Pendekar Binal Jilid 45 (Tamat)

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Wajah yang tembem itu tertawa pula, lalu mengkeret ke dalam.

Selang tak lama, kembali muka tembem itu melongok keluar, melihat Siau-hi-ji masih tetap berdiri di situ, dengan tertawa ia mengundang, "Di dalam sini masih ada sedikit nasi, jika kau suka boleh masuk sini dan makanlah."

"Baik, terima kasih," sahut Siau-hi-ji tertawa.

Ia tidak merasa rikuh dan juga tidak merasa sungkan, segera ia masuk ke dalam sana terus makan apa yang disuguhkan padanya, sekaligus ia menghabiskan delapan mangkuk nasi, habis makan ia lantas berbangkit dan mengucapkan terima kasih dengan tertawa.

Muka yang tembem itu terus mengawasi dari samping seakan-akan merasa anak muda ini sangat menarik.

Ketika Siau-hi-ji memberi hormat dan mau pergi, muka tembem itu tertawa dan berkata, "Di sini masih kurang satu tenaga cuci mangkuk piring, jika kau sudi, rasanya setiap hari takkan kekurangan makan bagimu."

Siau-hi-ji berpikir sejenak, jawabnya kemudian dengan tertawa, "Tapi takaranku makan sangat banyak."

"Orang buka rumah makan masakah takut si perut gentong?" ucap si muka tembem.

Tanpa pikir lagi Siau-hi-ji terus meraih ember dan baskom, katanya, "Di mana mangkuk piring yang harus kucuci?"

********************

Esoknya barulah Siau-hi-ji tahu bahwa tempatnya bekerja adalah dapur restoran "Su-hay-jun", sebuah restoran cukup besar. Si muka tembem adalah kokinya, bernama Thio Tiang-kui.

Maka mulailah Siau-hi-ji bekerja sebagai pencuci mangkuk piring, diketahuinya bahwa setiap orang kalau bersembunyi di dapur sebuah restoran, maka siapa pun sukar menemukannya, apa lagi mengenalnya.

Soalnya dapur sesuatu restoran pada hakikatnya ada dunianya tersendiri. Selain Thi Tiang-kui, setiap hari hampir tidak pernah bertemu pula dengan orang lain. Kalau Thio Tiang-kui sudah selesai membuat sesuatu santapan yang dipesan tamu, segera Siau-hi-ji mengantar masakan itu ke mulut sebuah jendela kecil, pelayan yang menunggu di luar akan meneruskan santapan itu kepada tetamu. Bila tiada keperluan khusus, siapa yang mau masuk ke dapur?

Restoran ini tidak begitu laku, tamunya jarang-jarang, maka tidak terlalu malam restoran lantas tutup pintu. Jika sudah menganggur begitu, sering kali Thio Tiang-kui mengajak Siau-hi-ji menemaninya minum arak dan mengobrol iseng.

Meski arak yang diminum tidaklah sedikit, tapi ucapan yang keluar dari mulut Siau-hi-ji pasti tidak lebih dari dua-tiga kalimat alias banyak makan minum dan sedikit bicara.

Pada suatu hari, ketika Thio Tiang-kui bersiap-siap masak, wajan sudah dituangi minyak, tapi mendadak sang koki mules perut, saking tak tahan, cepat ia taruh serok wajan dan lari ke kakus.

Agar tetamu tidak menunggu terlalu lama, tanpa pikir Siau-hi-ji mewakilkan Thio Tiang-kui menggoreng beberapa macam hidangan.

Setelah Thio Tiang-kui kembali dari buang air, ia menjadi rada-rada khawatir kalau menu yang diolah Siau-hi-ji tidak memenuhi selera yang dikehendaki tetamu.

Ia tidak tahu bahwa koki nomor satu di dunia juga berada di Ok-jin-kok, sejak kecil Siau-hi-ji sudah banyak belajar pada koki nomor wahid itu. Anak muda macam Siau-hi-ji, urusan apa tak dapat dipelajarinya?

Tidak lama setelah menu yang diolah Siau-hi-ji dibawa keluar, tiba-tiba pelayan di luar berseru, "Goreng babat dan ayam asam tadi masing-masing tambah satu porsi lagi!"

Dengan sendirinya sekali ini Thio Tiang-kui tidak membiarkan Siau-hi-ji turun tangan lagi, ia sendiri yang mengolah pesanan itu.

Tapi selang sejenak pula, tiba-tiba Pang-lopan, juragan restoran Su-hay-jun itu, masuk ke dapur, katanya dengan melotot, "Siapa yang membuat goreng babat dan ayam asam tadi?!"

Bahwa sang juragan sendiri sampai masuk ke dapur, hal ini sudah membuat hati Thio Tiang-kui kebat-kebit. Terpaksa ia menjawab, "Dengan sendirinya aku yang membuatnya."

"Tidak, rasanya tidak betul, jelas bukan karya tanganmu," kata sang juragan.

Terpaksa Thio Tiang-kui bicara terus terang apa yang terjadi.

Pang-lopan mendekati Siau-hi-ji, dipandangnya dari kanan ke kiri dan dari atas ke bawah sampai sekian lamanya, habis itu mendadak ia mengacungkan ibu jari dan berkata dengan tertawa, "Kagum, sungguh kagum, tidak nyana usia semuda kau ini sudah mahir mengolah santapan sehebat itu, sampai Him-loya juga berteriak memuji kelezatannya, maka mulai saat ini silakan kau yang memegang kunci dapur."

"Ah, mana aku sanggup," ucap Siau-hi-ji.

Perlahan Pang-lopan menepuk bahu Siau-hi-ji, katanya dengan suara halus, "Harap kau bantu, selanjutnya Su-hay-jun harus mengandalkan dirimu."

********************

Orang yang punya kemahiran, bekerja apa pun juga tetap menonjol, seperti sebatang obeng berujung runcing yang tersimpan di dalam karung, mau tak mau ujung itu pasti akan membobol dinding karung.

Setelah Siau-hi-ji diangkat menjadi koki, secara ajaib, restoran Su-hay-jun terus berkembang dengan pesat, tamu-tamu yang bertempat tinggal beratus Li jauhnya juga mendengar bahwa di Su-hay-jun terdapat seorang koki yang mahir.

Pang-lopan mulai memperluas usahanya, ruangan di kanan kiri sudah dibelinya, beberapa ruangan "VIP" telah dibangun dan dengan sendirinya di bagian dapur juga telah bertambah tenaga. Kini Siau-hi-ji cukup main serok wajan saja dan segala apa pun beres.

Malahan waktu dia mengolah santapan, pikirannya tetap pada isi kitab pusaka ilmu silat itu, seperti pemuda yang sedang sakit rindu, siang dan malam ia terus peras otak merenungkan ilmu silat yang pernah dibacanya itu.

Kini, orang lain sama memanggilnya Ji-toasuhu, sang guru besar Ji, dengan sendirinya guru besar dalam bidang memasak.

Apa yang diucapkannya adalah peraturan, dia melarang orang yang tak berkepentingan masuk ke dapur, bahkan sang juragan Pang sendiri tidak berani masuk ke situ.

Tapi pada suatu hari sang juragan toh masuk juga ke sana, dengan bersemangat kegirangan ia berkata kepada Siau-hi-ji dengan tertawa sambil gosok-gosok kedua tangannya, "Ji-laute, hari ini kau harus bekerja lebih tekun. Coba terka, siapakah tamu kita hari ini?"

"Siapa?" tanya Siau-hi-ji tak acuh.

"Tokoh utama, ksatria terbesar di daerah Oh-lam dan Oh-pak sini hari ini ternyata sudi berkunjung kemari, ini berarti suatu kehormatan besar bagiku, bahkan suatu kehormatan bagimu, Ji-laute."

Tergerak hati Siau-hi-ji, segera ia bertanya, "Siapakah beliau?"

Pang-lopan mengacungkan jempolnya dan menjawab, "Thi Bu-siang, Thi-loyacu, orang Kangouw menyebut beliau dengan julukan 'Ay-cay ji-beng' (sayang pada orang berbakat laksana sayang pada jiwa sendiri). Setiap orang di daerah kita ini pasti kenal nama beliau."

"O, begitukah?" ucap Siau-hi-ji, sikapnya tetap acuh tak acuh seakan-akan betapa hebatnya tokoh itu toh tiada sangkut-pautnya dengan dirinya.

Tetapi setelah selesai mengolah makanan, diam-diam ia keluar, untuk pertama kalinya dia keluar dari dapur.

Ketua perserikatan dunia persilatan daerah Oh-lam dan Oh-pak, "Ay-cay-ji-beng" Thi Bu-siang. Nama ini sungguh menarik baginya, dia ingin tahu bagaimana macamnya tokoh yang sayang kepada orang yang berbakat ini hingga orang jahat seperti Li Toa-jui juga dipungutnya menjadi menantu. Bahwa ada seorang tokoh yang berani menyerahkan putri kesayangannya untuk diperistri oleh Li Toa-jui, betapa pun orang begini sangat dikagumi Siau-hi-ji.

Di sebuah ruangan "VIP", ruangan khusus untuk tokoh penting, yang dipajang indah dan teraling-aling oleh pintu angin, dari sela-sela pintu angin itulah Siau-hi-ji mengintip. Dilihatnya seorang kakek berwajah merah bercahaya, berjenggot putih dan berjubah merah, duduk di kursi utama pada meja perjamuan itu.

Meski tersenyum simpul, tampaknya ramah tamah, tapi sikapnya kereng berwibawa, jelas itulah gaya seorang yang biasa memerintah dan berkuasa, sikap demikian ini sukar ditiru oleh orang biasa.

Hanya memandang sekejap saja Siau-hi-ji lantas yakin orang tua inilah pasti Thi Bu-siang adanya.

Di sebelah kanan Thi Bu-siang duduk seorang lelaki setengah baya, bertulang pipi menonjol dan berhidung besar seperti paruh elang. Sorot matanya yang tajam memang mirip mata elang yang jelalatan.

Dan di sebelah kiri Thi Bu-siang ternyata duduk Tio Coan-hay, itu Congpiauthau dari gabungan tujuh belas Piaukiok atau perusahaan pengawalan yang terkenal dengan "Kepalan besi menggetar Kangouw" itu.

Melihat Tio Coan-hay, Siau-hi-ji jadi teringat kepada peristiwa mencari harta karun di gua belakang Go-bi-san dahulu, waktu itu tokoh besar dunia pengawalan ini munduk-munduk dan menyebut Locianpwe padanya dengan sangat menghormat, sikapnya yang lucu itu sungguh menggelikan bila teringat sekarang.

Selain ketiga orang itu, hadir pula pada perjamuan malam ini delapan atau sembilan lelaki gagah kekar dengan pakaian mentereng, tampaknya juga tokoh terkemuka dunia Kangouw.

Cuma ada juga di antara hadirin itu yang menarik perhatian Siau-hi-ji, yakni dua pemuda baju ungu yang berdiri di belakang Thi Bu-siang, usia kedua pemuda ini baru likuran, sikap mereka sangat menghormat terhadap tokoh-tokoh yang hadir dalam perjamuan ini. Tapi bagi pandangan Siau-hi-ji, sekali lihat saja lantas tahu kedua anak muda ini jauh lebih lihai daripada orang-orang yang dijamu itu.

Pemuda baju ungu yang sebelah kiri beralis tebal dan bermata besar, mukanya kehitam-hitaman sehingga menyerupai seekor harimau kumbang, seluruh badannya penuh kekuatan, sekali turun tangan pasti mengejutkan orang.

Sedangkan pemuda baju ungu sebelah kanan bermuka putih bersih, sopan santun, tampaknya seperti anak pelajar dari keluarga terhormat yang lemah lembut, tapi sekilas melirik, segera kelihatan sorot matanya yang tajam.

Kedua anak muda itu memegang poci arak dan mewakilkan Thi Bu-siang menuangkan arak bagi hadirin, agaknya mereka kalau bukan anak keponakan Thi Bu-siang tentu juga muridnya.

Setelah hadirin menghabiskan tiga cawan arak, mendadak Tio Coan-hay berdiri, ia menjura sekeliling kepada hadirin, ia menegak habis dulu isi cawannya, setelah berdehem, lalu berseru, "Hari ini Cayhe memenuhi undangan Thi-locianpwe, sepantasnya Cayhe makan minum hingga mabuk dan kemudian pulang, tapi sebelum mabuk rasanya mau tak mau Cayhe harus mengutarakan beberapa patah kata isi hatiku."

Thi Bu-siang mengelus jenggotnya, katanya dengan tertawa, "Katakan saja, kalau tidak bicara, mana dapat minum arak dengan leluasa."

Lelaki yang bertulang pipi menonjol dan berhidung besar juga berkata, "Tio-congpiauthau ingin bicara sesuatu, sudah tentu Cayhe siap mendengarkan."

Dengan mata melotot Tio Coan-hay lantas berteriak, "Bahwasanya Toan Hap-pui hendak mengirim satu partai barangnya ke Kwan-gwa, untuk ini kami pihak 'Liang-ho-piau-lian' (gabungan perusahaan pengawalan propinsi Holam dan Hopak) telah mengirim utusan untuk berunding dengan Toan Hap-pui, kejadian ini kiranya cukup diketahui oleh kawan-kawan dunia Kangouw."

"Betul, Cayhe juga pernah mendengar berita ini," ucap si lelaki hidung besar dengan tersenyum.

"Jika Le-congpiauthau sudah mengetahui urusan ini, sepantasnya tidak lagi mengirim orang menghubungi Toan Hap-pui dan merampas pekerjaan yang telah diserahkan pada kami," seru Tio Coan-hay dengan bengis. "Sudah lama kudengar 'Heng-san-eng' (elang dari gunung Heng) Le Hong adalah ksatria berbudi dan setia kawan, tak tahunya... hm!"

"Prak", mendadak cawan arak yang digenggamnya teremas hancur.

Heng-san-eng Le Hong si hidung besar, tetap tenang saja, jawabnya dengan tersenyum hambar, "Orang dagang mengutamakan kualitas dan kepercayaan, semua ini tiada sangkut-paut dengan setia kawan dunia Kangouw segala, bahwa Toan Hap-pui lebih suka mendatangi 'Sam-siang-piau-lian', betapa pun kami kan tak dapat menolaknya."

"O, jika begitu, maksudmu 'Liang-ho-piau-lian' kami tak dapat membandingi 'Sam-siang-piau-lian' kalian?!" tanya Tio Coan-hay dengan gusar.

"Cayhe tidak pernah berkata demikian, untuk ini terserah kepada pandangan masing-masing," jawab Le Hong.

Dada Tio Coan-hay tampak berombak menahan gusar, katanya dengan menggereget, "Hm, bagus... bagus sekali...." mendadak ia berpaling ke arah Thi Bu-siang, katanya sambil memberi hormat, "Meski kedatanganku ini atas undangan, tapi Cayhe juga tahu Thi-loyacu mempunyai hubungan erat dengan Sam-siang-piau-lian, karena itu Cayhe tidak bermaksud minta keadilan kepada Thi-loyacu, hanya saja...." mendadak ia gebrak meja, lalu membentak, "Hanya saja Sam-siang-piau-lian sedemikian menghina Liang-ho-piau-lian, betapa pun kami harus menguji kesanggupannya, terutama orang she Le...."

"Memangnya orang she Le kenapa?" jengek Le Hong.

"Boleh kita lihat saja," bentak Tio Coan-hay.

Sekonyong-konyong Thi Bu-siang berbangkit dan terbahak-bahak, katanya sambil angkat cawan, "Tio-laute, marilah kusuguh engkau satu cawan dulu!"

Tanpa pikir Tio Coan-hay angkat cawannya dan menenggaknya hingga kering, katanya, "Maksud Thi-loyacu...."

"Ucapan Tio-laute memang tidak salah," potong Thi Bu-sing dengan tertawa, "turun temurun Lohu (aku yang tua) bertempat tinggal di sini, setiap orang persilatan di wilayah Sam-siang boleh dikatakan mempunyai hubungan erat dengan diriku, kalau dihitung Le Hong juga masih murid keponakanku. Jika demikian, kalau sekarang Tio-laute sampai pergi dengan menanggung dendam, kukira percumalah selama berpuluh tahun aku berkecimpung di dunia Kangouw."

Air muka Tio Coan-hay tampak rada berubah, ia menegas, "Jadi maksud Thi-loyacu...."

"Masakan kau belum paham maksudku?" teriak Thi Bu-siang.

Tanpa terasa Tio Coan-hay meraba goloknya, empat lelaki di sebelahnya juga serentak berbangkit. Sebaliknya Le Hong menyeringai saja, sorot matanya setajam sembilu menatap lawan.

"Apakah maksud Thi-loyacu hendak menahan diriku di sini?" tanya Tio Coan-hay kemudian dengan sekata demi sekata.

Thi Bu-siang tergelak-gelak, katanya, "Betul, memang hendak kutahan kau di sini untuk mendengarkan beberapa patah kataku." Mendadak ia menarik muka, sorot matanya beralih ke arah Le Hong, lalu berkata dengan suara berat, "Jika aku menghendaki menyerahkan pekerjaanmu itu kepada Liang-ho-piau-lian, lalu bagaimana pikiranmu?"

Seketika air muka Le Hong berubah hebat, jawabnya dengan tergagap, "Ini... ini...."

"Tidak perlu ini dan itu, aku tidak ingin memaksa kehendakmu," ucap Thi Bu-siang. "Urusan ini sudah kuselidiki dengan jelas dan memang kesalahan berada pada pihakmu, sekarang kalau kau mau menerima usulku, maka sebagai imbalannya akan kuserahkan kebun teh milikku di Heng-san itu sebagai milik perusahaan Sam-siang-piau-lian. Sebagai sesama orang Kangouw, hendaklah lebih mengutamakan rasa setia kawan, untuk ini harus kau camkan lebih jauh."

Le Hong terdiam sejenak, kemudian menghela napas, katanya sambil tunduk kepala, "Ucapan Loyacu mana berani Tecu membantahnya, cuma kebun teh itu adalah sisa harta benda Loyacu yang tinggal sedikit itu, Tecu mana berani menerimanya...."

Thi Bu-siang tertawa, katanya, "Asalkan kau tidak melupakan setia kawan sesama kaum persilatan dan tidak membuat anak murid golongan kita dicaci maki orang, maka sedikit harta milik itu apa artinya bagiku?!"

Tio Coan-hay juga terdiam sekian lamanya, air mukanya tampak merasa malu diri, katanya kemudian sambil menunduk, "Thi-loyacu ternyata berbudi luhur, sebaliknya Tecu... Tecu sungguh merasa malu, biarlah pekerjaan ini tetap diurus saja oleh Sam-siang-piau-lian."

"Ah, Cayhe mana berani," ujar Le Hong sambil tertawa. "Pekerjaan ini sudah diterima lebih dulu oleh Liang-ho-piau-lian, dengan sendirinya kami harus mengundurkan diri. Jika Tio-congpiauthau masih merendah diri, tentu kami akan semakin tidak enak hati."

Kalau tadi dua orang bertengkar dan ngotot memperebutkan rezeki yang bakal diterima, sekarang mereka justru saling mengalah dengan rendah hati.

Diam-diam Siau-hi-ji juga terharu menyaksikan semua itu di luar, pikirnya, "Hebat benar Thi Bu-siang dan tidak malu sebagai tokoh pimpinan dunia persilatan, bukan saja suatu persengketaan sengit dan hampir mengakibatkan adu nyawa itu dapat dibuyarkan, bahkan kedua orang yang saling ngotot itu dapat diakurkan hingga saling mengalah."

"Jika kalian berdua sama-sama mengalah, maka bolehlah pekerjaan itu dilakukan bersama oleh Liang-ho dan Sam-siang, dengan demikian kedua pihak jadi sama-sama bergembira," ucapan Thi Bu-siang dengan tertawa.

Serentak semua orang bertepuk tangan menyatakan setuju. Maka suatu persengketaan segera berubah menjadi damai dan Siau-hi-ji pun hendak tinggal pergi.

Tak tahunya pada saat itu juga Tio Coan-hay yang sedang angkat cawan dan mengajak minum bersama Le Hong sebagai tanda berkawan, sekonyong-konyong mukanya berkerut kejang, tangan juga gemetar sehingga arak dalam cawannya muncrat membasahi tubuhnya.

Belum lagi selesai dari berbasa-basi, tiba-tiba kakinya seperti menginjak bara, dia melonjak dan terdengarlah suara gemuruh, mangkuk piring di atas meja sama tersapu jatuh, menyusul Tio Coan-hay sendiri juga lantas roboh terjungkal.

Seketika perjamuan itu menjadi kacau-balau, empat lelaki kekar pengiring Tio Coan-hay itu ada yang menjerit kaget, ada yang memburu maju hendak membangunkan sang pemimpin, tapi segera mereka pun menjerit kaget, "He, celaka, Cong... Congpiauthau keracunan!"

Seketika air muka Thi Bu-siang juga berubah, teriaknya bingung, "Ken... kenapa jadi begini?"

"Kenapa jadi begini? Pertanyaan ini harus diajukan padamu?!" teriak salah seorang pengiring Tio Coan-hay itu.

Le Hong menggebrak meja dengan gusar, teriaknya, "Apa maksudmu? Hidangan dan arak yang dia makan juga sama-sama kami makan, masakah...."

Belum habis ucapannya, mendadak ia pun kejang seperti Tio Coan-hay tadi, tiba-tiba ia pun melonjak ke atas, lalu jatuh terkapar, rupanya ia pun keracunan serupa Tio Coan-hay.

Keruan semua orang tambah bingung dan ketakutan, setiap orang sama khawatir kalau diri mereka pun ikut keracunan, sebab semuanya juga makan minum hidangan di atas meja itu.

Jika demikian, lalu siapakah yang menaruh racunnya?

Bahwa Le Hong juga keracunan, dengan sendirinya bukan dia yang menaruh racun andaikan dia hendak membinasakan Tio Coan-hay. Thi Bu-siang juga tidak, habis siapakah yang menaruh racun jika bukan kedua pihak yang bersengketa itu?

Biasanya pihak penonton adalah yang paling jelas mengikuti sesuatu, tapi sekarang Siau-hi-ji juga bingung dan tidak tahu mengapa bisa terjadi begitu?

Di tengah keributan itu tiba-tiba Siau-hi-ji melihat si pemuda bermuka pucat berbaju ungu itu diam-diam mengeluyur keluar. Cepat Siau-hi-ji juga menyelinap kembali ke dapur.

Sementara itu orang-orang di bagian dapur juga ikut gempar dan sama keluar ingin tahu apa yang terjadi sehingga tiada orang lain di situ. Baru saja Siau-hi-ji sampai di dapur, tahu-tahu pemuda baju ungu itu pun menyusup ke sana. Padahal di luar sedang terjadi keributan, untuk apa dia masuk ke dapur malah?

Cepat Siau-hi-ji berjongkok pura-pura sedang menambah kayu bakar di tungku.

Pada hakikatnya pemuda baju ungu itu tidak memperhatikan Siau-hi-ji. Maklumlah, tokoh persilatan seperti itu mana bisa menaruh perhatian terhadap seorang koki yang tiada artinya itu.

Dengan tergesa-gesa pemuda baju ungu itu menyusup ke pintu belakang dapur, terdengar dia berseru dengan suara tertahan, "Awan buyar...."

"Angin meniup!" demikian seorang menyahut di luar pintu.

Sekilas Siau-hi-ji melirik, dilihatnya pemuda muka pucat itu sedang mundur ke dalam dapur, berbareng itu sesosok bayangan menerobos masuk, orang ini berpakaian hitam mulus, pakai kedok hitam pula, dengan suara serak bertanya, "Berhasil tidak?"

"Berhasil!" jawab si pemuda muka pucat.

"Bagus!" kata si baju hitam.

Total jenderal ucapan orang berkedok hanya tiga kalimat saja, tapi kata-katanya cukup menggetarkan hati Siau-hi-ji. Ia merasa sudah kenal betul dengan suara orang ini. Maka dia sengaja menunduk lebih rendah sehingga kepalanya seakan-akan hendak dimasukkan ke lubang tungku.

Namun begitu si baju hitam tetap melihat kehadirannya di situ, dengan suara tertahan ia tanya kawannya, "Siapa dia?"

"Hanya seorang koki," jawab si pemuda muka pucat.

"Tidak boleh dibiarkan!" kata si baju hitam.

Serentak kedua orang menubruk maju bersama, si baju hitam menutuk Sin-ki-hiat di punggung Siau-hi-ji, Hiat-to ini termasuk salah satu Hiat-to mematikan di tubuh manusia.

Tapi Siau-hi-ji sama sekali tidak menghindar, hanya diam-diam ia mengerahkan tenaga murni, titik Hiat-to itu mendadak ia geser sedikit ke samping, yang digunakan adalah "Ih-hiat-tay-hoat", ilmu mukjizat memindahkan tempat Hiat-to, ilmu yang paling tinggi dalam ilmu silat. Walau pun belum sempurna dilatihnya, tapi sudah jauh daripada cukup bagi Siau-hi-ji untuk menghadapi keadaan begini.

Dengan tepat tutukan si baju hitam mengenai sasarannya, tertampak jelas Siau-hi-ji roboh tanpa bersuara, ia yakin orang pasti binasa. Maka sambil mendengus ia mengomel, "Siapa suruh kau berdiam di sini, kau sendiri yang cari mampus, bukan salahku!"

"Cara bagaimana matinya saja dia tidak tahu, mana koki tolol ini dapat menyalahkanmu?" ujar si pemuda muka pucat dengan tertawa.

"Jaga dirimu dengan baik agar tidak dikenal orang," kata si baju hitam dengan suara tertahan.

"Ya, aku tahu," jawab si pemuda muka pucat.

"Lekas keluar sana, jangan sampai menimbulkan curiga orang," pesan pula si baju hitam.

Pemuda muka pucat mengiakan. Segera ia lari kembali ke ruangan depan. Sudah tentu mereka tidak menyangka seorang koki ternyata memiliki ilmu silat mukjizat, mereka mengira apa yang telah dilakukannya pasti di luar tahu siapa pun juga, maka "mayat" Siau-hi-ji sama sekali tidak diliriknya mana pula diperhatikan.

Siau-hi-ji masih mendekam di lantai tanpa bergerak dan berlagak mati, tapi pikirannya terus bekerja merenungkan semua peristiwa yang dilihatnya ini.

Yang paling menarik baginya adalah suara si baju hitam tadi, rasanya mirip benar dengan suara Kang Giok-long. Apa bila orang itu benar Kang Giok-long adanya, lalu apa hubungannya anak murid Thi Bu-siang dengan Giok-long? Muslihat keji apa pula yang sedang mereka kerjakan?

Segera teringat pula oleh Siau-hi-ji apa yang dilihatnya di kamar rahasia Kang Piat-ho tempo hari, antara lain ditemukannya botol-botol kecil racun yang sukar dicari yang tersimpan dalam "kotak buku" itu.

Walau pun waktu itu cuma melihatnya sepintas lalu saja, tapi setiap malam racun di botol-botol kecil itu tidak pernah terhindar dari pandangannya, sampai kini dia masih ingat dengan jelas racun-racun itu antara, lain terdiri "Siau-hun-san" (puyer penghapus sukma), "Bi-jin-lui" (air mata si cantik), "San-hui-cui" (air pembuyar sukma), "Swat-pek-cing" (air salju pencabut nyawa) dan macam-macam lagi.

"Swat-pek-cing!" seru Siau-hi-ji tanpa terasa sambil melonjak, "Ya, betul, pasti inilah racunnya! Dari keadaan Tio Coan-hay setelah keracunan itu, bukankah kulit dagingnya kejang mirip orang kaku terbeku?"

Segera ia merobek serbet dan menuliskan resep dengan arang di atas serbet itu. Anak yang dibesarkan di Ok-jin-kok memang serba tahu dan banyak pengetahuannya. Sedikitnya ia pasti tahu cara bagaimana menawarkan macam-macam racun di dunia ini.

Racun, benda ini bagi pandangan anak yang dibesarkan di Ok-jin-kok adalah jamak dan sederhana seperti gula pasir saja.

Sementara itu air muka Tio Coan-hay dan Le Hong sudah berubah menjadi warna kelabu aneh, tubuh mereka yang semula gemetar kejang kini sudah tak dapat bergerak lagi.

Tubuh orang lain juga sama gemetar, entah ketakutan kalau-kalau dirinya keracunan, apa lagi sukar diketahui bilakah kadar racunnya baru mulai bekerja. Mereka menjadi kebat-kebit seperti orang hukuman yang tunggu keputusan hakim, duduk tidak enak, lari juga tidak berani. Soalnya mereka pun tahu bila mana mereka lari, maka racun akan bekerja terlebih cepat.

Wajah tersenyum simpul Thi Bu-siang tadi kini pun sudah lenyap, dia hanya mondar-mandir kian kemari sambil gosok-gosok tangan, tokoh Kangouw yang pernah malang melintang selama berpuluh tahun kini pun kehilangan akal.

Tiba-tiba Thi Bu-siang menengadah dan menghela napas panjang, gumamnya, "Racun apakah ini? Siapakah gerangan yang menaruh racun?!"

Dalam pada itu pemuda baju ungu bermuka pucat tadi sudah berdiri pula di belakang Thi Bu-siang, tiba-tiba ia berkata, "Jangan-jangan orang di restoran ini...?."

"Jika dalam hidangan ditaruh racun, justru aku yang paling banyak makan minum, tentu racun akan bekerja lebih cepat dan keras, apa lagi restoran sekecil ini mana ada racun selihai ini?" ucap Thi Bu-siang.

"Betul," tukas si pemuda bermata besar dan alis tebal. "Racun ini tanpa bau tak berwarna, sampai engkau orang tua juga tak dapat melihatnya...."

"Menurut pendapatku, racun ini pasti bukan berasal dari negeri sini, kalau tidak, mustahil selama berpuluh tahun aku berkecimpung di dunia Kangouw tak dapat mengenalnya? Rasanya kalau tidak salah dugaanku, racun ini mungkin...."

"Dugaanmu memang tidak salah!" tiba-tiba seseorang menyambung sebelum habis ucapan Thi Bu-siang. "Racun ini memang bukan berasal dari negeri sini melainkan 'Swat-pek-cing' dari Thian-san."

Di tengah suaranya, mendadak seorang melayang lewat pintu angin, ketika tubuh terapung di udara, tahu-tahu sepotong barang dilempar sambil berseru, "Resep yang tertulis di atas kain itu dapat menawarkan racun Swat-pek-cing, lekas dibelikan di toko obat, tentu dapat tertolong."

Ucapannya sangat cepat, gerak tubuhnya terlebih cepat lagi, baru setengah ucapannya bayangannya sudah tak kelihatan lagi sehingga dua kalimat terakhir itu berkumandang dari kejauhan.

Keruan semua orang menjadi panik, ingin mengejar juga tidak keburu lagi.

"Cepat amat gerak tubuhnya!" puji Thi Bu-siang dan serentak ia pun menangkap benda yang dilemparkan oleh orang itu. Dilihatnya memang betul sepotong serbet yang berlepotan minyak, di atas kain serbet itu memang betul tertulis resep obat yang aneh.

"Swat-pek-cing!" Thi Bu-siang bergumam setelah membaca resep itu."Kiranya memang betul Swat-pek-cing... masakah aku sendiri tak dapat menerkanya?!"

Seketika semua orang merasa girang dan berseru, "Jika demikian Congpiauthau kan dapat tertolong!"

Si pemuda muka pucat tadi tampaknya rada kikuk, tiba-tiba ia mendengus, "Hm, bukan mustahil ini pun tipu muslihat orang jahat itu."

Ada seorang di antaranya coba memegang tangan Tio Coan-hay, lalu katanya, "Betul, keparat itu pasti sengaja hendak mencelakai orang lain. Biasanya orang yang terkena Swat-pek-cing akan mati kaku kedinginan, tapi... tapi tubuh orang she Tio ini ternyata panas seperti dibakar."

Thi Bu-siang menanggapi, "Apakah kau tahu bahwa orang yang mati beku, sebelum ajalnya justru tidak merasa dingin, sebaliknya malah terasa panas seperti dibakar. Perasaan demikian kalau tidak mengalami sendiri tentu sukar dipercaya oleh siapa pun juga."

"Engkau orang tua dari mana pula mengetahuinya?" tiba-tiba si pemuda baju ungu bermuka pucat bertanya.

"Soalnya aku sendiri juga mengalami dan hampir mati beku," jawab Thi Bu-siang dengan tenang.

Pemuda baju ungu itu lantas menunduk dan tidak berani bicara lagi. Namun matanya tetap melirik ke arah serbet yang tertulis resep obat itu.

Sementara itu Siau-hi-ji sudah berada, di luar kota. Dengan sendirinya ia menyadari restoran Su-hay-jun itu bukan lagi tempat sembunyinya yang baik, namun ia pun tidak ingin memperlihatkan diri, ia hendak menunggu lagi. Ia ingin menunggu pada saat yang tepat, sekali muncul pasti akan menggemparkan dunia Kangouw. Dengan begitu supaya orang lain akan tahu Kang Hi, Kang Siau-hi-ji sesungguhnya orang macam apa!

Tapi sekarang ia tetap tidak ingin ikut campur urusan orang lain, sekali pun diketahui peristiwa ajaib di Su-hay-jun itu pasti akan menjadi teka-teki yang menggemparkan dunia Kangouw. Sebab ia tahu dengan tenaganya sendiri sekarang belum cukup kuat untuk mengurus kejadian itu, malahan bukan mustahil jiwa sendiri yang akan melayang malah.

Jika demikian, lalu dia harus ke mana sekarang?

Begitulah tanpa tujuan dia terus melangkah ke depan, tetap dalam keadaan dekil dan rudin. Tapi kini, baik pikiran maupun ilmu silatnya sudah jauh berbeda daripada masa sebelumnya.

Pahlawan tiada tara, ksatria sejati, akhirnya akan lahir.....!

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar