Pendekar Binal Jilid 42

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Sampai sekian lama Siau-hi-ji tertegun, tiba-tiba ia bergelak tertawa dan berkata, "Ya, sudah jelas-jelas kutahu Kang Piat-ho seorang tokoh mahalihai, mengapa aku tetap menilai rendah dia?"

"Memangnya itu pun menggelikan?" jengek Kang Giok-long. "Menurut pendapatku, saat ini seharusnya kau menangis."

"Karena ingin menangis tapi tak dapat menangis, dengan sendirinya aku cuma tertawa saja," jawab Siau-hi-ji.

Pada saat itu pula terlihat Kang Piat-ho melangkah masuk dengan perlahan, katanya dengan suara halus dan mengulum senyum, "Kau telah menemukan rahasia yang mahapenting itu, seharusnya kau dapat kabur cepat-cepat, tapi kau ternyata tidak mau lari, sebaliknya malah kembali ke sini seperti tidak pernah terjadi apa-apa, sungguh nyalimu mahabesar dan sangat mengejutkan."

"Sudah jelas-jelas kau mengetahui rahasiamu telah kuketahui, tetapi tetap kau nantikan kembaliku ke sini seperti tidak pernah terjadi apa-apa dan membiarkan aku membelenggu pula diriku sendiri.... Ai, kau benar-benar tokoh yang mahalihai," demikian jawab Siau-hi-ji.

"Kau masih muda belia, tapi dapat menipu aku dan ternyata mampu menemukan rahasiaku, sungguh hal ini tak pernah kubayangkan, aku benar-benar kagum padamu," ucap Kang Piat-ho.

"Kau dapat membuat semua orang percaya penuh padamu sebagai seorang ksatria sejati, seorang pahlawan yang berbudi dan baik hati, setiap orang sama menghormati dan segan padamu, sungguh kau tidak malu disebut sebagai pentolan pada jaman ini," jawab Siau-hi-ji pula.

Begitulah gayung bersambut dan kata berjawab, kedua orang ternyata sama-sama tajam dan saling menyanjung pihak lain. Jika ada orang awam yang menyaksikan dan mendengar percakapan mereka tentu tiada seorang pun yang dapat menerka apa sebenarnya isi hati mereka.

"Sebenarnya aku sangat sayang pada kecerdasan dan kepintaranmu," ujar Kang Piat-ho dengan gegetun. "Tapi mengapa kau justru menjadi lawanku? Jika kau sudah mengetahui rahasiaku itu, biar pun aku sayang padamu juga terpaksa harus kukorbankan."

"Sesungguhnya aku pun sangat sayang kepada kepintaran dan kecerdikanmu, aku suka menyaksikan usahamu dapat berhasil dengan baik, tapi mengapa kau sengaja membuat peta pusaka sialan itu sehingga aku pun tertipu olehmu?"

Mendadak air muka Kang Piat-ho berubah, serunya, "Dari mana kau tahu peta pusaka itu ada sangkut-pautnya dengan diriku?"

"Jika bukan lantaran peta harta pusaka itu, mana bisa aku datang ke sini dan mana bisa pula kuselidiki rahasiamu dengan susah payah? Padahal kalau kau tidak merecoki diriku, tentu aku tidak ambil pusing akan segala macam rahasiamu."

Kang Piat-ho memandang Giok-long sekejap, lalu bertanya pula kepada Siau-hi-ji, "Sejak kapan kau mengetahui?"

"Waktu kulihat putra kesayanganmu ini membawa sehelai peta wasiat, aku lantas tanya dia peta ini diperoleh dari mana," tutur Siau-hi-ji. "Menurut ceritanya, katanya dia dapat mencuri peta ini dari kamarmu. Tatkala mana lantas terpikir olehku mengapa peta wasiat yang bernilai dan penting begini sembarangan kau taruh saja di kamar tulis? Sejak itulah aku lantas menaruh curiga."

"Curigamu memang beralasan," ujar Kang Piat-ho.

"Kemudian kudengar pula cerita orang lain bahwa ayah dari putra kesayangan ini adalah seorang pendekar besar di jaman ini, maka terpikir pula olehku bahwa seyogianya naga beranak naga dan harimau beranak harimau, mengapa seorang pendekar besar dapat mengeluarkan anak yang begini rendah dan tidak tahu malu?"

"Ehm, makianmu juga cukup beralasan," kata Kang Piat-ho dengan tersenyum.

"Lalu ketemulah aku dengan kau dan ikut ke sini," ucap Siau-hi-ji pula. "Kulihat seorang pendekar besar ternyata rela berdiam di tempat beginian bahkan bekerja sendiri dan cuma dibantu seorang kakek reyot bisu-tuli. Aku menarik kesimpulan, kalau orang ini bukan nabi pastilah seorang yang mahajahat dan mahaculas. Sebab di dunia hanya dua macam manusia ini saja yang sanggup berbuat demikian."

"Dengan sendirinya aku tidak terlalu mirip nabi," kata Kang Piat-ho dengan tertawa.

"Makanya aku lantas bertekad ingin menyelidiki rahasiamu," sambung Siau-hi-ji.

"Kau sungguh teramat sangat pintar, tapi sungguh itu pun merupakan kemalanganmu," kata Kang Piat-ho dengan gegetun.

"Seorang kalau dilahirkan menjadi orang pintar rasanya juga tak dapat menolak dan terpaksa harus terserah pada nasib," ujar Siau-hi-ji.

"Betul, dalam hal ini aku sependapat denganmu," Kang Piat-ho mengangguk.

"Bila mana aku lebih tua sedikit, mungkin aku dapat belajar berlagak bodoh."

"Cuma sayang kau takkan dapat belajar lagi untuk selamanya," ucap Kang Piat-ho.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya kemudian, "Kukira, mungkin sekarang kau akan turun tangan membunuh diriku."

Kang Piat-ho tersenyum, jawabnya, "Selamanya aku tidak tega turun tangan membunuh orang."

"O, jika begitu akan kau pakai cara keji apa pula?" tanya Siau-hi-ji.

Setelah merenung sejenak, lalu Kang Piat-ho berkata dengan tertawa, "Tahukah bahwa semalam bukan cuma kau satu-satunya orang yang hendak mencelakaiku?"

"O, siapa pula yang ingin mencelakaimu?" tanya Siau-hi-ji.

"Semalam sudah ada orang yang berkunjung ke kamarku, lebih dulu dia meniupkan dupa pembius, lalu mendongkel daun jendela, jelas tujuannya hendak membunuhku. Cuma sayang semalam aku tidak tidur di rumah."

"Betul, semalam kita masih di tengah perjalanan dan bermalam di hotel," tukas Siau-hi-ji. "Tapi dari mana engkau mengetahui kamarmu pernah dikunjungi orang?"

"Waktu pulang tadi, di dalam kamarku masih ada sisa bau obat bius, di ambang jendela juga ada bekas telapak kaki," tutur Kang Piat-ho dengan tertawa. "Makanya aku dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang ingin membunuhku semalam itu bukan jagoan yang ulung."

"Jika dia sudah ulung, tentu malam ini dia takkan datang lagi," kata Siau-hi-ji.

"Betul, lantaran dia tidak ulung, maka malam nanti dia masih akan datang lagi," tukas Kang Piat-ho

"Maka kau menghendaki malam nanti kutidur di kamarmu untuk mewakilkanmu dibunuh orang, dengan begitu jiwaku pasti akan amblas, kesempatan mana dapat pula kau gunakan untuk menangkap orang itu, dan bila kau bunuh orang itu dapat kau tonjolkan alasanmu sebagai membalaskan sakit hatiku. Kalau hal ini diketahui orang lain, bisa jadi kau akan dipuji pula sebagai ksatria yang berbudi luhur dan setia kawan."

"Hahaha, bicara dengan anak pintar seperti kau ini sungguh sangat menyenangkan. Pada hakikatnya aku tidak perlu bicara dan semua isi hatiku sudah kau ketahui."

"Aku lebih suka tidak mengetahui apa pun," ucap Siau-hi-ji sambil menghela napas.

Dan benar juga, Siau-hi-ji lantas digusur ke kamar tidur Kang Piat-ho dan dibaringkan di tempat tidurnya.

Siau-hi-ji sendiri pula yang membuka kunci "belenggu cinta" itu, tapi begitu belenggu terbuka, seketika beberapa Hiat-to penting di tubuhnya ditutuk oleh Kang Piat-ho.

Sekarang anak muda itu sudah telentang di tempat tidur, matanya terbelalak memandangi langit-langit kamar. Saking kesalnya ia sengaja tidak mau memikirkan apa-apa, untuk melupakan segalanya ia sengaja berhitung, menghitung biri-biri, seekor, dua ekor, tiga, empat, lima....

Dengan berhitung begitu ia berharap dapat tertidur, kalau sudah tidur nyenyak, maka dia tidak perlu merisaukan akan hidup atau mati. Ia terus berhitung dan hitung terus, tapi meski dia sudah hitung sampai biri-biri yang kedelapan ribu enam ratus lima puluh tujuh, matanya ternyata masih terbelalak lebar.

Karena menghitung biri-biri, tanpa terasa dia lantas teringat kepada si Tho Hoa, terkenang olehnya wajah si Tho Hoa yang kemerah-merahan seperti kulit apel itu, karena itu pula segera ia pun teringat pada Thi Sim-lan.

Selama ini dia tidak tahu bahwa daya pikir renteng manusia umumnya ternyata begini aneh, semakin tidak ingin memikirkan seseorang, bayangan orang itu justru timbul dalam benakmu.

"Di manakah Thi Sim-lan saat ini? Mungkin sedang asyik mengobrol dengan Bu-koat Kongcu yang sopan dan cakap itu. Akan tetapi aku sendiri berada di sini lagi menanti ajal."

Begitulah Siau-hi-ji coba memejamkan mata sebisanya agar tidak memikirkan Thi Sim-lan, tapi bayangan nona itu justru seperti timbul di depan matanya dengan pakaiannya yang putih dan berdiri di bawah cahaya mentari yang gemilang.

Itulah adegan untuk pertama kalinya ia lihat Thi Sim-lan. Jika tiada Thi Sim-lan, tentu ia takkan melihat "peta wasiat" sialan itu, dan kalau bukan lantaran "peta wasiat" itu, mana bisa ia datang ke sini?

Ia berusaha menghitung biri-biri lagi... 8658... 8659... tapi kepala biri-biri seluruhnya seolah-olah berubah menjadi wajah Thi Sim-lan yang cantik.

Sekonyong-konyong terdengar suara keresek perlahan di luar jendela, menyusul sayup-sayup lantas terendus bau harum tersebar di dalam kamar.

Segera Siau-hi-ji menahan napas, pikirnya, "Ini dia, akhirnya datang juga. Perhitungan Kang Piat-ho ternyata sangat tepat. Ai, sebuah jariku saja tak dapat bergerak, apa gunanya pula menahan napas?"

Karena berbaring tak bisa berkutik, terpaksa Siau-hi-ji hanya dapat mengintip dengan mata setengah terpejam.

Tertampak daun jendela terbuka dengan perlahan, habis itu sesosok bayangan orang lantas menyelinap masuk.

Orang ini memakai pakaian hitam ketat, tangan memegang sebilah golok tipis gemilapan, gerak-geriknya sangat enteng dan gesit, tampaknya nyalinya juga tidak kecil.

Cahaya golok yang gemerlapan itu sekilas menerangi wajah penyatron itu, kebetulan Siau-hi-ji dapat melihat mukanya, seketika ia melongo kaget.

Penyatron berbaju hitam yang bernyali besar itu ternyata bukan lain daripada Thi Sim-lan.

Siau-hi-ji menjadi ragu-ragu pada matanya sendiri, jangan-jangan pandangannya yang kabur? Di dunia ini mana ada kejadian begini kebetulan?

Akan tetapi penglihatannya jelas tidak salah, penyatron ini memang betul Thi Sim-lan adanya.

Begitu menyelinap masuk kamar, setelah melihat di tempat tidur ada orang berbaring di situ, tanpa memandang lebih cermat lagi segera Thi Sim-lan menubruk maju, golok terangkat terus membacok kepala yang berada di atas bantal.

Karena tak dapat bergerak dan juga tak mampu bersuara, Siau-hi-ji menjadi cemas dan pedih dan entah apa pula rasanya. Sungguh sukar dipercaya bahwa dia harus mati di tangan Thi Sim-lan, apakah bukan takdir sengaja berkelakar dengan dia?

Kang Piat-ho dan Kang Giok-long pada saat itu berada di luar pintu dan sedang mengintip segala kejadian yang sedang berlangsung, asalkan golok si nona sudah dibacokkan, seketika mereka akan menerjang masuk... dan tampaknya bacokan Thi Sim-lan sudah dilakukan dan kepala Siau-hi-ji pasti segera akan berpisah dengan tubuhnya.

Di luar dugaan, pada detik yang menentukan itulah sekonyong-konyong terdengar suara "krek" satu kali, golok yang sudah diangkat tinggi-tinggi oleh Thi Sim-lan dan akan dibacokkan itu mendadak patah menjadi dua secara gaib.

Keruan Kang Piat-ho dan Kang Giok-long sama-sama terkejut, "Siapakah yang memiliki kelihaian sehebat ini?" pikir mereka.

Thi Sim-lan juga tidak kurang kagetnya, wajahnya menjadi pucat, ia menyurut mundur beberapa langkah, tampaknya hendak putar haluan dan melarikan diri.

Pada saat itulah dari luar jendela lantas melayang masuk sesosok bayangan manusia, begitu enteng dan cepat laksana daun tertiup angin saja.

Di bawah kerlipan sinar bintang yang remang-remang tertampak orang ini memakai baju panjang warna putih, wajahnya tersenyum sopan dan ramah, dipandang dalam keadaan remang-remang tampaknya seperti malaikat dewata yang baru turun dari kayangan, begitu memesona daya tarik orang ini sehingga sukar dilukiskan dari mana timbulnya daya tariknya yang luar biasa itu.

Kang Piat-ho juga terpengaruh oleh daya tarik orang yang gagah dan anggun itu, seketika ia tertegun. Tak teringat olehnya di dunia persilatan ada seorang tokoh muda sehebat ini.

Tapi sekali pandang saja Siau-hi-ji lantas mengenali pendatang ini dan hampir saja ia jatuh kelengar.

Dengan sendirinya pemuda ini bukan lain dari pada model manusia yang paling sempurna, yakni Hoa Bu-koat alias Bu-koat Kongcu, sesuai dengan namanya, Bu-koat memang berarti tanpa cacat.

Tanpa terasa Thi Sim-lan menyurut mundur lagi dua tindak, dengan suara serak ia berkata, "Kiranya engkau? Meng... mengapa engkau datang...?"

"Ya, aku," sahut Bu-koat Kongcu tersenyum. "Sejak kemarin kau mencari 'Ngo-ko-bi-hun-hiang' (dupa pembius sampai pagi), aku lantas merasa curiga akan tindak tandukmu. Karena itulah selama dua hari ini senantiasa kukuntit kau secara diam-diam."

Thi Sim-lan membanting-banting kaki, katanya dengan mendongkol, "Untuk apa engkau menguntit diriku, kenapa kau rintangi aku membunuh dia?"

"Setiap orang Kangouw sama bilang 'Kang-lam-tayhiap' adalah seorang ksatria yang berbudi luhur, andaikan kau merasa marah padanya kan juga tidak perlu membunuh dia begini saja?" ujar Bu-koat Kongcu dengan suara halus.

"Tapi... apakah kau tahu bahwa... bahwa ayahku telah... telah dibunuh olehnya?" seru Sim-lan dengan suara gemetar.

Pada saat itulah Kang Piat-ho lantas mendorong pintu dan melangkah masuk dengan wajah penuh rasa kejut dan heran, ia berlagak bingung terhadap apa yang dikatakan Thi Sim-lan itu. Ia memberi hormat, lalu bertanya dengan tertawa, "Siapakah kedua saudara muda ini? Selama hidupku rasanya tidak pernah sembarangan membunuh orang yang tak berdosa, dari mana pula Cayhe dapat dituduh membunuh ayah nona? Barangkali terjadi salah paham nona terhadap diriku?"

Mata Thi Sim-lan menjadi merah basah, teriaknya dengan gusar, "Jelas-jelas ayahku meninggalkan tanda rahasia dan memberitahukan padaku bahwa dia datang ke sini mencari kau. Tapi setiba di sini beliau tak pernah keluar lagi dan itu berarti beliau masih berada di sini, kalau orangnya tidak ada itu berarti telah kau bunuh beliau."

"Nona ini siapa...." tanya Kang Piat-ho.

"Aku she Thi, ayahku adalah 'Ong-say' Thi Cian," jawab Sim-lan dengan suara keras.

"O, kiranya nona Thi," ucap Kang Piat-ho tertawa, "Tapi Cayhe sanggup menjamin dengan nama baikku bahwa Thi-losiansing benar-benar tidak pernah datang ke sini. Coba saja nona pikir dengan seksama, apa bila benar Cayhe telah membunuh Thi-losiansing, betapa besar peristiwa luar biasa ini, umpama Cayhe hendak merahasiakannya rasanya juga sukar mengelabui orang Kangouw yang tidak kurang daripada tokoh-tokoh yang berhidung tajam. Apa lagi kalau betul kubunuh Thi-losiansing, rasanya Cayhe juga tidak perlu merahasiakannya."

Apa yang diucapkan Kang Piat-ho ini memang cukup beralasan dan masuk di akal. Harus maklum bahwa "Ong-say" Thi Cian, si Singa gila, adalah satu di antara kesepuluh top penjahat Cap-toa-ok-jin yang terkenal itu.

Bahwa orang-orang Kangouw banyak yang ingin membunuh Thi Cian dan kawanan Cap-toa-ok-jin itu dapatlah dimengerti pula. Maka kalau ada orang berhasil membunuhnya, bukan saja hal ini akan menggemparkan dan menggembirakan dunia Kangouw, bahkan setiap orang Kangouw pasti juga akan memberi pujian. Jadi kalau betul terjadi hal yang menggembirakan orang-orang Kangouw itu, mustahil kalau sengaja dirahasiakannya malah. Maka apa yang diucapkan Kang Piat-ho itu walau pun juga bernada menyindir, tapi juga masuk di akal.

Dasar watak Thi Sim-lan juga seperti ayahnya, yaitu berangasan dan pemberang, meski kedatangannya ini adalah untuk menuntut balas dan bila perlu mengadu jiwa, tapi sesungguhnya apakah ayahnya memang mati terbunuh di sini atau tidak, pada hakikatnya ia sendiri pun tidak tahu dengan pasti.

Begitulah Kang Piat-ho lantas berpaling dan memberi hormat kepada Bu-koat Kongcu, katanya dengan tertawa, "Kongcu benar-benar mutiaranya dunia Kangouw, sudah berpuluh tahun Cayhe berkecimpung di kalangan persilatan, tapi selama itu belum pernah melihat tokoh muda seperti Kongcu ini. Kalau tidak keberatan, bolehkah Cayhe mengetahui nama dan she Kongcu yang terhormat?"

Dengan tersenyum Bu-koat Kongcu menjawab, "Cayhe Hoa Bu-koat dan Tuan....

"Cayhe Kang Piat-ho adanya," sahut Kang Piat-ho sambil menghormat pula.

Seketika Thi Sim-lan melonjak kaget, teriaknya, "He, jadi engkau ini Kang Piat-ho, lalu siapa pula yang meringkuk di tempat tidur itu?"

Diam-diam Kang Piat-ho tertawa geli akan watak Thi Sim-lan yang ceroboh itu, tampaknya saja nona ini lemah lembut, tapi tindak tanduknya ternyata keras dan ceroboh, masa sejak tadi baru sekarang ditanyakannya siapa yang meringkuk di tempat tidur itu?

Tiba-tiba timbul suatu pikiran dalam benaknya, segera ia mendekati tempat tidur dan menepuk perlahan bahu Siau-hi-ji, lalu menjawab, "Anak ini adalah putra mendiang sahabatku yang berbudi, ia datang dari tempat jauh, maka Cayhe menyilakan dia tidur di kamarku ini. Eh, keponakan yang baik, lekas bangun dan menemui Hoa-kongcu."

Berbareng dengan gerakan tangannya, serentak ia membuka Hiat-to di tubuh Siau-hi-ji yang ditutuknya, tapi segera pula tangannya menekan perlahan di bagian Hiat-to mematikan untuk berjaga-jaga bila Siau-hi-ji berani mengucapkan sesuatu yang tidak menguntungkan dia, maka sekali tangannya menyalurkan tenaga segera anak muda itu tak dapat bicara lebih lanjut lagi alias jiwa akan melayang.

"Orang muda memang suka tidur dengan nyenyak, buat apa tuan membangunkan dia," ujar Bu-koat Kongcu dengan tertawa.

Sebagian kepala Siau-hi-ji terbenam di bantal, mendadak ia berkata, "Aku sudah mendusin sejak tadi, cuma aku malas bicara dengan mereka."

Kang Piat-ho mengernyitkan kening, omelnya, "He, mana boleh kau bersikap tidak sopan begini?"

"Siapakah gerangannya di dunia Kangouw ini yang tidak kenal engkau orang tua adalah ksatria yang berbudi luhur dan baik hati," demikian ucap Siau-hi-ji. "Tapi mereka justru menuduh engkau telah sembarangan membunuh orang. Manusia yang tidak bijaksana dan tidak dapat membedakan antara yang salah dan yang benar, untuk apa kubicara dengan dia."

Semula Kang Piat-ho mengira dalam keadaan terancam, paling-paling Siau-hi-ji hanya akan tegur sapa sekadarnya saja. Siapa tahu anak muda itu berbalik bersuara membelanya, hal ini sungguh-sungguh tak pernah terpikir olehnya.

Dengan sendirinya Kang Piat-ho tidak tahu bahwa saat ini orang yang paling ditakuti Siau-hi-ji bukanlah dia melainkan si Bu-koat Kongcu yang cakap itu.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Thi Sim-lan bersuara, "He, kau... kau...." ia pandang Bu-koat Kongcu sekejap dan mendadak tersenyum, lalu menyambung dengan suara lembut, "O, kalau... kalau engkau memang tidak membunuh ayahku, ya sudahlah, marilah kita pergi saja."

Kang Piat-ho jadi melengak, ia heran mengapa nona ceroboh ini bisa berubah menjadi begini lembut dalam waktu sesingkat ini.

Sudah tentu baik Kang Piat-ho maupun Bu-koat Kongcu tidak mengetahui bahwa meski Siau-hi-ji berbicara dengan suara yang dibikin serak, tapi Thi Sim-lan adalah nona yang pernah bergaul sekian lama dengan anak muda itu, bahkan nona muda itu sudah jatuh cinta padanya, siang dan malam anak muda itu senantiasa terkenang olehnya. Dengan sendirinya dia dapat mengenali suara Siau-hi-ji biar pun anak muda itu sengaja mengubah suaranya sedemikian rupa.

Karena itulah dengan terkejut dan bergirang ia bersuara hendak menegur, tapi segera teringat olehnya apa bila Bu-koat Kongcu mengetahui orang yang meringkuk di tempat tidur itu adalah Siau-hi-ji, maka pasti anak muda itu akan dibunuhnya.

Sebab itulah lekas-lekas ia mengajak Hoa Bu-koat pergi saja.

Hubungan dan sangkut-paut antara beberapa orang ini benar-benar sangat ruwet, betapa pun pintar dan cerdiknya Kang Piat-ho juga seketika tidak dapat memahami seluk-beluknya. Ia hanya tertawa saja dan berkata, "Kebetulan Hoa-kongcu berkunjung kemari, mana boleh pergi lagi secara terburu-buru begini?"

Hoa Bu-koat tertawa, jawabnya, "Cayhe juga sudah lama mengagumi nama Kang-lam-tayhiap dan ingin minta petunjuk, cuma...."

Diam-diam Siau-hi-ji bersyukur ketika melihat Hoa Bu-koat hendak pergi, tapi sekarang mendadak didengarnya ucapan Bu-koat Kongcu itu bernada tidak jadi berangkat, saking gugupnya ia lantas berseru pula, "Bila kau benar-benar ingin menemui paman Kang, sepantasnya kau tunggu sampai esok pagi baru berkunjung pula ke sini. Sekarang tengah malam buta kau masuk melalui jendela, mana sopan santunmu sebagai seorang ksatria?"

Air muka Hoa Bu-koat berubah merah padam, bentaknya mendadak, "Siapa kau sebenarnya?"

Cepat Thi Sim-lan menarik tangan Hoa Bu-koat dan berseru, "Peduli siapa dia, lekas kita pergi saja."

Dengan setengah paksa ia seret Hoa Bu-koat keluar jendela, baru saja ia menghela napas lega, sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, Hoa Bu-koat sudah menghilang. Waktu ia menoleh, anak muda itu ternyata sudah berada pula di depan pembaringan Siau-hi-ji.

Hampir seluruh kepala Siau-hi-ji dibenamkan ke dalam bantal, diam-diam ia memaki diri sendiri yang goblok.

Melihat Hoa Bu-koat sudah pergi mendadak kembali lagi, tentu saja Kang Piat-ho juga melongo bingung.

Tertampak Hoa Bu-koat menarik muka dengan prihatin, lalu bertanya dengan sekata demi sekata, "Apakah orang ini Kang Hi adanya?"

Kang Piat-ho melengak, jawabnya sambil menyengir, "Hehe, apakah... apakah Hoa-kongcu kenal akan keponakanku yang baik ini?"

Hoa Bu-koat menghela napas panjang, lalu berkata dengan berseri, "Hah, bagus, bagus sekali, kau ternyata tidak mati."

Melihat anak muda itu sangat gembira, sama sekali tak diduganya bahwa yang digembirakannya adalah lantaran Ho Bu-koat merasa sekarang dapat membunuh Siau-hi-ji dengan tangannya sendiri, ia malahan mengira anak muda itu adalah sahabat karib Siau-hi-ji, maka dengan tertawa ia menjelaskan, "Dengan sendirinya dia tidak mati, andaikan ada orang hendak membunuhnya juga Cayhe takkan mengizinkan."

"Kau tidak mengizinkan?" Hoa Bu-koat menegas dengan tak acuh.

Melihat sikap orang yang rada aneh itu, diam-diam Kang Piat-ho merasa heran.

Pada saat itulah tahu-tahu Siau-hi-ji telah melompat bangun dan sembunyi di belakang Kang Piat-ho dan mencibir pada Hoa Bu-koat, katanya dengan tertawa, "Nah, kau dengar sendiri, barang siapa ingin membunuh keponakan baik 'Kang-lam-tayhiap', maka dia sama saja sedang bermimpi."

"Selamanya Cayhe sangat kagum dan hormat pada Kang-tayhiap, tapi apa pun juga Cayhe juga harus membunuh orang ini dan tiada pilihan lain," ucap Hoa Bu-koat dengan tenang.

Kembali Kang Piat-ho melengak, serunya, "Kau... kau ingin membunuhnya?"

"Ya, mau tak mau Cayhe harus membunuhnya," ucap Hoa Bu-koat dengan menyesal.

Kang Piat-ho memandang Hoa Bu-koat, lalu memandang Siau-hi-ji sekejap, diam-diam ia mengeluh, "Wah, celaka, akhirnya aku tetap tertipu oleh akal licik setan cilik ini."

Maklumlah, sekali dia sudah bicara, sesuai nama baik dan kedudukannya, betapa pun ia tidak dapat tinggal diam dan membiarkan sang "keponakan" sendiri dibunuh orang lain di depan hidungnya.

Melihat sikap Kang Piat-ho yang serba salah itu, sungguh Siau-hi-ji gembira setengah mati, tapi di mulut dia sengaja bicara dengan menyesal, "Paman Kang, kukira jangan ikut campur dan biarkan dia membunuhku saja. Ilmu silat orang ini sangat tinggi, bagaimanapun engkau juga bukan tandingannya, jika engkau tidak ikut campur, orang Kangouw pasti juga takkan mencemoohkan dirimu."

Siau-hi-ji sengaja menandaskan kata-kata "mencemoohkan dirimu" dengan suara keras, sebab ia tahu bila Kang Piat-ho tinggal diam saja dan membiarkan Hoa Bo-koat membunuhnya, maka sebutan "Kang-lam-tayhiap" yang diperolehnya dengan susah payah itu seketika akan terhanyut dan tidak laku sepeser pun.

Tentu saja Kang Piat-ho tahu maksud tujuan Siau-hi-ji, sungguh perutnya hampir meledak saking gemasnya, tapi lahirnya dia tetap tenang-tenang saja dan tersenyum, katanya, "Apakah Hoa-kongcu benar-benar hendak bikin susah Cayhe?"

"Sebaiknya engkau menimbang lagi lebih masak," ucap Hoa Bu-koat dengan suara berat. "Jika begitu terpaksa Cayhe...."

Belum habis ucapan Kang Piat-Ho, tiba-tiba Kang Giok-long menerobos masuk sambil memegangi perut sendiri, mukanya pucat pasi, tubuh gemetar.

"Arak... arak yang dia bawa itu beracun!" demikian seru Giok-long sambil menuding Siau-hi-ji dengan suara terputus-putus.

Seketika air muka Kang Piat-ho juga berubah, ia berpaling dan melototi Siau-hi-ji, bentaknya dengan bengis, "Kami ayah beranak menerima kau dengan baik, mengapa... mengapa kau hendak mencelakai kami malah? Pantas kau sendiri tidak... tidak minum barang setetes pun, kiranya arakmu itu ber... beracun!"

Perubahan ini bukan saja di luar dugaan Hoa Bu-koat, bahkan Siau-hi-ji juga melenggong.

Tapi segera ia paham duduknya perkara, diam-diam ia memaki di dalam hati, "Keparat, licin dan keji amat muslihatmu ini...."

Akal bulus Kang Giok-long itu memang lihai, suasana seketika berubah sama sekali, sampai-sampai Kang Piat-ho pun tidak perlu merintangi lagi apa bila Hoa Bu-koat hendak membinasakan Siau-hi-ji, sebab sekarang mereka sudah berdiri dalam satu pihak, sama-sama hendak membunuh Siau-hi-ji.

Begitulah Kang Piat-ho mendadak melolos pedang pusakanya dan mendamprat, "Kuanggap kau seperti anak sendiri, tak tersangka demi mengincar pedang pusaka ini hendak kau racuni aku... kau manusia berhati binatang yang tidak tahu budi kebaikan, jika... jika kau dibiarkan hidup, entah betapa banyak orang yang akan menjadi korban kejahatanmu. Demi kesejahteraan keluarga, demi ketenteraman dunia Kangouw, terpaksa harus kubinasakanmu." Habis berkata, sekali bergerak, kontan pedangnya terus menusuk ke dada Siau-hi-ji.

Di luar dugaan, baru saja ia melancarkan serangan, tahu-tahu Hoa Bu-koat melompat maju dan memegang tangan Kang Piat-ho dengan perlahan.

Kembali Kang Piat-ho terkejut oleh kegesitan anak muda yang cakap ini di samping juga heran, ia tidak mengerti mengapa Hoa Bu-koat mendadak berbalik merintanginya, bukankah Hoa Bu-koat sendiri juga bertekad hendak membunuh Siau-hi-ji?

"Hoa-Kongcu, ken... kenapa kau...." tanyanya dengan bingung.

"O, maaf," sahut Hoa Bu-koat."Soalnya aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri."

Mendadak terdengar Kang Giok-long menjerit, berbareng tubuhnya lantas terkulai.

Segera Kang Piat-ho juga memegangi perut dan merintih, katanya dengan tersenyum pedih, "Jika... jika begitu, silakan kau turun tangan, Cayhe...." belum habis bicara, ia terhuyung-huyung dan "bluk", ia jatuh tertunduk di kursinya.

Hoa Bu-koat menghela napas, ia mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dan diberikan kepada Kang Piat-ho sambil berkata, "Ini dua jenis obat, Siau-cu-hiang (dupa dewi) dan Soh-li-tan (pil gadis suci), yang satu dibakar dan dicium baunya, yang lain diminum, kedua macam obat ini sekaligus dapat menawarkan segala macam racun di kolong langit ini. Harap engkau memakainya sendiri, maaf, Cayhe tak dapat berdiam lebih lama di sini."

Meski Hoa Bu-koat sudah bertindak dan sudah bicara dengan orang lain, namun sinar matanya tanpa berkedip selalu mengincar ke arah Siau-hi-ji. Maklumlah, dia sudah pernah diakali dan merasakan kelicikan akal bulus Siau-hi-ji sehingga anak muda itu dapat lolos. Keledai sekali pun takkan terperosot untuk kedua kalinya di tempat yang sama, begitu pula Hoa Bu-Koat tidak ingin mengulangi kejadian tempo hari, tatkala mana Siau-hi-ji dapat kabur, maka sekali ini dia tak berani lengah sedikit pun.

Rupanya Siau-hi-ji juga menyadari sekali ini dirinya jangan harap akan dapat meloloskan diri, maka sekalian ia lantas melipat kaki dan duduk bersila di atas ranjang. Dengan tertawa ia pandang Hoa Bu-koat, katanya, "Bahwa aku tidak jadi mati terbunuh, untuk ini aku harus mengucapkan selamat padamu."

"Betul, bahwa kau tidak sampai mati dibunuh orang, sungguh beruntung bagiku," sahut Bu-koat tertawa.

"Bila orang lain mendengar percakapan kita, mungkin mereka akan mengira kau ini biniku yang menyamar sebagai lelaki. Kalau tidak, masa aku tidak jadi mati kok malah mengucapkan selamat padamu."

Hoa Bu-koat tidak jadi marah, ia tertawa tak acuh, jawabnya, "Nanti kalau kau sudah mati kubunuh, tentu mereka akan tahu bahwa dugaan mereka salah sama sekali."

“Memangnya kau yakin sekali ini pasti dapat membunuh diriku?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar