Perawan Lembah Wilis Jilid 04

Sang prabu terkejut bukan kepalang. Sesungguhnya di dalam hatinya, sang prabu tidak pernah senang mempunyai mantu Endang Patibroto yang selain bukan “darah kusuma” (darah bangsawan) juga riwayat hidupnya amat, mengecewakan itu. Apa lagi setelah ada kenyataan bahwa selama sepuluh tahun Endang Patibroto tidak mempunyai putera, ditambah lagi kenyataan bahwa Pangeran Panjirawit tidak mengambil selir yang tentu saja karena takut kepada isterinya, makin tak senang hati sri baginda.

Desas-desus akhir ini menambah rasa tidak senangnya, namun maklum bahwa puteri mantunya itu seorang sakti, sang prabu tidak pernah menyatakan sesuatu.

Kini, mendengar pelaporan ini yang ada saksinya, sang prabu menjadi murka dan Suminten lalu disuruh mengulangi ceritanya. Dengan tubuh gemetaran karena takut, Suminten bercerita kembali dan makin besar amarah sri baginda.

Setelah menitahkan pelayan. untuk membawa Suminten yang sejak saat itu “dillndungl” atau “diamankan” di dalam istana, menjadi anggota kelompok abdi dalem sri baginda, maka sang prabu lalu mengajak ki patih berunding.

Kemudian dipanggillah para pangeran dan pejabat tinggi dan akhirnya diputuskan untuk mengundang Pangeran Panjirawit beserta isteri ke istana!

“Kakang patih, kepadamulah kuserahkan tugas ini. Undang Panjirawit dan isterinya ke istana menghadapku!”

Persidangan lalu dibubarkan setelah sang prabu mengatur agar para pengawal siap untuk menangkap puteranya sendiri bersama mantunya, apa bila beliau memberi perintah sewaktu-waktu setelah berwawancara dengan Pangeran Panjirawit dan isterinya.

Dapat dibayangkan betapa bingung Pangeran Panjirawit ketika pagi hari itu ia kedatangan Ki Patih Bratamenggala yang menyampaikan perintah sandi prabu mengundang dia dan isterinya ke istana.

Semalam ia tidak dapat tidur barang sekejap. Hatinya risau, gelisah memikirkan isterinya. Endang Patibroto tak kunjung pulang, dan sungguh pun kaki tangannya yang berdarah tiba-tiba sembuh kembali sebagai tanda akan berhasilnya usaha Endang Patibroto mencari musuh tersembunyi, namun hatinya tetap khawatir sekali.

Bagaimana ia tidak akan gelisah kalau isteri tercinta itu belum juga pulang? Sampai malam berganti pagi, Endang Patibroto belum pulang! Payah ia menanti-nanti di dalam kamar, lalu keluar dari kamar duduk di ruangan dekat taman, kembali ke kamar, makin lama makin risau. Duduk tak senang, tidur tak mungkin, hendak menyusul ke mana?

Wajahnya lesu dan kusut ketika ia menyambut kunjungan ki patih. Dan ia makin bingung mendengar perintah ramandanya. Bingung dan khawatir! Ada kepentingan apakah sampai sang prabu memanggil dia dan isterinya? Dan bagaimana ia harus menjawab karena isterinya tidak ada di rumah? Mengatakan sakit? Minta waktu diundur? Ramandanya tentu akan marah. Ia tahu atau dapat menduga dalam hati kecilnya bahwa isterinya tidak begitu disuka oleh keluarga ramandanya.

Sikap mereka dingin dan hormat dibuat-buat kepada lsterinya. Kalau mengatakan isterinya pergi, pergi ke mana? Mana mungkin isteri seorang pangeran pergi begitu saja tanpa diketahui ke mana perginya? Ah, la menyesal sekali mengapa malam tadi ia memperbolehkan isterinya pergi. Hatlnya sudah tIdak enak dan sekarang ia menghadapi hal yang lebih tidak enak lagi. Lebih baik berterus terang! Ya,tidak ada jalan lain baginya dan bagi kebaikan nama isterinya.

“Paman patih, sungguh amat menyesal hati saya bahwa untuk sementara ini tIdak mungkin saya mentaati perintah kanjeng rama, karena sesungguhnya...isteri saya yayi dew! Endang Patibroto semalam telah pergi dan belum juga pulang sampai pagi hari ini.”

Ki patih mengangkat alisnya, menghubungkan kepergian Itu dengan peristiwa yang ia dengar dari mulut Suminten.

“Ahhh, gusti puteri pergi? Eh, karena urusan ini mengenai panggilan kanjeng gust! sinuwun, kalau boleh hamba bertanya... ke manakah perginya, mengapa malam-malam?”

Dengan muka pucat Pangeran Panjlrawit memandang ki patih, kemudian menarik napas panjang dan berkata, “Tidak baik kiranya kalau saya sembuhyikan lagi, paman, setelah kini datang panggilan dari ramanda sinuwun.”

Patlh itu mengangguk-angguk, menyangka bahwa pangeran ini akan membuka rahasia isterinya, wanita slluman itu.

Betapa pun juga, ki patlh ini di dalam hatinya mencinta Pangeran Panjirawit yang terkenal sebagai pangeran yang halus budi pekertinya, ramah-tamah bahasanya, dan sopan tutur sapanya. la ingin melihat pangeran ini terlepas dari pada “cengkeraman” wanita iblis Endang Patibroto.

“Memang seyogyanya begitulah, gusti pangeran. Lebih baik berterus terang sehingga hamba dapat menghaturkan laporan yang jelas dan lengkap kepada sri baginda.”

Seorang abdi dalem datang berjalan jongkok, lalu menghidangkan minuman. Percakapan terhenti sebentar dan Pangeran PanjlrawIt memberi tanda dengan tangan agar abdi dalem itu cepat-cepat pergi. Akan tetapi abdi dalem itu, seorang gadis berkulit kuning langsat berusia dua puluh tahun, meragu dan memandang kepada sang pangeran.

“Ada apa lagi? Pergilah?”

Gadis pelayan itu menyembah. “Ampun kalau hamba mengganggu, gusti. Hamba hanya hendak melapor bahwa pagi hari ini Suminten pergi, entah ke mana tak seorang pun abdi mengetahuinya.”

Kalau tidak sedang dirisaukan urusan besar, tentu Pangeran Panjirawit akan menjadi heran, menaruh perhatian atau setidaknya teringat akan gerak-gerik Suminten malam tadi. Akan tetapi pikirannya terlalu penuh oleh isterinya yang belum pulang dan oleh panggilan sang prabu, maka ia berkata tak sabar.

“Laporkan saja kepada Raden Sungkono agar dicari.Pergilah!” Abdi dalem meninggalkan mereka dengan langkah jongkok.

“Paman patih, malam tadi telah terjadi hal yang mengerikan. Paman tentu tahu akan peristiwa-peristiwa kematian para ponggawa yang mengerikan, bukan? Nah, malam tadi saya Sendiri telah diserang!”

“Haa...?” Ki patih terbelalak, dan memandang :tubuh Pangeran Panjirawit yang tiada kurang sesuatu. Pangeran Panjirawit mengerti akan makna pandang mata ini.

“Memang, saya selamat, paman. Kalau tidak ada isteriku, kiranya pagi hari ini paman akan mendapatkan diriku serupa dengan ponggawa-ponggawa lain, mati berlumur darah tanpa luka!

Dengan wajah masih pucat ki patih berkata, “Malam tadi Demang Kanoraga yang menjadi korban.”

“Aiihh... kakang Demang Kanaroga juga...?”

Sang pangeran menghela napas, lalu melanjutkan, “Saya baru diserang pada lengan dan kaki. Tadi malam isteri saya yang merasa sangat penasaran, memaksa diperkenankan keluar rumah untuk menyelidiki dan menangkap manusia atau siluman yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji itu. Baru dia pergi, tiba-tiba lenganku sakit dan berdarah. Untung isteri saya datang tepat pada waktunya hingga saya tertolong. Paman tentu tahu akan kesaktian isteri saya. Kemudian isteri saya pergi untuk mencari iblis itu tapi sampai pagi hari ini belum kembali. Oleh karena itu, sampaikan permohonan ampun saya kepada kanjeng rama, dan jika beliau menghendaki saya seorang diri menghadap, beri kabarlah, saya tentu akan datang menghadap tanpa isteri saya.”

Ki Patih Bratamenggala menjadi bingung sekali. Hatinya bertanya-tanya. Benarkah cerita ini? Lengan pangeran ini sama sekali tidak tampak bekas luka, atau tidak tampak bekas berdarah. Apa buktinya kebenaran cerita ini? Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani mengajukan pertanyaan ini, setelah minum hidangan lalu memohon diri.

Ketika Sang Prabu Jenggala mendengar laporan ki patih, Ia termenung. Berkali-kali menarik napas panjang. “Urusan ini sungguh ruwet dan meragukan. Biarlah kita menanti perkembangan selanjutnya, kakang patlh.”

Sementara itu dengan hati gelisah Pangeran Panjirawit memanggil Sungkono menghadap. “Kakang Sungkono, ada tugas penting sekali bagimu.”

“Hamba sudah mendengar dari abdi dalem, mencari Suminten yang lari...”

“Persetan dengan Suminten!” Pangeran Panjirawit berseru tak sabar. “Bukan Suminten yang harus dicari, kakang Sungkono, melainkan gusti puteri!”

“Gusti puteri...?” Raden Sungkono terkejut, menatap wajah junjungannya dengan heran dan kaget.

“Ya, gusti puteri. Dia malam tadi pergi, kakang. Kau tahu tentang pembunuhan-pembunuhan rahasia terhadap ponggawa-ponggawa Jenggala dan Panjalu?”

Raden Sungkono mengangguk-angguk. “Malam tadi Demang Kanaroga yang terkena,” katanya.

“Benar. Nah, gustimu puteri malam tadi pergi untuk melakukan penyeiidikan, untuk menangkap si pembunuh laknat setelah menyelamatkan aku yang hampir saja menjadi korban juga.”

“Paduka, gusti...?” Kembali Sungkono terkejut.

“Tak usah ribut-ribut. Betapa pun saktinya pembunuh pengecut itu, dia tak mungkin dapat mengalahkan gustimu puteri. Karena itu dia malam tadi pergi melakukan penyelidikan dan pengejaran.”

Sungkono mengangguk-angguk. “Memang sesungguhnya di dalam hati, hamba juga mengambil kesimpulan bahwa penjahat iblis Itu hanya dapat dltangkap oleh gusti puteri yang sakti mandraguna.”

“Benar, kakang. Sekarang, gustimu belum juga pulang. Aku merasa khawatir juga. Oleh karena itu, kau kerahkan anak buahmu, kau lakukan penyelidikan ke mana gustimu melakukan pengejaran dan apa bila perlu, kau harus siap membantunya. Mengerti, kakang?”

“Mengertl dan siap, gusti.”

“Baik, aku percaya kepadamu. Apa pun yang terjadi dengan diriku di sini, kau tidak perlu mencampuri, yang penting lekas susul dan temukan gustimu puteri. Nah, berangkatlah sekarang juga, kakang Sungkono.”

Setelah pengawalnya yang setia itu pergi, Pangeran Panjirawit termenung, hatlnya merasa tidak enak sekali, wajah isterinya yang tercinta terbayangbayang dan minuman panas di meja sampai menjadi dingin tanpa disentuhnya.

“Waahh... celaka, raden... celaka...tiga belas...!”

Raden SIndupati mengangkat alis dan menatap Klabangkoro dan Klabangmuko yang datang berlari-lari dengan napas senln kemis hampir putus, wajah penuh keringat sehingga kumis mereka yang sekepal sebelah itu menjadi basah kuyup dan kini berjuntai turun, sama sekali kehilangan kegagahannya,

Di belakang Raden Sindupati, sekelompok pasukan terdiri dari dua puluh orang lebih, rata-rata berperawakan tinggi besar berserijata tombak, golok, atau penggada. Mereka berikat kepala seperti Klabangkoro dan Klabangmuko, dengan ujung menjungat ke atas seperti tanduk. Biar pun mereka itu orang-orang yang kelihatan kasar, namun jelas mereka bukan orang-orang sembarangan, melainkan “berisi' Inilah pasukan dari Blambangan, anak buah Adipati blambangan yang tersohor kuat.

Pemimpin mereka, Raden Sindupati, berbeda dengan mereka. Memang dia juga mengenakan ikat kepala yang sama, akan tetapi perawakannya sedang, berdada bidang, wajahnya tampan dan usianya belum lewat empat puluh tahun. Kulitnya kuning bersih dan wajahnya selalu tersenyum, pandang matanya tajam.

Kalau anak buahnya adalah orang-orang yang membayangkan kekuatan dan ketangkasan, adalah Raden Sindupati ini membayangkan kekuatan batin dan kesaktian. Senjatanya pun lebih sederhana, sebatang keris terselip di pinggangnya.

Sudah belasan tahun, semenjak ia berusia kurang dari dua puluh lima tahun, Raden Sindupati melarikan diri ke Blambangan. Tadinya ia adalah seorang senopati muda di Jenggala yang melakukan pelanggaran besar, yaitu memperkosa dengan bujuk rayu dan ketampanannya seorang puteri Jenggala.

Ketika ketahuan, puteri itu membunuh diri dan Raden Sindupati menjadi buronan.

Semenjak itu tak pernah ia kembali ke Jenggala dan karena kesaktiannya, ia memperoleh kedudukan tinggi di Blambangan, bahkan kini dipercaya oleh Adipatl Blambangan untuk mengacau dan melemahkan kedudukan Jenggala dan Panjalu, bahkan kalau mungkin membunuh Endang Patibroto.

“Kakang Klabangkoro dan Klabangmuko!” katanya tenang akan tetapi penuh wibawa. “Tidak layak seorang prajurit tenggelam ke dalam kegelisahan. Takut dan gentar merupakan pantangan terbesar bagi seorang perajurit utama! Betapa pun buruknya kenyataan yang dihadapi, seorang perajurit harus tetap tenang dan waspada.”

“Maaf, raden, kami memang salah...“ kata Kiabangkoro merendah.

“Yang belum mengerti itu tidak salah, kakang. Nah, sekarang ceritakan, apa yang telah terjadi? Pagi ini kami telah mendengar akan tewasnya Demang Kanaroga, Ini berita baik, mengapa kalian seperti ketakutan?”

“Malam tadi, menurut rencana Wiku Kalawisesa akan merobohkan dua orang ponggawa Jenggala, pertama Demang Kanaroga dan ke dua Pangeran Panjirawit suami Endang Patibroto.”

Terdengar suara mencela seorang kakek berusia empat puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar dan matanya lebar, dialah yang paling tinggi besar di antara semua prajurit Blambangan yang berada di situ.

“Kami berdua mendapat tugas untuk menyelidiki hasil usahanya itu di dekat gedung Pangeran Panjirawit. Malam itu mula-mula kami melihat dua ekor kelelawar terbang pulang dari atas gedung Demang Kanaroga, agaknya sudah selesai tugas. Kemudian seperti bayangan iblis... tampak bayangan wanita itu... seperti terbang layaknya!”

“Hemm, kau maksudkan bayangan Endang Patibroto?”

tanya Raden Sindupati tertarik. Karena sudah belasan tahun ia tidak kembali ke Jenggala, ia tidak pernah bertemu dengan wanita sakti itu, hanya mendengar namanya.

“Betul, raden. Dia memang hebat luar biasa. Kelelawar besar disambitnya, kemudian ia seperti terbang mengikuti kelelawar itu. Dari istananya tidak terdengar sesuatu, tIdak ada tanda-tanda Pangeran Panjirawit tewas. Kami sedapat mungkin tergopoh-gopoh mengikutlnya pula, dari jauh karena larinya cepat seperti angin. Dia membayangi kelelawar terbang. Coba bayangkan!” Klabangkoro menoleh kepada teman-temanaya dengan mata terbelalak. “Dia dapat beriari begitu cepatnya sehingga dapat membayangi seekor kelelawar terbang!”

Semua pasukan menjadi gempar, kecuali kakek tinggi besar tad! yang kembali mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, dan Raden Sindupati yang merasa tidak aneh karena banyaknya pendekar di Jenggala yang mampu melakukan hal ini, termasuk dia sendiri!

“Lalu bagaimana?” tanya Sindupati, tidak puas melihat pasukannya ributribut.

Semua orang diam, tertarik dan ingin mendengarkan lebih lanjut.

“Ketika kami berdua tiba di pondok sang wiku, kami terkejut setengah mati. Pondok itu sudah hancur lebur, seperti diamuk gajah! Arca Bathara Kala sudah menjadi keping-kepingan batu dan di luar pondok sang wiku bertanding melawan Endang Patibroto. Cantik dan gagah dia. Cantik manis sekali ya, adi Klabangmuko?”

“Seperti bidadari dari Bali!” kata Klabangmuko meram melek, agaknya membayangkan wajah yang jelita dan tubuh yang montok itu. Ia tampak seperti seekor anjing Herder melihat daging, menjilat-jilat bibir.

“Teruskan, kakang. Bagaimana akhir pertandingan?”

“Kami tadinya hendak membantu sang wiku, akan tetapi tidak keburu lagi karena sekali tampar sang wiku menggeletak tak berkutik lagi. Bahkan berdiripun tidak mampu dia. Agaknya lengannya poklek (patah) dan iganya remuk. Kemudian... kemudian...” Orang tinggi besar dengan kumis sekepal sebelah ini bergidik ngeri.

“Tenanglah, kakang. Lalu bagaimana, terbunuhkah sang wiku?” tanya Raden Sindupati tenang.

“Kalau terbunuh biasa saja kami tidak akan ngeri, raden.Wanita itu... huh, begitu cantik jelita, begitu halus kulitnya, begitu manis senyumnya, kiranya... seperti iblis sendiri! Dia membuat boneka dari lempung menyerupai sang wiku, kemudian dia… dia terbang...”

“Terbang?”

Raden Sindupati menjadi terkejut juga, karena sesakti-saktinya manusia, belum pernah ia mendengar ada orang dapat terbang, kecuali kalau sudah memiliki tingkat setengah dewa seperti misalnya mendlang Sang Prabu Airlangga, atau Sang Rakyan Kanuruhan Patih Narotama, atau sedikitnya setingkat Sang Resi Empu Bharodo!

“Betul, terbang! Bukankah kau melihat dia terbang,Klabangmuko?”

“Betul! Dia bersila begini, lalu tubuhnya dalam keadaan bersila itu melayang ke arah sang wiku, mencabut rambutnya dan kembali melayang ke tempat tadi, masih duduk bersila seperti ini,” kata Klabangmuko sambll meniru gerak-gerak Endang Patibroto.

Raden Sindupati mengangguk-angguk. Ia mengerti sekarang dan diam-diam ia kagum juga. Blarpun bukan terbang, namun cara meloncat dengan keadaan duduk bersila bukanlah hal yang mudah dilakukan. Kakek tinggi besar yang matanya lebar hanya mendengus lagi, seakan-akan semua yang diceritakan Itu tidak aneh baginya, biasa saja dan sudah diketahuinya.

“Kemudian... kemudian ia melakukan persis seperti yang dilakukan sang wiku selama ini dengan Aji Kalacakranya. Ia mengambil tusuk konde dan menusuk-nusuk boneka dan... dan sang wiku berlumur darah dari semua tubuhnyal” cerita ini membuat para prajurlt merasa ngeri dan mereka hanya saling pandang.

“Sudah kuduga... sudah kuduga... wiku sombong itu mana mampu menandingi murid gustiku Dibyo Mamangkoro?” kata kakek tinggi besar itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Semua itu tidak penting,” kata Raden Sindupati tak sabar, “yang penting... apakah yang dikatakan oleh sang wiku ketika ia hendak dibunuh? Tentu kalian dapat mendengar apa yang mereka, bicarakan.”

“Betul, raden. Endang Patibroto mengancam dan mendesak agar sang wiku mengaku siapa yang menyuruhnya melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. Dan sang wiku, dalam saat terakhir sekali pun, tetap berpegang kepada kesetiaan, dia mengatakan bahwa yang menyuruhnya adalah Pangeran Darmokusumo dari Panjalu.”

“Bagus...I Ha-ha-ha-ha, bagus... Wiku Kalawisesa, andika (kamu) tewas sebagai seorang gagah sejati yang masih memegang kesetiaan. Bagus, ha-ha-ha,tepat sekali rencana Sang Adipati Blambangan.”

Tiba-tiba ia menoleh ke arah kakek tinggi besar itu dan berkata, “Paman Brejeng, kau yakin betul bahwa Endang Patibroto akan mengenalmu?”

“Mungkin lupa, akan tetapi kalau aku mengingatkan hal-hal lalu, tentu ia ingat bahwa aku adalah Brejeng, pelayan pribadi Gusti Dibyo Mamangkoro,” jawab kakek itu dengan sikap dan kata-kata yang kasar sekali. Agaknya ia tidak bisa bicara halus seperti sikap orang-orang liar. Memang orang liarlah kakek ini, bekas anak buah Dibyo Mamangkoro.

“Baik sekali. Memang untuk itulah kau kubawa serta, paman Brejeng. Sekarang kalian semua dengarkan rencanaku selanjutnya.”

Raden Sindupatl duduk di atas sebuah batu dan anak buahnya jongkok mengelilinginya, mendengarkan rencana siasat yang akan dipergunakan terhadap Endang Patibroto…..

********************

Kita tinggalkan dulu pasukan Blambangan yang sedang mengatur siasat dan mari kita mengikuti perjalanan Endang Patibroto. Tentu saja Endang Patibroto tidak mengetahui sama sekali akan keadaan suaminya, dan lebih-lebih tidak menyangka ada pasukan Blambangan yang merencanakan siasat untuk menjebaknya.

Ia melakukan perjalanan siang malam menuju ke istana Kota Raja Panjalu. Di sepanjang perjalanan, dia mellhat betapa kehidupan rakyat Panjalu jauh lebih makmur dibandingkan keadaan rakyat JenggaIa.

Rumah-rumah penduduk dusun lebih baik, pakaian mereka lebih bersih dan terutama sekali sinar wajah mereka lebih gembira dan tubuh mereka leblh gemuk sehat. Ia menarik napas panjang dan harus mengakui bahwa sang prabu di Panjalu jauh lebih pandai dalam mengatur pemerintahan dari pada sang prabu di Jenggala.

Ketika tiba di Kota Raja Panjalu, ia tidak berani memperlihatkan dirl, bersembunyi dan malam harinya ia menyusup ke dalam kota raja, langsung ia mencari istana tempat tinggal Pangeran Darmokusumo.

Malam itu sunyi sekali karena hujan turun rintik-rintik semenjak sore. Akan tetapi suasana sunyi ini menyenangkan hati Endang Patibroto. Memang lebih sunyi lebih baik. la hendak menculik Pangeran Darmokusumo dan dipaksanya mengaku.

Kemarahannya terhadap pangeran ini masih belum mereda, bahkan setelah tiba di situ, amarahnya makin meluap. Ia teringat betapa pangeran ini yang menjadi biang keladi segala urusan, yang mengotorkan dan mencemarkan nama baiknya, bahkan yang hampir saja membunuh suaminya.

Kalau teringat akan ini, sudah sepatutnya kalau ia membunuh pangeran ini. Akan tetapi ia tidak akan membunuhnya, hanya akan memaksanya mengakui semua perbuatannya di depan sang prabu, di depan umum.

Endang Patibroto sama sekall tidak mengira bahwa desas-desus tentang dirinya pada waktu itu lebih hebat lagl.

Berita yang didesas-desuskan oleh Suminten kiranya telah mendahuluinya sampai ke Panjalu! Juga kepergiannya,bahkan ia tidak berada di rumah, telah terdengar sampai ke Panjalu.

Di dalam beberapa hari ini tidak pernah terjadi pembunuhan-pembunuhan mujijat lagi dan hal ini dihubungkan dengan kepergiannya. Setelah ia pergi, tidak ada lagi terjadi pembunu han -pembunuhan. Makin yakinlah hati orang-orang yang tidak menyukainya bahwa dialah biang keladi semua pembunuhan!

Juga Endang Patlbroto sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada saat itu, baris pendem pasukan Panjalu sudah siap menantinyal Para senopati Panjalu telah menerima berita rahasia yang dikirim oleh Raden Sindupati tentang kedatangannya ke Panjalu.

Terutama istana Pangeran Darmokusumo sudah dijaga oleh baris pendem yang sangat banyak dan kuat. Inllah merupakan hasil sebuah di antara siasat Raden Slndupati.

Dengan menyamar sebagai seorang ponggawa Jenggala ia mengirim seorang pembantunya berkuda secepatnya ke Panjalu membawa berita bahwa Endang Patibroto berusaha menyerang dan membunuh Pangeran Darmokusumo! Dan karena memang desas-desus tentang Endang Patibroto sudah santer mempengaruhi orang-orang dan terutama sekali para senopatl Panjalu, maka tanpa memeriksa lebih lanjut lagi para senopati lalu membuat persiapan menyambut kedatangan Endang Patibroto!

Karena memang dibiarkan masuk, dengan mudah Endang Patibroto malam itu meloncat masuk melalui dinding tinggi yang mengelilingi istana Pangeran Darmokusumo. Akan tetapi begitu ia menyelinap ke ruangan depan, terdengar bentakan keras,

“Tangkap pembunuh!” Seketika ia dikurung oleh puluhan orang pengawal bersenjata lengkap. Obor-obor dipasang dan ia segera diserbu!.

Endang Patibroto terkejut sekali. Ia hendak membuka mulut, akan tetapi maklum bahwa percuma saja bicara.

Para pengawal itu tentulah kaki tangan Pangeran Darmokusumo yang entah bagaimana sudah mengetahui kedatangannya.

“Pangeran Darmokusumo, keluarlah kalau kau laki-laki! Jangan mengusahakan rencana pemberontakan dan pembunuhan secara keji dan pengecut!” teriak Endang Patibroto, akan tetapi segala macam senjata sudah mengurung dan menyerangnya.

Terpaksa Endang Patibroto bergerak dan robohlah empat orang pengeroyok! Ia hendak nekat masuk, ingin menangkap Pangeran Darmokusumo, tetapi dari dalam berlompatan keluar lima orang senopati pilihan dari Panjalu dikepalai oleh Ki Patih Suroyudo sendiri! Patih tua ini memegang tombak pusaka dan ia membentak.

“Endang Patibroto, kau benar-benar iblis betina! Kau pembunuh pengecut dan keji, masih berani mengeluarkan kata-kata keji terhadap gusti pangeran?”

“Paman Patih Suroyudo! Dengarlah baik-baik… Bukan aku, tapi Pangeran Darmokusumo yang menjadi biang keladi segala...”

“Tutup mulut, iblis wanita laknat!” Ki Patih Suroyudo sudah menerjang dengan tombaknya, namun sedikit miringkan tubuh, Endang Patibroto sudah mengelak dan sekali tangannya bergerak, ia menangkap tombak dan didorong kuat-kuat ke belakang sehingga tubuh ki patih yang tua itu terhuyung-huyung dan terjengkang roboh. Lima orang senopati berseru marah dan menubruk dengan senjata masing-masing.

“Kalian tidak mau mendengar kata-kataku? Biarkan aku menghadap sang prabu, akan kubuka semua rahasia Pangeran Darmokusumo!” teriaknya, akan tetapi siapa yang sudi mendengar kata-katanya?

Semua orang sudah membencinya, yakin bahwa dialah wanita iblis yang menyebar maut dan kini datang hendak membunuh Pangeran Darmokusumo pula.

Lima orang senopati dengan gerakan lincah mendesak maju.

Endang Patibroto merasa kewalahan juga karena hujan senjata menyerang dirinya. la mengeluarkan pekik melengking saking marahnya dan... Aji Sardulo Bairowo ini membuat lima orang pengawal yang kurang kuat terguling roboh.

Menggunakan kesempatan selagi lima orang senopati itu mundur karena pengaruh Sardulo Bairowo, Endang Patibroto meloncat ke belakang.

Seorang senopati melontarkan tombaknya. Endang Patibroto membuat gerak loncat berjungkir balik, ujung kakinya menyentuh tombak yang terbang menyeleweng dan menembus dada seorang pengawal, pengawal itu menjerit dan roboh tewas, dadanya ditembus tombak.

Geger di pekarangan istana Pangeran Darmokusumo.

Tampak oleh Endang Patibroto kini Pangeran Darmokusumo keluar dari istana berdiri tegak dengan muka marah. Puteri Mayagaluh berdiri di samping suaminya, sebatang keris telanjang di tangan, menjaga keselamatan suaminya. Hampir Endang Patibroto tertawa.

Puteri ini masih cantik, bekas sahabatnya, adik suaminya. Memegang keris, seakan-akan dengan keris itu akan dapat melawannya. Ingin ia terbang menyambar pangeran itu, tapi jaraknya terlampau jauh dan di depannya terlampau banyak pengawal mengeroyoknya. Bahkan sekarang lima orang senopati sudah maju lagi, yang kehilangan tombak sudah memegang tombak baru. Juga Ki Patih Suroyudo sudah maju sambil memberi aba-aba membesarkan hati anak buahnya.

Endang Patibroto menarik napas panjang. Percuma saja menggunakan kekerasan. Tak mungkin ia dapat melawan sekian banyaknya perajurit, belum lagi bila pasukan-pasukan pembantu tiba.

Ia seorang diri, mana mampu menghadapi ratusan bahkan ribuan perajurit Panjalu? Juga tidak baik kalau ia menyebar maut di antara para perajurit ini, yang tidak tahu apa-apa dan yang terkena bujuk Pangeran Darmokusumo si pengkhianat, si pemberontak!

Lebih baik ia pulang, menceritakan terus terang kepada suaminya. Suaminya tentu akan mencari jalan keluar yang baik, mungkin dengan melapor kepada sang prabu di Jenggala.

Ingin rasanya ia menangis saking kecewa hatinya.

Usahanya gagal malah ia dikurung rapat. Ia menjadi marah dan kembali beberapa orang pengeroyok roboh terjungkal. Ia hanya mengandalkan kaki tangan, namun para perajurit itu tidak berdaya. Sekali tangkis tombak patah, pedang golok beterbangan. Sekali tampar biar pun perlahan,pengeroyok-pengeroyok berjatuhan.

Endang Patibroto memekik lagi, hebat sekali pekik Sardulo Bairowo ini. Para pengeroyok terdekat mundur ketakutan, saling tabrak saling tindih, saling himpit. Endang Patibroto meloncat, dan terus berloncatan menggunakan kepala-kepala serta pundak-pundak para pengeroyok sebagai landasan. Akhirnya ia tiba di luar istana.

“Tangkap...! Bunuh...! Kejar...!”

Teriakan-teriakan ini saling sahut dan bertubi-tubi. Mereka mengejar, namun sia-sia saja. Bagai bayangan iblis tubuh Endang Patibroto berkelebat dan senjata-senjata beterbangan lagi. Teriak-teriakan kesakitan terdengar susul-menyusul.

Para pengeroyok banyak yang roboh, membuat yang lain menjadi gentar. Namun Endang Patibroto tidak berniat membunuh mereka, hanya merobohkan mereka dengan tamparan-tamparan sekedar membuat tulang lengan patah dan kepala pening. Kemudian ia segera melompat lagi, merobohkan lagi beberapa belas pengeroyok kemudian lenyap menghilang ditelan malam.

Hujan masih turun rintik-rintik, keadaan gelap pekat namun para perajurit masih sibuk mencari dan mengejar sampai jauh. Suara mereka berisik, mengagetkan para penduduk yang tidak berani keluar dan menjadi penakut sejak terjadinya peristiwa pembunuhan-pembunuhan aneh pada diri para ponggawa selama ini…..

********************

Terengah-engah Endang Patibroto berhenti berlari di dalam hutan, berteduh di bawah sebatang pohon besar. Ia lelah, lelah sekali. Lelah lahir batin,

Sudah sepuluh tahun ia tidak pernah bertanding, maka pertandingan melawan Wiku Kalawlsesa yang sakti, ditambah lagi perjalanan tak kunjung henti ke Panjalu, kemudian pengeroyokan ketat tadi, membuat tubuhnya lelah luar biasa.

Dan sepuluh tahun ia hidup bahagia, aman tenteram di samping suaminya yang tercinta, kini menghadapi pelbagai hal menjengkelkan hati, batinnyapun lelah sekali. Ia bersandar kepada sebatang pohon, dan tak terasa lagi tertidur, biar pun air hujan ada satu dua yang menetes turun ke atas tubuhnya melalui daun-daun pohon yang lebat.

Hatinya diliputi kekhawatiran besar ketika Endang Patibroto melanjutkan perjalanannya, pulang ke Jenggala. Ia dapat membayangkan betapa gelisah hati suaminya yang malam itu ditinggalkan, kemudian sampai hampir dua pekan ia tidak pulang! Namun suaminya pasti akan lebih gelisah lagi kalau sudah mendengar ceritanya tentang pengakuan Wiku Kalawisesa. Siapa kira, Pangeran Darmokusumo. Bedebah!

Hari telah senja ketika ia tiba di pintu gerbang sebelah selatan Kota Raja Jenggala. Tiba-tiba dari arah kiri ia mendengar bunyi burung emprit gantil.

“Tiiiiit-tuiiiiit-tuiiit-tit-tit-tit...”

Tidak mungkin bunyi burung emprit gantil. Itulah suara tanda rahasia yang biasa dipakai para pengawal suaminya! Hatinya berdebar tak enak dan secepat kilat tubuhnya segera berkelebat ke kiri. Keadaan sudah remang-remang, namun ia dapat melihat bergeraknya tubuh orang di selokan dekat sawah.

“Gusti puteri...” Bayangan itu memanggil lirih dan dalam suaranya mengandung rintihan. Ia meloncat dekat. Melihat orang itu merangkak keluar dari selokan.

“Gusti puterl...!”

“Aahhh, engkaukah ini, kakang Sungkono...?”

Endang Patibroto meloncat menghampiri. Orang itu mengeluarkan keluhan lalu menubruk kaki Endang Patibroto. “Aduhhh, gusti puteri...”

“Ada apa, kakang Sungkono? Mengapa kau di sini dan... ehh, kenapa berlumur darah? Engkau terluka, kenapa?” Hati Endang Patibroto bagaikan ditusuk-tusuk pisau, indra ke enamnya bekerja dan ia tahu bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat.

“Gusti puteri... bencana hebat telah menimpa... gusti pangeran ditangkap dengan tuduhan melindungi paduka... dituduh memberontak... karena pembunuhan-pembunuhan itu... karena paduka menyerang istana Pangeran Darmokusumo...!”

Dada Endang Patibroto terguncang, menggelora, kakinya menggigil. Suaminya ditangkap! Akan tetapi ia masih dapat menguasai suaranya yang bertanya mendesak.

“Lalu bagaimana...? Dia dibawa kemana...?”

Ia merasa ngeri mendengar suaranya sendiri, seperti suara orang lain yang asing, suara yang kosong.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar