Pada malam ke dua tibalah dia di lembah Sungai Menjangan sesudah melewati Gunung Semeru. Tiba-tiba kudanya Si Dawuk mengeluarkan ringkik perlahan. Tejolaksono menjadi waspada, cepat meloncat turun dan membiarkan kudanya terlepas dekat sungai di mana terdapat banyak daun dan rumput hijau gemuk.
Kemudian ia berjalan ke sebelah kiri ke mana tadi kudanya menoleh ketika mengeluarkan ringkikan. Ia percaya akan ketajaman indera ke enam yang sangat tajam dari binatang tunggangannya.
Kalau Si Dawuk meringkik seperti itu, tentu ada apa-apa yang tidak wajar di sebelah kiri itu.
Berindap-indap Adipati Tejolaksono berjalan dan matanya tajam meneliti keadaan sekelilingnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Malam itu bulan purnama menerangi jagat raya dan biar pun keadaan remang-remang namun Tejolaksono dapat melihat dengan terang.
Tiba-tiba ia merighentikan langkahnya.
Ada suara mengerang perlahan, agak jauh dari tempat ia berdiri. Agaknya suara itulah yang tadi mengejutkan kudanya. Suara itu terdengar memang aneh, bukan seperti suara manusia, akan tetapi juga tak pernah ia mendengar ada binatang yang suaranya seperti itu.
Cepat ia melangkah maju ke arah suara. Kiranya suara itu terdengar dari sebuah jurang atau sumur tua yang dalamnya kurang lebih tiga meter. Dan di atas sumur itu, ia melihat sesuatu bergerak-gerak. Cahaya bulan tidak mencapai dasar sumur sehingga keadaan amat gelap.
“Kisanak, siapakah andika yang berada di dasar jurang?” tanya Tejolaksono sambil berjongkok di pinggir jurang.
Lama ia menanti jawabannya. Namun tidak ada jawaban. Kemudian terdengar suara merintih lagi, kini jelas suara manusia mengaduh.
Ada manusia yang membutuhkan pertolongan! Adipati Tejolaksono yang berjiwa satria, tentu saja tidak membuang waktu untuk meragu di mana tenaganya dibutuhkan orang lain. Ia segera lari ke arah serurnpun bambu yang tumbuh tak jauh dari situ.
Dengan pengerahan tenaga saktinya, tangan kanannya membabat ke bagian bawah sebatang pohon bambu dan “krakkkl” pohon itu jebol dan tumbang. Dia lalu menyeret pohon yang amat panjang itu, diturunkan perlahan ke dalam sumur. Ternyata pohon barbu itu cukup tinggi sehingga dapat mencapai dasar sumur. Merayaplah Adipati Tejolaksono turun ke dalam sumur melalui batang pohon bambu.
Keadaan di dasar sumur gelap, remang-remang namun setelah matanya biasa dengan kegelapan itu, Tejolaksono dapat melihat sosok tubuh seorang laki-laki tinggi besar rebah miring sambil mengerang kesakitan. Ia meraba, lalu mengangkat tubuh itu dan memanggulnya. Perlahan ia memanjat batang bambu ke atas, kemudian mengerahkan tenaganya meloncat keluar lubang sumur.
“Aduh... aduhh...!” Laki-laki tinggi besar itu ternyata tubuhnya berlumur darah.
Ketika memeriksanya di bawah sinar bulan, tampak oleh Tejolaksono gagang sebatang keris tersembul keluar dari dadanya. Keris itu menancap di dada sampai ke hulu kerisnya.
“Paman, siapakah andika dan mengapa berada dalam sumur dalam keadaan begini?”
Tejolaksono bertanya setelah melihat bahwa laki-laki tinggi besar itu adalah seorang kakek yang bertampang gagah dan bertubuh kuat sekali. Ia sudah terheran-heran mengapa kakek ini belum tewas oleh luka di dadanya yang hebat itu. Tahulah ia bahwa orang ini bukan orang sembarangan, karena kalau tidak berkepandaian tinggi tentu tak dapat bertahan.
Lelaki itu membelalakkan matanya, mengerang lagi perlahan lalu berkata,
“Terima kasih... terima kasih... aduhh kasihan kau, gusti puteri Endang Patibroto, aduhh, Gusti Dlbyo Mamangkoro... maafkan hamba. Maafkan hamba tidak bisa melindungi murid paduka auugggghhh...!”
Adipati Tejolaksono terkejut sekali. Cepat ia menyentuh punggung orang itu, kemudian mengerahkan aji kesaktian sehingga hawa panas keluar dari pusarnya melalui tangan dan menembus kulit punggung. Orang itu mengeluarkan seruan perlahan, agaknya terheran, kemudian napasnya yang terengah-engah itu mulai tenang.
“Kau... kau siapa...?”
Agaknya kakek ini merasa heran menyaksikan betapa orang yang mengangkatnya keluar dari sumur ini mempunyai ilmu yang demikian hebat. Tadinya ia menyangka bahwa yang menolongnya hanyalah seorang petani biasa.
“Paman, aku adalah saudara Endang Patibroto! Ke mana dia? Dan apakah yang telah terjadi dengannya? Katakanlah, paman!“
“Uuhh siapa kau...?!”
Adipati Tejolaksono berpikir sebentar. Orang ini menyebutkan nama Dibyo Mamangkoro, tentu anak buah guru Endang Patibroto itu. Kalau ia menyebut namanya yang sekarang, tentu tidak mengenalnya.
Maka ia lalu berkata, “Paman, namaku adalah Koko Wandiro.“
Tiba-tiba orang Itu berseru dan tangannya yang besar itu melayang, menghantam ke arah muka Adipati Tejolaksono
Tentu saja dengan mudah Tejolaksono mengelak dan orang itu kembali mengerang kesakitan.
“Aduh, keparat.! Kau... kau pembunuh gusti senopati Dibyo Mamangkoro.“
Memang Adipati Tejolaksono dahulu telah membunuh manusia iblis itu (baca cerita Badan Laut Selatan).
“Paman, betapa pun juga, aku adalah saudara Endang Patibroto. Kalau engkau gagal menolongnya, barangkali aku yang akan dapat menolongnya!”
“Benar uuhh, benar nah, dengarlah orang muda.”
Kakek itu bukan lain adalah Ki Brejeng, bekas anak buah Dibyo Mamangkoro.
Seperti telah kita ketahui di bagian depan cerita ini, Ki Brejeng telah menjadi anak buah Raden Sindupati pemimpin pasukan Blambangan dan telah ikut menjalankan siasat membujuk dan mempengaruhi Endang Patibroto sehingga wanita yang bernasib malang itu terbujuk ikut dengan rombongan itu ke Blambangan.
Ketika rombongan tiba di lembah Sugai Menjangan, malam telah tiba dan mereka membuat pesanggrahan darurat di situ. Malam harinya, Raden Sindupati yang tak dapat menahan lagi nafsu hatinya yang sudah tergila-gila akan kecantikan Endang Patibroto, diam-diam dibantu oleh beberapa orang anak buahnya hendak menyergap wanita itu dengan menggunakan racun memabukkan dalam makanan yang dihidangkan kepada wanita itu.
Akan tetapi, Ki Brejeng yang merasa sayang kepada murid bekas junjungannya, tahu akan hal ini dan segera mencegahnya. Dia diam-diam masih amat setia kepada Dibyo Mamangkoro dan karena itu setia pula kepada Endang Patlbroto. Biar pun ia mau diajak menipu Endang Patibroto, namun diam-diam ia selalu memasang mata dan bersiap melindungi puteri yang dikasihinya ini.
“Demikianlah, raden aku mengganti makanan yang disuguhkan gusti puteri sehingga usaha keji Raden Sindupati itu tak berhasil. Akan tetapi mereka mengetahui perbuatanku ini maka ketika malam itu aku tidur, mereka menyergap. Sia-sia aku melawan. Mereka sakti dan akhirnya aku roboh tertikam kerisku sendiri yang terampas oleh Raden Sindupati,. Setelah sadar, aku mendapatkan diriku di dalam sumur sampai tiga hari tiga malam. Kebetulan kau dapat menolongku keluar.“
Adipati Tejolaksono terkejut dan diam-diam ia makin kagum. Kakek ini hebat sekali. Terluka begitu parah masih dapat bertahan untuk hidup selama tiga hari tiga malam di dasar sumur!
“Akan tetapi, paman. Mengapakah paman Brejeng berada dalam rombongan Sindupati dan mengapa pula Endang Patibroto ikut bersama kalian?”
Dengan napas terengah-engah Ki Brejeng menceritakan riwayatnya, kemudian ia mulai menceritakan semua peristiwa yang terjadi, semua siasat Blambangan yang mempergunakan Wiku Kalawisesa untuk menyebar maut di antara para ponggawa kedua kerajaan dan betapa siasat itu selanjutnya menimpakan kesalahan di pundak Endang Patibroto, menyebar desas-desus kemudian betapa Enbang Patibroto tertipu oleh penuturan Wiku Kalawisesa untuk mengadu domba dia dengan Pangeran Darmokusumo.
Adipati Tejolaksono terheran-heran dan bukan main marahnya mendengar semua siasat jahat Blambangan itu.
“Demikianlah dia dia terbujuk ikut ke Blambangan dan dan ah, nasibnya tentu tertimpa bencana hebat di sana.. aku... aku tak berhasil aaaahhhhh!”
Tubuh tinggi besar itu mengejang lalu lemas dan habislah riwayat Ki Brejeng karena nyawanya telah meninggalkan badannya.
Adipati Tejolaksono bangkit berdiri, mengepal tinju. Tak salah dugaannya. Blambangan yang berdiri di belakang semua peristiwa di Jenggala dan Panjalu itu, dan Endang Patibroto yang menjadi korban. Ia menyesal sekali mengapa Ki Brejeng keburu tewas sehingga ia tidak dapat bertanya lebih jelas. Ia tidak tahu bagaimana jadinya dengan Pangeran Panjirawit, Endang Patibroto.
Dalam erita yang singkat dan terputus-putus tadi, Ki Brejeng tidak menyebut-nyebut.nama Pangeran Panjirawit dan dia sendiri yang pikirannya penuh dengan Endang Patibroto tidak ingat pula untuk menanyakannya.
Kalau Endang Patibroto terkena bujukan orang-orang Blambangan, ia masih dapat menerimanya karena ia tahu bahwa Endang Patibroto yang tentu marah sekali karena dituduh melakukan pembunuhan-pembunuhan itu kemudian diadu domba dengan fihak Panjalu, tentu marah kepada kedua kerajaan itu dan mudah dihasut oleh orang Blambangan.
Akan tetapi, mengapa Pangeran Panjirawit tidak mencegahnya? Tentu pangeran itu tidak sudi melakukan pengkhianatan, tidak sudi bersekutu dengan Blambangan. Apakah pangeran itu tidak bersama Endang? Kalau begitu, ke mana gerangan perginya setelah berhasil diselamatkan Endang Patibroto dari dalam penjara?
“Tidak perlu bingung, paling perlu mengejar dan menyusul ke Blambangan!” pikirnya.
“Endang Patibroto harus ditolong, kemudian bersama wanita itu datang menghadap kedua kerajaan untuk memberi laporan tentang keadaan sebenarnya yang telah terjadi.”
Setelah berpikir Adipati Tejolaksono menggali sebuah lubang dan mengubur mayat Ki Brejeng. Ia melakukan hal ini karena mengingat akan jasa dan budi Ki Brejeng terhadap Endang Patibroto.
Setelah selesai, menjelang pagi ia melanjutkan perjalanan. Ke Blambangan.
Endang Patibroto merasa menyesal dan kecewa sekali mendengar penuturan Raden Sindupati bahwa Ki Brejeng semalam telah melarikan diri.
“Memang selama di Blambangan, dia selalu gelisah dan agaknya tidak kerasan. Dia yang sejak dahulu suka hidup bertualang dan bebas, agaknya tidak tahan hidup bermalas-malasan di Blambangan. Hanya karena ia merasa berhutang budi kepada Gusti Adipati Blambangan sajalah agaknya yang membuat kakek itu segan meninggalkan pekerjaannya. Akan tetapi, semenjak ia ikut bersama rombongan kami, makin tampak sifatnya yang suka akan alam bebas. Semalam, betapa pun kami berusaha mencegahnya, ia tetap tidak mau mendengar dan melarikan diri. Kami tidak dapat menahannya dengan paksa. Kasihan orang tua itu, kalau memang dia ingin hidup bebas, biarlah,”
Demikian antara lain keterangan Raden Sindupati kepadanya.
Endang Patibroto dapat menerima keterangan ini karena iapun mengenal watak seorang bekas anak buah gurunya seperti Ki Brejeng itu. Akan tetapi, sedikit banyak kepergian Ki Brejeng mempengaruhi hatinya, membuat ia kurang senang.
Namun, karena ia harus membalas dendam hatinya kepada Kerajaan Jenggala dan Panjalu, ia harus mencari sekutu dan untuk menghadapi kekuatan barisan kedua kerajaan itu, maka Kadipaten Blambangan merupakan sekutu yang baik.
Selama dalam perjalanan, Raden Sindupati memperlihatkan sikap yang amat baik, sopan dan menghormat kepadanya sehingga senang juga hati Endang Patibroto. Ia mengambil keputusan bahwa kalau Adipati Blambangan kurang baik sikapnya, masih belum terlambat baginya untuk pergi dari Blambangan dan menuntut balas seorang diri saja.
Akan tetapi, ternyata bahwa Adipati Blambangan menyambut kedatangannya dengan sikap yang amat baik.
Adipati itu seorang tinggi besar, mukanya penuh cambang bauk, kedua lengannya yang kuat dan besar itu pun penuh rambut yang panjang seperti lengan monyet besar. Matanya lebar-lebar dan suaranya parau kasar, suka tertawa akan tetapi sikapnya yang kasar itu malah menyenangkan hati Endang Patibroto, mengingatkannya kepada mendiang gurunya, Dibyo Mamangkoro.
Adipati Blambangan itu bernama Adipati Menak Linggo, dahulunya seorang adipati-yang diangkat oleh raja di Bali, akan tetapi yang kemudian memberontak dan berdiri sendiri tidak mengakui kedaulatan Raja Bali maupun Kerajaan Jenggala dan Panjalu.
Berkali-kali Kerajaan Bali mengirim pasukan untuk menyerang, namun selalu dipukul mundur oleh barisan Kadipaten Blambangan yang kini menjadi kuat dan memiliki banyak panglimapanglima yang sakti.
Adipati Menak Linggo yang tinggi besar dan tubuhnya penuh bulu itu memiliki kekuatan yang dahsyat.
Kabarnya, ketika gajah putih Dwipangga Seta yang didapatnya sebagai hadiah dari barat pada suatu hari mengamuk, kepalan tangan kanan Adipati Menak Linggo inilah yang menundukkannya, dengan sekali pukulan membikin pecah kepala gajah yang mengamuk itu sehingga tewas seketika! Di samping tenaganya yang dahsyat, adipati ini wataknya keras dan dengan tangannya sendiri, ponggawanya yang bersalah akan dipukulnya mati sekali pukul! Akan tetapi, di samping kekerasan terhadap yang salah, adipati ini terkenal royal dan pandai mengambil hati ponggawa-ponggawa yang pandai dan berjasa sehingga para ponggawa yang pandai suka mengabdi kepadanya.
Sebagai contoh akan keroyalannya, karena melihat kesetiaan dan kepandaian Raden Sindupati, ia tidak saja membiarkan Raden Sindupati bermain gila dengan selir-selirnya yang cantik-cantik dan banyak jumlahnya, bahkan ia menyerahkan seorang di antara puteri-puteri selirnya yang baru berusia lima belas tahun untuk diselir oleh Raden Sindupati yang tak pernah mempunyai isteri.
Banyak sekali senopatl-senopati yang sakti mandraguna dan pandai memimpin tentara bekerja di Blambangan. Selain Raden Sindupatl yang selain sakti juga amat pandai bersiasat dan dua bersaudara Klabangkoro dan Klabangmuko yang kuat dan setia, masih terdapat banyak senopati-senopati yang sakti, di antaranya yang paling menyolok adalah Ki Patih Kalanarmodo, Patih Blambangan yang masih tunggal guru dengan Adipati Menak Linggo.
Kalau sang adipati berusia lima puluh tahun dan bertubuh tinggi besar, ki patih ini usianya lebih tua lima tahun, tubuhnya tinggi kurus dan kelihatan seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi kalau orang, sudah menyaksikan tandangnya (sepak terjangnya), dia akan terkejut sekali.
Ki patih ini adalah seorang yang amat ahli dalam air. Ia pandai berenang seperti seekor ikan hiu, kuat sampai lama sekali menyelam dalam air dan pandai mengatur barisan yang bergerak di atas perahu-perahu.
Berkat kepandaian ki patih inilah maka beberapa kali barisan Bali yang menyerang melalui laut, selalu mengalami kegagalan. Selain ahli dalam hal itu, juga ki patih ini memililki tubuh yang licin seperti belut. Kabarnya, dia tidak dapat dibelenggu, tidak dapat dirantai.
Betapa pun kuat orang merantai dan mengikatnya, tubuhnya yang licin seperti belut itu pasti akan dapat terlepas dalam waktu singkat.
Orang ke dua yang terkenal sekali dalam barisan senopati Blambangan adalah Mayangkurdo Senopati Blambangan ini adalah seorang peranakan Bali, tubuhnya besar sekali akan tetapi pendek sehingga kelihatan persegi empat! Kekuatannya amat mengagumkan dan selain kuat, iapun kebal tidak termakan senjata tajam dan runcing.
“Huah-hah-ha-ha-ha! Bagus, bagus! Aaahh, wong denok ayu yang gagah perkasa! Endang Patibroto yang. sakti -manraguna! Aha, sudah lama sekali aku mendengar tentang dirimu yang amat mengagumkan! Bagus, andika suka datang bersama Sindupati senopatiku yang setia. Bagus sekali! Sudah kudengar pelaporan juru berita tentang malapetaka yang menimpa dirimu. Waaahhh! Memang Raja Jenggala itu seorang manusia tak berjantung! Tega membunuh putera sendiri dan menjatuhkan fitnah keji kepada seorang puteri mantu yang begini denok, begini perkasa! Keparat! Dan apa pula itu Raja Panjalu! Halus mulus seperti wanita! Tidak patut! Tidak patut! Harus dihancurkan Jenggala dan Panjalu, dibuminhanguskan disamaratakan dengan bumi. Eh, sang puteri, Endang Patibroto. Katakanlah, apa kehendakmu sekarang setelah andika menghadap di depanku, heh?”
Ucapan sang adipati ini kasar sekali, akan tetapi Endang Patibroto sudah biasa dengan sikap dan ucapan kasar. Gurunya dahulu, Dibyo Mamangkoro, lebih kasar dari pada adipati ini. Dahulu, dalam pergaulannya dengan gurunya dan anak buah gurunya, semua laki-laki itu kasar dan tidak sopan, akan tetapi di dalam kekasaran mereka itu ia melihat suatu keindahan, yaitu keindahan dari pada sikap jantan yang terus terang dan jujur polos! Karena itulah maka kini ia menilai sang adipati dengan kesan yang baik pula, menganggap bahwa Adipati Menak Linggo ini pun tentu seorang kasar yang jujur! Endang Patibroto sama sekali tidak tahu bahwa kekasaran sikap seorang laki-laki tidak dapat dijadikan ukuran bahwa ia jujur dan setia! Ia sama sekali tidak tahu, bahkan mendugapun tidak bahwa di balik kekasaran watak Sang Adipati Blambangan ini tersembunyi kecerdikan dan kepalsuan yang mengerikan!
Teringat akan persamaan watak adipati ini dengan gurunya, Endang Patibroto tersenyum. Disebut wong denok ayu oleh seorang bersikap seperti ini tidaklah menyakitkan hati, bahkan menyenangkan karena ia tahu bahwa di balik sebutan yang amat bebas dan berani ini tidak tersembunyi maksud buruk. Andai kata orang lain yang menyebutnya demikian, dengan sikap mencumbu atau berkurang ajar, tentu tanpa banyak cakap lagi ia akan turun tangan menghajarnya, mungkin membunuhnya!
“Adipati Menak Linggo, hatikupun lega melihat dan bertemu denganmu. Kau bertanya tentang kehendakku datang ke Blambangan dan bertemu denganmu? Sudah jelas dan agaknya Raden Sindupati sudah menyampaikan pelaporan kepadamu bahwa aku ingin sekali membalas dendam atas kematian suamiku dan atas pencemaran nama baikku. Karena itu, mendengar bahwa engkau berhasrat hendak menyerang Jenggala, maka aku ingin bekerja sama denganmu. Aku ingin menjadi senopati jika bala tentaramu menyerang Jenggala.”
“Huah-ha-ha-ha-ha! Hebat engkau! Hebat sekali! Siapa menyangka bahwa dalam tubuh yang denok ayu, di balik wajah yang cantik jelita, seperti Dewi Sri, bersembunyi semangat yang membara! Bagus, bagus! Mulai saat ini, anggaplah dirimu sendiri sebagai senopatiku! Ha-ha-ha-ha! Di mana di dunia ini ada seorang adipati yang mempunyai seorang senopati begini hebat, begini bahenol (denok)? Eh, senopatiku yang denok, tahukah engkau syarat menjadi senopati?”
“Adipati, di waktu aku baru berusia belasan tahun, aku sudah pernah menjadi senopati Kerajaan Jenggala! Tentu saja syarat seorang senopati harus pandai mengatur barisan, harus memiliki kesaktian dan keberanian, dan harus setia.”
Tentu saja Sang Adipati Menak Linggo tahu akan kesemuanya itu. Ia tahu betul siapa wanita di depannya ini.
Tahu bahwa wanita sakti inilah yang menggegerkan Kerajaan Jenggala dan Panjalu. Wanita inilah yang membunuhi orang orang perkasa, dan yang amat menyakitkan hatinya adalah terbunuhnya pamannya, yaitu Bhagawan Kundilomuko di tangan wanita ini! Akan tetapi semua ini hanya terkandung di dalam hati Sang Adipati Menak Linggo, sedangkan pada wajahnya yang penuh cambang bauk itu tidak tampak sesuatu kecuali ketawa riang gembira.
“Heh-heh, bagus-bagus! Memang ltulah syaratnya, akan tetapi bagaimana aku tahu bahwa kesaktianmu yang tersohor luar biasa itu benar-benar dapat mengatasi semua senopatiku? Ha-ha-ha, ketahuilah, Endang Patibroto senopatiku, di Blambangan ini aku mempunyai banyak sekali senopati yang sakti mandraguna! Dan perang terhadap Jenggala dan Panjalu adalah perang besar yang tidak ringan. Aku sendiri harus maju dan tentu saja yang menjadi senopati beryuda (berperang) harus yang terbaik di antara semua senopatiku!”
Merah kedua pipi yang halus seperti lilin itu. Endang Patibroto yang masih berdiri di depan Adipati Menak Linggo yang duduk, kini menyapu ruangan paseban itu dengan pandang matanya. Ia memandang setiap orang yang hadir, yang duduk bersila di atas lantai.
Mereka yang bertemu pandang dengan mata Endang Patibroto, melihat sinar mata yang tajarn seperti ujung keris pusaka, yang mengandung cahaya panas berahi, yang amat berwibawa dan yang jelas membayangkan keberanian yang mengerikan.
Banyak di antara para ponggawa yang hadir, tak dapat lama-lama menentang pandang mata seperti itu, ada yang menunduk, dan ada pula yang memaksa bertahan untuk akhirnya berkedip-kedip!
“Adipati Menak Linggo! Untuk membuktikan kesanggupanku, aku bersedia melayani semua senopatimu untuk bertanding kedigdayaan!”
“Huah-hah-hah-hah!”
Adipati Menak Linggo menoleh ke kanan kiri, memandangi para senopatinya. sambil terkekehkekeh. “Para senopatiku ditantang! Ditantang bertanding kedigdayaan oleh seorang wanita cantik jelita! Hah-ha-haha, apakah ini tidak menggelikan? Hayo, siapa yang berani?”
Seorang di antara para senopati Blambangan itu adalah seorang yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, wajahnya tampan, tubuhnya sedang akan tetapi wajahnya agak pucat dan matanya kemerahan penuh nafsu berahi.
Pemuda ini seorang senopati yang terkenal pandai bermain panah, namanya Haryo Baruno. Di samping ahli bermain panah, juga dia seorang ahli bermain asmara! Semacam Raden Sindupati akan tetapi lebih parah lagi.
Kalau Raden Sindupati mencari korban nafsunya di antara para puteri, adalah Haryo Baruno ini begitu mata keranjangnya sehingga siapa saja, asal dia wanita masih muda dan tidak cacad, tentu tidak terlepas dari pada incaran dan godaannya.
Semenjak tadi ia melihat tubuh belakang Endang Patibroto dan jantungnya sudah jungkir-balik tidak karuan. Berkalikali kalamenjingnya bergerak turun naik ketika ia menelan ludah saking besarnya dorongan hasrat dan gairah nafsu berahinya. Baru melihat bentuk pinggul itu saja, ia sudah tergila-gila, apa lagi ketika Endang Patibroto memutar tubuh dan tampak wajahnya.
Haryo Baruno melongo dan pandang matanya seakan hendak menelan Endang Patibroto bulat-bulat! Ia baru sekali ini melihat dan mendengar nama Endang Patibroto maka tentu saja akan kesaktian yang dipuji-puji setinggi langit oleh Adipati Menak Linggo, ia sama sekali tidak memandang sebelah mata. Kini, begitu melihat kesempatan untuk mempermainkan Endang Patibroto seperti yang biasa ia lakukan terhadap setiap wanita, berkatalah ia cepat-cepat sebelum lain orang ada yang mendahuluinya,
“Gusti adipati, hamba rasa amatlah sayang kalau kulit yang begitu halus menjadi lecet dalam bermain yuda! Hamba berani menantangnya mengadu kelincahan. Kalau dia dapat mengelak semua usaha hamba untuk memeluk dan menciumnya, hamba akan mengaku kalah dan tidak berkeberatan dia menjadi senopati perang, yaitu setelah lima kali hamba menubruknya. Akan tetapi, kalau sampai dapat terpeluk dan tercium oleh hamba sang dewi yang jelita ini harus menemani hamba tidur selama...”
“Aaauuuuggghhh...!”
Tahu-tahu tubuh Haryo Baruno terlempar sampai menabrak dinding ruangan itu dan ketika tubuhnya terbanting ke atas lantai, darah mengalir dari telinga, mulut, hidung dan mata.
Kepalanya telah pecah dan tewas seketika!
Semua orang melongo, terbelalak dan kaget sekali. Mereka tadi hanya melihat tubuh Endang Patibroto bergerak ke arah Haryo Baruno dan tangan kanan wanita itu bergerak menghantam.
Tahu-tahu senopati muda itu telah terlempar dan tewas dalam keadaan begitu mengerikan.
Bahkan Adipati Menak Linggo sendirl merasa kaget dan ngeri. Bukan main hebatnya wanita ini. Pantas saja pamannya yang sakti, Bhagawan Kundilomuko, tewas di tangan wanita ini. Juga sekutu utusannya, Sang Wiku Kalawisesa juga tewas di tangannya!
“Eh hoh-hoh kenapa.. Kenapa kau membunuh seorang senopatiku begitu saja di hadapanku, Endang Patlbroto?”
Baru sekali ini sejak tadi sang adipati tidak tertawa, mukanya yang penuh cambang bauk itu kemerahan, matanya melotot lebih lebar lagi dan air ludahnya muncrat-muncrat ketika ia menegur.
Endang Patibroto yang tadi menghajar mampus Haryo Baruno dengan gerak Bayu Tantra dilanjutkan pukulan Pethit Nogo kemudian secepat kilat melayang kembali ke tempatnya yang tadi, perlahan-lahan memutar tumit kakinya menghadapi sang adipati.
Bibir yang manis itu tersenyum dan orang yang sudah mengenal watak Endang Patibroto sebelum menjadi isteri Pangeran Panjirawit, senyum ini amat mengerikan. Makin manis senyum Endang Patibroto seperti itu, makin berbahayalah dia karena senyum ini menyembunyikan gelora hati yang marah!.
“Adipati Menak Linggo, maafkan kalau aku telah mengotori ruangan persidanganmu, akan tetapi aku tidak bisa membiarkan seorang macam dia menghinaku. Siapa pun orangnya, kalau berani mengucapkan kata-kata kotor menghina seperti itu kepadaku, tentu akan kubunuh, di mana pun ia berada dan bilamana pun!”
Adipati Menak Linggo termenung sebentar, mengerutkan alisnya yang tebal sekali, kemudian bertanya,
“Kalau ada senopati hendak mengujimu, apakah kau pun akan turun tangan membunuh dia?”
Endang Patibroto menggeleng kepala.
“Tentu saja tidak. Bertanding mengadu kedigdayaan bukanlah pertandingan mengadu nyawa. Penghinaan berbeda lagi, harus dibalas dengan kematian. Sampai di mana harga diri seorang wanita kalau membiarkan dirinya diperhina laki-laki seperti yang dikeluarkan dari mulut laki-laki keparat itu tadi?”.
Adipati Menak Linggo mengangguk-angguk, kemudian sudah menyeringai tertawa lagi, menggerakkan tangan kepada para pengawal,
“Sudah, lekas bawa keluar mayat itu!”
Para senopati yang hadir di situ diam-diam menjadi marah sekali terhadap Endang Patibroto.
Kemarahan yang tadinya timbul oleh rasa iri hati menyaksikan betapa junjungan mereka memuji-muji dan menghormat Endang Patibroto secara berlebihan.
Semua senopati menghadap sambil duduk di lantai, akan tetapi wanita ini berdiri saja dan sama sekali tidak menghormat Adipati Menak Linggo.
Kemarahan mereka makin menjadi oleh pembunuhan yang dilakukan Endang Patibroto terhadap Haryo Baruno.
Akan tetapi, melihat kesaktian yang mengerikan itu, sebagian besar para senopati sudah kuncup hatinya, hilang keberaniannya untuk menentang wanita sakti itu.
“Huah-ha-ha-hal Kehebatanmu membuat hati laki-laki menjadi kecil, Endang Patibroto. Eh, Mayangkurdo, apakah engkau juga tidak berani menguji kedigdayaan Endang Patibroto?”
Mayangkurdo mengangkat mukanya, memandang kepada Endang Patibroto. Senopati Blambangan berusia empat puluh tahun ini tidak pernah mengenal takut. Di dalam perang ia terkenal sebagai penyerbu terdepan dan jika pasukan terpaksa mengundurkan diri, selalu berada paling belakang.
Dia adalah tokoh nomor dua di antara para senopati yang dikepalai oleh Ki Patih Kalanarmodo sendiri sebagai tokoh nomor satu. Kematian Haryo Baruno tadi tidak menimbulkan perasaan sesuatu dalam hatinya karena Mayangkurdo menganggap Haryo Baruno sebagai seorang bawahan yang tiada artinya.
Dan di antara para senopati, yang tahu bahwa Endang Patibroto ini sebetulnya musuh besar sang adipati yang harus dibunuh, mengerti pula bahwa sang adipati menggunakan siasat halus, hanyalah Ki Patih Kalanarmodo, Mayangkurdo, dan Raden Sindupati bersama tangan kanannya, yaitu kakak beradik Klabangkoro dan Klabangmuko. Oleh karena itulah maka ia tidak merasa iri hati menyaksikan betapa Adipati Menak Linggo memuji-muji Endang Patibroto.
“Hamba bersedia untuk menguji kesaktian wanita perkasa Endang Patibroto!” katanya, maklum bahwa sang adipati selain hendak menyuruhnya menguji kesaktian, juga kalau mungkin membunuh wanita ini.
“Ha-ha-ha, bagus sekali, Mayangkurdo. Memang engkaulah yang pantas menandingi Endang Patibroto!” kata sang adipati girang.
Ruangan persidangan itu cukup luas untuk bertanding ilmu dan para senopati sudah mundur untuk memberi tempat yang luas bagi kedua orang yang hendak mengadu ilmu.
Endang Patibroto tersenyum, memandang calon lawannya dengan sinar mata penuh selidik.
Melihat bentuk tubuh orang itu, ia dapat menduga bahwa Mayangkurdo memilild tenaga yang amat besar, dan sikap orang ini yang tenang, pandang matanya yang tajam juga membayangkan kekuatan dalam yang tak boleh dipandang ringan. Namun tentu saja ia tidak takut dam sambil tersenyum ia berkata kepada calon lawannya,
“Majulah, Mayangkurdol”
“Baiklah, Endang Patibroto, kau hati-hatilah akan seranganku!” kata pula Mayangkurdo yang sudah menyembah sang adipati kemudian sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat dan berhadapan dengan Endang Patibroto.
Mayangkurdo sudah memasang kuda-kuda. Kedua kakinya bersilang, lutut ditekuk sedikit sehingga tubuhnya yang pendek menjadi makin rendah, tangan diangkat melengkung melindungi kepala, tangan kanan dengan jari dikepal ditaruh di depan dada kiri, sebagian mukanya terhalang oleh lengan kiri dan sepasang matanya mengintai lawan dari bawah lengan kiri itu.
Kuda-kudanya ini amat kuat dan kedudukan kedua lengannya merupakan perisai yang setiap saat dapat bergerak menangkis, akan tetapi juga mudah dirubah untuk menjadi gerak serangan dari atas dan bawah. Karena tubuhnya pendek, maka kuda-kuda ini pun merupakan kuda-kuda segi empat yang kokoh kuat. Lawan akan sukar mencari lowongan atau sasaran yang mudah ‘dimasuki’.....