Pendekar Binal Jilid 40

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Tentu saja Siau-hi-ji tambah heran dan bingung, jawabnya berkedip, "Ya, betul aku."

Salah seorang berwajah putih dan berjenggot jarang-jarang lantas berteriak, "He, pelayan, lekas sediakan meja perjamuan, kami akan menyambut kedatangan Kang-siauhiap ini."

Seketika Hoa Sik-hiang dan kawan-kawannya sama melenggong seperti orang linglung.

Kini dapat diketahui Siau-hi-ji bahwa si muka putih berjenggot jarang-jarang ini adalah Giok-bin-boan-koan, ayah Hoa Sik-hiang. Selain itu Kui-eng-cu Ho Bu-siang dan Kim-say-cu Li Tik juga hadir semua, tokoh-tokoh persilatan terkemuka di kota ini ternyata tiada seorang pun yang absen.

Maka Siau-hi-ji sendirian dapatlah menghabiskan satu porsi penuh ham masak saus manis, akhirnya ia tertawa geli dan berkata, "Anak-anak menganggap diriku seperti kentut, bapaknya munduk-munduk dan menjamu aku dengan hormat, sebenarnya apa sebabnya, dapatkah kalian menjelaskannya?"

"Jika anak-anak kurang sopan padamu, mohon Kang-siauhiap memberi maaf," ucap Giok-bin-boan-koan.

Siau-hi-ji memandang Kang Giok-long yang melenggong di sampingnya itu, katanya dengan tertawa, "Ah, tidak menjadi soal bagiku, cuma kalian...."

Kui-eng-cu Ho Bu-siang yang tinggi kurus dan berwajah hitam itu menanggapi, "Atas permintaan seorang Bu-lim-cianpwe (angkatan tua kalangan persilatan) kami selaku tuan rumah di sini disuruh melayani Kang-siauhiap sebaik-baiknya, Bu-lim-cianpwe ini sangat terhormat dan disegani...."

"Siapa dia sebenarnya?" tanya Siau-hi-ji.

"Masa Kang-siauhiap sendiri tidak tahu?" jawab Giok-bin-boan-koan.

"Aku cuma tahu dia punya satu hidung, dua mata dan sepasang telinga."

Giok-bin-boan-koan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tertawa, "Cianpwe itu menyuruh kami menjaga rahasia, tentunya lantaran beliau tidak mengharapkan balas jasa dari Kang-siauhiap."

"Jangan khawatir, selamanya aku memang tidak kenal balas segala, kalau balas dendam sih tak pernah lupa," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Tapi kalau sulit juga untuk balas dendam, terkadang kuanggap beres begitu saja!"

"Kalau setiap orang Kangouw memiliki jiwa besar seperti Kang-siauhiap, sungguh bahagialah dunia persilatan kita," kata Giok-bin-boan-koan.

"Dan sekarang dapatkah kau katakan siapa gerangan beliau?" tanya Siau-hi-ji.

"Ketua Go-bi-pay, Sin-sik Totiang," jawab Giok-bin-boan-koan dengan perlahan dan jelas.

"Kiranya dia," tukas Siau-hi-ji. "Sepanjang jalan dia telah banyak membantuku, kiranya dia tidak melupakan diriku." Lalu ia tepuk tangan Kang Giok-long dan menambahkan, "Kau pun tidak menduganya bukan?"

"Ya," sahut Giok-long kaku.

"Hebat, sungguh hebat, ketua Go-bi-pay yang terhormat dan disegani ternyata sudi menjadi pengawalku," seru Siau-hi-ji sambil tertawa.

Teka-teki yang tak terjawab kini telah dipecahkan, segera Siau-hi-ji makan minum sepuas-puasnya. Dengan tersenyum Giok-bin-boan-koan dan kawan-kawannya memandangi tanpa ikut makan.

Setelah kenyang bersantap, akhirnya Siau-hi-ji menaruh sumpitnya dan meraba perutnya, katanya dengan tertawa, "O, perutku sayang, sudah lunas rasanya utangku padamu."

"Apakah Kang-siauhiap sudah cukup dahar?" tanya Giok-bin-boan-koan.

"Wah, hampir saja perutku meletus," jawab Siau-hi-ji.

"Perlukah menambah makanan kecil atau buah-buahan?" tanya Giok-bin-boan-koan.

"Aku sih kepingin, tapi perut tidak muat lagi," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Jika begitu, rasanya permintaan Sin-sik Totiang sudah kami tunaikan dengan baik dan kewajiban kami sebagai tuan rumah juga terpenuhi," ucap Giok-bin-boan-koan dengan tersenyum.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, tanyanya, "Di dalam ucapanmu rasanya seperti ada ucapan pula...?."

Sekonyong-konyong Giok-bin-boan-koan berbangkit lalu berkata dengan perlahan, "Silakan saudara membuka daun jendela dan memandang ke sana."

Waktu Siau-hi-ji melakukan apa yang dikatakan itu, tertampaklah bagian jalan raya di bawah sudah tiada penerangan lampu serta orang berlalu pula, sebaliknya ada berpuluh lelaki dengan dandanan ringkas telah mengepung rapat restoran itu.

Baru sekarang Siau-hi-ji menyadari bahwa di atas loteng sekarang juga tiada tetamu lain pula, hanya pelayan saja yang berdiri di dekat tangga sana dan tampaknya gemetar ketakutan.

"Apa-apaan ini?" tanya Siau-hi-ji kemudian.

"Karena permintaan Sin-sik Totiang, maka kami sudah memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah," kata Giok-bin-boan-koan dengan ketus. "Tapi ada seorang lain lagi yang minta kami mengambil kepalamu, coba bagaimana menurut pendapatmu?"

"Haha, sungguh bahagia kepalaku ini juga dimaui orang," kata Siau-hi-ji dengan tergelak. "Tapi siapa pula orang yang menghendaki kepalaku itu? Betapa pun juga harus kau beritahu bukan?"

"Cukup asalkan kau tahu dia berhidung satu dan bermata dua, begitu saja," jengek Giok-bin-boan-koan.

Waktu Siau-hi-ji berpaling, dilihatnya Kang Giok-long dan lain-lain sama mengunjuk rasa girang, sedangkan Kui-eng-cu dan lain-lain tampak prihatin dan penuh nafsu membunuh. Mereka sudah mengepungnya, pada hakikatnya Siau-hi-ji tiada kesempatan buat meloloskan diri, sekali dia bergerak bisa jadi akan terjadi banjir darah. Apa lagi sebelah tangannya masih terbelenggu bersama tangan Kang Giok-long, betapa pun ia tak dapat kabur.

Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya sambil menyengir, "Tampaknya terpaksa harus kuserahkan kepalaku padamu.... Hah, satu porsi ham masak saus manis bertukar dengan kepalaku, sungguh terlalu murah."

"Sret", mendadak Kim-say-cu Li Tik melolos goloknya dan membentak, "Nah, apakah kau menunggu kami bertindak padamu?"

"Tidak perlu," seru Siau-hi-ji dengan tertawa. "Hanya ingin kuketahui apakah golokmu ini cukup tajam atau tidak? Jika sekali tebas dapat memenggal kepalaku, maka ingin kupinjam sebentar."

"Baik, mengingat ketenanganmu menghadapi ajal masih sanggup tertawa, biarlah kupinjamkan golok ini padamu," kata Li Tik dengan tergelak, "plok", mendadak ia sambitkan goloknya hingga menancap di atas meja.

Perlahan-lahan Siau-hi-ji menjulurkan tangannya untuk memegang tangkai golok, berpasang sorot mata yang jauh lebih dingin daripada cahaya golok itu sama mengikuti gerak tangannya itu.

Sambil menatap tajam Siau-hi-ji, mendadak Giok-bin-boan-koan mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang Boan-koan-pit, potlot baja. Perlahan-lahan Giok-bin-boan-koan mengelus senjatanya, begitu halus caranya mengelus hingga seperti jejaka yang sedang membelai sang kekasih.

Diam-diam Siau-hi-ji sangsi, jarinya sudah menempel tangkai golok, tapi tidak lantas dicabutnya.

"Ayolah cabut, kenapa tidak kau cabut golok itu dan bacokkan padaku atau orang lain atau palangkan mata golok di kuduk Giok-long untuk memaksa kami membebaskanmu?!" kata Gion-bin-boan-koan dengan terbahak-bahak. Lalu ia menyambung, "Yang jelas kau takkan membunuh diri, betul tidak?"

Tangan Siau-hi-ji sudah memegang tangkai golok dan tetap diam saja. Ia merasa tangannya menjadi dingin, bahkan berkeringat.

"Kutahu kau tak berani mencabut golok itu, sebab kalau kau cabut berarti akan mempercepat kematianmu," kata Gion-bin-boan-koan. "Mengingat kau orang pintar, biarlah kubikin kau mati cepat saja. Nah, pergilah kau!"

Habis berkata, sekali bergerak segera potlot bajanya menutuk ke Thian-tut-hiat di tenggorokan Siau-hi-ji.

Thian-tut-hiat adalah salah satu Hiat-to mematikan di tubuh manusia, asal kena pukul atau tertendang saja juga sukar tertolong, apa lagi sekarang ditutuk dengan Boan-koan-pit seorang ahli. Sudah berulang kali Siau-hi-ji mengalami petaka dan tidak mati, siapa tahu sekarang dia harus menemui ajalnya di sini.

Dalam keadaan tidak berdaya, Siau-hi-ji menyaksikan ujung potlot baja yang runcing itu sudah dekat di lehernya. Ia menjadi malas untuk berkelit, sebab ia tahu tiada gunanya mengelak, serangan pertama dapat dihindarkan tentu serangan kedua akan menyusul dan akhirnya juga sukar menyelamatkan diri. Kalau akhirnya toh harus mati, apa salahnya kalau mati secara cepat dan enak saja.

Tak terduga, ketika ujung potlot baja sudah hampir menutul tenggorokannya itulah mendadak terdengar suara "tring", sebuah cawan arak menyambar tiba dari luar jendela dan dengan tepat mengatup di ujung Boan-koan-pit.

Padahal betapa kuat tenaga tutukan potlot baja itu, cawan arak juga benda yang mudah pecah. Tapi anehnya cawan yang menyambar tiba dari tempat jauh itu dengan tepat menyangkol pada ujung potlot tanpa pecah. Sebaliknya tangan Giok-bin-boan-koan malah kesemutan tergetar. Keruan ia kaget dan cepat melompat mundur sambil membentak, "Siapa itu?"

Di bawah remang-remang sinar bulan sabit tertampaklah di atas papan merek toko kain sutera di seberang jalan sana menongkrong satu orang. Rambut orang itu semrawut, dada baju terbuka, tangan memegang buli-buli besar dan sedang menenggak araknya dengan nafsu, karena sebagian besar wajahnya teraling buli-buli, maka tidak terlihat jelas siapakah dia.

Akan tetapi sekali lirik saja Siau-hi-ji lantas mengenali orang itu, diam-diam ia membatin, "Munculnya orang itu tentu akan menimbulkan banyak tontonan menarik."

Dalam pada itu Giok-bin-boan-koan telah menyendal potlot bajanya tadi, kontan cawan arak yang menyangkol di ujung potlot itu menyambar balik ke sana dan langsung mengincar dada orang aneh itu. Ia percaya dengan tenaganya yang lihai itu, biar siapa pun juga asal terkena cawan arak itu pasti tubuhnya akan bertambah satu lubang.

Maka terdengarlah suara "tring" pula, dengan tepat cawan arak itu menghantam tubuh orang itu, cawan itu pun pecah berantakan, tapi tampaknya orang itu seperti tidak merasakan apa-apa.

Tentu saja Giok-bin-boan-koan terkesiap, Hoa Sik-hiang, Pek Leng-siau dan lain-lain serentak melolos senjata.

Tanpa terlihat bergerak, tahu-tahu tubuh Kui-eng-cu Ho Bu-siang melayang ke sana. Ginkangnya terkenal nomor satu di daerah Kang-lam, gerakannya itu memang cepat luar biasa dan lain daripada yang lain. Selagi tubuh masih terapung di udara, sekaligus tangannya bergerak, berpuluh bintik perak sudah lantas menyambar ke depan.

Orang yang menongkrong di sana itu tertawa terbahak-bahak, sekonyong-konyong satu jalur perak tersembur dari mulutnya, kontan senjata rahasia yang dihamburkan Kui-eng-cu itu tersampuk balik, cahaya perak itu bahkan menyambar pula di tubuh Kui-eng-cu.

Jagoan yang terkenal Ginkangnya nomor satu itu ternyata tidak mampu menahan jalur perak itu, kontan dia terpental balik terlebih cepat daripada melayangnya ke depan tadi, melayang masuk dari jendela terus melintasi meja dan "bluk", akhirnya tertumbuk di dinding.

Dan baru sekarang jalur perak itu muncrat berhamburan, seketika semua orang mengendus bau arak. Kiranya yang tersembur dari mulut orang itu hanyalah arak yang ditenggaknya.

Melulu semburan arak saja dapat membikin Kui-eng-cu mencelat balik, keruan semua orang melongo kaget. Pek Leng-siau, Hoa Sik-hiang dan lain-lain yang belum berpengalaman tidak tahu tebalnya bumi dan tingginya langit, segera mereka putar senjata terus hendak menerjang ke sana.

Tapi mendadak terasa sesuatu benda menyambar tiba, menyusul lantas terdengar "plak-plok" beberapa kali, tahu-tahu senjata di tangan Pek Leng-siau dan lain-lain tak kelihatan lagi, masing-masing meraba pipi sendiri yang merah bengap. Rupanya dalam sekejap itu mereka masing-masing telah kena ditempeleng satu kali.

Waktu mereka mengawasi, ternyata orang yang menongkrong di atas papan merek di seberang jalan tadi entah sejak kapan sudah duduk di kursi yang semula diduduki Kui-eng-cu, tangan kirinya memegang buli-buli arak, sedangkan tangan kanan menggenggam berbagai senjata milik Pek Leng-siau dan kawan-kawannya.

Muka Kang Giok-long seketika pucat pasi demi mengenali siapa orang ini.

Mendadak orang itu menggebrak meja dengan senjata-senjata yang digenggamnya itu sambil membentak, "Anak kura-kura, melihat Locu sudah datang, kenapa tidak lekas menyediakan santapan!?"

Giok-bin-boan-koan menyadari kepandaian orang aneh ini sangat tinggi, betapa pun sukar dilawan. Ia khawatir Li Tik dan lain-lain bertindak sembrono, maka ia cepat tampil ke depan, tanyanya dengan meringis, "Numpang tanya siapakah nama saudara yang terhormat? Mengapa pula engkau memukul orang tanpa sebab?"

Orang itu mendelik, jawabnya dengan ketus, "Memangnya siapa saudaramu? Kau ini kutu busuk apa?"

Sedapatnya Giok-bin-boan-koan bersabar, dengan muka keruh ia menjawab, "Cayhe Siau Cu-jun, orang Kangouw menyebutku Giok-bin-boan-koan."

"Giok-bin-boan-koan? Hahahaha!" orang itu bergelak tertawa. "Gemilang juga julukanmu, tapi apakah kau sesuai?"

Sembari tertawa segenggam senjata rampasannya terus disodorkan kepada Siau Cu-jun. Dalam kagetnya tanpa terasa Giok-bin-boan-koan Siau Cu-jun terus mengulur tangan untuk menyambut berbagai senjata itu, tapi sebaliknya Boan-koan-pit sendiri tahu-tahu sudah berpindah ke tangan lawan.

Orang itu menaruh buli-buli araknya di meja, tahu-tahu sepasang Boan-koan-pit yang dipegangnya itu patah menjadi empat dan dibuang ke lantai.

Meski Siau Cu-jun sangat sayang pada senjatanya itu, tapi melihat betapa hebat tenaga orang, terpaksa ia hanya menggereget saja tanpa berani bertindak apa-apa.

Kim-say-cu Li Tik belum pernah merasakan pil pahit, disangkanya senjata Siau Cu-jun tidak berguna, maka segera ia hendak melabrak orang. Untung Kang Giok-long keburu menjawilnya dan membisikinya.

Seketika air muka Li Tik menjadi pucat, serunya dengan tergagap, "Eng... engkau inikah 'Ok-tu-kui' Han-wan Sam-kong!?"

Memang tidak salah, orang aneh ini ialah Ok-tu-kui, si setan judi alias "Ketemu orang lantas ajak bertaruh".

Ok-tu-kui tidak menjawab, ia hanya mendengus, golok yang menancap di meja itu dicabutnya terus dibalik membacok sebuah meja kecil di samping. Meja itu adalah tempat taruh tatakan lilin dan lilin yang besar masih menyala.

Bacokan Ok-tu-kui itu tepat membelah lilin besar itu terus menurun menabas tatak lilin dan meja kecil itu. Mendadak api lilin terpisah menjadi dua dengan perlahan, menyusul tatak lilin dan meja kecil itu pun menjadi dua dan ambruk ke samping.

Ketika Ok-tu-kui mengayun tangannya, "crat", kontan golok yang dipegangnya mencelat ke atas dan menancap di belandar rumah, maka rontoklah debu kotoran bertebaran.

Habis itu, tanpa pedulikan siapa pun juga Ok-tu-kui lantas duduk pula dan berteriak, "Anak kura-kura, melihat Locu datang, kenapa tidak menyiapkan santapan?"

Meski ucapannya ini persis seperti apa yang dikatakannya tadi, tapi bobotnya kini sudah lain bagi pendengaran mereka, tiada seorang pun yang berani lagi menghinanya.

Cepat Li Tik menggebrak meja dan berteriak, "He, pelayan, melihat Locu datang, kenapa tidak lekas menyiapkan santapan?"

Dasar kerja tukang kawal biasanya memang suka mengikuti setiap kehendak sang cukong, maka sekarang ia pun dapat mengikuti arah angin.

Sudah tentu si pelayan ketakutan, cepat ia mengiakan terus lari ke dapur. Hanya sebentar saja berbagai macam masakan telah dihidangkan. Siau Cu-jun dan Li Tik lantas berebut hendak melayani Ok-tu-kui.

Tapi Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong lantas mendelik, dampratnya, "Siapa minta dilayani kalian? Kecuali bocah she Kang di depanku ini, kalian semua menyingkir jauh ke sana" Habis berkata ia sendiri lantas mengangkat poci arak dan menuangkan arak bagi Siau-hi-ji, lalu dituangkannya pula bagi Kang Giok-long.

Tentu saja Siau-hi-ji kegirangan, sebaliknya Kang Giok-long ketakutan.

"Minum!" seru Han-wan Sam-kong sambil angkat cawannya.

Tanpa ragu-ragu lagi Siau-hi-ji angkat cawannya dan mengeringkan isinya. Kang Giok-long juga tidak berani membangkang. Baru saja ia menaruh kembali cawannya, dilihatnya Ok-tu-kui lagi melotot padanya.

"Tahukah kau apa namanya arak ini?" tanya Ok-tu-kui kepada Giok-long.

"Tecu terlalu bodoh dan tidak tahu," jawab Kang Giok-long.

"Ini namanya arak taruhan," seru Ok-tu-kui pula. "Siapa pun yang telah minum arak yang kutuangkan baginya, dia harus bertaruh denganku."

Tangan Kang Giok-long menjadi gemetar sehingga cawan yang masih dipegangnya itu terjatuh ke lantai, jawabnya dengan gelagapan, "Tapi... tapi Tecu ti... tidak...."

"Tidak apa? Kau tidak mau taruhan denganku?" Ok-tu-kui melotot.

"O... ma... mau...."

"Hahaha, bagus, lalu taruhan apa?!"

"Ta... taruhan ap... apa pun boleh."

"Baik, Locu bertaruh lenganmu ini."

Seketika kaki Kang Giok-long terasa lemas sehingga dia terperosok dari kursinya.

Dengan tertawa Siau-hi-ji menyeretnya bangun, katanya, "Takut apa? Kan belum pasti kalah?"

"Tapi... tapi Tecu...." kata Giok-long dengan tergagap dan pucat.

"Duduklah yang tegak," bentak Ok-tu-kui dengan bengis, "Nah, katakan, kau hendak taruhan apa?"

Air mata Kang Giok-long bercucuran, ia menoleh ke arah Giok-bin-boan-koan Siau Cu-jun dan lain-lain, tapi orang-orang ini mana berani membelanya?

Dengan menangis Giok-long berkata, "Kenapa... kenapa Cianpwe...."

Pada saat itulah tiba-tiba seorang tertawa lantang dan berseru, "Haha, jika Han-wan Siansing ingin taruhan, biarlah Cayhe saja yang melayani, taruhan dengan anak kecil kan kurang menarik?"

Waktu Siau-hi-ji berpaling, seketika pandangannya terbeliak. Dilihatnya seorang lelaki setengah baya telah muncul di atas loteng.

Orang itu bermuka putih dan bermata terang, berbaju hijau, meski sudah setengah umur, tapi tetap bergaya menarik. Dengan tersenyum simpul ia mendekati orang banyak dengan sikap yang gagah.

Sejak berkelana di Kangouw, selain Bu-koat Kongcu, belum pernah Siau-hi-ji melihat tokoh mempesona seperti lelaki setengah baya ini.

Melihat kedatangan orang ini, Siau Cu-jun dan lain-lain sama menghela napas lega dan mengunjuk rasa girang, bahkan yang paling senang adalah Kang Giok-long, hampir saja ia berjingkrak seperti orang mendapat rezeki nomplok.

Sorot mata Han-wan Sam-kong berkelebat sekilas ke arah orang itu, mau tak mau ia pun tergetar, tanyanya, "Siapa kau?"

"Cayhe Kang Piat-ho adanya," jawab orang itu sambil tersenyum dan memberi hormat.

"O, menurut desas-desus di kalangan Kangouw, katanya di daerah Kang-lam sekarang muncul seorang Enghiong (pahlawan, ksatria) luar biasa, konon dia sesuai diberi julukan 'tayhiap' (pendekar besar) setelah Yan Lam-thian, apakah kau ini orang yang dimaksud itu?" tanya Ok-tu-kui.

"Ah, itu cuma sanjung puji kawan-kawan Kangouw saja, Cayhe sendiri mana sanggup menerimanya," ucap orang yang bernama Kang Piat-ho dengan tertawa.

"Apakah dia ini putramu?" tanya Ok-tu-kui sambil menuding Kang Giok-long.

"Betul, ia putraku yang tak becus," jawab Kang Piat-ho dengan kesal.

"Ayah ksatria putra tak becus...." Ok-tu-kui menukas sambil geleng-geleng kepala, mendadak ia menggebrak meja dan membentak, "Jika betul dia ini putramu, jadi kau ini mewakilkan dia untuk bertaruh denganku?"

"Jika Han-wan Siansing berminat, boleh juga Cayhe mengiringi kehendakmu," jawab Kang Piat-ho.

Ok-tu-kui bergelak tertawa, katanya, "Dapat bertaruh besar-besaran dengan orang macam kau ini, sungguh suatu kesenangan bagiku."

"Entah taruhan apa yang dikehendaki Han-wan Siansing?" tanya Piat-ho tertawa.

Setelah merenung sejenak, dengan suara keras Ok-tu-kui berkata, "Pertaruhan kita kukira paling sederhana, tak pedulikan siapa yang kalah, ia harus manda diperlakukan apa pun juga oleh pihak lawan."

Cara pertaruhan ini sungguh membikin semua orang terkesiap. Sebenarnya soal mati atau hidup bagi orang Kangouw bukan sesuatu hal yang luar biasa. Tapi "manda diperlakukan apa pun juga oleh pihak lawan", betapa pun membuat orang berpikir dua kali. Coba bayangkan, apa bila pihak pemenang menyuruh yang kalah melakukan sesuatu yang tidak mungkin terlaksana atau sesuatu perbuatan yang memalukan, bukanlah hal ini akan jauh lebih susah daripada 'mati'. Apa lagi orang yang berkedudukan seperti Kang Piat-ho, kalau dia kalah, betapa pun juga dia tidak dapat ingkar janji dan terpaksa harus melakukan apa yang dihendaki pihak lawan. Karena itulah semua orang mengira Kang Piat-ho pasti tidak terima syarat pertaruhan gila itu.

Tak terduga dia hanya tersenyum hambar saja dan menjawab, "Boleh juga usul Han-wan Siansing ini. Cuma cara bagaimana bertaruhnya masih perlu penjelasan lagi."

Melihat Kang Piat-ho menerima usulnya begitu saja, mau tak mau Ok-tu-kui juga merasa di luar dugaan. Ia angkat cawan araknya dan ditenggaknya habis, lalu berkata dengan tertawa, "Bagus, Kang-tayhiap benar-benar berjiwa ksatria sejati. Tentang cara pertaruhannya boleh terserah kehendakmu saja."

"Ah, tidak perlu Han-wan Siansing rendah hati...."

"Tidak, taruhannya sudah kutetapkan, cara bertaruhnya harus kau yang menentukan, ini adalah peraturanku," bentak Ok-tu-kui.

"Jika begitu, terpaksa aku menurut saja," ucap Kang Piat-ho dengan tertawa, ia lantas memindahkan sebuah meja kecil ke depan, ia ambil pula satu mangkuk "Ang-sio-hi-sit" dan ditaruh di tengah meja.

Han-wan Sam-kong merasa aneh, katanya, "Untuk apakah ini?"

"Begini caranya," tutur Kang Piat-to, "Kita masing-masing menggebrak meja satu kali, siapa yang membikin tumpah kuah Hi-sit atau merontokkan mangkuk hingga jatuh ke lantai, maka dia dianggap kalah."

"Itu kan terlalu mudah!" seru Han-wan Sam-kong tertawa, perlahan ia lantas menepuk meja dan dengan sendirinya kuah Hi-sit itu tidak muncrat setetes pun. Seketika Ok-tu-kui berhenti tertawa, lalu berkata pula dengan mata mendelik, "Cara pertaruhan begini biar pun berlangsung hingga tahun baru juga takkan terjadi kalah dan menang. Apakah kau sengaja mempermainkan diriku atau hendak menipu aku?"

Kang Piat-ho tersenyum, jawabnya, "Bukan begitu caranya, harus begini...." sembari bicara telapak tangannya terus menabok ke permukaan meja.

Tampaknya dia tidak menggunakan tenaga, tapi meja kecil yang terbuat dari papan kayu jambu yang keras itu mendadak berubah seempuk agar-agar, tangan Kang Piat-ho dengan mudah saja menembus permukaan meja dan kuah Hi-sit semangkuk penuh itu tak tercecer setitik pun, bahkan sama sekali tidak bergoyang.

"Nah, cara kita menggebrak meja harus begini, sekaligus harus menembus permukaan meja, seumpama kita sama-sama tidak membikin tumpahnya kuah Hi-sit ini, segera kita pukul meja lagi dan akhirnya permukaan meja tentu akan tersisa bagian tengah yang menyangga mangkuk dan pasti juga akan rontok. Siapa yang terakhir membikin jatuh mangkuk Hi-sit, dia yang kalah."

Mau tak mau berubah juga air muka Han-wan Sam-kong, ia melengak sejenak, kemudian bergumam, "Cara pertaruhan begini memang belum pernah kulakukan."

"Barusan sudah kugebrak satu kali, sekarang giliran Han-wan Siansing," ucap Kang Piat-ho dengan tertawa.

"Hahahaha!" Han-wan menengadah dan terbahak-bahak. "Selama hidupku si Ok-tu-kui sedikitnya sudah beribu kali bertaruh dengan orang dan tak pernah terjadi pertarungan belum berlangsung dan aku sudah mengaku kalah lebih dahulu...." mendadak ia menatap Kang Piat-ho lekat-lekat, lalu berkata pula, "Namun sekali ini tanpa bertaruh aku rela mengaku kalah... biar pun tenaga tanganku mampu menembus permukaan meja, tapi rasanya aku tidak sanggup membuat kuah Hi-sit tak tercecer setitik pun."

Seketika terdengar Giok-bin-boan-koan dan begundalnya menghela napas lega dan kegirangan setengah mati.

Siau-hi-ji juga melengak dan berseru, "He, kau... kau benar-benar mengaku kalah?"

"Kalah ya kalah, masa pakai benar atau palsu?" seru Ok-tu-kui dengan bengis. Ia tersenyum getir lalu berkata pula kepada Kang Piat-ho. "Nah, apa yang kau kehendaki dariku, silakan bicara saja."

Kang Piat-ho berpikir sejenak, lalu ia menuang dua cawan arak, katanya dengan tertawa, "Biarlah Cayhe menghormati Han-wan Siansing satu cawan."

Tanpa pikir Ok-tu-kui terima suguhan itu dan sekali tenggak isi cawan diminumnya habis. Ia gabrukkan cawan arak ke meja, lalu berseru tegas, "Baik sekarang Han-wan Sam-kong harus mati atau hidup, ke timur atau ke barat, boleh katakan saja."

"Apa yang kukehendaki bukankah barusan sudah dilakukan oleh Han-wan Siansing?" ujar Kang Piat-ho dengan tersenyum. "Setelah Han-wan Siansing melunaskan pertaruhan, mengapa bicara lagi cara begini?"

Ok-tu-kui jadi melenggong, ia menegas dengan tergagap, "Kau... kau bilang apa?"

"Bahwa yang kalah harus manda melakukan segala kehendak yang menang, maka Cayhe telah menghukum Han-wan Siansing minum satu cawan arak dan hal itu sudah dilakukan olehmu, itu berarti perjanjian sudah terpenuhi dan utang piutang sudah lunas," ucap Kang Piat-ho dengan tertawa.

Seketika Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong berdiri mematung, gumamnya, "Bila kau membunuhku, entah betapa banyak orang Kangouw akan kagum padamu, jika kau menyuruhku mencari sesuatu, biar pun ratna batu manikam atau benda mestika apa pun juga pasti akan kulaksanakan, tapi sekarang...." ia menghela napas dan menyambung pula dengan tersenyum getir, "Engkau hanya minta aku minum satu cawan arak saja."

"Kalau saja aku mampu minum lebih banyak, sedikitnya akan kusuguh tiga cawan lagi padamu," kata Kang Piat-ho.

Mendadak Han-wan Sam-kong angkat buli-buli araknya dan sekaligus menenggak belasan teguk, ia mengusap mulut dengan lengan baju, lalu menengadah dan bergelak tertawa, "Hahaha! Bagus, sungguh tidak malu kau berjuluk 'Kang-lam-tayhiap'. Selama hidupku tak pernah takluk kepada siapa pun, tapi sekarang aku benar-benar menyerah padamu, Kang Piat-ho."

Dia mendekati Siau-hi-ji dan tepuk-tepuk bahunya, katanya, "Adik cilik, urusanmu tidak dapat kubela lagi, tapi Kang-lam-tayhiap berada di sini, kiranya kau pun tidak perlu khawatir dikerubut kawanan tikus itu. Nah, aku akan pergi, sampai berjumpa!"

Begitu lenyap suaranya, tahu-tahu ia sudah melayang keluar jendela dan dalam sekejap saja sudah menghilang dalam kegelapan malam. Angin di luar jendela meniup sepoi-sepoi, bulan sabit tepat menghias di tengah cakrawala.

Kang Piat-ho menyaksikan kepergian Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong, dengan gegetun ia bergumam, "Orang ini benar-benar tidak malu sebagai lelaki sejati."

Dengan tersenyum hormat Giok-bin-boan-koan Siau Cu-jun menanggapi, "Orang ini termasuk salah satu dari Cap-toa-ok-jin, bukankah sayang Kang-heng tidak sekalian bereskan dia tadi?"

"Ksatria semacam ini ada berapa biji di dunia ini? Mana boleh Siau-heng sembarangan bilang membereskan dia?" ujar Kang Piat-ho dengan sungguh-sungguh. "Apa lagi selain gemar berjudi, rasanya orang ini pun tidak berbuat sesuatu kejahatan lain."

"Ya, ya, Siaute yang salah," ucap Siau Cu jun dengan munduk-munduk.

"Malahan yang diutamakannya cuma taruhan saja, kalah atau menang sama sekali tidak ingkar janji," kata Kang Piat-ho pula dengan tertawa. "Biar pun kepalanya kalah dalam pertaruhan juga dia tidak menyesal dan rela menyerahkan kepalanya, coba, ada berapa gelintir manusia di jaman ini yang sanggup bertaruh seperti dia?"

Tiba-tiba Siau-hi-ji menghela napas dan berkata, "Sungguh sayang Han-wan Sam-kong tidak mendengar ucapanmu ini, kalau mendengar, bukan mustahil dia akan menangis saking terharu dan berterima kasih padamu."

Kang Piat-ho mengamati Siau-hi-ji, katanya, kemudian dengan tersenyum, "Apakah Engkoh cilik ini sahabat baik anakku yang tak becus itu?"

"Sebutan sahabat baik sih tak berani kuterima," ujar Siau-hi-ji.

"Anak yang tak becus itu tentu sepanjang jalan telah mendapat bantuan Engkoh cilik," ucap Kang Piat-ho pula.

Siau-hi-ji menyengir dan menjawab, "Engkoh cilik sih tidak memberi bantuan apa-apa kepada 'adik gede', sebaliknya 'adik gede' cukup banyak bantu membuat sengsara 'Engkoh cilik'. Kalau saja nyawa 'Engkoh cilik' tidak panjang, saat ini kepalanya mungkin sudah berpisah dengan tuannya."

Pandangan Kang Piat-ho beralih ke arah Kang Giok-long, katanya dengan menarik muka, "Jangan-jangan kau telah melakukan sesuatu yang tidak pantas."

"Mana anak berani," jawab Giok-long dengan tunduk kepala.

"Melihat air mukamu kutahu pasti kau berbuat sesuatu yang salah," kata Kang Piat-ho pula dengan bengis, "Setelah pulang nanti kau harus tutup pintu dan merenungkan kesalahanmu, berani berbuat harus berani mengaku salah dan minta maaf, begitulah sikap seorang lelaki sejati."

Giok-long mengiakan dengan kepala menunduk lebih rendah.

Siau-hi-ji berkata pula dengan gegetun, "Bahwa Kang Giok-long mempunyai ayah seperti engkau, sungguh mati sukar dipercaya bagiku. Cuma kalau dia harus tutup pintu dan merenungkan kesalahannya, terpaksa aku pun ikut merenung bersama dia."

Sekilas Kang Piat-ho memandang "belenggu cinta" di tangan kedua anak muda itu, katanya kemudian dengan tersenyum, "Benda sepele begini kuyakin masih mampu membukanya, pokoknya Engkoh cilik ikut pergi bersamaku saja."

"Sesungguhnya aku pun berharap ikut bersamamu, namun di sini masih ada orang yang ingin membunuh diriku, lantas bagaimana baiknya?" ucap Siau-hi-ji tertawa.

"O, siapa?" Kang Piat-ho mengernyit dahi.

"Dengan sendirinya para ksatria yang sudah terkenal, beberapa ksatria termasyhur hendak membunuh diriku, seorang anak tanggung, bukankah suatu kebanggaan bagiku?" ucap Siau-hi-ji.

Ketika sinar mata Kang Piat-ho mengerling sekeliling, serentak Giok-bin-boan-koan dan lain-lain sama menunduk dengan wajah merah padam.

Dengan kalem Kang Piat-ho lantas berkata pula, "Kujamin kejadian ini pasti takkan terulang lagi."

"Selama hidupku juga jarang mengagumi orang, tapi sekarang aku menjadi rada kagum padamu," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar