Aksomolo tertawa terkekehkekeh, tasbih di tangannya digerakkan, terdengar suara berkerotokan dan empat orang yang terdeekat dengannya roboh sambil menutupi telinga mereka dengan kedua tangan! Suara berkerotokan dari biji-biji tasbih itu menimbulkan getaran hebat pada telinga mereka! Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Kalian mundur semua!" Dan tirai yang menutupi pintu kereta terbuka dan dari dalam kereta meluncur sesosok tubuh dan tahu-tahu seorang wanita telah berdiri di hadapan dengan Cekel Aksomolo dan Dibya Mamangkoro!

Dua orang sakti itu memandang dan mereka terkejut. Wanita itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya serba mewah indah gemerlapan, tubuhnya tinggi besar, bahkan tidak kalah tinggi dibandingkan Dibyo Mamangkoro. Perutnya gendut, wajahnya dibedaki tebal dan memakai pemerah bibir dan pipi, tubuhnya penuh perhiasan emas permata. Wajahnya serba bulat gemuk dan ada dua ujung taring muncul dari celah-celah bibirnya.

Inilah Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul yang bernama Ratu Mayang Gupita, bekas isteri Ki Nagakumala. Wanita raseksi (raksasa wanita) ini selain menjadi ratu, juga terkenal sebagai seorang tokoh yang sakti mandraguna. Ialah seorang di antara mereka yang dulu mengeroyok Sang Empu Dewamurti di Gunung Arjuna. Bersama Resi Bajrasakti dari Kerajaan Wengker, dan Tri Kala, yaitu Kalamuka Kalamanik, dan Kalateja dari Kerajaaan Wura-wuri, mereka berlima mengeroyok Sang Empu Dewamurti. Biarpun mereka berlima menjadi ketakutan dan melarikan diri, namun mereka juga berhasil membuat sang empu maha sakti itu terluka berat sehingga meninggal dunia.

Cekel Aksomolo dan Dibyo Mamangkoro adalah dua orang tokoh yang mengambil jalan sesat. Dibyo Mamangkoro yang baru saja pulang dari pengembaraannya di daerah Blambangan di mana dia mencari guru-guru untuk memperdalam ilmu-ilmunya setelah selama beberapa tahun dia mencari ilmu dan aji kesaktian di Banten, ingin mendapatkan sebuah tempat untuk bertapa dan memperkuat diri.

Dia mendengar tentang Pulau Nusakambangan, maka pergilah dia ke sana. ketika tiba di sana, dia disambut oleh bekas anak buah bajak laut yang sebagian masih tinggal di situ dan sebagian pula ikut pimpinan mereka pindah di laut jawa bagian utara. Dua puluh lebih anak buah bajak laut itu mengeroyoknya akan tetapi mereka semua dikalahkan sehingga tunduk dan menerima Dibyo Mamangkoro sebagai pimpinan mereka.

Sejak saat itu, Dibyo Mamangkoro menjadi orang yang menguasai Nusakambangan. Pada suatu hari Cekel Aksomolo yang pernah dikenalnya di daerah Banten datang berkunjung dan Dibyo Mamangkoro dapat terbujuk oleh Cekel Aksomolo untuk mencari kedudukan dan kemuliaan di dalam kemelut yang sedang dihadapi Kerajaan Kahuripan.

Pada hari itu, kebetulan mereka bertemu dengan kereta indah yang dikawal perajurit-perajurit itu. Melihat kereta yang indah itu, keduanya mengambil keputusan untuk merampasnya karena mereka merasa lelah melakukan perjalanan jauh dengan jalan kaki saja.

Melihat munculnya wanita yang menyeramkilan itu dua orang sakti yaitu biasanya melakukan kekerasan dan kejahatan itu merasa terkejut. Mereka pernah mendengar bahwa ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul adalah seorang yang memiliki kesaktian. Akan tetapi mereka tidak pernah membayangkan bahwa ratu itu demikian menyeramkan.

Bagaimana pun juga, Cekel Aksomolo apa lagi Dibyo Mamangkoro, adalah dua orang yang sakti mandraguna, bahkan menganggap diri sendiri terlalu tinggi sehingga mereka itu biasanya memandang rendah orang lain. Biarpun penampilan Ratu Mayang Gupita tampak menyeramkan, namun mereka tidak gentar, bahkan ingin sekali menguji sampai di mana kehebatan ratu yang namanya terkenal sekali itu.

"Hemm, bocah-bocah bagus kemarin sore besar kepala lebar mulut! Berani kalian menyombongkan diri di depan kami. Sambutlah ini!" kata Ratu Mayang Gupita dan dia sudah memutar-mutar kedua lengannya di depan dada lalu mendorongkan kedua telapak tangan itu ke arah Cekel Aksomolo dan Dibyo Mamangkoro.

Tiba-tiba dari kedua telapak tangannya itu keluar bola-bola api menyambar ke arah dua orang itu. Cekel Aksomolo dan Dibyo Mamangkoro terkejut, maklum akan dahsyatnya serangan yang tenaga saktinya dapat mengeluarkan bola api itu. Maka mereka pun menyambut dengan cepat.

Cekel Aksomolo memutar tasbihnya dan membaca mantera, sedangkan Dibyo Mamangkoro sudah mengerahkan tenaga saktinya, dadanya membusung penuh hawa, kemudian kedua tangannya didorongkan kedepan dengan telapak tangan terbuka. Angin yang amat kuat menyambar dari telapak tangannya itu, menyambut bola api yang meluncur ke arah dirinya.

"Dar-dar-dar-dar..!"

Beberapa bola api itu meledak ketika bertemu dorongan kedua tangan Dibyo Mamangkoro dan bertemu dengan sambaran sinar hitam dari tasbih Cekel Aksomolo. Benturan tenaga sakti yang dahsyat ini menggetarkan bumi di sekitarnya dan akibatnya Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul itu mundur dua langkah, akan tetapi Dibyo Mamangkoro undur empat langkah dan Cekel Aksomolo malah terhuyung ke belakang. Ini membuktikan bahwa tenaga sakti wanita raksasa itu masih lebih kuat dan tenaga Cekel Aksomolo yang paling lemah di antara mereka bertiga.

Tadi ketika mendengar dari perwira pasukan pengawal bahwa kereta itu ditumpangi Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul, dua orang sakti itu diam-diam sudah terkejut. Akan tetapi karena watak mereka sombong, mereka masih belum percaya bahwa seorang ratu, seorang wanita akan memiliki kedigdayaan yang patut diperhitungkan. Akan tetapi setelah kini mereka membuktikan sendiri akan kehebatan wanita raksasa itu, mereka terkejut dan juga kagum.

Bagaimana pun juga, raja wanita ini merupakan seorang di antara musuh-musuh Sang Prabu Erlangga, berarti masih satu golongan dengan mereka. Apa lagi Cekel Aksomolo telah mendengar bahwa ratu ini merupakan seorang di antara mereka yang telah menyerang Sang Empu Dewamurti yang mengakibatkan tewasnya empu sakti mandraguna itu.

"Bojleng iblis laknat" Dibyo Mamangkoro mencaci dengan suaranya yang besar.

"Kiranya bukan omong kosong yang kudengar bahwa Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul adalah seorang wanita yang sakti mandraguna!" Raksasa ini memuji dengan jujur karena dia harus mengaku bahwa saat itu tenaganya sendiri yang sudah jarang dapat ditemukan tandingannya itu ternyata masih kalah setingkat dibandingkan wanita itu.

"Heh-heh-heh-hi-hi-hik, apa anehnya. Ki Dibyo Mamangkoro? Apa andika belum mendengar bahwa Kanjeng Ratu Mayang Gupita inilah yang telah menewaskan Sang Empu Dewamurti yang terkenal itu!" kata Cekel Aksomolo dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.

Mendengar ini, Dibyo Mamangkoro terkejut. "Ah, benarkah? Kanjeng Ratu, benarkah bahwa paduka yang telah menewaskan Sang Empu Dewamurti?"

Ratu yang bertubuh raksasa wanita itu kini berdongak dan tertawa. Suaranya lantang dan ketika tertawa, mulutnya terbuka sehingga tampak jelas dua buah taringnya yang runcing mengkilap.

"Heh-he-he-he-heh! Siapa lagi yang mampu membunuh Empu Dewamurti kecuali kami?" Wanita itu terbahak dan tampak bangga sekali.

"Akan tetapi, Kanjeng Ratu. Saya mendengar bahwa paduka masih dibantu oleh wakil dari Kerajaan Wengker dan kerajaan Wura-wuri. Benarkah itu?" Cela Aksomolo bertanya.

Wajah wanita yang tadinya terbahak itu kini mengkerut dan cemberut.

"Huh, mereka itu hanya untuk menambah semangat saja. Memang benar Resi Bajrasakti dari Wengker membantu, dan Tri Kala dari Wura-wuri, akan tetapi andai kata tidak ada aku, mereka mana mampu menandingi Empu Dewamurti?" kata Ratu Mayang Gupita menyombong.

Nurseta yang bersembunyi, mengintai peristiwa itu mula-mula merasa kagum karena dia tidak mengira sama sekali akan bertemu orang-orang yang sungguh sakti mandraguna. Dia semakin kagum ketika melihat wanita raksasa yang ternyata Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul itu mampu menandingi dua orang laki-laki digdaya itu, bahkan dalam adu tenaga sakti tadi wanita raksasa itu membuktikan dirinya lebih kuat dari pada mereka berdua.

Akan tetapi ketika mendengar pengakuan Ratu Mayang Gupita, dia terkejut bukan main. Kini tahulah dia siapa yang telah menyebabkan gurunya terluka dan tewas. Ternyata ada lima orang yaitu Resi Bajrasakti, Ratu Mayang Gupita dan Tri Kala dari Kerajaan Wura wuri. Hal ini berarti bahwa gurunya telah dimusuhi oleh para jagoan dari tiga kerajaan, yaitu Kerajaan Siluman Laut Kidul, Kerajaan Wengker, dan Kerajaan Wura-wuri.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar